• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai salah satu faktor utama membangun Negara agar cita-cita menuju keadilan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. sebagai salah satu faktor utama membangun Negara agar cita-cita menuju keadilan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Salah satu tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Semua elemen bangsa indonesia utamanya para elit dipusaran kekuasaan menyadari pentingnya peningkatan pendidikan sebagai salah satu faktor utama membangun Negara agar cita-cita menuju keadilan dan kesejahteraan bersama dapat terwujud, keterpurukan pendidikan indonesia didasari atas minimnya pendanaan. Latar belakang inilah yang melahirkan Pasal 31 Ayat 4 UUD 1945 yang klausul pentingnya adalah memprioritaskan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN/APBD.melihat dari kenyataan yang ada di dalam sistem pendidikan saat ini menurut saya adanya ketidak sesuaian antara kenyataan dan keharusan.misalnya perlakuan diskriminatif terhadap warga yang kurang mampu yang tidak bisa mengenyam pendidikan secara sama,padahal seharusnya pendidikan harus sesuai dengan pasal 4 UUD no 20 tahun 2003.

Pendidikan merupakan hal yang pertama dilakukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan perilaku seseorang atau kelompok dalam upaya mendewasakan manusia melalui pengajaran dan pelatihan, proses, cara mendidik. Kondisinya pendidikan menjadi hal yang paling sering dibahas, karena lewat pendidikanlah sesuatu perubahan dimulai. Penciptaan generasi muda yang memiliki kemampuan ilmu pengetahuan yang dengan ilmu pengetahuan itu dapat melakukan pembangunan di

(2)

2

segala bidang merupakan alasan umum mengapa pendidikan menjadi begitu penting (cha cha,2013).

Jadi dalam hal ini adanya pendidikan akan mengubah keadaan disegala bidang, dikarenakan pendidikan yang diperoleh oleh setiap warga negara Indonesia dapat dijadikan modal untuk memperoleh tujuan bersama dan sepatutnya negara yang dalam hal ini adalah pemerintah untuk menjamin terselenggaranya program pendidikan dengan menyeluruh tanpa adanya diskriminasi. Semua ini tertuang dengan tegas dalam konstitusi negara Indonesia, hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan. Agar tujuan bangsa Indonesia dalam meraih keadilan dan kesejahteraan yang diharapkan, akan dengan mudah jika memiliki modal yakni sumber daya manusia yang ideal.

Untuk mengelolah negara dengan baik pemerintah haruslah konsisten pada yang namanya menyediakan sarana pendidikan yang merata, serta dapat dinikmati oleh setiap warga negara tanpa membedakan kelas. Pentingnya akan pendidikan demi kelangsungan hidup manusia dan menuju kesejahteraan dan keadilan memang tidak mudah, butuh yang namanya perjuangan dan realisasi dari negara kepada warga negara Indonesia guna menguatkan pertahanan negara.

Namun pada kenyataannya, pendidikan Indonesia sekarang ini menunjukkan kualitas yang rendah. Kenyataan yang justru terjadi dengan pendidikan di negara yang begitu luas ini adalah pendidikan tidak meluas merata ke seluruh penjuru nusantara. Di era pembangunan yang sedang gencar-gencarnya ini, kesenjangan masih dirasakan oleh wilayah-wilayah Indonesia yang berada jauh dari jangkauan pemerintah pusat. Wilayah Indonesia yang secara garis besar dapat

(3)

3

dibagi menjadi 2 kawasan yaitu kawasan barat dan kawasan timur, dimana letak pemerintahan pusat berada di kawasan barat membuat kesenjangan dalam banyak bidang antara kawasan barat yang dianggap sebagai pusat pemerintahan dan pusat pembangunan dengan kawasan timur Indonesia yang cenderung sulit dijangkau dari pusat pemerintahan. Berdasarkan data terakhir Kementrian Daerah Tertinggal, dari 183 daerah tertinggal di Indonesia, 70% berada di kawasan timur Indonesia.

