PETA KEKERASAN DI INDONESIA (SEPTEMBER-DESEMBER 2014)
DAN
KEKERASAN RUTIN DAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN DI INDONESIA
KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN
THE HABIBIE CENTER
Edisi 09/April 2015
Program Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan
(SNPK)
Kajian Perdamaian dan Kebijakan The Habibie Center ini diterbitkan melalui program SNPK, yang bertujuan menyediakan data dan analisis kekerasan yang akurat dan cepat bagi pemerintah dan masyarakat sipil di Indonesia dalam mendukung penyusunan kebijakan dan program
dalam bidang konflik yang berbasis data. Program ini didanai oleh The Korea Trust Fund for Economic and Peacebuilding Transitions
dan diimplementasikan sejak 2012 melalui kerjasama antara The Habibie Center, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan
Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), dan Bank Dunia.
Sebagai bagian dari program SNPK, saat ini telah dibangun database untuk mencatat seluruh insiden kekerasan
yang terjadi di provinsi sasaran secara reguler. Database
SNPK adalah milik Kemenko PMK, yang bisa diakses pada
www.snpk-indonesia.com. Database ini mencakup 34 provinsi di Indonesia.
Seperti ditunjukkan oleh penelitian-penelitian di bidang konflik
sebelumnya, surat kabar lokal di Indonesia merupakan sumber informasi yang paling tepat untuk mengumpulkan data kekerasan
secara sistematis dan kontinu. Mengikuti hal itu, SNPK membangun database menggunakan surat kabar lokal di 34 provinsi sasaran, meski sumber-sumber lain juga dipergunakan secara rutin untuk proses verifikasi. Agar analisis data dapat berjalan maksimal, database menggunakan definisi kekerasan secara luas, yaitu: sebuah tindakan yang mengakibatkan dampak fisik secara langsung. Untuk setiap insiden kekerasan, sejumlah variabel kunci dicatat dalam database, termasuk: tanggal dan lokasi kejadian; dampak fisik terhadap manusia dan harta benda; pemicu dan bentuk kekerasan; aktor yang terlibat dan senjata yang digunakan; serta upaya penghentian kekerasan dan hasilnya.
Kajian Perdamaian dan Kebijakan ini dipublikasikan oleh
The Habibie Center secara berkala setiap 4 bulan sekali dengan tujuan menjelaskan tren dan pola baru yang muncul di Indonesia. Isi Kajian Perdamaian dan Kebijakan ini merupakan pandangan tim SNPK-The Habibie Center.
Ringkasan Eksekutif
Program Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan •
(SNPK) mengamati secara sistematis dan kontinu 34
provinsi di Indonesia. Sebagai bagian dari program
SNPK, Kajian Perdamaian dan Kebijakan The Habibie Center (THC) ini bertujuan menggambarkan tren
kekerasan yang dipantau dalam periode September-Desember 2014 dan membahas isu kekerasan rutin dan pembangunan perkotaan di Indonesia.
Pada periode September-Desember 2014, data SNPK
•
mencatat 8.848 insiden kekerasan yang mengakibatkan 962 korban tewas, 7.340 korban cedera, 928 korban perkosaan, dan 785 kerusakan bangunan. Kekerasan
dalam periode ini didominasi oleh kriminalitas (58%),
konflik (27%), KDRT (8%), dan kekerasan aparat (7%). Beberapa konflik yang perlu diperhatikan selama periode
•
ini adalah konflik terkait lahan yang terjadi di Sumba
Barat Daya, NTT, aksi demonstrasi anarkis di beberapa provinsi sebagai respon penolakan rencana pemerintah mengurangi subsidi bahan bakar minyak, kekerasan
antarkampung di Sulawesi Selatan dan NTB, konflik
pemilihan dan jabatan di DKI Jakarta, dan bentrokan
antar-warga di Lampung Tengah, Provinsi Lampung. Pada periode ini tercatat sebanyak 278 insiden konflik
•
sumber daya yang mengakibatkan 38 tewas, 247 cedera, dan 78 bangunan rusak. Konflik sumber daya mengalami
penurunan pada jumlah insiden sebesar 2,1%, dampak
kematian 13,6%, dampak cedera 28% dan bangunan rusak 27% dibandingkan pada periode Mei-Agustus 2014. Insiden kekerasan terkait sengketa/konflik lahan masih mendominasi kategori ini. Beberapa konflik lahan yang penting terjadi adalah kekerasan antar-warga di NTT dan Riau yang masing-masing insidennya mengakibatkan tiga orang tewas.
Konflik terkait tata kelola pemerintahan tercatat 210
•
insiden yang mengakibatkan 1 orang tewas, 254 orang cedera dan 68 bangunan rusak. Aksi demonstrasi anarkis
sebagai respon penolakan terhadap rencana pemerintah mengurangi subsidi bahan bakar minyak cukup mencuat
pada periode ini. Insiden demonstrasi anarkis terjadi di 22 provinsi yang mengakibatkan 1 orang tewas, 104 cedera dan 2 bangunan rusak. Hampir seluruh insiden tersebut dilakukan oleh kelompok mahasiwa.
Konflik terkait pemilihan dan jabatan tercatat sebanyak
•
47 insiden dengan dampak cedera 110 orang dan 20 bangunan rusak. Beberapa insiden kekerasan terkait pemilihan dan jabatan di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota terkait, baik secara langsung maupun
tidak langsung dengan konflik terkait Pemilu legislatif dan Pemilu presiden di tahun 2014. Insiden penting lain
adalah aksi demonstrasi anarkis yang dilakukan oleh FPI dan organisasi kemasyarakatan lain di Jakarta terkait
pengangkatan Plt. Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok menggantikan Gubernur Joko Widodo.
Konflik identitas tercatat sebanyak 327 insiden yang
•
mengakibatkan 23 korban tewas, 384 cedera, dan 204 bangunan rusak. Data SNPK mencatat insiden dan
dampak kekerasan dalam kategori ini didominasi oleh
bentrokan antar-kampung (31%), perkelahian pelajar (29%), dan perkelahian antar kelompok geng (18%). Bentrokan antar-kampung dominan terjadi di Sulawesi Selatan dan NTB.
Insiden main hakim sendiri didominasi oleh kekerasan
•
terhadap pelaku pencurian (71%), kekerasan yang terkait harga diri/kertersingungan (16%), dan balas dendam
(8%). Untuk selanjutnya, insiden-insiden dalam kategori
tersebut akan dibahas lebih dalam dalam bagian kedua
kajian ini.
Bagian kedua Kajian Perdamaian dan Kebijakan The •
Habibie Center kali ini membahas kekerasan rutin
dan pembangunan perkotaan di Indonesia. Dinamika pembangunan perkotaan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari beragam persoalan dan tantangan.
Persoalan kekerasan menjadi tantangan besar dalam
pembangunan perkotaan di Indonesia. Data SNPK 2005-2014 mencatat bahwa sebagian besar insiden kekerasan
rutin (routine violence) terjadi wilayah perkotaan,
khususnya di kota-kota besar di Indonesia.
Dalam Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035, yang
•
dipublikasikan oleh BPS pada tahun 2013 disebutkan bahwa proyeksi tingkat urbanisasi di Indonesia mencapai 66,6% pada tahun 2035. Hal ini sejalan dengan studi Bank Dunia dalam East Asia’s Changing Urban Lanscape tahun
2015, yang menyebutkan bahwa 68% penduduk akan
memenuhi kota-kota di Indonesia. Proyeksi tersebut menggambarkan persoalan-persoalan perkotaan di
Indonesia akan semakin kompleks, termasuk fenomena
kekerasan rutin.
Fenomena kekerasan rutin yang marak diperkotaan
•
kerap luput dari pengamatan ataupun analisis para
peneliti maupun penggiat perdamaian. Kekerasan rutin didefisinikan sebagai kekerasan yang secara frekuensi sering terjadi (seperti aksi main hakim sendiri terhadap
pelaku pencurian) dan bukan merupakan bagian dari
konflik besar serta dampak per insiden yang relatif kecil. Umumnya, insiden-insiden kekerasan rutin dipicu oleh isu-isu keseharian di tengah masyarakat dan bukan kekerasan yang didorong oleh persoalan identitas, seperti etnis, agama, atau wilayah.
Data SNPK tahun 2014 mencatat sebagian besar (21%)
•
insiden kekerasan rutin yang terjadi adalah penghakiman massal terhadap para pelaku pencurian. Insiden-insiden kekerasan rutin juga dipicu oleh tersinggung atau harga diri. Di samping itu, data SNPK juga mencatat maraknya insiden-insiden kriminalitas dengan kekerasan (violent
crime) dan perkosaan.
Jika dilihat persebaran wilayah, insiden kekerasan rutin
•
cukup menonojol di beberapa wilayah di Indonesia. Data SNPK tahun 2014 menunjukan bahwa insiden kekerasan rutin dominan terjadi di lima wilayah, yakni Sumatera Utara, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, dan Jabodetabek. Akan tetapi, Sulawesi Utara
merupakan wilayah yang paling rentan jika dilihat segi intensitas (insiden per populasi) dan fatalitas kekerasan
(tewas per populasi) kekerasan ini.
Kajian Perdamaian dan Kebijakan THC kali ini akan
•
memfokuskan studi pada dua wilayah utama, yakni
Sulawesi Utara dan Jabodetabek. Terdapat dua alasan
utama pemilihan dua wilayah tersebut. Pertama, data
SNPK menunjukan Sulawesi Utara merupakan wilayah yang intensitas dan fatalitas kekerasan paling tinggi
di Indonesia. Kedua, kondisi strategis suatau wilayah
dalam dinamika kekerasan rutin di Indonesia, seperti Jabodetabek. Insiden-insiden kekerasan rutin yang marak di Jabodetabek menjadi penting diperhatikan
karena wilayah ini merupakan pusat pemerintahan,
ekonomi, politik, dan sosial.
