• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKNA SIMBOLIK AANG/AAH DI KALANGAN UMAT ISLAM KECAMATAN GEKBRONG, CIANJUR (SUATU TELAAH DENGAN PERSPEKTIF INTERAKSIONISME SIMBOLIK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKNA SIMBOLIK AANG/AAH DI KALANGAN UMAT ISLAM KECAMATAN GEKBRONG, CIANJUR (SUATU TELAAH DENGAN PERSPEKTIF INTERAKSIONISME SIMBOLIK)"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

KECAMATAN GEKBRONG, CIANJUR (SUATU TELAAH DENGAN

PERSPEKTIF INTERAKSIONISME SIMBOLIK)

SYMBOLIC MEANING OF "AANG/AAH" AMONG THE ISLAMIC

COMMUNITY IN GEKBRONG DISTRICT, CIANJUR (A STUDY OF

SYMBOLIC INTERACTIONISM PERSPECTIVE)

WIWIN

Abstract

Research on the symbolic meaning of "Aang/Aah" is considered adequately interesting and important as it is one of the treasury of local terms used especially by people in Gekbrong District, Cianjur Regency, West Java Province. The purpose of this research is to find out the symbolic meaning of "Aang/Aah" among the Muslims. This research employs symbolic interactionism perspective. The result of this study shows that the symbolic meaning of "Aang/Aah", for Muslims in Gekbrong District, has subjective symbolic meanings, depending on to whom the name is attached to. In addition, the symbolic meaning of "Aang/ Aah" has a general meaning which represents a figure or a person who possesses a wide and profound knowledge of Islam, charismatic, authoritative, influential, pious, as well as enjoying a high and noble position within the society. The general symbolic meaning of "Aang/Aah" is permanent and it applicable in producing the same meaning to whomever the name is attached to.

Keywords: Symbolic meaning, Charismatic figure, Islamic knowledge, pious person.

Abstrak

Penelitian mengenai makna simbolik “Aang/Aah” merupakan sesuatu yang cukup menarik dan penting karena merupakan khazanah istilah lokal yang digunakan khususnya di sekitar Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui makna simbolik "Aang/Aah" di kalangan umat Islam Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Metode penelitian yang digunakan adalah interaksionisme simbolik.Hasil penelitian menunjukkan bahwa makna simbolik "Aang/Aah", bagi umat Islam di Kecamatan Gekbrong memiliki makna simbolik yang subjektif, tergantung kepada siapa nama itu dilekatkan. Selain itu makna simbolik "Aang/Aah" memiliki makna yang bersifat umum, yaitu merepresentasikan tokoh atau orang yang memiliki/menguasai ilmu agama yang luas dan mendalam, karismatik (otoritatif), berpengaruh, saleh, dan memiliki posisi tinggi/mulia. Makna simbolik nama "Aang/Aah" yang bersifat umum itu sifatnya permanen, kepada siapapun nama itu dilekatkan, akan memiliki makna yang sama.

Kata Kunci: Tokoh, pengetahuan, kharismatik dan saleh. Wiwin

Kementerian Agama Kabupaten Cianjur Jl. Raya Bandung No.108,

Bojong, Karangtengah, Kabupaten Cianjur Email: winzeinn@gmail.com) Naskah Diterima: Tanggal 23 Oktober 2017, Revisi 28 Desember 2017 -1 Mei 20-18, Disetujui 1 Juni 2018.

(2)

PENDAHULUAN

Ada banyak sebutan yang biasa digunakan umat Islam Indonesia untuk menyebut orang atau tokoh yang dipandang memiliki, menguasai, dan mumpuni dalam ilmu keagamaan (baca: Islam). “Ulama” adalah sebutan umum dan secara luas digunakan di dunia Islam, dan paling tidak setiap Muslim tahu artinya (Turmudi, 2004;29). Selain sebutan atau istilah “Ulama”, untuk menyebut orang atau tokoh yang dipandang memiliki, menguasai, dan mumpuni dalam ilmu keagamaan (walau pun dalam level yang relatif berbeda), dikenal pula istilah lain, yaitu “kiai” dan “ustad”.

Beberapa daerah memiliki istilah lokal –selain istilah ulama itu sendiri– yang digunakan umat Islam untuk menggambarkan keulamaan seorang tokoh. Misalnya, didaerah Jawa Barat (Sunda) dikenal dengan istilah “ajengan”, di wilayah Sumatera Barat dikenal dengan istilah “Buya”, di daerah Aceh dikenal dengan istilah “Teungku”, di wilayah Sulawesi Selatan dikenal dengan istilah “Tofanrita”, di daerah Madura dikenal dengan istilah “Nun” atau “Bendara”, yang disingkat “Ra”, dan di daerah Lombok atau daerah sekitar Nusa Tenggara dan Kalimantan dikenal dengan istilah “Tuan Guru” (Ismail, 1997;62). Di daerah Tapanuli dikenal dengan istilah “Syekh” (Musa, 2014;215, Setiadi, 2007; 444, Aqhsa, 2005; 118). Sedangkan di daerah Banten dikenal dengan istilah “Abuya” (Hadi, 2009; 9).

Umat Islam di Kabupaten Cianjur, tepatnya di Kecamatan Gekbrong dan sekitarnya, selain mengenal dan memiliki istilah atau sebutan ulama, kiai, ajengan, atau ustad (tapi mereka kurang familiar dengan sebutan abuya, tengku, buya, tuan guru, dan lain-lain.), mereka juga memiliki sebutan

khas lain untuk menyebut orang atau tokoh yang dipandang memiliki, menguasai, dan mumpuni dalam ilmu keagamaan, yaitu sebutan “Aang/Aah”. Sebutan “Aang/Aah” ini walaupun tidak identik, tapi pada dasarnya mengandung pengertian yang kurang lebih sama dengan sebutan “ulama”.

Semua sebutan tersebut, baik sebutan ulama, kiai, ustad, ajengan, abuya, teungku, buya, tuan guru, syekh, dan lain-lain, termasuk sebutan Aang/Aah, adalah bentuk bahasa yang terdiri dari huruf-huruf dan merupakan kata-kata. Bahasa itu sendiri adalah simbol. Sebutan ulama, kiai, ustad, ajengan, abuya, tengku, buya, tuan guru, syekh, dan lain-lain, termasuk sebutan Aang/Aah, dengan demikian semuanya merupakan simbol, yang dalam hal ini simbol keagamaan, yang diperuntukkan bagi tokoh atau orang yang dipandang memiliki, menguasai, dan mumpuni dalam ilmu keagamaan.

Simbol merupakan sesuatu yang inheren dalam kehidupan beragama. Tidak hanya ulama, kiai, ustad, ajengan, abuya, tengku atau buya, atau aang/aah yang merupakan simbol keagamaan, tapi juga banyak hal lainnya. Masjid adalah simbol, Ka’bah adalah simbol, nabi adalah simbol, Al-Qur'an juga simbol. Begitu pula pakaian yang dikenakan waktu melaksanakan ibadah, suara takbir yang dikumandangkan, atau ucapan salam sewaktu bertemu dengan sesama Muslim lainnya.