Pemerintah memang tak henti-hentinya memberikan kebijakan demi kemajuan pendidikan, namun kebijakan demi kebijakan seakan hanya menjadi Oase ditengah padang pasir yang kesejukannya hanya sesaat saja. Dalam praktiknya, pendidikan tetap menjadi masalah yang krusial bagi bangsa ini. Terkhusus pendidikan di daerah 3T. tertinggal, terpencil dan terbelakang. Terlebih, Pendidikan Indonesia semakin hari kualitasnya makin rendah. Berdasarkan Survey United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), terhadap kualitas pendidikan di Negara-negara berkembang di Asia Pacific, Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara.

Sebenarnya pemerintah Indonesia telah lama menyadari akan pentingnya pendidikan untuk pembangunan nasional, seperti yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 bahwa ; “Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran”, yang kemudian dirumuskan dalam GBHN yang antara lain dikemukakan bahwa titik berat pembangunan pendidikan diletakkan pada peningkatan mutu setiap jenjang dan jenis pendidikan serta perluasan kesempatan belajar pada jenjang pendidikan menengah dalam rangka persiapan wajib belajar untuk pendidikan menengah tingkat pertama.namun, Terdapat kesenjangan yang

(4)

4

luar biasa besar antara cita-cita ideal Bangsa dengan kondisi real bangsa Indonesia saat ini.

Perkembangan pendidikan di Indonesia memang masih pada level stagnan atau jalan ditempat. Sistem pendidikan yang selalu berubah-rubah, kurikulum yang selalu berubah, dan kebijakan-kebijakan yang membingungkan membuat status pendidikan Indonesia belum juga meningkat.

Sungguh ironis jika kita mencermati kondisi pendidikan dan siswa yang ada di indonesia dari tahun ke tahun.pada tahun 1995, lebih dari 30% anak berumur 10 tahun tercatat tidak menamatkan pendidikan dasarnya (depdiknas:18) selanjutnya, pada tahun 1997, ada peningkatan yang cukup lumayan,tetapi masih di kategorikan cukup minim, yakni anak yang lulus SD (sekolah dasar) mencapai kisaran 32,99%. Angka tersebut berubah pada tahun 2000,yaitu 32,45%.Fakta semacam itu sangat memilukan.

Selain indikator angka anak sekolah, kualitas SDM di Indonesia juga tercover dari The Human Development (HDI), apabila di bandingkan dengan beberapa negara lain pada level internasional.Berdasarkan data UNDP (2004), kualitas masyarakat Indonesia masih terkategorikan sangat rendah. Sebab, dari 177 negara,HDI Indonesia menduduki ranking 111 pada tahun 2002. Ironisnya, seiring berjalannya waktu, bukannya bertambah baik,justru semakin menurun hingga peringkat 112 dari 175 negara.

Sebenarnya,masih banyak fakta memilukan lainnya terkait dengan keberadaan bangsa Indonesia dalam upaya meningkatkan kualitas SDM. Maka,wajarlah bila kekayaan alam yang melimpah ruah semakin menambah kekecewaan terhadap

(5)

5

bangsa Indonesia. Sementara itu,di sisi lain,berpijak pada beberapa fakta sosial,ternyata perhatian pemerintah Indonesia terhadap dunia pendidikan terkategorikan sangat rendah.

Pada tahun 2003,dari total APBN,jatah bagian untuk pendidikan hanya 2,8%(Depkeu,2005). Pada tahun 2004,itu meningkat menjadi 3,3%,yaitu berkisar naik 0.5% dari total APBN yang ada. Sementara itu, saat pergantian pemerintah dengan terpilihnya Susilo Bambang Yudoyono(SBY) sebagai presiden (2004-2009), anggaran untuk biaya pendidikan semakin meningkat.Sehingga,dalam RAPBNnya memberikan porsi 8,1% dari total APBN untuk sektor pendidikan. Meningkatnya anggaran biaya pendidikan oleh SBY tentunya cukup membahagiakan dan membuka harapan baru bagi masa depan pendidikan nasional. Pada dasarnya, penunjangan layanan pendidikan sepenuhnya memang merupakan tanggung jawab pemerintah. Hal ini secara jelas termaktub dalam UUD 1945 (perubahan keempat tahun 2002) Pasal 31 Ayat 1 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Selain itu, dalam ayat yang lain, yaitu ayat 2, dinyatakan secara tegas bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar,dan pemerintah wajib membiayainya (Farodis Zian,2011:18).