Tim SNPK-THC melakukan tiga langkah untuk menganalisa
•
kekerasan rutin dan pembangunan perkotaan. Pertama;
mengolah dan menganalisa data SNPK sepanjang tahun
2014, kedua; melakukan studi pustaka terkait dengan
studi-studi tentang kekerasan rutin, baik di Indonesia
maupun di negara lain, dan ketiga; melakukan studi
lapangan di wilayah Jabodetaek dan kota Manado,
Sulawesi Utara. Pihak-pihak yang diwawancarai adalah
perwakilan pemerintah, aparat keamanan, akademisi,
aktivis LSM, pelaku dan korban kekerasan, dan masyarakat umum di dua wilayah tersebut.
Dari hasil temuan, tim SNPK-THC mengidentifikasi
•
faktor-faktor yang berpengaruh pada munculnya kekerasan di perkotaan, diantaranya; Pertama, laju pertumbuhan penduduk di wilayah perkotaan yang merupakan bagian integral dari laju pembangunan yang
sedang berjalan; Kedua, penegakan hukum yang belum
optimal sehingga mendorong terjadinya kekerasan rutin
di tengah masyarakat; Ketiga, keterbatasan infrastruktur,
misalnya terkait kapasitas jalan dan kendaraan, sarana
transportasi umum, penerangan jalan dan pos-pos
keamanan yang turut mendorong maraknya insiden
kekerasan rutin; Keempat, minimnya ruang terbuka
publik yang memadai dan aman; Kelima, persoalan
kelompok pemuda yang frustasi atas kehidupan kota;
Keenam, perkembangan teknologi informasi secara
tidak langsung memberikan kontribusi negatif terhadap maraknya fenomena kekerasan rutin, khususnya di
perkotaan seperti Jakarta; Ketujuh, minuman keras
sebagai salah satu pemantik terjadinya insiden-insiden kekerasan, terutama di kota Manado.
Lebih lanjut, kekerasan rutin tidak terlepas dari
•
kompleksitas permasalahan di perkotaan. Permasalahan perkotaan harus dilihat secara menyeluruh. Interkoneksi
antar aspek dan juga daerah di sekitar perkotaan juga
penting untuk diperhatikan. Permasalahan kota bukan
permasalahan kota itu sendiri, namun turut disumbang dari berbagai permasalahan yang ada di sekitar
wilayah kota. Permasalahan pembangunan perkotaan
yang kompleks dan interkoneksitas harus menjadi dasar pemikiran bagi pengambil kebijakan, aparatur pemerintah kota dan masyarakat kota dalam merespon
permasalahan kekerasan perkotaan. Dengan demikian
respon terhadap permasalahan kekerasan perkotaan
memerlukan dukungan dan kerja kolaboratif dari
berbagai pihak, baik level nasional maupun lokal, juga
level pemerintah dan masyarakat.
Kebijakan pemerintah saat ini yang mulai mendorong
•
pembangunan di tingkat desa harus diapresiasi dan didukung. Akan tetapi, keberadaan UU No 6 tahun 2014 tentang Desa harus diikuti dengan kebijakan-kebijakan lain yang bisa menjadikan desa lebih kuat. Penguatan desa menjadi penting untuk menopang beban permasalahan kota. Di sisi lain, kebijakan dan regulasi yang lebih spesifik tentang permasalahan perkotaan sudah saatnya didorong, seperti wacana undang-undang khusus perkotaan untuk melengkapi undang-undang tentang desa.
---Definisi
Mengingat luasnya cakupan insiden kekerasan maka
program SNPK menggunakan beberapa definisi penting untuk membedakan jenis kekerasan, yaitu:
Konflik kekerasan adalah jenis kekerasan yang terjadi
karena adanya sengketa yang melatarbelakangi atau
diperselisihkan dan pihak tertentu yang menjadi sasaran. Definisi konflik kekerasan tersebut mencakup
insiden-insiden berskala kecil yang hanya melibatkan beberapa
individu dan/atau insiden besar antarkelompok.
Kekerasan aparat adalah seluruh tindakan kekerasan yang
dilakukan oleh aparat keamanan formal dalam merespon
tindak kriminalitas. Tindakan tersebut termasuk kekerasan
yang dianggap sesuai dengan atau melebihi wewenang
mereka.
Kriminalitas dengan kekerasan adalah insiden kekerasan yang terjadi tanpa adanya sengketa yang diperselisihkan
sebelumnya dan target tertentu.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah seluruh tindakan kekerasan fisik yang dilakukan oleh anggota
keluarga terhadap anggota keluarga lainnya, di mana
anggota keluarga tersebut tinggal satu atap/satu rumah,
termasuk di dalamnya kekerasan yang dilakukan anggota
Gambar 1. Insiden dan Dampak Kekerasan di 34 Provinsi (Januari-Desember 2014)
Bagian 1. Pola dan Tren Kekerasan di Tigapuluh Empat Provinsi
Kajian Perdamaian dan Kebjakan The Habibie Center kali
ini menampilkan data 34 provinsi periode
September-Desember 2014 yang dicatat oleh program SNPK.1 Pada
periode empat bulan terakhir tahun 2014 tersebut, SNPK mencatat 8.848 insiden kekerasan yang mengakibatkan 962 korban tewas, 7.340 korban cedera, 928 korban perkosaan, dan 785 kerusakan bangunan. Jika dilihat tren kekerasan per
bulan maka nampak bahwa insiden dan dampak kekerasan
cenderung menurun dari September hingga Desember 2014
(Gambar 1).
Salah satu insiden penting yang tercatat pada periode ini
adalah bentrokan antara warga dua dusun bertetangga di
Desa Tanjung Harapan, Kecamatan Anak Tuha, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung. Bentrokan yang terjadi pada 27 November 2014 tersebut dipicu oleh kabar dua
pemuda yang diduga mencurui, dikeroyok oleh warga hingga
tewas. Isu tersebut memancing emosi warga dan menyerang pemukiman pelaku pengeroyokan hingga terjadi bentrokan. Insiden bentrokan itu sendiri mengakibatkan 94 rumah hancur total, beberapa kendaraan rusak, dan tiga warga cedera karena terkena peluru senjata api rakitan.
Insiden lain yang penting diperhatikan terkait dengan konflik tanah antar warga di Kecamatan Wewewa, Kabupaten Sumba Barat Dayat, Provinsi NTT. Data SNPK mencatat dua insiden yang mengakibatkan tiga tewas dan satu cedera. Insiden pertama terjadi pada 5 Oktober 2014, dimana seorang
1 Sejak Januari 2014, pemantauan SNPK telah mencakup 34 provinsi di Indonesia. Pemantauan secara nasional ini telah diluncurkan oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan pada 2 Desember 2014.
warga dibacok hingga mengalami luka di kepala. Keesokan harinya, tiga orang keluarga korban bermaksud membalas kejadian tersebut. Akan tetapi mereka justru dikepung oleh 17 orang dan dikeroyok hingga tewas. Sengketa tanah juga
terjadi di Kecamatan Kadur, Kabupaten Pamekasan, Jawa
Timur, mengakibatkan 2 tewas. Insiden lainnya terjadi di Kecamatan Pasir Limau Kapas, Kabupaten Rokan Hilir, Riau mengakibatkan 3 tewas dan 2 cedera.
Pada isu politik dan jabatan, data SNPK mencatat insiden
demonstrasi terkait penolakan beberapa pihak dalam
pelantikan Gubernur DKI Jakarta pada 3 Oktober 2014.
Insiden demonstrasi tersebut mengakibatkan 20 orang
cedera. Kasus demonstrasi kekerasan ini bahkan dibawa sampai ke pengadilan.
Jika dibandingkan dengan periode empat bulan sebelumnya, secara umum tren insiden dan dampak kekerasan mengalami penurunan (Gambar 2). Walaupun demikian, insiden dalam kategori konflik terkait tata kelola pemerintah meningkat 72%, konflik identitas meningkat 21%, dan kekerasan aparat dalam penegakan hukum meningkat 11%. Dari sisi dampak
kekerasan, data SNPK juga mencatat peningkatan dampak
tewas pada kekerasan aparat sebesar 13%. Disamping itu,
dampak cedera juga mengalami peningkatan, khususnya
pada konflik terkait tata kelola pemerintahan (159%), konflik terkait pemilihan dan jabatan (55%), dan konflik identitas (28%). Peningkatan kerusakan bangunan tercatat paling besar pada konflik identitas (134%) dan main hakim sendiri (66%).
Gambar 2. Perbandingan Insiden dan Dampak Kekerasan di 34 Provinsi (Mei-Agustus 2014 dan September-Desember 2014)
Data SNPK membagi insiden dan dampak menjadi empat
kategori jenis kekerasan, yaitu: konflik, kriminalitas, kekerasan Aprat dan KDRT. Pada periode September-Desember, kekerasan di dominasi oleh kriminalitas (58%), konflik (27%),
KDRT (8%), dan kekerasan aparat (7%) (Tabel 1).