Banyak penulis/peneliti telah melakukan penelitian atau kajian mengenai ulama, kiai, ustad, atau yang lainnya. Ahmadi (2013) misalnya. Ia meneliti mengenai peranan ulama dalam pembinaan akhlak remaja. Shoim (2001) meneliti mengenai peran ulama

(3)

menurut perspektif Al-Qur'an. Kemudian Khoirudin (2008) meneliti mengenai peran kiai dalam meningkatkan pendidikan Islam. Begitupula dengan Syafieq (2014) yang meneliti mengenai kharisma kiai dalam pengembangan proses belajar mengajar. Selain mereka tentu masih banyak peneliti-peneliti lain.

Berbeda halnya dengan penelitian yang membahas mengenai ulama atau kiai yang sudah cukup banyak, penelitian mengenai “Aang/Aah” bisa dikatakan belum ada peneliti yang secara khusus membahas mengenai hal tersebut. Hal itu dikarenakan istilah “Aang/Aah” merupakan istilah lokal yang hanya dikenal khususnya di Kecamatan Gekbrong dan sekitarnya. Oleh karena itu, melakukan penelitian/kajian mengenai makna simbolik “Aang/Aah” menjadi sesuatu yang cukup menarik dan penting.

Berkaitan dengan hal itu, rumusan penelitian atau pertanyaan penelitian yang relevan dikemukakan dalam penelitian ini adalah,“Bagaimana pandangan umat Islam Kecamatan Gekbrong mengenai makna simbolik “Aang/Aah”? Kemudian sebagai “jawaban” dari rumusan penelitian atau pertanyaan penelitian adalah tujuan penelitian. Dengan demikian, tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pandangan umat Islam Kecamatan Gekbrong mengenai makna simbolik “Aang/Aah”.

Kerangka Konsep

Menurut Clifford Geertz (dalam Dillistone, 2002; 116), simbol-simbol keagamaan adalah simbol-simbol yang mensintesiskan dan mengintegrasikan “dunia sebagaimana

dihayati dan dunia sebagaimana dibayangkan“.Simbol keagamaan berfungsi mensintesiskan etos suatu bangsa –nada, watak, mutu hidup mereka, gaya, rasa moral, dan estetisnya, serta pandangan hidup mereka–, gambaran yang mereka punyai tentang cara hal ikhwal apa adanya, gagasan-gagasan mereka yang paling komprehensif tentang suatu tatanan. Simbol-simbol itu berguna untuk menghasilkan dan memperkuat keyakinan keagamaan. Selain itu simbol-simbol keagamaan, lanjut Geertz (dalam Sukardi, 2003; 40) memiliki sakralitas dan bersifat macro symbolic, karena memberikan tafsiran-tafsiran mengenai arti dan makna kehidupan serta memberikan pandangan mengenai kehidupan.

Berdasarkan pendapat Geertz di atas, simbol-simbol keagamaan mempunyai makna yang sangat dalam. Sebutan Aang/aah dalam hal ini, sebagai sebuah simbol keagamaan umat Islam Kecamatan Gekbrong dan sekitarnya, tentu mempunyai makna yang sangat dalam pula bagi mereka. Selain tentu saja sebutan Aang/aah tersebut bagi mereka juga bersifat suci, sakral, dan merupakan perspektif, tafsiran umat Islam di sana untuk merepresentasikan orang atau tokoh yang dipandang memiliki, menguasai, dan mumpuni dalam ilmu keagamaan.

Dengan demikian, walaupun makna simbol bersifat sangat subjektif (karena ada variasi tafsir budaya dari seseorang dengan orang lain) atau tafsir yang berubah melampaui dimensi waktu (Liliweri, 2003; 76), tetapi makna-makna simbol tidak boleh disalahartikan atau ditafsirkan secara berbeda dengan apa yang dipahami oleh pemilik simbol. Terlebih lagi jika sengaja mendistorsi, menghina, atau melecehkan makna simbol karena dapat memicu amarah

(4)

pemilik simbol. Oleh karena sebutan “Aang/ Aah” merupakan produk sosial, tafsiran budaya umat Islam Kecamatan Gekbrong dan sekitarnya terhadap tokoh atau orang yang mereka pandang memiliki/menguasai ilmu keagamaan, sebaiknya dipahami pula seperti itu, tidak dipahami berbeda dengan apa yang dipahami mereka.

Berupaya selalu mengerti, memahami, dan menghargai suatu simbol yang ada, simbol yang digunakan orang atau kelompok lain, baik dalam kehidupan sosial maupun dalam kehidupan beragama – termasuk dalam hal ini sebutan “Aang/Aah”– merupakan suatu tindakan yang sangat bijak dan juga penting. Hal itu tidak hanya untuk mencegah adanya salah pengertian, dianggap tidak menghargai, dianggap menghina, atau dianggap melecehkan, tapi juga untuk keamanan, kenyamanan dan kelancaran dalam berinteraksi, sehingga komunikasi menjadi lebih efektif.

Sebutan “Aang/Aah” walau pun dipandang mengandung pengertian yang kurang lebih sama dengan sebutan ulama, kiai, ustad, ajengan, abuya, teungku, buya, tuan guru, syekh, dan lain-lain, tetapi tetap tidak bisa diidentikan. Hal itu dikarenakan setiap simbol memiliki makna yang khas dan berbeda antara satu dengan lainnya.

METODE PENELITIAN

Pandangan, persepsi, atau pemaknaan umat Islam Kecamatan Gekbrong terhadap sebutan “Aang/Aah” merupakan sebuah fenomena sosial dan bersifat kualitatif. Penelitian terhadap sebuah fenomena sosial atau hal yang bersifat kualitatif lebih tepat menggunakan metode yang bersifat kualitatif pula. Oleh karena itu, dalam penelitian ini

penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan teori interaksionisme simbolik. Menurut penulis, perspektif interaksionisme simbolik ini sangat cocok digunakan sebagai metode penelitian dalam penelitian ini karena interaksionisme simbolik lebih fokus dan to the point mengkaji, mengungkap, dan memberi penjelasan secara memadai mengenai makna simbolik dari segala bentuk interaksi sosial atau dari segala bentuk komunikasi, baik verbal atau pun non-verbal, termasuk makna simbolik dari sebutan “Aang/Aah” yang familiar di kalangan umat Islam Kecamatan Gekbrong.

Sesuai namanya, objek kajian interaksionisme simbolik tidak terlepas dari interaksi dan simbol. Setiap saat kita tidak mungkin terlepas dari melakukan interaksi dan menggunakan simbol, sebab setiap saat kita tidak terlepas dari komunikasi itu sendiri. Hal itu seperti aksioma dari Watzlawick, Beavin, dan Jackson, bahwa “one cannot not communicate” (seseorang tidak bisa tidak berkomunikasi) (dalam Steinberg, 2007; 92). Tersenyum, cemberut, atau bahkan diam sekalipun, hal itu mengkomunikasikan banyak pesan. Bisa saja tersenyum ditafsirkan bahagia, cemberut ditafsirkan marah, dan diam ditafsirkan malu, segan, ragu-ragu, tidak setuju, tidak peduli, marah, malas, atau bodoh (Mulyana, 2008; 108).

