• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dasar Pertimbangan Penetapan Nilai Limit Obyek Lelang Eksekusi Hak Tanggungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dasar Pertimbangan Penetapan Nilai Limit Obyek Lelang Eksekusi Hak Tanggungan"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

310

DASAR PERTIMBANGAN PENETAPAN NILAI LIMIT OBJEK LELANG EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN

LEGAL CONSIDERATIONS FOR ESTABLISHMENT OF OBJECT'S LIMIT VALUE OVER AUCTION OF SECURITY RIGHTS EXECUTION

Herzie Riza Fahmi, Tunggul Anshari Setia Negara, Endang Sri Kawuryan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Brawijaya

Jalan M.T. Haryono 169, Malang email: herzierizafahmi@gmail.com

Abstract: this study aims to analyze the legal considerations used by the head of the district court in the adjudicate the auction of execution. The other purpose is to analyze the legal implications related to the enactment of the Security Rights Law and the Minister of Finance’s Regulation on Instructions for Auction Implementation. This study uses normative juridical research with a statute approach and a case approach. The results show that there are three basic considerations used by the head of the district court in determining the object's limit value over the auction of security rights execution. The juridical implication that the head of the district court is wrong in applying Article 6 of the Security Rights Law. The determination of the limit value by the head of the district court contrary to the principle of the judge being passive and waiting.

Keywords: auction of execution, security rights, limit value, district court, public appraisal

Abstrak: kajian ini bertujuan untuk menganalisis pertimbangan hukum yang digunakan ketua pengadilan negeri dalam pelaksanaan lelang eksekusi dan implikasi hukumnya terkait keberlakuan UU Hak Tanggungan dan Peraturan Menteri Keuangan tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada tiga dasar pertimbangan yang digunakan oleh ketua pengadilan negeri dalam penetapan nilai limit obyek lelang eksekusi hak tanggungan, implikasi yuridis terkait penetapan nilai limit obyek lelang eksekusi oleh ketua pengadilan negeri terkait keberlakuan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut telah salah diterapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri Sleman, dan penetapan nilai limit oleh ketua pengadilan negeri dalam melaksanakan lelang eksekusi obyek hak tanggungan bertentangan dengan asas hakim bersifat pasif dan menunggu.

Kata Kunci: lelang eksekusi, hak tanggungan, nilai limit, pengadilan negeri, penilai publik

ISSN: 2528-0767 (p) dan 2527-8495 (e) http://journal2.um.ac.id/index.php/jppk

PENDAHULUAN

Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 75/dt.G/2011/PN.Yk mengadili perkara tentang lelang eksekusi atas sebidang tanah dan bangunan yang dibebankan sebagai jaminan hak tanggungan. Pihak terlelang eksekusi atas tanah dan bangunan tersebut (debitur) mengajukan gugatan pembatalan

lelang ke Pengadilan Negeri Yogyakarta atas putusan tersebut karena keberatan dengan hasil penjualan lelang yang terjual sebesar Rp1.975.000.000,00 (satu miliar sembilan ratus tujuh puluh lima juta rupiah). Lelang yang dilaksanakan oleh Ketua Pengadilan Negeri Sleman dengan perantaraan KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara

(2)

dan Lelang) dianggap terlalu rendah dan merugikan pihak terlelang. Anggapan tersebut didasarkan pada hasil laporan penilaian (appraisal report) oleh Masroni Singaisdam atas permintaan penggugat yang menyatakan bahwa harga limit atas obyek milik penggugat yang dilelang adalah sebesar Rp2.700.000.000,00 (dua miliar tujuh ratus juta rupiah), sedangkan untuk harga pasar yang berlaku adalah sebesar Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). Namun dari pihak termohon (kreditur) berpendapat bahwa penjualan lelang eksekusi tersebut sudah sesuai dengan prosedur, karena pihak yang melaksanakan penjualan lelang eksekusi yaitu Ketua Pengadilan Negeri Sleman yang telah menetapkan nilai limit obyek lelang berdasarkan laporan penilaian

appraisal independent Sih Wiryadi & Rekan. Berdasarkan laporan tersebut, Ketua Pengadilan Negeri Sleman dalam proses penjualan lelang eksekusi menetapkan nilai limit obyek lelang sebesar Rp1.600.000.000,00 (satu miliar enam ratus juta rupiah). Gugatan perkara tersebut pada akhirnya ditolak oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta dengan pertimbangan bahwa penetapan harga limit dalam proses lelang eksekusi yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri Sleman telah sesuai dengan prosedur yang ditentukan.

Berdasarkan putusan pengadilan tersebut dapat diketahui bahwa proses lelang eksekusi dilaksanakan di bawah pimpinan ketua pengadilan negeri sebagai pihak yang dimohonkan atas permintaan pemegang hak tanggungan sebagai pemohon. Ketua pengadilan negeri tidak hanya mengeluarkan penetapan aanmaning kepada pihak termohon lelang, melainkan juga mengeluarkan penetapan sita eksekusi terhadap obyek lelang, memimpin jalannya lelang eksekusi, serta menetapkan nilai limit atas obyek lelang dengan meminta penilaian dari appraisal

sebagai penilai publik. Pasal 200 ayat (1) HIR/Pasal 215 RBg menjelaskan bahwa

barang milik tergugat (tereksekusi) yang disita pengadilan negeri dijual di muka umum dan penjualan dilakukan pengadilan negeri melalui perantaraan kantor lelang (Harahap, 2004b), maka lelang atas barang milik tereksekusi yang disita pengadilan, penjualannya dilakukan oleh pengadilan negeri dengan perantara kantor lelang.