Tabel 1. Insiden dan Dampak Kekerasan Menurut Jenis
Kekerasan
34 Provinsi di Indonesia (September-Desember 2014)
Jenis
Kekerasan Jumlah Insiden
Dampak Kekerasan
Tewas Cedera Perkosaan Kerusakan Bangunan
Konflik 2.417 181 2.930 0 523 Sumber Daya 278 38 247 0 78 Tata Kelola Pemerintahan 210 1 254 0 68 Pemilihan dan Jabatan 47 0 110 0 20 Identitas 327 23 384 0 204 Main Hakim Sendiri 1.448 109 1.826 0 141 Separatisme 8 5 5 0 0 Lainnya 99 5 104 0 12 Kekerasan Aparat 658 71 765 0 0 Kriminalitas 5.088 564 3.209 827 257 KDRT 685 146 436 101 5 Total 8.848 962 7.340 928 785
1.a Konflik Kekerasan
Insiden konflik sumber daya pada empat bulan terakhir di tahun 2014 terjadi sebanyak 278 insiden dengan dampak mematikan 38 korban tewas, 247 orang cedera dan 78
bangunan mengalami kerusakan. Dibandingkan periode
Mei-Agustus 2014, pada periode ini konflik sumber daya mengalami penurunan pada jumlah insiden sebesar 2,%, dampak kematian 14%, dampak cedera 29% dan bangunan
rusak 27%. InsidenKekerasan terkait sengketa/konflik lahan
masih mendominasi konflik sumber daya yaitu sebanyak
126 insiden, yang mengakibatkan 57% korban tewas dalam
kategori konflik sumber daya. Insiden paling banyak berikutnya
tercatat terkait dengan akses terhadap sumber daya yaitu
73 insiden dan kekerasan terhadap perebutan sumber daya alam 28 insiden, yang masing-masing mengakibatkan 18,4% dan 15,7% korban tewas.
Secara keseluruhan kekerasan terkait konflik sumber daya menyebar di provinsi seperti Sumatera Utara (45 insiden), Jawa Timur (23 insiden), Aceh (16 insiden), Jawa Barat (19
insiden) dan Sulawesi Selatan (15 insiden), Jabodetabek
(14 insiden), Maluku dan Sumatera Selatan (masing-masing 11 insiden) dan Sulawesi tenggara (10 insiden). Namun
bila melihat kekerasan sumber daya dengan dampak yang
mematikan maka wilayah yang mendominasi adalah Sulawesi
Selatan (7 tewas) NTT (5 tewas) serta Maluku, Sumatera
Selatan, Jambi dan Riau (masing-masing 3 tewas).
Aktor-aktor yang paling banyak terlibat di dalam kekerasan terkait sumber daya adalah warga (42.8%), Swasta (28%), pemerintah (6.1%) dan aktor lainnya (23%), sedangkan kekerasan antar aktor yang mengakibatkan kematian paling
banyak terjadi diantara warga dengan warga dan swasta dengan swasta (Gambar 3).
Konflik sumber daya yang menjadi perhatian Tim SNPK-THC pada periode September-Desember 2014 ini adalah konflik lahan antar warga di NTT dan Riau yang masing-masing insidennya mengakibatkan tiga orang tewas. Selain itu
kekerasan akibat perebutan tambang di pulau Buru, Maluku
penting untuk dilihat karena terjadi dalam beberapa rentetan insiden.
Kekerasan antarwarga terutama di dalam konflik lahan telah menjadi perhatian Tim SNPK-THC khususnya di provinsi Nusa Tenggara Timur. Konflik lahan antar warga
dapat dikelompokkan menjadi dua, pertama; konflik terkait kepemilikan individu yaitu perebutan lahan di tingkat domestik (keluarga dan antar tetangga), warisan, lahan
pertanian atau garapan. Kedua; dan konflik lahan terkait
kepemilikan komunal di antara kelompok suku, masyarakat
adat, atau desa. Konflik ini biasanya terkait dengan lahan kepemilikan bersama seperti tanah ulayat atau batas tanah di antara dua desa. Wilayah-wilayah di NTT yang seringkali mengalami insiden konflik lahan dengan dampak mematikan
adalah Manggarai, Flores dan Sumba Barat Daya.2
2 Lihat Kajian Perdamaian dan Kebijakan, The Habibie Center edisi ke 05/ November 2013, halaman 10.
Gambar 3. Dampak Kematian Akibat Kekerasan Antar Aktor dalam Konflik Sumber Daya Periode Sept-Des 2014
Pada periode September-Desember 2014 terdapat dua insiden konflik lahan antarwarga terjadi secara beruntun di Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT yang mengakibatkan tiga orang tewas dan satu orang cedera. Insiden pertama terjadi pada 5 Oktober 2014, dimana seorang warga dari Desa Tena Teke, Kecamatan Wewena Selatan, Kabupaten Sumba Barat
Daya pada hari Minggu, ditebas dengan senjata tajam oleh
oknum warga kampung Weeredapa sehingga mengalami luka pada kepala, tangan dan beberapa jari. Keesokan harinya tiga orang warga Kampung Bondo Ende dari Desa Tena Teke hendak menyerang Kampung Weeredapa. Warga kampung Weeredapa telah mengantisipasi serangan balik ini dan berhasil mengepung dan menyerang tiga orang tersebut hingga mereka terbunuh. Ketua DPRD terpilih Sumba Barat Daya, Timotus Rina menyesalkan terjadinya peristiwa ini dan menilai polisi telah lalai dengan melakukan pembiaran. Sehari sebelumnya keluarga telah melaporkan penganiayaan yang dilakukan oleh warga Weeredepa namun polisi tidak melakukan penahanan terhadap pelaku. Hal ini memicu aksi balas dendam yang berakhir pada kematian tiga warga Desa Tena Teke. Menurut Timor Express pada 7 Oktober 2014 pihak kepolisian sendiri rencananya hendak memanggil kedua belah pihak pada 6 Oktober 2014 untuk
menyelesaikan permasalahan sengekta lahan, namun pagi
harinya sudah terjadi penyerangan.
Di Provinsi Riau, kekerasan terkait Konflik lahan terjadi antara
seorang pensiunan TNI dengan pemilik ladang beserta para
pekerjanya di Desa Sungai Daun, Kecamatan Pasir Limau Kapas, Kabupaten Rokan Hilir, Riau. Pada 19 September 2014, pensiunan TNI tersebut bersama dua rekannya datang
ke perkebunan Sawit dan menembaki pemilik perkebunan
serta ketiga pekerja yang sedang menggarap lahan sawit tersebut. Akibatnya tiga orang tewas, satu orang mengalami
cedera dan istri salah satu pekerja yang menjadi korban
mengalami pelecehan seksual oleh pelaku. Salah seorang saksi berhasil melarikan diri dan luput dari penembakan.
Tindak kekerasan dipicu oleh saling klaim lahan antara pelaku
dengan Zulfahmi Sagala, pemilik lahan perkebunan sawit.
Sabaria, istri Zulfahmi Sagala mengatakan bahwa pelaku
sering mengancam mereka dengan mengatakan “tinggalkan tempat ini kalau mau selamat”. Setelah dua hari diburu pihak
kepolisian, akhirnya pelaku berhasil ditangkap ditempat
persembunyiannya.
Kekerasan penting lainnya terkait konflik perebutan sumber daya di area pertambangan rakyat di Gunung Botak, Kabupaten Buru, Maluku. Pada bulan November 2014, dalam
waktu dua hari telah terjadi lima insiden kekerasan yang
mengakibatkan tiga orang tewas dan 1 orang mengalami cedera. Insiden-insiden kekerasan ini dipicu oleh peristiwa
penikaman yang dilakukan seorang penambang asal Palopo, Sulawesi terhadap seorang penambang asal desa Tawiri,
Maluku sehingga korban tewas. Penikaman ini terjadi pada Senin, 3 November 2014 di Cafe Jati-Jati kawasan Gunung Botak, Desa UPT Wamsait, Kecamatan Waepu, Kabupaten Buru, Maluku. Motif penikaman ini diduga merupakan masalah perebutan tambang emas di Gunung Botak, Kabupaten Buru.
Keluarga korban tidak terima dan melakukan pembalasan
dengan melampiaskan dendam ke seluruh warga asal
Sulawesi. Aksi balas dendam ini dilakukan warga dengan
membakar seluruh tenda dan tempat usaha milik warga
Bugis, Makasar yang berada di Kebun Jati Jalur A dan Jalur B. Cafe Jati-Jati tempat terjadinya insiden penikaman sebelumnya dibakar bersama dengan dua Cafe lainnya. Pihak kepolisian tidak dapat mengatasi tindakan pengrusakan
dan pembakaran yang dilakukan warga karena sampai di
lokasi setelah aksi pembakaran sudah berakhir. Peristiwa
penikaman sebelumnya yang melibatkan warga pendatang Bugis dengan warga lokal membuat sejumlah warga Bugis
yang berada di sekitar Gunung Botak mengungsi ke Kota Namlea.
Aksi pembalasan dendam ini tidak hanya dilampiaskan
dengan membakar Cafe milik warga Bugis tetapi juga dengan melakukan sweeping warga pendatang dari Bugis. Pada
hari yang sama, di tempat lainnya terjadi penganiayaan yang dilakukan oleh empat orang oknum terhadap
seorang penambang asal Bone, Sulawesi Selatan. Peristiwa
penganiayaan terjadi di saat setelah korban membeli
makanan dicegat oleh tiga orang oknum dan tiba-tiba dari
belakangnya seorang lelaki tua membacok korban dengan
parang. Korban berhasil melarikan diri dan mendapatkan perawatan di RSUD Lala. Dua hari berikutnya setelah insiden
penikaman tersebut ditemukan dua mayat lainnya di tempat
yang berbeda. Pada hari Selasa malam (4 November 2014) di bendungan air Desa Waelo, Kecamatan Waelata, seorang kakek penjaga pintu air ditikam tiga kali oleh orang tidak dikenal. Pagi harinya mayat korban ditemukan mengapung di saluran irigasi, bendungan pintu air. Seorang warga mengatakan agar masalah yang terjadi di Gunung Botak agar jangan dibawa dan memakan korban di desa lainnya. Mayat kedua ditemukan di Desa Wamsalit dengan luka bacok di leher dan sejumlah bagian tubuh oleh orang tidak diketahui.