Esensi dari interaksionisme simbolik adalah suatu aktifitas yang merupakan ciri khas manusia, yaitu komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna (Mulyana, 2010; 68). Dikatakan demikian karena simbol bersifat arbitrer, yakni tidak ada keterkaitan antara simbol dan apa yang disimbolkan, baik berupa benda, keadaan, atau peristiwa yang diwakilinya (Hayakawa, 2005; 100, Dardjowidjojo 2003; 17). Salah

(5)

seorang tokoh utama interaksionisme simbolik, George Herbert Mead (dalam West 2008; 100) mengatakan bahwa makna dari sebuah simbol hanya ada ketika orang-orang memiliki interpretasi yang sama mengenai simbol yang mereka pertukarkan dalam interaksi. Artinya, ketika orang-orang tidak memiliki interpretasi yang sama mengenai simbol yang mereka pertukarkan dalam sebuah interaksi, maka simbol itu tidak bermakna sama sekali.

Interaksionisme simbolik memandang bahwa makna (meaning) dari sebuah simbol dicipta dan dilanggengkan melalui interaksi dalam kelompok-kelompok sosial. Interaksi sosial memberikan, melanggengkan, dan mengubah berbagai macam konvensi, seperti peran, norma, aturan, dan makna-makna yang ada dalam suatu kelompok sosial. Konvensi-konvensi tersebut mendefinisikan realitas kebudayaan dari masyarakat itu sendiri. Interaksionisme simbolik dalam hal ini berupaya membahas totalitas perilaku manusia dari sudut pandang sosio-psikologis, yaitu bahwa perilaku manusia dipahami melalui proses interaksi yang terjadi (Pawito, 2007; 67-68).

Kehidupan sosial dalam pandangan interaksionisme simbolik pada dasarnya merupakan “interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol”. Simbol-simbol tersebut merepresentasikan apa yang manusia maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya dan juga pengaruh yang ditimbulkan penafsiran atas simbol-simbol terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial. Perilaku manusia pada dasarnya adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia di sekeliling mereka (Mulyana, 2010; 71). Dalam interaksionisme simbolik, objek, orang, situasi, atau hal

lainnya tidak memiliki pengertiannya sendiri. Pengertian itu diberikan, dengan melalui interpretasi atau penafsiran. Jadi, dalam interaksionisme simbolik interpretasi atau penafsiran merupakan hal yang esensial (Moleong, 2006; 19-20).

Beberapa tokoh interaksionisme simbolik seperti William James, Charles Horton Cooley, John Dewey, George Herbert Mead, atau Herbert Blumer telah memberikan kontribusinya mengenai pokok-pokok pikiran interaksionisme simbolik tentang makna simbol, interaksi, dan interpretasi atau penafsiran, serta korelasi di antara ketiganya dengan perspektif masing-masing. Hanya saja dalam penelitian ini penulis lebih cenderung memilih interaksionisme simbolik perspektif Herbert Blumer sebagai metode penelitian.

Blumer (dalam Kasemin, 2004; 189-190, Al-Zastrouw, 1999; 5-6), mengidentifikasi interaksionisme simbolik pada tiga asumsi atau tiga premis utama, yaitu: Pertama,

“manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna yang diberikan oleh berbagai hal itu kepada mereka”. Kedua, “makna berbagai hal itu berasal dari, atau muncul dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain”. Terakhir

Ketiga, “makna dimodifikasi melalui suatu proses penafsiran yang digunakan oleh orang dalam kaitannya dengan berbagai hal yang dia hadapi”.

Premis pertama Blumer tersebut menjelaskan prilaku sebagai suatu rangkaian pemikiran dan perilaku yang dilakukan secara sadar antara rangsangan dan respon orang berkaitan dengan rangsangan tersebut. Blumer tertarik dengan makna yang ada dibalik perilaku. Makna dicari dengan mempelajari penjelasan psikologis dan

(6)

sosiologis mengenai perilaku. Makna yang kita berikan pada simbol merupakan produk dari interaksi simbolik dan menggambarkan kesepakatan kita untuk menerapkan makna tertentu pada simbol tertentu pula. Simbol tidak mempunyai makna yang spesifik. Simbol memiliki makna hanya ketika orang berinteraksi dan menganggapnya sebagai sesuatu yang penting (West, 2008; 100).

Berkaitan dengan premis kedua, Blumer (dalam West, 2008; 100) menjelaskan bahwa terdapat tiga cara untuk menjelaskan asal sebuah makna. Cara Pertama, menurut Blumer, yaitu bahwa makna adalah sesuatu yang bersifat intrinstik dari suatu benda.

Kedua, bahwa makna itu dibawa kepada benda oleh seseorang bagi siapa benda itu bermakna. Hal ini mendukung pemikiran bahwa makna terdapat di dalam orang, bukan di dalam benda. Sudut pandang ini, menjelaskan makna dengan mengisolasi elemen-elemen psikologis dalam diri seorang individu yang menghasilkan makna. Selanjutnya cara Ketiga, bahwa makna dilihat sebagai suatu yang terjadi di antara orang-orang. Makna adalah “produk sosial” atau “ciptaan yang dibentuk dalam dan melalui pendefinisian aktivitas manusia ketika mereka berinteraksi.

Sedangkan penjelasan terhadap premis ketiganya, Blumer (dalam West, 2008; 100) menyatakan bahwa proses penafsiran memiliki dua langkah. Langkah Pertama,

para pelaku menentukan benda-benda yang memiliki makna. Bagian dari proses ini berbeda dari pendekatan psikologis dan terdiri atas orang yang terlibat didalam komunikasi dengan dirinya sendiri. Langkah

Kedua, melibatkan si pelaku untuk memilih, mengecek dan melakukan transformasi

makna di dalam konteks di mana mereka berada.

Selain itu, secara simpel, Blumer menjelaskan pula kaitan antara tindakan (act), sesuatu (thing), dan makna (meaning) dalam interaksionisme simbolik. Menurut Blumer (Wiryanto, 2004; 42), manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning) yang dipunyai objek tersebut bagi dirinya. Makna yang dipunyai sesuatu tersebut berasal dari interaksi sosial antara seseorang dengan sesamanya. Makna tersebut kemudian diubah melalui proses penafsiran (interpretation process) yang digunakan seseorang dalam menghadapi sesuatu. Makna tersebut tidak begitu saja diterima seseorang, melainkan setelah ditafsirkan terlebih dahulu.

Begitulah secara ringkas pokok-pokok pandangan interaksionisme simbolik (dalam perspektif Herbert Blumer) sebagai sebuah metode dalam upaya mengungkap makna simbolik dari simbol-simbol yang dipertukarkan dalam interaksi kehidupan sosial manusia. Dalam konteks objek penelitian yang dilakukan, penulis mempunyai pretensi bahwa metode penelitian interaksionisme simbolik perspektif Blumer tersebut bisa mengungkap makna simbolik dari sebutan “Aang/Aah” di kalangan umat Islam Kecamatan Gekbrong, Cianjur.

Penulis, dengan menggunakan interaksionisme simbolik sebagai metode penelitian mencoba untuk mengetahui, memahami, dan mengeksplorasi makna-makna simbolik yang ada dalam sebutan “Aang/Aah” yang dipergunakan di kalangan umat Islam Kecamatan Gekbrong dan sekitarnya. Sebutan “Aang/Aah”

(7)

bukan semata-mata simbol bahasa yang mengandung pengertian atau untuk merepresentasikan tokoh atau orang yang dipandang memiliki, menguasai, dan mumpuni dalam ilmu keagamaan, tapi juga memiliki makna lain di balik itu. Makna simbolik itu didapatkan tentu saja bukan dari hasil interpretasi penulis, melainkan dari interpretasi subjek, yaitu umat Islam Kecamatan Gekbrong yang didapatkan penulis melalui pengamatan, obrolan-obrolan, dan interaksi selama beberapa tahun dengan umat Islam di sana, selama penulis menjadi penyuluh agama Islam Kecamatan Gekbrong, semenjak tahun 2005 sampai dengan sekarang.

