• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan Karakter pada Materi PAI dalam Pembentukan Manusia Berkualitas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pendidikan Karakter pada Materi PAI dalam Pembentukan Manusia Berkualitas"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN KARAKTER PADA MATERI PAl

DALAM PEMBENTUKAN MANUSIA BERKUALITAS

Mas turin

Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Kudus e-mail: masturin04_stainkudus@yahoo.co.id

ABSTRACT

National Education vision is oriented towards the realization of the educational system as a social institution that is strong and authoritative in order to empower all citizens of Indonesia. Indonesian people are expected to be developed and qualified so as to be the answer of the challenge which has been increasingly advanced. In this era of globalization, it makes Indonesia's young generation is in a position that is in the midst of rapid flow of information so freely. Along with advances in information technology and telecommunications, the role of the teacher in the learning process is needed to deliver the young generation national character. The most important agenda in the context ofthe development of the nation's character is the collective reformation of the components of the nation to be able to make the turn or changes after undergoing every learning process.

Keywords: character, PAl, quality human

***

Visi Pendidikan nasional diorientasikan pada terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa guna memberdayakan semua warga negara Indonesia. Diharapkan manusia Indonesia berkembang dan berkualitas sehingga mampu menjawab tantang zaman yang telah semakin maju. Di era globalisasi ini telah menempatkan generasi muda Indonesia pada posisi yang berada di tengah-tengah derasnya arus informasi yang sedemikian bebas. Seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi, peran guru dalam proses pembelajaran sangat dibutuhkan untuk mengantarkan generasi muda yang berkarakter kebangsaan. Agenda terpenting dalam konteks pembinaan karakter bangsa adalah adanya reformasi kolektifterhadap komponen-komponen bangsa untuk sanggup melakukan pergantian atau changes setelah menjalani setiap proses pembelajaran.

Kata kunci: karakter, PAl, manusia berkualitas

AL-BIDAYAH: Jurnal Pendidikan Dasar Islam Volume 7 Nomor 1, Juni 2015; ISSN : 2085-0034

(2)

PENDAHULUAN

Pembentukan karakter bangsa merupakan hal yang amat penting bagi generasi muda dan bahkan menentukan nasib bangsa di masa depan. Kita juga sering mendengar bahwasanya generasi muda perlu memiliki mental kepribadian yang kuat, bersemangat, ulet, pantang menyerah, disiplin, inovatif dan bekerja keras, untuk dapat menjadikan bangsanya menjadi bangsa yang memiliki daya saing tinggi, sehingga dapat berada sejajar dengan bangsa-bangsa lain.

Upaya strategis yang harus dilakukan oleh generasi muda dalam menghadapi hal tersebut adalah sebuah koordinasi gerakan revitalisasi kebangsaan melalui pendidikan yang diarahkan terutama pada penguatan ketahanan masyarakat dan bangsa terhadap segenap upaya nihilisasi dari pihak luar terhadap nilai-nilai budaya bangsa.

Pendidikan Agama Islam (P AI) merupakan upaya untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, penghayatan dan pengalaman agama anak didik agar mampu membudayakan diri dan dapat mengamalkan ilmu serta keterampilan sesuai dengan nilai Islam (Daradjat 1993:96). PAl merupakan proses pengkondisian, agar anak didik meningkat pengetahuan, pemahaman, penghayatan serta pengalaman ajaran agama Islam. Pengkondisian dalam hal ini, berarti upaya menumbuhkan kesadaran dari dalam diri anak didik, yang merupakan suatu kesadaran yang memungkinkan anak didik mempunyai persepsi yang benar dan mendalam tentang agama sebagai sumber nilai dalam hidupnya, sehingga tumbuh kekuatan dan kemauan dalam dirinya untuk komitmen mengaktualisasikan nilai-nilai Illahiah dalam kehidupan sehari-harinya.

PAl berupaya mengembangkan sisi afeksi

52

I

AL-BIDAYAH, Volume 7 Nomor 1, Juni 2015

dalam diri peserta didik, selain kemampuan intelektual dan ketrampilannya. Namun pada pelaksanaannya pendidikan agam Islam lebih banyak diarahkan untuk konsumsi otaki aspek kognisi dan belum menunjukkan arah pengembangan aspek afeksi dan psikomotor secara khusus. Sebagai akibatnya materi agama Islam akhimya hanya dipahami sebagai pengetahuan semata yang cukup dimengerti dan dihafalkan bukan sebagai sistem nilai yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, dengan kata lain PAl baru sebatas proses pengayaan kognisi belum merupakan proses intemalisasi nilai.

Memperhatikan uraian-uraian di atas dapat dikatakan bahwa sistem membangun karakter dan budaya bangsa melalui PAl diperlukan reorientasi dan rekonstruksi model pembentukan karakter dan budaya bangsa mulai dari paradigmanya, tujuannya, materinya, sampai pada manajerialnya.

