• Tidak ada hasil yang ditemukan

PANDANGAN JOHN STEINBECK TERHADAP MASALA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PANDANGAN JOHN STEINBECK TERHADAP MASALA"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Langue, Oktober 2010 Vol. 4, No. 2 ISSN 1963-0487

PANDANGAN JOHN STEINBECK TERHADAP MASALAH SOSIAL PADA TAHUN 1930-AN DI AMERIKA DALAM NOVELNYA IN DUBIOUS

BATTLE

Revida Engelbertha 1

Faculty of Letters, Pertiwi School of Foreign Languages Jl. Dewi Sartika Kav 2 & 3 Cililitan Jakarta 13640

Telp. 021-8090474

Abstrak

Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menganalisis sudut padang John Steinbeck tentang situasi pada tahun 1930an di Amerika. Metode yang digunakan adalah studi pustaka dengan mengobservasi buku karya John Steinbeck yaitu In Dubious Battle dan menganalisis buku tersebut dengan textual approach. Di samping itu penulis juga menggunakan sumber lain. Dalam novel ini John Steinbeck membahas tentang penderitaan orang Amerika khususnya pekerja, petani, dan orang-orang biasa. Menurut Steinbeck penderitaan mereka dikarenakan oleh faktor ekonomi dan sistem politik yang mengganggu mereka. Pemetik buah dalam In Dubious Battle melakukan pemogokan kerja untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik yang dapat membantu kehidupan mereka. Dengan menganalisis novel In Dubious Battle penulis mengambil kesimpulan bahwa John Steinbeck telah berhasil menuangkan idenya melalui novel ini. John Steinbeck ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa selama era depresi dan penderitaan masih terdapat nilai-nilai martabat.

Kata Kunci : pandangan, masalah sosial

Abstract

The aim of this paper is to analyze John Steinbeck’s point of view about the situation happened in the year of 1930 in Amerika. The method that the writer uses is library research to analyze John Steinbeck’s book entitled In Dubious Battle by using textual approach. In addition, the writer has also used other sources. In this novel, John Steinbeck talked about the suffering of the American people especially the workers, the farmers, and other common people. According to Steinbeck their suffering was caused by the economic and political system which gnawed them. The fruit-picker In Dubious Battle launched their strike in order to get their better life. By analyzing In Dubious Battle, the writer made a conclusion that John Steinbeck was successful in conveying his ideas through this novel. He wanted to tell the readers that during the depressing and suffering eras there were still values of dignities.

Key Words: pandangan, masalah sosial

Pendahuluan

Sikap dan pandangan seorang pengarang dapat kita ketahui dan pelajari dari beberapa hasil karyanya. Hal ini disebabkan karena hasil karya seorang pengarang merupakan media dan jembatan antara pembaca dan pengarang itu sendiri. Dalam In Dubious Battle, John Steinbeck menceritakan secara nyata sebuah pertentangan antara kaum buruh dan majikan di sebuah perusahaan buah-buahan di California. Mac sebagai otak dari pemogokan ini menganjurkan beberapa teori untuk menyelamatkan kaum buruh dari tindakan majikan yang se wenang-wenang. Dalam novel ini jelas terlihat sikap Steinbeck terhadap perkembangan sosial yang terjadi semasa hidupnya.

(2)

Jurnal Langue, Oktober 2010 Vol. 4, No. 2 ISSN 1963-0487

Kritik sosial memang sudah merupakan bagian dari kehidupan bermasyarakat. Kritik sosial sebenarnya membantu sebuah negara mempertahankan demokrasinya. Kritik atau kontrol sosial dapat disalurkan melalui media surat kabar, majalah, kampanye dari golongan oposisi, atau melalui cerita-cerita berbentuk fiksi. Meskipun novel-novel Steinbeck mempunyai latar belakang roman sejarah, dia sebagai seorang penganut sosial. tetap menulis novel-novelnya dalam bentuk fiksi bukan dalam bentuk roman sejarah. Pada masa kanak-kanaknya Steinbeck telah bekerja di perkebunan buah-buahan sehingga dia dapat merasakan secara langsung suka duka para buruh perkebunan tersebut. Keadaan ekonomi yang demikian buruknya pada tahun 1930an di Amerika membuat kehidupan orang penuh dengan penderitaan. Dia merasakan keadaan ini secara langsung sehingga tidaklah mengherankan apabila dalam beberapa karyanya dia terlihat berpihak pada kaum buruh dalam pertikaian mereka dengan majikannya. Dalam hal ini penulis membatasi ruang lingkup pembahasan dengan hanya membahas novel In Dubious Battle. Permasalahan yang akan dibahas yaitu bagaimanakah pandangan pengarang terhadap masalah sosial pada 1930an di Amerika yang telah mewakili aspirasi Steinbeck dalam penuangannya dalam sejarah pada masa itu.

Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menganalisis sudut padang John Steinbeck tentang situasi pada tahun 1930an di Amerika.

Kajian Teori

Dalam menyusun analisis dari buku In Dubious Battle, peneliti menggunakan beberapa teori untuk menjelaskan buku tersebut. Teori yang digunakan berhubungan dengan teori psikologi sosial dan teori sosial budaya.

Social Development Theory

Teori ini menjelaskan bahwa setelah individu melewati fase perkembangan fisik dan perkembangan kognitif, individu akan masuk dalam fase perkembangan sosial. Pada tahap ini, peran dari lingkungan sosial dan budaya mulai memengaruhi individu. Pertambahan usia yang diikuti oleh perubahan fisik akan memberikan tantangan tersendiri. Bagaimana budaya dan lingkungan memengaruhi aspek dalam kehidupan individu sangatlah penting. Tugas dalam hidup adalah menyatukan bagian kehidupan biologi dengan bagian lainnya yaitu kehidupan sosial yang diperoleh dari pengalaman budaya.

Social Life Theory

Teori ini menyatakan bahwa anak-anak lahir tanpa adanya karakteristik dalam dirinya tetapi mereka mempunyai kemampuan untuk mempelajari perilaku. Kemampuan inilah yang harus dikembangkan selama proses sosialisasi. Proses mengajari anggota kelompok apa yang harus dipelajari untuk meningkatkan kehidupan sosial termasuk dalam kehidupan bersosialisasi. Dalam kehidupan sosial individu akan masuk kehidupan budaya dan nilai-nilai dari masyarakat tersebut.

Selain berhubungan dengan nilai-nilai sosial, setiap individu memiliki perannya masing-masing dalam sistem sosial. Ada beberapa peran dasar, seperti dalam latar belakang keluarga, sosial, dan ekonomi. Jadi individu juga dibagi dan dikelompokkan dalam struktur sosial dan berhubungan dengan perilaku sosial.

(3)

Jurnal Langue, Oktober 2010 Vol. 4, No. 2 ISSN 1963-0487

Penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan, yaitu segala usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang akan atau sedang diteliti. Informasi itu dapat diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah, tesis dan disertasi, peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan, ensiklopedia, dan sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun media elektronik.

Analisis

Novel ini berhubungan dengan masalah-masalah sosial masyarakat di California khususnya dan Amerika umumnya selama masa depresi yang melanda negeri itu pada 1930-an. Namun suasana daerah pertanian di California terutama di Salinas Valley berbeda dengan daerah-daerah lainnya, hal ini disebabkan karena pertanian di California dimiliki oleh orang-orang kaya yang mempekerjakan ratusan pekerja dan kebanyakan dari mereka adalah para imigran.

Daerah peladangan umumnya sangat luas dengan hasil yang melimpah, begitu pula upah para pekerja yang sangat rendah sehingga selalu menimbulkan keresahan-keresahan. Pada tahun 1936, ribuan pemetik apel di Salinas Valley melakukan aksi pemogokan karena rendahnya upah yang mereka terima. Suasana menjadi hangat dan berita pemogokan ini tersebar keseluruhan Amerika Serikat.

Pemerintah saat itu mengerahkan kesatuan polisi dan dibantu oleh tenaga sukarela untuk menghentikan pemogokan. Akhirnya sebulan kemudian aksi pemogokan itu dapat diatasi.