Korban merupakan pelaku penikaman dua hari sebelumnya
yang memicu kerusuhan di kawasan tambang, Gunung Botak.
Pembalasan dendam akhirnya telah berhasil menuntut balas
dengan membuhu pelaku.
Konflik perebutan tambang emas di antara para penambang di Gunung Botak, Kabupaten Buru seringkali terjadi. Permasalahan tambang emas di Gunung Botak ini kompleks karena terkait beberapa pihak berkepentingan. Ambon Express melaporkan bahwa rencana bupati Kapubaten Buru mengalami kesulitan dalam melakukan penertiban
penambang ilegal dan menutup tambang emas tersebut
karena tidak didukung sepenuhnya oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan di daerah tersebut. Bupati
mengambil langkah lain dengan meminta bantuan dari
Gubernur Maluku untuk mengirim pasukan dari luar. Gubernur Maluku sendiri, Said Assagaff mengatakan bahwa
dirinya mendapatkan informasi adanya keterlibatan oknum
TNI/Polri yang mendukung aktivitas ilegal di kawasan Gunung Botak. Permasalahan aktivitas tambang ilegal ini
juga mengakibatkan terjadinya longsor yang berdampak dua
orang tewas dan dua orang lainnya kritis. Pada hari minggu malam, 9 November 2014, hujan membuat tanah disekitar
galian longsor menimpa 1 korban tewas sedangkan pada hari Jumat sebelumnya beberapa penambang terkubur dalam
lubang mengakibatkan 1 orang tewas dan dua lainnya kritis. Beberapa pihak seperti DPRD Maluku meminta gubernur
untuk menghentikan operasi penambangan dan menutup Gunung Botak. Sedangkan Mahasiswa yang tergabung dalam Forum Pembela Masyarakat Buru mendemo DPRD kabupaten Buru dengan tuntutan agar Gunuk Botak
ditutup dari penambangan ilegal dan pengelolaan tambang
diberikan kepada rakyat melalui IPR dan koperasi yang telah mendapatkan izin dari pemerintah. Koran Kompas pada 8 November 2014 melaporkan bahwa Komnas HAM Maluku melalui hasil investigasinya menemukan dugaan pelanggaran HAM di lokasi penambangan Gunung Botak. Menurut
Benediktus Sarkol, Pelaksana Tugas Kepala Kantor Perwakilan
Komnas HAM, Ambon pemerintah melakukan pembiaran
terhadap penambangan yang telah berlangsung sejak tahun
2011 diareal 250 hektar, Gunung Botak, Kabupaten Buru, Maluku. Akibatnya sejak 2011 di area Gunung Botak sering
terjadi perampokan, tanah longsor, pencemaran lingkungan
sungai oleh merkuri, dan pembunuhan.
Kekerasan terkait pemilihan dan jabatan pada periode
September-Desember 2014 tercatat oleh data SNPK sebanyak 47 insiden dengan dampak cedera 110 orang dan
20 bangunan rusak. Konflik terkait Pemilukada di tingkat
kabupaten/kota mendominasi pada periode ini sebanyak
34%, diikuti oleh Pilkades di tingkat desa 17%, dan pemilihan/ jabatan di tingkat provinsi 12,7%. Beberapa insiden kekerasan terkait pemilihan dan jabatan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota terkait, baik secara langsung maupung tidak langsung dengan tren kekerasan Pemilu legislatif dan Pemilu presiden di tahun 2014. Kajian Perdamaian dan Kebijakan The Habibie Center edisi ketujuh mencatat dari 13 provinsi pada periode Januari-April 2014 terdapat 162 insiden kekerasan terkait Pemilu legislatif yang mengakibatkan tujuh orang
tewas, 68 orang cedera dan 54 bangunan rusak.3 Sedangkan
pada periode Mei-Agustus 2014 di 13 provinsi, kekerasan terkait pemilu legislatif berada pada tahap penetapan suara yang hasilnya memicu kekecewaan hasil pemilu legislatif dan
kekerasan terkait pemilu presiden oleh pendukung pasangan
calon presiden Prabowo-Hatta yang dipicu oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan pasangan calon
presiden dan wakil presiden Jokowi-JK sebagai pemenang.4
Pada periode September-Desember 2014 tren kekerasan dalam pemilu legislatif berlanjut dimana dari total 22 insiden kekerasan pemilihan/jabatan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebanyak empat insiden di tingkat provinsi dan 11 insiden di tingkat kabupaten kota terkait demonstrasi mahasiswa dalam pelantikan DPRD dan perelisihan dalam proses pemilihan internal ketua komisi di DPRD.
Selain insiden kekerasan terkait pengangkatan anggota
DPRD pascaPemilu Legislatif, insiden kekerasan juga terjadi
pada pasca Pemilu Presiden terkait pengangkatan presiden
dan pengangkatan Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Jakarta menggantikan Joko Widodo, gubernur Jakarta yang terpilih sebagai presiden. Front Pembela Islam (FPI), organisasi
keagamaan di Ibukota melakukan aksi demonstrasi
menentang pengangkatan Plt. Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok menggantikan Gubernur Joko Widodo. FPI
menurunkan segenap anggotanya di beberapa penjuru 3 Lihat kajian Perdamaian dan Kebijakan, The Habibie Center, Edisi 07/Juli 2014.
4 Lihat kajian Perdamaian dan Kebijakan, The Habibie Center, Edisi 08/ No-vember 2014.
pusat Jakarta seperti jalan Medan Merdeka Selatan, di Gambir, Cideng, dan Kebon Sirih. Demonstrasi yang bermula lancar berakhir dengan tindakan anarkis melibatkan baku hantam antara 150 anggota FPI dengan pihak kepolisian. Anggota FPI juga membawa senjata tajam dan melakukan perusakan terhadap 7 mobil yang melintas di depan mereka. Massa FPI yang berada di Gambir juga membakar sebuah halte bus di depan stasiun gambir. Aksi anarkis ini berhenti
di saat kepolisian menembakan gas air mata dan menangkap
pelaku kekerasan. Insiden ini mengakibatkan 11 polisi dan 4 anggota FPI terluka. FPI sudah beberapa kali melakukan aksi penolakan terhadap Ahok dengan berdemonstrasi. (Tempo, 4 Oktober 2014) melaporkan bahwa alasan FPI menolak Ahok adalah karena alasan agama dan etnis yang
dinilai akan melakukan diskriminasi terhadap umat Islam
seperti pelarangan kegiatan tablig akbar di Monas, tablig keliling dan pemotongan korban. Selain itu Tempo juga memberitakan bahwa selain FPI, Forum Betawi Rempug menyatakan keberatannya terhadap Ahok terkait pernyataan dan sikap Ahok yang seringkali berkata kasar dan dianggap memprovokasi.
Data SNPK pada periode September-Desember 2014 mencatat 210 insiden dalam kategori tata kelola pemerintahan yang mengakibatkan 1 orang tewas, 254
orang cedera dan 68 bangunan rusak. Kekerasan terkait tata kelola pemerintahan pada periode ini paling banyak terjadi
akibat program pemerintah (30,4%), Harga Komoditas/Subsidi
(26%), pelayanan publik (15,7%), penegakan hukum (11,9%),
korupsi (9,5%), tender (3,8%) dan pemekaran wilayah (2,3%). Presiden Joko Widodo setelah dilantik sebagai presiden
menghadapi tantangan pertama dalam permasalahan
kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). Demonstrasi terhadap
kebijakan kenaikan BBM ini tercatat di 22 provinsi dengan
55 insiden dan mengakibatkan 1 orang tewas, 104 cedera dan 2 bangunan rusak. Data SNPK mencatat hampir seluruh demonstrasi yang berujung pada tindak kekerasan dilakukan oleh mahasiwa kepada pemerintah daerah dan DPRD. Lebih dari 50% korban cedera terjadi di tiga provinsi yaitu Riau (34 korban cedera), Jawa Barat (14 korban) dan Sumatera Barat
(10 korban cedera), sedangkan insiden demonstrasi yang
mengakibatkan satu orang tewas terjadi Sulawesi Selatan.
Insiden kekerasan yang dipicu demonstrasi BBM paling banyak terjadi di provinsi Sulawesi Selatan (15 insiden)
dimana terdapat 14 korban cedera dan salah satu insidennya mengakibatkan satu mahasiswa tewas. Tiga belas insiden
kekerasan terjadi di Kota Makasar bermula dari tanggal
4 November sampai dengan tanggal 27 November 2014, sedangkan sisanya terjadi di Palopo dan Bone. Demonstrasi yang berlangsung 27 hari ini berakhir dengan kematian
seorang mahasiswa yang diduga terhantam benda tumpul
di saat terjadi bentrokan. Bentrokan ini bermula di saat 50 orang mahasiswa berdemo di depan Kantor Gubernur Sulawesi Selatan, jalan Urip Sumoharjo, di Makasar. 11
insiden bentrokan dalam aksi menentang kebijakan BBM di kota Makasar ini melibatkan mahasiswa dengan pihak aparat
kepolisian. Dua insiden lainnya ditempat berbeda terjadi
antara mahasiswa dengan warga kampung pada tanggal
18 November 2014. Sekelompok warga bentrok dengan mahasiswa di depan pintu Universitas Hasanudin karena
warga kesal terhadap aksi mahasiswa yang sering kali menutup
jalan ketika melakukan demonstrasi. Kekesalan warga mencapai titik puncak sehingga bentrokan dan aksi saling lempar batu tidak bisa dihindari. Warga juga melemparkan
bom molotov ke dalam kampus hingga membuat 15 motor
dan 1 ATM terbakar serta ratusan sepeda dan 2 mobil milik mahasiswa rusak. Pada saat yang sama, di depan Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makasar, terjadi bentrokan antara mahasiswa Unismuh dengan warga. Bentrokan ini
juga dipicu oleh aksi demonstrasi mahasiswa yang menutup
jalan warga. Akibatnya dua mahasiswa mengalami cedera terkena anak panah dan 3 motor mengalami kerusakan. Pada periode ini tercatat 327 insiden konflik identitas yang mengakibatkan 23 korban tewas, 384 cedera, dan 204
bangunan rusak. Dalam ketogri ini, data SNPK mencatat
insiden kekerasan didominasi oleh bentrokan antar-kampung (31%), perkelahian pelajar (29%), perkelahian antar kelompok geng (19%), dan perkelahian antar-supporter olah raga (18%)
(Gambar 4).