Sebutan “Aang/Aah” yang familiar di kalangan umat Islam Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur adalah kata-kata. Kata-kata adalah simbol bahasa, yaitu yang terdiri dari huruf-huruf “A-A-N-G/A-A-H (= Alfa-Alfa-Nopember-Golf/Alfa-Alfa-Hotel)”. Simbol tersebut sejatinya tidak memiliki makna apa pun, tidak memiliki satu pengertian apa pun sebelum ada proses interpretasi dan interaksi. Kemudian terjadi interaksi diantara orang-orang yang ada di sana, dan selanjutnya tercipta suatu kesepakatan bersama mengenai makna simbol tersebut. Lebih dari itu, simbol tersebut berpotensi memiliki makna simbolik yang beragam ketika ada interpretasi yang berbeda, ketika kondisi sosio-psikologis orang yang memaknai simbol itu juga berbeda. Interaksionisme simbolik mencoba mengungkap semua itu.

Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara, observasi, studi kepustakaan, dan dokumentasi. Wawancara dilakukan kepada beberapa tokoh masyarakat dan tokoh agama sebagai

informan, yang mengetahui banyak hal tentang kondisi sosiologis, demografis, kultur, dan karakteristik umat Islam Kecamatan Gekbrong. Informan yang dimaksud adalah H. Tjetjep Suriabara, seorang tokoh agama dan tokoh masyarakat Kecamatan Gekbrong, dan mantan kepala sekolah. Selanjutnya Mumuh A. Muhyi, SHI., seorang Penghulu KUA Kecamatan Gekbrong, punya kedekatan secara emosional dengan tokoh-tokoh agama Gentur dan Jambudipa. Kemudian H. Cecep Syarifudin, seorang tokoh agama dan tokoh masyarakat yang cukup disegani di Kecamatan Gekbrong. Terakhir, Abdullah Dawami, seorang tokoh masyarakat Kecamatan Gekbrong dan Petugas P3N KUA Kecamatan Gekbrong, yang berdomisili di sekitar kampung Jambudipa. Wawancara dilakukan dengan para informan, dengan mengajukan pertanyaan terbuka atau wawancara tidak berstruktur dan sifatnya dialogis.

Observasi dilakukan langsung di beberapa tempat di Kecamatan Gekbrong selama dua minggu. Observasi dilakukan dengan melihat dan mengamati kultur dan karakteristik umat Islam di sana. Sedangkan studi kepustakaan penulis lakukan dengan menelaah dan mengkaji sumber-sumber tertulis yang relevan dengan permasalahan yang menjadi objek kajian. Data yang dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis berdasarkan perspektif interaksionisme simbolik.

(8)

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Kondisi Objektif Kecamatan

Gekbrong

Gekbrong adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Cianjur. Kecamatan Gekbrong merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Warungkondang dan terbentuk berdasarkan Perda Kabupaten Cianjur Nomor 05 Tahun 2004 tanggal 29 Januari 2004, Tentang Pemekaran Kecamatan Baru, yang meliputi Kecamatan Leles, Cijati, Cipanas dan Gekbrong. Kecamatan Gekbrong diresmikan pada tanggal 12 Oktober 2004. Nama Gekbrong sebagai kecamatan diambil dari nama salah satu desa, yaitu Desa Gekbrong dan sekaligus merupakan Ibu Kota Kecamatan.

Secara geografis Kecamatan Gekbrong terletak di sebelah barat daya, kira-kira 15 km dari ibu kota Kabupaten Cianjur dengan ketinggian ± 300 - 980 meter dpl (diatas permukaan laut) dan kemiringan tanah 0 – 40 derajat. Kecamatan Gekbrong memiliki batas-batas: sebelah utara dengan Kecamatan Warungkondang, sebelah selatan dengan kecamatan Cibeber dan Sukalarang, sebelah barat dengan kecamatan Cugenang, dan sebelah timurdengan Kecamatan Warungkondang.

Kecamatan Gekbrong, dari segi administrasi pemerintahan dibagi menjadi 8 (delapan) desa, yaitu : Desa Bangbayang, Desa Songgom, Desa Sukaratu, Desa Cikancana, Desa Gekbrong, Desa Kebonpeuteuy, Desa Cikahuripan, dan Desa Cintaasih. Delapan desa tersebut membawahi 31 Kedusunan, 70 ke-RW-an, dan 234 ke- RT-an.

Kecamatan Gekbrong memiliki luas wilayah ± 4.628.14 ha/46,50 km2.

Luas wilayah tersebut ditinjau dari segi pemanfaatannya digunakan untuk pemukiman, sawah, perkebunan, dan lain-lain. Wilayah yang dimanfaatkan untuk lahan pemukiman seluas 1.155,95 Ha, sawah 1.346,05 Ha, perkebunan 703,50 Ha, hutan lindung 480,43 Ha, ladang 102,94 Ha, dan sisanya digunakan untuk lain-lain.

Secara demografis Kecamatan Gekbrong memiliki jumlah Penduduk sebanyak = 54.570 jiwa, terdiri dari Laki-laki = 27.338 jiwa dan Perempuan = 27.232 jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga = 13.132 KK. Berdasarkan agama yang mereka anut, penduduk Kecamatan Gekbrong hampir 100% merupakan penganut agama Islam. Sebanyak 99,93% penduduk, tepatnya 54.526 orang beragama Islam, hanya 7 orang yang menganut Katolik dan 37 orang menganut Protestan. Tidak ada satu pun penduduk Kecamatan Gekbrong yang menjadi penganut Hindu, Buddha, atau Konghucu.

Sekilas Umat Islam Kecamatan

Gekbrong

Semua umat Islam Kecamatan Gekbrong berpaham Sunny. Dalam masalah teologi menganut paham Asy’ariyah dan dalam masalah fikih menganut pendapat Imam Syafi’i. Mayoritas umat Islam Kecamatan Gekbrong bisa dikatakan berpaham tradisional dalam memahami dan menjalankan agamanya. Mereka kurang tertarik dengan kajian ilmu-ilmu keislaman kontemporer, karena mereka lebih berorientasi kepada ilmu-ilmu keislaman tradisional. Tak sedikit pula dari mereka yang masih mempercayai mitos-mitos sebagai hal yang faktual.

(9)

Selain itu ada satu hal yang cukup menarik, bahwa di Kecamatan Gekbrong ada sebuah komunitas umat Islam yang cukup ekslusif. Jumlah mereka sebenarnya tidak seberapa signifikan, tetapi mampu memberi pengaruh yang cukup signifikan terhadap umat Islam lainnya. Komunitas umat Islam tersebut dikenal dengan sebutan “Aspek”. “Aspek” merupakan akronim dari “Anti Speaker” (Anti pengeras suara). Dinamakan demikian karena mereka itu sangat menentang keras dan mengharamkan penggunaan speaker (pengeras suara). Dalam pandangan mereka masalah speaker (pengeras suara) tidak semata-mata masalah fikih (halal-haram), tapi sudah masuk wilayah teologi. Bagi mereka, masalah speaker (pengeras suara) sepertinya ekuivalen dengan masalah “mu’min-kafir”.

