• Tidak ada hasil yang ditemukan

Survei dan Identifikasi Nematoda Sista Kentang (Globodera spp.) Asal Wonosobo dan Banjarnegara, Jawa Tengah Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Survei dan Identifikasi Nematoda Sista Kentang (Globodera spp.) Asal Wonosobo dan Banjarnegara, Jawa Tengah Chapter III V"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu

Survei dilaksanakan di sentra pertanaman kentang di Desa Patak Banteng, Desa Parikesit, Desa Tieng, dan Desa Suren Gede (Kecamatan Kejajar, Wonosobo); Desa Dieng, Desa Karang Tengah, Desa Bakal, Desa Kepakisan, dan Desa Pekasiran (Kecamatan Batur, Banjarnegara); Desa Condong Campur dan Desa Ratamba (Kecamatan Pejawaran, Banjarnegara), Jawa Tengah. Semua sampel tanah dan akar dibawa dan diekstraksi-isolasi di Laboratorium Nematologi Fakultas Pertanian UGM. Sedangkan proses identifikasi morfologi dan molekuler masing-masing dilakukan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian USU dan Laboratorium Balai Uji Terap Teknik dan Metode Karantina Pertanian Bekasi. Penelitian dilaksanakan dari bulan September 2013 sampai September 2014.

Survei dan Pengumpulan Sampel Tanaman Kentang Terinfeksi

Sampel akar dan tanah diambil dari tanaman yang diduga terinfeksi NSK di lapangan dengan gejala daun menguning, layu, dan pertumbuhan kerdil dari beberapa daerah pertanaman kentang di Kabupaten Wonosobo (Kecamatan Kejajar) dan Banjarnegara (Kecamatan Batur dan Pejawaran) Jawa Tengah. Pengambilan sampel tanah dan akar dilakukan dengan mengambil 100 ml tanah pada kedalaman 0-20 cm. Lokasi pengambilan sampel tanah ditandai dengan GPS (Geo Positioning System) untuk mengukur posisi geografis dan elevasi tanah. Pada setiap lokasi diambil 3 sampel tanah yang mewakili kondisi lahan pada hamparan tersebut.

(2)

Desa Dieng, Desa Karang Tengah, Desa Bakal, Desa Kepakisan, dan Desa Pekasiran (Kecamatan Batur, Banjarnegara); Desa Condong Campur dan Desa Ratamba (Kecamatan Pejawaran, Banjarnegara), Jawa Tengah. Sampel akar dan tanah dimasukkan ke dalam kantong plastik diberi label lokasi dan dimasukkan ke dalam kotak pendingin, selanjutnya dibawa ke Laboratorium Nematologi Tumbuhan Fakultas Pertanian UGM. Sebagai infomasi tambahan, dari setiap sampel dicatat kultivar dan umur tanaman.

Setiap sampel tanah diekstraksi dengan metode penyaringan (Hooper, 1986), sedangkan sampel akar dicuci dengan hati-hati dan dikeringanginkan. Selanjutnya sista pada akar dan tanah dikumpulkan dengan menggunakan pinset atau jarum preparat dan dihitung jumlah sista untuk setiap 100 ml tanah.

Identifikasi Spesies NSK berdasarkan Karakter Morfologi

Untuk identifikasi spesies dengan menggunakan karakter morfologi dan morfometri tidak semua isolat NSK digunakan. Dari 12 isolat NSK yang ada, hanya isolat (C6) saja yang digunakan pada percobaan ini. Sedangkan isolat-isolat lain tidak diidentifikasi secara morfologi karena kepadatan populasi yang rendah dan akan diidentifikasi dengan menggunakan karakter molokuler.

Sebanyak 25 sista dibuat preparatnya dengan memotong bagian posterior sista menggunakan pisau bedah, kemudian telur dan juvenil yang ada di dalamnya dibersihkan dengan jarum pancing nematoda.Setelah itu potongan sista dipindahkan ke atas gelas objek yang telah ditetesi dengan Hoyer (30 gram gun arabik, 200 gram kloral hidrat, 16 gram gliserol, dan dan 200 ml aquades)lalu ditutup dengan gelas penutup.