Uraian di atas menunjukkan bahwa telah terjadi pertentangan norma (conflict

norm) antara Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (UUHT) dengan HIR/RBg. Aturan Pasal 6 UUHT menjelaskan pemegang hak tanggungan dapat menjual obyek hak tanggungan apabila debitur ingkar janji. Peraturan Menteri Keuangan tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dijelaskan bahwa pemegang hak tanggungan sebagai pihak penjual bertanggung jawab untuk menetapkan nilai limit berdasarkan penilaian dari appraisal yang diminta penjual. Akan tetapi, Pasal 200 ayat (1) HIR/ 215 RBg menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan lelang eksekusi, yang bertindak sebagai penjual dan memimpin pelaksanaan lelang eksekusi adalah Ketua Pengadilan Negeri. Berdasarkan adanya pertentangan norma tersebut, maka pembahasan terkait dengan dasar pertimbangan hukum ketua pengadilan negeri dalam menetapkan nilai limit objek lelang dan implikasi yuridis yang terjadi dalam penetapan nilai limit oleh ketua pengadilan negeri terkait pemberlakuan Pasal 6 UUHT sebagai aturan yang lebih khusus mengatur eksekusi jaminan hak tanggungan merupakan bahasan yang menarik untuk dituangkan dalam tulisan ini.

METODE

Penelitian ini menggunakan jenis

penelitian yuridis normatif. Objek kаjian penelitiаn normаtif yang juga disebut dengаn penelitiаn doktrinаl аdаlаh dokumen perаturаn perundаng-undаngаn (Marzuki,

(3)

2009). Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach) (Dyah & Efendi, 2014). Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tersier.

Bahan hukum primer yang digunakan antara lain: (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah, (2) Kitab Hukum Acara Perdata HIR/RBG, (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 101/PMK.01/2014 sebagaimana diubah ke Peraturan Menteri Keuangan Nomor 56 tahun 2017 tentang Penilai Publik, (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, (5)

Vendu Reglement Ordonantie 28 Februari 1908 (Peraturan Lelang) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan

Staatsblaad 1941: 3, dan (6) Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 75/ pdt.G/2011/PN.Yk. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah karya ilmiah dalam bentuk jurnal maupun buku teks. Bahan hukum tersier berupa kamus bahasa Indonesia, kamus bahasa Inggris, ensiklopedia hukum, dan kamus hukum. Teknik pengumpulan bahan-bahan hukum dilakukan melalui sebuah studi kepustakaan (library research), berupa aturan perundang-undangan, artikel jurnal, penelitian yang berkaitan, tesis, serta koleksi buku-buku.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dasar Pertimbangan Hukum Ketua Pengadilan Negeri dalam Menetapkan Nilai Limit Obyek Lelang Eksekusi Hak Tanggungan

Landasan pertama yang digunakan oleh ketua pengadilan negeri dalam melaksanakan dan memimpin jalannya proses lelang eksekusi di pengadilan negeri adalah Het Herziene

Indonesisch Reglement (HIR). Pasal 200 ayat (1) HIR/Pasal 215 RBG menjelaskan bahwa jenis lelang ada dua, yaitu lelang barang milik tergugat (tereksekusi) yang disita oleh pengadilan negeri dan penjualan yang dilakukan pengadilan negeri melalui perantaraan kantor lelang (Hutagalung, 2012). Berdasarkan putusan pengadilan, lelang barang sitaan disebut dengan lelang eksekusi. Termasuk juga dokumen yang disamakan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, seperti

sertifikat hak tanggungan dan jaminan fidusia. Kesimpulannya, setiap penjualan

umum yang dilakukan oleh pengadilan negeri disebut lelang eksekusi (Hutagalung, 2012).

Proses pelaksanaan lelang eksekusi tunduk pada Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan yang menerangkan secara detail pelaksanaan lelang eksekusi (penjualan umum) yang terdiri atas sembilan ketentuan (MA, 2004). Pertama, pengumuman lelang dilakukan melalui harian yang terbit di kota atau kota yang berdekatan dengan tanah itu terletak. Tanah seringkali digunakan sebagai jaminan karena tanah, pada umumnya mudah dijual, harganya terus meningkat, mempunyai tanda bukti hak, sulit digelapkan, dan dapat dibebani dengan hak tanggungan yang memberikan hak istimewa kepada krediturnya (Perangin, 1991).

Kedua, untuk mencapai tujuan yang diharapkan maka kreditur dan debitur terlebih dahulu dipanggil oleh ketua pengadilan negeri sebelum lelang dilaksanakan untuk mencari jalan keluar. Misalnya, debitur diberi waktu selama dua bulan untuk mencari pembeli yang berkehendak membeli tanah tersebut. Apabila hal ini terjadi, pembayaran harus dilakukan di depan ketua pengadilan negeri. Setelah itu, pembeli, kreditur, dan debitur menghadap PPAT untuk membuat akta jual belinya untuk selanjutnya dilakukan balik nama atas nama pembeli. Jaminan yang membebani tanah tersebut akan

(4)

diperintahkan agar dihapus.