Makna Simbolik Sebutan “Aang/Aah”

Empatbelas tahun yang lalu Kecamatan Gekbrong adalah bagian dari Kecamatan Warungkondang. Itu artinya umat Islam penduduk Kecamatan Gekbrong, dulu merupakan bagian dari penduduk Kecamatan Warungkondang. Sebagai bagian dari penduduk Kecamatan Warungkondang, umat Islam Kecamatan Gekbrong memiliki banyak kesamaan dalam kultur, sikap, dan pandangan keagamaan sebagaimana umat Islam penduduk Kecamatan Warungkondang lainnya.

Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya bahwa di Kecamatan Gekbrong ada minoritas umat Islam yang dikenal dengan komunitas Aspek. Mereka itu sebenarnya hanyalah bagian kecil saja dari komunitas Aspek yang ada di Kecamatan Warungkondang. Basis komunitas Aspek

yang ada di Kabupaten Cianjur memang berada di Kecamatan Warungkondang.

Komunitas Aspek adalah umat Islam yang sering dinisbatkan kepada para murid dan pengikut (alm.) K.H. Abdul Haqq Nuh bin Mama Ahmad Syatiby bin Sa'id, seorang ulama besar dan terkenal dari Warungkondang, Cianjur. Beliau tinggal di kampung Gentur, sehingga dikenal pula dengan sebutan Mama Gentur. Terhadap beliau, para murid dan para pengikutnya, serta umat Islam di sana, memiliki panggilan yang khas, yaitu Aang. Mereka memanggil sang guru dengan nama Aang Nuh. Nama Aang Nuh kemudian menjadi populer, tidak hanya di kalangan para murid dan para pengikutnya, tapi juga di kalangan umat Islam secara luas. Tidak hanya di kalangan umat Islam di wilayah Warungkondang, tapi juga di kalangan umat Islam yang jauh sekali pun. Bahkan konon kepopuleran nama Aang Nuh sampai ke mancanegara.

K.H. Abdul Haqq Nuh bin Mama Ahmad Syatiby bin Sa'id alias Aang Nuh, dalam pandangan para murid dan pengikutnya, serta umat Islam lainnya tidak hanya sekadar seorang ulama besar, lebih dari itu dalam pandangan mereka beliau adalah the special person. Apa yang beliau ucapkan dan apa yang beliau lakukan, oleh para pengikutnya bisa dipandang sebagai “sunnah”. Selain itu beliau dianggap sebagai “orang suci”, wali, dan memiliki karomah (keramat). Tidak mengherankan jika di kalangan para murid dan pengikutnya, beredar banyak mitos, yang sangat mereka yakini sebagai sesuatu yang faktual.

Mitos-mitos yang berkembang itu antara lain bahwa tiap hari Jum'at, Aang Nuh (ketika beliau masih hidup) sering

(10)

melaksanakan salat Jum'at di Makkah, padahal pada hari yang sama beliau ada di tempat. Ada lagi mitos yang sangat populer di kalangan masyarakat, bahwa siapa saja yang dimaki-maki, dimarahi, diludahi, ditampar atau bahkan dipukuli oleh Aang Nuh akan mendapat “hoki”, antara lain akan menjadi kaya raya. Tidak mengherankan jika kemudian banyak orang yang sangat berharap jika ia bisa mendapat “anugerah”, dimaki-maki, dimarahi, diludahi, ditampar atau dipukuli oleh beliau. Mitos lain yang beredar di masyarakat adalah bahwa Aang Nuh itu bisa berjalan di atas air. Beliau juga diyakini memiliki suara yang bisa didengar dengan jelas sampai jarak yang sangat jauh, sehingga ketika beliau memberikan petuah tidak perlu menggunakan alat pengeras suara (speaker).

Mitos-mitos di atas menyiratkan bahwa sebutan Aang yang dilekatkan kepada diri (alm.) K.H. Abdul Haqq Nuh bin Mama Ahmad Syatiby bin Sa'id memiliki makna simbolik bagi para murid dan pengikutnya, serta umat Islam lain di sekitar Kecamatan Warungkondang-Gekbrong. Sebutan Aang bagi mereka bukan sekadar simbol yang terdiri dari huruf-huruf “A-A-N-G (= Alfa-Alfa-Nopember-Golf)”. Sebutan Aangbagi mereka memiliki makna berbeda dengan sebutan lain yang biasa digunakan untuk menyebut orang yang berilmu, seperti kiai, buya, atau ajengan misalnya. Sebutan Aang tidak akan mereka lekatkan kepada sembarang orang, kecuali kepada orang yang memenuhi “kriteria” makna yang mereka sepakati.

Sebutan Aang dalam konteks (alm.) K.H. Abdul Haqq Nuh bin Mama Ahmad Syatiby bin Sa'id, memiliki banyak makna simbolik. Sebutan Aang selain sebagai simbol yang

menunjukan bahwa (alm.) K.H. Abdul Haqq Nuh bin Mama Ahmad Syatiby bin Sa'id sebagai orang yang memiliki pengetahuan agama yang luas, kharismatik, berpengaruh, saleh, atau punya kedudukan yang tinggi/ mulia, juga memiliki makna simbolik bahwa beliau merupakan orang yang memiliki karomah (keramat), memiliki kesaktian, dan juga merupakan seorang sufi atau seorang waliyullah.

Sebutan Aang oleh komunitas Aspek dan umat Islam Warungkondang-Gekbrong tidak hanya dilekatkan kepada diri (alm.) K.H. Abdul Haqq Nuh bin Mama Ahmad Syatiby bin Sa'id atau Aang Nuh saja, tapi juga dipakai untuk tokoh lainnya yang memang qualified, memiliki pengetahuan agama yang luas, memiliki kharisma, saleh, menjadi panutan masyarakat, dan punya kedudukan tinggi/mulia.

Ada perbedaan cukup signifikan makna simbolik sebutan Aang ketika sebutan dilekatkan kepada Aang Nuh dan ketika dilekatkan kepada tokoh selain Aang Nuh. Sebutan Aang dalam konteks Aang Nuh memiliki makna simbolik yang mengandung interpretasi bahwa sebutan Aang berkaitan dengan masalah-masalah supranatural, kesaktian, dan keajaiban, selain memiliki makna simbolik, yaitu sebagai orang yang memiliki pengetahuan agama yang luas, memiliki kharisma, saleh, menjadi panutan masyarakat, dan punya kedudukan tinggi/ mulia. Sedangkan sebutan Aang ketika dilekatkan kepada tokoh selain Aang Nuh hanya memiliki makna simbolik sebagai tokoh yang memiliki pengetahuan agama luas, memiliki kharisma (berwibawa), berpengaruh, saleh, dan punya kedudukan tinggi/mulia saja.

(11)

Selain sebutan Aang, umat Islam Kecamatan Warungkondang-Gekbrong juga mempunyai sebutan lain yang maknanya kurang lebih sama dengan Aang, yaitu “Aah (=Alfa-Alfa-Hotel)”. Sebutan Aah juga sama dengan sebutan Aang, yaitu dimaksudkan untuk tokoh yang memiliki pengetahuan agama yang luas, memiliki kharisma, berpengaruh, saleh, menjadi panutan masyarakat, dan punya kedudukan tinggi/ mulia.