(3)

kemudian dimatikan dengan pemanasan. Selanjutnya J2 dan telur masing-masing diletakkan di atas gelas objek yang telah diteteskan lactophenol cotton blue kemudian ditutup dengan gelas penutup.

Pengamatan

Pengambilan gambar setiap sampel dilakukan dibawah mikroskop kompaun(Olympus CX21) dengan perbesaran 40x (10 x 4) untuk sista dan perbesaran 100x (10 x 10) untuk J2 dan telur dengan kamera digital Sony Cybershot DSC-W690.Preparat sista, telur, dan juvenile stadia 2 (J2) hasil pengamatan morfologi dan morfometri dipilih masing-masing satu gambar yang dapat mendeskripsikan ciri dari NSK tersebut. Sedangkan proses pengukuran dilakukan dengan menggunakan mikrometer okuler dan mikrometer objektif, dengan rumus berikut

1 Skala Okuler = Jarak skala antara 2 garis pada mokrometer objektif Jarak skala pada mikrometer okuler

= 0,01 x Skala Objektif

Skala Okuler (mm)

= 10 x Skala Objektif

Skala Okuler (µm)

Hasil perhitungan dengan rumus diatas akan dikonfirmasi dengan menggunakan kunci determinasi spesies NSK Fleming dan Powers (1998).

Sista

(4)

Telur

Pengamatan pada telur dilakukan dengan mengukur panjang dan lebar telur.

Juvenil Stadia 2 (J2)

Pengamatan pada juvenil stadia 2 (J2) dilakukan dengan mengukur panjang dan lebar tubuh, panjang dan lebar kepala, panjang stilet, tipe knob, serta panjang ekor.

Identifikasi Spesies NSK berdasarkan Karakter Molekuler

Identifikasi spesies NSK dilakukan dengan pendekatan molekuler menggunakan polymerase chain reaction (PCR).

Ekstraksi DNA

Metode ekstraksi DNA untuk PCR disusun berdasarkan metode yang dilakukan oleh Fullaondo et al. (1999) ; Subbotin et al. (2001) dalam Lisnawita (2007) yang telah dimodifikasi. Dua puluh lima sista dikumpulkan secara acak dari setiap sampel, kemudian dimasukkan kedalameppendof steril yang berisi 150 µl buffer lisis (125 mM KCl ; 25 mM Tris-HCl, pH 8,0 ; 3,75 mM MgCl2 ; 2,5 mM

(5)

Supernatan dipindahkan pada tabung baru dan ditambahkan 2,5 volume total supernatan NAOAc 3 M (pH 5,2), kemudian diinkubasi selama 20 menit pada temperatur -20oC. Setelah itu tabung disentifugasi dengan kecepatan 14.000 rpm selama 10menit, lalu supernatan dibuang. Pelet dicuci dengan 500 µl etanol 70% dan disentrifugasi dengan kecepatan 14.000 rpm selama 10 menit. Etanol dibuang, pelet diambil dan dikeringkan dalam vakum, kemudian diresuspensi dengan 20 µl air steril (ddH2O). Jika DNA belum segera digunakan, dapat disimpan pada

temperatur -20oC. DNA hasil ekstraksi diamplifikasi dengan teknik PCR berdasarkan metode Fullaondo et al. (1999).

Reaksi PCR DNA Sista NSK

Setiap reaksi PCR (25 µl) terdiri atas 25 ng DNA template dari masing-masing sampel, yang terdiri dari 50 mM Tris-HCl (pH 9,0) ; 50 mM KCl ; 1,5 mM MgCl2 ; 0,1% Triton X-100 ; 0,2 mM setiap dNTP (New England Biolabs), 50 ng

setiap primer dan 0,5 unit Taq polymerase(New England Biolabs). Primer yang digunakan reaksi PCR DNA sista NSK yaitu: primer spesifik G. rostochiensis PITSr3 (5’-AGCGCAGACATGCCGCAA-3’), primer spesifik G. pallida PITSp4 (5’-ACAACAGCAATCGTCGAG-3’)(Bulman & Marshall, 1997) dan primer universal nematoda ITS5 (5’-GGAAGTAAAAGTCGTAACAAGG-3’) (White et al., 1990).