Ketiga, apabila setelah waktu dua bulan lampau debitur tidak berhasil mendapatkan pembeli, maka eksekusi dilanjutkan. Ketua pengadilan negeri menentukan harga limit dari obyek yang akan dilelang. Apabila selama satu bulan tidak ada penawaran, maka penjualan umum diumumkan lagi satu kali dalam harian yang terbit di kota itu atau kota yang berdekatan dengan tanah yang akan dilelang. Apabila pelelangan dengan harga limit tidak tercapai, maka kreditur akan memperoleh tanah tersebut dengan harga limit itu. Harga dibayar dan jaminan yang membebani tanah tersebut dihapus.

Keempat, penawar/pembeli dianggap sungguh-sungguh telah mengetahui sesuatu yang telah ditawar/dibeli olehnya. Apabila terdapat kekurangan atau kerusakan, baik yang terlihat atau tidak terlihat atau terdapat cacat lainnya terhadap barang yang telah dibelinya, maka pembeli tidak berhak untuk menolak atau menarik diri kembali setelah pembeliannya disahkan dan melepaskan semua hak untuk meminta ganti kerugian berupa apapun juga. Keempat, barang yang terjual pada saat itu juga menjadi hak dan tanggungan pembeli, dan apabila barang itu berupa tanah dan rumah, pembeli harus segera mengurus/membalik nama hak tersebut atas namanya.

Kelima, apabila yang dilelang itu adalah tanah atau tanah dan rumah yang sedang ditempati/dikuasai oleh tersita dan terlelang tidak bersedia untuk menyerahkan tanah/tanah dan rumah secara kosong, maka terlelang beserta keluarganya akan dikeluarkan dengan paksa dan apabila perlu dengan bantuan pihak yang berwajib. Ketentuan ini merujuk pada Pasal 200 ayat (10) dan (11) HIR/Pasal 218 Rbg. Keenam, apabila orang yang disita menolak untuk meninggalkan barang tidak bergerak, maka ketua pengadilan negeri dapat mengeluarkan perintah tertulis kepada seseorang yang

berhak melaksanakan surat juru sita untuk berusaha agar barang tersebut ditinggalkan dan dikosongkan oleh yang disita beserta keluarganya maupun barang-barang miliknya dengan bantuan panitera pengadilan negeri lain yang ditunjuk hakim.

Ketujuh, kepala KPKNL atau pihak pemenang lelang akan meminta bantuan kepada ketua pengadilan negeri dimana barang tersebut terletak untuk memberikan perintah dan memimpin pengosongan. Kedelapan, apabila hak tanggungan, hypotik

atau creditverband tidak didaftarkan di kantor pertanahan setelah tanah tersebut disita, baik sita jaminan maupun sita eksekusi maka hak tersebut tidak berkekuatan hukum, sesuai ketentuan yang terdapat dalam Pasal 198, 199, 227 (3) HIR/ Pasal 213, 214, dan 261 (2) RBg. Kesembilan, dalam hal telah terdapat kecurangan atau pelelangan telah dilaksanakan secara ceroboh dan tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, pelelangan tersebut dapat dibatalkan melalui suatu gugatan yang diajukan kepada pengadilan negeri.

Ketentuan pasal-pasal dalam HIR/ RBg di atas merupakan dasar hukum terkait kewenangan ketua pegadilan negeri untuk melaksanakan dan memimpin jalannya eksekusi dalam proses lelang eksekusi jaminan hak tanggungan. Ketua pengadilan negeri berwenang mulai dari menerima berkas permohonan lelang eksekusi dari pemohon, melakukan teguran/aanmaning kepada pihak tergugat untuk melunasi hutangnya atau menjual sendiri obyek jaminannya, dan bahkan apabila debitur sebagai termohon tidak berkenan menjual atau melepaskan secara sukarela obyek jaminannya maka ketua pengadilan negeri dapat meletakkan sita eksekusi terhadap obyek lelang. Ketua pengadilan negeri juga berwenang dalam pengajuan berkas pendaftaran lelang eksekusi dengan meminta bantuan kepada kantor lelang sebagai perantara penjualan lelang, sampai menetapkan nilai limit obyek lelang yang akan dijual.

(5)

Proses lelang eksekusi di atas dapat digunakan sebagai dasar dalam menelaah gugatan perdata yang diajukan terhadap Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 75/pdt.G/2011/PN.Yk. Gugatan perdata yang disebut juga gugatan contentiosa

merupakan gugatan yang perkaranya adalah perselisihan di antara para pihak, yaitu antara penggugat dengan tergugat. Berbeda dengan permohonan atau gugatan voluntair

yang berarti ada permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditujukan ke pengadilan yang sifatnya sepihak (bukan partai) tanpa ada pihak lain yang ditarik sebagai tergugat. Permohonan biasanya diajukan kepada pengadilan untuk menetapkan sesuatu dan atas permohonan itu hakim akan memberikan suatu penetapan, bukan putusan sebagaimana ditemui dalam perkara atau gugatan contentiosa (Hutagalung, 2012). Berdasarkan rangkaian proses lelang eksekusi yang telah dijelaskan di atas dan merujuk pada aturan Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan maka dapat disimpulkan bahwa proses lelang yang telah dilaksanakan oleh Ketua Pengadilan Negeri Sleman telah sesuai prosedur yang ditentukan.