PEMBAHASAN

Model Pendidikan Karakter Pada Materi

PAl

PAl sebagai sebuah mata pelajaran, me-miliki kurikulum tersendiri. Pengertian kurikulum pendidikan agama secara umum dapat didefinisikan sebagai bahan-bahan pendidikan agama yang berupa kegiatan, pengetahuan dan pengalaman yang dengan sengaja dan sistematis diberikan kepada anak didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan agama (Zuhairini, 1983:59).

Pendidikan agama Islam (PAl) mencakup us aha untuk mewujudkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara ( 1) hubungan man usia dengan Allah SWT; (2) hubungan manusia dengan dirinya sendiri; (3) hubungan manusia dengan sesama man usia; dan ( 4) hubungan manusia dengan makhluk lain dan lingkungan

(3)

Pendidikan Karakter Pada Materi PAl dalam Pembentukan Manusia Berkualitas

alamnya (Depag. RI, 2003).

Secara normatif, dan sebagaimana telah hampir dapat diterima oleh umumnya kita sekalian, pembentukan karakter bangsa merupakan hal yang amat penting bagi generasi muda dan bahkan menentukan nasib bangsa di masa depan. Generasi muda perlu memiliki mental kepribadian yang kuat, bersemangat, ulet, pantang menyerah, disiplin, inovatif dan bekerja keras, untuk dapat menjadikan bangsanya menjadi bangsa yang memiliki daya saing tinggi, sehingga dapat berada sejajar dengan bangsa bangsa lain.

N amun pada kenyat aannya, pemyataan di at as sering hanya sebatas pada retorika. Kondisi yang kit a hadapi sekarang menunjukkan bahwa era globalisasi telah menempatkan generasi muda Indonesia pada posisi yang berada di tengah-tengah derasnya arus informasi yang sedemikian bebas, sejalan dengan kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi (Tilaar: 2002).

Sebagai akibatnya, maka nilai-nilai asing secara disadari ataupun tidak disadari telah memberi pengaruh langsung maupun tidak langsung kepada generasi muda. Walaupun masih bel urn ada bukti empiris secara langsung bahwa nilai-nilai asing tersebut seluruhnya memberikan dampak negatif bagi generasi muda, akan tetapi jika tidak dilakukan upaya antisipasi apapun, bukan tidak mungkin, di masa depan nanti, bangsa ini akan menjadi bangsa yang berpendirian lemah serta sangat

Komplementer dan Non Pred torik

Pemb elaja ran Peningkatan Kapasitas Penqetahu an

mudah hanyut oleh hiruk-pikuknya dinamika globalisasi; dan pada akhimya akan mudah dikendalikan oleh bangsa lain.

Keadaan di atas akan memberikan peng-aruh pada rasa kebangsaan (nasionalisme) di kalangan generasi muda. Meskipun belum nampak secara jelas, akan tetapi harus diakui bahwa saat ini telah mulai ada gejala dari menurunnya semangat dan rasa kebangsaan atau nasionalisme di kalangan generasi muda yang ditunjukkan dari semakin berkurangnya pemahaman generasi muda terhadap sejarah dan nilai nilai budaya bangsanya sendiri.

Upaya strategis yang harus dilakukan oleh generasi muda dalam menghadapi hal tersebut adalah sebuah koordinasi gerakan revitalisasi kebangsaan yang diarahkan terutama pada penguatan ketahanan masyarakat dan bangsa terhadap segenap upaya nihilisasi dari pihak luar terhadap nilai-nilai budaya bangsa melalui pembelajaran di sekolah, baik melalui kurikulum maupun kegiatan pesrta didik dan kebijakan sekolah sehingga akan menghasilkan masyarakat yang memiliki peradaban tinggi yang mampu bersaing dengan negara-negara lain.

Sehingga pembangunan dan pembinaan karakter suatu bangsa menjadi suatu istilah yang semakin sering diungkapkan sekaligus di perlukan pemahamannya yang lebih baik, khususnya dalam menjadikan pembangunan fisik suatu bangsa sebagai salah satu instrumen dalam pembinaan karakter manusianya.

Intern alisasi

Penqetahuan Peruba han

Daya Saing Adaptif

1---___,

Pembelajaran Kontinyu

(4)

Gambar 1. Model Pendidikan Karakter PAl ( dimodifikasi dari Porter, 1999) Peran daya saing dalam menjadikan suatu entitas lebih unggul dibandingkan lainnya sebenarnya bukan hal baru, akan tetapi sudah menjadi suatu keniscayaan bahkan semanjak masa lampau. Daya saing di sini tentunya harus dipahami dalam arti yang sangat luas. Peran teknologi informasi dan telekomunikasi, menurut Porter, hanya sebatas mempercepat sekaligus memperbesar peran daya saing dalam menentukan keunggulan suatu entitas dibandingkan dengan entitas lainnya.