Seperti itulah pemaknaan umat Islam Kecamatan Gekbrong terhadap sebutan Aang atau Aah yang tidak berbeda dengan pemaknaan umat Islam Kecamatan Warungkondang. Hal itu dikarenakan mereka sebelumnya berada dalam satu daerah yang memiliki kultur keagamaan yang sama, yaitu Kecamatan Warungkondang. Walau pun tentu saja, tidak berarti semua sikap dan pandangan keagamaan umat Islam Kecamatan Gekbrong semuanya persis sama dengan sikap dan pandangan keagamaan umat Islam Kecamatan Warungkondang, termasuk dengan komunitas aspek yang memiliki pengaruh cukup dominan.

Dalam pandangan umat Islam Kecamatan Gekbrong, “Aang/Aah” memiliki “nilai rasa” yang berbeda dibanding dengan “ulama”, “kiai”, “ajengan”, atau “ustad”. Bagi umat Islam Kecamatan Gekbrong, “Aang/ Aah” dalam masalah keilmuan dan kharisma barangkali bisa disetarakan dengan level “ulama”. “Aang/Aah”, jika dalam masalah keilmuan saja bisa setara dengan level “kiai”. Sedangkan “ajengan” dan “ustad” jauh berada di bawah level “Aang/Aah”, baik dalam hal keilmuan atau pun kharisma.

Hal tersebut secara jelas terlihat ketika seorang “Aang/Aah”, “ulama”, “kiai”,

“ajengan”, atau “ustad” hadir dalam suatu pertemuan misalnya. Sewaktu seorang “ajengan” atau “ustad” datang, maka sikap hadirin cenderung biasa-biasa saja, tidak memperlakukannya dengan istimewa. Sewaktu datang seorang “kiai”, sikap hadirin juga tidak jauh berbeda. Akan tetapi ketika hadir seorang “ulama” atau “Aang/ Aah”, maka perbedaan sikap yang cukup signifikan akan terlihat. Hadirin kelihatan menunjukkan sikap sangat hormat (ajrih, dalam bahasa Sunda). Hadirin yang ada di barisan depan akan serentak berdiri, badan dalam keadaan sigap, agak dibungkukkan, ekspresi wajah “di-setting” sedemikian rupa sehingga nampak sangat berseri-seri. Kepala agak menunduk, dalam sikap ajrih. Sewaktu bersalaman, tak ada satu pun hadirin, umat Islam di sana yang tidak mencium tangannya. Bagi umat Islam Kecamatan Gekbrong, terhadap apa yang disampaikan oleh “Aang/ Aah” mereka tidak akan berani membantah atau menentangnya. Hal itu dikarenakan mereka punya keyakinan bahwa apa yang disampaikan oleh “Aang/Aah” pasti dilandasi oleh referensi yang sahih karena “Aang/Aah” memiliki keilmuan yang tidak diragukan lagi. “Aang/Aah” tidak mungkin menyampaikan sesuatu yang tidak berdasar. Dalam hal ini ada semacam kepatuhan yang absolut dari umat Islam Kecamatan Gekbrong kepada “Aang/Aah”. Umat Islam Kecamatan Gekbrong dapat menerima apa yang disampaikan oleh “Aang/Aah” tanpa harus mencari referensi atau justifikasi lagi dari pihak lainnya. Malahan, kalau pun ada orang yang memiliki pendapat yang sedikit berbeda dengan “Aang/Aah” dan dia memiliki argumentasi yang lebih kuat dan tidak terbantahkan lagi, umat Islam Kecamatan Gekbrong tidak akan berpaling

(12)

dari pendapat “Aang/Aah”. Mereka tetap akan berada di pihak “Aang/Aah” dan tidak akan menerima pendapat dari orang yang “berseberangan” dengan “Aang/Aah”. Ada kesan bahwa “Aang/Aah”, bagi umat Islam Kecamatan Gekbrong merupakan person yang infallible (tidak bisa salah).

Tidak banyak tokoh atau orang yang layak atau bisa disebut sebagai “Aang/ Aah”, mengingat “kualifikasi”nya juga tidak mudah. Selain harus memiliki pengetahuan agama yang luas, juga harus memiliki kharisma, saleh, menjadi panutan masyarakat, dan punya kedudukan tinggi/ mulia. Dalam hal ini, mungkin tidak jauh berbeda dengan tidak mudahnya tokoh atau orang untuk bisa disebut sebagai “ulama”. Sebutan “Aang/Aah” tidak bisa disematkan kepada sembarang orang, yang tidak memiliki “kualifikasi” sebagai “Aang/ Aah”. Sama halnya juga dengan sebutan “ulama” yang tidak bisa diberikan kepada setiap orang. Tokoh atau orang yang layak menyandang sebutan “ulama”, tentu saja hanyalah mereka yang memiliki “kualifikasi” sebagai “ulama”. Baik “Aang/Aah” atau pun “ulama” dalam hal ini bisa disebut sebagai “makhluk langka”.

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa umat Islam Kecamatan Gekbrong pada umumnya bisa dikategorikan sebagai penganut Islam tradisional. Bagi kalangan Islam tradisional, seperti dikatakan oleh Rozikin Daman, yang dikutip oleh Solikhin (2010, 461-462), bahwa tokoh agama (ulama/kiai) menempati posisi yang terhormat dan memiliki otoritas tradisional, yang menciptakan struktur ketaatan yang kuat. Para ulama/kiai sepuh dalam arti usia dan kapasitas intelektual keagamaan selalu didudukan dalam otoritas tertinggi.

Seperti itu pula sikap umat Islam Kecamatan Gekbrong. Mereka sangat menghormati tokoh agama, terutama terhadap tokoh atau orang yang mereka sebut sebagai “Aang/Aah”. Seorang “Aang/ Aah” mereka posisikan dalam kedudukan dan dalam otoritas tertinggi. Seorang “Aang/Aah” memiliki pengaruh yang sangat kuat bagi mereka. Apa yang disampaikan oleh seorang “Aang/Aah”, dapat menjadi fatwa bagi mereka. Apa yang diucapkan, apa yang dilakukan, dan apa yang menjadi sikap “Aang/Aah”, dapat dipandang sebagai “sunnah”.

Melihat asal-usul kata Aangdan Aah, sepertinya tidak ada korelasi makna dengan sebutan “Aang/Aah” yang familiar di kalangan umat Islam Kecamatan Gekbrong. Kata Aangdalam bahasa Sunda memiliki arti kakak (Luthfiyani, 2016:91). Selain itu, dalam kehidupan masyarakat Sunda tempoe doeloe, sebutan Aang sering digunakan untuk nama bagi anak laki-laki. Hal ini seperti nama salah satu mantan gubernur Jawa Barat dulu, (periode tahun 1975-1985), yaitu (Mayjen TNI) Aang Kunaefi Kartawiria. Sedangkan Aah, oleh masyarakat Sunda tempoe doeloe biasa digunakan untuk nama bagi anak perempuan. Dalam kehidupan masyarakat Sunda sekarang, baik Aangmaupun Aah sudah hampir tidak lagi digunakan sebagai nama bagi anak laki-laki dan anak perempuan. Hal itu dikarenakan masyarakat Sunda sekarang tidak luput pula dari pengaruh globalisasi, termasuk dalam hal nama. Masyarakat Sunda sekarang sudah jarang menggunakan nama-nama Sunda. Mereka lebih memilih nama-nama Islami, yang berasal dari bahasa Arab. Sebagian malah lebih memilih nama kebarat-baratan untuk anak mereka, dan itu semua tentu

(13)

bukan masalah dan bukan sesuatu yang harus dipermasalahkan.

