• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dakwah Multikultural Gerakan Gusdurian Surabaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dakwah Multikultural Gerakan Gusdurian Surabaya"

Copied!
229
0
0

Teks penuh

(1)

DAKWAH MULTIKULTURAL GERAKAN GUSDURIAN

SURABAYA

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam

OLEH:

A. FIKRI AMIRUDDIN IHSANI

NIM. F52718300

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

A. Fikri Amiruddin Ihsani, 2020, Dakwah Multikultural Gerakan Gusdurian Surabaya, Tesis Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Kata Kunci: Dakwah, Multikultural, Gusdurian.

Studi ini membahas dakwah multikultural Gerakan Gusdurian Surabaya. Ada tiga rumusan masalah yang dikaji tesis ini, yakni (1) bagaimanakah konsep dakwah multikultural gerakan Gusdurian Surabaya, (2) bagaimanakah tafsir makna multikultural dalam dakwah multikultural gerakan Gusdurian Surabaya, dan (3) bagaimanakah upaya-upaya gerakan Gusdurian Surabaya dalam dakwah multikultural.

Menjawab rumusan masalah tersebut peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data observasi, wawancara, dan dokumentasi. Metode ini dipilih agar memperoleh data yang bersifat mendalam dan menyeluruh mengenai dakwah multikultural gerakan Gusdurian Surabaya. Data yang diperoleh kemudian disajikan secara deskriptif dan dianalisis menggunakan teori Sensitivitas Interkultural Milton J. Bennett’s.

Dalam penelitian ini diperoleh hasil; (1) dakwah multikultural gerakan Gusdurian Surabaya berpedoman pada tiga konsep utama, yakni sembilan nilai utama Gus Dur, gagasan keislaman Gus Dur, dan perjuangan pribumisasi Islam Gus Dur. (2) Tafsir makna multikultural dalam dakwah multikultural gerakan Gusdurian Surabaya dibagi menjadi tiga kategori, yakni tafsir multikultural berdasarkan al-Qur’an Surat al-Hujuraat ayat 13, tafsir pelaku dakwah multikultural, dan tafsir penerima dakwah multikultural. Ketiga hal tersebut menemukan kesamaan makna, yakni pesan dakwah perdamaian, toleransi, dan kerukunan umat beragama. (3) Upaya-upaya dakwah multikultural gerakan Gusdurian Surabaya mencakup tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotorik. (4) Dalam tinjauan sensitivitas interkultural Milton J. Bennett’s penerima dakwah akan melalui proses tahapan di antaranya denial (penolakan), defense (pertahanan),

minimization (minimalisasi), acceptance (penerimaan), adaptation (adaptasi) dan

integration (integrasi). Dalam teori ini penerima dakwah mengalamai pergeseran kesadaran dari etnosentris ke etnorelativis.

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iii

MOTTO ... iv

PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN PERTANGGUNGJAWABAN PENULISAN TESIS ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR.... ... ....viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL.... ... ....xiii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12 C. Tujuan Penelitian... 12 D. Manfaat Penelitian... 13 E. Definisi Konseptual ... 14 F. Penelitian Terdahulu ... 19 G. Metode Penelitian ... 23 H. Sistematika Pembahasan ... 39

BAB II : KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Dakwah Multikultural... 42

B. Kajian Gerakan Multikultural ... 58

C. Teori Developmental Model ofIntercultural Sensitivity (DMIS) Milton J. Bennett’s ... 73 BAB III : DAKWAH MULTIKULTURAL GERAKAN GUSDURIAN

(8)

A. Gambaran Umum Gerakan Gusdurian Surabaya ... 89 B. Dakwah dalam Perspektif Gerakan Gusdurian Surabaya ... 110 BAB IV : MEMAHAMI SENSITIVITAS INTERKULTURAL DAKWAH

MULTIKULTURAL GERAKAN GUSDURIAN SURABAYA A. Konsep Dakwah Multikultural Gerakan Gusdurian Surabaya ... 131 B. Tafsir Makna Multikultural dalam Dakwah Multikultural

Gerakan Gusdurian Surabaya ... 151 C. Upaya-upaya Dakwah Multikultural Gerakan

Gusdurian Surabaya ... 167 D. Dakwah Multikultural Gerakan Gusdurian Surabaya dalam

Tinjauan Teori Intercultural Sensitivity Milton J. Bennett’s ... 185 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan... 207 B. Saran ... 211 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN Pedoman Wawancara Jadwal Penelitian Biodata Peneliti

(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1. Bentuk Jaringan Gusdurian ... 90

Gambar 3.2. Sistematisasi Kerja Seknas Jaringan Gusdurian ... 93

Gambar 3.3. Aksi Surabaya Menggugat di Depan Gedung DPRD Jatim ... ...106

Gambar 3.4. Doa Bersama Warga Tionghoa Surabaya ... ...107

Gambar 3.5. Penyaluran Bantuan Gusdurian Peduli ... ...110

Gambar 3.6. Sembilan Nilai Utama Gus Dur ... ...118

Gambar 3.7. Ngaji Film Atas Nama Percaya di Balai Pemuda ... ...126

Gambar 3.8. Forum 17-an di Buddhayana Dharmawira Center ... ...128

Gambar 3.9. Konten Instagram Gerakan Gusdurian Surabaya ... ...130

Gambar 4.1. Konsep Dakwah Multikultural Gerakan Gusdurian Surabaya .... ...132

Gambar 4.2. Sembilan Nilai Utama Gus Dur ... ...133

Gambar 4.3. Gagasan Keislaman Gus Dur ... ...144

Gambar 4.4. Perjuangan Pribumisasi Islam ... ...148

Gambar 4.5. Tafsir Makna Multikultural dalam Dakwah Multikultural ... ...151

Gambar 4.6. Proses Dakwah Multikultural Gerakan Gusdurian Surabaya ... ...168

Gambar 4.7. Proses Sensitivitas Interkultural ... ...186

Gambar 4.8. Proses Sensitivitas Interkultural dalam Menerima Pesan Dakwah ... ...203

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Subjek Penelitian... 26 Tabel 3.1. Kegiatan Gusdurian Surabaya Januari 2019 – Janauari 2020 ... ...104

(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Istilah dakwah sudah akrab di telinga umat muslim dan juga sudah menjadi sebuah kegiatan yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam. Dengan segenap dasar dimensi sosialnya, membuat dakwah banyak berkembang dalam berbagai pola, aksi, serta pelaksanaannya. Sikap umat Islam pada dasarnya dapat ditelisik melalui berbagai persoalan kehidupan hingga pemikiran teologis yang berkembang di lingkungan masyarakatnya, yang didapatkan melalui proses internalisasi dan sosialisasi. Sehingga kemudian tiga jenis klasifikasi pemikiran teologis masyarakat Islam sangat berpengaruh besar terhadap pola dakwah yang dijalankan, sehingga akhirnya proyeksi terhadap realisasi sebuah kebenaran dan kesejahteraan masyarakat Islam.

Hingga saat ini, topik perdebatan yang ramai diperbincangkan mengenai teologi pada kalangan masyarakat Islam masih berkisar pada tingkat semantik. Akibatnya mereka yang memiliki corak latar belakang keberislaman konvensional banyak mengartikan teologi sebagai ilmu kalam, yaitu sebuah keilmuan yang mempelajari ketuhanan, bersifat abstrak, normatik, dan skolastik. Lain dengan hal itu, masyarakat Islam yang banyak belajar keilmuan dan terlatih serta terpengaruh tradisi barat, lebih mengartikan teologi sebagai sebuah penafsiran terhadap sebuah

(12)

2

realitas yang dikaji melalui perspektif ketuhanan. Sehingga kemudian lebih merupakan sebuah refleksi-refleksi empiris.2

Hal ini menjadikan proses dakwah yang terjadi di Indonesia banyak mengalami hambatan. Hambatan tersebut bisa berasal dari subjek dakwah maupun mitra dakwah. Selain itu dikarenakan berkembang pesatnya teknologi informasi dan komunikasi menjadikan dakwah ini dengan mudah dilakukan oleh siapa pun, kapan pun, dan dapat pula diakses oleh siapa pun. Akan tetapi banyak diantara subjek dakwah yang berkembang belakangan masih menampakkan ego pribadi maupun afiliasi kelompoknya, sehingga hal ini kemudian secara langsung maupun tidak langsung pasti menyinggung kelompok ataupun pribadi yang lainnya. Terutama yang berkaitan dengan kebenaran dan ajaran agama.

