• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOMUNIKASI BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER: Studi Kritis Pemikiran Ibnu Taimiyah Tentang Tazkiyah Al-Nafs

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KOMUNIKASI BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER: Studi Kritis Pemikiran Ibnu Taimiyah Tentang Tazkiyah Al-Nafs"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

EDY SAPUTRA

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Teungku Dirundeng Meulaboh Email: Asyek1989@gmail.com

Abstract

Based communication of Akhlak education is terminology used in Islamic literature related to character education. In the Islamic tradition, there are some alternatives taken in implementing moral education, one of its by the Tazkiyah al-Nafs. The study aims to describe and analyze the ideas of Ibnu Taimiyah about Tazkiyah al-Nafs and its relevance to contemporary character education. The method used in this study is a critical analytical. The results of the study are as follows: (1) the concept of human Ibnu Taimiyah which consists of two elements: the body (al-Jasad) and soul (al-Nafs). The soul is as manager to govern all human behavior and has the innate potential called "nature/fitrah". (2) The primary purpose Ibnu Taimiyah thought about Tazkiyah al-Nafs is the formation of good character through education of the soul by means of optimizing the potential of a soul (al-Nafs). (3) The thought of Ibnu Taimiyah about the iman and tauhid as a basis Tazkiyah al-nafs is very relevant to the concept of character education. Soul affect the process of thinking and attitude of a person, whereas the individual soul is strongly influenced by the value system or ideology belief, in this case Tauhid. (4) Method of Tazkiyah al-Nafs according to Ibnu Taimiyah only one, that is takwa, in accordance with the definition of a very universal takwa in the view of Ibnu Taimiyah. All methods Tazkiyah al-Nafs mentioned by Ibnu Taimiyah was part of takwa (ibadah, mujahadah, and taubat).

Keywords: Tazkiyah al-Nafs, Ibnu Taimiyah, Character Education.

PENDAHULUAN

Beberapa dekade terakhir ini, pendidikan karakter sudah menjadi topik pembicaraan yang sangat menarik dibicarakan diberbagai tempat, forum diskusi, dan media. Menurut Abudin Nata, pendidikan karakter menjadi salah satu isu penting yang mendapat perhatian yang cukup besar dari kalangan intelektual, baik di tingkat dunia maupun nasional (Nata, 2016). Di tingkat internasional, Thomas Lickona1 salah satu akademisi yang sangat konsen terhadap permasalahan karakter. Dua karya terkenal Lickona: Educaring for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility dan Character Matters: How to Help Our Children Develop Good

1

Konsep pendidikan karakter dikenalkan sejak tahun 1900-an. Namun, menurut Marzuki (2015), Thomas Lickona-lah yang dianggap mempopulerkannya, terutama ketika menulis buku berjudul “Educating for Character: How Our school Can Teach Respect and Responsibility” (1991).

(2)

Judgment, Integrity, and Other Esensial Virtues merupakan referensi yang otoritatif dan

paling banyak dirujuk dalam berbagai penelitian tentang permasalahan karakter.

Para akademisi di Indonesia, termasuk dalam ranah komunikasi juga memiliki minat yang sangat besar terhadap permasalahan karakter. Besarnya minat kajian para akademisi di Indonesia dapat dilihat dari banyaknya publikasi hasil penelitian diberbagai jurnal tentang isu ini, diantaranya: Konsepesi Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Islam (Ridwan, 2013), Pendidikan karakter Berbasis tazkiyah al-Nafs: Studi Situs di Sekolah Dasar Islam Terpadu Ar

Risalah Surakarta (Purnomo, 2013), Urgensi Pendidikan Karakter (Kosim, 2011), Pendidikan Karakter Berbasis Sunnah Nabi

(Hairuddin, 2013), dan Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dib (Husaini, 2013).

Permasalahan akhlak atau karakter sangat penting dalam Islam. Karakter merupakan cerminan keislaman seseorang. Oleh sebab itu, karakter salah satu dari tiga inti ajaran Islam, yaitu: akidah, syariah, dan karakter. Ketiga bagian tersebut tidak

dapat dipisahkan dari ajaran Islam dan saling terkait antara satu dengan yang lain. Akidah merupakan fondasi yang menjadi tumpuan dari syariah dan akhlak. Sementara itu, akhlak merupakan cerminan dari akidah dan pengamalan syariah seseorang (Marzuki, 2015; Muzakkir, 2006; M.Yusuf, 2013; Khalaf, 1971; Shihab, 1994; Shihab, 2005).

Pendidikan akhlak merupakan terminology yang digunakan dalam literatur Islam terkait pendidikan karakter. Hakikat pendidikan karakter adalah pendidikan akhlak (Ramayulis, 2013). Dalam tradisi Islam, ada beberapa artenatif yang ditempuh dalam melaksanakan pendidikan akhlak, diantaranya melalui penyucian jiwa Tazkiyah al-Nafs

yang banyak dikaji al-Ghazali dalam kitab Ihya’ul Ulumuddin. (Masyhuri, 2012;

Mohammad Muchlis Solichin, 2009; Ramayulis, 2013).

Tazkiyah al-Nafs sangat penting dalam Islam. Oleh sebab itu, permasalahan ini

menjadi perhatian para ulama dari dulu hingga sekarang. Selain al-Ghazali, Ibnu Taimiyah salah satu ulama yang mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap permasalahan ini serta menulis risalah khusus yang berjudul Tazkiyah al-Nafs. Namun,

penelitian tentang konsep Tazkiyah al-Nafs Ibnu Taimiyah, belum ada. Tidak adanya

kajian tentang konsep Tazkiyah al-Nafs Ibnu Taimiyah dikarenakan Ibnu Taimiyah

dalam catatan sajarah sangat menonjol dalam reformasi atau pembaharuan (Tajdid)

dalam bidang Fiqih dan Teologi, sehingga lebih dikenal sebagai ulama reformis dalam bidang fiqih (fuqaha) dan teologi (Ahlu Kalam) dibandingkan seorang pendidik.

Tazkiyah al-Nafs merupakan konsep pendidikan sufistik dalam upaya membangun

akhlak (Taufik, 2011). Artinya, tazkiyah al-Nafs merupakan bagian dari ajaran tasawuf.

Namun, seringkali terdengar bahwa Ibnu Taimiyah seorang yang anti dan memusuhi tasawuf. Tuduhan bahwa Ibnu Taimiyah seorang yang anti dan memusuhi s tasawuf sesuatu yang membutuhkan kajian yang mendalam. Oleh karena itu, perlu untuk diketahui bagaimana pandangan Ibnu Taimiyah yang sebenarnya tentang tasawuf dan

tazkiyah al-Nafs.

Menurut peneliti, tuduhan tersebut ada dua kemungkinan. Salah dan benar. Benar dan salah tuduhan tersebut sangat tergantung dari maksud dari tuduhan itu sendiri.