Akan tetapi sebagaimana dikatakan oleh para ahli linguistik dan semiotika, bahwa bahasa itu bersifat arbitrer (mana suka, semau gue). Tidak ada aturan, tidak ada ketentuan, dan tidak ada keharusan bagi suatu objek disebut “A” atau “B”, atau suatu yang disimbolkan diberi simbol “A” atau “B”. Begitu pula dengan sebutan “Aang/Aah” di kalangan umat Islam Kecamatan Gekbrong yang digunakan untuk merepresentasikan tokoh atau orang yang memiliki/menguasai ilmu keagamaan, yang sangat mereka hormati. Padahal jika menurut pengertian umum yang ada, sebutan Aang atau Aah jauh sekali dengan apa yang jadi pemahaman umat Islam Kecamatan Gekbrong. Makna sebuah simbol memang tergantung adanya kesepakatan diantara para pengguna simbol tersebut. Seperti halnya ketika bangsa kita bersepakat bahwa alat tukar untuk jual beli itu disebut uang, padahal orang Inggris menyebutnya dengan money, sementara orang Arab menyebutnya fulus, semua tidak ada masalah. Kalau saja bangsa kita, atau orang Inggris, dan orang Arab mau mengganti uang, money, dan fulus dengan sebutan lain, tidak ada masalah sama sekali. Asal, ada kesepakatan di antara orang-orang pengguna simbol untuk alat tukar jual beli tadi.

Merujuk kepada perspektif interaksionisme simbolik versi (Herbert) Blumer, bahwa manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning) yang dipunyai objek tersebut bagi dirinya dan makna yang dipunyai sesuatu tersebut berasal dari interaksi sosial antara seseorang dengan sesamanya (Wiryanto 2004, 42). Dalam konteks sebutan “Aang/

Aah” di kalangan umat Islam Kecamatan Gekbrong, ini mengandung pengertian bahwa seseorang yang telah ada interaksi dengan umat Islam di sana akan melakukan suatu tindakan (act) terhadap simbol “Aang/ Aah” (thing) berdasarkan makna (meaning) “Aang/Aah” yang dipahami mereka. Bagi umat Islam Kecamatan Gekbrong, “Aang/ Aah” dimaknai tidak hanya sekadar orang yang memiliki/menguasai ilmu keagamaan (keislaman). Lebih dari itu, mereka mereka juga memaknai “Aang/Aah” sebagai orang yang kharismatik (berwibawa), berpengaruh, saleh, dan punya kedudukan yang tinggi/ mulia.

Seseorang yang telah ada interaksi dengan umat Islam yang ada di Kecamatan Gekbrong tadi. Dengan demikian, akan melakukan tindakan sebagai makna “Aang/ Aah” yang dipahami oleh umat Islam di sana. Dia akan bersikap menghormati, bersikap sopan, mengikuti/menuruti, atau mengagumi orang yang disimbolkan sebagai “Aang/Aah” tersebut. Dia tidak akan berani melakukan hal-hal yang bertentangan dengan sikap tadi. Dia akan melakukan hal-hal yang dilakukan umat Islam di sana. Seperti ketika bertemu dengan orang yang disimbolkan sebagai “Aang/Aah”, mungkin dia akan bersikap sangat hormat, sedikit membungkukkan badan, “memasang” muka yang berseri, bersalaman dengan mencium tangannya dalam-dalam, dan sebagainya.

Lain halnya dengan seseorang yang belum pernah ada interaksi sama sekali dengan umat Islam yang ada di Kecamatan Gekbrong. Dia akan melakukan tindakan yang berbeda dengan orang yang telah ada interaksi dengan mereka. Sewaktu mendengar simbol kata “Aang/Aah”, dia mungkin akan bersikap biasa-biasa

(14)

saja. Sewaktu bertemu dengan orang yang disimbolkan sebagai “Aang/Aah”, mungkin dia tidak membungkukkan badan, memasang ekspresi wajah yang datar-datar saja, dan bersalaman “standar” tanpa cium tangan.

Interpretasi atau penafsiran terhadap makna dari dari suatu simbol dalam interaksionisme simbolik sebagaimana disampaikan Blumer (West, 2008; 100), tidak terlepas dari faktor psikologis dan sosiologis orang yang menginterpretasikan/ menafsirkan simbol. Dalam konteks makna simbolik “Aang/Aah” yang dipahami oleh umat Islam Kecamatan Gekbrong, pendapat Blumer tersebut bisa terbukti benar adanya.

Seperti telah dipaparkan bahwa makna simbolik “Aang/Aah” bagi umat Islam Kecamatan Gekbrong, dulu dan sekarang memiliki beberapa perbedaan, di samping memiliki “common platform”. Sebutan “Aang/Aah” dulu ketika dilekatkan kepada (alm.) K.H. Abdul Haqq Nuh bin Mama Ahmad Syatiby bin Sa'id atau Aang Nuh, memiliki makna simbolik, tidak hanya merepresentasikan orang yang memiliki/ menguasai ilmu keagamaan yang luas, kharismatik, berpengaruh, saleh, atau punya kedudukan yang tinggi/mulia, tapi juga merepresentasikan orang yang memiliki karomah (keramat), memiliki kesaktian, dan juga merupakan seorang sufi atau seorang waliyullah. Sekarang, bagi umat Islam Kecamatan Gekbrong makna simbolik “Aang/Aah” mungkin hanya sebatas representasi dari orang yang memiliki/ menguasai ilmu keagamaan yang luas, kharismatik, berpengaruh, saleh, atau punya kedudukan yang tinggi/mulia saja tanpa makna simbolik sebagai orang yang memiliki karomah (keramat), memiliki kesaktian, dan

juga merupakan seorang sufi atau seorang waliyullah.

Perbedaan interpretasi atau penafsiran mengenai simbol kata “Aang/Aah” diantara umat Islam Kecamatan Gekbrong dulu dan sekarang tidak lain adalah karena adanya faktor psikologis dan sosiologis. Dulu, umat Islam Kecamatan Gekbrong yang hidup pada era Aang Nuh mengetahui secara langsung performance dari Aang Nuh dan merasakan langsung “aura” keluarbiasaan beliau. Mereka tahu bagaimana keluasan ilmu, kharisma, keshalehan, kewara’an, termasuk pula karomah-karomah (keramat-keramat) dan kesaktian-kesaktian beliau. Sementara umat Islam Kecamatan Gekbrong sekarang tidak mengetahui secara langsung performance dari Aang Nuh dan merasakan langsung “aura” keluarbiasaan beliau, sehingga memiliki interpretasi atau penafsiran terhadap simbol kata “Aang/ Aah” yang berbeda dengan umat Islam Kecamatan Gekbrong sebelumnya.