Dalam konteks keindonesiaan tentu banyak sekali problem dakwah terutama terkait dengan perbedaan, tradisi, budaya, dan paham yang seringkali membuat hubungan antar masyarakat kurang harmonis, bahkan dalam kasus tertentu bisa memacu konflik sosial yang tentu sangat merugikan. Gesekan antara sesuatu yang berbeda tradisi dan paham ini tidak hanya terjadi diinternal umat Islam saja, akan tetapi sudah masuk dalam ranah tataran kehidupan lintas agama. Sehingga hal tersebut tentu sangat mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara. Masalah lain menyusul ketika MUI mengeluarkan fatwa yang bisa dibilang kontroversial diantaranya pelabelan dan penilaian sesat menyesatkan atas aliran Ahmadiyah dan

2 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 2008),

(13)

3

melarang paham-paham yang berbau kebarat-baratan seperti halnya pluralisme, liberalisme, komunisme, marxisme, leninisme, dan sekularisme.3

Dalam tulisannya Amin Abdullah mengungkapkan masalah perbedaan dalam kehidupan beragama disebabkan interpretasi masing-masing orang akan teks suci yang dipercaya sebagai ungkapan langsung dari Tuhan kepada umat manusia, sementara itu dalam realitasnya di masyarakat tidak ada tafsir tunggal yang dapat dijadikan pedoman.4 Lebih lengkapnya Amin menjelaskan bahwasannya perbedaan terjadi dikarenakan beberapa faktor diantaranya budaya, politik, ekonomi, pendidikan atau tingkat peradabannya. Dalam perkembangannya perbedaan tafsir agama itu kemudian menjadi hambatan apabila ada oknum yang menganggap bahwa pihaknya saja yang berhak menafsirkan teks suci dan kemudian menganggap tafsir pihaknya tersebut sebagai yang paling benar, dan tafsir pihak lain dianggap salah atau tidak sesuai. Hal tersebut kemudian memunculkan beberapa cap negatif yang terlontar pada pihak lain misalnya kafir, murtad, dan bid’ah. Sedangkan kebenaran mutlak hanya milik Tuhan itu sendiri sebagai pemilik teks suci tersebut.5

Pada era sekarang ini dakwah dengan pendekatan kultural seperti halnya dialog menjadi kebutuhan utama saat ini. Model pendekatan dakwah tersebut merupakan bagian dari usaha untuk menciptakan harmonisasi dalam hubungan antaragama. Terjadinya berbagai macam konflik yang bernuansa agama menyebabkan harmonisasi antaragama saat ini kembali mengalami benturan keras. Praktik

3 Zakiyuddin Bhaidawi, Kredo Kebebasan Beragama (Jakarta: PSAP Muhammadiyah,

2005), X.

4 M. Amin Abdullah, “Kata Pengantar”, dalam Ainul Yakin, Pendidikan Multikultural

Cross Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), xiv.

(14)

4

kekerasan yang mengatasnamakan agama, dari fundamentalisme, radikalisme, hingga terorisme, akhir-akhir ini semakin marak di Indonesia.6 Seperti halnya konflik di Papua dan Ambon sewaktu-waktu bisa saja meledak, walaupun berkali-kali dapat diredam.7 Fenomena tersebut bukan hanya banyak merenggut korban jiwa, akan tetapi juga menghancurkan beberapa tempat ibadah termasuk masjid dan gereja.8 Berdasarkan hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta pada tahun 2001 terhadap negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim termasuk Indonesia, bahwasannya semakin “saleh” seseorang justru ada kecenderungan semakin ia tidak toleran. Bahkan banyak yang menghalalkan tindakan anarkis termasuk perusakan tempat ibadah serta pemukulan pihak lain yang dianggapnya sesat.9

Berdasarkan hasil survei kerukunan umat beragama di Indonesia yang dilakukan oleh Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama pada tahun 2015 dengan berpedoman pada tiga indikator utama untuk mengukur kerukunan di antaranya toleransi, kesetaraan, dan kerjasama. Dalam hal ini, diperoleh hasil bahwa survei tersebut menunjukkan terdapat empat belas provinsi yang memiliki tingkat kerukunan tinggi di atas rata-rata nasional (75.36), terdiri atas: 1. Provinsi NTT (83.3), 2. Bali (81.6), 3. Maluku (81,3), 4. Kalimantan Tengah (80.7), 5. Sulawesi Utara (80.5), 6. Papua (80.2), 7. Sulawesi Tengah (78.8), 8. Sulawesi

6 Muhammad Arif, “Pendidikan Agama Islam yang Inklusif-Multikultural dalam Bingkai

Keislaman dan Keindonesiaan” Jurnal Al-Fikr (Volume 15 Nomor 2 Tahun 2011), 157.

7 Frans Magnis-Suseno, “Religious Harmony in Religious Diversity: The Case in

Indonesia,” dalam Michael Pye (ed.), Religious Harmony: Problems, Practice and Education

(Berlin: Walter de Gruyter Gmbh & Co, 2006), 9-10.

8 Nur Achmad, Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman (Jakarta: PT. Gramedia,

2001).

9 Muhammad Arif, “Pendidikan Agama Islam yang Inklusif-Multikultural dalam Bingkai

(15)

5

Tenggara (78), 9. Papua Barat (77.7), 10. Jawa Tengah (77.6), 11. Kalimantan Selatan (77.4), 12. Sumatera Utara (77.1), 13. Maluku Utara (76.8), 14. NTB (75.7). sedangkan sejumlah provinsi memiliki tingkat kerukunan paling rendah, memiliki angka di bawah rata-rata nasional, di antaranya sebagai berikut: 1. DKI Jakarta (74.1), 2. Sulawesi Barat (74), 3. Kalimantan Barat (72.8), 4. Banten (72.6), 5. Jawa Barat (72.6), 6. DI Yogyakarta (72.5), 7. Pekanbaru (71.2) 8. Sumatera Barat (69.2), 9. Lampung (65.9), 10. D.I. Aceh (62.8). Oleh karena itu, berdasarkan survei ini dapat disimpulkan bahwa kondisi kerukunan umat beragama secara nasional baik, dengan tingkat angka rata-rata tinggi, lebih dari cut off 66 level kerukunan. Sehingga dalam hal ini, untuk mempertahankan indexs kerukunan umat beragama tersebut diperlukan peningkatan program kerukunan sampai dengan partisipasi setingkat desa.10

Dari hasil penelitian The Wahid Institute pada tahun 2015 mengenai pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan yang mencapai 52% dengan aktor utamanya adalah negara termasuk di dalamnya aparat pemerintahan dan selebihnya sebanyak 48% aktornya adalah non-negara atau kelompok sosial keagamaan.11 Berdasarkan fakta-fakta yang telah dipaparkan di atas maka semakin jelas bahwasannya terdapat sebuah masalah besar yang sedang dihadapi oleh bangsa ini. Masalah utamanya adalah masyarakat secara umum yang kian hari kian tergerus dari nilai-nilai menghargai keragaman, terutama keragaman dalam

10 Balitbang Kemenag, Survei Kerukunan Umat Beragama di Indonesia (Jakarta: Badan

Litbang dan Diklat Kementerian Agama, 2015).

11 The Wahid Institute, Utang Warisan Tak Kunjung Terlunasi dalam “Laporan

Kemerdekaan Beragama/Berkeyakinan (KBB) di Indonesia Tahun 2015” (Jakarta: The Wahid Institute & Canada, 2015), 32-35.

(16)

6

beragama dan berkeyakinan. Bahkan, lebih parahnya lagi, beberapa atau bahkan sebagian besar tindakan kekerasan, intoleransi, terhadap orang yang berbeda agama atau keyakinan itu dipraktikkan dalam institusi-institusi negara termasuk di dalamnya pendidikan.12

Apa yang terjadi akhir-akhir ini, yang membuat ruang publik begitu gaduh, mulai dari adanya aksi bela Islam yang berjilid-jilid, ujaran kebencian, munculnya kelompok neo-konservatisme dalam mengendalikan opini publik, hingga fenomena bom bunuh diri. Peristiwa-peristiwa tersebut di atas sedikit banyak adalah hasil dari kesalahan dalam model pendekatan dakwah, terutama banyaknya model dakwah yang bersampul pemurnian ajaran Islam yang banyak dijalankan akhir-akhir ini.13 Pada sisi lainnya dalam dunia pendidikan, hal ini diperparah dengan adanya beberapa sekolah atau perguruan tinggi umum, yang peserta didiknya beragam secara agama atau keyakinan, ketika jam pelajaran agama tiba mereka dipisahkan sesuai dengan agama atau keyakinan mereka masing-masing.14 Padahal, sebenarnya di kalangan peserta didik banyak ditemukan bahwasannya mereka sangat santai dalam menghadapi perbedaan. Akan tetapi, dengan adanya pemisahan seperti ini, seolah-olah memberikan kesan dan menanamkan kesadaran kepada para peserta didik bahwa agama merupakan sesuatu yang memisahkan manusia.

Peserta didik diminta mengikuti pelajaran agama yang mereka anut. Mereka yang muslim akan disediakan guru Pelajaran Agama Islam, sedangkan mereka yang

12 Arhanuddin Salim dkk, Mozaik Kajian Islam di Indonesia (Jakarta: PT Pustaka

Alvabet, 2018), 242.

13Ibid, 243.