Landasan kedua yang digunakan sebagai dasar pertimbangan ketua pengadilan negeri adalah pengaplikasian fungsi hakim untuk menegakkan asas keadilan. Teori keadilan Aristoteles berdasar pada prinsip persamaan (equality). Dalam versi modern,

teori ini dirumuskan oleh filsuf Isaiah

Berlin dengan pernyataan yang berbunyi

“Justice is done when equals are treated equally and unequals unequally” yang berarti keadilan terlaksana apabila hal-hal yang sama diperlakukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama diperlakukan secara tidak sama (Sunarto, 2014). Dalam

menghadapi konflik kepentingan manusia,

terjadi olah seni yang berupa penyelesaian

perselisihan/konflik/pelanggaran yang disebut

dengan peradilan/judicature/rechtspraak

(Mertokusumo, 2005). Berkaitan dengan

lelang eksekusi, asas keadilan bagi para pihak tampak dari adanya penetapan nilai limit yang ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri dalam proses pelaksanaan lelang eksekusi obyek jaminan hak tanggungan.

Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 75/pdt.G/2011/PN.Yk terdapat lima fakta yang muncul dalam berkas perkara terkait penetapan nilai limit oleh ketua pengadilan. Pertama, pernyataan tergugat dalam jawaban pokok perkara poin lima menyatakan bahwa penjual lelang dalam hal ini Pengadilan Negeri Sleman meminta bantuan kepada Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Kabupaten Sleman serta

appraisal independent Sih Wiryadi & Rekan untuk memberikan penilaian atau taksiran harga umum atas obyek lelang (harga limit eksekusi lelang), sehingga harga limit awal/ harga pembuka pelaksanaan lelang eksekusi telah sesuai berdasarkan Vendu Reglement Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad

1909: 109 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan staatsblad 1941: 3

jo Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/ PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dan berdasarkan UUHT.

Kedua, bahwa dalam pelaksanaan lelang ada tiga peserta lelang yang mengajukan penawaran. Pejabat lelang menawarkan mulai harga limit Rp1.600.000.000,00 (satu miliar enam ratus juta rupiah) yang ditetapkan oleh Penjual/Ketua Pengadilan Negeri Sleman, dan terjadi penawaran naik antara peserta lelang hingga mencapai penawaran tertinggi sebesar Rp1.975.000.000,00 (satu miliar sembilan ratus tujuh puluh lima juta rupiah) yang dilakukan oleh H. Muhammad Yahya, S.H. Oleh karena penawaran yang dilakukan H. Muhammad Yahya, S.H telah melampaui harga limit dari Penjual maka H. Muhammad Yahya S.H ditetapkan sebagai pemenang lelang oleh pejabat lelang.

Ketiga, bukti yang dihadirkan pihak tergugat terdiri atas fotocopy Surat Permintaan Taksiran Harga Tanah dan Bangunan dari Pengadilan Negeri Sleman, laporan penilaian

(6)

dari appraisal independent Sih Wiryadi & Rekan, fotocopy harga limit pelelangan eksekusi oleh Ketua Pengadilan Sleman No. 12/Pdt.Eks.HT/2010/PN.YK jo No. 04/Pdt.Del.L/2011/PN.Slmn tertanggal 11 April 2011 (TT-8b). Keempat, dalam pertimbangan hukum, hakim menimbang bahwa penentuan harga limit yang dimintakan oleh Pengadilan Negeri Sleman telah sesuai dengan prosedur dan telah dilakukan dengan transparan. Kelima, setiap pelaksanaan lelang diisyaratkan adanya nilai limit lelang. Nilai limit ditentukan oleh penjual dan diserahkan kepada pejabat lelang selambat-lambatnya pada saat akan dimulainya pelaksanaan lelang. Dengan demikian, kewajiban membuat nilai limit ada pada penjual.

Aturan lebih lanjut pelaksanaan lelang eksekusi ini diatur dalam Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 45 Peraturan Menteri Keuangan tentang petunjuk pelaksanaan lelang yang menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan lelang penjual bertanggung jawab terhadap penetapan nilai limit dan penetapan nilai limit tersebut harus berdasarkan penilaian oleh penilai untuk lelang eksekusi menurut Pasal 6 UUHT (Menteri Keuangan Republik Indonesia, 2016).

Dengan ditetapkannya nilai limit oleh ketua pengadilan negeri dalam lelang eksekusi obyek hak tanggungan diharapkan memberikan rasa keadilan bagi para pihak yang berperkara. Karena penetapan nilai limit obyek lelangnya ditetapkan oleh pengadilan sebagai pihak atau lembaga negara yang netral atau tidak mempunyai kepentingan dengan para pihak, sekaligus mengedepankan prinsip persamaan (equality) bagi para pihak di hadapan hukum. Pihak kreditur adalah pihak yang dirugikan dengan tidak dilunasinya hutang-hutang debitur dan mempunyai hak untuk mendapatkan pengembalian hutangnya dengan cara mengambil pelunasannya dari hasil penjualan lelang obyek jaminan milik debitur, namun apabila penetapan nilai limit tersebut dilakukan oleh pihak