Arah Pembinaan

Karakter

Pe mbe lajaran lnte rna lisasi

Keunggulan yang dimaksud di atas, nantinya dapat berkembang ke berbagai pengertian maupun penerapan, bisa berarti keunggulan ekonomi, keunggulan politik, keunggulan militer dan lain-lain. Daya saing pada esensinya dapat dipandang sebagai sebuah rantai nilai proses yang dapat dikendalikan dengan proses pembelajaran kontinyu atau continuous learning.

Perubahan atau changes inilah yang merupakan kunci dari adaptifitas daya saing. Pada gambar ini diberikan suatu formasi ideal dari proses pembinaan karakter suatu bangsa.

Mental Model Daya Saing Perubahan • Lebih Produktif, • Lebih Bersemangat Juang

• Dan sej umlah Karakter Po sit if Ia inn ya

Gambar 2. Tatanan Ideal dalam Proses Pembinaan Karakter

Kondisi faktual yang terjadi, baik di Indonesia, maupun di beberapa negara lain. Elemen Perubahan umumnya masih belum menjadi bagian integral dari proses pembinaan karakter. Tanpa adanya fitur adaptifitas ini, maka daya saing akan bersifat kaku dan statis, dan daya saing yang demikian pada akhirnya hanya akan menjadi kebanggaan historika masa lampau serta tidak memiliki esensi sama sekali di era masa depan yang menuntut adanya bentuk daya saing yang baru. Gejala ini pun tampaknya dapat dirasakan di kalangan masyarakat kita, meskipun hal ini juga menggejala di negara-negara lain, yang cenderung mengisolasi artikulasi daya saing dalam pemahaman yang bersifat konstan dari perspektifhistoris perjalanan bangsa tersebut.

54

I

AL-BIDAYAH, Volume 7 Nomor 1, Juni 2015

Rantai nilai pembelajaran yang terdiri dari elemen, peningkatan kapasitas penge-tahuan, internalisasi pengetahuan dan selan-jutnya kesanggupan untuk melakukan pe-rubahan tampaknya masih bel urn dapat diim-plementasikan secara lengkap di umumnya kalangan masyarakat kit a. secara umum yang terjadi adalah kemampuan kita, tampaknya baru sebatas pada dua elemen yang pertama yakni peningkatan kapasitas pengetahuan dan internalisasi pengatahuan. Sedangkan elemen yang ketiga tampaknya masih diaplikasikan dalam dimensi yang sangat terbatas.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka agenda terpenting dalam konteks pembinaan karakter bangsa adalah menyangkut adanya reformasi kolektif dari segenap komponen

(5)

Pendidikan Karakter Pada Materi PAl dalam Pembentukan Manusia Berkualitas

bangsa ini untuk sanggup melakukan per-gantian at au changes setelah menjalani setiap proses pembelajaran.

Peran Generasi Muda dalam Pembangunan Bangsa Mandiri

Secara normatif, dan sebagaimana telah hampir dapat diterima oleh umumnya kita sekalian, pembentukan karakter bangsa me-rupakan hal yang amat penting bagi generasi muda dan bahkan menentukan nasib bangsa di masa depan.

Selanjutnya, kit a juga telah sering men-dengar bahwasanya generasi muda perlu memiliki mental kepribadian yang kuat, ber-semangat, ulet, pantang menyerah, disiplin, inovatif dan bekerja keras, untuk dapat menjadikan bangsanya menjadi bangsa yang memiliki daya saing tinggi, sehingga dapat berada sejajar dengan bangsa bangsa lain. Namun pada kenyata~mnya, pemyataan di at as sering hanya sebatas pada retorika. Kondisi yang kit a hadapi sekarang menunjukkan bahwa era globalisasi telah menempatkan generasi muda Indonesia pada posisi yang berada di tengah-tengah derasnya arus informasi yang sedemikian bebas, sejalan dengan kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi.

Sebagai akibatnya, maka nilai-nilai asing secara disadari ataupun tidak disadari telah memberi pengaruh langsung maupun tidak langsung kepada generasi muda. Walaupun masih bel urn ada bukti empiris secara langsung bahwa nilai nilai asing tersebut seluruhnya memberikan dampak negatif bagi generasi muda, akan tetapi jika tidak dilakukan upaya antisipasi apapun, bukan tidak mungkin, di masa depan nanti, bangsa ini akan menjadi bangsa yang berpendirian lemah serta sangat mudah hanyut oleh hiruk-pikuknya dinamika globalisasi; dan pada akhimya akan mudah dikendalikan oleh bangsa lain. Upaya strategis

yang harus dilakukan oleh generasi muda dalam menghadapi hal terse but adalah sebuah koordinasi gerakan revitalisasi kebangsaan yang diarahkan terutama pada penguatan ketahanan masyarakat dan bangsa terhadap segenap upaya nihilisasi dari pihak luar terhadap nilai-nilai budaya bangsa.