(3)

Sesuatu yang salah dan tidak dapat dibenarkan bahwa Ibnu Taimiyah seorang yang anti dan memusuhi tasawuf secara mutlak. Buktinya, Ibnu Taimiyah menulis sebuah kitab yang berjudul “Al-Tuhfah al-‘Iraqiyah fi al-‘Amal al-Qalbiyah”. Isi utama

kitab tersebut adalah amalan-amalan hati yang disebut dengan Maqamat dan Ahwal

menurut Ibnu Taimiyah (Taimiyah, Al-Tuhfah al-‘Iraqiyah fi al-‘Amal al-Qalbiyah, 1399). Dalam kitab tersebut, Ibnu Taimiyah menawarkan sebuah konsep sufi yang berdasarkan al-Qur’an dan Hadist untuk melawan gerakan sufisme yang berkembang saat itu yang keluar dari mainstream syariat dalam pandangan Ibnu Taimiyah.

Berdasarkan fakta diatas, tidak benar Ibnu Taimiyah seorang yang anti dan memusuhi tasawuf secara absolut. Dalam penelitian Dr. Abdul Fattah Sayyid Ahmad tentang pemikiran tasawuf Ibnu Taimiyah, Ibnu Taimiyah membagi tasawuf kedalam dua jenis (Ahmad, 2000), yaitu Tasawuf Sunni atau Masyru’ dan Tasawuf Bid’I.

Tasawuf masyru’ adalah istilah yang digunakan Ibnu Taimiyah untuk menggambarkan ajaran tasawuf yang bersih dari berbagai kesyirikan dan kebid’ahan yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadist. Tasawuf jenis ini banyak dipraktekan oleh Al-Junaid bin Muhammad dan Madrasah Baghdadnya, Dzun Nun al-Mishri, dan Sulaiman al-Darani. Sosok Ibnu Taimiyah sebagai seorang mujaddid yang

membersihkan ajaran Islam dari penyimpangan menolak sesuatu yang bersih dari berbagai kesyirikan dan kebid’ahan. Oleh karena itu, tasawuf model ini tidak ditentang dan ditolak oleh Ibnu Taimiyah (Ahmad, 2000).

Tasawuf jenis kedua, Tasawuf Bid’I adalah ajaran tasawuf yang dilakukan oleh

sebagian kalangan yang terilhami oleh mazhab Bathiniyah yang menganut mazhab

hululiyah. Mereka banyak mengamalkan amalan-amalan yang bertentangan denagn

al-Qur’an dan Hadist. Berbagai kesyirikan dan kebid’ahan menjadi bumbu utama ajaran tasawuf ini. Banyak para guru sufi, semisalAl-Junaid dan Dzun Nun al-Misri menolak ajaran tasawuf seperti ini. Terhadap tasawuf jenis ini, Ibnu Taimiyah menolak secara tegas dan menyingkap berbagai penyimpanagn mereka (Ahmad, 2000).

Pada masa Ibnu taimiyah, ajaran tasawuf telah melenceng dari ajaran Islam. Ajaran tasawuf pada saat itu banyak dimasuki oleh ajaran-ajaran yang menyimpang, seperti wahdatu wujud, ittihad,hulul dan berbagai ajaran bid’ah lainnya(Ahmad, 2000).

Umat Islam saat itu menajdi lemah, karena mazhab tasawuf saat itu membawa berbagai ajaran yang menyebabkan sifat apatis dan menyerah seperti teori fatalism (Jabariyah),

khurafat, bid’ah, klaim-klaim ilham, dan wahyu. Oleh sebab itu, Ibnu Taimiyah melakukan suatu reformasi atau Tajdid dalam bidang akidah, fikih, dan akhlak atau

tasawuf.

Pembaharuan dalam bidang tasawuf dan tazkiyah al-Nafs dilakukan oleh Ibnu Taimiyah dilakukan dalam berbagai bentuk, diantaranya karya tulis. Dalam bidang tasawuf Ibnu Taimiyah menulis beberapa kitab, seperti Al-Tuhfah ‘Iraqiyah fi al-‘Amal al-Qalbiyah dan Tazkiyah al-Nafs.

Kitab ini antara lain berisi konsep tazkiyah al-Nafs menurut Ibnu Taimiyah.

Dalam kitab ini, Ibnu Taimiyah membahas beberapa point penting tentang tazkiyyah al-Nafs. Pendekatan yang digunakan Ibnu Taimiyah dalam merumuskan konsep tazkiyah

(4)

al-Nafs adalah pendekatan teologi. Artinya, seluruh pembahasan berdasarkan al-Qur’an

atau Hadist sesuai dengan Manhaj Salafy Ibnu Taimiyah.

Terkait permasalahan diatas, peneliti tertarik untuk mengkaji dan menganalisis secara kritis pemikiran Ibnu Taimiyah tentang tazkiyah al-Nafs serta relevansinya

dengan pendidikan karakter kontemporer. Permasalahan tersebut dikaji dalam sebuah penelitian yang berjudul “Pendidikan Karakter: studi kritis pemikiran Ibnu Taimiyah tentang Tazkiyah al-Nafs”.

Berangkat dari latar belakang di atas, maka artikel ini bertujuan untuk: (1) Mendeskripsi dan menganalisis hakikat manusia menurut Ibnu Taimiyah, (2) Mendeskripsi dan menganalisis tujuan Tazkiyah al-Nafs menurut Ibnu Taimiyah, (3)

Mendeskripsi dan menganalisis dasar Tazkiyah al-Nafs menurut Ibnu Taimiyah dan (4)

Mendeskripsi dan menganalisis metode Tazkiyah al-Nafs menurut Ibnu Taimiyah. PEMBAHASAN

Hakikat Manusia

Manusia merupakan objek dan subjek utama pendidikan. Misi pendidikan adalah memanusiakan manusia. Oleh sebab itu, pengetahuan tentang hakikat manusia merupakan kunci utama suksenya pendidikan.

Pandangan Ibnu Taimiyah tentang manusia tidak jauh berbeda dengan pandangan kebanyakan para ulama dan filsuf lainnya. Menurut Ibnu Taimiyah, manusia terdiri dari dua unsur, yaitu unsur yang terdiri dari jasad dan ruh (Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 1995). Oleh sebab itu, manusia merupakan makhluk jasadiyah dan ruhiyah.

Hakikat ruh adalah al-Nafs atau jiwa yang mengatur tubuh manusia. Ruh tidak

berada pada salah satu anggota tubuh, tapi berada diseluruh tubuh sebagai kehidupan.

Al-Nafs adalah ruh yang ditiupkan pada tubuh manusia tatkala berada dalam kandungan

ibunya serta yang akan dicabut atau berpisah dari tubuh tatkala meninggal. Hati dan otak merupakan bagian dari jiwa (Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 1995).