Pengalaman Steinbeck mengenai peladangan terjadi tatkala dia takut bekerja memetik apel di Salinas. Sebelum dia menulis In Dubious Battle, Steinbeck pernah mempelajari beberapa taktik dalam membangkitkan beberapa pemogokan dari beberapa tokoh-tokoh organisasi pekerja yang melarikan diri dari pengejaran polisi. Hal ini juga dipelajarinya dari beberapa penasehat komunis di daerahnya. Semua pengalaman-pengalaman dan keterangan tentang masalah pemogokan ini memberi ilham padanya. Sebenarnya Steinbeck sendiri bukannlah seorang komunis, malah dia sendiri mengeritik faham komunis seperti yang terlihat dalam In Dubious Battle. Tokoh dokter, menurut pendapat penulis, adalah suara Steinbeck sendiri. Keterlibatannya di dalam aksi pemogokan hanyalah untuk mempelajari situasi atau gambaran yang sebenarnya seperti kutipan berikut ini:

.... see the whole picture -as nearly as I can. I don’t want to wait to put on the bkindere of “good” and “bad” and live it my vision. If I used the term ‘good’ on a thing I’d lose license to –inspect it, because there might be bad in it. Don’t you see i want to be able to look at the whole thing.”(Steinbeck, 1936 : 143)

(4)

Jurnal Langue, Oktober 2010 Vol. 4, No. 2 ISSN 1963-0487

Sama halnya dengan penulis-penulis di tahun 1930-an, Steinbeck bermaksud untuk menggambarkan keadaan yang sebenarnya yang terjadi di negara Amerika. Kalau tokoh Mac dalam novel ini mengemukakan ide-idenya berdasarkan pengalamannya dari banyaknya dia membaca, maka sang dokter berdasarkan ilmu pengetahuan dan analogi dapat mendiagnosis dengan rinci sebagaimana kutipan berikut ini:

I want to watch those group-man, for they seem to me be a new individual, not at all like single men. A man in a group isn’t himself at all, he’s a cell in a organism that isn’t like him anymore than the cells in your body like you. I want to watch the group and see what is like (John Steinbeck, 1936 : 144)

Saya ingin mengamati kelompok orang ini, karena bagiku mereka ini seperti suatu kesatuan individu sama sekali bukan merupakan orang banyak. Seorang dalam suatu kelompok bukan dirinya sendiri, dia merupakan sebuah sel di dalam organisme yang menghilangkan kepribadiannya seperti juga sel-sel dalam diri anda. Aku ingin mengamati kelompok ini dan bagaimana kesudahannya.

Penekanan terhadap pendekatan sang dokter (dalam hal ini Steinbeck) didasarkan pada faktar-fakta, proses dan keobjektifan, dan penyelidikan atas hal manusia sebagaimana apa adanya. Jadi bagi Steinbeck melalui mulut sang dokter, pemogokan-pemogokan tidak bisa dikatakan baik dan tidak pula buruk. Menurut Steinbeck kesalahan terbesar ada pada kesenjangan antara pemilik peladangan dan para pekerja. Merekalah yang seharusnya bertanggung jawab atas terjadinya pemogokan itu.

Steinbeck merasakan adanya kepincangan-kepincangan dalam masyarakat pekerja pada waktu itu, sedang suasana yang suram pada masa depresi pada tahun 1930-an itu sangat jelas digambarkannya dengan menceritakan keadaan kelompok pekerja.

An apathy had fallen on the men. They sat staring in front of them. They seemed not to have the energy to talk, and among the the bed ragged discountented women sat. They were listless and stale, they growed thoughtfully at their mear and when it was finished, wipes hands on their clothes.(Steinbeck, 1936 : 74)

Suatu perasaan masa bodoh terlihat di wajah orang-orang itu. Mereka kelihatannya seperti tidak mempunyai waktu untuk berbicara. Diantara mereka kelihatan para wanita basah kuyup dan berperasaan tidak senang, duduk dengan gelisah. Kebanyakan diantara mereka merasa gelisah, lesu, dan bosan. Dengan lahapnya mereka menggerogoti daging yang mereka peroleh hari itu. Setelah habis, mereka menyapu mulut mereka dengan baju mereka sendiri.

Dengan keadaan yang menyedihkan ini Steinbeck ingin memperlihatkan pada dunia luar bagaimana penderitaan yang dialami para pekerja pada waktu Amerika dilanda depresi.

Jelaslah bahwa dalam novel ini menggambarkan adanya kepincangan-kepincangan visual yang terjadi pada masa depresi di tahun 1930-an di Amerika. Hal ini dapat juga dilihat jelas pada hampir semua hasil karya pada masa itu mempunyai tema :

(5)

Jurnal Langue, Oktober 2010 Vol. 4, No. 2 ISSN 1963-0487

“Peristiwa-peristiwa tentang ketidakadilan sosial, seperti pemerasan terhadap petani bagi hasil pekerja-pekerja yang tidak cakap, imigran-imigran yang baru, orang-orang Negro, dan kelompok-kelompok yang lemah lainnya, bukti-bukti tentang adanya korupsi diantara pedagang dan politisi kelas menengah tentang aksi para pekerja,....”