kreditur dikhawatirkan dapat merugikan pihak debitur karena nilai dari obyek lelangnya ditafsir terlalu rendah dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan lebih karena pembeli dari lelang adalah relasi dari pihak kreditur sendiri. Begitu pula sebaliknya, meskipun debitur dianggap telah melakukan wanprestasi dalam memenuhi perjanjian yang dibuat dengan kreditur, namun tidak hanya wanprestasi yang dilakukan debitur melainkan perbuatan dengan iktikad buruk. Maka dari itu, dengan ditetapkannya nilai limit obyek lelang eksekusi hak tanggungan oleh ketua pengadilan negeri, selain mengedepankan asas keadilan sebagai prinsip utama yang harus ditegakkan oleh hakim, diharapkan dapat menguntungkan kedua belah pihak yaitu kreditur mendapatkan pelunasan hutang-hutangnya dari penjualan obyek lelang eksekusi tersebut dan debitur mendapatkan pengembalian uang lebih dari hasil penjualan obyek jaminan miliknya yang dilelang tersebut.

Landasan ketiga yang digunakan oleh ketua pengadilan negeri adalah prinsip peran aktif hakim dalam perkara perdata. Permintaan penilaian appraisal oleh ketua pengadilan negeri sebagai dasar menetapkan nilai limit merupakan bentuk pengangkatan saksi ahli sebagai wujud pelaksanaan prinsip peran aktif hakim dalam perkara perdata. Pada Pasal 44 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dinyatakan bahwa penjual menetapkan nilai limit berdasarkan penilaian oleh penilai atau penaksiran oleh penaksir. Penilai merupakan pihak yang melakukan penilaian secara independen berdasarkan kompetensi yang dimilikinya. Penaksir merupakan pihak yang berasal dari penjual, yang melakukan penaksiran berdasarkan metode yang dapat dipertanggungjawabkan oleh penjual, termasuk kurator untuk benda seni atau kuno. Maka dari itu, penetapan nilai limit itu bukan tanggung jawab KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II.

(7)

Pasal 45 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang menegaskan bahwa nilai limit yang ditetapkan oleh penjual harus berdasarkan penilaian dari penilai dengan tiga ketentuan: (1) lelang non eksekusi sukarela atas barang berupa tanah dan/atau bangunan dengan nilai limit paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), (2) lelang eksekusi Pasal 6

UUHT, lelang eksekusi fidusia, dan lelang

eksekusi harta pailit dengan nilai limit paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), atau bank kreditur akan ikut menjadi peserta pada lelang eksekusi

Pasal 6 UUHT atau lelang eksekusi fidusia.

Kedua pasal di atas dapat digunakan sebagai dasar untuk menganalisis Putusan Pengadilan Yogyakarta Nomor 75/ pdt.G/2011/ PN.Yk terkait permohonan pembatalan lelang eksekusi hak tanggungan. Pada putusan tersebut, penetapan nilai limit telah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri dengan meminta penilaian dari

appraisal independent Sih Wiryadi & Rekan yang kemudian didapatkan nilai sebesar Rp1.600.000.000,00 (satu miyar enam ratus juta rupiah). Nilai ini yang kemudian oleh ketua pengadilan negeri dijadikan sebagai nilai limit.

Pemanfaatan penilaian appraisal oleh ketua pengadilan negeri dalam posisinya sebagai hakim termasuk dalam pertimbangan hakim untuk menghadirkan saksi ahli. Ketika hakim berpendapat, perkara yang diperiksa perlu mendapat penjelasan yang lebih terang dari seorang ahli sehingga atas inisiatif sendiri dapat menunjuk ahli secara ex officio (tidak memerlukan persetujuan dari para pihak) sesuai yang diatur dalam Pasal 154 ayat (1) HIR. Kewenangan ini memperlihatkan kebolehan hakim aktif mencari dan menemukan kebenaran dalam perkara perdata, meskipun hanya sebatas penunjukan saksi ahli.

Alasan yang mendasari pengangkatan ahli adalah perkara yang disengketakan

berada di luar jangkauan pengetahuan dan pengalaman hakim atau pihak-pihak yang berperkara, sehingga diperlukan informasi atau opini dari seseorang yang kompeten dan berpengalaman di bidang itu. Apabila hakim dapat mengambil konklusi dari jawaban, replik, duplik, dan alat bukti yang disampaikan para pihak, maka hakim tidak beralasan lagi untuk mengangkat ahli. Akan tetapi, apabila yang disengketakan berkenaan dengan teknologi, rekayasa, praktik bisnis, atau masalah yang hakim tidak memiliki pengertian yang cukup untuk itu, maka keterangan atau opini seorang ahli yang kompeten sangat dibutuhkan agar hakim tidak salah atau keliru dalam mengambil pertimbangan yang benar dan adil (Harahap, 2004a). Pasal 154 ayat (2) HIR, secara

spesifik menyebutkan keterangan atau

opini maupun pendapat yang diberikan ahli adalah laporan. Opini atau pendapat baik yang disampaikan secara tertulis maupun lisan dapat disebut sebagai keterangan atau pendapat yang berisi laporan (Harahap, 2004a).