14 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

(17)

7

Kristen/Katolik akan diberikan guru Pelajaran Agama Kristen/Katolik, dan seterusnya. Sehingga kemudian agama akan lebih banyak dikenal peserta didik sebagai garis-garis pemisah atau kotak-kotak pengelompokan. Sehingga ketaatan pada Pelajaran Agama lebih dituntut daripada sebuah pemahaman. Maka lebih jelasnya pelajaran agama diberikan secara doktriner.15 Dalam hal ini, memperoleh pendidikan agama yang diyakini tentu saja sangat penting dan juga merupakan sebuah hak. Akan tetapi, melulu memperoleh pelajaran agama sendiri, dan mengabaikan serta bahkan menyingkirkan pengetahuan mengenai agama dan kepercayaan orang lain, maka hanya akan membentuk individu-individu yang selalu merasa benar sendiri, mudah berprasangka, tertutup, sulit bekerja sama dengan orang lain, dan seterusnya.16

Masalah dakwah yang juga penting adalah ketika negara dengan kebijakannya justru ikut melakukan pelanggaran terhadap hak-hak kebebasan warga negara dalam hal kebebasan beragama, seperti halnya Suku Samin dan penghayat aliran kepercayaan lainnya yang dipaksa memilih salah satu agama yang diakui oleh negara sebagai prasyarat untuk mendapatkan kartu tanda penduduk.17 Selain itu, tantangan dalam dakwah multikultural ini terletak pada menjamurnya fanatisme umat terhadap pendapat pribadi atau kelompoknya, sehingga menolak pendapat pihak lain yang di luar jamaah atau afiliasinya.

15 Hairus Salim, “Pendidikan Agama-Agama dan Etika di Perguruan Tinggi” dalam Nina

Mariana Noor (edt.), Manual Etika Lintas Agama untuk Indonesia (Geneva: Globethicts.net, 2015), 32.

16Ibid.

17 Ahmad Baso, NU Studies Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan

(18)

8

Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah upaya untuk melakukan pembaruan dalam model pendekatan dakwah. Pembaruan secara strategis termasuk di dalamnya konsep dan teknis harus selalu digaungkan secara terus-menerus, mengingat masyarakat adalah kelompok manusia yang sangat dinamis dan unik. Ditambah lagi dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang tidak bisa terelakkan. Maka dibutuhkan konsepsi pendekatan dakwah yang menjadikan masyarakat berkarakter terbuka, toleran, inklusif, dan pluralis. Tentu saja semua ini tidak mudah, akan begitu banyak rintangan dan halangan yang bisa saja menjerat ide tentang pembaruan model pendekatan dakwah saat ini.

Agar tercipta suasana yang damai, tentram, dan adil dalam kehidupan beragama maka diperlukan dakwah yang relevan dengan konteks keindonesiaan yang multikultur ini. Sehingga menurut ‘Abas Mahmud dalam Alwi Syihab, Islam dapat diterima dan berkembang dengan baik di Nusantara yang mayoritas penduduknya sudah mempunyai kepercayaan lain, dikarenakan faktor keteladanan yang baik dari subjek dakwah. sehingga di penjuru Nusantara terdapat banyak sekali bukti bahwa keteladanan yang baik dapat menjadikan faktor penentu dalam penyebaran Islam, bukan dengan perang atau bentuk kekerasan lain.18 Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh A.H. Johns bahwa faktor yang menjadi penentu kesuksesan dalam berdakwah di Nusantara yang multikultural ini adalah penggunaan seni, adat istiadat, dan tradisi kebudayaan setempat yang merupakan kecenderungan subjek dakwah yang beraliran sufistik yang banyak mengedepankan

18 Alwi Syihab, Islam Sufistik: Islam Pertama dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia

(19)

9

unsur-unsur setempat yang merupakan keunggulan metode dakwah yang dikembangkan di Nusantara.19

Dakwah dengan pendekatan multikultural ini kemudian diadopsi oleh sosok yang cukup elaboratif dalam menggali dan mengembangkan nilai-nilai kerukunan dan toleransi dalam Islam adalah K.H. Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur. Mantan orang nomor satu di Republik Indonesia ini tak hanya memberikan perspektif baru dalam dunia dakwah, akan tetapi juga memberikan perhatian yang cukup terhadap upaya-upaya membangun toleransi dan kebersamaan, tak hanya dalam konteks keindonesiaan, akan tetapi juga sampai pada ranah internasional. Kiprahnya dalam ranah kemanusiaan, demokrasi, hak asasi manusia, perdamaian, dan toleransi tidak hanya diakui oleh masyarakat Indonesia saja, akan tetapi masyarakat, lembaga, dan instansi internasional di seluruh penjuru dunia. Akan tetapi sebagai seorang manusia Gus Dur tentu kerap kali mengundang pro kontra atas pemikiran dan eksistensinya tersebut.

Hal tersebut dikarenakan Gus Dur memiliki pola pikir serta tindakan yang tidak mudah ditafsirkan oleh kebanyakan orang, baik oleh warga NU sendiri, umat Muslim pada umumnya, dan umat-umat agama maupun aliran kepercayaan lainnya, ataupun oleh orang-orang yang memang secara pemikiran, tindakan, maupun sikap politik kontra dengan Gus Dur. Inilah yang membuat pemikiran dan kiprah dakwah multikulturalnya terutama terkait dengan toleransi belum begitu banyak dipahami oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Menurut Agus Maftuh ibarat sebuah

19 A.H. Johns, “Muslim Mystics and Historical Writing”, dalam D.G.E. Hall (ed.),

(20)

10

teks, pemikiran dan tindakan Gus Dur tentu banyak dibaca, diamati, dan ditafsirkan banyak orang. Akan tetapi memahami Gus Dur tentu saja tidak bisa lepas dari yang tampak secara kasatmata saja. Berbagai macam peristiwa yang dialami Gus Dur sejak menjadi santri di pondok pesantren hingga menjadi orang nomor satu di Istana, merupakan sebuah potongan bingkai-bingkai perjuangan yang dilalui dengan kesabaran dan kebijaksanaan. Proses yang menyertai kehidupannya tentu saja tidak tunggal, pasti ada banyak sekali faktor yang memengaruhi sehingga sebuah pemikiran, tindakan, ucapan, maupun sikap politiknya dapat dipahami dengan baik.20

Menjelang kepergiannya menghadap Sang Khalik, Gus Dur tetap berusaha untuk tetap konsisten dan totalitas dalam menuangkan ide-idenya melalui lisan maupun tulisan, dengan terus menampakkan sisi kontroversialnya kepada siapa pun yang dianggapnya tidak bijak. Pasca lengsernya dari jabatan orang nomor satu di Tanah Air, Gus Dur selalu berupaya tetap konsisten dengan sikap dan perjuangannya dengan melakukan internalisasi nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Gus Dur juga tetap terus menyuarakan pentingnya hidup rukun berdampingan dalam kemajemukan masyarakat, mewujudkan hidup yang penuh dengan kedamaian dan menentang kekerasan dan segala bentuk intoleransi.

Dakwahnya tentang kerukunan dan kebersamaan yang merupakan prasyarat terwujudnya kedamaian, telah menjadi perhatian Gus Dur sejak tahun 1975. Dalam

20 Agus Maftuh Abegebriel, “Mazhab Islam Kosmopolitan Gus Dur”, dalam

Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan

(21)

11

salah satu tulisannya yang berjudul “Menjadikan Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan”, Gus Dur mengungkapkan bahwasannya Islam bukanlah sesuatu yang statis. Ajaran agama Islam bukan sesuatu yang sekali jadi sehingga tidak membutuhkan reformulasi maupun reaplikasi. Sederhananya pengembangan hukum Islam pada dasarnya harus selalu ditafsirkan berdasarkan perubahan zaman dan secara kontekstual. Tulisan inilah yang kemudian menjadi panduan bagi reinterpretasi hukum Islam pada masa kini dan masa yang akan datang. Prinsip-prinsip universalisme Islam yang berpijak pada asas kerukunan, kebersamaan, memperjuangkan keadilan, serta menolak berbagai atribut dan tindakan diskriminatif serta kekerasan yang menjadi pertimbangan mendasar dalam mengambil keputusan hukum. Pijakan inilah yang kemudian menjadi prinsip bagi pergumulan mendasar Gus Dur mengenai respons Islam terhadap modernitas dan pentingnya dialog peradaban dalam rangka membangun kehidupan berbangsa yang penuh dengan kerukunan dan perdamaian.21

Kemudian hadirnya jaringan Gusdurian yang merupakan cerminan dari nilai-nilai utama Gus Dur yang salah satunya adalah perdamaian dianggap sangat perlu sekali dirawat dan dikembangkan. Mengingat dalam konteks kekinian banyak sekali gesekan antar berbagai kelompok agama yang kemudian berdampak pada ketidakharmonisan hubungan antara berbagai macam kelompok agama yang ada. Sehingga berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka menurut hemat penulis maka sangat penting sekali mengangkat judul penelitian mengenai “Dakwah

21 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi

(22)

12

Multikultural Gerakan Gusdurian Surabaya” mengingat gerakan ini banyak aktif berperan dalam dialog antar iman dan berbagai kegiatan lintas iman lainnya. Selian itu juga di dalam komunitas Gerakan Gusdurian Surabaya ini anggotanya sangat heterogen yang mempunyai latar belakang budaya dan agama yang berbeda. Akan tetapi bisa guyup rukun bekerja sama dalam menciptakan masyarakat yang toleran dan selalu menjaga perdamaian.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah konsep dakwah multikultural gerakan Gusdurian Surabaya? 2. Bagaimanakah tafsir makna multikultural dalam dakwah multikultural

gerakan Gusdurian Surabaya?

