• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prof. Nasronudin dan Optimisme Membangun Keunggulan Riset

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Prof. Nasronudin dan Optimisme Membangun Keunggulan Riset"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

Prof.

Nasronudin

dan

Optimisme

Membangun

Keunggulan Riset

UNAIR NEWS – Prof. Dr. Nasronudin, dr., Sp.PD, K-PTI, FINASIM lahir di Ponorogo dan menyelesaikan pendidikan dasar hingga menengah di kota reog tersebut. Selama ini, Guru Besar Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga (UNAIR) ini selama ini bergiat di spesialisisasi penyakit dalam dengan sub spesialis penyakit infeksi. Sosoknya menjadi rujukan dari banyak pertanyaan seputar penyakit populer belakangan ini antara lain Zika, demam berdarah dengue, HIV/AIDS, kaki gajah, malaria, tifoid, toksoplasma, dan lain sebagainya.

Sejak dulu, tamatan pendidikan dokter Universitas Brawijaya pada 1983 ini sudah moncer. Seusai resmi menjadi dokter, dia langsung mendaftar CPNS dan diterima di Departemen Kesehatan. Dia ditempatkan di Rumah Sakit Umum Provinsi Riau, Pekanbaru, hingga 1984. Setahun kemudian, dia diangkat sebagai PNS Pusat dan mengabdi di RSU Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.

Enam bulan kemudian, dia didaulat menjadi kepala Puskesmas Sedanau Kecamatan Bunguran Barat. Lantas, pada 1987, dipindahkan ke Puskesmas Dabosingkep yang memiliki fasilitas rawat inap. Melihat perjalanan di awal pengabdiannya, bisa menjadi cermin betapa pengalaman pemilik 22 penghargaan ini tidak perlu diragukan. Bahkan, sejak usianya masih tergolong muda.

Pada 1991, Nasronudin melanjutkan pendidikan dokter spesialis di bagian ilmu penyakit dalam RSUD Dr. Soetomo – FK UNAIR dan lulus pada 1996. Pada 1997, dokter teladan provinisi Riau pada 1987 ini menjalankan tugas wajib kerja sarjana kedua di RSU Pembalah Batung Amuntai, Kalimantan Selatan. Pada 1999, bertolak ke Surabaya sebagai staf di Bagian-SMF Imu Penyakit

(2)

Dalam RSUD Dr. Soetomo – FK UNAIR dan berlangsung hingga saat ini.

Saat masih menjadi staf, Nasronudin menyempatkan diri untuk melanjutkan studi di program doktor di Pascasarjana UNAIR periode September tahun 2002. Dua tahun tujuh bulan setelahnya, dia dinyatakan lulus sebagai wisudawan terbaik dengan predikat cumlaude. Sementara gelar konsultan penyakit tropik dan infeksi diperoleh pada 2003. Pada tahun 2004, Nasronudin memenangkan Young Investigator Award di Kyoto Jepang.

Nasronudin memrakarsai dan menjadi kepala UPIPI (Unit Perawatan Intermediet dan Penyakit Infeksi) RSUD Dr. Soetomo – FK UNAIR pada periode 2004-2009. Penulis belasan buku di bidang penyakit dalam dan infeksi yang banyak dijadikan rujukan dunia kedokteran/kesehatan ini menjabat Ketua Institute Of Tropical Disease (ITD) pada 2008-2015. Saat ini, dia dipercaya sebagai Direktur RS Universitas Airlangga sekaligus Direktur Utama Institut Ilmu Kesehatan (Airlangga Health Science Institute).

“Indonesia memiliki kekayaan mikroorganisme, flora, fauna, dan aspek-aspek lain yang dapat menjadi modal pengembangan ilmu kedokteran. Semua itu merupakan media yang representatif untuk penelitian di bidang pencegahan penyakit, diagnosis penyakit, pengujian obat, pembuatan obat, dan sebagainya. Negeri ini harus optimistis kalau bisa unggul di level dunia,” ujar dia. Pada beberapa tahun yang lalu, Nasronudin bersama dengan tim peneliti dari berbagai universitas di Indonesia dan Australia berkolaborasi untuk membuat obat herbal antidengue. Pada tahun 2013, UNAIR meluncurkan informasi resmi mengenai hasil metode dan uji klinis fase III. Sampai awal tahun 2016, tim peneliti sudah mengajukan ijin edar terhadap obat tersebut ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). (*)

(3)

Anak Kampung Nelayan dari

Tarakan

Jadi

Wisudawan

Terbaik

UNAIR NEWS – Menjadi bagian dari sivitas akademika Universitas Airlangga membuat Sam Sam Eka Bada, anak nelayan di pesisir Tarakan Kalimantan Utara, terus berpacu lebih giat. Usaha dan kerja kerasnya selama studi di UNAIR pun terbayar dengan berhasil menyabet gelar wisudawan terbaik dengan nilai IPK 3,95.

Anak pertama dari empat bersaudara tersebut menuturkan, selama studi ia harus berlari dalam proses pembelajaran, karena tidak mudah baginya yang berasal dari keluarga nelayan yang jauh di kota kecil Tarakan beradaptasi dengan mahasiswa lainnya.

“Namun berkat bertukar pengetahuan yang diberikan dari teman-teman serta para dosen alhamdulillah akhirnya saya sadar akan pentingnya bidang keilmuan K-3 yang saya tekuni,” terangnya. Laki-laki kelahiran Banyuwangi, 19 Juli 1992 tersebut mengangkat tesis dengan judul “Analisis Hubungan Paparan Benzena dan Kadar Trans, Trans Muconic Acid (Tt-Ma) Urin dengan Profil Darah Pengrajin Sepatu di Kelurahan Tambak Oso Wilangun Surabaya”.

Alasannya, mengambil riset tersebut karena implementasi dari perhatian Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K-3) bagi para pekerja yang bekerja di sektor industri informal sangatlah kurang. Untuk itulah, dalam pengerjaan tesisnya, ia berfokus pada penelitian dan edukasi pekerja.

(4)

cara bekerja yang aman bagi kesehatan hingga memberikan contoh formulasi makanan yang dapat mereduksi substansi bahan toksik bagi tubuh pekerja,” terangnya.

Di akhir, laki-laki yang hobi menikmati beragam kuliner dan sepakbola tersebut memiliki cara untuk menjadi mahasiswa yang berprestasi. Salah satunya yakni menjadikan segala hal dalam kulih dilakukan secara totalitas dan sungguh-sungguh.

“Dan hal yang terpenting adalah “Habluminallah wal Habluminannas” selalu dijaga dengan baik, Insya Allah everything’s going to be OK,” pungkasnya. (*)

Penulis : Nuri Hermawan Editor : Defrina Sukma S.