Mungkin agak sukar untuk menempatkan kedudukan Steinbeck dalam sejarah kesusastraan Amerika, karena dia tidak termasuk anggota manapun yang ada pada waktu itu, baik komunis maupun kelompok pekerja lainnya. Dia berkembang seperti penulis lainnya, misalnya Fitzgerald, Faulnir, dan Hemingway namun agak terpisah dari mereka ini. Tidak seperti yang lainnya, Steinbeck tidak sedikit pun terpengaruh oleh perang dunia pertama. Yang pasti adalah bahwa melalui tulisan-tulisannya terutama pada novel ini dia memprotes kepincangan sosial pada masa itu.

Novel ini secara gamblang menggambarkan protes sosial, ketidakadilan ekonomi, khususnya orang-orang yang tidak mampu mempertahankan hidup mereka karena desakan ekonomi.

Daerah dan protes sosial adalah dua hal yang menandai karya-karya sastra pada saat itu. Seperti Central California terutama Salinas Valley, menurut Steinbeck lebih sesuai untuk tempat terjadinya cerita, karena tempat ini menjadi asal mula dari pertentangan pemilik kebun apel dengan para pekerja mereka. Daerah-daerah pertanian, pemerintah daerah dan sektor-sektor perdagangan lainnya tidak lepas dari sindiran-sindiran ini. Agar tepat mengena di hati pembaca, Steinbeck mempergunakan bahasa dan dialog-dialog yang dipakai sehari-hari. Dalam hal ini bahasa yang dipakai sesuai dengan bahasa ataupun istilah-istilah yang sering dipergunakan pada sekitar tahun 1930-an di Amerika, karena yang berbicara adalah masyarakat rendah yaitu petani buruh, para imigran sehingga bahasanya pun sesuai dengan bahasa yang digunakan oleh mereka.

Kesimpulan

(6)

Jurnal Langue, Oktober 2010 Vol. 4, No. 2 ISSN 1963-0487

Meskipun Steinbeck bersimpati kepada orang-orang miskin didaerahnya, dia masih menganggap lebih baik bagi mereka itu untuk tetap miskin tetapi unggul dalam kebajikan dan kepribadian. Dengan menggambarkan hal ini, Steinbeck telah berhasil memberi kesan kepada pembaca bahwa sebagai penulis dia telah membela kepentingan orang banyak.

Setelah menganilisis novel ini penulis yakin bahwa Steinbeck tidak hanya menghibur pembacanya tetapi juga mengemukakan pelajaran moral yang tinggi. Dia mengajarkan kepada pembaca bahwa benda-benda yang kelihatan indah dan dapat memberikan kebahagiaan bisa juga membawa bencana.

Masalah yang digambarkan dalam novel ini banyak dialami oleh seluruh masyarakat dunia. Akhirnya penulis berpendapat bahwa Steinbeck adalah penulis yang dapat memberikan gambaran masyarakat, dalam hal ini masyarakat Amerika di sekitar tahun 1930-an melalui karya-karyanya.

Daftar Bacaan

Astro, Richard. 1974. A Study Conide To Steinbeck A Handbook To His Major Works. Metuchen, N. J: Scarerow Press.

Cooperman, Stanley. 1964. The Major Works of John Steinbeck. New York.

Fontenrose, Joseph. 1963. John Steinbeck: An Introduction An Interpretation. New York, Holt, Rinehart, X Winston.

Levant, Howard. 1974; The Novels of John Steinbeck: A Critical Study. Columbia: University of Missou – Press.

Mc Carthy, Paul. 1980. John Steinbeck: Modern Literature Monographs, New York: Frederick Ungar.