Lebih dari separuh dari total konflik antar kampung tercatat di Provinsi Sulawesi Selatan (32%) dan NTB (20%). Di Sulawesi Selatan, konflik antar kampung ini terjadi di empat
kabupaten/kota, secara berurutan yaitu Kota Makassar,
Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Palopo, dan Kabupaten Luwu. Sedangkan di Provinsi NTB, konflik antar kampung ini
tercatat di Kabupaten Dompu, Kabupaten Bima, dan Kota
Bima. Konflik antar kampung di kedua provinsi ini telah tercatat berulang kali terjadi.
Menurut catatan data SNPK, 60% insiden bentrokan antar kampung di Provinsi Sulawesi Selatan dipicu oleh persoalan
antar-pemuda, yang tidak ditangani dengan tuntas sehingga terjadi berulang-ulang. Walikota Makassar mensinyalir bahwa persoalan antar-pemuda ini terjadi karena kalangan pemuda yang tidak memiliki aktifitas tetap, sehingga sangat mudah terpancing berbuat negatif (Liputan 6.com, 3 Januari 2014). Pengamat Hukum UMI Prof.DR. Hasbi Ali, SH (Rakyat Sulsel Online, 5 Februari 2013) mengatakan, fenomena bentrokan yang marak terjadi akhir-akhir ini di Makassar sudah masuk pada tahap memprihatinkan. Hal ini dipicu
oleh ketidakpercayaan masyarakat terhadap pihak kepolisian
dalam menangani berbagai masalah sosial masyarakat yang
tidak menimbulkan efek jera.
Di Provinsi NTB, Gravitasi Mataram (Kajian Perdamaian
dan Kebijakan Provinsi NTB, Edisi 1/Desember 2014),5
menyebutkan bahwa konflik antar kampung di Kabupaten
Bima cenderung lebih sering terjadi pada masa usai panen
hasil pertanian antara bulan September-November setiap tahun. Insiden bentrokan sering terjadi pada musim kemarau, dimana masyarakat tidak memiliki aktivitas pertanian. Konflik
tersebut dipicu antara lain oleh persoalan antar pemuda/ pelajar, pencurian, serta tersinggung atas kejadian di tempat
hiburan dan kejadian di tempat pentas musik. Insiden-insden tersebut memicu konflik antar kampung karena solidaritas antarwarga masing-masing kampung.
Temuan tersebut sejalan dengan temuan tim SNPK-THC terkait konflik antar kampung di Kabupaten Lombok Tengah. Disamping itu, tim SNPK-THC mencatat beberapa faktor yang mendorong terus berulangnya konflik antar kampung, misalnya: dendam mendalam antara warga kampung,
persoalan pembangunan yang hanya biasa diakses sebagian kelompok dalam masyarakat, dan pola penanganan kasus
yang tidak efektif dan tidak tuntas6
Sama seperti periode-periode sebelumnya, insiden main
hakim pada periode ini didominasi oleh kekerasan terhadap
pelaku pencurian (71%), kekerasan yang terkait dengan harga diri/kertersingungan (16%), dan kekerasan sebagai
balasan atas pelaku kekerasan sebelumnya (8%) (Gambar
5). Data ini menunjukkan bahwa masyarakat cenderung tidak
membawa kasus kriminal tersebut kepada aparat kemanan tetapi berusaha menyelesaikan masalah tersebut dengan
langsung menghukum pelakunya.
5 Gravitasi Mataram adalah forum LSM yang mengkoordinir tim inti dalam menganalisis konflik kekerasan di Provinsi NTB dengan menggunakan data SNPK. Tim inti ini telah mendapatkan pelatihan substansi data SNPK dan teknik dasar mengolah data SNPK. Tim juga memperkuat analisis tersebut dengan stu-di kualitatif. Selain stu-di Provinsi NTB, THC juga telah membetuk tim inti stu-di Provinsi Kalimantan Barat dan Papua. Pada tahun 2013, THC juga telah melatih staf Kes-bangpol dan Linmas Provinsi Aceh dalam menggunakan data SNPK untuk men-ganalisa koflik kekerasan di Provinsi Aceh
6 Lihat Kajian Perdamaian dan Kebijakan The Habibie Center Edisi 06/Maret 2014
Gambar 4. Lima Urutan Teratas Insiden dan Dampak Konflik Identitas 34 Provinsi di Indonesia (Sept-Des 2014)
Gambar 5. Tiga Urutan Teratas Insiden dan Dampak Main Hakim Sendiri di 34 Provinsi di Indonesia (Sept-Des 2014)
Insiden main hakim sendiri penting diperhatikan karena dapat menjadi pemicu insiden yang lebih besar. Salah satu insiden penting yang dicatat oleh data SNPK adalah bentrokan antar dua dusun bertetangga di Kabupaten Lampung, Provinsi Lampung pada 27 November 2014. Insiden yang mengakibatkan tiga orang cedera dan 94 bangunan rusak
tersebut dipicu oleh kabar bahwa dua orang warga Dusun 1 hilang dan diduga tewas dikeroyok oleh warga Dusun 2
karena dituduh sebagai pencuri. Warga asal kedua warga
yang tewas tersebut melakukan penyerangan hingga terjadi
bentrokan. Insiden ini menunjukkan bahwa insiden main
hakim sendiri bisa menjadi pemicu insiden dan dampak
kekerasan yang lebih besar.
Insiden-insiden main hakim sendiri ini dapat digolongkan ke dalam kekerasan rutin/kekerasan yang terjadi sehari hari. Insiden-insiden semacam ini merebak karena beberapa faktor, misalnya: ketidakteraturan sosial, kemiskinan dan budaya kekerasan, serta rendahnya tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap aparat keamanan dalam menjaga
tatanan dan menciptakan rasa aman. Selain itu, masyarakat
merasa resah dan membalas pelaku kriminal yang sering
bertindak kejam tersebut. Isu kekerasan ini akan dibahas
lebih lanjut dalam bagian kedua kajian perdamaian dan
kebijakan ini.
Insiden konflik separatis menurun sebesar 56% pada periode September-Desember 2014, dari 18 insiden pada periode
lalu menjadi 8 insiden. Disamping itu, dampak tewas dan
cedera juga menurun, masing-masing sebesar 67% dan 76%. Walaupun demikian, beberapa insiden penembakan
atau baku tembak dan penganiayaan masih terus terjadi,
misalnya: penembakan di Pasar Kecamatan Ilaga, Kabupaten Puncak, pada 25 September 2014, yang mengakibatkan seorang anggota TNI tewas. Insiden pembakan lainnya terjadi pada 3 Desember 2014 di depan kantor Bupati
Kabupaten Puncak yang mengakibatkan dua anggota polisi
tewas. Data SNPK periode ini juga tercatat baku tembak di sekitar Bandara Kecamatan Pirime Kabupaten Lanny Jaya pada 17 September 2014, yang mengakibatkan satu anggota
kelompok bersenjata tewas dan seorang lainnya mengalami
luka serius. Tercatat juga insiden penganiayaan oleh lima
orang anggota kelompok bersenjata pada 1 Oktober
2014yang mengakibatkan seorang anggota polisi tewas.7
Berbagai pihak menyebut bahwa konflik separatis di
Papua harus diselesaikan dengan dialog dan pendekatan
kesejahteraan sejak tahun 2010. Pemerintah sendiri telah mengeluarkan Inpres no. 66 tahun 2011 tentang pembentukan Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua
dan Papua Barat (UP4B), diikuti dengan pembentukan desk
Papua di setiap kementerian/lembaga pemerintah lainnya.8
Akan tetapi pembentukan unit dan desk Papua tersebut tidak berjalan efektif. Salah satu indikasi kuat tentang hal tersebut
adalah munculnya usulan untuk menjalankan Otsus Plus dan
masih terjadinya kekerasan di Papua.