Prof. H.J. Glinka, Sang

Filantropi Ilmu Antropologi

UNAIR

ASRAMA Biara Soverdi di Jl. Polisi Istimewa Kota Surabaya, suatu sore. Seorang laki-laki berkebangsaan Polandia duduk di kursi putar sambil menatap layar komputernya. Disampingnya tergeletak sebungkos rokok filter kesukaannya. Ia ambil sebatang demi sebatang, lalu dinyalakan dan dihisapnya, habis. Prof. Dr. Habil Josef Glinka, SVD sangat menikmati sekali suasana sore hari itu.

Pria kelahiran Chorzow, Polandia, 7 Juni 1932 yang akrab disapa Pater Glinka itu, bersemangat sekali ketika mengisahkan pergulatannya dalam mengembangkan ilmu antropologi ragawi di Indonesia, khususnya di Universitas Airlangga (UNAIR)

(5)

Surabaya. Kepada UNAIRNEWS yang menemani di sore itu, Romo Glinka agak keberatan disebut “Bapak Antropologi”, walau saat ini tokoh senior Antropolog yang ada adalah dia.

”Bukan saya. Yang tepat sahabat saya, Lie Gwan Liong. Dia yang merintis jurusan Antropologi di FISIP UNAIR. Karena Gwan Liong juga akhirnya saya sampai di sini,” katanya. Lie Gwan Liong yang dimaksudkan adalah yang kemudian lebih kita kenal dengan Adi Sukadana.

Sepeninggal Prof. Dr. Teuku Jacob (UGM, yang wafat tahun 2007 dalam usia 77 tahun), kini di usia 84 tahun Prof. Glinka adalah Guru Besar Antropologi Ragawi paling senior di Indonesia. Hanya saja, Prof. Teuku Jacob sudah “melahirkan” Professor baru yaitu Prof. Etty Indriati, sedangkan Prof. Glinka dalam 27 tahun mengabdi sebagai Guru Besar Antropologi FISIP UNAIR belum menghasilkan professor, tetapi sudah melahirkan 13 orang Doktor bidang Ilmu Antropologi.

”Mudah-mudahan dalam waktu dekat, diantara 13 Doktor itu segera ada yang menjadi Professor Antropologi di UNAIR,” ujar Prof. Glinka sangat berharap.

30 Tahun di Surabaya

H.J. Glinka muda datang ke Indonesia pada 27 Agustus 1965. Ia datang karena informasi dari seorang diplomat Polandia di Jakarta bahwa ada seorang antropolog yang menikah dengan wanita Polandia saat studi di Moskow. Dialah Prof. Ave, ahli antropologi budaya. Lalu ia mereferensikan kepada Glinka untuk datang ke Universitas Indonesia menemui dr. Munandar di Bagian Anatomi. Munandar bukan ahli antropologi tetapi pernah melakukan penelitian di Kalimantan, dan ia merasa terkejut dengan kedatangan Glinka.

Setelah berdialog, Munandar berkisah bahwa di Surabaya ada temannya, yaitu Lie Gwan Liong di Bagian Anatomi FK UNAIR. Gwan Liong mengundang Glinka ke Surabaya. Suatu hari di ruang Anatomi FK UNAIR tiba-tiba para staf ”kaget”: “Kok ada Londo

(6)

baru” (karena sebelumnya pernah ada “Londo” yang lain yaitu Prof. Snell). Gwan Liong yang kemudian dikenal dengan nama Adi Sukadana, mengaku senang dengan kehadiran Glinka dan langsung mengajaknya makan siang di rumahnya.

”Adi merupakan keluarga Indonesia pertama yang saya datangi. Dia seorang dokter yang rajin belajar antropologi dari Prof. Snell (sebelum pulang dari Indonesia),” kenang Prof. Glinka. Kemudian Pastor lulusan Seminari Tinggi SVD di Pieniezno (Polandia) tahun 1957 ini pergi ke Flores untuk memenuhi Romo Yosef Diaz Viera yang merekrut banyak Pastor untuk ditugaskan di sana, sekaligus melanjutkan jejak pamannya untuk mengajar di Seminari Tinggi Ledalero, Flores (1966-1985). Selama di Flores, setiap tahun Glinka mengunjungi Adi Sukadana di Surabaya. Karena Glinka adalah Antropolog lulusan Universitas Mickiewicz, Poznan, Polandia, yang kebetulan disertasi doktoralnya mengenai Indonesia, maka dirayulah dia untuk bergabung dalam organisasi Anatomi Indonesia yang didalamnya antara lain ada Adi Sukadana dan Teuku Yacob.

Supaya lebih integral, lalu Adi mengajak untuk menggabungkan antara antropologi budaya yang ia kuasai dengan bio-antropology yang dikuasai Glinka. Setelah cukup lama menunggu “proses”, peraih Profesor dari Uniwersytet Jagiellonski, Krakow tahun 1977 ini diajak bergabung di Bagian Anatomi UNAIR. Maka tahun 1984 Prof. Glinka datang ke UNAIR, dan ternyata SK pembentukan Departemen Antropologi UNAIR sudah turun, kemudian tahun 1985 Jurusan Antropologi FISIP UNAIR resmi dibuka.

“Selanjutnya bulan Juli 1985 saya pindah ke Surabaya sampai saat ini. Jadi saya tinggal di Surabaya sudah 30 tahun lebih,” tuturnya seraya menunjukkan raut gembiranya karena 50 tahun kehadirannya di Indonesia baru saja dipestakan di Flores, walau ia tidak bisa datang kesana.

(7)

pengembangan ilmu antropologi di Indonesia, khususnya selama 27 tahun di UNAIR, tahun 2012 Prof. Glinka minta pensiun karena fisik yang sudah tidak kuat untuk naik-turun tangga. Kendati demikian, Prof. Glinka masih sering dimintai konsutasi, sharing keilmuan, penguji eksternal dalam ujian doktor, seminar, dsb.

Prof. H.J. Glinka bersama kader-kader Antropolog yang dibimbingnya. (Foto: Istimewa)

PERCAKAPAN dengan Prof. Glinka:

Apa motivasi Anda sampai betah di UNAIR?

Motivasi saya karena Adi yang minta, dan saya bisa membantu. Misi yang lain tidak ada. Pertimbangan utama saya adalah pengembangan antropologi. Karena itu tahun 1984 saya minta Adi menulis surat ke bos saya di Roma. Ternyata beliau menyetujui, maka Februari 1984 saya pindah ke Surabaya.

Bagaimana proses awal dalam adaptasi mengajar di UNAIR?