Jasad dan jiwa (ruh) memiliki hubungan yang sangat erat. Hubungan antara jasad

dan ruh terkait dengan prilaku manusia. Hubungan keduanya bagaikan hubungan antara pilot dengan pesawat. Pilot berfungsi sebagai pengatur dan pengarah tujuan arah penerbangan pesawat. Demikian halnya hubungan antara jasad dan jiwa. Jiwa atau ruh

berfungsi sebagai pengatur pergerakan indera atau anggota tubuh (jasad). Ibnu Taimiyah berkata (Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 1995):

ﻚﻠﻤﻟﺍ ﻮﻫ ﺐﻠﻘﻟﺍ ﻥﺈﻓ ﻩﺩﻮﻨﺟ ءﺎﻀﻋﻷﺍﻭ

Sesungguhnya hati merupakan raja dan seluruh anggota badan merupakan prajuritnya”

Prilaku dan perbuatan seseorang sangat tergantung dari proses berfikir. Artinya, prilaku dan perbuatan merupakan preferensi dari sebuah pemikiran. Menurut Ibnu

Taimiyah, proses berfikir seseorang berawal dari kehendak atau keinginan hati ( al-Qalb) yang ditranfer ke otak ketika sempurna. Proses berfikir inilah yang melahirkan

prilaku. Seseorang sebelum bertindak akan berfikir terlebih dahulu, tindakan yang akan dilakukan akan bernilai baik atau buruk (Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 1995).

(5)

Hati (al-Qalb) dalam pandangan Ibnu Taimiyah adalah bagian dalam atau sisi

batin dari seseorang, sedangkan ruh atau al-Nafs berada diseluruh tubuh sebagai

kehidupan. Hati dan otak merupakan bagian dari jiwa (Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 1995). Oleh karena itu, al-Nafs (jiwa) memiliki hubungan erat dengan al-Qalbu sebagai

disposisi batin untuk merespon situasi tertentu (Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 1995). Sebuah prilaku diawali dari keyakinan dan keinginan hati (al-Qalb), keinginan

hati kemudian dipikirkan oleh otak menggunakan akal, kemudian menggerakkan jasad (organ tubuh) yang menghasilkan perbuatan. Keinginan berasala dari hati, sedangkan proses berfikir beasal dari otak. Ibnu Taimiyah berkata (Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 1995):

ﺐﻠﻘﻟﺍ ﻲﻓ ﺓﺩﺍﺭﻹﺍ ﺃﺪﺒﻣﻭ ﻍﺎﻣﺪﻟﺍ ﻲﻓ ﺮﻈﻨﻟﺍﻭ ﺮﻜﻔﻟﺍ ﺃﺪﺒﻣ “Pemikiran (proses) berasal dari otak, adpun keinginan berasal dari hati”

Tindakan seseorang dalam merespon kondisi tertentu sangat tergantung dari hati, karena hati merupakan manager sekaligus tempat bersemanyanya keyakinan atau iman. Dengan demikian, hati yang merupakan bagian dari jiwa memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan karakter atau tingkah laku manusia.

Manusia ideal dalam perspektif Islam berbeda dengan konsepsi-konsepsi diluar Islam. Perbedaan itu dikarenakan dalam Islam dikenal dengan konsep fitrah yang

melekat pada diri setiap manusia ketika lahir.

Ibnu Taimiyah memandang fitrah sebagai keadaan kebaikan yang dibawaan sejak lahir ke dunia. Pandangan ini menyatakan bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah: fitrah keislaman (Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 1995). Fitrah keislaman adalah keadaan yang suci dari berbagai keyakinan yang batil serta menerima aqidah yang benar. Pandangan Ibnu Taimiyah ini didasari pada ayat al-Qur’an dan Hadist berikut ini:

ِ◌ﻪِﻧﺍ َﺮّ ِﺼَﻨُﻳ ْﻭَﺃ ِﻪِﻧﺎَﺴِّﺠَﻤُﻳ ْﻭَﺃ ِﻪِﻧﺍَﺩ ِّﻮَﻬُﻳ ُﻩﺍ َﻮَﺑَﺄَﻓ ،ِﺓ َﺮْﻄِﻔْﻟﺍ ﻰَﻠَﻋ ُﺪَﻟ ْﻮُﻳ ٍﺩ ْﻮُﻟ ْﻮَﻣ ﱡﻞُﻛ

Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah, maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani” (al-Naisaburi, tt).

َﻗ ۖ ْﻢُﻜِّﺑ َﺮِﺑ ُﺖْﺴَﻟَﺃ ْﻢِﻬِﺴُﻔﻧَﺃ ٰﻰَﻠَﻋ ْﻢُﻫَﺪَﻬْﺷَﺃ َﻭ ْﻢُﻬَﺘﱠﻳ ِّﺭُﺫ ْﻢِﻫ ِﺭﻮُﻬُﻅ ﻦِﻣ َﻡَﺩﺁ ﻲِﻨَﺑ ﻦِﻣ َﻚﱡﺑ َﺭ َﺬَﺧَﺃ ْﺫِﺇ َﻡ ْﻮَﻳ ﺍﻮُﻟﻮُﻘَﺗ ﻥَﺃ ۛ ﺎَﻧْﺪِﻬَﺷ ۛ ٰﻰَﻠَﺑ ﺍﻮُﻟﺎ

َﻦﻴِﻠِﻓﺎَﻏ ﺍَﺬ َٰﻫ ْﻦَﻋ ﺎﱠﻨُﻛ ﺎﱠﻧِﺇ ِﺔَﻣﺎَﻴِﻘْﻟﺍ

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (Q.S.Al-‘Araf: 172).

Menurut Ibnu Taimiyah, potensi dasar manusia adalah kecendrungan naluri manusia kepada tauhid, yaitu naluri kepatuhan hanya kepada Allah tanpa ada kesyirikan. Potensi dasar (fitrah) manusia ini yang disebut sebagai potensi beragama yang sangat dominan dalam kehidupan manusia, yang mana memberi dorongan bagi manusia untuk selalu tunduk dan patuh kepada aturan Allah (Syah, 2016). Kapatuhan secara mutlak terhadap aturan Allah dalam segala aspek kehidupan, baik hubungan dengan Allah maaupun dengan makluk.

(6)

Kesimpulan dari penjelasan diatas, bahwa manusia yang ideal menurut Ibnu Taimiyah adalah al-Muwahhid. Manusia yang benar-benar mentauhidkan Allah.

Manusia yang menjadikan tauhid sebagai dasar dalam setiap prilakunya, baik prilaku dengan Allah maupun sesama makhluk.

Tauhid merupakan fitrah manusia dalam ketaatan kepada Allah. Bagi seorang muwahhid, aturan Allah adalah standar utama dalam seluruh prilakunya. Atas dasar tauhid seorang manusia bisa mencapai derajat orang yang bertakwa (Muttaqiin).

Manusia mampu mencapai derajat al-Muttaqin tatkala mampu mengaktualisasikan

potensi bawaan (fitrah) dalam kehidupanya.

Berkaitan tentang konsep fitrah, ada tiga pandangan klasik tentang fitrah, yaitu fatalistic, netral, dan dan positif (Baharudin, 2004). Paham fatalism diwakili oleh kelompok jabariyah, sedangkan paham netral diwakili oleh Ibnu Abdi al-Bar. Konsepsi Ibnu Taimiyah tentang fitrah manusia yang mewakili paham positif berbeda dengan dua pandangan lainnya.