Pemerintah memang tak henti-hentinya memberikan kebijakan demi kemajuan pendidikan, namun kebijakan demi kebijakan seakan hanya menjadi oase di tengah padang pasir yang kesejukannya hanya sesaat saja. Dalam praktiknya, pendidikan tetap menjadi masalah yang krusial bagi bangsa ini.

(6)

6

Hingga saat ini memang belum terjadi pemerataan pendidikan, baik dari segi tenaga pengajar, fasilitas sarana prasarana, sampai siswa-siwanya yag kelak menjadi generasi penerus bangsa. Sekolah yang kualitasnya bagus karena memiliki pengajar yang kompeten, fasilitas lengkap, dan siswa-siswanya cerdas akan semakin bagus. Sedangkan sekolah yang kualitasnya sedang justru sebaliknya. Sekolah yang kualitasnya sedang atau kurang bagus akan menjadi bertambah buruk. Sudah tenaga pengajarnya kurang kompeten, fasilitasnya kurang, siswa-siswanya juga kurang secara akademis menurut Prof. Eko Budihardjo.

Sebagai contoh untuk dapat menikmati program kelas bertaraf Internasional diperlukan dana kurang lebih dari puluhan juta. Alhasil hal tersebut hanya dapat dinikmati golongan kelas atas yang mapan. Dengan kata lain yang maju semakin maju, dan golongan yang terpinggirkan akan semakin terpinggirkan dan tenggelam dalam arus globalisasi yang semakin kencang yang dapat menyeret mereka dalam jurang kemiskinan. Masyarakat kelas atas menyekolahkan anaknya di sekolah – sekolah mewah di saat masyarakat golongan ekonomi lemah harus bersusah payah bahkan untuk sekedar menyekolahkan anak mereka di sekolah biasa. Maka, ketimpangan ini dapat memicu kecemburuan yang berpotensi menjadi konflik sosial. Peningkatan kualitas pendidikan yang sudah tercapai akan sia-sia jika gejolak sosial dalam masyarakat akibat ketimpangan karena kemiskinan dan ketidakadilan tidak diredam (Hanakristina,2010).

Bukan hanya kualitas pendidikan, fasilitas dan kemampuan siswa secara akademis yang menjadi ketimpangan kesenjangan pendidikan, tetapi juga secara psikologis yaitu perkembangan siswa. Anak-anak dapat berkembang lebih baik bila

(7)

7

ada interaksi dengan siswa dan guru yang berbeda-beda. Manfaatnya, siswa-siswa pintar bisa berbagi, sedangkan siswa yang kurang pandai bisa belajar untuk meningkatkan diri. Bila anak-anak sudah dikotak-kotakkan berdasarkan kecerdasan atau taraf ekonomi melalui sistem pendidikan, generasi muda Indonesia akan menganggap bahwa ketidakadilan merupakan hal biasa. Kebijakan pemerintahlah yang seharusnya meminimalisir jumlah anak-anak bangsa yang tertinggal.

Selain itu, juga akan mempengaruhi budaya bangsa. Misalnya, untuk sekolah yang bertaraf internasional, mata ajar wajib bukan hanya pelajaran bahasa Indonesia, tetapi juga bahasa-bahasa asing lainnya. Serta untuk bahasa pengantar dalam pembelajaran tidak sepenuhnya lagi menggunakan Bahasa Indonesia dikarenakan guru-gurunya pun dikonsepkan untuk bisa fasih dalam bahasa asing lainnya terutama bahasa inggris. Selain bahasa pengantar dalam pembelajaran, bahasa Indonesia ataupun bahasa daerah bukan lagi menjadi bahasa pergaulan siswa untuk siswa-siswa yang bersekolah di sekolah yang bertaraf internasional.