(8)

saya mengajar di seminari di lingkungan Katolik, siswanya laki-laki. Kemudian saya datang disini tetapi tidak tahu siapa mahasiswa yang Muslim, Kristen, Katolik, juga ada cewek dan laki-laki. Ritmenya beda dari yang di Flores. Lalu saya dengan Adi membagi kuliah. Tentu saja jatah mengajar saya banyak, sebab dosen yang lain muda-muda, belum lulus, dan kebanyakan bukan dari antropologi. Praktis kami berdua saja. Tetapi bersyukur pelan-pelan Jurusan Antropologi berkembang. Bagaimana liku-liku dalam berjuang untuk Antropologi UNAIR? Dalam minggu-minggu awal kami mengajar 14 jam/minggu. Saya juga menulis hand out sendiri untuk mahasiswa. Onny Joeliana, Totok (Toetik Kusbardiati), Myta (Myrtati Dyah Artaria) antara lain mahasiswa angkatan pertama. Pada suatu waktu tahun 1990 ada tragedi; Adi Sukadana sakit ketika sedang di lapangan dalam penelitian di Banyuwangi. Sempat mendapat perawatan di RS tetapi dalam beberapa hari kemudian Adi meninggalkan kita untuk selamanya.

Setelah itu situasi berubah total. Saya terpaksa mengambilalih semua mata kuliah yang diajarkan Adi, baik yang di FK, di FKG dan di FISIP. Jadi berat sekali. Akhirnya saya pergi ke Rektor, saat Rektor UNAIR Prof. Dr. Soedarso Djojonegoro.

Kepada Rektor saya bertanya: ”Apakah Antropologi UNAIR akan mati bersama saya?” Dijawab “Oh tidak, Antro harus terus berkembang”. “Kalau begitu beri saya asisten”. Waktu itu Myta dan Onny sudah selesai skripsi. Saya maunya keduanya, tetapi dibilang jatahnya hanya satu, maka Myta yang masuk. Itu mungkin karena Jakarta melihat bahwa Antropologi masih merupakan jurusan baru. Setelah ada asisten maka beban saya sedikit lebih ringan.

Siapa kira-kira kader Prof. Glinka untuk Antropologi UNAIR kedepan?

Setelah 1,5 tahun kemudian, saya dapatkan Totok (Toetik Kusbardiati). Kemudian Myta sekolah ke Amerika, dan Totok

(9)

bersama saya meneruskan mengajar. Setelah saya dorong terus, akhirnya Totok juga mau belajar. Ia memilih ke Hamburg, Jerman, dan lulus dengan predikat summa cumlaude. Peran Totok dalam pengembangan dan pengabdian di bidang antropologi juga bagus, terutama sepulang dari Jepang dan Kualalumpur serta membawa Sertifikat Internasional Antropologi Forensik.

Ketika di Indonesia ada musibah besar dimana-mana Totok sering d i m i n t a m e m b a n t u b e r s a m a T i m D V I ( D i s a s t e r V i c t i m Investigation), karena yang ahli dibidang itu di Indonesia hanya dua; dua-duanya perempuan. Karena itu sepeninggal Prof. Teuku Yacob, maka pusat antropologi di Indonesia saya kira bukan lagi di Yogyakarta tetapi di Surabaya (UNAIR).

Harapan Anda terhadap masa depan Jurusan Antropologi UNAIR? Sejak beberapa tahun lalu saya sudah bilang ke Dekan dan Rektor, yaitu peremajaan! Karena orang yang mau menggantikan saya ini perlu sepuluh tahun, perlu doktoral, spesialisasi, dsb. Itu yang saya rasa kurang. Saya berharap yang masih bertahan menekuni antropologi hendaknya tetap bertahan dan berkembang. Saya optimis Antropologi UNAIR akan segera melahirkan Professor baru, sekarang pun sudah kelihatan siapa kandidat-kandidatnya.

Bagaimana rasanya bisa ikut mewarnai pengembangan ilmu antropologi di Indonesia?

Makin lama makin puas, sebab melihat perkembangannya yang baik sekali, serta dikerjakan secara betul-betul. Cuma saya agak kecewa bahwa para kader antropologi kok juga disibukkan dengan hal-hal birokrasi manajemen, tentu saja waktu untuk penelitiannya menjadi tersita.

Adakah kenangan secara khusus saat bersama di UNAIR?

Tentu ada. Tahun 1998 saya mau diusir oleh ICMI karena dituduh mengkristenkan anak-anak Islam. Tetapi waktu mereka mendengar isu itu dan saya akan diusir, mahasiswa demonstrasi ke

(10)

Rektorat membela saya. Onny dan Nanang Krisdinanto juga berjasa dengan menuliskan di Surabaya Post. Sampai pada saat hari libur, Prof. Soedarso (Rektor) datang ke saya untuk memastikan status saya tidak ada pengusiran. Anehnya, ketika berita itu tersebar, sampai-sampai UI dan beberapa universitas lain mengontak saya untuk merekrutnya. Saya tidak mau.

Dari perjuangan seperti itu, masih keberatan disebut “Bapak Antropologi” atau “Duet Bapak Antropologi”?

Adi Sukadana. Bukan saya. Karena dia perintisnya. Ia juga mengumpulkan buku dan benda antropologi lain dan dijadikan museum. Tapi diantara kami berdua sudah ada persetujuan: saya di bidang bio-antropologi (antropologi ragawi) dan Adi yang prasejarah atau Antropologi Budaya. Duet? Ya kami memang berjuang bersama.

Ratusan koleksi buku-buku milik Prof. Glinka siap dihibahkan kepada perpustakaan FISIP UNAIR. (Foto: Bambang Bes)

Ratusan buku Ilmu Antropologi di rumah Prof. Glinka ini, kelak akan dikemanakan?

(11)

Saya sudah menulis surat wasiat, untuk buku-buku antropologi semua akan saya serahkan ke UNAIR, sedangkan yang lain terserah. Selain buku antropologi (ragawi dan budaya – letaknya disendirikan) juga ada majalah, ensiklopedi, dan buku-buku teologi. Diantara buku-buku itu ada yang usianya sudah puluhan tahun, tapi kebanyakan berbahasa Jerman, Rusia, Inggris, dan Belanda, dan kebanyakan tentang anatomi. Karena itu ketika dulu saya membimbing kandidat Doktor, banyak mereka baca-baca disini.

Konon Prof. Glinka menguasai enam bahasa (poliglot)? Apa saja itu?

Bahasa yang saya mengerti ada sembilan, tetapi hanya empat yang benar-benar saya kuasai. Bahasa Jerman dan Polandia saya dapat sejak bayi, karena mama saya asli Jerman dan ayah Polandia, dan saya lahir di Polandia. Jadi itu sebagai bahasa ibu. Yang lain bahasa Indonesia, Inggris, Ibrani, Yunani, dan Perancis. Bahasa Perancis pernah sempat lupa (hilang), anehnya setelah di Perancis 2-3 hari, saya ingat dan mengerti lagi. Menguasai banyak bahasa memang membahagiakan karena memungkinkan banyak pengetahuan bisa dipelajari. Jadi di rak ini ada buku dalam sembilan bahasa.