(6)

selama 7 menit, kemudian siklus berakhir pada suhu 4oC. Ukuran produk PCR untuk G. rostochiensis adalah 434 bp dan untuk G. pallida adalah 265 bp.

Elektroforesis

(7)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebaran Nematoda Sista Kentang di Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara Berdasarkan hasil survei yang dilakukan di sentra pertanaman kentang di Kabupaten Wonosobo (4 lokasi) dan Kabupaten Banjarnegara (7 lokasi) Jawa Tengah diketahui bahwa NSK telah tersebar diseluruh wilayah tersebut (Gambar 1). Hasil survei juga menunjukkan bahwa NSK telah menyebar pada ketinggian tempat yang berbeda yaitu dimulai dari ketinggian 1577 m dpl sampai dengan 2047 m dpl. Disamping itu, dari hasil survei di Desa Patak Banteng, Desa Parikesit, Desa Tieng, dan Desa Suren Gede (Kecamatan Kejajar, Wonosobo); Desa Dieng, Desa Karang Tengah, Desa Bakal, Desa Kepakisan, dan Desa Pekasiran (Kecamatan Batur, Banjarnegara); Desa Condong Campur dan Desa Ratamba (Kecamatan Pejawaran, Banjarnegara), Jawa Tengah diketahui NSK dapat menyerang semua kultivar kentang yang ditanam petani di lapangan. Kultivar yang ditanam oleh petani yaitu Granola dan Granola MZ (hasil persilangan Granola lokal dan Granola asal Jerman) (Tabel 1).

(8)

Tanaman yang terinfeksi NSK di lapangan menunjukkan gejala yang sama dengan gejala serangan nematoda pada umumnya. Infeksi NSK pada fase vegetatif dengan tingkat populasi yang tinggi mengakibatkan pertumbuhan tanaman terhambat (tanaman kerdil), kekuningan, layu dan nekrosis (Gambar 2A dan Gambar 2B), sedangkan pada fase generatif, infeksi NSK dapat mengakibatkan umbi yang dihasilkan berukuran kecil dan apabila tanaman dicabut, akan terlihat betina dan sista menempel pada permukaan akar tanaman kentang (Gambar 2C). Pada tingkat infestasi tertentu, sista kadang-kadang dapat dilihat pada permukaan umbi dan akar tanaman kentang.

Gambar 2. Gejala NSK di lapangan. Tanaman kentang dominan layu dan daun menguning (A dan B); Sista menempel pada permukaan akar tanaman kentang (ditunjukkan dengan tanda panah) (C)

Saat panen, sebagian besar sista menjadi terpisah dari akar dan tetap di tanah sebagai sumber infestasi untuk tanaman kentang di musim tanam berikutnya. Saat tanaman inang tidak ada, sebagian besar telur menetas dalam waktu 7 tahun, dan populasi akan menurun. Namun, beberapa telur dapat bertahan hidup di tanah selama 10 tahun atau lebih (Taylor, 2009).

(9)
(10)

Hasil ekstraksi-isolasi NSK dari tanah dan akar, memperlihatkan kepadatan populasi patogen tersebut bervariasi di setiap lokasi pengambilan sampel (Tabel 1). Populasi NSK tertinggi terdapat di Desa Dieng (Kabupaten Bajarnegara) dan Desa Patak Banteng (Kabupaten Wonosobo) dengan masing-masing populasi 131 sista/100 ml dan 100 sista/100 ml tanah, sedangkan populasi terendah terdapat di Desa Suren Gede (Kabupaten Wonosobo) dan Desa Ratamba (Kabupaten Bajarnegara) masing-masing 1 sista/100 ml tanah dan 31 sista/100 ml tanah.

(11)

kentang di Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur (Lisnawita, 2007). Khusus di Jawa Tengah (Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara), infeksi NSK menjadi lebih serius dengan adanya G. pallida (Lisnawita et al., 2012) dan menyebabkan tidak ada kultivar yang tahan terhadap spesies ini.