Pasal 1866 KUH Perdata, Pasal 164 HIR, tidak mencantumkan ahli atau keterangan ahli sebagai alat bukti. Secara formal, ahli berada di luar alat bukti sehingga menurut hukum pembuktian alat bukti tidak mempunyai kekuatan pembuktian. Pasal 154 ayat (4) HIR dan Pasal 229 RV memberikan kebebasan kepada hakim untuk mengikuti atau tidak mengikuti pendapat ahli. Apabila hakim mengikuti pendapat ahli, hakim mengambil alih pendapat itu menjadi pendapatnya sendiri dan dijadikan sebagai bagian pertimbangan dalam putusan dan sebaliknya, apabila hakim tidak mengikuti pendapat ahli maka pendapat itu disingkirkan dan dianggap tidak ada (Harahap, 2004a).

Pemanfaatan penilaian appraisal

oleh ketua pengadilan negeri penting dilakukan sebagai bahan pertimbangan hakim dalam penyelesaian sengketa perdata yang mengedepankan asas keadilan dalam pengambilan putusannya. Sebagaimana

(8)

ketentuan yang mengatur bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman, 2019). Ketua pengadilan negeri harus aktif menggunakan appraisal atas permintaannya karena tidak ada keterikatan dengan para pihak, sehingga pertimbangan yang dihasilkan mempunyai dasar penilaian yang jelas dan mengedepankan asas keadilan bagi para pihak.

Implikasi Yuridis terkait Penetapan Nilai Limit Obyek Lelang Eksekusi oleh Ketua Pengadilan Negeri

Penegakan hukum dan keadilan adalah tujuan diselenggarakannya peradilan oleh kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman tidak hanya berarti kekuasaan mengadili yaitu kekuasaan yang menegakkan hukum di badan-badan pengadilan, tetapi mencakup kekuasaan menegakkan hukum dalam seluruh proses penegakan hukum (Sunarto, 2014). Penegakan hukum yang dilakukan hakim selain berdasarkan aturan-aturan hukum positif yang berlaku juga harus memperhatikan asas-asas terkait kedudukan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ada tiga asas peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan ketika terjadi pertentangan norma antara peraturan perundang-undangan (Purbacaraka & Soekanto, 1993).

Asas yang pertama, peraturan perundang-undangan yang ada dijenjang yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada pada jenjang lebih tinggi (lex superior derogat lex inferior). Apabila terjadi konflik hukum

antara peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya, maka peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya dikesampingkan/tidak diberlakukan (Bakri, 2011). Berdasarkan asas tersebut, maka

HIR dan UUHT mempunyai kedudukan atau hirarki peraturan perundang-undangan yang sejajar.

Het Herziene Indonesisch Reglement

merupakan aturan yang setara dengan undang-undang. Formell Gesetz atau

Formell Wetten yang diterjemahkan sebagai undang-undang karena merupakan hasil bentukan pembentuk wet yang di Negara Belanda terdiri atas pemerintah (Regering) dan Staten Generaal secara bersama-sama (Indrati, 2007). Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan merupakan peraturan perundang-undangan di negara Republik Indonesia yang dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR, saat ini oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama presiden (Indrati, 2007).

Asas yang kedua yaitu peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis). Asas ini bertujuan

untuk mengatasi terjadinya konflik hukum

antara sesama peraturan perundang-undangan.

Apabila terjadi konflik hukum antara

peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum maka peraturan perundang-undangan yang bersifat umum dikesampingkan (tidak diberlakukan) (Bakri, 2011). Asas ini dapat digunakan untuk menganalisis pertentangan norma (conflict norm) antara aturan Pasal 200 HIR/Pasal 215 RBg dengan Pasal 6 UUHT. Pasal 200 HIR/Pasal 215 RBg menyatakan bahwa yang melakukan penjualan atas barang milik tereksekusi adalah pengadilan negeri dengan perantaraan kantor lelang. Artinya pengadilan negeri yang diberikan hak oleh HIR menjadi pihak penjual dalam lelang eksekusi. Pasal 6 UUHT menyatakan bahwa pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan melalui pelelangan umum ketika debitur cidera janji. Artinya pemegang hak

(9)

tanggungan pertama yang diberikan hak oleh UUHT sebagai penjual untuk menjual objek jaminan milik tereksekusi.

Dengan demikian, karena antara Pasal 200 HIR/ Pasal 215 RBg dengan dan Pasal 6 UUHT merupakan aturan yang sama derajatnya berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan, yakni sama-sama berlaku sebagai undang-undang, maka digunakan asas lex specialis derogat lex generalis untuk menyelesaikan pertentangan norma tersebut. Karena UUHT merupakan aturan yang lebih khusus yang mengatur tentang hak tanggungan sampai dengan cara eksekusinya, sedangkan HIR dikatakan sebagai peraturan yang lebih umum, sehingga harus dikesampingkan (tidak diberlakukan).

Asas ketiga yang dapat digunakan untuk

mengatasi terjadinya konflik hukum antara

sesama peraturan perundang-undangan adalah asas lex posteriori derogat lex priori. Apabila terjadi konflik hukum antara sesama

peraturan perundang-undangan yang baru dengan peraturan perundang-undangan yang lama, maka peraturan perundang-undangan yang lama dikesampingkan (tidak diberlakukan). Asas lex posteriori derogat lex priori diterapkan apabila konflik hukum

itu terjadi di antara peraturan perundang-undangan yang kedudukannya sejajar/ setara, misalnya antara undang-undang dengan undang-undang, antara peraturan pemerintah dengan peraturan pemerintah, dan lain-lain (Bakri, 2011). Maka dari itu, asas ini dapat diterapkan dalam memutus

konflik hukum antara HIR dengan UUHT.