Adapun generasi muda dalam melak-sanakan koordinasi gerakan pendidikan (Supamo: 2002) tersebut memiliki 3 (tiga) peran penting yakni:

Pertama, sebagai pembangun-kembali karakter bangs a (character builder). Ditengah - tengah derasnya arus globalisasi, kemudian ditambah dengan sejumlah erosi karakter posit if bangsa sementara adanya gejala amplifikasi atau penguatan mentalitas negatif, seperti malas, koruptif dan sebagainya, maka peran generasi muda adalah membangun kembali karakter positif bangsa. Peran ini tentunya sangat berat, namun esensinya adalah adanya kemauan keras dan komitmen dari generasi muda untuk menjunjung nilai-nilai moral di at as kepentingan kepentingan sesaat sekaligus upaya kolektifuntuk mengintemalisasikannya pada kegiatan dan aktifitasnya sehari-hari.

Kedua, sebagai pemberdaya karakter (character enabler). Pembangunan kembali karakter bangsa tentunya tidak akan cukup, jika tidak dilakukan pemberdayaan secara terus menerus. Sehingga generasi muda juga dituntut untuk mengambil peran sebagai pemberdaya karakter atau character enabler. Bentuk praktisnya adalah kemauan dan hasrat yang kuat dari generasi muda untuk menjadi role model dari pengembangan karakter bangs a yang positif. Peran ini pun juga tidak kalah beratnya dengan peran yang pertama, karena selain kemauan kuat dan kesadaran kolektif dengan kohesivitas tinggi, masih dibutuhkan adanya kekuatan untuk terlibat dalam suatu

(6)

ajang konflik etika dengan entitas lain di masyarakat maupun entitas asing.

Ketiga, seb(\gai perekayasa karakter (character engineer) sejalan dengan perlunya adaptifitas daya saing untuk memperkuat ketahanan bangsa. Peran yang terakhir ini menuntut generasi muda untuk terus me-lakukan pembelajaran. Harus diakui bahwa pengembangan karakter positifbangsa, bagai-manapun juga, menuntut adanya modifikasi dan rekayasa yang tepat disesuaikan dengan perkembanganjaman. Sebagai contoh karakter pejuang dan patriotisme tentunya tidak harus diartikulasikan dalam konteks fisik, akan tetapi dapat dalam konteks lainnya yang ber-sifat non-fisik. Peran generasi muda dalam hal ini sangat diharapkan oleh bangsa, karena di tangan mereka-lah proses pembelajaran adapt if dapat berlangsung dalam kondisi yang paling produktif.

Hal yang berat bagi para generasi muda adalah untuk memainkan ketiga peran terse but secara simultan dan interaktif. Memang masih diperlukan adanya peran pemerintah dan komponen bangsa lainnya dalam memfasilitasi aktualisasi peran tersebut oleh generasi muda. Namun demikian konsentrasi peran tetap pada generasi muda. Tanpa adanya peran aktif mereka dalam gerakan revitalisasi kebangsaan yang dimaksud di atas, maka bukan tidak mungkin penggerusan nilai-nilai budaya bangsa akan berjalan terus secara sistematis dan pada akhimya bangsa ini akan semakin kehilangan integritas danjati-dirinya.

Sistem pendidikan nasional dilaksanakan secara semesta, menyeluruh dan terpadu; semesta dalam arti terbuka bagi seluruh rakyat dan berlaku di seluruh wilayah negara, me-nyeluruh dalam arti kata mencakup semua lajur, jenj ang dan jenis pendidikan dan terpadu dalam arti adanya saling terkait antara

56

I

AL-BIDAYAH, Volume 7 Nomor 1, Juni 2015

pendidikan nasional dengan seluruh usaha pembangunan nasional.

Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi man usia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tentang zaman yang berubah.

Menurut pendapat Russell T. Williams (Jefferson Center For Character Education-USA), tokoh pendidikan karakter di Amerika Serikat, dan Ratna Megawangi (Indonesia Heritage Foundation) sebagai tokoh pendidikan karakter di Indonesia dan sbagai praktisi maupun pelaku pendidikan karakter, dan beliau mempunyai lembaga pendidikan karakter di Jakarta (pendapat beliau saya unduh dari internet pada tgl 3 Juni 2010). Saat ini mulai marak dibicarakan mengenai pendidikan karakter, tetapi yang masih umum diterapkan mengenai pendidikan karakter ini masih pada taraf jenjang pendidikan pra sekolah (taman bermain dan taman kanak-kanak). sementara pada jenjang sekolah dasar dan seterusnya masih sangat-sangat jarang sekali. kurikulum pendidikan di Indonesia masih belum me-nyentuh aspek karakter ini, meskipun ada pelaj aran pancasila, kewarganegaraan dan semisalnya, tapi itu masih sebatas teori dan tidak dalam tataran aplikatif. Padahal jika Indonesia ingin memperbaiki mutu SDM dan segera bangkit dari ketinggalannya, maka indonesia harus merombak istem pendidikan yang ada saat ini.

Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menun-jukkan penurunan drastis pada perilaku

negatif siswa yang dapat menghambat keber-hasilan akademik.Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang

(7)

Pendidikan Karakter Pada Materi PAl dalam Pembentukan Manusia Berkualitas

melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Bloom, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam memper-siapkan anak menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis. Sebuah buku yang baru terbit berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Di-katakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah.

Di Indonesia, dimana pendidikan agama di ajarkan di sekolah-sekolah negeri, kelihatannya pendidikan moral masih bel urn berhasil dilihat dari parameter kejahatan dan demoralisasi masyarakat yang tampak meningkat pada periode ini. Dilihat dari esensinya seperti yang terlihat dari kurikulum pendidikan agama tampaknya agama lebih mengajarkan pada dasar-dasar agama, sementara akhlak atau kandungan nilai-nilai kebaikan belum sepenuhnya disampaikan. Dilihat dari metode pendidikan pun tampaknya terjadi kelemahan karena metode pendidikan yang disampaikan difokuskan pada pendekatan otak kiri/kognitif, yaitu hanya mewajibkan peserta didik untuk mengetahui dan menghafal (memorization) konsep dan kebenaran tanpa menyentuh perasaan, emosi, dan nuraninya. Selain itu tidak dilakukan praktek perilaku dan penerapan nilai kebaikan dan akhlak mulia

dalam kehidupan di sekolah. Ini merupakan kesalahan metodologis yang mendasar dalam pengajaran moral bagi peserta didik. Karena itu tidaklah anehjika dijumpai banyak sekali inkonsistensi antara apa yang diajarkan di sekolah dan apa yang diterapkan anak di luar sekolah. Dengan demikian peran orangtua dalam pendidikan agama untuk membentuk karakter anak menjadi amat mutlak, karena melalui orangtua pulalah anak memperoleh kesinambungan nilai-nilai kebaikan yang telah ia ketahui di sekolah. Tanpa keterlibatan orangtua dan keluarga maka sebaik apapun nilai-nilai yang diajarkan di sekolah akan menjadi sia-sia, sebab pendidikan karakter (at au akhlak dalam Islam) harus mengandung unsur afeksi, perasaan, sentuhan nurani, dan prakteknya sekaligus dalam bentuk amalan kehidupan sehari-hari.

Kurikulum Pendidikan Karakter pada Materi PAl

Begitu cepat perubahan ini berlangsung sehingga masyarakat tidak sadar bahwa diri mereka sendiri juga berubah. Dinamika perubahan masyarakat yang cepat menuntut sekolah harus memiliki fleksibilitas untuk dapat memenuhi tuntutan siswa dan masya-rakat. Pendidikan sebagai proses untuk mempersiapkan anak untuk bisa hidup layak di masa depan. Namun, masa depan itu sendiri terus berubah tidak sebagaimana masa kini. Oleh karena itu, kurikulum pen-didikan harus bersifat lebih fleksibel dan membekali siswa dengan kemampuan untuk melakukan transformasi ilmu pengetahuan dan ketrampilan agar dapat dipergunakan dalam berbagai bidang yang berbeda.

Kecepatan perubahan juga akan menye-babkan ilmu pengetahuan akan berkembang sangat cepat. Kebenaran hari ini belum tentu

(8)

benar hari esok. Sebagai konsekuensinya, semua unsur dalam sekolah harus selalu meningkatkan pengetahuan dan kemampuannya masing-masing. Semua unsur sekolah harus senantiasa memperbarui ilmu dan pengetahuannya. Oleh karena itu

di

sekolah harus dikembangkan kultur yang mendukung belaj ar keras, disiplin, jujur, mandiri dan kreatif, disamping dilatih "learning how to learn".

Untuk mengembangkan kultur sekolah, guru juga harus memahami kemauan dan keinginan siswa. Keinginan siswa tidak-lah muluk-muluk. Mereka antara lain men-dambakan guru yang ( 1) ingat bahwa siswa belajar dengan gaya berbeda. Metode mengajar harus disesuaikan dengan realitas ini, (2) tidak menakut-nakuti dan membikin malu siswa dalam belajar, (3) bertindak adil tanpa memandang latar belakang siswa, (4) memotivasi siswa untuk bekerja keras dengan contoh, tidak hanya dengan perintah, dan, (5) mengembangkan kebanggaan pada diri siswa atas prestasi yang dicapai.

Nilai, moral, sikap dan perilaku siswa tumbuh berkembang selama waktu di sekolah, dan perkembangan mereka tidak dapat dihindarkan dipengaruhi oleh struktur dan kultur sekolah, serta oleh interaksi mereka dengan aspek-aspek dan komponen yang ada disekolah, seperti kepala sekolah, guru, materi pelajaran dan antar siswa sendiri.