Pandangan fatalisme menyakini setiap manusia adalah baik atau buruk sesuai ketetapan Allah secara asal atau sejak lahir. Dalam pandangan ini, manusia tidak butuh usaha apapun karena semuanya sudah diatur. Upaya tazkiyah al-Nafs tidak dibburuhkan

karena manusia lahir dalam keadaan sudah ditentukan baik atau buruk tanpa bisa dirubah. Hal ini berbeda dengan Ibnu Taimiyah memandang fitrah sebagai

kecendrungan kebaikan naluri manusia kepada tauhid. Namun, jiwa dan hati seringkali dihinggapi penyakit yang merusak potensi tersebut, terutama penyakit yang sidebabkan oleh syubhat dan syahwat. Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu upaya untuk menyucikan jiwa atau tazkiyah al-Nafs dari berbagai penyakit yang merusak potensi atau fitrah

tersebut.

Demikian juga dengan paham netral. Paham netral memandang manusia lahir dalam keadaan fitrah atau suci. Suci dipahami sebagai keadaan kosong, baik potensi kebaikan maupun keburukan. Paham ini tentu berbeda dengan Ibnu Taimiyah yang memahami fitrah adalah potensi baik atau kecendrungan kepada tauhid.

Tujuan Tazkiyah Al-Nafs

Jiwa (al-Nafs) dalam pandangan Ibnu Taimiyah adalah sesuatu yang tidak dapat

digambarkan dalam sesuatu bentuk. Hal ini disebabkan karena jiwa tidak terbentuk dari salah satu unsur; air, udara, api, dan tanah. Oleh sebab itu, jiwa tidak dapat digambarkan dalam bentuk objek yang dapat diketahui oleh indera. Namun, sifat dan karakteristik jiwa manusia (al-Nafs) dapat diketahui melalui al-Quram dan Sunnah (Taimiyah,

Majmu’ al-Fatawa, 1995).

Berdasarkan beberapa ayat al-Quran (Q.S.Yusuf: 53; Q.S. al-Qiyamah: 1-2; Q.S.al-Fajr: 26-30), Ibnu Taimiyah (1995) membagi jiwa manusia (al-Nafs) menjadi tiga jenis:

1) Al-Nafs al-Ammarah bi al-Su’ (ءﻮﺴﻟﺎﺑ ﺓﺭﺎﻣﻷﺍ ﺲﻔﻨﻟﺍ). Al-Nafs al-Ammarah (jiwa yang

menyuruh berbuat keburukan) adalah jiwa yang senantiasa mengikuti hawa nafsu serta berbuat keburukan dan dosa. Allah berfirman:

(7)

Artinya: Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang

(Q.S.Yusuf: 53).

2) Al-Nafs al-Lawwamah (ﺔﻣﺍﻮﻠﻟﺍ ﺲﻔﻨﻟﺍ). Al-Nafs al-Lawwamah (jiwa yang mencela diri)

adalah jiwa yang kadangkala berbuat kebajikan dan kadangkala berbuat keburukan. Apabila seseorang berbuat keburukan dan dosa, maka dia langsung bertaubat serta meratapi diri atas dosa-dosa yang dilakukan. Allah berfirman:

ِﺔَﻣﺎَﻴِﻘْﻟﺍ ِﻡ ْﻮَﻴِﺑ ُﻢِﺴْﻗُﺃ َﻻ ِﺔَﻣﺍ ﱠﻮﱠﻠﻟﺍ ِﺲْﻔﱠﻨﻟﺎِﺑ ُﻢِﺴْﻗُﺃ َﻻ َﻭ

Artinya: Aku bersumpah demi hari kiamat dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri) (Q.S. al-Qiyamah: 1-2).

3) Al-Nafs al-Muthmainnah (ﺔﻨﺌﻤﻄﻤﻟﺍ ﺲﻔﻨﻟﺍ). Al-Nafs al-Muthmainnah adalah jiwa yang

mecintai dan menginginkan kebaikan serta menbenci berbagai keburukan. Allah berfirman:

ِﻚِّﺑ َﺭ ﻰَﻟِﺇ ﻲِﻌ ِﺟ ْﺭﺍ ُﺔﱠﻨِﺌَﻤْﻄُﻤْﻟﺍ ُﺲْﻔﱠﻨﻟﺍ ﺎَﻬُﺘﱠﻳَﺃ ﺎَﻳ ﻲِﺘﱠﻨَﺟ ﻲِﻠُﺧْﺩﺍ َﻭ ﻱِﺩﺎَﺒِﻋ ﻲِﻓ ﻲِﻠُﺧْﺩﺎَﻓ ًﺔﱠﻴ ِﺿ ْﺮَﻣ ًﺔَﻴ ِﺿﺍ َﺭ

Artinya: Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku (Q.S.al-Fajr: 26-30).

Ketiga jenis jiwa diatas, menurut Ibnu Taimiyah (1995) hanyalah sifat dan karakter jiwa manusia. Setiap manusia hanya memiliki satu jiwa. Namun, setiap jiwa memiliki tiga sifat; al-Ammarah bi al-Su’, al-Lawwamah, dan al-Muthmainnah. Oleh

sebab itu, setiap manusia berpotensi untuk melakukan hal baik dan buruk sesuai dengan kecondongan sifat jiwa yang dimilikinya.

Pada batasan ini, Ibnu Taimiyah sependapat dengan para ulama lain, seperti al-Ghazali dan Ibnu Maskawaih tentang hakikat al-Nafs serta sifat-sifatnya yang memiliki

hubungan erat dengan prilaku manusia. Oleh sebab itu, manusia memiliki potensi untuk berbuat baik dan buruk sesuai dengan sifat kejiwaan. Maka, tazkiyah al-Nafs berfungsi

sebagai upaya untuk mengoptimalkan peran sifat positif dari sifat jiwa. Disamping itu, upaya mengurasi peran negative dari jiwa.

Al-Nafs serta sifat-sifatnya yang memiliki hubungan erat dengan prilaku manusia.

Prilaku yang dilakukan manusia berbuhungan erat dengan jiwa. Oleh sebab itu, manusia memiliki potensi untuk berbuat baik dan buruk sesuai dengan sifat kejiwaan. Maka,

tazkiyahal-Nafs berfungsi sebagai upaya untuk mengoptimalkan peran sifat positif dari

sifat jiwa. Disamping itu, upaya mengurangi peran negative dari jiwa.

Allah menciptakan jiwa manusia sesuai dengan tabiat manusia. Menurut Ibnu Taimiyah (1995), tabiat manusia diciptakan dalam keadaan berkeluh kesah dan kikir (Q.S.al-Maarij: 19-21). Allah berfirman:

َﻣ ُﺮْﻴَﺨْﻟﺍ ُﻪﱠﺴَﻣ ﺍَﺫِﺇ َﻭ ًﺎﻋﻭ ُﺰَﺟ ﱡﺮﱠﺸﻟﺍ ُﻪﱠﺴَﻣ ﺍَﺫِﺇ ًﺎﻋﻮُﻠَﻫ َﻖِﻠُﺧ َﻥﺎَﺴْﻧِ ْﻹﺍ ﱠﻥِﺇ

ًﺎﻋﻮُﻨ

Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir”

(8)

Jiwa (al-Nafs) sudah seharusnya disucikan dari berbagai tabiat dan potensi

keburukan dan dosa serta memperbaikainya dengan kebaikan. Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, proses ini disebut dengan Tazkiyah al-Nafs. Tazkiyah al-Nafs dalam

pandangan Ibnu Taimiyah tidak berbeda dengan para pakar lainnya, seperti Ibnu Maskawaih atau Al-Ghazali. Persamaan tersebut terkait al-Takhalliyah dan al-Tahalliyah sebagai proses tazkiyah al-Nafs. Al-Takhalliyah sebagai proses pembersihan

jiwa dari sifat-sifat buruk (al-Ammarah bi al-Su’), sedangkan al-Tahalliyah sebagai

proses mengoptimalkan sifat baik jiwa (al-Lawwamah atau al-Muthmainnah).