HIR dalam pelaksanaan lelang eksekusi masih tetap diberlakukan karena tidak dicabut secara tegas oleh UUHT. Hal tersebut menyebabkan terjadinya dualisme hukum pelaksanaan lelang eksekusi. Lelang eksekusi berdasarkan UUHT menyatakan bahwa penjual lelang ialah pemegang jaminan hak tanggungan pertama, sedangkan aturan lelang eksekusi menurut HIR menyatakan bahwa pihak yang menjadi penjual dalam

lelang eksekusi adalah pengadilan negeri. Pasal-pasal pada HIR tentang lelang eksekusi apabila masih dinyatakan berlaku maka akan menimbulkan kerancuan bagi praktisi hukum, khususnya hakim ketika menangani sengketa perdata pada proses pelaksanaan lelang eksekusi karena hakim pada dasarnya harus tunduk dan taat pada buku pedoman peradilan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung yang sumbernya berasal dari aturan yang terdapat pada HIR. Dualisme dalam peristiwa tersebut harus diselesaikan dengan menggunakan asas lex posteriori derogat lex priori, pasal-pasal yang berkaitan dalam lelang eksekusi dalam HIR harus dikesampingkan (tidak diberlakukan), dan mengutamakan UUHT sebagai aturan yang lebih baru.

Penetapan Nilai Limit dan Permintaan Penilaian Appraisal oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam Pelaksanaan Lelang Eksekusi dapat Dilakukan Pembatalan Putusan dengan Upaya Hukum Banding

Pada aturan hukum acara perdata, ada beberapa asas hukum acara perdata yang menjadi pedoman atau landasan bagi hakim ketika mengadili suatu perkara di persidangan. Apabila hakim dalam melaksanakan tugasnya tidak berpedoman dan/atau menyimpang dari asas-asas hukum yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka keputusannya dapat berakibat cacat hukum dan dapat batal demi hukum. Asas-asas yang ada dalam hukum acara perdata diantaranya asas: (a) hakim bersifat menunggu, (b) hakim bersifat pasif, (c) sifat terbukanya persidangan, (d) mendengar kedua belah pihak, (e) bebas dari campur tangan para pihak di luar pengadilan, (f) sederhana, cepat, dan biaya ringan, (g) putusan harus disertai alasan-alasan, dan (h) beracara dikenakan biaya (Rambe, 2010).

Asas yang termuat dalam hukum acara perdata harus dijadikan pedoman oleh hakim. Dua asas penting untuk diperhatikan

(10)

karena kedua asas ini yang membedakan dengan asas pada aturan acara pidana, yaitu asas hakim bersifat menunggu dan hakim bersifat pasif. Maksud kedua asas ini adalah hakim dalam gugatan perkara perdata hanya terbatas menerima dan memeriksa sepanjang mengenai hal-hal yang diajukan penggugat dan tergugat. Oleh karena itu, fungsi dan peran hakim dalam proses perkara perdata terbatas pada mencari dan menemukan kebenaran formal dan kebenaran itu diwujudkan sesuai dengan dasar alasan dan fakta-fakta yang diajukan oleh para pihak selama proses persidangan berlangsung (Harahap, 2004a).

Hukum acara perdata juga mengenal asas hakim bersifat aktif, makna aktif hanya sebatas hakim berkewajiban mencari dan menemukan hukum objektif atau materiil yang akan diterapkan untuk memutus perkara yang disengketakan para pihak. Berdasarkan adagium ius curia novit tersebut, hakim dikatakan sebagai organ peradilan yang memahami segala hukum. Hakim berwenang menentukan hukum objektif mana yang akan diterapkan sesuai dengan materi pokok perkara yang menyangkut hubungan hukum pihak-pihak yang berperkara, dan para pihak tidak wajib membuktikan hukum yang harus diterapkan karena alasan tersebut. Peran aktif hakim dalam perkara perdata hanya sebatas untuk menggali dan menemukan sumber hukum mana yang akan diterapkan guna menyelesaikan perkara yang diajukan para pihak tersebut (Harahap, 2004a).

Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 75/pdt.G/2011/PN.Yk dianggap cacat hukum sehingga diajukan pembatalan terhadap putusan tersebut. Alasan pertama, dalam hal ketua pengadilan negeri mengeluarkan penetapan nilai limit atas obyek yang akan dilelang eksekusi, ketua pengadilan negeri dianggap melanggar aturan pada Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan. Ketentuan Pasal 6 UUHT menjelaskan bahwa ketika debitur cidera janji, maka pemegang jaminan hak tanggungan pertama yang dapat