Terdeteksinya NSK di sentra-sentra pertanaman kentang di Jawa Tengah, diduga telah ada dalam waktu yang lama. Seperti diketahui bahwa penggunaan bibit kentang impor telah berlangsung dalam waktu yang sangat lama. Menurut Suwardiwijaya et al. (2007), sejak tahun 1985 petani di Jawa Tengah telah menggunakan benih impor asal Jerman yang telah terinfestasi NSK. Keadaan ini memungkinkan untuk NSK bisa berkembang dengan baik di wilayah Jawa Tengah tersebut. Nematoda sista kentang dapat terdeteksi dan menyebabkan endemik di suatu daerah memerlukan waktu sekitar 7 tahun (Brodie, 1998).

Hasil survei ini, akan menjadi acaman serius bagi pertanaman di wilayah-wilayah lain yang merupakan sentra pertanaman kentang di Indonesia. Hal ini dikarenakan NSK sulit untuk dikendalikan. Ketika NSK terinfestasi di suatu lahan, maka NSK akan bertahan pada lahan tersebut dan akan tetap ada walaupun kentang tidak ditanam dalam jangka waktu yang lama. Menurut Quader et al.(2008); Nakhla et al.(2010) nematoda ini dapat bertahan di dalam tanah pada kondisi dorman tanpa tanaman inang selama 30 tahun dalam bentuk sista. Walaupun hasil survei menunjukkan variasi populasi NSK dari rendah hingga tinggi, namun kondisi ini tidak menghalangi terjadinya ledakan penyakit di wilayah tersebut.

(12)

Banjarnegara Jawa Tengah, diduga karena pola petani yang melakukan sistem pertanaman monokultur secara terus menerus. Pola penanaman monokultur mengakibatkan populasi NSK meningkat dengan cepat, karena ketersediaan inang bagi patogen ini yang ada sepanjang tahun. Di Jawa Tengah, petani menanam kentang sepanjang tahun. Pola tanam seperti ini memungkinkan perkembangan penyakit lebih cepat dibandingkan dengan polikultur.

Nematoda Sista Kentang hidup berkoevolusi dengan tanaman kentang. Kondisi agroekosistem yang cocok untuk kehidupan tanaman kentang juga sangat cocok untuk kehidupan NSK. Perpindahan NSK dari satu tempat ke tempat lain secara aktif sangat terbatas, tetapi sebaran NSK tersebut justru dapat terjadi sangat cepat dan luas secara pasif. Penyebaran NSK dapat terjadi melalui air (perkolasi, aliran permukaan, banjir, aliran selokan dan sungai), tanah (erosi air, erosi angin, tanah yang menempel di alat-alat pertanian, kaki dan sepatu, ternak, mesin pertanian dan lainnya), manusia dan binatang, tanaman dan lain sebagainya. Kemampuan bertahan (survive), reproduksi dan dinamika populasi NSK lebih spesifik dibandingkan dengan nematoda parasit lain yang sejenis. Dinamika populasi NSK sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, diantara faktor biotik (predasi, parasitisme, interaksi kompetitif, abiotik (sifat tanah, iklim), kegiatan pertanian (pola tanam dan bera).

(13)

kentang tercatat 20, 50 dan 70% pada densitas populasi awal nematoda 12, 32 dan 128 telur per gram tanah. Pada musim dingin, penurunan produksi tersebut tercatat 20, 50 dan 70% pada densitas populasi awal 12, 32 dan 128 telur per gram tanah. Selanjutnya di Polandia lahan kentang yang terinfestasi NSK khususnya G. rostochiensis, meskipun jumlah sista bertambah menjadi 63 sista/100 g tanah selama 4 tahun hasilnya tidak berpengaruh, namun pada tahun kelima jumlah sista akan mencapai 180 sista/100 g tanah (hingga mencapai 3000 sista/tanaman) akan mengakibatkan penurunan hasil hingga 72%. Untuk menghindari penurunan hasil yang begitu besar akibat penyebaran NSK di wilayah-wilayah pertanaman kentang lain di Indonesia, maka diperlukan monitoring perkembangan penyakit di areal yang telah terinfeksi. Disamping itu, di wilayah lain yang belum terinfestasi NSK, diharapkan kerjasama dan pengawasan dari pihak terkait seperti Badan Karantina Tumbuhan agar patogen ini tidak masuk dan menginfeksi. Jika tidak ada pengawasan yang lebih ketat, dikhawatirkan nematoda ini akan semakin tersebar luas di areal pertanaman kentang di Indonesia.