Adakah niatan untuk pulang ke Polandia?.

Tidak. Di Polandia saya kenal siapa? Teman-teman sudah banyak yang mati. Sebab disana itu daerah industri pertambangan, mereka bekerja keras sehingga usia 40-50 sudah payah. Di kampung saya paling tinggal dua atau tiga teman tersisa, sedang disini banyak. Itu saya buktikan ketika pergi ke Soverdi (SWD) dan Ordo, bahwa pastor yang ada disana baru lahir setelah saya pergi ke Indonesia. Seorang teman baru saja dari Polandia dan separo dari misionaris yang ada, ia tidak kenal.

Prof Glinka mencintai Kota Surabaya?

(12)

memproduksi 13 Doktor di UNAIR baik sebagai promotor dan co-promotor. Saya sudah menulis oto-biografi berbahasa Polandia, ketika kawan-kawan saya membaca, mereka takjub dan merasa masih seperti “anak kecil”. Itu karena mereka baru mencetak 2–3 Doktor, sedang saya sudah 13.

Dari biografi itu kawan saya melihat semua peristiwa hidup saya. Kata mereka: sepertinya Tuhan menyiapkan saya untuk UNAIR. Saya tidak mau studi, disuruh studi. Lalu biara memerintahkan dan saya studi sosiologi dan antropologi. Lalu saya mengembangkannya di UNAIR bersama Adi Sukadana. Kenangan bersama Adi dan kebersamaan selama 27 tahun yang saya tanam di UNAIR sungguh sangat indah. Ini yang saya banggakan. (*)

Pewawancara: BAMBANG BES

Hobi Motret, Mahasiswa UNAIR

ini Raup Rezeki

UNAIR NEWS – Jiwa fotografer dari sang ayah nampaknya telah menular pada diri Achmad Panji Kurniawan. Laki-laki kelahiran Boyolali ini telah mengawali hobi fotografi sejak masih duduk di bangku SMA.

Sehari-hari, Panji sapaan akrabnya, menjalani perkuliahan di prodi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga. Semula, mahasiswa tahun angkatan 2012 ini hanya iseng dalam mengasah bakatnya. Namun kemudian, ia dapat menghasilkan keuntungan dari hobi fotografinya itu.

Laki-laki yang kini menjadi Kepala Sekolah di Taman Kanak-Kanak di Dusun Kuripan, Jumeneng, Mojoanyar, Mojokerto ini mengaku, omset yang ia dapatkan dari usaha menjadi fotografer

(13)

mencapai tiga hingga sepuluh juta setiap bulannya.

“Waktu aku kuliah, aku sudah merintis taman baca di samping Taman Pendidikan Qur’an di desaku. Akhirnya itu dikembangin. Dan alhamdulillah dapat bantuan dari pemda dan diperhatikan. Singkatnya, bantuan donatur pun juga ada. Buku, alat bermain, meja-kursi, dan karpet. Akhirnya terdaftar NPSN sekolahnya, dan status diakui,” ujar Panji kepada UNAIR News.

Pada mulanya, TK tersebut menjadi tanggung jawab orang tua Panji. Namun saat sang ibu meninggal, tanggungjawab tersebut diemban Panji hingga kini.

Panji menuturkan, menjadi fotografer tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak tantangan yang harus dilewati laki-laki yang pernah menjadi anggota Language Debate Society FIB ini. Komplain dari client tidak dapat dihindari, apalagi jika berhadapan dengan client yang kurang bisa menerima hasil pekerjaannya.

“Pernah ada komplain, foto prewed. Biasanya aku ngerjain antara tiga sampai empat minggu kalau pas ramai garapan. Nah ini kemarin ada yang maksa foto prewed pas hari lebaran. Sudah aku bilang tutup, tapi maksa. Akhirnya aku bilang iya. Dan dia pesannya paket murah meriah, tapi minta hasilnya yang wah,” cerita Panji.

Saat ditanya mengenai suka duka menjadi fotografer, laki-laki yang pernah menjadi mahasiswa berprestasi Ilmu Sejarah ini mengaku, menjadi fotografer sama halnya menjadi seorang pedagang. Lelah menjadi teman setianya. Apalagi, saat perlengkapan yang digunakan terjadi eror.

Yang paling ia sukai menjadi seorang fotografer ialah mengenal banyak orang dan bisa bergabung dengan komunitas fotografer, seperti Boyolali Fotografi Community (BFC), Republik Lensa, dan Nusantara Bird Photography.

(14)

nggak masuk akal. Bahkan difitnah dan persaingan tak sehat dengan fotografer lainnya,” ungkap mahasiswa yang akan menjalani wisuda akhir tahun ini.

Paket foto

Untuk hasil potretan, Panji telah menyediakan beberapa paket yang dapat dipilih oleh calon client. Diantaranya terdapat paket Property, Make Up Artist (MUA), Wardrobe, dan Wedding. Dalam menjalani usaha, Panji membuka harga jasa foto mulai dari tiga ratus ribu hingga dua belas juta rupiah.

Dari beberapa paket tersebut, paket Wedding-lah yang bisa merogoh kocek cukup banyak, yakni sekitar dua belas juta. “Paket Wedding sudah termasuk profesional dan imaginary edit, ditambah videography, MUA, dan wardrobe. Itu masih ditambah terop, magazine album, plus premium album. Sudah termasuk cetak 20RS plus pigora untuk dipajang di kuade,” tutur Panji. Panji mengatakan, selama menjadi fotografer berbagai macam client telah ia layani dengan baik. Mulai dari single, pra-wedding, album sekolah, hingga company profile.

“Pernah juga kerjasama dengan perusahaan kecil swasta untuk membuat company profile. Seperti PT. Depo Jaya Bangunan dan PT Rollas Mandiri. Foto keluarga bos usaha di kawasan Ngoro Industri. Kebanyakan memang keluarga TNI dan POLRI di kawasan asrama tempat aku tinggal,” ungkapnya.

Mahasiswa yang pernah menjadi ketua Kominfo Unit Kegiatan Mahasiswa Badminton ini juga menuturkan mengenai pengalamannya menghadapi berbagai macam karakter client. Bahkan, Panji pernah menolak beberapa calon client dikarenakan terlalu menuntut.

Laki-laki yang juga hobi memasak ini masih memiliki impian yang belum tercapai hingga kini. Dirinya mengaku ingin membuka usaha café and studio foto yang berada dalam satu lokasi.

(15)

Kedua keinginan itu sudah lama ia idam-idamkan.