7 Selain insiden-insiden tersebut, pada bulan Januari 2015 aparat gabun-gan TNI-Polri menangkap 116 orang anggota kelompok West Papua Interest
Association (WPIA). Kelompok ini mengajak untuk menuntut referendum dan
melakukan peninjauan ulang hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 (Liputan 6.com, 8 Januari 2015)
8 Lihat Kajian Perdamaian dan Kebijakan The Habibie Center Edisi 07/Juli 2014
Presiden Joko Widodo, dalam sambutan perayaan natal nasional di Papua pada 27 Desember 2014, seperti yang dikutip oleh Neles Tebay (Kompas, 6 Januari 2015), menyatakan bahwa “Masalah yang ada di Papua tidak hanya berkaitan dengan ekonomi, sosial, atau politik...” Masalah utama adalah “tidak adanya saling percaya antara rakyat dan pemimpinnya.” Priesiden berjanji akan mencurahkan lebih banyak waktu untuk berdialog dengan masyarakat Papua. Dialog ini sendiri memiliki dimensi yang sangat luas. Neles Tebay (Kompas.com, 27 Februari 2015) memandang bahwa kata “dialog damai” mengandung tiga makna, yaitu:
Pertama, mengingatkan tujuan akhir yang ingin dicapai
melalui dialog Papua. Kedua, menunjuk pada suasana atau kondisi yang dibutuhkan demi dialog Papua. Ketiga, kata ‘damai’ mengisyaratkan agenda. Dialog Papua disebut dialog
damai karena agenda utamanya adalah pembangunan
perdamaian di Tanah Papua. Disamping itu, Neles Tebay
juga menyebutkan bahwa dialog damai perlu mengadopsi
mekanisme yang inklusif. Dengan demikian, tiap kelompok pemangku kepentingan diberikan ruang untuk berdiskusi
secara internal, serta merumuskan dan menyumbangkan
pandangan kolektifnya tentang pembangunan Papua menjadi Tanah Damai. Pastor Jhon Jonga (suarapapua.com, 5 Januari 2014), menegaskan, syarat utama dialog antar
Jakarta dengan orang Papua adalah menempatkan posisi
secara setara dan dilakukan secara terbuka.
Disamping dialog damai yang didengungkan lebih keras
oleh Pemerintahan Joko Widodo, kekerasan yang terjadi di Papua juga terus tercatat. Salah satu insiden penting pada 8 Desember 2014 adalah bentrokan antara aparat TNI dengan masyarakat di Kabupaten Paniai yang mengakibatkan 4 orang tewas dan 16 lainnya cedera. Bentrokan merupakan
kelanjutan dari insiden perkelahian antara aparat dengan warga sehari sebelumnya, yang mengakibatkan seorang
anak berusia 12 tahun terluka. Perkelahian itu sendiri terjadi karena sejumlah pemuda menegur aparat yang tidak menyalakan lampu mobil ketika melintasi kawasan. Teguran
tersebut berakhir dengan perkelahian yang bisa dilerai oleh
warga. Akan tetapi, beberapa aparat kembali ke kawasan itu dan menganiaya salah satu anak tersebut di atas.
Informasi lain menyebutkan bahwa bentrokan tersebut terjadi karena seorang pengendara sepeda motor ditegur
karena lampunya tidak berfungsi ketika melewati pos polisi. Teguran itu menyakiti hati pengendara. Mereka lalu berteriak untuk memanggil teman-teman satu kampung. Tidak lama
kemudian, puluhan warga menyerang dan membakar
kantor kepolisian, Koramil, dan kantor KPUD yang letaknya berdekatan. Menurut Menkopulhukkam polisi berada dalam situasi mendesak, lalu melepaskan tembakan (Tempo.co, 17 Desember 2014)
Berbagai pihak menuntut penyelesaian secara tuntas kasus
di Paniai di atas. Natalius Pigai, Komisioner Komnas Ham (Republika Online, 11 Desember 2014) menyebut bahwa
insiden tersebut adalah kejahatan serius dan meminta
Menkopolhukkam memimpin Investigasi. Akan tetapi, tidak
ada informasi jelas mengenai perkembangan penanganan
kasus tersebut. Kritikan atas penanganan kasus ini telah
(The Jakarta Post, 23 Desember 2014), yang menyatakan
bahwa dengan mengabaikan insiden di Paniai tersebut dan
tidak melakukan investigasi secara serius terhadap aparat, presiden telah gagal membuktikan bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia.
Pesan yang disampaikan Jokowi tentang saling percaya
antara rakyak dan pemimpinnya harus ditindaklanjuti dengan komitmen nyata berbagai pihak terkait Papua. Setiap
pihak harus mulai merancang format dialog yang selama ini
didengung-dengungkan. Disamping itu, kesadaran bahwa
dialog merupakan proses panjang harus terus dijaga, dengan
mempertimbangkan bahwa persoalan pragmatis, politis, dan ideologis harus mendapatkan perhatian yang sama.
1.b Kriminalitas, KDRT dan Kekerasan Aparat
Insiden kriminalitas dengan kekerasan pada periode
September-Desember 2014 tercatat sebanyak 5.088 insiden yang mengakibatkan 564 korban tewas, 3.209 orang cedera, 827 korban pemerkosaan dan 257 bangunan rusak. Jika dibandingkan dengan periode Mei-Agustus 2014, pada
periode ini terjadi penurunan insiden kekerasan (10,8%),
korban tewas (6,1%), korban cedera (4,2%), dan korban pemerkosaan (44,1%). Kenaikan hanya tercatat pada jumlah bangunan (10.3%).
Bentuk kekerasan yang tercatat paling sering terjadi dalam
kategori ini adalah penganiayaan 2.979 insiden yang mengakibatkan 384 tewas, 1935 cedera, dan 31 bangunan rusak. Insiden penganiayaan ini sering terjadi di Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Papua.
Berikutnya, bentuk insiden lain yang tercatat paling
banyak adalah perampokan yang tercatat 1.444 insiden dan mengakibatkan 96 tewas dan 917 cedera. Data SNPK
juga mencatat 827 korban pemerkosaan dalam insiden
kriminalitas ini. Bentuk insiden ini tercatat paling banyak terjadi di provinsi Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Jawa Timur, Jabodetabek, dan Papua.
Kekerasan terkait kriminalitas ini bersama dengan kekerasan main hakim sendiri akan dibahas secara mendalam dalam
bagian kedua publikasi ini.
Data SNPK mencatat insiden KDRT pada periode
September-Desember 2014 sebanyak 685 insiden mengakibatkan 146 orang tewas, 436 cedera dan 101 korban perkosaan. Insiden-insiden KDRT mengalami penurunan sebanyak 6% dan perkosaan sebanyak 37% dibanding dengan periode periode Mei-Agustus 2014 yang lalu. Hampir seluruh insiden KDRT terjadi dalam bentuk penganiayaan (99%). Dari data SNPK di 34 propinsi pada periode September-Desember 2014, 65.8% insiden-insiden KDRT terjadi di sepuluh provinsi yaitu Sumatera Utara (74 insiden), Sulawesi Utara (60 insiden),
Bengkulu (59 insiden), Jawa Timur (52 insiden), Sumatera
Selatan (42 insiden), Papua (35 insiden), Jawa Tengah (34 insiden), Jabodetabek (34 insiden), Kalimantan Timur (32 insiden), Sulawesi Selatan (29 insiden).
Data SNPK mencatat korban tewas terbesar dalam insiden
KDRT adalah bayi/balita, yaitu 95 orang atau 65% dari
total korban tewas dalam kategori ini. Dari data SNPK periode terlihat bahwa anak-anak dan balita menjadi sasaran kekerasan yang dilakukan oleh orangtuanya sendiri. Maraknya pembuangan anak dalam kasus KDRT menunjukan meningkatnya perilaku seksual bebas tetapi tidak dibarengi dengan kesiapan perlaku untuk bertanggungjawab.
Pada periode empat bulan terakhir di tahun 2014 ini,
insiden kekerasan aparat terjadi dalam menegakkan hukum tercatat sebanyak 658 insiden, yang mengakibatkan 71 orang tewas dan 716 cedera. Insiden kekerasan di periode
ini mengalami kenaikan 11%, korban tewas naik 113%, serta
dampak cedera naik 109% dibandingkan dengan periode
empat bulan sebelumnya. Insiden dan dampak kekerasan
aparat tercatat paling banyak di Provinsi Sumatera Selatan
(90 insiden, 14 tewas dan 94 cedera), Jawa Timur (78 insiden,
12 tewas dan 97 cedera)9, Jabodetabek (75 insiden, 11 tewas
dan105 cedera), dan Sumatera Utara (46 insiden, 4 tewas dan 45 cedera).
Bentuk kekerasan yang terjadi di dalam insiden kekerasan aparat adalah penganiayaan (90%) yang yang mengakibatkan 51 orang tewas dan 716 orang cedera Dari total 71 orang tewas akibat kekerasan aparat diantaranya terjadi dalam
penegakan hukum seperti peristiwa perampokan (24 insiden
dan 29 tewas), pencurian (22 insiden dan 25 tewas), razia
lalu lintas (2 insiden dan 4 tewas), penggerebekan narkoba
(2 insiden dan 2 tewas), menengahi perkelahian (2 insiden)
dan lain-lain (9 insiden dan 9 tewas).
Bagian 2. Kekerasan Rutin dan Pembangunan Perkotaan
di Indonesia
Dinamika pembangunan perkotaan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari beragam persoalan dan tantangan. Persoalan
urbanisasi, kemiskinan, kemacetan, kawasan pemukiman kumuh, dan kualitas lingkungan hidup merupakan tantangan
serius yang dihadapi hampir seluruh kota di Indonesia. Di
samping itu, persoalan kekerasan juga menjadi tantangan
besar dalam dinamika pembangunan perkotaan di Indonesia. Data SNPK 2005-2014 mencatat bahwa sebagian besar
insiden kekerasan rutin (routine violence) terjadi di wilayah
perkotaan, khususnya di kota-kota besar di Indonesia.
Hal ini sejalan dengan temuan Imbusch et al (2011) yang menyebutkan bahwa persoalan kekerasan menjadi tantangan
yang seringkali dihadapi oleh kota-kota di hampir seluruh dunia.