(14)

perkembangan dan reproduksi NSKberkisar 15-21°C. Meskipun begitu tidak berarti bahwa di luar kisaran temperatur tanah tersebut di atas, NSK tidak akan mampu berkembang dengan optimal (Hadisoeganda, 2006). Mengingat bahwa kemampuan daya adaptasi NSK khususnya terhadap temperatur, durasi penyinaran matahari dan cara budidaya tanaman yang kuat, maka penyebaran dan masalah yang akan ditimbulkan oleh NSK terhadap budidaya kentang di kawasan lain (medium dan rendah) perlu diwaspadai.

(15)

Hasil survei dan identifikasi ini merupakan informasi yang sangat penting, karena memberikan informasi tentang sebaran dan spesies NSK yang terinfestasi di Wonosobo dan Banjarnegara, Jawa Tengah. Dengan demikian dapat menjadi dasar pertimbangan bagi pengambil kebijakan di Jawa Tengah maupun nasional dalam penyusunan program pengendalian NSK. Mengingat patogen ini memiliki keunikan, dimana satu sista saja yang terinfestasi dapat berkembang menjadi populasi yang besar dan mengakibatkan perkembangan penyakit yang luar biasa pada kurun waktu tertentu.

Semua teknik pengendalian harus dilakukan dengan tujuan untuk menekan perkembangan hingga meniadakan sumber inokulum. Saat ini teknik pengendalian menggunakan kultivar resisten banyak digunakan. Dimana menurut Lisnawita (2007) teknik ini yang paling efektif dan banyak dilakukan di Eropa. Dari data Joosten (1991 dalam Lisnawita, 2007), di Eropa ada beberapa kultivar kentang yang resisten terhadap NSK diantaranya Granola resisten Ro1 dan Ro4, Atlantik Ro1, Elkana resisten Ro1-Ro4, Astarte resisten Ro1, Diamant resisten Ro1 dan Ro4, Karida resisten Ro1-Ro4, Ditta resisten Ro1, Remarka resisten Ro1, Karniko resisten Ro1-Ro4, Sante resisten Ro1-Ro4, dan lain sebagainya. Akan tetapi di Indonesia informasi tentang teknik ini masih belum tersedia. Oleh karena itu, eksplorasi sifat ketahanan kultivar kentang yang banyak ditanam di Indonesia seperti Granola perlu dilakukan. Melalui kegiatan evaluasi ketahanan, maka peta respon ketahanan berbagai kultivar kentang bisa didapatkan (Lisnawita, 2007).

(16)

Varietas Dona (Lisnawita, 2007). Berdasarkan laporan Supramana et al. (2006), tanaman tomat varietas Dona memberikan hasil yang terbaik sebagai tanaman perangkap untuk NSK dibandingkan dengan terung dan cabe dari famili Solanaceae. Pengendalian dengan menggunakan tanaman perangkap di negara-negara Eropa dan Amerika dilaporkan dapat menurunkan populasi NSK secara nyata (Lisnawita, 2007). Beberapa keuntungan menggunakan tanaman perangkap, yaitu 1) dapat dikombinasikan bersama-sama dengan teknik pengendalian lain, 2) waktu yang dibutuhkan relatif singkat yaitu sekitar 6-7 minggu, sehingga tidak merubah waktu tanam kentang petani, 3) teknik pengendalian ini merupakan teknik pengendalian lintas spesies dan patotipe, artinya untuk menggunakan tanaman perangkap tidak memerlukan identifikasi spesies dan patotipe NSK terlebih dahulu, karena tanaman perangkap dapat efektif untuk semua spesies dan patotipe NSK, dan 4) penggunaan tanaman perangkap aman bagi lingkungan dan kesehatan (Lisnawita, 2007).

(17)

dikembangkan sebagai agens hayati di Inggris (UK). Pemberian P. cucumerina secara tunggal dapat menurunkan populasi G. rostochiensisdan G. pallidahingga lebih dari 60%.