Selama ini pendidikan konvensional hanya bersandar pada tiga pilar utama yang menopang proses dan produk pendidikan nasional, yakni how to know, how to do, dan how to be. Yang pertama menitik beratkan pada proses belajar-mengajar itu sendiri, yakni pendidikan sebagai suatu cara mengajarkan bagaimana siswa belajar secara benar dan baik guna menambahkan pengetahuan dan pemahaman menurut ukuran-ukran tertentu

58

I

AL-BIDAYAH, Volume 7 Nomor 1, Juni 2015

yang disepakati, yang kedua berarti sekolah sebagai suatu cara mengaj arkan bagaimana siswa belajar secara benar dan baik guna menambahkan pengetahuan dan pemahaman menurut ukuran-ukuran tertentu yang dise-pakati, yang kedua berarti sekolah sebagai lembaga pendidikan formal mengaj arkan siswa tentang cara melalukan sesuatu, dengan kata lain pembekalan keterampilan-keterampilan hidup (life skills) secara lebih luas, dan terakhir menekankan cara menj adi "orang" sesuai dengan kerangka pikir siswa. Meski pada pilar kedua disampaikan keterampilan hidup, namun lebih berkaitan dengan bekal keahlian masing-masing disiplin yang ditekuni siswa. Pendidikan konvensional bel urn secara mendasar mengajarkan sekaligus menanamkan "keterampilan hidup bersama" dalam komunitas yang plural secara agama, kultural dan etnik. Di sinilah signifikansi hadirnya pilar keempat untuk melengkapi tiga pilar lainnya, yaitu how to live and work together with others.

Penanaman pilar keempat, sebagai suatu j alinan komplementer terhadap tiga pilar lainnya, dalam praktek pendidikan meliputi proses: (1) Pengembangan sikap toleran, empati dan simpati yang merupakan prasyarat esensial bagi keberhasilan koeksistensi dan proeksistensi dalam keragaman agama. (2) Klarifikasi nilai-nilai kehidupan bersama menurut perspektif agama-agama. Agama-agama saling berdiskusi dan menawarkan suatu perspektif nilai masing-masing yang dapat dipertemukan dengan kepentingan serupa dari agama lain. (3) Pendewasaan emosional. Kebersamaan dalam perbedaan bukanlah hal mudah. Kebersamaan mem-butuhkan kebebasan dan keterbukaan terhadap orang luar (outsiders). Tanpa kebebasan dan keterbukaan, kebersamaan

(9)

Pendidikan Karakter Pada Materi PAl dalam Pembentukan Manusia Berkualitas

dapat menjerumuskan pada simbiosis yang membelenggu, sebaliknya kebebasan dan keterbukaan harus tumbuh bersama menuju pendewasaan emosional dalam relasi antara dan intra agama-agama. ( 4) Kesetaraan dalam partisipasi. Pengakuan at as kehadiran dan hak hidup agama-agama memang penting namun belum cukup untuk memenuhi pilar hidup dan bekerj a bersama orang lain. Pengakuan semata masih membuka kemungkinan adanya superioritas dan inferioritas, dominasi dan subordinasi, tekanan dan ketertindasan. (5) Kontrak sosial baru dan aturan main kehidupan bersama antaragama. Biarkan kenangan konflik agama-agama pada masa lampau berlalu bersama bergulimya waktu. Konflik agama-agama ada hanya sebagai kaca spion yang sesekali boleh dilihat dan dilirik kembali agar jalan kendaraan yang kita kemudikan menjadi lurus dan tidak melanggar marka lalu lint as dan pembatas jalan.

Hasil yang diharapkan dari lima proses tersebut adalah: tumbuh dan berkembangnya keterampilan berpikir (thinking skills) dalam memecahkan problem baru yang mungkin belum pemah atau tidak mungkin diperoleh secara formal di bangku sekolah, kemampuan mengembangkan relasi antara personal dan intrapersonal antarpenganut dan intra penganut agama-agama, kapasitas dan mengatasi isu-isu kontroversial yang disebabkan faktor sentimen dan at au picu keagamaan (religious triggering) secara kreatif, dan mengembangkan empati, kesepahaman, serta kerjasama (kolaborasi) antara agama yang sinergis dan dinamis.

Orientasi Pendidikan Karakter Orientasi Muatan

Pendidikan karakter pada hakekatnya adalah suatu upaya menerjemahkan pandangan dunia pluralistik dan multikulturalistik kedalam

praktek dan teori pendidikan. Kurikulum pendidikan karakter dan budaya bangsa, tidak sebagaimana kurikulum konvensional dan program tradisional, berupaya menyajikan lebih dari satu persepektif mengenai peristiwa-peristiwa sejarah atau fenomena kultural. Merespon kritik bahwa pluralisme dalam pendidikan dapat memiskinkan kurikulum yang ada, para penganjur pendidikan karakter berpendapat bahwa pendidikan karakter justru sesungguhnya memperkaya kurikulum yang sudah berjalan. Pengayaan itu dapat dilihat pada bagaimana pendidikan pendidikan karakter dapat dikembangkan.

