• Tidak ada hasil yang ditemukan

STATUS GIZI DAN TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA; ANALISIS HASIL PEMATAUAN STATUS GIZI SULAWESI SELATAN TAHUN 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STATUS GIZI DAN TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA; ANALISIS HASIL PEMATAUAN STATUS GIZI SULAWESI SELATAN TAHUN 2014"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

STATUS GIZI DAN TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA;

ANALISIS HASIL PEMATAUAN STATUS GIZI SULAWESI SELATAN

TAHUN 2014

Nadimin1 1

Jurusan Gizi, Politeknik Kesehatan Kemenkes, Makassar

Abstract

Background: South Sulawesi is known as the Food Barn but also has under five

malnutrition was high. In 2014 held Nutritional Status Monitoring (PSG) in each province, including in South Sulawesi. PSG has been providing nutritional status information and the general state of the family of under five children, including the educational level of parents.

Methods: a cross sectional study, children aged 0-59 months was selected by cluster

random sampling. The sample selection is done through three stages: first, the selection of districts/cities by systematic random sampling; second, the selection of clusters (villages/RW) each 30 clusters; and the third selection of households (RT) 10 RT using anti-mosquito cycle models. Nutritional status was determined based on the index of weight for age, height for age and weight for height, and the level of parental education were collected through interviews.

Results: The level of parents' education both father and mother are the most complete

primary school and high school graduation. Prevalence of underweight were 26.1%, stunting were 37.55% and wasting were 11.02%. District/city of the highest prevalence of underweight, stunting and wasting was Takalar and the lowest is the Luwu. Prevalence of underweight, stunting and wasting tends to decrease with an increase in the level of maternal education.

Conclusion: The prevalence of underweight is still higher than Riskesdas 2014 and 2015

MDG targets despite a decline in malnutrition. There is a relationship between maternal education levels with the nutritional status of children.

Keywords: Nutritional status, under five, mother's education.

LATAR BELAKANG

Masalah kekurangan gizi pada anak balita di Indonesia khusus di Sulawesi Selatan merupakan salah satu masalah kesehatan yang perlu mendapat perhatian yang serius. Sulawesi Selatan sudah dikenal sebagai Lumbung Pangan khususnya untuk kawasan Indonesia Timur, namun di daerah ini rawan terhadap gizi kurang dan gizi buruk. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, Sulsel termasuk dalam sepuluh provinsi yang terbanyak angka gizi kurang (19,0%) dan gizi buruk (6.6%), lebih tinggi dari angka nasional yang hanya mencapai 5.7% dan 13.9%. Proporsi balita yang mengalami gangguan pertumbuhan

tinggi badan adalah pendek sebanyak 19.2% dan sangat pendek 18.0%. Proporsi balita yang kurus maupun sangat kurus masing-masing 6.8% dan 5.3% (Kemenkes, 2013).

Status gizi sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan balita. Status gizi juga berpengaruh pada kecerdasan balita. Balita dengan gizi kurang atau buruk akan memiliki tingkat kecerdasan yang lebih rendah. Dampak jangka pendek gizi buruk adalah anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara dan perkembangan. Sedang dampak jangka panjang adalah penurunan skor IQ, penurunan perkembangan kognitif, penurunan integrasi sensorik. Gizi buruk jika tidak dikelola dengan baik pada fase akutnya

(2)

akan mengancam jiwa dan pada jangka panjang akan menjadi ancaman hilangnya generasi bangsa (Anggraini D, 2008).

Masalah kekurangan gizi pada anak balita dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu kurangnya asupan zat gizi dan gangguan kesehatan. Kedua faktor tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor tidak langsung, salah satunya adalah rendahnya tingkat pendidikan orang tua (Supariasa, 2013).

Tingkat pendidikan orang tua baik ayah maupun ibu berhubungan yang signifikan dengan status gizi anak balita (Sebataraja LR, 2014) maupun anak sekolah (Linda O, 2011). Tingkat pendidikan orang tua mempengaruhi jenis pekerjaan dan penghasilan sehingga berpengaruh juga terhadap daya beli keluarga. Tingkat pendidikan orang tua secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi pengetahuan tentang gizi dan kesehatan.

