• Tidak ada hasil yang ditemukan

No. Authors Title No. Abstract Klasifikasi Tema Paper

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "No. Authors Title No. Abstract Klasifikasi Tema Paper"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

No. Authors Title No. Abstract Klasifikasi Tema Paper 43 Rizki Jodiansyah Ramadhan and

Markonah Markonah

PENGARUH KINERJA LINGKUNGAN DAN KEPEMILIKAN ASING TERHADAP KINERJA KEUANGAN DENGAN PENGUNGKAPAN CSR SEBAGAI VARIABEL INTERVENING (Studi Kasus pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia)

SNAP_2019_Abstract_45 Accounting, Finance & Tax

44 Mohamad Ridwan Soleh Ruslan Syafii and Markonah Markonah

PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN, BUDAYA ORGANISASI, DAN LINGKUNGAN KERJA TERHADAP KINERJA KARYAWAN (STUDI KASUS PADA PT. BANK MANDIRI (PERSERO)TBK. CABANG JAKARTA MANGGA DUA)

SNAP_2019_Abstract_46 Human Capital 45 Berna Ratna Sari, Muhammad Hasymi

and Nurul Inayati Irianti Analisa Ketepatwaktuan Publikasi Laporan Keuangan di Bursa Efek Indonesia SNAP_2019_Abstract_47

Accounting, Finance & Tax

46 Mahesa Rizki Perdana

PENGARUH STRUKTUR DEWAN DIREKSI DAN KOMITE AUDIT TERHADAP PROFITABILITAS PERUSAHAAN FARMASI DENGAN WORKING CAPITAL MANAGEMENT SEBAGAI VARIABEL INTERVENING – PERIODE 2014-2018

SNAP_2019_Abstract_48 Accounting, Finance & Tax

47 Hermawan Budiwibowo THE INFLUENCE OF FINTECH ON BANKING AND FINANCIAL INCLUSIONS

DEVELOPMENT IN INDONESIA SNAP_2019_Abstract_49

ECONIMICS MANAGEMENT &

BANKING 48 Rara Aprilliani and Taufiq Akbar

Pengaruh Time Pressure, Prosedur Review , dan Turnover Intentions Terhadap Penghentian Prematur Prosedur Audit Pada Kantor Akuntan Publik (Kap) Di DKI Jakarta

SNAP_2019_Abstract_50 Accounting, Finance & Tax

49 Yulianto Syafiq Kamal and Diah Ernawati

PENGARUH PERSEPSI KEMUDAHAN, PERSEPSI KEGUNAAN, DAN KESIAPAN TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP MINAT WAJIB PAJAK (WP) PRIBADI

MENGGUNAKAN E-FILING PADA KPP PRATAMA JAKARTA KEBAYORAN BARU TIGA

SNAP_2019_Abstract_51 Accounting, Finance & Tax

50 Saripudin Saripudin ANALISA PENERIMAAN QRIS PAYMENT SEBAGAI STANDAR ALAT PEMBAYARAN

NON TUNAI DENGAN MODEL TECHNOLOGY ACCEPTANCE MODEL (TAM) SNAP_2019_Abstract_52 IT Innovation 51 Fadhilah Rahman and Deden Prayitno PENERAPAN BUSINESS INTELLIGENCE UNTUK PINJAMAN ONLINE PADA PT. XYZ SNAP_2019_Abstract_53 IT Innovation 52 Reny Fitriana Kaban, Puji

Hadiyati and Wiwiek Prihandini

EFEKTIVITAS PELATIHAN E-COMMERCE TERHADAP PENINGKATAN WIRASUSAHA

SANTRI SNAP_2019_Abstract_54 Other

53 Yuni Prihatiningsih and Imam Wahyudi INTERAKSI BUDAYA ORGANISASI DAN SISTEM PENGENDALIAN MANAJEMEN –

STUDI KASUS PERBANAS INSTITUTE JAKARTA SNAP_2019_Abstract_55

Accounting, Finance & Tax

54 Stefanus Sadana and Firly Agustiani ANALISIS KINERJA KARYAWAN DENGAN LEVERAGE MAJEMEN TALENTA: Studi

Kasus pada Bank Rakyat Indonesia SNAP_2019_Abstract_56 Human Capital 55 Reny Fitriana Kaban and Selamet Riyadi STRATEGI MENGATASI DEFISIT NERACA TRANSAKSI BERJALAN MELALUI

PROFESIONALISME PEKERJA MIGRAN INDONESIA SNAP_2019_Abstract_57

ECONIMICS MANAGEMENT &

BANKING

DIES NATALIS EMAS KE-51 PERBANAS INSTITUTE

SEMINAR NASIONAL PERBANAS INSTITUTE 2020 (SNAP 2020) “Banking Industry Development through Innovation and Digitalization: Strategy to cope with Global Economic Slow Down and Domestic Economic Risks

(2)

SNAP CONFERENCE – PERBANAS INSTITUTE JAKARTA 2020

INTERAKSI BUDAYA ORGANISASI, KEKUASAAN DAN SISTEM

PENGENDALIAN MANAJEMEN – STUDI KASUS PERBANAS

INSTITUTE JAKARTA

Yuni Prihatiningsih

Asian Banking-Finance & Informatics Institute of Perbanas Jakarta Imam Wahyudi

(3)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan menganalisis sistem pengendalian manajemen yang diterapkan di sebuah organisasi yang tidak-berorientasi laba ( not-for-profit organization) yaitu sebuah institusi pendidikan dengan fokus analisis pada interaksi antara kekuasaan, budaya, dan perbedaan perspektif antar anggota organisasi dengan system pengendalian manajemen. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif eksplanatoris dengan pendekatan etnografi yang memberikan penjelasan secara rinci mengenai fenomena yang ada pada kasus yang diteliti. Studi kasus ini diselenggarakan di ABFI Institute Perbanas Jakarta pada tahun 2009. Data penelitian sebagian besar berasal dari keterlibatan peneliti dengan subyek penelitian dan wawancara untuk mengkonfirmasi pemahaman subyektif peneliti serta data sekunder berupa dokumen-dokumen administrative internal. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa sistem pengendalian manajemen yang ada tidak berjalan efektif karena anggota organisasi termasuk pimpinan tidak menjalankan sistem pengendalian tersebut. Pengendalian output – anggaran – berfungsi sebagai simbol rasionalitas tindakan daripada sebagai alat perencanaan dan pengendalian keuangan. Budaya paternalistik dan distribusi kekuasaan di dalam organisasi nampaknya membuat anggota organisasi tidak taat untuk menjalankan sistem pengendalian yang ada ketika pimpinan organisasi sendiri ternyata tidak mampu memberikan contoh untuk taat pada sistem tersebut.

Kata kunci: Budaya Organisasi, Kekuasaan, Sistem Pengendalian Manajemen, Organisasi Not-For-Profit, Perbanas

Pendahuluan

Sistem pengendalian di dalam manajemen organisasi tidak dapat dilepaskan dari konteks perilaku dan budaya (Flamholtz, 1983; Ansari dan Bell, 1991; Hauriasi dan Davey, 2009; Agbejule, 2011; Zhang et al, 2015; ) karena hal itu merupakan cerminan budaya dari organisasi (Hoftstede, 1981). Nilai dan norma-norma yang tertanam dalam budaya dari sebuah organisasi atau masyarakat akan mempengaruhi praktik-praktik akuntansi dan pengendalian manajemen (Ansari dan Bell, 1994).

(4)

Perguruan tinggi sebagai institusi tempat berinteraksinya pelajar dan intelektual yang menyelenggarakan tridharma perguruan tinggi yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian, serta pengabdian kepada masyarakat tidak lepas dari masalah tersebut. Beberapa kasus perselisihan dan pertikaian antara manajemen Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dengan pihak Yayasan sebagai pemilik formal PTS pada umumnya bermuara kepada masalah pengendalian manajemen dan keuangan.

Meskipun demikian, tidak banyak penelitian tentang informasi akuntansi dan pengendalian manajemen dalam lingkungan perguruan tinggi. Beberapa diantaranya adalah Covaleski & Dirsmith (1988); Umashankar & Dutta (2007) dan Wahyudi (2009; 2010). Penelitian Wahyudi (2009) misalnya, menemukan bahwa sistem pengendalian manajemen lebih menekankan pada keberhasilan fisik daripada keuangan. P roses penyusunan dan pencairan anggaran bukan lagi menjadi alat sistem pengendalian manajemen tetapi menjadi sarana pimpinan perguruan tinnggi untuk membangun loyalitas anak buah pada atasan. Anggaran berubah fungsi menjadi sebuah simbol rasionalitas dan mitos.