Persoalan kekerasan rutin di perkotaan patut menjadi perhatian penting karena arah pembangunan akan cenderung terpusat di wilayah perkotaan di Indonesia. Dalam Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035 (BPS, 2013), disebutkan bahwa proyeksi tingkat urbanisasi di Indonesia akan mencapai 66,6% pada tahun 2035. Hal ini sejalan dengan
studi Bank Dunia dalam East Asia’s Changing Urban Lanscape tahun 2015, yang menyebutkan bahwa 68% penduduk akan
memenuhi kota-kota di Indonesia. Proyeksi tersebut akan mendorong persoalan-persoalan perkotaan di Indonesia
menjadi semakin kompleks, termasuk fenomena kekerasan
rutin. Ketika tingkat urbanisasi meningkat, maka
insiden-9 Lihat Kajian Perdamaian dan Kebijakan The Habibie Center edisi ke 08/ November 2014, halaman 8.
insiden kekerasan rutin sangat potensial juga ikut meningkat.
Kekerasan terus meningkat akan menjadi ancaman bagi
pembangunan perkotaan di Indonesia. Kondisi tersebut
merupakan tantangan besar bagi pemerintah maupun para
pemangku kepentingan lain.
Kekerasan rutin yang marak di wilayah perkotaan merupakan potret yang tak terlepas dari persoalan-persoalan dasar
perkotaan.10 Kondisi tersebut seakan menjadi gambaran
umum di hampir seluruh dunia. Vanderschueren (2001)
menyebutkan bahwa hampir 60% penduduk di perkotaan
di dunia kerap menjadi korban kekerasan. Menurut Vanderschueren, insiden kekerasan di perkotaan kerap terjadi secara spontan, seperti kekerasan terhadap para pelaku pencurian. Fenomena kekerasan di perkotaan seringkali
di dorong beberapa faktor utama, yakni lemahnya hukum (lawlessness), pendapatan masyarakat yang rendah, tidak
adanya kontrol sosial, banyaknya jumlah kelompok pemuda
yang frustasi, dan terbatasnya upaya-upaya proteksi terhadap warga. Selain faktor-faktor tersebut, Vanderschueren (2001)
melihat bahwa fenomena urbanisasi yang cukup pesat sejalan dengan peningkatan kekerasan di perkotaan (urban
violence).
Lebih lanjut, fenomena kekerasan rutin yang marak
diperkotaan kerap luput dari pengamatan ataupun analisis
para peneliti maupun penggiat perdamaian (Barron, et al.
2009). Barron et al mendefinisikan kekerasan rutin sebagai
kekerasan yang secara frekuensi sering terjadi (seperti aksi
main hakim sendiri terhadap pelaku pencurian) dan bukan
merupakan bagian dari konflik besar serta dampak per insiden yang relatif kecil. Umumnya, insiden-insiden kekerasan rutin dipicu oleh isu-isu keseharian di tengah masyarakat dan bukan kekerasan yang didorong oleh persoalan identitas, seperti
etnis, agama, atau wilayah. Barron et al menambahkan
bahwa karakteristik utama kekerasan rutin adalah: Pertama,
skala kekerasan relatif kecil, namun sering terjadi dan jika diakumalasi dampak tewas akibat kekerasan rutin cenderung
10 Persoalan-persoalan dasar perkotaan antara lain, kemiskinan, urbanisasi, dan kekerasan (Researching The Urban Dilemma: Urbanization, Poverty And Violence, 2012)
besar. Kedua, meskipun kekerasan rutin terjadi dalam skala
yang kecil, namun memiliki akibat yang cukup serius jika
terjadi secara terus-menerus. Ketiga, terkadang kekerasan
rutin juga dapat memicu kekerasan yang berkepanjangan di suatu wilayah.
Tadjoeddin (2014) mendefinisikan kekerasan rutin (routine-everyday violence) sebagai fenomena kekerasan yang tidak memiliki tujuan politik yang ekspilisit, seperti separatisme
atau upaya penggulingan rezim berkuasa.11 Akan tetapi, ia
menekankan bahwa kekerasan rutin tidak hanya sebagai suatu tindak kriminal biasa, meskipun terdapat aspek kriminalitas di dalamnya. Tadjoeddin (2014) juga menyebutkan bahwa kekerasan rutin seringkali terjadi dalam bentuk main hakim sendiri terhadap para pelaku kriminal. Hal senada juga
disebutkan oleh Imbusch et al (2011) bahwa umumnya
kekerasan rutin (everyday violence) terjadi dipicu oleh
persoalan-persoalan interpersonal, bukan terkait perang atau konflik bersenjata.
Jika dilihat analisis terhadap data SNPK sepanjang tahun
1998-2004, kekerasan rutin telah mengemuka di kehidupan sehari-hari masyarakat. Akan tetapi, kekerasan ini luput dari perhatian karena berbagai pihak memusatkan perhatian pada konflik-konflik komunal berskala besar di beberapa provinsi di Indonesia. Pada periode 2005-2014, dinamika kekerasan mengalami perubahan, dimana kekerasan rutin
terlihat semakin marak, sedangkan tren kekerasan terkait
konflik identitas dan separatisme mengalami penurunan
yang sangat signifikan (Gambar 6).12 Kondisi tersebut
menunjukan secara gamblang bahwa fenomena kekerasan
rutin merupakan satu isu/persoalan yang dominan terjadi pada lebih dari satu dekade terakhir.
11 Tadjoeddin (2014) menyebutkan bahwa konflik kekerasan di Indonesia dapat dikategorikan menjadi dua, yakni episodik dan rutin. Kekerasan episodik terdiri dari separatis dan kekerasan etnis. Karakter kekerasan episodik berkaitan dengan konsentrasi insiden baik menurut waktu dan lokasi. Tak hanya itu, in-siden-insiden kekerasan tersebut memuncak pada awal transisi demokrasi dan menunjukan pola yang jelas terkonsentrasi di beberapa daerah.
12 Sembilan provinsi pada periode 1998-2004 adalah Aceh, Kalimantan Ba-rat, Kalimantan Tengah, NTT, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Sedangkan pada periode 2005-2014, sembilan provinsi pada periode sebelum-nya ditambah dengan Lampung, DKI Jakarta, NTB, dan Kalimantan Timur.
Untuk memahami persoalan tersebut, Kajian Perdamaian dan
Kebijakan THC kali akan membahas lebih dalam fenomena
kekerasan rutin sepanjang tahun 2014 di Indonesia. Terdapat dua alasan utama tim SNPK-THC untuk mendalami kekerasan rutin sepanjang tahun 2014, yakni ketersedian data SNPK
yang telah mencakup seluruh provinsi di Indonesia.13 Hal ini
akan memberikan gambaran menyeluruh tentang fenomena
kekerasan rutin. Alasan kedua adalah tim SNPK-THC mencoba untuk memotret terkait fenomena kekerasan rutin terkini dengan beragam karakteristik. Lebih lanjut, kajian ini akan mencoba untuk melihat pola dan tren kekerasan rutin yang kerap terjadi di wilayah perkotaan Indonesia. Tak hanya itu, kajian ini juga akan membahas bagaimana insiden-insiden kekekerasan rutin dapat marak terjadi di suatu wilayah, sedangkan di wilayah lain tidak terjadi. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap maraknya insiden-insiden kekerasan rutin di suatu wilayah juga menjadi penting untuk dilihat dalam kajian ini. Hal yang tidak kalah penting dalam kajian ini
adalah perumusan kebijakan yang tepat untuk menangani
fenomena kekerasan rutin di Indonesia, khususnya di wilayah
perkotaan sehingga berbagai pihak dapat mengambil
pelajaran dari hasil kajian ini.
Tim SNPK-THC melakukan tiga langkah untuk dan menganalisa
fenomena kekerasan rutin ini. Pertama; mengolah dan
menganalisa data SNPK sepanjang tahun 2014, kedua;
melakukan studi pustaka terkait dengan studi-studi tentang kekerasan rutin, baik di Indonesia maupun di negara lain,
dan ketiga; melakukan studi lapangan di wilayah Jabodetaek
dan kota Manado, Sulawesi Utara (alasan memilih kedua wilayah tersebut akan dijelaskan pada bagian selanjutnya). Di Jabodetabek, studi lapangan dilakukan pada 16-28 Februari 2015, sedangkan di kota Manado pada 20-28 Februari 2015. Tim berhasil mewawancari 24 informan di Jabodetabek 21 informan di kota Manado. Pihak-pihak yang diwawancarai
adalah perwakilan pemerintah, aparat keamanan, akademisi,
aktivis LSM, pelaku dan korban kekerasan, dan masyarakat umum di kedua wilayah tersebut.
2.1. Potret Kekerasan Rutin di Indonesia
Data SNPK menunjukan sebanyak 16.418 insiden kekerasan rutin terjadi sepanjang 2014 yang mengakibatkan 1.720 tewas, 12.374 cedera, dan 1.012 bangunan rusak. Jika dilihat tren per bulan, fenomena kekerasan rutin cenderung
terjadi secara dinamis sepanjang tahun 2014 (Gambar 7).
Pada gambar X1 terlihat bahwa intensitas kekerasan paling
besar terjadi pada bulan Mei dengan 1.622 insiden yang mengakibatkan 162 tewas, 1.089 cedera, dan 87 bangunan rusak. Di samping itu, intensitas dampak tewas dan bangunan rusak akibat kekerasan rutin paling banyak terjadi di bulan Oktober jika dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Sebanyak 1.433 insiden kekersan terjadi yang mengakibatkan 167 tewas, 1.126 cedera, dan 137 bangunan rusak.