Dalam rangka penyediaan informasi situasi status gizi khususnya di kabupaten dan kota secara cepat, akurat, teratur dan berkelanjutan, pada tahun 2014 telah dilaksanakan Pemantauan Status Gizi (PSG) di setiap provinsi termasuk di Sulawesi Selatan. PSG tersebut telah menyediakan informasi status gizi dan keadaan umum keluarga anak balita, diantaranya adalah tingkat pendidikan orang tua. Sehubungan dengan hal, penulis melakukan analisis hubungan status gizi dengan tingkat pendidikan ibu.

METODE

Pemantauan Status Gizi (PSG) dikoordinir oleh Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan dan dilakukan dengan disain potong lintang (cross sectional survey). Sampel adalah balita usia 0-59 bulan yang dipilih secara cluster random sampling. Pemilihan sampel dilakukan secara bertahap, yaitu pertama, pemilihan sampel kabupaten/kota secara systematic random sampling; kedua, pemilihan kluster (desa di kabupaten dan RW/rukun warga di kota) masing-masing sebanyak 30 klaster disetiap kabupaten/kota. Ketiga, pemilihan rumah tangga masing-masing klaster sebanyak 10 rumah tangga (RT) dengan cara purposive menggunakan model lingkaran anti nyamuk.

Status gizi anak balita tentukan melalui antropometri menggunakan indek berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan atau panjang badan menurut umur (TB/U atau PB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Berat badan diukur menggunakan timbangan “salter” dengan tingkat ketelitian 0,1

kg. Tinggi badan diukur dengan alat microtoise untuk anak yang sudah bisa berdiri (umur ≥ 24 bulan) dan panjang badan diukur dengan alat ukur panjang badan untuk anak yang belum bisa berdiri (umur ≤ 23 bulan) yaitu dengan posisi terlentang dengan skala masing-masing 0,1 cm. Untuk menilai status gizi anak, maka angka berat badan dan tinggi badan setiap balita dikonversikan ke dalam bentuk nilai terstandar (Z-score) dengan menggunakan baku antropometri WHO 2006. Tingkat pendidikan orang tua dikumpulkan melalui wawancara dengan orang tua sampel mengggunakan kuesioner.

Data status gizi dan tingkat pendidikan dientry pada program aplikasi PSG 2014 yang dibuat Kementrian Kesehatan RI pada tahun 2014. Selanjutnya, data tersebut dikonversi pada program SPSS untuk selanjutnya diolah dan dianalisis sesuai kebutuhan. Analisis data dilakukan secara diskriptif, menggunakan indikator nilai proporsi antar kabupaten/kota dan berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2007, 2010 dan 2013, serta berdasarkan target pencapaian MDG 2015.

HASIL PENELITIAN Karakteristik Keluarga

Tabel 1

Jumlah anggota keluarga Jumlah anggota

keluarga n %

<= 4 orang 1183 56.33

> 4 orang 917 43.67

Jumlah 2100 100.0

Tabel 1 menunjukkan kebanyakan keluarga yang menjadi responden dalam Pemmantauan Status Gizi (PSG) ini memiliki anggota keluarga berjumlah kurang atau sama dengan 4 orang (56.33%). Rerata anggota keluarga adalah 4 orang dengan jumlah anggota keluarga terendah sebanyak 2 orang dan terbanyak 12 orang.

(3)

Tabel 2

Tingkat pendidikan keluarga Tingkat pendidikan orang tua Ayah Ibu n % n % tidak pernah sekolah 32 1.5 25 1.2 tidak tamat SD 71 3.4 67 3.2 tamat SD 658 31.3 627 29.9 tamat SMP 510 24.3 572 27.2 tamat SMA 687 32.7 622 29.6 tamat PT 135 6.4 185 8.8 tidak tahu 7 0.3 2 0.1 Total 2100 100.0 2100 100

Berdasarkan tabel 2 terlihat bahwa kebanyakan keluarga yang menjadi sampel PSG berpendidikan tamat SD dan tamat SMU. Anggota keluarga yang berpendidikan tamat perguruan tinggi untuk ayah sebanyak 6.4% dan ibu sebanyak 8.8%.