“Aku sih, insha Allah mau buka cafe and studio foto. Aku juga hobi kuliner. Jadi inginnya ruang bawah untuk café, dan ruang atas untuk studio,” ungkap Panji diakhir wawancara. (*)

Penulis : Ainul Fitriyah Editor : Binti Q. Masruroh

Berlaku Ikhlas, Dani Maroe

Beni Berhasil Jadi Wisudawan

Terbaik S2 FISIP UNAIR

UNAIR NEWS – “UNAIR memiliki suasana pendidikan yang egaliter. Antara dosen dan mahasiswa terjalin begitu akrab dan sangat toleran dalam menyampaikan pendapat.” Itulah penilaian Dani Maroe Beni terhadap kampus tercintanya.

Melalui tesis berjudul “Strategi Komunikasi Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Malang dalam Pemberdayaan Kelompok Informasi Masyarakat (KIM) Berbasis Potensi Wilayah”, ia berhasil menyelesaikan program Master tepat waktu, bahkan dinobatkan sebagai wisudawan terbaik S-2 FISIP UNAIR dengan IPK 3.79.

Penelitiannya melewati masa-masa cukup berat. Diantara penyebabnya saat ibunda tercinta meninggal dunia, pada saat itu Dani sedang melakukan penelitian. Laki-laki kelahiran Malang ini kaget bukan alang-kepalang karena ibundanya meninggal terkesan mendadak.

(16)

terpukul. Saya sampai menghentikan dan tidak mempedulikan penelitian. Selama sekitar tiga bulan, padahal deadline kelulusan sudah di ambang pintu,” katanya.

Ditanyai tips dan trik mendapatkan nilai terbaik? Laki-laki yang pernah menjabat guru multimedia ini mengaku tidak punya trik khusus. Ia hanya melakukan semua pekerjaan dengan ikhlas dan terbaik. Jika belum paham tidak segan bertanya atau cari solusi dari mana saja. Baginya, yang tidak kalah penting adalah doa, berbuat baik kepada orang lain, dan minta doa kepada siapa saja.

”Saya sendiri tidak menyangka bisa mendapatkan IPK seperti itu. Lha wong saya juga tidak mengejar IPK. Target saya bagaimana bisa menuntaskan belajar ini tepat waktu dan lancar. Itu saja. Hasilnya saya pasrah sama Allah SWT. Jadi saya terkejut ketika mengetahui mendapat IPK tertinggi,” tambah Dani.

Peraih beasiswa dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI ini berpesan, berapapun ilmu yang dimiliki, sekiranya bermanfaat, amalkan. Baginya, jika tidak memiliki ilmu atau harta yang cukup, tenaga pun bisa disumbangkan.

”Yang penting bagaimana keberadaan kita bisa membawa manfaat bagi lingkungan sekitar. Alangkah menyedihkan ketika kita ada, dianggap tidak ada, apalagi jika keberadaan kita justru menimbulkan petaka bagi orang-orang di sekitar kita,” pungkasnya mengakhiri. (*)

Penulis: Ainul Fitriyah Editor: Nuri Hermawan

(17)

Elvira Devinamira Belajar

Kegigihan dan Ketekunan

UNAIR NEWS – Elvira Devinamira tercatat sebagai wisudawan berprestasi Universitas Airlangga periode Juli 2017. Keberhasilannya itu merupakan akumulasi sederet prestasi yang dicapainya selama menjadi mahasiswa Ilmu Hukum sejak tahun 2010.

Elvira dinobatkan sebagai alumnus bersama dengan 1.141 wisudawan lainnya oleh Rektor UNAIR, Sabtu (15/7). Ia tak dapat menyembunyikan paras ayunya yang diselimuti senyum kebahagiaan.

“The day has finally come. This is gonna be the start of the new chapter in my life (Hari yang ditunggu akhirnya datang. Pencapaian ini akan menjadi awal baru dalam hidupku),” ungkap lulusan Fakultas Hukum.

Sepulang ke Indonesia, popularitasnya mencuat. Kegiatannya kian padat. Sejak menjadi Puteri Indonesia 2014, gadis bertubuh semampai ini memilih cuti selama dua tahun dan berhijrah ke Jakarta. Namun, menyelesaikan kuliah S-1 adalah sebuah keharusan.

“Di keluarga kami, aturan soal pendidikan itu penting. Mama selalu menekankan untuk bisa menyelesaikan hingga pada tingkatan sarjana yang walaupun nantinya akan kembali bekerja,” ucap penyandang gelar sarjana hukum ketika ditemui usai prosesi wisuda di Airlangga Convention Center.

Sejak tahun 2016, perempuan kelahiran 28 Juni 1993 bolak balik Jakarta-Surabaya untuk menyelesaikan kuliah dan menjalani rutinitasnya sebagai artis.

”Hampir dua kali seminggu, saya bahkan memilih first flight (penerbangan pertama) demi untuk mengejar kelas pagi. Itu

(18)

rasanya membuat saya banyak belajar akan penting kegigihan dan ketekunan,” ucap Elvira.

Namun, perempuan ini mampu membuktikan bahwa keinginannya untuk menuntaskan studi jauh lebih besar daripada rintangan yang harus ia hadapi.

“Kata orang, mendapatkan keduanya yang kita inginkan itu tidak mungkin. Namun itu tidak bagi saya. Keinginan itu bisa terwujud ketika kita teguh dan gigih untuk mendapatkannya,” tegas perempuan yang suka traveling dan bermain piano.

Pengalaman mengesankan

Pengalaman studi Elvira selama di UNAIR cukup berwarna. Ia aktif di Association Law Student in Asia (ALSA). Tahun 2012, ia berhasil mengikuti ajang Harvard National Model United Nations di Universitas Harvard, Amerika Serikat.

“Kunjungan itu merupakan kunjungan pertama saya ke Amerika Serikat dan untuk kali pertama juga mengunjungi Harvard University,” tutur Elvira kepada UNAIR News.

Duduk di samping Elvira, Rektor UNAIR Prof. Dr. Mochammad Nasih menyambut gembira atas kelulusannya.

“Sebagai mahasiswa berprestasi, kami patut bangga Elvira resmi menjadi alumnus UNAIR. Semoga UNAIR bisa terus menelurkan individu-individu yang berprestasi,” harapnya.

Selanjutnya, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis ini memaparkan bahwa pendidikan merupakan faktor penting dalam mengembangkan masyarakat. Menurutnya, kualitas pikiran bisa menjadi nilai tambah seseorang.

“Saya berharap ke depan Elvira bisa terus berprestasi agar bisa membanggakan keluarga hingga bangsa. Ketenaran itu jangan dikontribusikan ke hal-hal yang negatif,” pesan Rektor.

(19)

Editor: Defrina Sukma S

Studi Maskulinitas untuk

Ciptakan Tatanan Gender yang

Egaliter

UNAIR NEWS – Secara spesifik, Dra. Nur Wulan, M.A., PhD menaruh perhatian pada bidang studi maskulinitas, atau norma-norma kelelakian. Studi kelelakian mempelajari konsep kelelakian dalam masyarakat, dan representasinya dalam sastra. Representasi maskulinitas dalam sastra yang ia kaji khususnya mengacu pada sastra anak dan remaja.