Padahal masih banyak guru-guru di daerah atau guru-guru di perkotaan yang belum mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan fasih dalam mengajar. Dikarenakan sebagian dari guru kita di tanah air ini masih menggunakan bahasa daerahnya dalam mengajar meski tinggal dan hidup di lingkungan yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Begitupun juga dengan siswa-siswanya. Sehingga diharapkan walaupun kita bisa bahasa asing, kita tidak melupakan bahasa ibu.

Sehingga, dapat dikatakan banyak faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan pendidikan, yaitu sebagai berikut :

(8)

8

 Sumber daya manusia  Infrastruktur

 Proses pembelajaran yang konvensional  Lemahnya sistem pendidikan nasional

Pemerintah sebagai pengemban amanat rakyat, dapat bergerak cepat menemukan dan memperbaiki celah – celah yang dapat menyulut kesenjangan dalam dunia pendidikan. Salah satunya dengan cara menjadikan pendidikan di Indonesia semakin murah atau bahkan gratis tapi bukan pendidikan yang murahan tanpa kualitas. Hal ini memang sudah dimulai di beberapa daerah di Indonesia yang menyediakan sekolah unggulan berkualitas yang bebas biaya. Namun hal tersebut baru berupa kebijakan regional di daerah tertentu. Alangkah baiknya jika pemerintah pusat menerapkan kebijakan tersebut dalam skala nasional. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut pemerintah perlu melakukan pembenahan terutama dalam bidang birokrasi.

Selain itu membuat standar baru tentang kualitas pendidikan yang tidak saja menyentuh kemampuan dan kreativitas siswa melainkan juga ongkos sekolah. Kriteria yang mempersyaratkan kemampuan menampung siswa tidak mampu sekaligus kemampuan untuk mensejahterakan guru. Sekolah tidak lagi diukur dari kemampuannya mencetak siswa yang pintar melainkan bagaimana mengajarkan siswa untuk saling bertanggung jawab dan mempunyai solidaritas tinggi. Standar internasional tentang kemampuan intelektual tidak akan bisa diraih dengan kondisi struktural yang masih mengalami persoalan ketimpangan dan kesenjangan sosial.

(9)

9

Indonesia adalah negara hukum, yang semestinya menjunjung tinggi aturan hukum. isi yang ada dalam sebuah peraturan adalah suatu amanat bagi semua warga indonesia tanpa terkecuali untuk menegakkan dengan cara merealisasikan secara nyata. Peraturan perundang-undangan juga mengatur hak asasi setiap warga negara, khususnya hak memperoleh pendidikan secara merata tanpa adanya diskriminasi. Seperti Pasal 4 ayat 1 UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyatakan secara tegas prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan yaitu(UU no20 thn 2003):

(1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Jadi dalam hal ini menurut penulis akan lebih baik dan benar jika apapun yang diatur dan diperintahkan di dalam suatu peraturan perundang-undangan mengenai hak setiap warga memperoleh pendidikan secara manusia dan tanpa diskriminasi diaplikasikan dengan pasti. Pemerataan yang sama dalam pelayanan pendidikan yang diberikan oleh setiap pelajar dalam dunia pendidikan seharusnya dilakukan secara profesionalitas berdasarkan aturan yang ada.

Di Indonesia masih saja terjadi suatu keadaan dimana adanya pemangkasan hak asasi manusia dalam memperoleh pendidikan yang merata tanpa adanya diskriminasi seperti pada kasus di Garut berikut ini:

TEMPO.CO, Tiga siswi Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Cisewu, Kabupaten Garut, Jawa Barat, dilarang mengikuti ujian nasional (UN). Sekolah mengeluarkan

(10)