Status Gizi Balita

Status Gizi Balita Menurut indeks Berat Badan Menurut Umur (BB/U) Tabel 3

Status gizi balita menurut indeks BB/U

Kabupaten Gizi lebih Gizi baik Gizi kurang Gizi buruk Total

n % n % n % n % n % Bone 2 0.59 232 68.44 86 25.37 19 5.60 339 100 Bulukumba 4 1.22 248 75.84 61 18.65 14 4.28 327 100 Luwu 3 0.91 266 80.36 57 17.22 5 1.51 331 100 Maros 3 0.83 254 70.56 79 21.94 24 6.67 360 100 Palopo 7 2.11 240 72.29 60 18.07 25 7.53 332 100 Sidrap 6 1.85 257 79.32 54 16.67 7 2.16 324 100 Takalar 2 0.59 215 63.24 86 25.29 37 10.88 340 100 SULSEL 27 1.15 1712 72.76 483 20.53 131 5.57 2353 100

Tabel 3 menunjukkan proporsi balita yang mengalami gizi buruk sebanyak 5.57% dan gizi kurang sebanyak 20.53%. Balita

yang mengalami gizi lebih hanya mencapai 1.15%.

Grafik 1. Proporsi Gizi Kurang pada Balita

17,22 16,67 18,65 18,07 20,53 21,94 25,37 25,29 1,51 2,16 4,28 7,53 5,57 6,67 5,6 10,88 18,73 18,83 22,93 25,6 26,1 28,61 30,97 36,17 0 10 20 30 40

Luwu Sidrap Bulukumba Palopo SULSEL Maros Bone Takalar Gizi kurang Gizi buruk Gizi kurang + gizi buruk

(4)

Grafik 1 menunjukkan dari ke-7 kabupaten/kota yang terpilih sebagai sampel survey PSG, terdapat 4 kabupaten/kota yang memiliki angka kurang gizi akut (gizi kurang + gizi buruk) yang terendah yaitu memiliki proporsi kurang gizi akut (Z-skor BB/U <-2 SD) lebih rendah dari angka tingkat provinsi

Sulsel (26.1%). Keempat kabupaten/kota yang dimaksud adalah Luwu (18.73%), Sidrap (18.83%), Bulukumba (22.9%) dan Palopo (25.6%). Kabupaten yang terbanyak angka kurang gizi akut adalah Takalar (36.17%), Bone (30.97%), dan Maros (28,61%).

Status Gizi Balita Menurut indeks Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) Tabel 4

Status gizi balita menurut indeks TB/U

Kabupaten Tinggi Normal Pendek

Sangat pendek Total n % n % n % n % n % Bone 2 0.78 152 58.91 77 29.84 27 10.47 258 100 Bulukumba 0 0.00 188 68.12 60 21.74 28 10.14 276 100 Luwu 1 0.38 166 62.64 73 27.55 25 9.43 265 100 Maros 4 1.17 205 59.77 91 26.53 43 12.54 343 100 Palopo 2 0.72 171 61.73 69 24.91 35 12.64 277 100 Sidrap 7 2.35 224 75.17 55 18.46 12 4.03 298 100 Takalar 0 0.00 152 55.68 84 30.77 37 13.55 273 100 SULSEL 16 0.80 1258 63.22 509 25.58 207 10.40 1990 100

Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah balita yang mengalami gangguan pertumbuhan tinggi badan atau pendek (stunting) sebanyak 35.98%, yaitu pendek (25.58%) dan sangat pendek (10.40%).

Grafik 2 menunjukkan proporsi balita pendek menurut kabupaten/kota. Kabupaten/kota yang paling rendah angka balita pendek adalah Sidrap (22.49%) dan Bulukumba (31.88%).