Penelitian ini bermaksud untuk melakukan kajian sistem pengendalian yang berlaku di ABFI Institute Perbanas Jakarta. Penelitian difokuskan pada aspek distribusi kekuasaan yang berbasis pada negosiasi politik dan budaya di dalam organisasi yang ternyata mempengaruhi sistem pengendalian yang berlaku di organisasi tersebut.

Sistem Pengendalian Manajemen

Sistem informasi akuntansi merupakan satu bentuk pengendalian (Abernethy dan Vagnoni, 2004). Fokus organisasi pada masalah pengendalian meningkat karena adanya ketidaksesuaian antara tujuan dengan bagaimana cara mereka mencapai tujuan

(5)

organisasi (Flamholtz, 1983). Organisasi merupakan kumpulan individu sehingga organisasi dapat dilihat sebagai entitas, dimana individu atau kelompok mempunyai pandangan dan kepentingan yang berbeda sehingga organisasi dapat dilihat sebagai tempat aktivitas politik individu di dalamnya (Christiansen dan Skaerbaek, 1997).

Pengendalian mengacu pada semua perencanaan organisasi baik formal maupun informal yang dirancang untuk mencapai tujuan organisasi (Ansari dan Bell, 1991). Di dalam prosesnya, Reed (2001) menekankan pengendalian sebagai “a co-ordinating mechanism based on asymmetric relations of power and domination in which conflicting instrumental interests and demands are the overriding contextual considerations”.

Proses politik, dengan demikian, memegang peranan yang penting karena system pengendalian manajemen merupakan suatu mekanisme tempat berbagai kepentingan dinegosiasikan yang melibatkan proses politik (Burchell et al., 1980; Covaleski dan Dirsmith, 1988, Wahyudi, 2004).

Perilaku pimpinan organisasi dan budaya organisasi dan masyarakat (Flamholtz, 1983; Ansari dan Bell, 1991) akan menentukan sistem pengendalian organisasi itu (Hoftstede, 1981) Nilai-nilai dan norma-norma yang tertanam dalam budaya sebuah organisasi dan/atau masyarakat akan mempengaruhi praktik-praktik akuntansi dan sistem pengendalian.

Budaya Organisasi

Mempelajari budaya melibatkan suatu studi tentang makna yang diciptakan, dipelihara dan ditransmisikan oleh manusia (Ott, 1989). Hofstede menyatakan bahwa budaya harus dilihat sebagai fenomena kolektif yang “at least partly shared with people who live or lived within the same social environment, which is where it was learned

(6)

(1997, p. 5; lihat juga Shate,1983). Hal itu yang membedakan anggota dari suatu kelompok atau organisasi dari kelompok atau organisasi lainnya (Robbins,1992).

Lingkungan budaya, dengan demikian, akan mempengaruhi perilaku manusia di sekitarnya. Proses adaptasi tersebut menciptakan cara bertindak yang disepakati bersama yang kadang-kadang semata-mata bersifat ritual (Grandlund and Lukka, 1998, p.188). Sebagai contoh, dalam rangka menyesuaikan dengan lingkungan budaya, suatu organisasi secara simbolik mengadopsi sistem tertentu – sistem informasi akuntansi – dengan tujuan untuk mendapatkan legitimasi (lihat, sebagai contoh: Covaleski et al, 1993; Carpenter and Feroz, 1992 and 2001).

Melalui penentuan norma perilaku dan kinerja baik/buruk (Dent, 1991, p. 706), penyemaian symbol (mitos misalnya) yang dilengkapi dengan ritual (Martin et al, 1983), sebuah budaya dibangun di dalam organisasi. Hal ini sesuai dengan konsep budaya organisasi yang digunakan oleh Deshpande and Webster (1989, p. 14) yang merujuk kepada “unwritten, the formally decreed, and what actually takes place; it is the pattern of shared values and beliefs that helps individuals understand the functio ning of the firm and thus provides the norms for behaviour in the firm”. Fokusnya dengan demikian

adalah pada kekuatan-kekuatan informal di dalam organisasi yang secara luar biasa mempengaruhi perilaku manusia dibandingkan sistem formal.

Sistem formal yang ada di dalam organisasi sering tidak semata-mata persoalan teknik-rasional karena individu di dalam organisasi memiliki bahasa komunikasi yang tertanam di dalam “a cultural system of ideas (beliefs, knowledge) and sentiments (values), in which actions and artifacts are vested with symbolic quality of meaning

(7)

organisasi (Meyer and Rowan, 1977) sering digunakan sebagai a symbolic rationality

dan mitos (lihat, sebagai contoh: Berry et al, 1985; Covaleski and Dirsmith, 1988; 1993).

Budaya, dengan demikian, adalah sistem berbagi pemahaman yang berkembang melalui interaksi sosial dan terlihat pada penggunaan bahasa dan simbol-simbol lainnya yang dianggap sebagai nilai dan pola yang diterima anggota organisasi sehingga akan mengarahkan perilaku mereka. Maka, budaya dapat dilihat sebagai faktor kontijensi dalam perancangan organisasi dan yang membedakan satu organisasi dari organisasi lainnya.

Budaya organisasi merupakan poin awal dari rancangan sistem pengendalian organisasi, karena budaya menentukan sifat dari komponen lainnya. Budaya yang berdasarkan nilai dan norma yang diterima dari setiap individu akan mempengaruhi struktur organisasi dan akan mempengaruhi peran dari setiap anggota organisasi dan SOP (standar operasi dan prosedur). Budaya dan struktur organisasi selanjutnya akan mempengaruhi sistem pengukuran (measurement system) organisasi (Flamholtz, 1983).

Robbins (1992:257) mengemukakan bahwa “the founders of an organization traditionally have a major impact on that organization’s early culture, because they have a vision of what the organization should be”. Hal tersebut menyebabkan, “once established, culture rarely fades away”. Budaya tidak mudah berubah disebabkan

adanya upaya untuk mempertahankan keberadaannya lewat proses seleksi karyawan, tindakan manajemen puncak membangun norma organisasi dan sosialisasi

(8)

Kekuasaan/Kewenangan (

Power

)

Kekuasaan memiliki konotasi yang berbeda (Lukes, 1974; Clegg, 1989 dalam Christiansen dan Skaerback, 1997). Menurut Encarta Encyclopedia, “power is authority and control over other people and their actions”, “a dependence relationship” (Robbins

(1992:155), “control or influence over the actions of others to promote one’s goals without their consent, against their will or without their knowledge or understanding

(Buckley, 1967 dalam Grimes, 1978).

Christiansen dan Skaerback (1997) mendeskripsikan kekuasaan sebagai “…the

capability of one actor or group of social actors to control resources (e.g. other actors), and that power is reflected in the ability to overcome resistance in achieving a desired objective or result”. Dengan demikian, aspek utama kekuasaan adalah ketergantungan (dependence) sehingga seseorang dapat mengendalikan orang lain untuk dapat melakukan keinginan pemilik kekuasaan tersebut. Dengan demikian, kekuasaan mengacu pada “the ability of an individual to influence organization decisions and activities in ways that are not sanctioned by the formal authority of the system

(Alexander dan Morlock, 2000; Kotter, 1985 dalam Abernethy dan Vagnoni, 2004). Mengutip beberapa sumber, Covaleski dan Dirsmith (1988) menjelaskan bahwa kekuasan secara umum mengandung dua hal penting yaitu: (1) kekuasaan untuk menentukan dasar pemikiran – norma-norma dan standar-standar untuk membentuk dan mengarahkan perilaku; dan (2) kekuasaan untuk membatasi struktur birokrasi yang memadai agar kebijakan yang dibuat tidak dipertanyakan.

Kekuasan dengan demikian saling berkaitan dengan dan kepemimpinan meskipun keduanya berbeda (Robbins, 1992). Pemimpin menggunakan kekuasaan untuk mencapai

(9)

tujuan organisasi. Para pemimpin bertindak untuk mencapai tujuan, dan kekuasaaan merupakan alat untuk memfasilitasi pencapaian tujuan tersebut. Kekuasaan bukan ditujukan untuk mencapai tujuan, namun lebih dekat pada ketergantungan. Sedangkan kepemimpinan membutuhkan keselarasan antara tujuan pemimpin serta cara memimpin sehingga lebih menekankan pada gaya kepemimpinan.