Tazkiyah al-Nafs membawa misi pendidikan karakter. Tujuan tazkiyah al-Nafs

dalam pandangan Ibnu Taimiyah (1995) adalah pembentukan karakter yang baik melalui peran jiwa, karena jiwa merupakan manager yang mengatur seluruh tindakan manusia. Proses pendidikan jiwa melalui penyucian jiwa tatkala jiwa condong kepada hal-hal yang dilarang oleh Allah. Sesuatu yang dilarang oleh Allah, pada hakikatnya menyelisihi fitrah manusia itu sendiri. Fitrah manusia diciptakan adalah untuk ketaatan kepada Allah (tauhid).

Inti pemikiran Ibnu Taimiyah tentang Tazkiyah al-Nafs adalah pembentukan

karakter yang baik. Pembentukan karakter baik melalui Tazkiyah al-Nafs. Jika analisis

secara mendalam, hakikat tazkiyah al-Nafs menurut Ibnu Taimiyah membawa misi yang

sama dengan pendidikan karakter dalam perspektif Lickona. Hal ini terlihat dari dua hal:

Pertama, tujuan keduanya pada pembentukan karakter atau prilaku yang baik.

Menurut Lickona (2015:7), berdasarkan penelitian sejarah berbagai bangsa didunia ini, pendidikan karakter bertujuan untuk membentuk prilaku yang baik. Senada dengan Lickona, tazkiyah al-Nafs menurut Ibnu Taimiyah merupakan proses pendidikan jiwa

melalui penyucian jiwa dari berbagai berbagai potensi untuk berbuat keburukan. Orang yang memiliki Jiwa (al-Nafs) yang suci akan berprilaku baik dan bijak dalam merespon

berbagai kondisi yang dihadapi.

Kedua, prilaku seseorang merupakan disposisi batin terhadap suatu kondisi yang

dihadapi. Dalam pandangan Lickona (2015: 81), pendidikan karakter harus mengandung tiga unsur pokok, yaitu pengetahuan moral (moral knowing), cinta dan

perasaan moral (moral feeling/loving), dan tindakan moral (moral action/behavior).

Artinya, prilaku seseorang (moral action) merupakan hasil atau disposisi batin melalui

perasaan dan komitmen atau niat (moral feeling/loving) tentang kebaikan yang

dihasilkan oleh pengetahuan moral (moral knowing). Hal ini sejalan dengan pemikiran

Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa prilaku dan perbuatan merupakan preferensi pemikiran. Proses berfikir seseorang berawal dari kehendak atau keinginan

hati (al-Qalb) yang ditranfer ke otak ketika sempurna. Proses berfikir inilah yang

melahirkan prilaku. Seseorang sebelum bertindak akan berfikir terlebih dahulu. Qalbu

atau hati merupakan bagian dari Ruh atau al-Nafs (jiwa).

Dasar Tazkiyah Al-Nafs Menurut Ibnu Taimiyah Sebagai Basis Pendidikan Karakter

(9)

Pendidikan Islam sebagai sebuah system memiliki perbedaan dengan system pendidikan di luar Islam. Salah satu perbedaannya terletak pada system Ideologi, (Ramayulis, 2013:515). Pendidikan Islam memiliki ideology al-Tauhid, sedangkan

system pendidikan non Islam memiliki ideology yang bersumber dari ideology ciptaan manusia, seperti humanisme, materialisme, kapitalisme.

Pangkal atau dasar dari seluruh proses tazkiyah al-Nafs adalah iman dan Tauhid.

Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, tazkiyah al-Nafs (1994) menyebutkan bahwa iman dan

tauhid merupakan dasar utama penyucian jiwa. Sebaliknya, kesyirikan merupakan penyebab utama jiwa menjadi kotor. Oleh karena itu, dalam pandangan Ibnu Taimiyah, jiwa akan suci ketika proses penyucian jiwa berlandaskan iman dan tauhid. Tauhid secara otomatis menghilangkan syirik sebagai penyebab utama jiwa menjadi kotor (Taimiyah, Tazkiyatu al-Nafs, 1994)

Iman dan tauhid merupakan dua terminology yang banyak digunakan oleh Ibnu Taimiyah dalam beberapa kitabnya. Ibnu Taimiyah tidak menjelaskan secara langsung perbedaan keduanya, sehingga kedua kata tersebut sering digunakan secara bersamaan. Namun, kata iman lebih luas dari tauhid. Tauhid bagian dari iman.

Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa secara bahasa iman adalah pengakuan ( al-Tasdiq); pengakuan dengan hati, lisan, dan perbuatan. Adapun secara istilah, hakikat

iman menurut Ibnu Taimiyah adalah rukun iman yang enam; beriman kepada Allah, beriman kepada Malaikat, beriman kepada beriman kepada kitab-kitab Allah, beriman kepada para rasul, beriman kepada harii akhir, dan beriman kepada takdir (Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 1995; Taimiyah, Al-Iman, 1996).

Tauhid (ﺪﻴﺣﻮﺘﻟﺍ) secara bahasa berasal dari kata ﺍﺪﻴﺣﻮﺗ ﺪﺣﻮﻳ ﺪﺣﻭ yang bermakna ﻪﻠﻌﺟ ﺍﺪﻴﺣﻭ, yaitu membuat sesuatu menjadi satu atau mengesakannya (al-'Utsaimin, 2003). Tauhid dalam pandangan Ibnu Taimiyah adalah bagian dari Iman, yaitu iman kepada Allah. Inti tauhid adalah mengenal Allah (makrifatullah). Makrifatullah dengan cara

pengesaan Allah dalam rububiyyah, uluhiyyah, dan asma’ wa shifat. Dalam pandangan

Ibnu Taimiyah, tauhid terbagi menjadi dua bagian; Tauhid Qauli dan Tauhid Amali.

Tauhid Qauli adalah tauhid rububiyyah dan Tauhid Asma’ wa sifat. Adapun tauhid

amali adalah tauhid uluhiyyah (Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 1995).

Pemikiran Ibnu Taimiyah tentang iman dan tauhid sebagai dasar tazkiyah al-Nafs

sangat relevan dengan konsep pendidikan karakter. Jiwa atau al-Nafs mempengaruhi

proses berfikir dan prilaku seseorang. Sedangkan jiwa seseorang sangat dipengaruhi oleh system nilai yang di anut, dalam hal ini tauhid. Oleh sebab itu, iman dan tauhid sangat mempengaruhi jiwa dan tindakan seseorang. Demikian halnya pendidikan karakter, pendidikan karakter dipengaruhi oleh system nilai menjadi dasar pengembangan pendidikan karakter. System nilai yang dianut seseorang dalam konsep pendidikan karakter, sama dengan system ketauhidan dalam konsep tazkiyah al-Nafs.