Grafik 2. Proporsi Balita Kekurangan Gizi Kronis 18,46 21,74 25,58 27,55 24,91 26,53 29,84 30,77 4,03 10,14 10,4 9,43 12,64 12,54 10,47 13,55 22,49 31,88 35,98 36,98 37,55 39,07 40,31 44,32 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Sidrap Bulukumba SULSEL Luwu Palopo Maros Bone Takalar Pendek Sangat Pendek Pendek + sangat pendek

(5)

Status Gizi Balita Menurut indeks Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) Tabel 5

Status gizi balita menurut indeks BB/TB

Kabupaten Gemuk Normal Kurus

Sangat kurus Total n % n % n % n % n % Bone 9 2.73 284 86.06 27 8.18 10 3.03 330 100 Bulukumba 7 2.13 285 86.63 29 8.81 8 2.43 329 100 Luwu 6 1.70 329 93.47 14 3.98 3 0.85 352 100 Maros 11 3.19 296 85.80 27 7.83 11 3.19 345 100 Palopo 10 2.88 305 87.90 28 8.07 4 1.15 347 100 Sidrap 15 4.75 267 84.49 31 9.81 3 0.95 316 100 Takalar 2 0.60 288 85.71 42 12.50 4 1.19 336 100 SULSEL 60 2.55 2054 87.22 198 8.41 43 1.83 2355 100 Tabel 5 menunjukkan proporsi balita

kurus tingkat provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 10.24%, terdiri kurus (BB/TB 2 sd

-3 SD) sebanyak 8.41% dan sangat kurus (BB/TB < -3 SD) sebanyak 1.84%.

Grafik 3. Proporsi balita yang kurus Grafik 3 menyajikan data proporsi

balita kurus menurut kabupaten/kota. Kabupaten/kota yang mempunyai proporsi balita kurus yang terendah adalah Luwu (4.83%) dan Palopo 9.22%. Sebaliknya, Kabupaten/kota yang paling tinggi proporsi

balita kurus adalah Takalar (13.69%), Bulukumba (11.24%) dan Bone (11.21%). 3,98 8,07 8,41 9,81 7,83 8,18 8,81 12,5 0,85 1,15 1,83 0,95 3,19 3,03 2,43 1,19 4,83 9,22 10,24 10,76 11,02 11,21 11,24 13,69 0 2 4 6 8 10 12 14 16

Luwu Palopo SULSEL Sidrap Maros Bone Bulukumba Takalar Kurus Sangat kurus Kurus + sgt kurus

(6)

Grafik 4. Proporsi balita kurus, gizi kurang dan pendek Grafik 4 menunjukkan bahwa

kabupaten/kota yang memiliki balita kurus, gizi kurang dan pendek terbanyak adalah kabupaten Takalar, Bone dan Maros. Sebaliknya, kabupaten/kota yang paling sedikit balita kurus, gizi kurang dan kurus adalah Luwu dan Sidrap. Data pada grafik 7 tersebut

memberikan gambaran bahwa kekurangan gizi yang terjadi di kabupaten/kota di Sulsel bersifat akut dan kronis. Kabupaten/kota yang tinggi angka gizi kurang juga mempunyai balita yang kurus maupun pendek yang lebih banyak.

Proporsi status gizi menurut tingkat pendidikan ibu

Grafik 5. Proporsi balita gizi kurang dan gizi buruk menurut tingkat pendidikan ibu Grafik 5 di atas menunjukkan bahwa

ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian gizi kurang maupun gizi buruk. Proporsi balita gizi kurang maupun gizi buruk cenderung mengalami penurunan seiring peningkatan pendidikan ibu. Artinya, semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka semakin baik status gizi balitanya.

Grafik 6 di atas menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian stunting atau hambatan pertumbuhan tinggi badan pada balita. Proporsi balita yang pendek maupun sangat pendek cenderung mengalami penurunan seiring peningkatan pendidikan ibu.