3. Bagaimanakah upaya-upaya dakwah multikultural yang dilakukan gerakan Gusdurian Surabaya?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mendeskripsikan, menjelaskan, dan mengetahui konsep dakwah multikultural gerakan Gusdurian Surabaya.

2. Untuk mendeskripsikan, menjelaskan, dan mengetahui tafsir makna multikultural dalam dakwah multikultural gerakan Gusdurian Surabaya. 3. Untuk mendeskripsikan, menjelaskan, dan mengetahui upaya-upaya

(23)

13

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi civitas akademik baik secara teoritis maupun praktis:

1. Manfaat Teoritis

a. Diharapkan kegunaan penelitian bagi pengembangan ilmu komunikasi diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran mengenai konsep pembaruan model pendekatan dakwah yang sesuai dengan kebutuhan dan konteks keindonesiaan maupun kekinian, sehingga kemudian dapat diterapkan maupun sebagai bahan kajian dari komunikasi penyiaran Islam.

b. Memupuk pola yang mendasar bagaimana upaya-upaya dakwah multikultural yang berbasis kelompok atau komunitas.

c. Sebagai bahan acauan bagi mahasiswa yang berminat mengadakan penelitian lebih lanjut dan sebagai data dasar bagi perkembangan model pendekatan dakwah guna terciptanya masyarakat yang bersinergi dan harmoni.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan dan pertimbangan dalam penerapan, pengembangan dan peningkatan model pendekatan dakwah multikultural pada jaringan Gusdurian khususnya Gerakan Gusdurian Surabaya.

(24)

14

Untuk memberikan wawasan yang lebih luas mengenai model pendekatan dakwah yang sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi masyarakat.

c. Bagi Peneliti

Bagi peneliti sendiri dengan adanya penelitian ini, diharapkan mampu untuk menambah wawasan keilmuan khususnya bidang ilmu komunikasi serta sebagai wujud pengamalan Tri Darma Perguruan Tinggi.

E. Definisi Konseptual

Definisi konseptual dimaksudkan untuk menghidari kesalahan

pemahaman dan perbedaan penafsiran yang berkaitan dengan istilah-istilah dalam judul. Dengan demikian definisi konseptual dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Dakwah

Menurut etimologi dakwah berasal dari Bahasa Arab yang berarti panggilan atau ajakan. Sedangkan arti kata dakwah secara istilah menurut Hamzah Yaqub adalah sebuah ajakan kepada umat manusia dengan hikmah kebijaksanaan untuk mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya.22 Sedangkan menurut Thoha Yahya Omar dakwah berarti mengajak manusia dengan cara kebijaksanaan untuk menuju ke jalan yang benar sesuai dengan perintah Allah, demi kesejahteraan dan

(25)

15

kebahagiaan di dunia dan akherat.23 Hal tersebut senada dengan apa yang disampaikan oleh Abu Bakar Aceh yang mengemukakan bahwa dakwah merupakan perintah untuk mengajak kepada sesama manusia untuk kembali dan hidup di jalan Allah dengan cara bijaksana dan nasihat yang baik.24

Berdasarkan beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwasannya dakwah yang dimaksud dalam penelitian ini ialah sebuah aktivitas mengajak manusia untuk melaksanakan perintah Tuhan, menuju jalan kebaikan dan menjauhi segala larangan Allah dan Rasul-Nya.

2. Multikultural

Sedangkan multikultural berasal dari gabungan dua kata yaitu multi yang berarti banyak atau beragam, dan kultural yang berarti budaya atau kebudayaan. Dalam cacatan M. Ainul Yakin, banyak sekali ilmuwan dunia yang memberikan definisi kultural. Antara lain E. B. Taylor (1832-1917) dan L.H. Morgan (1818-1881) yang mengartikan kultural sebagai sebuah budaya yang universal bagi manusia dalam berbagai macam tingkatan yang dianut oleh seluruh anggota masyarakat. Emile Durkheim (1858-1917) dan Marcel Maus (1872-1950) mengungkapkan bahwa kultural sekelompok masyarakat yang menganut sekumpulan simbol-simbol yang mengikat di dalam

23 M. Ali Aziz, Ilmu Dakwah (Jakarta: Kencana, 2009), 13. 24Ibid.

(26)

16

sebuah masyarakat untuk diterapkan. Dan Mary Douglas (1921) dan Cliffort Geertz (1926-2006) berpendapat bahwa kultural merupakan sebuah cara yang dipakai oleh seluruh anggota dalam suatu kelompok masyarakat untuk memahami siapa diri mereka dan untuk memberi arti pada kehidupan mereka.25 Sehingga dapat disimpulkan bahwa kultural atau budaya pada dasarnya adalah semua wujud dialektika manusia terhadap pola hidupnya sehari-hari.26

Dari beberapa definisi di atas dapat dikembangkan pemahaman dan pemaknaan terhadap multikultural. Menurut Abdullah, multikultural adalah sebuah konsep yang menekankan pada kesenjangan dan kesetaraan budaya-budaya lokal dengan tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang ada, dengan kata lain multikultural memiliki penekanan utama pada kesetaraan budaya.27 Bhiku Parekh dalam bukunya Rethinking Multikulturalism dengan sederhana menjelaskan bahwa multiltural adalah sebuah kenyataan akan adanya keanekaraman kultural.28 Alo Liweri mengungkapkan bahwa multikultural merupakan suatu konsep atau situasi-kondisi masyarakat yang tersusun dari banyak kebudayaan.29 Sedangkan Nanih dan

25 M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, Cross-Cultural Understanding untuk

Demokrasi dan Keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), 27-28.

26 Ali Maksum, Pluralisme dan Multikulturalisme (Malang: Aditya Media Publishing,

2011), 143.

27 Ngainun Naim & Ahmad Syauqi, Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi

(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), 125.

28 Benyamin Molan, Multikulturalisme: Cerdas Membangun Hidup Bersama yang Stabil

dan Dinamis (Jakarta: PT. Indeks, 2015), 29.

29 Alo Liweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta: LKiS,

(27)

17

Ahmad Syafei mengungkapkan bahwa Multikultural adalah suatu konsep di mana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui keberagaman, perbedaan, dan kemajemukan budaya, baik ras, suku, etnis, dan agama.30

Menurut Pierre L. Van Berghe masyarakat multikultural mempunyai beberapa ciri-ciri yang mencolok diantaranya masyarakat yang terbagi dalam segmentasi bentuk kelompok-kelompok latar budaya dan sub-budaya yang berbeda, memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga atau instansi yang bersifat nonkomplementer, kurangnya kesadaran mengemban konsensus sehingga relatif sering menumbuhkan konflik antarkelompok sub-budaya yang ada, konflik dengan mudah dihindari, integrasi sosial yang mudah terjadi, dan adanya dominasi politik kelompok satu atas kelompok yang lain dalam berbagai hal.31

Sedangkan menurut Parsudi Suparlan yang membedakan antara masyarakat plural dan multikultural, pada dasarnya adalah masyarakat plural lebih mengacu pada suatu tatanan masyarakat yang di dalamnya terdapat berbagai unsur masyarakat yang memiliki ciri-ciri budaya yang berbeda satu sama lain. Masing-masing unsur relatif hidup dalam dunianya sendiri, bahkan kadang corak hubungan tersebut dominatif dan diskriminatif. Sedangkan masyarakat multikultural adalah suatu

30 Nanih Mahendrawati dan Ahmad Syafei, Pengembangan Masyarakat Islam: Dari

Ideologi, Strategi sampai Tradisi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), 34.

(28)

18

tatanan masyarakat yang mempunyai ciri berupa interaksi yang aktif di antara unsur-unsurnya melalui proses belajar. Kedudukan dalam unsur-unsur tersebut berada dalam posisi yang setara, demi terwujudnya keadilan di antara berbagai macam unsur yang saling berbeda.32 Dapat ditarik kesimpulan bahwa plural berbicara tentang kemajemukan, sedangkan multikultural berbicara mengenai upaya menata kemajemukan itu.

3. Dakwah Multikultural

Berdasarkan definisi di atas maka yang dimaksud dengan Dakwah Multikultural adalah merupakan sebuah aktivitas ajakan atau seruan kepada jalan Allah melalui usaha-usaha pendekatan karakter budaya suatu masyarakat sebagai kunci utama untuk memberikan pemahaman dan mengembangkan model pendekatan dakwah.33

Secara teoritik, solusi masalah dakwah pada masyarakat yang rentan konflik dapat ditempuh melalui pendekatan antarbudaya, yaitu sebuah proses dakwah yang mempertimbangkan keragaman budaya antara subjek dakwah dan mitra dakwah, dan keragaman penyebab terjadinya gangguan interaksi pada tingkat antarbudaya, supaya peran budaya dan peran dakwah dapat tersampaikan dengan tetap terpeliharanya situasi damai.34

32 Masyaruddin, “Mendesain Pendidikan Agama Multikultural”, dalam Jurnal Addin,

STAIN Kudus 2006, 24.