menjual obyek jaminan milik debitur melalui pelelangan umum. Selain itu, pada Pasal 43 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/ PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dijelaskan bahwa penetapan nilai limit menjadi tanggung jawab penjual. Berdasarkan kedua aturan ini, maka dapat diambil intisari bahwa pihak yang berhak menjadi penjual dan yang berkewajiban untuk menetapkan nilai limit adalah pemegang jaminan hak tanggungan pertama, bukan ketua pengadilan negeri. Kedua, berdasarkan Pasal 44 dan Pasal 45 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dijelaskan bahwa penjual dalam menetapkan nilai limit obyek lelang eksekusi jaminan hak tanggungan harus berdasarkan penilaian oleh penilai (appraisal). Berdasarkan pasal tersebut, maka yang seharusnya meminta penilaian appraisal guna menilai aset obyek lelang eksekusi untuk menetapkan nilai limit tersebut adalah pihak kreditur sebagai pemegang hak tanggungan pertama, bukan kewajiban dari ketua pengadilan negeri sebagaimana yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri Sleman dengan meminta appraisal Sih Wiryadi & Rekan. Ketua pengadilan negeri seharusnya hanya sebatas melaksanakan dan memimpin jalannya lelang eksekusi agar pelaksanaan lelang eksekusi tersebut dapat dilaksanakan dengan lancar. Terkait penetapan nilai limit dan permintaan penilaian appraisal, seharusnya diserahkan kembali kepada para pihak sesuai aturan yang berlaku karena hakim tidak boleh mengambil inisiatif sendiri untuk menghadirkan alat bukti atau saksi ahli kecuali yang diminta para pihak. Karena ketua pengadilan negeri dalam putusan ini menetapkan nilai limit dengan meminta penilaian appraisal atas inisiatif ketua pengadilan negeri, maka putusan ini dapat dimintakan pembatalan dengan upaya hukum banding ke pengadilan tinggi sebagai lembaga peradilan di atasnya.

(11)

SIMPULAN

Dasar pertimbangan hukum yang dipakai ketua pengadilan negeri dalam Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 75/ pdt.G/2011/PN.Yk ada tiga pertimbangan yaitu peraturan-peraturan yang termuat dalam HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement), prinsip peran aktif hakim dalam acara perdata guna menegakkan keadilan, dan pengangkatan pendapat ahli oleh hakim guna mendapatkan penilaian yang akuntabel dan netral sehingga terbebas dari kepentingan para pihak. Implikasi yuridis terkait penetapan nilai limit obyek lelang eksekusi oleh ketua pengadilan negeri terkait keberlakuan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut telah salah menerapkan hukum berdasarkan asas lex specialis derogat lex generalis, lex posteriori derogat lex priori, dan lex superior derogat lex inferior. Penetapan nilai limit oleh ketua pengadilan negeri dalam melaksanakan lelang eksekusi obyek hak tanggugan bertentangan dengan asas hakim bersifat pasif dan menunggu. Pihak yang memiliki kewenangan untuk menunjuk penilai appraisal adalah kreditur, bukan ketua pengadilan negeri.

DAFTAR RUJUKAN

Bakri, M. (2011). Pengantar Hukum Indonesia Sistem Hukum Indonesia Pada Era Reformasi Jilid I. Malang: UB Press. Dyah, O., & Efendi, A. (2014). Penelitian

Hukum (Legal Research). Jakarta:

Sinar Grafika.

Harahap, M. Y. (2004a). Hukum Acara Perdata tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika.

Harahap, M. Y. (2004b). Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.

Hutagalung, S. M. (2012). Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Sinar Grafika.

Indrati, M. F. (2007). Ilmu Perundang-Undangan Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Mahkamah Agung. (2004). Pedoman

Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II Edisi Revisi. Mahkamah Agung RI.

Marzuki, P. M. (2009). Penelitian Hukum.

Jakarta: Kencаnа Prenаdа Mediа

Group.

Mertokusumo, S. (2005). Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.

Perangin, E. (1991). Praktik Penggunaan Tanah Sebagai Jaminan Kredit. Jakarta: Rajawali Pers.

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, (2016).

Purbacaraka, P., & Soekanto, S. (1993).

Perundang-Undangan dan Yurisprudensi. Bandung: Cita Aditya Bakti.

Rambe, R. (2010). Hukum Acara Perdata Lengkap. Jakarta: Sinar Grafika.

Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman.

Sunarto. (2014). Peran Aktif Hakim Dalam Perkara Perdata. Jakarta: Prenadamedia Group.

Referensi

Dokumen terkait

1. Siapa yang akan menggunakan koleksi referensi tersebut. Dan apakah jumlah koleksi referensi yang besar akan cocok dengan kondisi pemakai tertentu. Ataukah sebaliknya justru

Hasil dari penelitian menyatakan bahwa faktor kondisi fisik, konsep perencanaan dan lokasi berpengaruh signifikan terhadap kesediaan untuk membayar lebih hunian

Namun demikian untuk maksud tersebut diperlukan penguat dengan stabilitas DC yang sangat baik, tidak seperti halnya rangkaian kita sebelumnya dimana perubahan sedikit pada masukan

H1 Merupakan jumlah untung yang diperoleh selepas mengambil kira belanja dan hasil yang berkaitan dengan aktiviti utama perniagaan. H2 Untung kasar = Jualan bersih – kos jualan

Kelompok aset dan liabilitas diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi adalah aset dan liabilitas keuangan dimiliki untuk diperdagangkan yang diperoleh

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, dengan ini menyetujui untuk memberikan ijin kepada pihak Program Studi Sistem Informasi Fakultas Teknik Universitas Muria Kudus

Sedangkan biaya tidak tetap adalah biaya yang habis dipakai dalam sekali proses produksi, seperti biaya sarana produksi pertanian (bibit, pupuk, pestisida,

Data ini menunjukkan bahwa kegiatan usahatani sayuran yang dilakukan petani di Kecamatan Sungai Gelam Masih berskala kecil.Pendapatan usahatani sayuran di daerah penelitian