4,83 9,22 10,24 10,76 11,02 11,21 11,24 13,69 18,73 18,83 22,93 25,6 26,1 28,61 30,97 36,17 22,49 31,88 35,98 36,98 37,55 39,07 40,31 44,32 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Luwu Sidrap Bulukumba Palopo SULSEL Maros Bone Takalar

Kurus Gizi kurang Pendek

40,9 28,8 23,4 22,3 20,8 9,2 4,5 6,8 8,3 5,8 4,3 2,9 0,0 5,0 10,0 15,0 20,0 25,0 30,0 35,0 40,0 45,0 tidak pernah sekolah tidak tamat SD

tamat SD tamat SMP tamat SMA tamat PT Gizi kurang Gizi buruk

(7)

Grafik 6. Proporsi balita pendek dan sangat pendek menurut tingkat pendidikan ibu

Grafik 7. Proporsi balita kurus dan sangat kurus menurut tingkat pendidikan ibu Grafik 7 di atas menunjukkan bahwa

ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian kurus maupun sangat kurus pada balita. Proporsi balita kurus maupun sangat kurus cenderung mengalami penurunan seiring peningkatan pendidikan ibu. PEMBAHASAN

Status gizi dalam PSG 2014 ditentukan berdasarkan indeks berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). BB/U merupakan salah satu indeks status gizi yang sering digunakan pada penentuan status gizi dilapangan. Indikator BB/U memberikan gambaran tentang status gizi yang sifatnya umum, tidak spesifik. Tinggi rendahnya proporsi gizi buruk atau gizi buruk dan kurang

mengindikasikan ada tidaknya masalah gizi pada balita, tetapi tidak memberikan indikasi apakah masalah gizi tersebut bersifat kronis atau akut (Balitbangkes, 2008).

Berdasarkan indeks BB/U menunjukkan terjadi penurunan proporsi balita penderita gizi kurang maupun gizi buruk tingkat Provinsi Sulsel, jika dibadingkan dengan data hasil survey sebelumnya yaitu Riskesda tahun 2013 maupun Riskesda tahun 2010. Proporsi gizi kurang tingkat Sulsel 2014 sebesar 20.53%, menurun sekitar 5% dibandingkan angka Riskesda 2010 (Kemenkes, 2011) dan Riskesda 2013 yang telah mencapai sekitar 25% ((Kemenkes, 2014). Pada Riskesdas 2010 maupun Riskesdas 2013, Sulsel termasuk sepuluh provinsi yang perlu mendapat perhatian yang serius dalam 21,74 37,7 26,83 28,81 23,53 20,51 8,7 13,14 12 9,53 8,93 5,13 0 5 10 15 20 25 30 35 40 tidak pernah sekolah

tidak tamat SD tamat SD tamat SMP tamat SMA tamat PT

Pendek Sgt Pendek 8 4,69 11,35 9,47 7,42 1,11 0 0 2,84 2,19 1,49 1,67 0 2 4 6 8 10 12 tidak pernah sekolah tidak tamat SD

tamat SD tamat SMP tamat SMA tamat PT

(8)

penanganan masalah gizi karena memiliki prevalensi gizi kurang dan gizi buruk yang tinggi dari provinsi lainnya maupun angka nasional.

Dilihat dari penderita gizi buruk terlihat terjadi penurunan yang signifikan pada angka gizi buruk yang telah mencapai angka proporsi 5.57%, menurun sekitar 0.8% dan 1.0% dibandingkan hasil Riskesda tahun 2010 (6.4%) dan Riskesdas 2013 (6.6%). Proporsi gizi buruk tingkat Sulsel tersebut bahkan sudah lebih rendah dari data nasional hasil Riskesda tahun 2013 (5.7%). Dibandingkan antar kabupaten/kota, terlihat kabupaten/kota yang tertinggi prevalensi gizi kurang dan gizi buruknya adalah kabupaten Takalar dan Bone dengan prevalensi di atas 30%. Sebaliknya, yang paling sedikit jumlah balita penderita gizi kurang dan gizi buruknya adalah kota Palopo dan kabupaten Sidrap dengan prevalensi di bawah 20%. Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs) menetapkan target prevalensi gizi kurang dan gizi buruk paling tinggi 18.5% dan angka gizi buruk maksimal 3.15% (Kemenkes, 2014). Diperlukan kerja yang sangat keras bagi Sulsel untuk mencapai target tersebut dalam sisa waktu satu tahun.