10

tiga siswi itu karena dituduh tengah hamil. Ketiga siswi itu adalah Dewi Helmi Tri Asmara, siswi kelas XII IPA; Laela Wulandari, kelas XII IPS; dan Ina Amelia, kelas XII IPA. Orang tua Dewi, Saepudin, 50 tahun, menyatakan, anaknya dikeluarkan oleh pihak sekolah sepekan menjelang ujian nasional. Mereka disuruh untuk menandatangani surat pengunduran diri di atas materai. "Penandatanganan surat itu tanpa sepengetahuan orang tua," ujarnya, Senin, 15 April 2013. Menurut dia, anaknya dikeluarkan karena dituduh tengah mengandung dua bulan. Padahal, berdasarkan hasil pemeriksaan medis yang dilakukan oleh bidan setempat, Dewi tidak dalam kondisi hamil. Bukti medis itu pun telah disampaikan kepada pihak sekolah. Namun mereka tetap menolak dan tidak mengikutkan anaknya dalam ujian kali ini(Zulmunir Sigit,2013).

Pada kasus yang terlihat diatas mengenai kesenjangan pendidikan yang ada antara apa yang dicita-citakan bangsa Indonesia dengan kenyataan yang ada antara lain yakni adanya perlakuan diskriminasi terhadap pelayanan pendidikan terhadap siswi dalam kondisi hamil, baik karena disengaja maupun karena tidak disengaja misalnya karena diperkosa yang membuat hamil. Perlakuan yang didapatkan pada siswi seperti inilah yang dapat terlihat mengalami pembedaan dalam dunia pendidikan dikarenakan menurut asumsi yang diberikan oleh instansi dibidang pendidikan karena dapat mempengaruhi siswa-siswi lainnya yang akan berdampak negatif untuk nama baik sekolah.

Semuanya hanyalah keadaan diskriminasi belaka, karena kenakalan siswa-siswi tidak luput dengan cara mengajar yang diberikan guru pada muridnya. Karena apa yang ditanamkannya akan menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan sosial

(11)

11

yang mereka jalani. Potret demikian yang akan dirasakan bahwa tujuan bangsa Indonesia untuk memenuhi hak setiap warga negara dalam memperoleh pendidikan yang sama tanpa adanya diskriminasi dan dijamin pada konstitusi tidak berjalan dengan baik dan maksimal.

Kemudian juga kesenjangan yang ada dialami oleh masyarakat yang memiliki kondisi ekonomi menengah kebawah. Didalam keinginan yang semakin tinggi dalam meraih cita-cita yang diharapkan pada setiap manusia, akan terhalang oleh tidak dapatnya perolehan pendidikan yang layak dan semestinya didapatkan. Dalam kenyataannya lapangan kerja semakin sempit serta semakin mahalnya biaya pendidikan yang ada, maka kalangan masyarakat ekonomi menengah kebawah akan kesulitan dalam memperoleh pendidikan yang layak.

Dalam hal ini dapat dilihat pada berita yang memuat kesenjangan dalam memperoleh pendidikan:

BANJARMASIN.TRIBUNNEWS.COM, Bukan rahasia, di negeri ini untuk mengecap pendidikan yang berkualitas kita harus merogoh kocek yang lebih banyak. Pendidikan yang berkualitas hanya akan dikecap oleh kalangan berduit, yang memiliki kemampuan secara finansial lebih diprioritaskan karena dianggap dapat memberikan keuntungan. Yang tidak mampu membayar lebih hanya akan mendapatkan pendidikan “pinggiran”, bahkan tidak dapat mengenyam sama sekali. Pendidikan masa kini lebih mirip dengan pasar(luthfia Ayu Karina,2013).

Dalam berita diatas sangatlah memprihatinkan, dikarenakan adanya diskriminasi yang bertolak belakang pada Pasal 31 UUD 1945 yang tidak membedakan kelas dan semua warga negara berhak memperoleh pendidikan yang

(12)

12

layak guna membangun sumber daya manusia yang diinginkan. Pemerintah sangatlah tidak berpegang teguh pada amanat konstitusi negara Indonesia, dan mengenyampingkan hak warga negara dalam mendapatkan pendidikan yang layak. Penderitaan kaum miskin tidak dihiraukan, sudah memiliki kondisi ekonomi kebawah, mereka juga tidak dijamin dalam hal kesempatan memperoleh pendidikan yang layak sesuai konstitusi yang ada.