Dalam pandangan Lickona (2015: 81), pendidikan karakter harus mengandung tiga unsur pokok, yaitu pengetahuan moral (moral knowing), cinta dan perasaan moral

(moral feeling/loving), dan tindakan moral (moral action/behavior). Pada tahap ini, nilai

(10)

cinta dan perasaan moral (moral feeling/loving) yang melahirkan komitmen dan niat

berbuat baik. Artinya, prilaku seseorang (moral action) merupakan hasil atau disposisi

batin melalui perasaan dan komitmen atau niat (moral feeling/loving) yang dipengaruhi

oleh nilai yang menjadi dasar pengembangan pendidikan karakter.

Metode Tazkiyah Al-Nafs

Salah satu faktor terpenting dalam pendidikan adalah metode yang baik dan tepat. Kedudukan sebuah metode sangatlah penting dan signifikan. Sebaik apapun tujuan yang akan dicapai, jika metode yang digunakan tidak tepat, maka tujuan tersebut akan sulit tercapai dengan baik. Bahkan metode sebagai seni dianggap lebih penting dengan materi itu sendiri, ini sesuai dengan perkataan yang sangat popular, yaitu “ ﻦﻣ ﻢﻫﺃ ﺔﻘﻳﺮﻄﻟﺍ ﺓﺩﺎﻤﻟﺍ ”( metode jauh lebih penting daripada materi).

Ada beberapa metode tazkiyah al-Nafs yang disebutkan Ibnu Taimyah dalam

beberapa tempat dalam kitab tazkiyah al-Nafs (Taimiyah, Tazkiyatu al-Nafs, 1994),

yaitu yaitu: amal saleh, mujahadah, dan taubat.

Jika diperhatikan secara cermat, ada dua poin penting terkait metode tazkiyah al-Nafs menurut Ibnu Taimiyah.

Pertama, metode tazkiyah al-Nafs menurut Ibnu Taimiyah (Ibadah, Mujahadah,

dan Taubat) sekaligus berfungsi sebagai materi. Artinya, antara metode dan materi sama. Hal seperti ini juga kita dapatkan dalam disertasi Anas Ahmad Karzun yang berjudul “Manhaj Islam fi Tazkiyah al-Nafs wa Atsaruhu fi Dakwah ila Allah” (Karzun,

1990). Karzun memberi judul salah satu bab dalam disertasinya “al-Asalib al-Amaliyah fi Tazkiyah al-Nafs”.

Kedua, metode tazkiyah al-Nafs menurut Ibnu Taimiyah hanya satu, yaitu takwa

(Taimiyah, Tazkiyatu al-Nafs, 1994). Ibnu Taimiyah menyebut takwa pada hal. 49

dalam risalah tazkiyah al-Nafs. Takwa dalam pandangan Ibnu Taimiyah sangat luas,

mencakup seluruh kebaikan. Ibnu Taimiyah menyebutkan definisi Takwa sebagai berikut (Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 1995):

ﻰﻠﻋ ﷲ ﺔﻋﺎﻄﺑ ﻞﺟﺮﻟﺍ ﻞﻤﻌﻳ ﻥﺃ " ﻯﻮﻘﺘﻟﺍ " ﻦﻣ ﺭﻮﻧ ﻰﻠﻋ ﷲ ﺔﻴﺼﻌﻣ ﻙﺮﺘﻳ ﻥﺃﻭ ﷲ ﺔﻤﺣﺭ ﻮﺟﺮﻳ ﷲ ﻦﻣ ﺭﻮﻧ

:ﻰﻟﺎﻌﺗ ﻝﺎﻗ .ﻪﻠﻓﺍﻮﻧ ءﺍﺩﺄﺑ ﻢﺛ ﻪﻀﺋﺍﺮﻓ ءﺍﺩﺄﺑ ﻻﺇ ﷲ ﻲﻟﻭ ﺏﺮﻘﺘﻳ ﻻﻭ ﷲ ﺏﺍﺬﻋ ﻑﺎﺨﻳ ﷲ ءﺍﺩﺃ ﻞﺜﻤﺑ ﻱﺪﺒﻋ ﻲﻟﺇ ﺏﺮﻘﺗ ﺎﻣﻭ ﻪﺒﺣﺃ ﻰﺘﺣ ﻞﻓﺍﻮﻨﻟﺎﺑ ﻲﻟﺇ ﺏﺮﻘﺘﻳ ﻱﺪﺒﻋ ﻝﺍﺰﻳ ﻻﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﺖﺿﺮﺘﻓﺍ ﺎﻣ

“Takwa adalah seseorang melakukan ketaatan kepada Allah menurut cahaya (petunjuk) dari Allah karena mengharap rahmat-Nya dan meninggalkan dosa dan maksiat karena cahaya (petunjuk) dari Allah disertai rasa takut akan siksa-Nya”.

Ada dua poin penting dalam definisi takwa diatas. Pertama, takwa adalah

melakukan segala kebaikan dan meninggalkan segala keburukan. Seluruh kebaikan adalah ketaatan kepada Allah, sedangkan seluruh keburukan dan dosa adalah maksiat kepada Allah. Kedua, standarisasi kebaikan dan keburukan adalah nur (cahaya) atau

petunjuk Allah, baik petunjuk Allah dalam al-Qur’an maupun petunjuk melalui lisan Rasulullah dalam Sunnah.

Hakikat takwa dalam pandangan Ibnu Taimiyah sangat luas. Takwa mencakup hubungan antara manusia dengan Allah serta hubungan antara manusia dengan sesame manusia, dan makhluk lainnya.

(11)

Jika dianalisis secara mendalam, seluruh metode tazkiyah al-Nafs yang disebutkan

oleh Ibnu Taimiyah merupakan bagian dari takwa, baik amal saleh, mujahadah, dan taubat.

Karakter merupakan buah yang dihasilkan dari proses ketakwaan (penerapan syariah) yang dilandasi oleh iman dan tauhid. Jika karakter diibaratkan sebagai lambang kesempurnaan sebuah bangunan, kesempurnaan tersebut tidak akan terjadi tanpa dilandasi oleh iman sebagai pondasi bangunan. Jadi, karakter baik seseorang merupakan akumulasi dari iman dan takwa yang benar.