Jumlah balita yang mengalami gangguan pertumbuhan tinggi badan atau pendek (stunting) sebanyak 35.98%, yaitu pendek (25.58%) dan sangat pendek (10.40%). Angka balita pendek tingkat Sulsel tersebut lebih rendah sekitar 5% dibandingkan dengan hasil Riskesda tahun 2013 yang mencapai sekitar 41%. Namun demikian, proporsi balita pendek tersebut masih lebih tinggi dari angka balita pendek tingkat nasional (Riskesda 2013) yang hanya mencapai 37.2%, yaitu balita pendek sebesar 19.2% dan sangat pendek sebesar 18.0%. Jumlah balita yang sangat pendek terlihat penurunan yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2013 (16.4%). Dibandingkan antar kabupaten/kota terlihat yang paling rendah prevalensi balita pendek adalah Sidrap (22.49%) dan Bulukumba (31.88%). Prevalensi balita pendek kedua kabupaten tersebut lebih rendah dari angka nasional (Riskesda 2013) maupun tingkat Sulsel. Sebaliknya, kabupaten/kota yang paling tinggi angka balita pendek adalah (44.32%), Bone (40.31%) dan (Maros 39,07%). Gangguan pertumbuhan tinggi badan yang biasa dikenal dengan istilah Stunting merupakan masalah gizi yang disebabkan oleh kekurangan gizi pada masa yang lalu (Supariasa, 2013), mulai dari kandungan ibu sampai pada awal-awal

kehidupan. Stunting yang terjadi pada anak balita berkaitan dengan panjang badan lahir, asupan zat gizi, penyakit dan infeksi, genetik, dan status sosial ekonomi keluarga (Kusuma KE, 2013). Keadaan kesehatan dan status gizi ibu pada saat hamil sangat menentukan pertumbuhan tinggi badan anak balita dan keadaan kesehatannya sampai 100 tahun yang akan datang anak (Achadi EL, 2014).

Prevalensi balita kurus tingkat provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 10.24%, terdiri atas kurus (BB/TB -2 sd -3 SD) sebanyak 8.41% dan sangat kurus (BB/TB < -3 SD) sebanyak 1.84%. Angka tersebut sedikit mengalami penurunan jika dibandingkan keadaan tahun 2013 (Riskesda 2013) yang mencapai sekitar 12%. Artinya, ada selisih proporsi balita kurus sekitar 2% antara data Riskesda 2013 dengan hasil PSG Sulsel 2014. Demikian juga dengan proporsi balita gemuk hanya mencapai 2.55%, mengalami penurunan yang signifikan dibandingkan hasil Risekesda 2010 yang mencapai 6.9%. Kabupaten/kota yang paling tinggi prevalensi balita kurus dan sangat kurus adalah kabupaten Takalar dan Bone. Sebaliknya, yang paling rendah angka balita kurus maupun sangat kurus adalah kabupaten Luwu dan kota Palopo.

Dilihat gabungan ketiga indeks status gizi, dapat dilihat kabupaten/kota yang memiliki balita kurus, gizi kurang dan pendek terbanyak adalah kabupaten Takalar, Bone dan Maros. Sebaliknya, kabupaten/kota yang paling sedikit balita kurus, gizi kurang dan kurus adalah Luwu dan Sidrap. Data pada grafik 4 memberikan gambaran bahwa kekurangan gizi yang terjadi di kabupaten/kota di Sulsel bersifat akut dan kronis. Kabupaten/kota yang tinggi angka gizi kurang juga mempunyai balita yang kurus maupun pendek yang lebih banyak.

Masalah gizi kurang pada anak balita dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu kurangnya asupan zat gizi dan gangguan kesehatan. Kedua faktor tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor tidak langsung, salah satunya adalah rendahnya tingkat pendidikan orang tua (Supariasa, 2013). Hasil analisis data PSG Sulsel 2014 ini menunjukkan ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu status gizi balita. Prevalensi balita gizi kurang, pendek maupun kurus cenderung meningkat pada ibu yang berpendidikan rendah. Sebaliknya, semakin tinggi tingkat pendidikan ibu semakin berkurang jumlah balita yang mengalami kekurangan gizi. Hasil ini juga sejalan hasil analisis data Riskesdas, yang

(9)

menunjukkan penurunan prevalensi gizi kurang, kependekan dan kekurusan pada tingkat pendidikan orang tua (kepala keluarga) yang lebih tinggi (Depkes, 2008; Depkes 2010; Kemenkes 2013).