Bagi Wulan, sapaan akrabnya, konsep maskulinitas dan sastra anak dan remaja adalah dua hal yang penting. Sastra anak biasanya dikaitkan dengan peran sebagai sarana untuk mendidik. Sedangkan sastra untuk orang dewasa, memiliki misi yang lebih dari sekadar mendidik, yakni bisa jadi untuk mendobrak sebuah norma maupun menawarkan nilai yang bersifat subversi. Pada umumnya, apa yang ada dalam sastra anak dan remaja merefleksikan norma yang dianggap lebih ideal oleh sebuah masyarakat.

Studi ini Wulan pilih sebab tidak banyak studi gender yang membahas maskulinitas. “Umumnya, studi gender yang banyak dibahas selama ini adalah studi feminisme atau norma keperempuanan. Sementara studi mengenai bagaimana representasi laki-laki dalam sastra sangat minim,” ujar Wulan.

Untuk itu, riset studi S-3 di Universitas Sydney yang ia tulis, mengambil topik konsep maskulinitas dalam sastra untuk anak dan remaja di Indonesia.

(20)

Dalam dunia akademik tingkat global, pembahasan maskulinitas berkembang sekitar tahun 1980, dengan pelopor tokoh-tokoh dunia bagian utara. Sehingga, sumber-sumber mengenai studi maskulinitas bersumber pada penelitian mengenai laki-laki di Barat.

“Di Indonesia, studi ini belum banyak diproduksi. Ini kesempatan yang masih luas karena belum banyak dieksplor dan membantu kita untuk memahami mengenai bagaimana laki-laki di Indonesia,” ujar dosen yang mengambil program magister di Universitas Auckland ini.

Untuk menunjang kepakarannya, Nur Wulan mengikuti dua asosiasi skala internasional yaitu American Men’s Studies Association dan Inter Asia Cultural Studies Consortium. Di sana, ia memiliki banyak kesempatan untuk bertukar pikiran dengan akademisi dengan rumpun keilmuan yang sama dari berbagai belahan dunia. Sebagian besar yang ikut dalam asosiasi tersebut adalah orang-orang dari belahan dunia utara.

“Saya memiliki banyak kesempatan untuk berkontribusi memberikan pemahaman kepada akademisi di dunia mengenai maskulinitas, agar pengetahuan mengenai maskulinitas lebih beragam dan imbang. Tidak hanya didominasi maskulinitas Barat,” ungkapnya.

Dengan bergelut pada studi ini, Wulan memiliki keinginan untuk memperluas horizon pengetahuan masyarakat tentang maskulinitas dan feminitas agar imbang. Sebab selama ini, apa yang yang bersumber dari Barat lebih sering dianggap sebagai nilai yang universal. Padahal, banyak hal yang tidak universal tapi dianggap universal karena yang memproduksi adalah orang Barat. Wulan berharap, studi maskulinitas di Indonesia bisa berkembang dan bisa memberi pemahaman mengenai konsep kelelakian. Dengan demikian laki-laki bisa lebih sadar bahwa untuk menjadi laki-laki sejati tidak harus straight, rasional, dan dominan. Agar ada sinergi antara laki-laki dan perempuan.

(21)

“Studi gender masih banyak berkutat mengenai feminis dan keperempuanan. Sebetulnya, mempelajari maskulinitas studies itu sangat penting untuk menciptakan tatanan gender yang lebih egaliter. Karena selama ini yang dipelajadi dalam studi jender kan perempuan, feminisme. Laki-laki punya peran penting untuk mendukung gender order yang lebih egaliter,” tambahnya. (*)

Penulis: Binti Q. Masruroh Editor: Nuri Hermawan

Prof

David

dan

Kiprah

“Memainkan” Pisau Bedah

UNAIR NEWS – Salah satu ahli bedah plastik UNAIR yang berkompeten sehingga pandangannya kerap dikutip media massa adalah Prof. Dr. David Sontani Perdanakusuma, dr., Sp.BP-RE(K). Selain mengajar, penulis setidaknya delapan buku ini aktif pula melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat. Tercatat di rentang 2006 hingga 2014, sekitar 10 aktifitas p e n g a b d i a n m a s y a r a k a t b e r s k a l a r e g i o n a l / n a s i o n a l dilaksanakannya.

Salah satu pasien face off yang pernah ditangani oleh David (bersama tim) adalah Siti Nur Jazilah alias Lisa. Perempuan korban penyiraman air keras oleh suaminya sendiri. Selain itu, Ketua Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia ini juga sering masuk dalam tim pemisahan bayi kembar siam.

Kepiawaian ayah empat anak ini “memainkan” pisau bedah, membuatnya banyak diganjar penghargaan. Baik dari asosiasi, pemerintah daerah, bahkan pemerintah pusat. Profesor yang

(22)

pernah mengikuti training dan pelatihan di Singapura, Belgia, Australia, Amerika Serikat, dan Kanada ini juga rutin menjadi pembicara di banyak seminar, kongres, maupun event ilmiah lain. Mulai level nasional, hingga level internasional.

Selain itu, Wakil Dekan I ini juga resmi didaulat sebagai penguji eksternal Program S3 (Doktor) pada Universitas Indonesia Jakarta, Universitas Udayana Bali, Universitas Hasanuddin Makasar, Universitas Padjadjaran Bandung, serta Universitas Gajah Mada Jogjakarta pada periode 2012-2015. Dia juga tak henti menelurkan paten maupun Hak Cipta.

Kekayaan intelektual yang dimaksud antara lain Penggunaan Hidrokuinon untuk Mencegah dan Mengobati Keloid, Hak Cipta Manekin Luka, Hak Cipta Poster Luka, Hak Cipta CD Interaktif Kegawatdaruratan Pernafasan (Modul 1), dan Hak Cipta CD Interaktif Kegawatdaruratan Sirkulasi (Modul 2). Termasuk, Hak Cipta CD Interaktif Kegawatdaruratan Luka Bakar dan Hak Cipta CD Interaktif Kegawatdaruratan Pediatri.

David mengatakan, aplikasi ilmu bedah plastik berawal dari upaya rekonstruksi struktur di bagian tubuh manusia. Misalnya, bagi mereka yang mendapat kecelakaan atau kondisi yang perlu dibenahi sejak lahir. Sebagai contoh, mereka yang lahir sumbing atau tanpa telinga.

“Bedah plastik tidak mengubah kodrat dari Tuhan. Bidang ilmu ini hanya membuat struktur yang berbeda dari sebelumnya, sesuai permintaan yang bersangkutan. Dengan harapan, mendapatkan kondisi yang lebih bagus. Selayaknya penghias. Saya sering menganalogikan ini dengan seniman yang ingin membuat sesuatu menjadi lebih indah,” kata dia.