33 Acep Aripudin, Dakwah Antarbudaya (Bandung: Rosdakarya, 2012), 19. 34Ibid, 25.

(29)

19

Berdasarkan beberapa definisi yang sudah dipaparkan di atas maka yang dimaksud dakwah secara multikultural dalam konteks penelitian ini dapat dipahami bahwa dakwah tidak hanya sebagai sebuah proses transformasi nilai-nilai Islam yang baik kepada masyarakat di bumi. Akan tetapi, lebih mengutamakan kesadaran nurani supaya tetap mengusung setiap budaya positif secara kritis tanpa terbelenggu oleh latar belakang budaya formal suatu masyarakat. Sehingga kemudian diharapkan dapat menciptakan masyarakat yang guyup, rukun, damai, dan saling menghargai satu sama lain.

F. Penelitian Terdahulu

Dalam penelitian ini tentu saja banyak menggunakan beberapa rujukan dalam bentuk skripsi, tesis, disertasi, jurnal, dan hasil penelitian-penelitian lain terdahulu yang relevan sehingga dapat dijadikan acuan dan perbandingan dalam penulisan tesis ini. Hasil telaah penelitian terdahulu tersebut diantaranya sebagai berikut:

Pertama, Siti Mu’jizah dalam penelitiannya mengkaji tentang Dakwah

Multikultural dengan judul “Gerakan Dakwah Multikultural (Studi Gerakan K.H.

Nuril Arifin Husein)”. Hasil penelitiannya menjelaskan tentang konsep dakwah multikultural Gus Nuril sangat mengakui serta menghormati eksistensi berbagai budaya dan agama yang berbeda. Gerakan dakwah multikultural yang dilakukan dalam berdakwah oleh K.H. Nuril Arifin Husein merupakan upaya untuk mensejahterakan masyarakat. Dakwah Multikultural yang dilakukan oleh K.H. Nuril Arifin Husein ini memiliki dua model yakni pendekatan budaya sebagai solusi

(30)

20

bagi masyarakat untuk dapat hidup rukun dan berdampingan antar umat beragama. Dan pendekatan sosial sebagai upaya mengatasi problem-problem kemanusiaan secara bersama.35

Kesamaan:

Konsep penelitian yang diambil adalah mengenai Dakwah Multikultural. Perbedaan:

Penelitian ini lebih berfokus pada Dakwah Multikultural yang dilakukan oleh individu atau personal, sedangkan penelitian yang akan dilakukan lebih pada kelompok atau komunitas masyarakat sebagai subjek dakwah.

Kedua, Zainol Huda dalam penelitiannya mengkaji mengenai Dakwah Islam Multikultural dengan Judul “Dakwah Islam Multikultural (Metode Dakwah Nabi

Muhammad SAW Kepada Umat Agama Lain)”. Hasil penelitiannya menjelaskan tentang metode dakwah yang digunakan Nabi meliputi metode dialog, metode kisah, dan metode analogi. Metode-motode tersebut diterapkan Nabi melalui nilai akhlak dalam berdakwah. Nilai ini menjadi kunci utama keberhasilan dalam mendakwahkan Islam kepada masyarakat multikultural.36

Kesamaan:

Tema kajian yang teliti mengenai dakwah Islam Multikultural. Perbedaan:

Penelitian terdahulu lebih berfokus pada metode dakwah kepada umat agama lain, sedangkan dalam penelitian ini lebih berfokus pada pendekatan

35 Siti Mu’Jizah, Gerakan Dakwah Multikultural (Studi Gerakan K.H. Nuril Arifin

Husein) (Semarang: UIN Walisongo, 2016).

36 Zainol Huda, Dakwah Islam Multikultural (Metode Dakwah Nabi Muhammad SAW

(31)

21

dakwah yang multikultural yang bisa diterima oleh semua latar belakang agama maupun aliran kepercayaan.

Ketiga, Rosidi dalam penelitiannya mengkaji mengenai Dakwah Multikultural dengan judul “Dakwah Multikultural di Indonesia: Studi Pemikiran dan Gerakan

Dakwah Abdurrahman Wahid”. Hasil penelitiannya menjelaskan tentang penguraian pendekatan, metode, pemikiran dan gerakan dakwah multikultural Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mendakwahkan Islam dengan ramah, damai menghargai perbedaan dan memperjuangkan hak-hak kultural setiap warga negara sebagai perwujudan dari Islam rahmatan lil ‘alamin.37

Kesamaan:

Tema kajian yang dibahas mengenai Dakwah Multikultural. Perbedaan:

Pada penelitian terdahulu yang bertindak sebagai subjek dakwah adalah seorang tokoh individu, sedangkan dalam penelitian ini yang menjadi subjek dakwah adalah sebuah komunitas.

Keempat, Saifullah dalam penelitiannya mengkaji Dakwah Multikultural di Pesantren dengan judul “Dakwah Multikultural Pesantren Ngalah dalam Meredam

Rdikalisme Agama”. Hasil penelitiannya menjelaskan tentang Pesantren Ngalah yang memiliki kedekatan dengan komunitas lintas agama, bahkan Kiai Sholeh sebagai Pengasuh Pesantren sudah dua kali menggagas forum kerukunan antarumat beragama melalui seminar kebangsaan yang melibatkan tokoh-tokoh lintas agama

37 Rosidi, Dakwah Multikultural di Indonesia: Studi Pemikiran dan Gerakan Dakwah

(32)

22

se-Indonesia. Kemudian juga gerakannya juga mendapat apresiasi dari pimpinan pendeta se Asia-Afrika termasuk pendeta dari Jerman atas inisiatif yang sudah dilakukan selama ini dalam menjalin kerukunan antarumat beragama di Indonesia.38

Kesamaan:

Tema kajian yang dibahas dalam penelitian adalah Dakwah Multikultural. Perbedaan:

Pada penelitian terdahulu yang bertindak sebagai aktor atau subjek dakwah adalah sebuah lembaga pendidikan Islam (Pesantren), sedangkan dalam penelitian ini yang bertindak sebagai aktor atau subjek dakwah adalah sebuah komunitas yang berbasis nilai-nilai keIslaman.

Kelima, Suci Rochmawati Putri dan Oksiana Jatiningsih dalam penelitiannya mengkaji mengenai Nilai-nilai Multikultural dengan judul “Implementasi

Nilai-nilai Multikultural Oleh Jaringan Gusdurian pada Masyarakat Surabaya”. Hasil penelitiannya menjelaskan mengenai jaringan Gusdurian mengimplementasikan nilai multikultural pada masyarakat Surabaya melalui kegiatan-kegiatan sosial. Tujuannya untuk mengurangi terjadinya konflik di masyarakat, sehingga terwujud masyarakat yang damai dan sejahtera. Keberhasilan jaringan Gusdurian dalam mengimplementasikan nilai-nilai multikultural dilihat dari aspek sosial yaitu membangun interaksi yang baik dengan masyarakat Surabaya.39

38 Saifullah, Dakwah Multikultural Pesantren Ngalah dalam Meredam Radikalisme

Agama (Pasuruan: Universitas Yudharta, 2014).

39 Suci Rochmawati Putri dan Oksiana Jatiningsih, Implementasi Nilai-Nilai Multikultural

Oleh Jaringan Gusdurian pada Masyarakat Surabaya (Surabaya: Jurnal Kajian Moral dan Kewarganegaraan Volume 06 Nomor 01 Jilid 1, 2018), 121-135.

(33)

23

Kesamaan:

Aktor yang diteliti dalam penelitian adalah Jaringan Gusdurian yang berbasis di Surabaya.

Perbedaan:

Penelitian terdahulu lebih berfokus pada penanaman nilai-nilai multikultural pada masyarakat, sedangkan dalam penelitian ini nilai-nilai multikultural digunakan sebagai model pendekatan dakwah.

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Metode penelitian sangat penting untuk penelitian yang bersifat ilmiah, dengan adanya metode penelitian diharapkan dapat mempertanggung jawbakan hasil penelitian, sehingga dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan yang berfokus pada makna individual, dan menerjemahkan kompleksitas suatu persoalan.40

Jenis penelitian tersebut sengaja peneliti pilih dikarenakan peneliti bermaksud mendalami proses dakwah oleh gerakan gusdurian Surabaya secara mendalam. Kemudian peneliti mendapatkan data yang diperlukan sesuai dengan sasaran penelitian. Selain itu juga data yang peneliti peroleh bisa lebih

40 John W. Creswell, Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed

(34)

24

komprehensif dibandingkan dengan menggunakan jenis penelitian kuantitatif. Dengan jenis penelitian ini maka diharapkan peneliti dapat memperoleh data yang dapat menjawab rumusan masalah yang peneliti sajikan.

Hal tersebut dikarenakan penelitian kualitatif memandang bahwasannya setiap individu, budaya, latar adalah unik dan penting dimunculkan ke permukaan. Jika perlu dilakukan generalisasi, maka harus tergantung pada konteksnya. Penelitian kualitatif bersifat luwes, dapat dikembangkan lebih luas atau dinegosiasikan tetapi tanpa ada intervensi. Serta penelitian kualitatif ini banyak mengandalkan kemampuan peneliti untuk mengamati dan berinteraksi dengan informan atau subjek penelitian.41

Penelitian kualitatif dalam tesis yang peneliti tulis bertujuan untuk mendeskripsikan atau memberikan gambaran dengan cermat terkait proses dakwah multikultural gerakan Gusdurian Surabaya. Peneliti dituntut untuk terjun langsung ke lapangan dalam proses penggalian data yang dibutuhkan, selain itu juga berperan sebagai partisipan dalam penelitian. Tingkat analisis yang tersaji dalam penelitian ini berupa teks deskriptif yang menyajikan fakta yang terdapat dalam fenomena atau peristiwa secara sistematis, sehingga memudahkan untuk dipahami dan disimpulkan.