Selain cendawan, ada juga beberapa jenis bakteri yang dapat berfungsi sebagai agens hayati untuk NSK. Beberapa bakteri tersebut diantaranya Agrobacterium radiobacter, Bacillus subtilis, Pseudomonas spp. Selain itu, Pasteuria penetrans juga jenis bakteri yang dapat menurunkan laju perkembangan NSK (Lisnawita, 2007).

Pengendalian secara hayati, tentunya tidak dapat bekerja sendiri. Oleh karena itu diperlukan kombinasi pengendalian yang sesuai dengan konsep pengendalian secara terpadu, yaitu bersama-sama dengan solarisasi tanah, penggunaan varietas tahan, penggunaan tanaman perangkap, dan penggunaan nematisida.

Identifikasi Spesies NSK berdasarkan Karakter Morfologi

Hasil identifikasi berdasarkan karakter morfologi yang dilakukan pada isolat C6 dapat dilihat pada Gambar 3.

Sista

(18)

(61,5 µm), dan rasio granek (3,62).

Gambar 3. Karakter morfologi nematoda sista kentang. Sista (A), sidik pantat (perrenial pattern) (B), Juvenil stadia 2 (J2) serta telur (C, D) (vb = vulva basin, a = anus, jaf = jarak anus-fenestra, RG = 3,62)

Telur

Telur berada di dalam sista. Apabila sista dibelah atau dipecahkan telur dan juvenil stadia 1 (J1) dan juvenil stadia 2 (J2) akan terlihat dalam jumlah yang cukup banyak (Gambar 3C). Telur berbentuk oval dan tidak ada kantung telur (Gambar 3D). Permukaan cangkang halus dan tidak memiliki mikrovili. Hasil pengukuran yang dilakukan, diperoleh panjang telur (103 µm) dan lebar (47 µm).

Juvenil Stadia 2 (J2)

Juvenil stadia 2 (J2) berbentuk cacing (Gambar 4A), dengan bentuk ekor semakin ke ujung semakin mengecil (Gambar 4B). Kepala sedikit offset (bagian kepala dengan bagian tubuh dibelakang kepala dipisahkan suatu lekukan pada kutikula). Stilet tipe stomatosilet dan berkembang dengan baik. Knob stilet (pangkal stilet) berbentuk membulat. Panjang tubuh total (548 µm) dan lebar tubuh maksimum (24,5 µm). Lebar kepala (4,4 µm), panjang stylet (25,2 µm), panjang ekor (57,4 µm), sedangkan tipe knob berbentuk bulat (Gambar 4A).

A B C D

vb a

(19)

Gambar 4. Morfologi juvenil stadia 2 (J2) (A). Daerah anterior (B) dan ekor (C). (kb = knob, kp = kepala, st = stilet)

Identifikasi Spesies NSK berdasarkan Karakter Molekuler

Hasil amplifikasi DNA dengan teknik PCR menggunakan primer spesifik G. rostochiensis PITSr3 (5’-AGCGCAGACATGCCGCAA-3’), primer spesifik G. pallida PITSp4 (5’-ACAACAGCAATCGTCGAG-3’)(Bulman & Marshall, 1997; Garcia et al., 2009) dan primer universal nematoda ITS5 (5’-GGAAGTAAAAGTCGTAACAAGG-3’) (White et al., 1990; Garcia et al., 2009) terhadap 12 populasi NSK menghasilkan satu pola pita DNA dengan ukuran 434 bp. Ukuran pita 434 bp ditemukan pada semua populasi NSK yaitu, Kabupaten Wonosobo (C1-C5) dan Kabupaten Banjarnegara (C6-C12). Menurut Quader et al.(2008); Nakhla et al.(2010), pita dengan ukuran ini merupakan spesies G. rostochiensis (Gambar 5).

A B C

kp

(20)

Gambar 5. Hasil amplifikasi DNA NSK dengan PCR menggunakan primer spesifik untuk G. rostochiensis PITSr3, primer spesifik G. pallida PITSp4 dan primer universal nematoda ITS5 (Bulman&Marshall, 1997; Garcia et al., 2009). 1-5. NSK C1, C2, C3, C4 dan C5 (Wonosobo), 6-12. NSK C6, C7, C8, C9, C10, C11 dan C12 (Banjarnegara). M=Marker 100 bp ladder Invitrogen.