Dalam perjalanannya, bedah plastik juga menyentuh bidang estetik. Ini berkaitan dengan orang yang secara subyektif ingin memperbaiki wajah atau bagian tubuhnya yang dirasa perlu dibenahi. Dengan catatan, dia berhasrat melakukannya tanpa paksaan dan dengan alasan yang logis. Ahli bedah plastik wajib

(23)

untuk taat pada rambu-rambu etik dan agama. Sehingga, tidak semua calon pasien bisa dilayani secara langsung.

Sementara itu, prospek ilmu bedah plastik di tanah air sangat terang. Ini menjadi tantangan tersendiri. Mereka yang menguasai teknologi akan memenangkan persaingan tersebut. Oleh karena pertumbuhan penduduk yang terus meningkat, kebutuhan akan ahli bedah plastik pun ikut naik. Baik mereka yang ingin “mengubah” struktur bagian tubuhnya karena aspek estetik, t e r l e b i h b a g i m e r e k a y a n g d i p a k s a k e a d a a n u n t u k merekonstruksinya, karena suatu kecelakaan atau kondisi yang tidak disengaja. Maka itu, sudah menjadi tugas institusi pendidikan di Indonesia, khususnya Fakultas Kedokteran, untuk mencetak pakar-pakar muda di bidang ini. (*)

Penulis: Rio F. Rachman

Editor: Defrina Sukma Satiti

Rektor UNAIR 1984-1993 Terima

Penghargaan Bintang Gerilya

UNAIR NEWS – Beberapa hari menjelang peringatan hari kemerdekaan ke 72 Republik Indonesia, Rektor Universitas Airlangga periode tahun 1984-1993 Prof. Dr. H.R. Soedarso Djojonegoro, dr., AIF mendapat kado istimewa dari pemerintah Republik Indonesia.

Gubernur Jawa Timur, atas nama Presiden RI, menyematkan Bintang Gerilya kepada Prof. Darso-panggilan akrab sang Guru Besar Bidang Ilmu Fisiologi Fakultas Kedokteran UNAIR tersebut.

(24)

Soekarwo dalam acara penganugerahan Tanda Kehormatan Bintang Gerilya dan Satya Lencana Karya Satya, yang digelar di Gedung Grahadi Surabaya pada Selasa (15/8) lalu.

Memasuki usia 85 tahun, Prof. Darso tak mengira jika ia akhirnya dianugerahi penghargaan Bintang Gerilya. “Terima kasih kepada pemerintah Indonesia karena sekelumit perjuangan saya untuk mempertahankan kemerdekaan ternyata diakui,” tuturnya.

Sejarah mencatat, Prof. Darso pernah ikut serta dalam perang terbuka bersama pasukan suka rela DBP Tentara Republik Indonesia Yon Asembagus pada tahun 1946.

“Sebelum terjadi peristiwa penyerangan pasukan Belanda, saat itu saya masih sekolah SMP (sekolah menengah pertama), sedang mengikuti semacam KKN (kuliah kerja nyata) dan dikirim ke daerah-daerah. Ternyata, tempat saya KKN di Malang terjadi penyerbuan tentara Belanda, saya dengan teman-teman lainnya pun akhirnya turut bergerilya, turut berjuang,” kenangnya.

Tidak pernah terpikir jika akhirnya riwayat perjuangannya kala itu secara administratif dapat memenuhi kualifikasi untuk menerima Bintang Gerilya. Prof. Darso menerima sebuah Piagam Tanda Kehormatan Bintang Gerilya dengan pangkat Sersan Mayor (Purn) dengan Jabatan sebagai anggota Batalion Jangkar Merah TRIP Jawa Timur.

“Surat Keputusan dari Presiden saya terima tahun Agustus 2016 lalu, tapi karena sudah terlewat momen HUT RI-nya, maka baru diacarakan pada 15 Agustus 2017. Karena momennya tepat mendekati hari peringatan proklamasi kemerdekaan RI,” ungkapnya.

Tabungan Akhirat

Meski telah lama pensiun, bukan berarti Prof. Darso absen dari segala aktivitas luar. Terbukti sampai saat ini, lelaki yang pernah mendalami Ilmu Faal di Buffalo State University, New

(25)

York, Amerika Serikat pada tahun 1962-1963 ini masih aktif memberi bimbingan pada mahasiswa program doktoral di jurusan Fisiologi UNAIR maupun di Universitas Negeri Surabaya (UNESA). Alumnus Fakultas Kedokteran UNAIR angkatan 51 ini bahkan masih aktif di sejumlah yayasan, termasuk sebagai Ketua Yayasan Pendidikan Anak-anak Buta (YPAB). Dunia anak-anak berkebutuhan khusus ini memang selalu menarik perhatiannya selama ini.

Sejak tahun 2001, Prof. Darso diamanahi untuk melanjutkan kepengurusan YPAB oleh Bu Soetopo yang tak lain adalah istri dari Prof. Soetopo, mantan Menteri Kesehatan RI sekaligus pendiri YPAB. Pada saat itu, Prof. Darso baru saja kembali pulang ke Indonesia setelah bertugas di Paris sebagai Duta Besar Indonesia untuk Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB sejak tahun 1995.

“Tanpa penolakan langsung saya iyakan tawaran Bu Soetopo, karena pada saat itu Prof. Soetopo sudah lama meninggal. Dan lebih lagi, saya memang berniat ingin sekali merubah pola pikir masyarakat tentang nasib anak-anak buta ini. Bersyukur sampai sekarang masih dipercaya menjadi ketua, dan ini untuk tabungan akherat saya,” jelasnya.

Pria yang berulang tahun pada tanggal 8 Desember ini menaruh tekad besar untuk memajukan nasib ratusan anak asuhnya. Melalui yayasan yang dibinanya lebih dari 15 tahun ini, Prof. Darso berupaya keras memandirikan mereka sekaligus bertekad ingin mengubah pandangan masyarakat.

“Jangan menilai orang buta tidak mampu berbuat apa-apa. Mereka harus diberi kesempatan untuk mengembangkan diri. Dengan begitu mereka dapat mandiri dan kalau bisa berprestasi,” jelasnya.

Resep Awet Sehat

Menurut penelitian Organisasi Kesehatan Dunia, 20 persen kesehatan seseorang dipengaruhi oleh faktor genetik, 15 persen

(26)

dipengaruhi oleh faktor eksternal, sementara sisanya ditentukan oleh faktor internal. Oleh karenanya, Prof. Darso berupaya untuk menjaga keseimbangan hidupnya dengan menjalani prinsip BNI (Batasi, Nikmati, Imbangi).

Resep awet sehat ala Prof Darso memang tidak muluk-muluk. Prinsipnya berani membatasi diri. “Makan ketika lapar, berhenti sebelum kenyang. Tapi harus dinikmati, jadi jangan sampai kita stress karena melarang diri sendiri makan ini-itu. Kita harus mampu mengatur diri sendiri,” ungkapnya.