Robbins (1992) membedakan basis kekuasaan menjadi beberapa kategori. Coercive power kekuasaan timbul karena hukuman, reward power – kepatuhan karena mengharapkan hadiah, persuasive power – kekuasaan karena kemampuan memanipulasi simbol status dan norma sosial, serta k nowledge power – kekuasaaan

karena kemampuan mengendalikan dan menggunakan informasi penting. Sedangkan ditinjaau dari sumbernya, kekuasaan mungkin diperoleh karena: posisi/kedudukan di dalam organisasi – position power, karakter individu – personal power, keahlian –

expert power, kesempatan – opportunity power (Robbins, 1992).

Pemegang kekuasaan dalam hirarkis organisasi pada dasarnya berada pada posisi dan memiliki otoritas tertinggi. Dengan kekuasaan, individu dapat menjalankan kebebasan untuk membangun koalisi dengan kelompok kepentingan lain di dalam organisasi, mendistribusikan kekuasaan ke pihak lain, dan menggunakan informasi untuk mempertahan kekuasaannya (Markus dan Pfeffer, 1983). Dalam konteks inilah politik kekuasaan mengambil peran dan informasi akuntansi memiliki perannya. Akibatnya, budaya organisasi akan mempengaruhi dan pada saat yang sama dipengaruhi sistem pengendalian akuntansi dan praktik akuntansi (Ansari dan Bell, 1994).

(10)

Metode Penelitian

Karena kompleksnya fakta-fakta sosial, ilmu sosial termasuk akuntansi tidak seharusnya senantiasa mengadopsi metodologi yang digunakan oleh ilmu alam - hypothetico-deductive methodology (Wahyudi, 1997). Fakta-fakta sosial ini, menurut Cohen (1953) dalam Wahyudi (1997) memiliki karakter yang “…less repeatable characters, … less

direct observability, … greater variability and lesser uniformity, and …greater difficulty of isolating one factor at a time.” Hal inilah yang mengakibatkan fakta sosial sulit dipisahkan antara satu dengan lainnya. Dengan demikian, penelitian ini meyakini bahwa akuntansi adalah ilmu sosial sehingga penelitian aakuntansi perlu dilakukan di dalam konteks organisasi dan sosial (Hopwood (1978; Laughlin, 1995; Tomkins and Groves, 1983).

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang adalah merupakan “tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan social yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasa dan peristilahannya” (Kirk dan Miller ,1986 dalam Moleong, 2002:3)

Sedangkan strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Tujuannya adalah memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat, serta karakter-karakter yang khusus, ataupun status dari individu, yang kemudian sifat-sifat khas diatas dijadikan suatu hal yang bersifat umum. Penelitian ini merupakan studi kasus tunggal di ABFII Perbanas pada Agustus sampai Nopember 2009.

Data primer diperoleh lewat wawancara dengan informan dan pengamatan serta keterlibatan peneliti pertama sebagai maahasiswa. Wawancara dilakukan terhadap sebelas orang responden dilakukan dengan wawancara terbuka dalam suasana informal.

(11)

Sedangkan pengamatan langsung dilakukan dalam interaksi keseharian peneliti sebagai mahasiswa dan dosen. Wawancara dan pengamatan langsung dilakukan untuk meyakinkan dan mengkonfirmasi tingkat kepercayaan data-data sekunder yang digunakan yang meliputi dokumen-dokumen administrasi organisasi.

Analisis data dilakukan sejak pengumpulan data dilakukan dan dikerjakan secara intensif sesudah meninggalkan lapangan. Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data tertulis hasil wawancara dan pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, pengalaman peneliti sebagai mahasiswa serta data sekunder. Semua data tersebut direduksi dalam bentuk abstraksi data.

Tahap akhir dari analisis data ini adalah mengadakan pemeriksaan keabsahan data. Kriteria pemeriksaan keabsahan data terdiri atas kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability). Masing-masing criteria tersebut menggunakan teknik pemeriksaan sendiri. Kriteria kredibilitas pemeriksaan datanya dilakukan dengan teknik perpanjangan keikutsertaan, ketekunan pengamatan, triangulasi, pemeriksaan sejawat melalui diskusi, kecukupan referensial, kajian kasus negatif, dan pengecekan anggota. Kriteria kebergantungan dan kepastian pemeriksaan dilkukan dengan teknik auditing.

Setelah selesai tahap keabsahan data, maka proses yang terakhir adalah dengan melakukan penafsiran data. Namun analisis data itu sendiri terjalin dengan tahap penafsiran data. Data ditafsirkan menjadi kategori yang berarti sudah menjadi bagian dari teori dan dilengkapi dengan penyusunan hipotesis kerjanya sebagai teori yang nanti diformulasikan, baik secara deskriptif maupun proporsional.

(12)

Deskripsi Objek Penelitian dan Pengendalian Manajemen

Pada tanggal 19 Februari 1969 Yayasan Pendidikan Perbanas (YPP) didirikan secara resmi sebagai badan hukum. YPP adalah sebuah yayasan pendidikan yang didirikan dan dimiliki oleh Perhimpunan Bank-bank Nasional (Perbanas). Kemudian, YPP mendirikan Akademi Ilmu Perbankan (AIP) dengan didasarkan pada kebutuhan atas tenaga operasional perbankan yang cukup tinggi kala itu. AIP hanya terdiri dari satu jurusan yaitu manajemen keuangan dan perbankan. Sebagai institusi pendidikan yang baru, AIP mengalami kesulitan untuk mendapatkan mahasiswa baru. Karena menghadapi kesulitan keuangan, pada Oktober 1974 YPP merombak anggota pengelola dengan menerima dua pendatang baru sebagai ketua dan bendahara YPP. Posisi bendahara YPP kemudian dipegang oleh Thomas Soeyatno (TS) sekaligus ditunjuk sebagai wakil direktur AIP.

Keterlibatan TS terus berlangsung dan menjadi individu yang paling dominan di dalam mengembangkan sekolah sampai tahun 1998. Berturut-turut posisi manajerial di lembaga pendidikan yang diduduki TS adalah – tahun 1982 sampai 1985 diangkat sebagai direktur AIP, tahun 1985 AIP berubah menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Perbanas dan TS menjadi ketua dari 1985 sampai 1994. Pada saat yang sama sejak tahun 1974 TS secara aktif terlibat di Perbanas sebagai wakil sekretaris jendral (1974-1982), kepala urusan organisasi (1982-1985), kepala penelitian-pengembangan dan pendidikan (1985-1988), sekretaris jendral (1988-1994), wakil ketua umum (1994-1997). Selain itu ia terlibat secara aktif di YPP sebagai bendahara sejak 1974 ketika menjabat sebagai wakil direktur AIP sampai 1993, sekretaris YPP (1993-1995), wakil ketua YPP (1995-1999) dan pejabat eksekutif pelaksana harian YPP.

(13)

Posisi TS di Perbanas, YPP dan sekolah menjadikan dirinya memegang kekuasaan tunggal tanpa perlu persetujuan pihak lain di dalam pengembangan lembaga pendidikan. Dalam pengambilan keputusan-keputusan keuangan yang berhubungan dengan sekolah, TS dapat mengendalikan keuangan sepenuhnya. Mekanisme manajemen dari perencanaan, eksekusi dan pengendalian sepenuhnya ada di tangan TS sehingga dominasinya pada manajemen sekolah adalah mutlak (Wahyudi, 2009).

Mekanisme pengendalian secara langsung ke lapangan lebih banyak dilakukan dengan tujuan untuk memastikan bahwa aktivitas telah dilakukan dengan benar dan lengkap. Praktik ini menggambarkan bahwa TS berhasil membangun symbolic power

dan symbolic action (Wahyudi, 2009). Dikatakan symbolic power karena TS membangun nilai-nilai untuk mengukur kinerja dan mengendalikan aktivitas unit organisasi yang diterima secara luas oleh staf. symbolic action adalah bahwa hal itu menjadi bagian dari kepemimpinan sehari-hari dimana pengendalian didasarkan pada nilai-nilai dan ide-ide TS yang harus diterima staf. Praktek manajemen ini terinternalisasi di alam bawah sadar seluruh staf sehingga menjadi budaya organisasi.