Dilaksanakannya penelitian kualitatif ini, dikarenakan penelitian ini dimaksudkan untuk memahami fenomena tentang apa yang dilakukan oleh subjek penelitian terkait perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain.

41 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Rosda Karya, 2008),

(35)

25

Dalam penelitian ini pula terdapat dua pendekatan kualitatif, yaitu observasi terlibat dan penelitian tindakan partisipatif.42

Dalam konteks penelitian ini, gerakan gusdurian Surabaya berperan sebagai subjek dakwah dengan pendekatan multikultural. Sedangkan data dari jenis penelitian ini diperoleh dari semua pihak yang terlibat. Selain itu juga pengumpulan data dari berbagai sumber yang dianggap valid. Sehingga dalam penelitian ini peneliti melibatkan koordinator, penggerak aktif, serta simpatisan Gerakan Gusdurian Surabaya sebagai informan.

2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Gerakan Gusdurian Surabaya yang mempunyai sekretariat di Ruko Pengampon Square Blok H – 17 Jl. Pengampon Surabaya. Akan tetapi untuk cakupan wilayah penelitiannya, mencakup wilayah Kota Surabaya dan sekitarnya, yang merupakan tempat Gerakan Gusdurian Surabaya melakukan aktivitas dan kegiatannya. Gusdurian termasuk dalam komunitas yang menyuarakan hidup rukun berdampingan dan saling toleransi, sehingga mempermudah peneliti dalam melaksanakan penelitian. Waktu penelitian ini akan berlangsung pada bulan Januari sampai dengan Mei tahun 2020.

3. Pemilihan Subjek Penelitian

Suharsimi menyebutkan bahwa subjek penelitian merupakan sesuatu yang kedudukannya sentral dikarenakan pada subjek penelitian itulah data tentang

42 Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (Yogya: PT. Tiara Wacana, 2001),

(36)

26

penelitian berada dan diamati oleh peneliti. Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data diperoleh. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan wawancara, observasi dan dokumentasi dalam mengumpulkan data, maka sumber data adalah kata-kata atau tindakan orang yang diwawancarai, sumber data tertulis dan foto. Subjek penelitian dalam penelitian ini diantaranya adalah:

a. Koordinator Gerakan Gusdurian Surabaya, mengingat beliau adalah orang yang berkedudukan sangat penting dalam sebuah komunitas. Sehingga diharapkan bisa memaparkannya dengan baik.

b. Penggerak aktif Gerakan Gusdurian Surabaya, dikarenakan mereka adalah orang-orang yang aktif berperan dalam kegiatan Gerakan Gusdurian Surabaya.

c. Simpatisan Gerakan Gusdurian Surabaya, dikarenakan sebagai salah satu mitra dakwah multikultural Gerakan Gusdurian Surabaya demi suksesnya penyampaian pesan dakwah.

Untuk lebih detailnya, subjek penelitian ini peneliti paparkan dengan jelas melalui tabel di bawah ini:

No. Nama Jenis Kelamin Keterangan

1. Yuska Harimurti Laki-laki Koordinator

2. Achmad Roni Laki-laki Penggerak Aktif

3. Nugroho Soetijono Laki-laki Penggerak Aktif

4. Nur Faika Perempuan Penggerak Aktif

5. Hawa Hidayatul Perempuan Penggerak Aktif

6. Nikmatus S. Perempuan Penggerak Aktif

(37)

27

8. Rachmat Ali Muchtar Laki-laki Simpatisan

9. Muhammad Holili Laki-laki Simpatisan

10. Yusril al-Falah Rilando Laki-laki Simpatisan

11. Aldi Oktavian Putra Laki-laki Simpatisan

12. Vika Wahyu Agustin Perempuan Simpatisan

13. Afifah Reza Ash Khar Perempuan Simpatisan

14. Diana Firnanda Perempuan Simpatisan

15. Siti Nur Wahyu Ningsih Perempuan Simpatisan

16. Puji Lestari Perempuan Simpatisan

17. Ainun Ma’rifa Perempuan Simpatisan

18. Roudhotul Chasanah Perempuan Simpatisan

19. Khonsa’ Dliyaul Awliya’ Perempuan Simpatisan

Tabel 1.1. Subjek Penelitian

Pemilihan subjek penelitian ini dilakukan dengan teknik purposive sampling. Teknik ini digunakan untuk mendapatkan subjek penelitian yang tepat dan sesuai dengan tujuan penelitian. Pertimbangan lain dalam pemilihan subjek adalah subjek memiliki waktu apabila peneliti membutuhkan informasi untuk pengumpulan data dan dapat menjawab berbagai pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan.

4. Tahap-tahap Penelitian

Penelitian ini dibagi menjadi empat tahapan penelitian yang sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Kirk dan Miller yaitu: tahap invention, discovery,

interpretation, dan konclusi. Untuk mengetahui dan mengeksplorasi tentang “Dakwah Multikultural Gerakan Gusdurian Surabaya”. Peneliti akan menjelaskannya lebih rinci sebagai berikut:

(38)

28

Tahap pra lapangan merupakan sebuah pengenalan untuk memperoleh gambaran awal mengenai latar belakang penelitian dengan menggunakan panduan observasi. Adapun tahapan-tahapan yang berhasil diidentifikasi oleh peneliti adalah sebagai berikut:

1.) Menyusun rancangan penelitian. 2.) Memilih lapangan penelitian. 3.) Mengurus surat perizinan.

4.) Menjajaki dan menilai keadaan lapangan. 5.) Memilih dan memanfaatkan informan.

6.) Menyiapkan perlengkapan penelitian seperti alat tulis dan recorder serta handphone.

Tahap ini dilakukan sejak mulai pertama kali atau sebelum terjun ke lapangan guna sebagai langkah awal dan penggalian informasi. Dalam penelitian ini peneliti menggali infromasi yang akurat serta mendalam mengenai “Dakwah Multikultual Gerakan Gusdurian Surabaya”.

b. Tahap Pekerjaan Lapangan (Discovery)

Dalam tahap ini peneliti mulai memasuki lapangan untuk meninjau, melihat, mengamati, serta memantau fenomena terkait Gerakan Gusdurian Surabaya melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:

1.) Permohonan izin kepada Koordinator Gerakan Gusdurian

Surabaya.

(39)

29

Tahap pengumpulan data, dalam tahap ini peneliti memegang peranan sangat penting karena pada penelitian ini peran aktif dan juga kemampuan peneliti dalam mengumpulkan data sangat diperlukan. Tahap ini dilakukan dengan: Observasi terlibat, interview, atau wawancara mendalam dan dokumentasi.

Proses pencarian data di lapangan dengan menggunakan alat pengumpulan data yang telah disediakan secara tertulis, rekaman, ataupun dokumentasi.43 Perolehan data pada proses tersebut kemudian dicatat dengan teliti termasuk di dalamnya argumen atau komentar informan sebagai objek penelitian.

c. Tahap analisis data (Interpretation)

Pada tahap ini peneliti melakukan teknik analisis data yang diperoleh selama penelitian berlangsung atau selama peneliti berada di lapangan. Peneliti melakukan analisis terhadap beberapa jenis data yang didapatkan melalui observasi dan wawancara. Sehingga tahap ini peneliti gunakan untuk mengkonfirmasi kembali data yang didapatkan di lapangan dengan teori yang digunakan. Setelah peneliti mengumpulkan data, dalam tahap ini peneliti akan menganalisa dan mengelompokkan data-data yang dianggap sesuai dengan judul “Dakwah Multikultural Gerakan Gusdurian Surabaya”.

d. Tahap penyelesaian / penulisan laporan (Konclusi)

43 Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta,

(40)

30

Setelah peneliti menganalisis data-data yang dianggap sesuai dengan judul “Dakwah Multikultural Gerakan Gusdurian Surabaya”. Maka peneliti mulai pada tahap penulisan laporan. Dalam penulisan laporan penelitian, peneliti akan mengacu pada pedoman tesis yang telah ditetapkan oleh prodi. Tahap penulisan laporan merupakan tahap akhir dari penelitian, pada tahap ini peneliti memiliki pengaruh terhadap hasil penulisan laporan. Peneliti percaya bahw laporan yang sesuai dengan prosedur penulisan tesis akan menghasilkan kualitas yang baik terhadap hasil penelitian.

Berikut tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penyelesaian / penulisan laporan yang diantaranya meliputi:

1.) Menyusun kerangka laporan hasil penelitian.

2.) Menyusun laporan hasil penelitian dengan konsultasi kepada dosen pembimbing.

3.) Ujian pertanggungjawaban di hadapan dosen penguji. 5. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini ada beberapa cara agar data yang diperoleh merupakan data yang sahih atau valid, yang merupakan gambaran sebenarnya dari “Dakwah Multikultural Gerakan Gusdurian Surabaya”. Metode yang digunakan meliputi: observasi (pengamatan), wawancara (interview), dan dokumentasi.