Sebagai contoh, orang yang beriman kepada Allah secara benar, akan melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala bentuk larangannya. Dengan demikian, dia akan menjadi orang yang bertakwa sehingga segala prilakunya terarah dan benar-benar mewujudkan akhlak yang mulia. Demikian juga dengan pelaksanaan syariah, semua ketentuan syariah, baik ibadah maupun muamalah. Hakikat pelaksanaan syiah adalah ketakwaan. Ketakwaan bermuara pada terwujudnya akhlak atau karakter yang mulia, seperti sholat yang baik dan benar dapat mencegah pelakunya kepada perbuatan keji dan mungkar (Q.S. Al-‘Ankabut: 45). Begitu juga zakat (Q.S. Ali Imran:3; Al-Taubah:103), puasa (Q.S. Al-Baqarah:183), Haji (Q.S.Al-Baqarah:194), zikir (Q.S. Al-Ra’du:28), dan berbagai ibadah lainnya. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa dasar karakter mulia adalah pondasi akidah yang kuat serta pelaksanaan syariah (takwa) yang benar.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian di atas, penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Pandangan Ibn Taimiyah tentang manusia tidak jauh berbeda dengan pandangan kebanyakan para ulama dan filsuf lainnya, manusia terdiri dari dua unsur, yaitu badan (al-Jasad) dan ruh (al-Nafs). Jasad dan jiwa (ruh) memiliki hubungan yang

sangat erat terkait prilaku manusia. Jiwa atau ruh berfungsi sebagai pengatur dan

sumber pergerakan anggota tubuh (jasad). Selain itu, Ibnu Taimiyah memiliki pandangan positif terhadap fitrah manusia, yaitu kecendrungan kebikan naluri manusia kepada tauhid dan ketaatan kepaad Allah. Namun, jiwa dan hati seringkali dihinggapi penyakit yang merusak potensi tersebut, terutama penyakit yang disebabkan oleh syubhat dan syahwat. Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu upaya untuk menyucikan jiwa atau tazkiyah al-Nafs dari berbagai penyakit yang merusak potensi

atau fitrah tersebut.

2. Inti pemikiran Ibnu Taimiyah tentang hakikat dan tujuan Tazkiyah al-Nafs adalah

untuk membentuk karakter yang baik melalui optimalisasi potensi-potensi kebaikan serta minimalisasi potensi keburukan yang dimiliki oleh jiwa.

3. Dasar tazkiyah al-Nafs menurut Ibnu Taimiyah adalah Iman dan Tauhid. Jiwa atau al-Nafs mempengaruhi proses berfikir dan prilaku seseorang. Adapun jiwa seseorang

sangat dipengaruhi oleh system nilai atau ideology yang di anut, dalam hal ini tauhid. Oleh sebab itu, iman dan tauhid sangat mempengaruhi jiwa dan tindakan seseorang.

(12)

4. Ada dua poin penting terkait metode tazkiyah al-Nafs menurut Ibnu Taimiyah. Pertama, metode tazkiyah al-Nafs menurut Ibnu Taimiyah (Ibadah, Mujahadah, dan

Taubat) sekaligus berfungsi sebagai materi. Artinya, antara metode dan materi sama. Dan, amal ibadah merupakan wasilah (metode) dalam tazkiyah al-Nafs. Kedua,

metode tazkiyah al-Nafs menurut Ibnu Taimiyah hanya satu, yaitu takwa. Seluruh

metode tazkiyah al-Nafs yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah merupakan bagian dari

takwa, baik amal saleh, mujahadah, dan taubat. Hal ini sesuai dengan definisi takwa yang sangat luas cakupannya.

DAFTAR PUSTAKA

Adz-Dzahabi. (1993). Mu’jam Muhaditsi. Beirut : Darul Kutub Islamiyah.

Adzim, S. A. (2004). Manhaj Ibnu Taimiyah: Tajdid Salafy wa Dakwahtuhu al-Islahiyah. Iskandaria: Dar al-Iman.

Ahmad, A. F. (2000). Al-Tashawwuf baina Al-Ghazali wa Ibni Taimiyah. Mesir: Dar

al-Wafa.

Al-Hanbali, I. R. (tt). Jami al-Ulum wa al-Hikam. Cairo: Dar al-Muayyid. .

al-Naisaburi, M. b. (tt). Al-MUsnad al-Shahih al-Mukhtasar. Tahqiq: FUad Abdul Baqi.

Beirut: Dar Ihya al-Turast.

Al-Qurtuby. (tt). Al-Jamik li ahkam al-Qur’an. Maktabah Syamilah: Maktabah

Syamilah.

al-Sijistani, A. D. (tt). Sunan Abu Daud. Beirut: Maktabah al-'Ashriyah.

al-Syaibany, A. b. (2001). Musnad al-Imam Ahmad. Beirut: Muassasah al-Risalah.

al-Syarqawi, A. R. (1988). Ibnu Taimiyah al-Faqih al-Mu’azzab. Mesir: Al-Nahdah

al-Misriyyah al-Shammah li al-Kitab.

al-Tirmizi, M. b. (1998). A-Jami' al-Kabir. Beirut: Daral-Gharb al-Islami.

al-'Utsaimin, M. b. (2003). Al-Qaulu al-Mufid Syarh Kitab al-Tauhid. Cairo: Dar

al-'Aqidah.

An-Nawawy, Y. b. (2009). Al-Arbaun al-Nawawiyah. Beirut: Dar al-Manhaj.

Arikunto, S. (2013). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Prakek. Jakarta: PT. Rineka

Cipta.

Asmuni, Y. ( 1998). Dirasah Islamiyah III: Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo.

Baharudin. (2004). Paradigma Psikologi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Creswell, J. W. (2014). Research design: Pendekatan Kuanlitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Terj. Achmad fawaid. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Djaelani, A. R. (2013). Teknik Pengumpulan Data Dakam Penelitian Kualitatif.

Majalah Ilmiah Pawiyatan Vol.XX, no.1, 82-92.

Fadhli. (2016). Konsep Jiwa Ibnu Miskawaih dan Implikasinya dalam Pendidikan Akhlak. Universitas Paramadina: Tesis S-2 Ilmu Agama Islam (ICAS) tidak

dipublikasikan.

(13)

Fihris Sa’adah. (2011). Pendidikan Karakter di Madrasah Salafiyah . Walisongo Vol. 19, No.2, 311-334.

Hadi, I. A. (1457). Al-Uqud al-Durriyah fi Manaqib Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah. Tahqiq: Muhammad Hamid al-Faqi. Cairo: Mathba’ al-Qahirah.

Hairuddin. (2013). Pendidikan Karakter Berbasis Sunnah Nabi. Jurnal Al-Umm, Vol.13, No.1, 167-190.

Harahap, N. (2014). Penelitian Kepustakaan. Jurnal Iqra’ Vol. 08, No. 01, 68-74.

Hawa, S. (2001). Tazkiyatuna al-Ruhiyah. Terj. Khairul Rafie’ dan Ibnu Thaha Ali.

Bandung: Mizan.

Husaini, A. (2013). Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dib. Jurnal Tsaqafah Vol. 9, No. 2, 371-394.

Islahi, A. A. (1988). Economic Concept of Ibnu Taimiyah. London: The Islamic

Foundation.

J.R, S. A. (2014). Pembelajaran Nilai-Karakter: Konstruktivisme dan VCT Sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif. Depok: PT. Rajagrafindo Persada.

Jejen, M. (2004). Filsafat Pendidikan Akhlak: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar.

Kanz, H. P. (1977). The Pilosopy of Man: a new Introduction to some Parrenial Issue.

Washington: University Of America.

Karzun, A. A. (1990). Tazkiyah al-Nafs wa Atsaruhu fi Dakwah ila Allah. Universitas

Ummul al-Qura Mekah.: Disertasi S-3 Aqidah tidak dipublikasikan,. Katsir, I. (1388). Tafsir al-Qur'an al-Adzim. Beirut: Dar al-Ma'rifah.

Kemendiknas. (2003). UU Sisdiknas NO.20. Jakarta: kemendiknas.