Identifikasi NSK berdasarkan karakter morfologi dari sampel yang digunakan adalah G. rostochiensis. Hasil ini dapat dilihat dari karakter yang diamati diantaranya sista, telur dan juvenil stadia 2 (J2) (Gambar 3 dan 4). Pengamatan pada sista dan juvenil stadia 2 (J2) merupakan hal yang paling penting selain pengamatan pada telur, betina dan jantan (Oro et al.,2010). Miller dan Gray (1968); Stone (1973); Skantar et al.(2007) menggunakan daerah antara anus dan fenestra sista untuk membedakan antara G. virginiae, G. tabacum,G. rostochiensisdan G. pallida.

(21)

pallida kurang dari 3. Nilai rasio granek dibutuhkan untuk membedakanG. rostochiensis dan G. pallida karena keduanya memiliki tipe vulva yang sama, yaitu tidak terdapat vulval cone(vulva tampak menonjol seperti kerucut). Vulval cone dimiliki nematoda sista yang berasal dari genus Heterodera. Selain itu, pengamatan dilakukan dengan pengukuran jarak antara anus-fenestra dengan nilai jarak sebesar 61,5 µm. Nematoda sista kentang dengan karakter seperti ini termasuk dalam spesies G. rostochiensis.

Selain nilai rasio granek, pengamatan pola tonjolan kutikula (cuticular ridges) dari anus-fenestra juga dapat digunakan untuk membedakan G. rostochiensis dan G. pallida. Jumlah pola tonjolan kutikula yang dimiliki G. rostochiensis lebih dari 14, sedangkan G. pallida kurang dari 14 (Fleming & Powers, 1998 dalamCABI, 2014).

G. rostochiensis sangat mirip dengan spesies lain dari kelompok nematoda sista. Morfologi, penampilan fenotipik dan biologi serta kisaran inang sangat sulit untuk membedakan spesies dari G. tabacum, G. solanacearum, G. virginiae, dan G. pallida (CABI, 2014). Semua betina G. rostochiensis, G. tabacum dan Globodera spp. saat menempel pada akar berwarna kuning-keemasan, kemudian kutikula sista menjadi berwarna coklat saat terlepas dari akar (Gitty & Maafi, 2010 ; EPPO, 2013). Sedangkan pada juvenil stadia dua (J2), menurut Roberts dan Stone (1981) ; Stelter (1987), adanya hibridisasi G. rostochiensis dengan kelompok G. tabacum membuktikan hubungan genetik yang kuat.

(22)

GAC ATG CCG CAA -3’), primer spesifik G. pallida PITSp4 (5’- ACA ACA GCA ATC GTC GAG -3’) (Bulman & Marshall, 1997; Garcia et al., 2009) dan primer universal nematoda ITS5 (5’- GGA AGT AAA AGT CGT AAC AAG G-3’) (White et al., 1990; Garcia et al., 2009). Hasilnya, spesies yang teridentifikasi secara molekuler adalah G. rostochiensis (434 bp) sementara tidak satupun hasil amplikasi menunjukkan (Gambar 4) fragmen DNA dari spesies G. pallida (265 bp).

Hasil yang berbeda diperoleh peneliti terdahulu Lisnawita (2007) dan Nurjanah (2009) di Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara. Kedua peneliti tersebut berhasil mengamplifikasi fragmen DNA berukuran 238 bp dengan menggunakan pasangan primer ITS-1 R dan 5,8 S rRNA untuk spesies G. rostochiensis serta fragmen DNA berukuran 391 bp dengan menggunakan pasangan primer ITS-1 P dan 5,8 S rRNA untuk spesies G. pallida pada populasi campuran.