(41)

31

Menurut Suharsimi Arikunto, observasi atau pengamatan meliputi kegiatan pemusatan perhatian pada suatu objek dengan menggunakan panca indera. Pengamatan dapat dilakukan dengan penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba dan pengecap. Pengamatan dapat pula didukung dengan tes, kuisioner, rekaman gambar, dan rekaman suara.44

Metode observasi ini penulis gunakan untuk menggali data dengan jalan pengamatan pada masalah yang terjadi dalam kehidupan. Pengamatan dilakukan sejak awal penelitian dengan mengamati keadaan fisik lingkungan maupun di luar lingkungan itu sendiri.45 Dalam teknik ini peneliti terjun langsung ke lapangan untuk melaksanakan pengamatan secara visual dengan melihat kondisi dan situasi berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Gerakan Gusdurian Surabaya.

Dalam metode ini pula peneliti menggunakannya untuk memperoleh data tentang komunitas Gerakan Gusdurian Surabaya. Untuk mendapatkan gambaran awal mengenai komunitas ini peneliti langsung terjun ke lapangan dengan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan Gerakan Gusdurian Surabaya dengan para anggotanya. Selanjutnya melalui apa yang peneliti lihat, dengar, dan rasa melalui pancaindera itulah yang menjadi data dari metode observasi ini.

b. Wawancara (interview)

44 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Sutau Pendekatan Praktek (Jakarta: Rhinneka

Cipta, 2006), 156-157.

(42)

32

Wawancara merupakan pengumpulan data yang dikumpulkan melalui wawancara terhadap key person atau yang menjadi informan dalam penelitian ini, yang disajikan dalam bentuk pertanyaan yang berkenaan dalam tema yang sesuai dengan konteks penelitian.

Peneliti menggali sebanyak mungkin data yang terkait dengan masalah subjek. Pada penelitian ini akan dilakukan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan “Dakwah Multikultural Gerakan Gusdurian Surabaya)”.46

Metode ini adalah proses tanya jawab secara lisan yang mempertemukan dua orang atau lebih dan terjadi tatap muka. Dalam konteks penelitian ini peneliti tidak hanya mengamati dari luarnya saja, akan tetapi juga menanyakan secara langsung kepada pihak yang terkait dengan proses dakwah multikultural seperti: Koordinator, penggerak aktif, dan para simpatisan.

Terdapat dua macam pedoman wawancara dalam prosedur pengumpulan data, yaitu: wawancara terstruktur dan tidak terstruktur. Dikarenakan penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, maka peneliti memilih untuk menggunakan wawancara tidak terstruktur, yaitu sebuah proses wawancara yang dalam draf pertanyaan hanya memuat garis besar permasalahan yang hendak digali. Dengan metode wawancara ini, proses wawancara dapat berlangsung sefleksibel mungkin dan proses

46 Chalid Narbuka dan Abu Ahmad, Metodologi Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara, 2003),

(43)

33

tanya-jawab akan berjalan sebagaimana percakapan dalam kehidupan sehari-hari.47

Yang diharapkan dari metode wawancara ini adalah peneliti bisa mendapatkan data-data yang shahih atau valid sesuai dengan tujuan penelitian yang sudah dijelaskan di awal. Adapun informan yang diteliti dalam penelitian ini yaitu Koordinator, Penggerak aktif, dan simpatisan Gerakan Gusdurian Surabaya.

c. Dokumentasi

Metode dokumentasi ini merupakan metode bantu dalam upaya memperoleh data. Kejadian-kejadian atau peristiwa tertentu yang dapat dijadikan atau dipakai untuk menjelaskan kondisi didokumentasikan oleh peneliti.48 Sehingga dokumentasi digunakan untuk mendapatkan data-data yang sifatnya tertulis, seperti dokumen, majalah, artikel-artikel yang terkait dengan masalah penelitian.

Suharsimi mengungkapkan bahwa dokumentasi merupakan proses pencarian data terkait sesuatu hal atau variabel termasuk cacatan transkrip, buku-buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, leger, agenda, dan lain sebagainya.49

Pertimbangan utama pengambilan metode ini adalah agar lebih mudah memperoleh data yang diperlukan dalam waktu singkat, dikarenakan biasanya data ini sudah tersusun dan tersimpan dengan baik. Teknik ini

47 Lexy Moleong, Metodologi Penelitian.., 139.

48 Irawan Suhartono, Metodologi Penelitian Sosial (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996),

70.

(44)

34

digunakan untuk memperoleh data mengenai profil komunitas, jumlah anggota, dan dokumen-dokumen lain yang ada terkait dengan penelitian ini yaitu melalui Koordinator Gerakan Gusdurian Surabaya. Dan dokumen-dokumen yang menjadi data dalam penelitian ini yaitu: Buku Saku Gusdurian Surabaya, Handbook Kelas Pemikiran Gus Dur, Literatur, Jurnal, Penelitian Terdahulu terkait Gerakan Gudurian Surabaya, dan jadwal kegiatan harian terpublikasi.

6. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses penyederhanaan data atau pengkatagorian data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Dalam penelitian ini menggunakan analisa logika komparatif abstraktif yaitu suatu logika yang menggunakan cara perbandingan, konseptualisasi, kategorisasi dan deskripsi dikembangkan atas dasar kejadian yang diperoleh ketika proses di lapangan berlangsung.50

Dalam menganalisa data digunakan analisa data kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif. Metode ini digunakan untuk menganalisa data-data yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara yang mempunyai kesamaan unsur sehingga dapat digeneralisasikan menjadi sebuah kesimpulan umum.

Analisis data kualitatif adalah analisis yang tidak memakai model matematika, model statistik dan ekonometrik ataupun model-model sejenis lainnya. Analisis data yang dilakukan terbatas pada teknik pengolahan datanya,

(45)

35

sehingga dalam hal ini sekedar membaca tabel-tabel, grafik-grafik, atau angka-angka yang tersedia kemudian dilakukan uraian dan ditafsirkan.51

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu data utama dan data pendukung. Data utama diperoleh melalui subjek penelitian, yaitu orang-orang yang terlibat langsung dalam kegiatan sebagai fokus penelitian. Sedangkan data pendukung bersumber dari dokumen-dokumen berupa catatan, rekaman, gambar, atau foto serta bahan-bahan lain yang dapat mendukung penelitian ini.

Adapun langkah-langkah analisis data adalah sebagai berikut:

a. Reduksi Data, dengan merangkum, memilih hal-hal pokok, disusun lebih sistematis, sehingga data dapat memberikan gambaran yang lebih jelas tentang hasil pengamatan dan mempermudah peneliti dalam mencari kembali data yang diperoleh bila diperlukan.

b. Penyajian Data, agar dapat melihat gambaran keseluruhan data atau bagian-bagian tertentu dari penelitian. Dengan demikian peneliti dapat menguasai data lebih mudah keakuratannya dengan cara memperoleh data itu dari sumber data lain, misalnya dari pihak kedua, ketiga, dan seterusnya dengan menggunakan metode yang berbeda-beda.

c. Menarik Kesimpulan dan Verifikasi dari Pengumpulan Data

51 Iqbal Hasan, Analisis Data Penelitian dengan Statistik (Jakarta: PT. Bumi Aksara,

(46)

36

Proses pengumpulan data bagi penelitian kualitatif harus langsung diikuti dengan pekerjaan menulis, mengedit, mengklasifikasi, mereduksi, dan menyajikan data, serta menarik kesimpulan dengan membandingkannya sebagai analisis data kualitatif.52

Dalam metode penelitian kualitatif umumnya lebih cenderung melihat proses daripada produk dari objek penelitian. Selain itu juga kesimpulan dari data kualitatif tidak berupa angka-angka, akan tetapi disajikan dalam bentuk kata-kata yang diolah mulai dari mengedit sampai menyajikan dalam keadaan ringkas dikerjakan di lapangan.

7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Teknik pemeriksaan keabsahan data merupakan faktor yang menentukan dalam penelitian kualitatif untuk memperoleh kemantapan validitas data. Dalam penelitian ini peneliti memakai keabsahan data sebagai berikut:

a. Perpanjangan Pengamatan

Dengan perpanjangan pengamatan berarti peneliti kembali terjun ke lapangan untuk melakukan pengamatan, wawancara lagi dengan informan yang pernah maupun baru ditemui. Melalui perpanjangan pengamatan ini tentu saja hubungan peneliti dengan narasumber akan semakin akrab, semakin terbuka, dan saling

(47)

37

percaya satu sama lain. Sehingga dengan demikian diharapkan tidak akan ada informasi yang disembunyikan lagi.53

Dalam teknik ini digunakan dengan jalan peneliti menambah waktu studi penelitian walaupun waktu penelitian formal sudah habis, dikarenakan menurut peneliti untuk kembali terjun ke lokasi penelitian itu sendiri memerlukan waktu yang lumayan lama. Di sini dengan tujuan agar data lebih valid dan untuk mengantisipasi kesalahan dari peneliti maupun infroman dengan segala permasalahan yang disebutkan dengan perpanjangan partisipasi untuk data yang lebih valid.

b. Ketekunan Pengamatan

Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan secara lebih teliti dan berkesinambungan. Dengan cara tersebutlah maka kepastian data dan urutan peristiwa akan dapat direkan secara jelas dan sistematis. Ketekunan peneliti dalam penelitian ini adalah mengamati latar belakang dan proses dakwah multikultural.