Potret fenomena kekerasan rutin sepanjang tahun 2014
menunjukan bahwa mayoritas insiden (99%) terjadi dalam 13 Pada tanggal 2 Desember 2014, Puan Maharani selaku Menteri
Pemban-gunan Manusia dan Kebudayaan telah meluncurkan data SNPK yang mencakup
seluruh provinsi di Indonesia.
skala kecil.14 Salah satu insiden berskala kecil adalah insiden
penganiayaan terhadap satu karyawan swasta yang dilakukan oleh teman kerja korban di Kabupaten Merauke, Papua di
bulan November. Insiden tersebut dipicu kesalahpahaman
karena korban diduga berbicara dengan nada keras terhadap
pacar pelaku. Akibat insiden tersebut korban mengalami luka-luka karena dianiaya pelaku. Meskipun demikian, fenomena kekerasan rutin terkadang dapat juga terjadi dalam skala besar, walaupun dalam jumlah yang sangat kecil.
Salah satu contoh insiden yang terjadi dalam skala besar
adalah bentrokan antara mahasiswa Universitas Negeri Manado (UNIMA) asal Papua dan warga desa Tataaran Dua, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Insiden tersebut
dipicu oleh teguran warga terhadap para mahasiswa yang
diduga mabuk dan meresahkan pemukiman mereka. Teguran
tersebut mendorong aksi penyerangan mahasiswa terhadap
warga yang berujung bentrokan antara dua pihak tersebut.
Insiden tersebut mengakibatkan satu tewas, empat cedera,
dan 30 bangunan rusak. Berdasarkan data SNPK sepanjang tahun 2014, terdapat 21 insiden berskala besar yang mengakibatkan 38 tewas, 154 cedera, dan 143 bangunan rusak.
Insiden kekerasan rutin dilatarbelakangi oleh beragam persoalan. Data SNPK tahun 2014 mencatat sebagian besar
(21%) insiden kekerasan yang terjadi adalah penghakiman
massal terhadap para pelaku pencurian. Insiden-insiden kekerasan rutin juga dipicu oleh tersinggung atau harga diri. Di samping itu, data SNPK juga mencatat maraknya
insiden-insiden kriminalitas dengan kekerasan (violent crime) dan
perkosaan. Insiden kriminalitas dengan kekerasan tersebut
mengakibatkan 28% dari total korban tewas dalam kekerasan
rutin. Persoalan yang tidak kalah penting dalam fenomena kekerasan rutin adalah maraknya warga-masyarakat
melakukan aksi balas dendam yang dipicu oleh kekerasan
yang terjadi sebelumnya. Berdasarkan data SNPK, insiden balas dendam tersebut tidak hanya mengarah langsung
terhadap pihak yang diduga melakukan kekerasan, akan
tetapi juga mengarah pada bangunan/properti yang dianggap terkait. Ini dapat dilihat dengan 305 bangunan rusak yang terjadi dalam insiden-insiden balas dendam tersebut. Data SNPK menunjukkan bahwa kekerasan rutin dapat muncul
dalam dua pola utama. Pertama, insiden-insiden kekerasan
14 Data SNPK mengkategorikan insiden menjadi dua, yakni insiden berskala besar dan kecil. Insiden berskala besar adalah insiden yang mengakibatkan setidaknya tiga tewas dan/atau 10 cedera dan/atau 15 bangunan rusak.
Gambar 7. Insiden dan Dampak Kekerasan Rutin di Indonesia Tahun 2014
rutin dapat terjadi secara spontan dan tidak direncanakan sebelumnya. Insiden-insiden tersebut seringkali merupakan tindakan reaktif warga terhadap sesuatu penyimpangan atau kejahatan di lingkungan sekitar. Ini acapkali dapat dilihat, seperti dalam kasus-kasus main hakim sendiri terhadap
pencuri yang tertangkap, kekerasan terhadap para pelaku
kecelakan lalu lintas. Kedua, insiden-insiden kekerasan
rutin juga dapat terjadi secara spontan, namun melibatkan mobilisasi massa. Biasanya, insiden tersebut dipicu oleh persoalan-persoalan yang terus berulang di tengah masyarakat. Persoalan tersebut seringkali membuat resah masyarakat dan tidak dapat ditangani oleh pihak pemerintah atau aparat keamanan, seperti insiden amuk massa terhadap terduga dukun santen. Tak hanya itu, pengalaman konflik di
antara kelompok warga juga kerap mendorong munculnya aksi mobilisasi massa yang spontan yang diawali dengan
insiden-insiden kekerasan rutin.
Tabel 2. Jenis Kekerasan Rutin di Indonesia Tahun 2014
Kekerasan Rutin Insiden Dampak Kekerasan
Tewas Cedera Bangunan Rusak Kekerasan terhadap Pelaku Pencurian 3.477 257 3.965 49 Kekerasan Akibat Tersinggung 2.967 405 2.971 163 Kriminalitas dengan Kekerasan 2.917 490 2.147 93 Perkosaan 2.799 38 234 26
Aksi Balas Dendam
atas Penganiayan 2.185 281 1.658 305
Kekerasan terkait
Kasus Perzinahan 573 95 473 34
Aksi Balas Dendam
atas Perusakan 482 5 77 236 Kekerasan Akibat Mabuk 421 59 360 23 Kekerasan Terkait Hutang-Piutang 246 62 177 11 Kekerasan terhadap
Pelaku Tabrak Lari 121 10 180 8
Kekerasan terkait Penegakan Hukum 87 0 61 56 Penculikan 60 4 23 0 Kekerasan terkait Kasus Perdukunan 37 8 15 8 Kekerasan terkait Kasus Narkoba 27 4 9 0 Kekerasan terkait Kasus Maksiat 19 2 24 0 Total 16.418 1.720 12.374 1.012
Lebih lanjut, insiden kekerasan rutin kerap terjadi dalam tiga bentuk utama, yaitu: penganiayaan, pengeroyokan,
dan perusakan (Tabel 3). Data SNPK menunjukan bahwa
penganiayaan (61%) merupakan bentuk kekerasan yang dominan terjadi, yang umumnya terjadi antara individu
atau beberapa individu. Berdasarkan data SNPK tahun 2014, insiden penganiayaan biasanya dipicu oleh hal-hal sepele yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, seperti tersinggung akibat tindakan atau ucapan pihak lain. Akan tetapi, insiden-insiden penganiayaan yang dipicu hal sepele tersebut secara kumulatif menyumbang dampak tewas yang sangat signifikan, yaitu 69% dari total dampak tewas dalam kekerasan rutin.
Selanjutnya, pengeroyokan tercatat sebanyak 24% dari total insiden kekerasan rutin, yang sebagian besar merupakan respon terhadap tindakan kriminal kecil (petty crime).
Berdasarkan data SNPK, insiden pengeroyokan sering dilakukan oleh beberapa individu atau kelompok masyarakat
terhadap para pelaku pencurian yang tertangkap. Salah satu
contoh insiden tersebut adalah aksi pengeroyokan yang dilakukan sekelompok warga terhadap seorang yang diduga pencuri ayam di Kecamatan Panakkukang, Kota Makassar,
Sulawesi Selatan pada Agustus 2014. Di samping itu,
insiden-insiden pengeroyokan juga marak terjadi sebagai upaya atau aksi balas dendam terhadap pelaku kekerasan yang
terjadi sebelumnya. Seperti pada insiden pengeroyokan
yang dilakukan oleh sekelompok warga desa Sepuh Kiriman terhadap seorang warga desa Tambak Oso di Kabupaten
Sidoarjo, Jawa Timur pada Mei 2014. Insiden pengeroyokan
tersebut merupakan aksi balasan atas penusukan terhadap
tiga warga Sepuh Kiriman sehari sebelumnya.
Tabel 3. Bentuk-bentuk Kekerasan Rutin di Seluruh Provinsi di Indonesia Sepanjang Tahun 2014
Bentuk
Kekerasan Insiden
Dampak Kekerasan Tewas Cedera Bangunan Rusak Penganiayaan 10.047 1.185 6.036 93 Pengeroyokan 4.016 276 4.853 21 Perusakan 1.074 7 94 614 Perkelahian 859 221 903 10 Bentrokan 231 23 389 115 Penculikan 115 7 36 0 Demonstrasi Anarkis 26 0 37 5 Kerusuhan 17 0 12 146 Serangan Teror 17 0 2 7 Blokade 12 1 10 0 Sweeping 4 0 2 1 Total 16.418 1.720 12.374 1.012
Selain itu, perusakan juga menjadi bentuk kekerasan yang
menonjol dalam insiden-insiden kekerasan rutin. Berbeda dengan penganiayaan dan pengeroyokan, insiden-insiden perusakan dapat dalam tiga kondisi, yakni (1) terjadi secara spontan tanpa ada persoalan yang terjadi sebelumnya; (2)
respon atau aksi balas dendam terhadap insiden kekerasan
sebelumnya; dan (3) kekecewaan terhadap proses-proses penegakan hukum. Insiden perusakan spontan biasanya terjadi ketika warga atau kelompok warga yang sedang
dalam pengaruh alkohol melakukan perusakan terhadap
bangunan di sekitar mereka. Sedangkan, perusakan sebagai
aksi balas dendam kerap dilakukan oleh sekelompok warga
yang tidak terima dengan tindakan penganiayaan yang terjadi sebelumnya. Dari analisis data SNPK, aksi perusakan tidak hanya menyasar bangunan milik warga yang melakukan
penganiayaan, namun kerap menjelar ke bangunan lainnya, bahkan dapat menyasar kepada seluruh bangunan di satu
wilayah komunitas. Seperti pada insiden pengrusakan yang dilakukan warga kampung Mata Air di kampung Tanah Putih, Kabupaten Manggarai, NTT pada Oktober 2014. Insiden