Sistem informasi akuntansi merupakan satu bentuk pengendalian (Abernethy dan Vagnoni, 2004). Fungsi sistem akuntansi diimplementasikan dalam organisasi (Abernethy dan Vagnoni, 2004) untuk (a) memfasilitasi pengambilan keputusan atau yang biasa disebut sebagai keputusan manajemen, karena akuntansi memberikan informasi kepada manajemen untuk mengurangi ketidakpastian; dan (b) untuk mengendalikan perilaku (behavior). Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa individu tidak bertindak untuk kepentingan organisasi melainkan untuk kepentingan mereka sendiri.

(14)

Sejak berakhirnya dominasi TS pada tahun 1999 posisi YPP terpisah dari sekolah. YPP menjalankan fungsi pengawasan melalui Badan Pelaksana Harian (BPH) yang bertugas melaksanakan kegiatan sehari-hari YPP. Pengawasan memang dilakukan YPP dengan adanya evaluasi kinerja pimpinan STIE Perbanas. Hal itu terus berlanjut sampai dengan setelah terjadinya merger antara STIE dengan STIMIK Perbanas tahun 2007 menjadi ABFII Perbanas (Perbanas Institute). Sedangkan YPP melaporkan hasil kerjanya dan bertanggungjawab pada pengurus asosiasi Perbanas.

Anggaran

Fungsi YPP sebagai pengawas sangat ditekankan pada masalah keuangan. YPP mengelola sumber-sumber pendanaan karena setiap penerimaan yang berhubungan dengan kegiatan perkuliahan akan masuk langsung ke rekening YPP1. YPP akan melakukan dropping dana setiap bulan ke rekening operasional institut melalui anggaran yang diklaim sebagai mekanisme pengendalian keuangan oleh YPP. Sedangkan menurut Flamholtz (1983:159) “budgetary system may operate as though it were a complete control system if there are certain implied or perceived connections between budgetary measures and organizational rewards” yang artinya sistem anggaran akan berjalan

sebagai sistem pengendalian jika ada hubungan yang jelas antara pengukuran anggaran dan pemberian penghargaan (rewards) atas kinerja (performance) yang baik.

Mekanisme anggaran dilakukan dengan sistem anggaran partisipatif. Setiap unit (yang dibawahi wakil rektor dan direktur program pascasarjana) mengajukan anggaran untuk aktivitas setiap bulannya. Anggaran tidak hanya berisi biaya operasional setiap unit setiap bulannya, tapi juga setiap unit yang menghasilkan uang harus mencantumkan

1 Ada dua rekening yaitu rekening YPP atas nama ABFII Perbanas dan rekening untuk operasional

(15)

estimasi uang yang diterima dalam satu tahun dan unit yang menangani adalah unit akademik. Unit akademik akan mencantumkan estimasi penerimaan uang dari mahasiswa seperti biaya kuliah, laboratorium, dan yang lainnya. Namun unit akademik tidak memiliki data realisasi dana yang diterima karena semua penerimaan uang langsung masuk ke rekening YPP.

Anggaran untuk aktivitas setiap bulan kemudian diajukan ke rektor untuk mendapatkan persetujuan. Jika telah disetujui rektor, anggaran dimintakan persetujuan Senat untuk dibawa ke YPP. Jika yayasan menyetujui maka realisasi anggaran itu dibayarkan oleh cashier and payment services manager ke unit-unit tersebut. Sistem pembayaran dilakukan dengan sistem dropping setiap bulan oleh YPP dan pengakuan setiap transaksi menggunakan basis kas (cash basis).

Proses pemberian uang atau dropping yang dilakukan YPP:

1. Proses permintaan dropping dana setiap bulan harus dilengkapi dengan laporan realisasi penggunaan dana dropping sebelumnya.

2. Laporan realisasi tersebut akan diperiksa oleh YPP untuk memastikan semua pos atau program kerja atau penggunaan dana sesuai anggaran yang disetujui.

3. Setelah proses dropping disetujui maka YPP akan menerbitkan bilyet giro untuk pemindahbukuan dana ke rekening institut.

YPP sangat berperan dalam pengelolaan uang perkuliahan dengan masuknya semua penerimaan uang ke rekening YPP tanpa adanya transparansi ke pihak Institut yang menjalankan kegiatan perkuliahan sehari-hari. Realisasi dana setiap bulan itu menyebabkan kegiatan yang dilakukan menjadi tidak fleksibel apalagi realisasi tersebut sering ditunda. Dengan sering tertundanya dan dipotongnya uang dropping dari yayasan

(16)

maka uang untuk pembayaran kegiatan operasional sering tertunda juga, khususnya jika ada kegiatan-kegiatan diluar rencana. Treasury general manager mengungkapkan pengalamannya sebagaai berikut:

Semua penerimaan uang dari mahasiswa – uang pembangunan, sumbangan pengembangan pendidikan (SPP), biaya laboratorium masuk ke rekening YPP, laporan penerimaan uang dari mahasiswa dapat diketahui oleh lembaga melalui rekening koran tapi manajemen Institut tidak mengetahui pengelolaan uang tersebut oleh YPP dan menurut saya hal ini tidak wajar. Dengan sering tertundanya uang dropping dari YPP maka uang untuk pembayaran biaya operasional sering tertunda juga, khususnya jika ada kegiatan-kegiatan mendadak diluar rencana.

YPP selalu menekankan efisiensi pada manajemen Institut meskipun menurut komunitas Institut, YPP bertindak tidak efisien untuk proyek-proyek yang langsung ditangani YPP. Hal itu dikatakan oleh SS, mantan Pembantu Ketua bidang Litbang dan Kerjasama ex-STIE sebelum menjadi ABFII sebagai berikut,

YPP selalu mengatakan bahwa manajemen sekolah boros, tetapi YPP melakukan hal yang sebaliknya. Contohnya, konsultan penggabungan STIE dan ex-STIMIK yang diserahkan pada konsultan dari luar adalah merupakan pemborosan dan kegagalan karena tidak selesai. Saat ini konsultan pendidikan tersebut digantikan oleh konsultan dari Malaysia. Padahal pihak internal atau dosen-dosen juga bisa melakukan hal tersebut.

Hal senada juga diungkapkan oleh WE sebagai anggota Senat institute wakil dosen.

Pengendalian Administrasi

Pengendalian administrasi termasuk peraturan formal, standar operasi prosedur (SOP) dan manual, pengawasan terhadap kepatuhan atas peraturan dan SOP, struktur formal (Ansari dan Bell, 1991), deskripsi pekerjaan, dan performance measurement system (Flamholtz, 1983). Fokus organisasi pada masalah pengendalian meningkat

(17)

karena adanya ketidaksesuaian antara tujuan individu dengan usaha mereka untuk memenuhi tujuan organisasi (Flamholtz, 1983).

Pengendalian administrasi yang ada di institut yang dibahas disini adalah Statuta yang merupakan peraturan formal, standar operasi dan prosedur (SOP), struktur formal yaitu struktur organisasi institut, deskripsi pekerjaan yang menjelaskan posisi dan fungsi dari struktur organisasi tersebut, dan performance measurement system.

1.

Peraturan formal dan Standar Operasi dan Prosedur (SOP)

Statuta adalah landasan dan pedoman dasar penyelenggaraan kegiatan pendidikan yang dipakai sebagai acuan perencanaan, pengembangan program, dan penyelenggaraan kegiatan fungsional yang sesuai dengan tujuan ABFI Institute Perbanas, dan merupakan sebuah peraturan yang dibuat oleh senat sebagai badan normatif. Statuta berisi dasar-dasar umum yang dipakai sebagai rujukan pengembangan ABFII Perbanas, peraturan umum, peraturan akademik, dan prosedur operasional termasuk peraturan umum karyawan yang berlaku di ABFII Perbanas. Statuta juga merupakan produk yang dibuat Senat sebagai badan normatif.

Statuta bagi sekelompok staf dianggap sebagai alat yang digunakan untuk melegitimasi kekuasaan karena menekankan pada dominasi YPP, rektor dan wakil rektor. Hal ini disebabkan lemahnya posisi Senat sebagai badan normatif di institut, karena kebanyakan anggota Senat adalah ex-officio dan rektor merupakan ketua Senat sehingga setiap keputusan yang diambil akan sangat tergantung pada rektor.