Ketekunan pengamatan ini diperlukan sebagai sarana untuk mengecek kebenaran sebuah data yang dihasilkan di lapangan secara tekun, teliti, cermat dan seksama di dalam melakukan pengamatan supaya data yang didapatkan benar-benar mempunyai tingkat kevalidan yang tinggi.

53 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta,

(48)

38

c. Triangulasi

Dilakukan dengan menggunakan metode yang berbeda, misalnya dengan observasi, wawancara dan dokumentasi. Dengan adanya triangulai ini tidak sekedar menilai kebenaran data, akan tetapi juga dapat untuk menyelidiki validitas tafsiran penulis mengenai data tersebut, maka dengan data yang ada akan memberikan sifat yang reflektif dan pada akhirnya dengan triangulasi ini akan memberikan kemungkinan bahwa kekurangan informasi yang pertama dapat menambah kelengkapan dari data yang sebelumnya.54

Dalam triangulasi ini kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Teknik tersebut yaitu wawancara, observasi dan dokumentasi. Seperti dalam penelitian ini, apabila dalam wawancara peneliti mendapatkan informasi bahwasannya dalam proses dakwah terdapat kegiatan ngaji film. Maka peneliti mengecek dengan observasi, yaitu ikut serta dalam kegiatan ngaji film, atau dokumentasi yaitu dengan melihat bukti foto atau video yang dimiliki oleh penggerak aktif. Dengan menggunakan teknik tersebut, diharapkan dapat memperkuat validitas data. Seperti halnya data yang didapatkan peneliti mengenai kegiatan ngaji film

54 Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi “Mixed Method” (Bandung: Alfabeta, 2011),

(49)

39

yang memang benar adanya. Selain data dari wawancara, peneliti juga mengecek dengan teknik dokumentasi yang diperoleh dari penelitian terdahulu.

Tujuan akhir triangulasi ini adalah membandingkan informasi tentang hal yang sama yang diperoleh dari berbagai pihak agar ada jaminan tentang tingkat keakuratan data. Cara ini juga dapat mencegah dari anggapan maupun bahaya subjektifitas.

H. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan dalam penelitian ini secara keseluruhan terdiri atas lima bab dan beberapa sub bab lainnya yang diantaranya yaitu, meliputi:

BAB I PENDAHULUAN

Bab pendahuluan dalam penelitian ini memberikan sekilas atau gambaran tentang latar belakang masalah yang hendak diteliti. Dalam latar belakang tersebut sendiri berisi penjelasan mengenai sisi penting yang dijadikan alasan utama pengangkatan tema yang akan diteliti. Dalam bab ini peneliti juga menjelaskan tentang rumusan masalah yang akan diteliti, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Berikutnya peneliti juga menjelaskan definisi konseptual yang mana digunakan untuk meminimalisir terjadinya perbedaan penafsiran mengenai judul dalam penelitian. Pada bab ini peneliti akan menjelaskan tentang metode penelitian yang digunakan. Pada metode penelitian tersebut terdiri dari pendekatan dan jenis penelitian, lokasi dan waktu penelitian, pemilihan subjek penelitian, sumber dan jenis data, tahap-tahap penelitian, teknik pengumpulan data, analisis data, serta

(50)

40

teknik pemeriksaan keabsahan data. Dalam bab ini juga menjelaskan sistematika pembahasan yang mana sebagai gambaran sistematika penyusunan penelitian. BAB II KAJIAN PUSTAKA

Pada bab kajian pustaka ini menjelaskan bagaimana peneliti memberi gambaran tentang kerangka teoritik yang berkaitan dengan judul penelitian. Selanjutnya pada bab ini akan dijelaskan mengenai kerangka teori yang akan digunakan dalam penganalisaan masalah dan juga harus memperhatikan relevansi teori yang akan digunakan dalam menganalisis masalah.

BAB III PENYAJIAN DATA

Dalam bab penyajian data, peneliti memberi gambaran tentang data-data yang diperoleh, baik data primer maupun data sekunder. Penyajian data dibuat secara tertulis dan dapat juga disertakan gambar, tabel atau bagian yang mendukung data. Dalam bab ini berisi penjelasan tentang pelaksanaan penelitian dan pelaporan hasil penelitian yang dimulai dari pemaparan hasil temuan di lapangan sesuai dengan urutan rumusan masalah atau fokus penelitian, yaitu profil Gerakan Gusdurian Surabaya, sejarah berdirinya, visi dan misi, struktur kepengurusan, penggerak, sarana dan prasarana pendukung, jadwal kegiatan-kegiatan sehari-hari.

BAB IV ANALISIS DATA

Dan berikutnya analisis hasil penelitian dimana pada bab ini diharapkan sebagai jawaban terhadap permasalahan yang telah dirumuskan terdahulu. Pada bab tersebut peneliti akan mendeskripsikan hasil temuan di lapangan mengenai konsep dakwah multikultural Gerakan Gusdurian Surabaya, mendeskripsikan upaya-upaya Gerakan Gusdurian Surabaya dalam melakukan dakwah multikultural. Pemaparan

(51)

41

hasil penelitian tersebut peneliti wujudkan dalam bentuk analisis deskriptif. Kemudian peneliti melakukan penganalisaan data dengan menggunakan Teori

Intercultural Sensitivity Milton Bennet. BAB V PENUTUP

Dalam bab penutup dituliskan kesimpulan dari keseluruhan rangkaian pembahasan pada bab-bab terdahulu dan saran-saran bersifat konstruktif sebagai upaya peningkatan hasil penelitian ke arah yang lebih maju.

(52)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A.Kajian Dakwah Multikultural 1. Urgensi Dakwah Multikultural

Persoalannya terletak pada bagaimana cara menciptakan masyarakat yang toleran dan damai dalam beragama? Dengan pertanyaan lain upaya apa yang diperlukan agar sikap atau karakter demikian dapat berkembang di kalangan generasi muda? Jawabannya adalah dakwah multikultural. Esensi dari dakwah dengan pendekatan multikultural ini adalah sebuah pengakuan dan penghargaan terhadap perbedaan.55 Dakwah ini bergerak untuk memahami dan menerima keanekaragaman sebagai bagian dari kehidupan manusia. Di Indonesia model pendekatan dakwah multikultural sangatlah tepat dikarenakan hal ini sesuai dengan tuntutan realitas bangsa yang keanekaragaman merupakan bagian dari keberadaannya. Dalam artian kesadaran dalam mengakui perbedaan merupakan bagian dari eksistensi bangsa perlu ditumbuh-kembangkan. Menurut Jonathan Sacks inilah dasar untuk menghindari terjadinya konflik sosial.56

Penyiaran Islam yang disertai dengan argumentasi yang mendukung prinsip-prinsip toleransi, misalnya menggerakkan seseorang untuk mengambil

55 Kasdin Sihotang, “Pendidikan Multikultural untuk Masyarakat Terbuka”, Majalah

Prisma: Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi, Volume 30, 2011, hal 90-110. Lihat juga M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: Cross Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, Pilar Media, Yogyakarta, 2005, 49.

56 Jonathan Sacks, The Dignity of Diferrences: How to Avoid the Clash of Civilization

Gambar

Tabel 1.1. Subjek Penelitian.................................................................................
Tabel 1.1. Subjek Penelitian
Gambar 3.1. Bentuk Jaringan Gusdurian
Gambar 3.2. Sistematisasi Kerja Sekretariat Nasional Jaringan Gusdurian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Metode dakwah (kaifiyah al-da’wah, methode) adalah cara- cara menyampaikan, baik individu, kelompok, maupun masyarakat luas agar pesan-pesan dakwah tersebut mudah

Komponen dimaksud: pertama, kewajban berdakwah ditujukan kepada seluruh umat Islam; kedua sasaran dakwah adalah semua lapisan masyarakat; ketiga , tujuan dakwah ialah

Peneliti mencoba untuk mendeskripsikan dan menganalisa spirit nilai toleransi dan implementasi pendidikan agama Islam multikultural dalam mengembangkan kerukunan umat

Sesuai dengan namanya tugas seorang dai (muḥtasib) adalah seorang komunikator sebagai penyampai pesan dakwah (ajaran-ajaran Islam) yang disampaikan kepada mad’u

Dengan demikian, “sejarah dakwah” dapat diartikan sebagai peristiwa masa lampau umat manusia dalam upaya mereka menyeru, memanggil, dan mengajak umat manusia

dakwah dapat diartikan sebagai sebuah proses penyampaian ajaran Islam kepada umat manusia dalam bentuk amar ma’ruf nahi mungkar, dan keteladanan yang baik dalam kehidupan

Dan yang tidak kalah penting, adalah Nabi Muhammad SAW sekaligus diutus sebagai juru dakwah, untuk menyampaikan ajaran Islam kepada seluruh umat manusia dengan mengedepankan kaidah

Mahfud Ridwan dalam Mengembangkan Keharmonisan Antar Umat Beragama di Kabupaten Semarang Tahun 1984-2015 Dakwah dalam menyampaikan pesan dalam lingkungan yang plural harus memahami