Pendidikan karakter berorientasi muatan dapat dikembangkan melalui beberapa cara. Meminjam empat kerangka dari J.A. Banks ( dalam Baidhawy: 2005), reformasi kurikulum dapat didekati melalui beberapa pendekatan: Pertama, pendekatan kontributif adalah pendekatan yang paling sedikit keter-libatannya dalam reformasi pendidikan karakter. Pendekatan ini dilakukan dengan cara menseleksi buku-buku teks wajib atau anjuran dan aktivitas-ativitas tertentu se-perti hari-hari libur, hari-hari pahlawan dan peristiwa-peristiwa tertentu dari berbagai macam kebudayaan. Pendekatan ini dapat dikembangkan dengan menawarkan muatan khas yang dapat dengan segera diakui dalam berbagai varian pendidikan karakter.

Kedua, pendekatan adaptif dalam program berorientasi muatan ini mengambil bentuk penambahan muatan-muatan, konsep-konsep, tema-tema dan perspektif-perspektifkedalam kurikulum tanpa mengubah struktur dasamya. Pendekatan ini melibatkan upaya memasukk:an litetatur oleh dan tentang masyarakat dari berbagai kebudayaan ke dalam mainsream kurikulum tanpa mengubah kurikulum.

(10)

Ketiga, pendekatan transformatif yang secara aktual berupaya mengubah struktur kurikulum dan mendorong siswa-siswa untuk melihat dan meninjau kembali konsep-konsep, isu-isu, tema-tema dan problem-problem lama, kemudian memperbarui pemahaman dari berbagai perspektif dan sudut pandang etnik. Keempat, pendekatan aksi sosial yang mengkombinasikan pendekatan transformatif dengan aktivitas-aktivitas yang berupa untuk melakukan perubahan sosial. Dalam konteks ini, pendidikan karakter dan budaya tidak sekedar menginstruksikan siswa untuk memahami danmempertanyakan isu-isu sosial, namun sekaligus juga melakukan sesuatu yang penting berkenaan dengan isu terse but.

Orientasi Siswa

Karena pendidikan karakter dan budaya bangsa suatu upaya untuk merefleksi per-tumbuhan keragaman masyarakat dan khu-susnya keragaman kelas, banyak program bergerak melampaui kurikulum yang ada untuk memenuhi tuntutan akademik tertentu, yakni upaya hati-hati mendefinisikan kelompok-kelompok yang berkembang pada siswa, termasuk kelompok monoritas. Program ini dirancang bukan untuk mentransformasi kurikulum atau konteks sosial pendidikan, tapi untuk membantu para siswa secara kultural dan keagamaan untuk melakukan transisi kedalam mainstream pendidikan. Dengan cara ini, program perlu melihat latar belakang kultural dan keagamaan para siswa. Dengan sendirinya program ini dapat mengambil beberapa bentuk: (1) program yang menggunakan penelitian gaya belajar berbasis kultur dalam upaya menentukan cara pengajaran mana yang dapat digunakan untuk kelompok siswa tertentu, (2) program lintas batas, studi bersama antar budaya, agama, etnik, dan gender.

60

I

AL-BIDAYAH, Volume 7 Nomor 1, Juni 2015

Orientasi Sosial

Orientasi program semacam ini meliputi bukan hanya program-program yang didesain untuk merestrukturisasi dan menghilangkan segregasi sekolah-sekolah, namun juga program-program yang dirancang untuk meningkatkan semua bentuk kontak dan perjumpaan (encounters) antar agama, antar etnik dan atar kultur. Program ini memberikan dukungan pada kelompok minoritas dalam sekolah, mengeliminir bias-bias yang tumbuh di kalangan masyarakat dan berimbas pada pergaulan siswa, dan menekankan pada belajar bersama.

Tiga orientasi program di muka secara gamblang melukiskan kategori-kategori pendidikan karakter dan budaya bangsa yang membantu memfasilitasi para pendidik dalam upaya mengembangkan kegiatan-kegiatan pembelajaran yang merefleksikan keragaman agama, etnik dan kultural para siswa. Artikulasi publik program dan tujuan dari pendekatan-pendekatan yang spesifik dapat menolong untuk memperlembut retorika politik di seputar pendidikan karakter dan memperhadapkan para pendidik dan pembuat keputusan pada persoalan bersama untuk didiskusikan.

KESIMPULAN

Guru dalam melakukan perencanaan pembelajaran membuat perangkat yang dise-suaikan dengan Kurikulum yaitu perencanaan proses pembelaj aran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat karakter dan budaya bangsa. Pengelolaan kelas berkaitan dengan dua kegiatan utama, yaitu: (1) pengelolaan yang berkaitan dengan siswa, (2) pengelolaan yang berkaitan dengan fisik (ruangan, perabot, alat pelajaran).