Statuta yang diberlakukan saat inipun bukan merupakan draft Statuta yang disiapkan tim penggabungan sekolah melainkan buatan sekelompok pihak yang ingin

(18)

melegitimasi dan memperkuat kekuasaannya. Hal ini diungkapkan oleh WE selaku anggota Senat yang merupakan anggota tim perumusan Statuta draft pertama,

Statuta merupakan produk buatan Senat sebagai badan normatif, namun Statuta yang diberlakukan bukan draft Statuta yang dibuat Senat. Pasal-pasal dalam Statuta yang diberlakukan saat ini kebanyakan tidak banyak yang melibatkan Senat sebagai badan normatif. Senat sebagai badan normatif dilemahkan. Maka, ada beberapa pasal yang bersifat strategik yang sengaja dimasukkan untuk membatasi peran stakeholder dan \memperkuat kekuasaan YPP serta pimpinan. Ada beberapa peraturan Statuta yang tidak patuh pada undang-undang pendidikan tinggi yang berlaku.

Hal ini juga diakui oleh KM (dosen tetap), sewaktu penulis mewawancarai WE.

Namun, AA sebagai dosen tetap dan anggota perumusan Statuta draft pertama mengemukakan pendapatnya,

Statuta ditetapkan oleh YPP, sehingga Statuta tersebut tentu akan sesuai dengan kepentingan YPP. Namun pada akhirnya, Statuta tersebut memang bisa menjadi alat untuk kekuasaan.

Selain itu, Statuta adalah peraturan formal yang bersifat strategik karena dipakai sebagai acuan perencanaan, pengembangan program, dan penyelenggaraan kegiatan fungsional. Oleh karena itu Statuta seharusnya diperjelas lagi dengan peraturan-peraturan lain dibawahnya seperti standar operasi dan prosedur (SOP) dan manual, sehingga peraturan tersebut dapat menjadi sebuah mekanisme sistem pengendalian.

SOP dan manual berupa SK (Surat Keputusan) yang adapun tidak dijalankan oleh kebanyakan anggota organisasi. Pengawasan terhadap kepatuhan atas peraturan dan SOP tidak berjalan karena top management sebagai puncak pengendalian tidak patuh terhadap peraturan formal dan prosedur. WE dan SS mengungkapkan hal yang senada mengenai hal ini

Recruitment pegawai yang ada tidak mengacu pada SOP yang ada, maka

(19)

unjuk. Pada saat STIE belum berubah menjadi ABFII, prosedur recruitment

dilakukan sesuai prosedur. Penerimaan karyawan diumumkan di media massa khususnya media cetak dan dilakukan serangkaian tes sehingga orang yang benar-benar kompetenlah yang terpilih. Namun setelah STIE digabungkan dengan STIMIK oleh YPP menjadi ABFII, prosedur tersebut tidak dilaksanakan. Bahkan setelah bergabung jumlah pejabat yang berasal dari STIMIK (dilihat dari proporsi karyawannya) lebih besar daripada STIE.

Quality assurance yang difungsikan sebagai pengawas juga belum bekerja karena meskipun pejabat atau kepala quality assurance sudah ada, namun organnya belum ada (diungkapkan oleh SS dan WE). Akibatnya, peraturan formal dan SOP yang seharusnya digunakan untuk mengarahkan perilaku anggota organisasi tidak berjalan sebagaimana mestinya.

2.

Struktur organisasi dan

Performance Evaluation System

Organisasi sebagai proses pengendalian, terjadi ketika sekelompok orang merasa butuh untuk bekerja sama untuk mencapai tujuan lewat kerjasama dalam tindakan (Otley dan Berry, 1980 dalam Flamholtz, 1983). Struktur organisasi merepresentasikan sistem akuntabilitas, pengendalian, dan pengaruh dan didasarkan pada otoritas prinsip-prinsip yang dapat diukur (Abernethy dan Vagnoni, 2004 dalam Wahyudi, 2004).

Dalam mencapai tujuan organisasi, pemilihan struktur organisasi merepresentasikan sebuah strategi manajerial untuk mengadaptasi entitas organisasi agar sesuai dengan kondisi lingkungannya (Flamholtz, 1983). Maka dalam hal ini institut merancang struktur organisasi untuk mencapai visinya menjadi institusi pendidikan perbankan terbaik di Asia. Struktur organisasi ABFI Institute Perbanas dapat digambarkan sebagai berikut:

(20)

Menurut Robbins (1992) struktur organisasi dibuat berdasarkan pada pertimbangan tiga komponen, yaitu kompleksitas, formalisasi, dan sentralisasi. Kompleksitas menurut Robbins dapat dibagi menjadi dua, yaitu diferensiasi horizontal yang memisahkan unit-unit, sedangkan diferensiasi vertical lebih pada struktur hirarkis ke bawah (1992:139). Kompleksitas struktur ABFII dalam hal ini diferensiasi horizontal. Kompleksitas horizontal tersebut karena adanya penggabungan ex-STIE dan ex-STIMIK. Kompleksitas horizontal ini menyebabkan sulitnya anggota organisasi untuk komunikasi dan lebih sulit bagi manajemen untuk mengkoordinasi aktivitas anggotanya (Robbins, 1992). Hal tersebut senada dengan kondisi saat ini, dimana komunikasi dan informasi tidak berjalan baik sehingga rapat sebagai jalan untuk komunikasi harus lebih sering diadakan, sementara pengawasan di lapangan kurang.

Formalisasi merupakan standar pekerjaan dalam organisasi. Adanya deskripsi pekerjaan, peraturan-peraturan organisasi, dan prosedur yang jelas dalam setiap pekerjaan merupakan tanda tingginya tingkat formalisasi (Robbins, 1992). Deskripsi pekerjaan juga belum dibuat secara jelas sehingga struktur organisasi tersebut menjadi tidak efektif. Jika ada masalah maka yang terjadi adalah saling melempar kesalahan antar unit. Karyawan dalam hal ini hanya mementingkan dirinya sendiri, atau hanya bekerja sebatas pada kepentingan unit kerjanya.

Sentralisasi merupakan “distribution of power within organizations” (Hall, 1996). Otoritas formal yang melekat pada konsep ini menekankan pada hak yang melekat pada posisi seseorang. Jika manajemen puncak membuat keputusan yang penting bagi organisasi, keputusan tersebut dibuat dengan sedikit atau tanpa masukan dari personnel yang berada di bawah posisinya, maka disebut dengan sentralisasi, dan sebaliknya (Robbins, 1992). Dari penjelasan tersebut, maka struktur organisasi ABFII merupakan struktur yang tersentralisasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan WP sebagai berikut:

(21)

Senat sebagai badan normatif yang tugas pokoknya memberikan arahan, pertimbangan kepada pimpinan tidak didengarkan, sehingga senat hanya seperti tukang stempel saja. Rapat-rapat yang dilakukan antara pimpinan dan senat tidak menghasilkan keputusan yang sesuai dengan hasil rapat tersebut. Sehingga keputusan-keputusan yang ada sering kali tidak memihak kepentingan karyawan, dosen, dan mahasiswa.

Selain itu, struktur yang ada saat ini dianggap tidak efisien oleh sebagian responden. Hal itu dikarenakan banyaknya unit penunjang yang tidak dibutuhkan sehingga mengakibatkan inefisiensi.

Sistem evaluasi kinerja (performance evaluation system) dapat diukur jika ada alat ukurnya. Flamholtz (1983) mendefinisikan “measurement is the process of assigning numbers to represent aspects of organizational behavior and performance” (pengukuran adalah sebuah

proses dari pemberian angka untuk merepresentasikan aspek-aspek dari perilaku organisasi dan kinerja). Sistem evaluasi kinerja di institut belum berjalan karena alat ukurnya belum ada. Anggaran hanya dibuat berdasarkan kebutuhan setiap unit organisasi dan belum berdasarkan kinerja unit organisasi untuk mencapai target. Sistem reward and punishment yang ada, yaitu yang terdapat dalam Statuta pada Bab 20 tentang Kode Etik dan Sanksi yang diatur dalam Pasal 52, 53, dan 54; juga dalam Bab 22 tentang penghargaan dan jasa yang diatur dalam Pasal 56 tidak dapat dijadikan pengukuran dalam sistem evaluasi kinerja karena reward and punishment

tersebut tidak dijalankan.

Evaluasi kinerja hanya terjadi pada rektor dan YPP, untuk karyawan belum ada evaluasi kinerja. Sebagai agen, rektor harus mempertanggung jawabkan kinerjanya kepada YPP. Karena tidak adanya sistem evaluasi kinerja, maka penilaian kinerja karyawan tidak dilakukan. Sistem

reward and punishment akibatnya tidak bisa diterapkan. Hal tersebut berdampak pada rendahnya kinerja kebanyakan karyawan dan kecemburuan pada karyawan lainnya.