Tingkat pendidikan orang tua baik ayah maupun ibu berhubungan yang signifikan dengan status gizi anak balita (Sebataraja LR, 2014) maupun anak sekolah (Linda O, 2011). Ibu dengan latar belakang pendidikan yang memadai cenderung memiliki anak dengan status gizi yang lebih baik (Kusumaningrum, 2003). Tingkat pendidikan orang tua yang rendah juga disinyalir meningkatkan risiko malnutrisi pada anak. Pendidikan orang tua akan berpengaruh terhadap pengetahuan orang tua terkait gizi dan pola pengasuhan anak, dimana pola asuh yang tidak tepat akan meningkatkan risiko kejadian stunting (Chaudhury RH, 2013). Tingkat pendidikan orang tua mempengaruhi jenis pekerjaan dan penghasilan sehingga berpengaruh juga terhadap daya beli keluarga. Tingkat pendidikan orang tua secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi pengetahuan tentang gizi dan kesehatan. Orang tua terutama ibu yang berpendidikan memadai akan lebih mudah mendapat informasi tentang pengasuhan yang baik, perawatan kesehatan dan pemenuhan kebutuhan gizi anak. Ibu yang berpendidikan baik memiliki pengetahuan gizi yang baik tentang pemilihan bahan makanan yang bergizi serta dapat melakukan upaya-upaya preventif untuk peningkatan gizi anak, diantaranya tentang cara pemberian makanan pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI).

Taufiqurrahman, dkk (2012) membuktikan semakin tinggi tingkat pendidikan ibu semakin baik pola penyediaan MP-ASI. Hal yang sama juga ditemukan oleh Nuraeni, 2002 yang menyimpulkan tingkat pendidikan orang tua berhubungan dengan pola pemberian MP-ASI. KESIMPULAN

1. Prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di Sulawesi Selatan masih lebih tinggi dari hasil Riskesdas 2013 maupun target MDGs 2015 meskipun terjadi penurunan pada prevalensi gizi buruk.

2. Terjadi penurunan prevalensi balita pendek (stunting) sebanyak 5% dibandingkan hasil Riskesdas 2013. 3. Prevalensi balita kurus menurun 1.84%

dibandingkan hasil Riskesdas 2013. 4. Kabupaten/kota yang memiliki prevalensi

balita gizi kurang, pendek dan kurus yang terbanyak adalah Bone dan Takalar, dan

yang memiliki prevalensi terendah adalah Sidrap dan Luwu.

5. Terjadi penurunan prevalensi balita gizi kurang, pendek maupun kurus seiring peningkatan pendidikan orang tua (ibu). DAFTAR PUSTAKA

Achadi EL, 2014. Seribu hari pertama menentukan masa depan bangsa. Pidato Pengukuhan sebagai Guru besar tetap Gizi Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (diakses tanggal 31 desember 2014). Anggraini, Dyah S. 2008. Hubungan Makanan

Bergizi dengan Status Gizi Balita. (Online). www.lusa.web.id. Diakses tanggal 31 Desember 2014.

Balitbangkes. 2008. Laporan Riset Kesehatan Dasar. Balai Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan

(Balitbangkes) Depkes RI, Jakarta. Balitbangkes. 2010. Laporan Riset Kesehatan

Dasar. Balai Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan

(Balitbangkes) Depkes RI, Jakarta. Chaudhury RH. 2013. Determinants of dietary

intake and dietary adequacy for pre-school children in Bangladesh. Bangladesh Institute of Development Studies. [accessed March 29, 2013].

Available from: URL:

http://archive.unu.edu/unupress/food/8 F064e/8F064E04.htm

Kemenkes RI. 2013. Riskesdas dalam angka Provinsi Sulawesi Selatan. Kemenkes RI, Jakarta.