Spesies G. pallida yang tidak teramplifikasi dalam penelitian ini, dimungkinkan karena pasangan primer PITSp4 dengan primer universal ITS5 tidak relevan untuk mendiagnosis sista nematoda yang ditemukan dalam populasi campuran pada 12 lokasi survei yang tersebar di Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara. Hasil ini sama dengan yang dilakukan Grubisic et al. (2013), dimana G. pallida tidak terdeteksi dengan menggunakan pasangan primer PITSp4 dengan ITS5. Sedangkan pada penelitian sebelumnya, Grubisic et al. (2007) berhasil mengidentifikasi spesies G. pallida pada populasi campuran di wilayah yang sama di Kroasia.

(23)

akurasi yang tinggi. Hal ini disebabkan pada metode ini perbedaaan anatara isolat dapat dilacak pada tingkat gen, sehingga memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi untuk mengidentifikasi spesies sista campuran. Sebaliknya identifikasi spesies berdasarkan karakter morfologi hanya dapat mengidentifikasi spesies yang dominan dari sampel yang digunakan dalam pengamatan.

(24)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Nematoda sista kentang terinfestasi di seluruh areal pertanaman kentang di Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo Jawa Tengah dengan kepadatan populasi rendah hingga tinggi.

2. Infeksi NSK dapat terjadi pada tanaman muda hingga menjelang panen, dari ketinggian 1500 m dpl – 2100 m dpl.

3. Kultivar kentang yang terinfeksi saat survei dilakukan adalah Granola dan Granola MZ (hasil persilangan Granola lokal dan Granola asal Jerman).

4. Identifikasispesiesberdasarkan karakter morfologi berhasil mengidentifikasi populasi NSK (isolat C6), yaitu Globodera rostochiensis.

5. Identifikasi spesies berdasarkan karakter molekuler berhasil mengidentifikasi populasi NSK (isolat C1-C12) yaitu Globodera rostochiensis.

Saran

1. Perlu dilakukan perunutan asam nukleat dari fragmen DNA hasil amplifikasi NSK isolat seluruh arela pertanaman kentang di Jawa Tengah.

Gambar

Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel NSK di Banjarnegara dan Wonosobo Jawa Tengah
Gambar 2. Gejala NSK di lapangan. Tanaman kentang dominan layu dan daun menguning (A dan B); Sista menempel pada permukaan akar tanaman kentang (ditunjukkan dengan tanda panah) (C)
Tabel 1. Lokasi sebaran sampel NSK di Jawa Tengah dan jumlah sista per 100ml tanah & 10 g akar
Gambar 3. Karakter morfologi nematoda sista kentang. Sista (A), sidik pantat (perrenial pattern) (B), Juvenil stadia 2 (J2) serta telur (C, D) (vb = vulva basin, a = anus, jaf = jarak anus-fenestra, RG = 3,62)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian di beberapa lokasi menunjukkan bahwa modifikasi pertanaman melalui pengaturan jarak tanam dan panen brangkasan secara bertahap melalui penjarangan,

Penulis memilih surat kabar harian KOMPAS sebagai objek penelitian karena KOMPAS merupakan media massa nasional yang memiliki jam terbang yang cukup tinggi.. Selain itu, KOMPAS

SDM (komisioner) selalu ingin akuntabel. Pada saat pelaksanaan Pilkada 2010 Kabupaten Situbondo, yang ditandai bahwa komisioner sudah melaksanakan tugas berdasarkan pada

Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa foto udara sakala 1:20.000 lebih baik dalam mengekstraksi parameter lahan penentu sedimen dibandingkan dengan citra

Lombok Barat PENJAS GEDUNG AL IHSAN III 50 16230122010548 Mustain Ramli Pendidikan Jasmani dan KeSD ISLAM DARUSSALAM Kab.. Lombok Barat PENJAS GEDUNG AL IHSAN III 51

Berdasarkan analisis di atas, manajemen media massa studi pada buletin (Al-Islam) HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) Kabupaten Sambas dapat disimpulkan bahwa ada tiga manajemen

Kegiatan awal dari penelitian ini adalah mengadakan tes awal (tes diagnostik I dan II) yang diikuti oleh 30 siswa kelas IV SD Astina Yogyakarta, yang bertujuan untuk

Hardjana => Metode adalah cara yang sudah dipikirkan masak- masak dan dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah tertentu guna mencapai tujuan yang hendak dicapai, (8) Hebert