Kemendiknas. (2011). Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter . Jakarta:

Kemendiknas.

Khalaf, A. W. (1971). Ilmu Ushul al-Fiqh. Libanon: Dar Kutub al-Ilmiyah.

Khatibah. (2011). Penelitian Kepustakaan. Jurnal Iqra’ Vol.05, no.01, 36-39.

Kosim, M. (2011). Urgensi Pendidikan Karakter. Jurnal KARSA Vol. IXI No. 1, 85-92.

Lickona, T. (2013). Character Matters: How to Help Our Children Develop Good Judgment, Integrity, and Other Esensial Virtues. Cet. Kedua. Terj. Juma Abdu Wamaungo dan Jean Antunes Rudolf Zien. Jakarta: Bumi Aksara.

Lickona, T. (2015). Educating For Character: How Our Schools Can teach Respect and Responsibility. Jakarta: Bumi Aksara.

M.Yusuf, K. (2013). Tafsir Tarbawi: Pesan-pesan al-Qur'an tentang pendidikan.

jakarta: Amzah.

Manzur, I. (1414). Lisan al-Arab. Juz.14. Bairut: Dar Shadir.

Marzuki. (2015). Pendidikan Karakter Islam. Jakarta: Amzah.

Mastuhu. (1994). Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS.

Masyhuri. (2012). Prinsip-Prinsip Tazkiyah Al-Nafs Dalam Islam Dan Hubungannya Dengan Kesehatan Mental. Jurnal Pemikiran Islam, Vol.37, No. 2, 95-101.

Miskawaih, I. (1325). Al-Fauz Al-Asghar. Mesir: Matba'ah al-Sa'adah.

(14)

Mohammad Muchlis Solichin. (2009). Tazkiyah Al-Nafs Sebagai Ruh Rekonstruksi Sistem Pendidikan Islam. Jurnal Tadris, Vol. 4, No. 1, 19-34.

Muhammad, A. A. (1414). Maalim fi al-Suluk wa Tazkiyah al-Nafs. Riyadh: Dar

al-Wathan.

Mulyana, R. (2011). Mengatrikulasi Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta.

Mustari, M. (2014). Nilai Karakt er: Refleksi untuk Pendidikan. Depok: Rajagrafindo

Persada.

Muzakkir, A. M. (2006). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.

Muzhahiri, H. (2000). Jihad al-Nafs. Jakarta: PT. Lentera Basritama.

Nashir, H. (2013). Nashir, haedar. (2013). Pendidikan Karakter Berbasis Agama Dan Budaya. Yogyakarta: Multi Presindo.

Nata, A. (2016). Kapita Selekta Pendidikan Islam: Isu-isu Kontemporer tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Pers.

Nazir, M. (1985). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Purnomo, T. (2013). Pendidikan Karakter Berbasis Tazkiyatun Nafs: Stusi Kasus di Sekolah Dasar Islam Terpadu Ar-Risalah Surakarta. Universitas

Muhammadiyah Surakarta: Tesis S-2 Pendidikan Islam tidak dipublikasikan. Ramayulis. (2013). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.

Ridlwan, N. A. (2013). Konsepesi Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Islam. Jurnal KOMUNIKA Vol.7 No.1, 23-67.

Rofik, Z. (2014). Manusia dalam Pendidikan Islam. Junal At-Tajdid Vol. 3, No. 1,

29-44.

Saputra, E. (2000). pendidikan sex. aceh: toha book.

Shihab, M. (1994). Membumikan Alquran. Bandung: Mizan.

Shihab, M. (2005). Tafsir Al-Misbah: pesan, kesan, dan keserasian Alquran.

Tangerang: Lentera Hati.

Sucipto. (2011). Pembaharuan Hukum Islam: Studi Terhadap Pemikiran Hukum Ibnu Taimiyah. Jurnal ASAS, Vol.3, No.1, 50-64.

Sugiyono. (2014). Metode Penelitian kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:

Alfabeta.

Suriasumantri, J. (1998). Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan, dan Keagamaan: Mencari Paradigma Kebersamaan. In D. &. Ridwan, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antardisiplin Ilmu (p. 41). Bandung: Nuansa.

Suwito. (2004). Filsafat pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Gowok: Belukar.

Syah, N. K. (2016). Potensi Dasar Manusia Menurut Ibnu Taimiyah dan Implikasinya dalam Pendidikan Islam. Jurnal Qatruna, 63-96.

Syarif Ali bin Muhammad Al-Jarjani. (tt). At-Ta’rifat. Beirut: Dar al-Kutub al-Imiyah.

Syaukani, K. &. (2000). Pembaharuan Islam, Konsep, Pemikiran, dan Gerakan.

Malang: UMM Press.

Taimiyah, I. (1399). Al-Tuhfah al-‘Iraqiyah fi al-‘Amal al-Qalbiyah. Cairo: Al-Matba'

(15)

Taimiyah, I. (1994). Tazkiyatu al-Nafs. Riyadh: Darul Muslim li al-Nasyr wa al-Tauzi’.

Taimiyah, I. (1995). Majmu’ al-Fatawa. Madinah: Majma’ Malik Fadh li Thiba’ah

al-Mushaf al-Asyarif.

Taimiyah, I. (1996). Al-Iman. Yordania: al-Maktab al-Islami.

Taimiyah, I. (2005). Al-Ubudiyah. Beirut: al-Maktabah al-Islamiyah.

Taimiyah, I. (2009). Al-Aqidah al-Washitiyyah. Cairo: Maktabah Islamiyah.

Taufik. (2011). Tazkiyah Al-Nafs: Konsep Pendidikan Sufistik Dalam Upaya Membangun Akhlak. Jurnal Tadrîs Vol. 6 No.2, 203-223.

Umam, K. (2010). Pemikiran Pendidikan Ibnu Taimiyah Relevansinya Dengan Pendidikan Kontemporer. Jurnal Falasifa, Vol. 1, No. 2, 129-140.

Wiyono, S. (2006). Manajemen Potensi Diri. Jakarta: Grasindo.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Zulaecha (2010) untuk mengukur kecepatan penyembuhan luka sayat pada mencit dengan menggunakan lendir bekicot dengan

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka penulis akan melakukan penelitian mengenai ³ Analisis Pengaruh Likuiditas, Solvabilitas, Dan Aktivitas

Hasil uji pengaruh parsial pada penelitian dengan uji t menunjukkan bahwa Harga secara parsial berpengaruh terhadap Kepuasan Konsumen, karena nilai t hitung

Variabel Current Ratio, Debt to Equity Ratio, Total Assets Turnover, dan Earning Power secara simultan berpengaruh terhadap pertumbuhan laba.Hal ini dapat dilihat dari

3.Setelah dilakukan analisis pertumbuhan volume lalu lintas pada gambar diatas, maka dapat diketahui peningkatan volume lalu lintas setiap tahunnya mulai 2017

Seperti halnya Tono dan Tini, Yah juga merupakan tokoh sentral yang mendominasi cerita dlam novel belenggu ini, Yah juga termasuk tokoh penting dalam cerita karena tokoh ini

Bapak dan ibu dosen yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama penulis belajar di Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, serta