Kemenkes RI. 2014. Kebijakan Kementrian

Kesehatan dalam Mencapai MDGs. http://www.depkes.go.id/index.php/beri ta/press-release/2240-kebijakan-

kementerian-kesehatan-dalam-mencapai-mdgs.html (diakses tanggal 31 Desember 2014)

Kusuma KE, Nuryanto. 2013 Faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 2-3 tahun (Studi di Kecamatan Semarang Timur). Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang.

Kusumaningrum NR. 2003. Pengaruh tingkat pendidikan ibu, aktivitas ekonomi dan pendapatan keluarga terhadap status gizi balita di Kecamatan Simo Kabupaten Boyolali. Fakultas Ekonomi, Universtas Sebelas Maret. Surakarta.

(10)

Linda O, Hamal DK. 2011. Hubungan pendidikan dan pekerjaan orang tua serta pola asuh dengan status gizi balita di Kota dan kabupaten Tangerang, Banten. Proseding penelitian bidang eksakta. Fakultas Kesehatan Masyarakat FIKES UHAMKA. 2011.

Nuraeni. Hubungan Karakteristik Ibu, Dukungan Keluarga dan Pendidikan Kesehatan dengan Perilaku Pemberian ASI dan MP-ASI di Desa waru Jaya Kecamatan Parung Kabupaten Bogor tahun 2002. Thesis. Diakses tanggal 31 Desember 2014.

Available:http://lontar.ui.ac.id/opac/the mes/libri2.

Sebataraja LR, Oenzil F, Asterina. 2014.Hubungan status gizi dengan status social ekonomi keluarga murid Sekolah Dasar di daerah pusat dan pinggiran Kota Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(2). Taufiqurrahman ., Herta Masthalina, Reni Gatri

Wulandari. 2012. Hubungan antara pendidikan dan pengetahuan ibu dengan pola pemberian MP-ASI pada anak usia 6-24 bulan di Kelurahan Karang Baru Selaparang, Mataram, Nusa Tenggara Barat. Gizi Indonesia

Vol 1, No 35 (2012)

Gambar

Grafik 1. Proporsi Gizi Kurang pada Balita
Tabel  4  menunjukkan  bahwa  jumlah  balita  yang  mengalami  gangguan  pertumbuhan  tinggi  badan  atau  pendek  (stunting)  sebanyak  35.98%,  yaitu  pendek  (25.58%) dan sangat pendek (10.40%)
Grafik 3. Proporsi balita yang kurus  Grafik  3  menyajikan  data  proporsi
Grafik 4. Proporsi  balita kurus, gizi kurang dan pendek  Grafik  4  menunjukkan  bahwa
+2

Referensi

Dokumen terkait

Sebagian dari limbah B3 yang telah diolah atau tidak dapat diolah dengan. teknologi yang tersedia harus berakhir pada pembuangan (

Gugatan oleh Pekerja atas pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalama pasal 159 dan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 tahun sejak diterimanya atau

Data yang dikumpulkan adalah data dari variabel percaya diri. Sebagai berikut : variabel X merupakan variabel independen yang mengukur percaya diri, berikut ini tabel

BELANJA MODAL PENGADAAN KONSTRUKSI / PEMBELIAN BANGUNAN GEDUNG SEKOLAH ( PENAMBAHAN RUANG KELAS BARU SMP DAN MTs NEGERI TAHUN ANGGARAN 2012 MTsN RAJAGALUH ). HASIL

• Beberapa efek ini diakibatkan oleh peningkatan stimulasi postsinap reseptor 5-HT akibat peningkatan konsentrasi obat atau akibat stimulasi reseptor yang sama namun regio

Masyarakat ekonomi ASEAN akan membentuk ASEAN sebagai pasar dan basis produksi tunggal, membuat sebuah kawasan menjadi lebih dinamis dan kompetitif dengan mekanisme

Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa banyak kriteria kinerja, maka peneliti menggunakan kriteria kinerja menurut Suyadi Prawirosentono yang meliputi: efektifitas,