Berdasarkan uraian latar belakang yang ada berkenaan dengan kesenjangan apa yang diharapkan dan apa yang ada pada kenyataannya, maka penulis dengan ini akan mengangkat judul skripsi yakni “ANALISIS YURIDIS MENGENAI KEWAJIBAN NEGARA DALAM MEMENUHI HAK WARGA NEGARA DALAM MEMPEROLEH PENDIDIKAN DIKAITKAN DENGAN PASAL 4 UNDANG-UNDANG NO. 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL”

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana realisasi kewajiban negara dalam memenuhi hak warga negara dalam memperoleh pendidikan jika dikaitkan dengan Pasal 4 Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan nasional ?

2. Apakah faktor-faktor yang mendukung dan menghambat terwujudnya realisasi kewajiban negara dalam memenuhi hak warga negara dalam memperoleh pendidikan dengan baik sesuai Pasal 4 Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional ?

(13)

13 C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan fokus kajian atau rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan memahami realisasi kewajiban negara dalam memenuhi hak warga negara dalam memperoleh pendidikan jika dikaitkan dengan Pasal 4 UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

2. Untuk mengetahui dan memahami faktor-faktor yang mendukung dan menghambat terwujudnya realisasi kewajiban negara dalam memenuhi hak warga negara dalam memperoleh pendidikan dengan baik sesuai Pasal 4 UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

D. Manfaat Penulisan

Penulisan yang dipaparkan ini mempunyai manfaat baik secara teoritis maupun praktis.

1. Manfaat Teoritis

Hasil-hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk pemahaman mengenai korelasi antara ilmu hukum dan hak asasi manusia di bidang pendidikan serta realisasi yang ada .

2. Manfaat Praktis

a) Memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai realisasi kewajiban negara dalam memenuhi hak warga negara dalam memperoleh pendidikan secara yuridis dan secara riil.

(14)

14

b) Memberikan kontribusi bagi Pemerintah Negara Indonesia untuk dijadikan suatu pandangan atau langkah ke depan yang positif terhadap perwujudan realisasi kewajiban negara dalam memenuhi hak warga negara dalam memperoleh pendidikan secara konstitusi.

E. Kegunaan Penulisan

Pada penulisan ini akan berguna untuk kalangan akademisi dan masyarakat umum dalam memahami ilmu pengetahuan hukum mengenai hak warga negara dalam memperoleh pendidikan yang tertuang didalam Konstitusi Republik Indonesia dengan kaitannya realita dilapangan secara riil.

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan penggunaan model pembelajaran Kooperatif tipe TGT (Team Games Tournament) sangat berpengaruh terhadap hasil belajar siswa kelas

TENAGA KESEHATAN HARUS MEMBERI PERHATIAN KEPADA PENDUDUK MUDA YANG UMUMNYA BEKERJA KERAS AGAR HIDUP SEHAT DAN BERUSIA

Pada kecepatan 10 -50 m/s algoritma locally optimal semakin rendah dan nilai hampir konstan seiring jumlah handoff semakin kecil dan kecepatan yang semakin

Rumusan ini memiliki tiga makna di dalamnya (1) manusia adalah penentu esensinya sendiri, maka tidak ada lingkungan atau esensi lainnya yang dapat membatasi diri untuk

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui formula yang optimal pada pembuatan minuman serbuk buah delima merah menggunakan aplikasi Deign Expert metode Simplex

Berdasarkan latar belakang masalah sebelumnya, maka isu sentral dari penelitian ini adalah kebijakan pemberian insentif pajak Tax Allowance terhadap bidang usaha dan

Kampung ini tidak terlalu jauh dengan kampung Babakan Gunung, di kampung Cibeusi inilah berdirinya sebuah grup kesenian Gembyung yang selalu disajikan di kampung

Sedangkan pada kasus di atas yang terjadi sebaliknya, yakni individu tidak memiliki kecerdasan emosi tinggi tetapi bisa meraih prestasi belajar yang tinggi, hal ini