(22)

Pengendalian Perilaku, Pengendalian Personel, dan Pengendalian Social

Pengendalian akan berjalan jika perilaku dari karyawan dan lingkungan organisasi sejalan dan diarahkan untuk mencapai tujuan organisasi bukan untuk kepentingan personal atau kelompok. Pada kasus ini, pengendalian tidak berjalan karena distribusi power, dan budaya organisasi (Markus dan Pfeffer, 1983) tidak sejalan dengan tujuan organisasi. Mekanisme pengendalian bukan hanya dari inti pengendalian formal tetapi juga dari budaya organisasi, jika budaya organisasi dan inti sistem pengendaliannya tidak sejalan maka sebaik apapun integrasi inti sistem pengendalian itu tidak akan secara nyata mempengaruhi perilaku seperti yang direncanakan (Flamholtz, 1983).

Markus dan Pfeffer (1983) membagi tiga penggunaan sistem akuntansi dan pengendalian yang biasanya berhubungan dengan akuisisi atau penggunaan power, yaitu pembuatan keputusan, perubahan pengukuran kinerja organisasi (organizational performance), dan penetapan legitimasi.

Distribusi Kekuasaan

“Power is control or influence over the actions of others to promote one’s goals without their consent, against their will or without their knowledge or understanding” (Buckley, 1967

dalam Grimes, 1978). Pengendalian membutuhkan otoritas. Namun, tulisan ini mengartikan kata “power” atau kekuasaan dengan otoritas yang tersentralisasi, sekelompok orang harus taat

(comply) terhadap tujuan seseorang, bukan merupakan konsensus. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa nilai-nilai dan praktik-praktik TS telah menginstitusional dalam organisasi maka nilai-nilai dan praktik tersebut masih ada sampai sekarang.

Yang membedakan adalah saat ini kekuasaan tidak berada pada satu orang, saat ini kekuasaan berada pada dua pihak yaitu YPP dan rektor. Menurut Robbins (1992:155), power

(23)

mengacu pada “a dependence relationship” dimana rektor bergantung pada YPP karena YPP

yang mengangkatnya, dan YPP bergantung pada rektor untuk memudahkannya masuk dan mencampuri kegiatan ABFII untuk keuntungan mereka.

Pemahaman tentang konsep kekuasaan dapat dikembangkan dengan memisahkan basis dan sumber-sumber kekuasaan (Robbins, 1992:157). Sumber-sumber kekuasan adalah dimana pemilik kekuasaan mendapatkan basis kekuasaannya, sedangkan basis kekuasaan mengacu pada apa yang dimiliki pemilik kekuasaan yang memberikannya Maka, basis kekuasaan dalam hal ini adalah persuasive power, yang didasarkan pada “allocation and manipulation of symbolic rewards” (Robbins, 1992:158) dan sumber kekuasaannya adalah position power yang berasal dari “formal position each holds within a structural hierarchy” (Robbins, 1992:159).

Kedua pihak ini, yaitu rektor dan YPP akan mempunyai kekuasaan jika ada pihak yang bergantung pada mereka, maka dalam hal ini rektor memilih wakilnya sendiri walaupun bertentangan dengan STATUTA2 dan disetujui oleh YPP. Wakil rektor juga membangun kekuasaannya dengan menciptakan kelompok-kelompok yang akan bergantung pada mereka. Nilai-nilai kekuasaan yang sudah terinstitusional membuat kebanyakan staf mencari gantungan pihak yang memiliki kekuasaan. Akibatnya pada saat pemilihan rektor, mereka cenderung akan memilih siapa yang akan membuat mereka mempunyai kekuasaan sehingga mereka akan aman berada di posisinya walaupun kinerjanya tidak lebih baik. Hal ini menyebabkan staf yang tidak mencari kekuasaan dan taat peraturan mengalami high degree of cognitive dissonance3 (Robbins,

1992:29) yang membuat mereka bimbang apakah mereka harus tetap pada pendirian mereka atau mengikuti arus atau nilai-nilai organisasi yang ada.

2 Pasal 16 ayat (6) menyebutkan bahwa Wakil Rector dan Direktur Pascasarjana diangkat dan diberhentikan

dengan Surat Keputusan Yayasan atas usul rector setelah mendapat pertimbangan Senat.

3 Dissonance terjadi ketika adanya inkonsistensi antara dua atau lebih dari attitudesnya, atau antara perilakunya

(24)

Mereka yang fokus untuk menggunakan kekuasaan akan menggunakan ‘political skill’nya untuk “identify and build coalitions with other interests” (Bucher, 1970 dalam Markus

dan Pfeffer, 1983:209) dan “argue for one’s position selectively using the information that is available” (Pfeffer & Salancik, 1977 dalam Markus dan Pfeffer, 1983:209). Pfeffer (1981) dalam

Markus dan Pfeffer (1983) mengemukakan bahwa ketika kekuasaan dan politik digunakan dan dominan di dalam organisasi, maka sistem pengendalian dan akuntansi akan terpengaruh. Nilai-nilai yang tertanam dalam budaya dari sebuah organisasi dan/atau kelompok akan mempengaruhi praktik-praktik akuntansi dan pengendalian (Peters dan Waterman (1982), Ouchi (1981) dalam Ansari dan Bell (1994:8)).

Budaya Organisasi

Ouchi (1979) dalam Flamholtz (1983), mendefinisikan budaya dalam konteks organisasi sebagai nilai-nilai dan pola-pola normatif yang mengarahkan perilaku, pekerjaan, dan kebijakan pekerja. Sering kali, budaya ini terbawa ke anggota baru dan terpelihara melalui penggunaan bahasa spesifik, formalitas, simbol, keadaan,dan mitos organisasi (Martin, in press dalam Markus dan Pfeffer, 1983).

Budaya merupakan pola dari nilai-nilai, norma-norma, dan kepercayaan yang diterima oleh anggota organisasi. Dilihat dari dimensi ini, budaya dapat mempengaruhi perilaku anggota organisasi. Ketika budaya telah terbentuk, maka elemen-elemen sistem pengendalian manajemen akan mengikuti budaya organisasi yang ada melalui keputusan-keputusan operasional, strategik, dan tindakan.

Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perilaku politik (political behavior) berasal dari faktor individual dan budaya organisasi atau lingkungan internal. namun aktivitas politik lebih berkembang atau berfungsi pada budaya organisasi daripada faktor individual (Robbins,

(25)

1992). Kuatnya budaya paternalistik pada era TS memberikan pengaruh besar terhadap perilaku anggota organisasi (Robbins, 1992) sehingga budaya tersebut sulit berubah.

Adanya perubahan sistem politik di Indonesia menjadi demokrasi turut mengubah budaya sekolah. Saat ini, ABFII sedang mengalami proses transisi perubahan budaya tersebut. AA mengungkapkan bahwa

Perubahan sosial yang ada di Indonesia menjadi demokrasi membawa dampak terhadap sekolah. Arus demokrasi tersebut ditanggapi dengan persepsi yang berbeda oleh masing-masing anggota. Persepsi tersebut menyebabkan adanya subbudaya dalam organisasi, paternalistic di satu sisi dan demokrasi di sisi lainnya. Namun perbedaan tersebut tidak disatukan dalam sebuah sistem yang sesuai dengan lingkup demokrasi sekarang. Hal tersebut mengakibatkan anggota-anggota organisasi mengembangkan persepsinya masing-masing untuk mencapai tujuan masing-masing.

Sejalan dengan AA, WB juga mengungkapkan adanya transisi budaya di institute,

Suasana demokratis memberi imbas terhadap nilai-nilai organisasi. Hal itu ditandai dengan adanya pergeseran budaya dari budaya paternalistik menuju budaya egalitarian. Namun demokratisasi tersebut tidak didukung oleh prosedur dan mekanisme yang baku. Proses tersebut menyebabkan adanya beberapa budaya dalam organisasi, yaitu paternalistik dan egalitarian. Dua budaya tersebut menimbulkan sikap dan perilaku yang berbeda antar kelompok. Pertama, sikap dan perilaku yang masih sungkan terhadap atasan, dan melihat apakah pimpinan mereka bertindak otoriter. Perilaku yang kedua yaitu perilaku sekelompok orang yang berafiliasi dengan pimpinan yang mempunyai otoritas untuk kepentingan ekonomi dan politik kekuasan. Kedua perilaku tersebut merupakan cerminan budaya paternalistik yang masih belum berubah. Perilaku yang ketiga adalah perilaku egalitarian, dimana orang atau sekelompok orang tersebut berani mengungkapkan pendapat mereka. Adanya perbedaan budaya tersebut menimbulkan konflik akibat rendahnya rasa saling percaya antara YPP, manajemen, karyawan dan mahasiswa.