Itu adalah interpretasi atau penafsiran atas sebutan “Aang/Aah”oleh satu komunitas yang sama, hanya berbeda waktu saja, makna simboliknya tidak sama. Apalagi jika kemudian sebutan “Aang/Aah” diinterpretasikan atau ditafsirkan oleh orang yang “di luar sistem”, yakni orang yang di luar komunitas umat Islam Kecamatan Gekbrong. Umat Islam yang ada Aceh, umat Islam yang ada di Sumatera Barat, umat Islam yang ada di Banten, umat Islam yang ada di daerah Jawa, atau umat Islam yang ada di Papua misalnya, ketika mendengar sebutan “Aang/ Aah” sebagai sebuah simbol bahasa, mereka akan memaknai dan menginterpretasikannya dengan “pemahaman bahasa” mereka masing-masing. Sebutan “Aang/Aah”, bagi mereka mungkin tidak mempunyai makna

(15)

sama sekali selain bahwa sebutan “Aang/ Aah”, hanyalah kata yang tersusun dari huruf-huruf “A-A-N-G/A-A-H” (= Alfa-Alfa-Nopember-Golf/Alfa-Alfa-Hotel). Hal itu disebabkan sebutan “Aang/Aah” tidak ada dalam kosa kata bahasa mereka.

PENUTUP

Sebutan “Aang/Aah” merupakan salah satu simbol bahasa, yaitu terdiri dari huruf-huruf “A-A-N-G/A-A-H (= Alfa-Alfa-Nopember-Golf/Alfa-Alfa-Hotel)”. Sebutan “Aang/Aah” tersebut familiar dan digunakan oleh umat Islam Kecamatan Gekbrong dan sekitarnya sebagai sebutan untuk tokoh atau orang yang memiliki/menguasai pengetahuan keagamaan yang luas dan mendalam, kharismatik (berwibawa), berpengaruh, saleh, dan punya kedudukan yang tinggi/ mulia.

Sebutan “Aang/Aah” mengandung makna simbolik yang berbeda jika dilekatkan kepada tokoh atau orang yang berbeda, seperti ketika sebutan “Aang/Aah” dilekatkan kepada (alm.) K.H. Abdul Haqq Nuh bin Mama Ahmad Syatiby bin Sa'id atau Aang Nuh. Sebutan Aang selain sebagai simbol yang menunjukkan bahwa (alm.) K.H. Abdul Haqq Nuh bin Mama Ahmad Syatiby bin Sa'id sebagai orang yang memiliki pengetahuan agama yang luas, kharismatik, berpengaruh, saleh, atau punya kedudukan yang tinggi/mulia, juga memiliki makna simbolik bahwa beliau merupakan orang yang memiliki karomah (keramat), memiliki kesaktian, dan juga merupakan seorang sufi atau seorang waliyullah.

Makna simbolik sebutan “Aang/ Aah”, dengan demikian bagi umat Islam

Kecamatan Gekbrong memiliki makna simbolik yang subjektif, tergantung kepada siapa sebutan itu dilekatkan. Tetapi ada makna simbolik sebutan “Aang/Aah” yang bersifat general, yaitu merepresentasikan tokoh atau orang yang memiliki/menguasai pengetahuan keagamaan yang luas dan mendalam, kharismatik (berwibawa), berpengaruh, saleh, dan punya kedudukan yang tinggi/mulia. Makna simbolik sebutan “Aang/Aah” yang bersifat general tersebut akan tetap ada, kepada siapa pun sebutan “Aang/Aah” itu dilekatkan.

Dengan demikian, penelitian ini merupakan sebuah upaya penulis untuk mengetahui makna simbolik sebutan “Aang/ Aah” di kalangan umat Islam Kecamatan Gekbrong. Hal ini cukup penting untuk diketahui mengingat sebutan “Aang/Aah”, merupakan salah satu khazanah istilah yang ada dalam sebuah komunitas Muslim yang ada di Kabupaten Cianjur. Hasil penelitian ini tentu saja jauh dari sempurna, dan itu merupakan suatu hal yang “natural”, sebab nothing is perfect. Oleh karena itu demi mendapatkan hasil penelitian yang lebih baik dari penelitian ini, penulis menyarankan kepada para peneliti selanjutnya yang berminat kepada masalah-masalah sosial-keagamaan, untuk mengadakan penelitian yang lebih mendalam dan dari perspektif yang berbeda. Diharapkan dari penelitian yang beragam dapat menghasilkan hasil yang lebih baik dan memberi kontribusi yang positif, lebih memperkaya, dan menambah wawasan, serta menghasilkan manfaat bagi kehidupan praktis umat Islam, khususnya yang ada di Kabupaten Cianjur.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Bul. 2013. “Peranan Ulama dalam Pembinaan Akhlak Remaja di Desa Gunung Malelo Kecamatan Koto Kampar Hulu Kabupaten Kampar”. Skripsi. Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. Al-Zastrouw, Al-Ngatawi. 1999. Gus Dur: Siapa Sih Sampeyan?: Tafsir Teoritik Atas Tindakan dan

Pernyataan Gus Dur. Jakarta: Erlangga.

Aqhsa, Darul. 2005. Kiai Haji Mas Mansur, 1896-1946: Perjuangan dan Pemikiran. Jakarta: Erlangga. Borrong, Robert P. 1998. Berakar di Dalam Dia dan Dibangun di Atas Dia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik: PengantarPemahaman Bahasa Manusia. Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia.

Dillistone. F.W. 2002. The Power of Symbols (Daya Kekuatan Simbol). Yogyakarta: Kanisius. Hadi, Murtadho. 2009. Jejak Spiritual Abuya Dimyathi. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara.

Hayakawa, S.I. 2005. “Simbol-simbol”, dalam Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat (Ed.)ز Komunikasi AntarBudaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Ismail, Ibn Qoyyim. 1997. Kiai Penghulu Jawa: Peranannya di Masa Kolonial. Jakarta: Gema Insani Press. Kasemin, Kasiyanto.2004. Mendamaikan Sejarah: Analisis Wacana Pencabutan TAP MPRS/XXV/1966.

Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara.

Khoirudin, M. “Peran Kyai dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan Islam pada Santri di Pondok Pesantren Al-Arifin Denanyar Jombang". Skripsi. UIN Malang.

Liliweri, Alo. 2003. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara. Luthfiyani, Lulu. 2016. Kamus Genggam Bahasa Sunda. Yogyakarta: Frasa Lingua.

Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mulyana, Deddy. 2008. Ilmu Komunkasi: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

_____. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Musa, Ali Masykur. 2014. Membumikan Islam Nusantara: Respons Islam Terhadap Isu-Isu Aktual. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara. Prabowo, Akhmad Jenggis. 2011. Kebangkitan Islam. Yogyakarta: NFP Publishing.

Shoim, M. 2001. “Peran Ulama dalam Al-Qur'an (Sebuah Kajian Tematik)”. Skripsi. UIN Sunan Kalijaga. Setiadi, Ayung Darun. 2007. “Pendidikan Pesantren”, dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan (Tim

Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI). Bandung: PT Imperial Bhakti Utama.

Sobur, Alex.2004. Analisis Teks Media : Suatu PengantarUntuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Solikhin, Muhammad. 2010. Ritual & Tradisi Islam Jawa. Yogyakarta: Narasi.

(17)

Sukardi, Imam. 2003. Pilar Islam Bagi Pluralisme Modern. Solo: Tiga Serangkai.

Syafieq, Mustajab Hakim Abu. 2014. “Kharisma Kiai dalam Pengembangan Proses Belajar Mengajar di Pondok Pesantren Bahrul 'Ulum Sirandu Mulyoharjo Pemalang Jawa Tengah. Skripsi. UIN Sunan Kalijaga.

Turmudi, Endang. 2004. Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara. West, Richard dan Turner, Lynn H. 2008. PengantarTeori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Jakarta:

Salemba Humanika.

(18)

Referensi

Dokumen terkait