Untuk menyeimbangkan kesehatan fisik, kakek dari 17 cucu, dan 6 cicit ini bahkan tetap menyempatkan diri berolahraga ringan, seperti jalan-jalan.

Lantas, apa pantangan makanan di usia lanjut? “Dinikmati saja makan ini-itu, why not (mengapa tidak) Malah kalau tidak dinikmati you bisa stress. Tapi setelah itu besoknya imbangi dengan puasa,” ujarnya.

Tidak saja tepat untuk urusan pola makan saja, menurutnya, rumus BNI juga cocok diterapkan pada aspek lainnya, termasuk dalam hal mengelola emosi. “Dalam hal emosi juga begitu, kalau sama bawahan batasi marahnya, kalau memang harus marah luapkan, tapi dibatasi. Setelah itu imbangi dengan perbanyak istighfar, mohon ampun sama Tuhan,” tutupnya.

Penulis: Sefya H. Istighfarica Editor: Defrina Sukma S

(27)

Badri Munir Sukoco Raih

Penghargaan

Alumnus

Berprestasi di Taiwan

UNAIR NEWS – Satu lagi sivitas akademika Universitas Airlangga yang berhasil meraih prestasi di luar negeri. Dia adalah Badri Munir Sukoco, Ph.D., yang mendapatkan predikat alumnus berprestasi Fakultas Manajemen, National Cheng Kung University (NCKU), Taiwan.

Penghargaan itu diserahkan bertepatan dengan Dies Natalis NCKU ke-85 yang jatuh tepat sehari setelah ulang tahun UNAIR, yakni Jumat (11/11). Penghargaan bernama Outstanding Young Alumni Award (OYAA) diserahkan kepada 85 alumnus NCKU. Dari 85 penerima penghargaan tersebut, hanya dua alumnus asing yang menerima penghargaan tersebut. Dari Filipina dan Indonesia. Dari jumlah itu, 13 di antaranya berasal dari Fakultas Manajemen NCKU. Mereka berasal dari kalangan ABC. Yakni, academics, business, dan consultant. Sebelas orang merupakan lulusan berpaspor Taiwan, sedangkan dua lainnya, termasuk Badri, adalah lulusan non-Taiwan. Seluruhnya bekerja di berbagai perusahaan multinasional, digital start up, dan perguruan tinggi.

Komite Seleksi Penghargaan NCKU Taiwan menetapkan satu kriteria utama dalam memilih alumni berprestasi. Kriteria tersebut adalah alumnus yang berusia di bawah 50 tahun dan memiliki prestasi yang membanggakan.

“Mereka melihat dari konsistensi. Kebetulan NCKU adalah research-based university sehingga mereka melihat konsistensi saya dalam melakukan publikasi penelitian. Karena saya bergerak di bidang pendidikan, maka mereka melihat rekam jejak pelaksanaan kuliah saya kepada mahasiswa. Beberapa kali pernah mendapat penghargaan. Begitu pula dengan publikasi dan

(28)

pengabdian masyarakat,” tutur Badri yang juga Ketua Badan Perencanaan dan Pengembangan (BPP) UNAIR.

Secara pribadi, Badri menganggap bahwa prestasi tersebut merupakan wujud apresiasi perguruan tinggi terhadap alumninya. Ia bahkan menganggap penghargaan ini merupakan batu lompatan sekaligus dorongan untuk mencapai target-target selanjutnya. Salah satunya, melakukan publikasi penelitian lebih banyak lagi.

“Saya merasa ini belum optimal. Dosen-dosen di sana penelitiannya harus terpublikasi di jurnal top ten. Ini yang saya masih belum bisa,” ujarnya.

Rektor UNAIR Prof. Dr. M. Nasih, S.E., M.T., Ak, merasa bangga atas prestasi yang dicapai Ketua BPP UNAIR. “Pak Badri itu dosen yang pekerja keras. Karena itulah, kami mempercayainya untuk menjadi Ketua BPP,” terang Prof. Nasih. “Saya berharap, di UNAIR bermunculan akademisi yang juga pekerja keras seperti Pak Badri,” imbuhnya.

Di bidang pendidikan, Badri pernah terpilih sebagai dosen berprestasi I tingkat UNAIR pada tahun 2010 dan 2015. Bahkan, pada tahun 2015, pakar manajemen branding itu menjadi finalis dosen berprestasi tingkat nasional.

Di bidang penelitian, sampai tahun 2016, Badri telah memiliki 34 artikel yang dipublikasikan pada jurnal bereputasi. Sebanyak 12 artikel di antaranya terindeks pada Thompson Reuters ISI dengan h-indeks sebesar 6 dan sitasi sebanyak 191 kali. Pada Google Scholar, Badri memiliki h-indeks 11 dan penelitiannya tersitasi sebanyak 751 kali.

Sedangkan, di bidang pengabdian masyarakat, dosen kelahiran Lumajang juga aktif dalam kegiatan pengembangan institusi, yakni sebagai Ketua BPP serta anggota Majelis Wali Amanat UNAIR, dan anggota tim percepatan peringkat World Class University Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. (*)

(29)

Penulis: Defrina Sukma S. Editor: Rio F. Rachman

Referensi

Dokumen terkait

SMK pun tidak tinggal diam untuk menperkuat dan mendukung industri kreatif di Indonesia dengan menyediakan Program Keahlian Seni Musik untuk menyiapkan lulusan yang kompeten

(2006), Pendekatan Konseling Qur’ani Untuk Mengembangkan Keterampilan Hubungan Sosial, Disertasi, Bandung: Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia..

KOMPETENSI PED AGOGIK D AN KUALITAS MENGAJAR GURU SEKOLAH D ASAR D ITINJAU D ARI LATAR BELAKANG PEND ID IKAN GURU LULUSAN PGSD D AN NON-PGSD.. Universitas Pendidikan Indonesia |

Pengembangan model aliansi strategis UKM di Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan keunggulan kompetitif adalah yang memiliki bentuk aliansi yang terfokus pada

Sebuah Disertasi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

PENGEMBANGAN PROGRAM VOKASIONAL UNTUK MENYIAPKAN LULUSAN SMALB - B MEMASUKI DUNIA KERJA.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

PENGEMBANGAN PROGRAM VOKASIONAL UNTUK MENYIAPKAN LULUSAN SMALB - B MEMASUKI DUNIA KERJA.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

KEPUTUSAN DEKAN FAKULTAS ILMU KOMPUTER UNIVERSITAS INDONESIA Nomor: 048/F11.D/UI/2020 TENTANG STANDARD OPERATIONAL PROCEDURE SOP SIDANG TUGAS AKHIR/KARYA AKHIR/TESIS/DISERTASI