Rendahnya kepercayaan (low trust) yang terjadi antara pihak institut dan pemilik (YPP) karena bagi YPP, institut tidak efisien dalam mengelola keuangan untuk kegiatan sehari-harinya. Sebaliknya manajemen menganggap YPP tidak transparan dalam pengelolaan uang institut dimana iuran kuliah yang dibayarkan mahasiswa langsung masuk ke rekening YPP. Dari pihak internal, rendahnya kepercayaan antara karyawan kepada manajemen karena pihak manajemen

(26)

membuat dan menjalankan organisasi yang cenderung berorientasi pada kepentingannya sendiri, orang-orang yang dekat dengan mereka atau unit-unit kerjanya sendiri. Rendahnya kepercayaan mahasiswa terhadap pihak institut karena mahasiswa merasa kepentingan mereka seringka li diabaikan, dan mereka merasa uang kuliah yang dibayarkan tidak sebanding dengan pelayanan atau kualitas pendidikan yang mereka terima.

Institut ini tidak mempunyai performance measurement system. Pengukuran kinerja dilakukan secara informal, yaitu berdasarkan apa yang telah mereka lakukan untuk atasan mereka atau unit kerja mereka atau untuk kepentingan mereka sendiri. Performance measurement tidak didasarkan pada kontribusi yang mereka lakukan untuk institut secara keseluruhan atau secara jangka panjang. Kebanyakan staf saat ini masih berorientasi pada kepentingan jangka pendek. Pimpinan hanya memiliki justifikasi formal berupa Surat Keputusan dari YPP tanpa memiliki kapasitas sebagai informal leader.

Perbedaan Cara Pandang

Terdapat perbedaan perspektif antara YPP, pemimpin institut dan karyawan dalam memandang institusi ini. YPP memandang institut ini seperti corporate business yang dalam kegiatannya harus efisien dan menghasilkan keuntungan (profit), maka YPP cenderung memotong anggaran yang diajukan institute. Stakeholder menurut YPP adalah bank-bank yang menjadi anggota Yayasan Pendidikan Perbanas dan institut harus bertanggung jawab kepada mereka lewat YPP. Sejalan dengan YPP, pimpinan institut memiliki keyakinan bahwa YPP harus lebih dipentingkan dibanding dengan pihak lain seperti karyawan, dosen dan mahasiswa.

Karyawan dalam hal ini memiliki pandangan bahwa pada hakikatnya ABFII Perbanas sebagai institusi pendidikan merupakan lembaga publik bukan corporate business yang mengutamakan prinsip-prinsip efektivitas dan efisiensi untuk meningkatkan daya saing.

(27)

Komunitas utama ABFII Perbanas adalah scholar dan intellectuals, bukan knowledge workers

yang bekerja untuk mendapatkan upah tinggi. Interaksi diantara masyarakat ABFII Perbanas yang merupakan komunitas akademik dilaksanakan dengan berlandaskan kepada prinsip dan nilai-nilai akademik bukan kepada nilai-nilai korporasi. Dengan demikian penerapan efisiensi dalam institusi pendidikan tidak dapat diperlakukan seperti perusahaan. Tidak semua aspek di dalam proses pendidikan dapat diukur dengan indikator efisiensi. Pimpinan harus akuntabel terhadap internal stakeholders seperti dosen-dosen, karyawan, mahasiswa, dan external stakeholders yaitu orang tua mahasiswa, dunia industri dan masyarakat luas.

Nilai-nilai dan persepsi yang berbeda antara berbagai pihak belum dikomunikasikan dengan baik karena sistem yang ada tidak mengakomodasi adanya ruang publik untuk melakukan brainstorming sehingga mekanisme check and balances dapat berjalan. Komunikasi dan informasi masih bersifat vertical (top-down) dan terbatas pada posisi dan peran. Komunikasi bersifat tertutup antar orang-orang tertentu atau contohnya antar pimpinan sendiri, informasi tersebut tidak sampai ke bawah sehingga terjadi miss-information dan hasilnya adalah rumor. Tidak ada usaha dari pimpinan untuk meluruskan rumor tersebut. Rapat-rapat yang diadakan misalnya rapat pimpinan dan Senat seringkali hanya sebuah ritual atau simbolik karena seringkali keputusan dari hasil rapat tersebut tidak digunakan, kebijakan yang dibuat pada akhirnya kebijakan yang akan menguntungkan pihak pimpinan sendiri dan mengamankan posisinya di mata YPP.

Simpulan

Sistem pengendalian yang ada di ABFII Perbanas tidak berjalan efektif karena kebanyakan anggota organisasi – khususnya pimpinan – tidak menjalankan sistem pengendalian tersebut. Sistem pengendalian diimplementasikan untuk mencapai tujuan organisasi (Abenerthy dan

(28)

Vagnoni, 2004). Tidak berjalannya pengendalian tersebut menyebabkan tidak tercapainya tujuan organisasi.

Peran sistem akuntansi untuk mendistribusikan kekuasaan juga tidak berjalan. Kekuasaan masih tersentralisasi pada pimpinan institut dan YPP. Informasi yang tersedia bersifat subjektif, tidak terdistribusi. YPP sebagai pemegang rekening penampungan uang kuliah mahasiswa tidak memberikan informasi yang transparan kepada pihak institut yang menjalankan kegiatan operasional pendidikan. Di level institut, realisasi anggaran juga dimanfaatkan untuk bargaining position antara pimpinan dengan karyawan karena pimpinan memerlukan dukungan karyawan.

Mekanisme anggaran antara manajemen institut dan YPP berfungsi sebagai power display

bahwa pemegang kekuasaan sesungguhnya di institut adalah YPP. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam pengelolaan keuangan, YPP dapat melakukan pemotongan anggaran dan penundaan dropping uang tanpa manajemen mampu menolaknya. Dengan demikian YPP dapat menunjukkan kepada seluruh pegawai institut bahwa manajemen (pimpinan) hanyalah agen/kepanjangan tangan YPP.

Di internal institut, pengendalian administrasi yang meliputi peraturan formal dan standar operasi prosedur (SOP) juga tidak dijalankan karena institut dikelola dengan pendekatan kekuasaan (power) oleh pimpinan institut. Oleh karena itu mekanisme pengendalian juga tidak diperlukan – dan tidak dibuat secara lengkap dan karenanya berfungsi sebagai simbol saja. Peraturan formal – Statuta dan peraturan-peraturan dibawahnya banyak yang tidak sinkron – berperan sebatas alat legitimasi kekuasaan pimpinan.

Struktur organisasi yang ada juga tidak efektif karena deskripsi pekerjaan belum dibuat secara jelas. Ketidakjelasan tersebut berimbas pada day to day managerial practices yang kacau. Ketiadaan sistem pengukuran kinerja serta ketiadaan sanksi dan penghargaan kepada karyawan

(29)

adalah akibat ketiadaan deskripsi pekerjaan. Akibat lebih lanjut adalah bahwa ukuran kinerja ditentukan oleh subyektifitas pimpinan.

Pengendalian juga tidak berfungsi karena kekuasaan yang dimiliki pimpinan institut diperoleh lewat position power yang berbasis pada “formal position (in which) each holds within a structural hierarchy” (Robbins, 1992:159). Padahal pengendalian penting karena mendukung

adanya kepercayaan dalam organisasi (Galloway, 1994). Namun pada kasus ini pengendalian belum bisa menumbuhkan kepercayaan antar pihak di dalam organisasi. Itulah sebabnya, perubahan budaya dari paternalistik menuju egaliter yang memunculkan ke permukaan sub-budaya dalam satu organisasi tidak mampu dikelola secara baik oleh manajemen. Ketidakmapuan mengelola dan mengakomodasi perbedaan perspektif tersebut menimbulkan ketidakpercayaan diantara anggota organisasi terhadap manajemen sehingga berujung pada konflik terbuka.

Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki keterbatasan yang perlu untuk diperbaiki dalam penelitian-penelitian selanjutnya. Keterbatasan itu berupa keterbatasan akses peneliti dalam memasuki objek penelitian. Ketidakmampuan peneliti memperoleh data yang lengkap karena posisi peneliti sebagai mahasiswa ABFII Perbanas menyulitkan akses ke data yang bersifat tertutup.

Selain itu dalam penelitian kualitatif, peneliti berperan besar sebagai alat penelitian (Moleong, 1993) dalam menginterpretasi data-data yang diperoleh. Peneliti mengalami keterbatasan dalam menginterpretasi atau memberikan judgement atas data yang ada. Dari beberapa wawancara yang dilakukan, penelitian ini menemukan berbagai persepsi yang berbeda diantara responden sehingga membuat judgement atau interpretasi yang dilakukan mungkin tidak dapat mengakomodasi semua perspektif responden.

(30)

Sampel penelitian yang terlalu sedikit, dan adanya beberapa responden yang memberikan jawaban normatif atau tertutup juga dapat memberikan bias dalam melakukan analisis data.

Referensi

Abenerthy, Margaret A. dan Vagnoni, Emidia. 2004. Power, Organization Design and Managerial Behaviour. Accounting, Organizations and Society.Vol 29 pp. 207-225. Adebayo Agbejule, (2011) "Organizational culture and performance: the role of management accounting

system", Journal of Applied Accounting Research, Vol. 12 Issue: 1, pp.74-89,

Ansari, Shahid L. dan Bell, Jan. 1991. “Symbolism, Collectivism, and Rationality in Organizational Control”. Accounting, Auditing & Accountability Journal. Vol. 4 No. 2, pp. 4-27.

Binberg, Jacob G., Turopolec, Lawrence., dan Young, Mark S. 1983. “The Organizational Context of Accounting”. Accounting, Organizations and Society. Vol. 8, No. 2/3, pp. 111-129.

Bodnar, George H. dan Hopwood, William S. 2001. Sistem Informasi Akuntansi. Edisi kedelapan, jilid ke-1.Jakarta: PT Indeks.

Christiansen, John K. dan Skaerbaek, Perter. 1997. “Implementing Budgetary Control in the Performing Arts: Games in the Organizational Theatre”. Management Accounting Research. Vol 8/4, 405-438

Collins, Frank. 1982. “Managerial Accounting Systems and Organizational Control: A Role Perspective”. Accounting, Organizations and Society. Vol. 7, No. 2, pp. 107-122.

Cooper, David J., Hayes, David dan Wolf, Frank. 1981. “Accounting in Organized Anarchies: Understanding and Designing Accounting Systems in Ambigous Situations”. Accounting, Organizations and Society. Vol. 6, No. 3, pp. 175-191.

(31)

Covaleski, Mark A. dan Dirsmith, Mark W. 1988. “The Use of Budgetary Symbols in the Political Arena: an Historically Informed Field Study”. Accounting, Organizations and Society, Vol. 13, No. 1, pp. 1-24.

Covaleski, Mark. dan Aiken, Michael. 1986. “Accounting and Theories of Organizations: Some Preliminary Considerations”. Accounting, Organizations and Society. Vol. 11, No. 4/5, pp.297-319.

Cunningham, Gary M. 1992. “ Management Control and Accounting Systems under a Competitive Strategy”. Accounting, Auditing & Accountability Journal, Vol. 5 No. 2, pp. 4-27.

Czaniawska-Joegers, Barbara. dan Jacobsson, Bengt. 1989. “Budget in a Cold Climate”. Accounting, Organizations and Society. Vol. 14, No. ½. Pp. 29-39

Flamholtz, Eric G. 1983. “ Accounting, Budgeting, and Control Systems in their Organizational Context: Theoretical and Empirical Perspective”. Accounting, Organizations and Society, Vol. 8, No. 2/3, pp. 153-169.

Galloway, Duncan J. 1994. “Control Models in Perspective”. The Internal Auditor. Desember. Grimes, A. J. 1978. “Authority, Power, Influence and Social Control: A Theoretical Synthesis”.

The Academy of Managerial Review. Vol. 3, No. 4. Pp. 724 – 735.

Hall, Richard H. 1996. Organizations, Structure, Process, and Outcomes. Seventh Edition. Hofstede, Geert. 1981. “Management Control of Public and Not-For-Profit Activities”.

Accounting, Organizations and Society. Vol. 6, No. 3, pp. 193-211.

Hopwood, Anthony, G. 1987. “The Archeology of Accounting Systems”. Accounting, Organizations and Society. Vol. 12, No. 3, pp. 207-234.

Hauriasi, Abraham dan Davey, Howard. 2009. "Accounting and culture: The case of Solomon Islands".

(32)

Ikhsan, Arfan dan Ishak, Muhammad. 2005. Akuntansi Keperilakuan. Salemba Empat: Jakarta. Laudon, Kenneth C., and Jane P. Laudon. 2000. “Organization and Technology in The

Networked Enterprise” in Management Information System, Six Edition, International Edition.

Markus, M. Lynne dan Pfeffer, Jeffrey. 1983. “Power and the Design and Implementation of Accounting and Control Systems”. Accounting, Organizations and Society. Vol. 8, No. 2/3, pp. 153-169.

Moleong, Lexy J. 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Mouritsen, Jan. 1989. “Accounting, Culture, and Accounting-Culture”. Scandinavian Journal of

Management. Vol. 5, No. 1. 21-47.

Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia: Jakarta

Reed, Michael I. 2001. “Organization, Trust and Control: A realist Analysis”. Organization Studies. Vol. 22, no. 2. Pp. 201-228

Robbins, Stephen P. 1992. Essentials of Organizational Behavior. Third Edition. Prentice Hall International ltd: New Jersey.

Scapens, Robert W. dan Roberts, John. 1993. Accounting and Control: A Case Study of Resistance to Accounting Change. Management Accounting Research. Vol. 4, No.1. Pp. 1-32

Umashankar, V. dan Dutta, K. 2007. Balanced scorecards in managing higher education

institutions: an Indian perspective. International Journal of Educational

Management, Vol. 21, No. 1. Pp. 54-67

Wahyudi, Imam. 1997. “Mainstream Accounting and Its Paradigm: a Critical Analysis”.

(33)

Wahyudi, Imam. 2009. “From Physical to Accounting Control: a study of Accounting Change Resistance”. Journal of Accounting and Organizational Change, Vol. 5 No. 2. Pp. 228-242.

Yin, Robert K. 2002. Studi Kasus Desain dan Metode. Edisi Revisi. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.

Yi Fei Zhang, Zahirul Hoque, Che Ruhana Isa, "The Effects of Organizational Culture and Structure on the Success of Activity-Based Costing Implementation" In Advances in Management Accounting. Published online: 20 Jul 2015. Pp. 229-257

Referensi

Dokumen terkait

Yang bertanda tangan di bawah ini telah membaca skripsi dengan judul: PENGARUH MOTIVASI FINANSIAL, FAKTOR PSIKOLOGI DAN SUPERVISI TERHADAP KEPUASAN KERJA KARYAWAN PADA PT

Pimpinan Rapat menanyakan kepada peserta Rapat, --- apakah ada pemegang saham dan/atau kuasanya yang tidak setuju atau abstain terhadap usulan Rapat --- tersebut.. ratus

Terapan teori Desain Komunikasi Visual dalam hal kampanye sosial ini lebih berfokus pada navigasi yang lebih playful namun edukatif dan informatif, begitu pula yang

terjadi pada hari Sabtu Pahing 18 Nopember 2017 M.. terjadi pada hari Senin Pahing 18 Desember

Pada Harian Suara Merdeka (23 Januari 2002) dirnuat data rekapitulasi klien remaja dan anak tahun 2001 yang dirniliki oleh Balai Pernasyarakatan Surakarta

Selanjutnya harapan penulis semoga Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi kepentingan pendidikan di lingkungan Program Studi Teknik Sipil Universitas Katolik

Dimana masih banyak permasalahan yang timbul di dalam internal perusahaan, terutama hal yang terkait dengan produktivitas dan peningkatan kualitas produk dan

** PERNAH JADI AHLI NAMUN TIDAK DAPAT NO.. 190 JAMILAH BINTI ABDUL MANAN 2918 PERAK TUNAI AKTIF Jul-20. * TELAH BUAT PEMBAYARAN SEBANYAK RM 60