(11)

Pendidikan Karakter Pada Materi PAl dalam Pembentukan Manusia Berkualitas

Proses pembelaj aran terse but dengan menggunakan strategi pembelajaran aktif, strategi terse but marnpu mengantarkan siswa mencapai kompetensi pembelajaran, dan marnpu membentuk karakter siswa. Strategi pembelajaran aktif ini untuk semua mapel sangat efektif bagi siswa karena menambah wawasan lebih luas untuk memahami dan memperaktekkan materi pelajaran dalam kehidupan sehari-hari, yaitu bisa saling menghargai, toleransi, tolong-menolong, tidak membeda-bedakan kelas sosial, suku, ras, agama.

Pendidikan karakter digunakan sebagai landasan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Marnpu mengubah filosofi kurikulurn dari yang berlaku selarna ini, menuju filosofi yang lebih sesuai dengan visi, misi, tujuan, dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan lebih spesifik pada setiap mata pelajaran. Filosofi kurikulum yang progresif, humanis, dan rekonstruksi sosial dapat dijadikan landasan pengembangan kurikulum.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, A. 1997. Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial. Dalam Usa, M. & Widjan, A. (Eds), Perspektif "Ink and Macth" Lembaga Pendidikan Tinggi Tenaga Kependidikan Agama Islam, Rekonstruksi Atas Tinjauan Metodologis Pembudayaa Nilai Keagamaan.

Yogyakarta: Aditya & FAI. UII

Azra, A. 1992. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru.

Jakarta: Logos

Baidhawy, Z. 2005. Pendidikan Agama Ber-wawasan Multikultural. Jakarta: Erlangga

Blornrn, B.S. 1964. Taxonomi of Educational Objectives: Cognitive Domain. New York: David Me. Kay

Daradjat~ Z. 1993. Pendidikan Islam dalam Keluargadan Sekolah. Jakarta: Ruhama Depag. 2003. Pedoman Umum Pendidikan

Agama Islam. Jakarta: Direktur Jendral Kelembagaan Agarna Islam

Fadjar, M. 1999. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Fajar Dunia.

Joseph Zins, et.al, 2001. Emotional Intelligence and School Success. London.

Marvin Berkowitz. buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership. University of Missouri- St. Louis

Nurokhim Bambang. 2009. "Membangun Karakter dan Watak Bangsa Melalui Pendidikan Mutlak Diperlukan"

Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang StandarNasional Pendidikan Permendiknas. 2006. Standar lsi dan Standar Kompetensi Lulusan. Jakarta: Sinar Grafika

Porter Michael. 1999. Daya Saing sebuah Bangsa (The Competitiveness of A Nation)

Rahmat Efendi. 2009. "Peran Pemerintah dalam Penyediaan Fasilitas untuk Membangun Karakter Bangs a"

Suparno, P, et.al. 2002. Reformasi Pendidikan: Sebuah Rekomendasi. Yogyakarta: Kanisius

Tilaar, H.A.R. 2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia. Jakarta: Grasindo

Tilaar, H.A.R. 2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik

(12)

Transformatif untuk Indonesia. Jakarta: Zamroni. 2001. Pendidik untuk Demokrasi:

Grasindo Tantangan Menuju Civil Society.

Yaqin, A. 2005. Pendidikan Multikultural, Jogjakarta: BigrafPublishing.

Cross-Cultural Understanding Untuk Zuhairini, et.al. 1983. Metodik Khusus Pen-Demokrasi. Yogyakarta: Pilar Media. didikanAgama. Surabaya: Usaha Nasional.

Gambar

Gambar 1.  Model Pendidikan Karakter PAl  ( dimodifikasi dari Porter,  1999)  Peran daya saing dalam menjadikan suatu  entitas  lebih  unggul  dibandingkan  lainnya  sebenarnya bukan hal baru, akan tetapi sudah  menjadi  suatu keniscayaan bahkan semanjak

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa setelah diberikan layanan penguasaan konten dengan teknik role playing terdapat peningkatan

[r]

Guru sosiologi tidak menerapkan 1 komponen yang tidak dieterapkan yaitu memotivasi siswa.Dari semua komponen keterampilan menutup pelajaran yang terdiri dari 3 komponen

Pembuatan film plastik biodegredable dimulai dari pengambilan Pati biji kluwih dengan cara pengupasan, perendaman air garam, dihancurkan, penyaringan, pencucian,

Pembuat keputusan ini menghadapi kesulitan untuk mengatakan “tidak” kepada orang lain dan mereka tidak dapat membuat keputusan yang tegas, terutama saat hasil

Menurut Northcraft & Neale (1994:5) efektifitas adalah kemampuan suatu perusahaan dalam mencapai tujuan utama atau misi perusahaan. Efektifitas sistem informasi

Setelah 2 langkah di atas dilakukan, yaitu : Mensetup Unit Kerja dan Mensetup data nama asesor, langkah selanjutnya adalah melakukan setup penugasan Asesor ke unit-kerja unit-

Dari hasil pengamatan diketahui bahwa semua sampel minyak dalam keadaan cair pada suhu ruang (±27ºC) namun ketika pada suhu rendah (±5ºC) terjadi perubahan fase pada beberapa