(7)

Jurnal Langue, Oktober 2010 Vol. 4, No. 2 ISSN 1963-0487

A COMPREHENSIVE TRANSLATION ANALYSIS

OF THE COMPLEX SENTENCES IN AYU UTAMI’S SAMAN TRANSLATED INTO ENGLISH BY PAMELA ALLEN

Evi Endarti

Faculty of Letters, Pertiwi School of Foreign Languages Jl. Dewi Sartika Kav 2 & 3 Cililitan Jakarta13640

Telp. 021-8090474

Abstrak

Menerjemahkan kalimat majemuk bertingkat bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris bukanlah hal yang mudah. Penelitian ini menganalisis bagaimana kalimat majemuk bertingkat pada novel berjudul Saman diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berdasarkan aspek kesepadanan makna, keterbacaan dan kewajaran berbahasa. Tujuan dari penelitian ini adalah menemukan efek kesepadanan pada terjemahan semua kalimat majemuk bertingkat. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Data utama diperoleh dari kedua novel, baik karya asli ataupun versi terjemahan terutama untuk mendapatkan data tentang semua kalimat majemuk bertingkat. Data pendukung diperoleh dari beberapa sumber baik dari buku maupun internet yang berhubungan dengan permasalahan untuk memperkuat hasil analisis. Analisis ini diuraikan dan dijabarkan bersama solusinya dengan didukung oleh teori-teori penerjemahan. Hasil dari penelitian ini mencatat bahwa terjemahan novel ini dapat di klasifikasikan sebagai karya terjemahan yang baik. Hampir semua kalimat majemuk bertingkat dapat diterjemahkan sesuai dengan makna yang sepadan dari bahasa sumber (Indonesia) ke bahasa sasaran (Inggris), meskipun ada beberapa yang diinterpretasikan secara kurang tepat. Oleh karena itu hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu contoh untuk pembelajaran terjemahan.

Kata Kunci : kesepadanan makna, keterbacaan, kewajaran

Abstract

(8)

Jurnal Langue, Oktober 2010 Vol. 4, No. 2 ISSN 1963-0487

English. This study applies qualitative method. Data is taken from Ayu Utami’s novel called Saman and its translation in English. Supporting data is taken from other sources such as books and the internet. The analysis is verified by solutions of each problem supported by translation theories. The result of this study is the translation of compound complex sentences in the target language (English) is good. Most of the compound complex sentences in Indonesian are translated equally in English. Only few of them are translated less equivalence. The result of this study can be used as a means of translation learning.

(9)

Introduction

In the beginning of time, communication through language is to fulfill people’s necessities so that they can maintain good and supporting relationship. As a part of human culture, communication is as old as human and has developed a long with the development of human culture. Later, communication among people means to share information, knowledge, experience or feeling with some purposes such as to inform, to persuade and to entertain. Nowadays more than 500 million people use English. It can be inferred that English is the most widespread language in the world and it has become a world language. It is used not only for getting in touch with people throughout the world but also for special and practical purposes. In the fields of administration, business, technology, education, trade, sport, aviation etc, it is clearly seen that they are influenced by the English language.

Translation is another process of communication through language, even the notion of communication in translation field becomes more complex. Supported by Rokhman’s explanation in the book Penerjemahan Teks Inggris, in translation’s perspective, communication is viewed as social interaction through messages in its own way, both oral and written. He defines social interaction as the process by which one person relates to others, affects the behaviour, state of mind or emotional response of another, and of course, vise versa. It also concerns with how messages or texts interact with people in order to produce meanings by considering the role of texts in certain culture (2006:245).

This study is intended to analyze the novel Saman written by Ayu Utami, one of the most famous female novelists in Indonesia, who obtained her bachelors degree in Literature Studies from University of Indoneseia. Saman has taken the Indonesian literary world by storm and sold over 100,000 over coppies in the Indonesian language, and it is now available in English version translated by Pamela Allen. She is the Head of the School of Asia Languages and Studies and lecturing Indonesian at the University of Tasmania. She tries to achieve what Ayu Utami does so well in her novel, make characters come alive wonderfully on every page.

Talking about language skills people normally refer to listening, speaking, reading and writing. However, there is another important skill in language learning that seems to be neglected, namely translation. In the past, many students looked down at this skill since they claimed that ‘speaking’ was the ultimate goal in learning English as a Foreign Language. Then students realize that translation is unavoidable to happen in the process of learning foreign language. To acquire the skill in translation, students need to study some linguistic theories related to translation before actually doing the real translation. Through these theories students can learn about what to do and how to do it so that the translation activities that they are attempting to perform will be not only more effective in terms of time but also more accurate and readable in terms of contents.

The problem of this study is study how far the complex sentences in novel Saman by Ayu Utami are translated concerning the aspects of meaning fidelity, readeability and naturalness.

The objective of this study is to find out the meaning equivalence of compound complex sentences in Indonesia and their translation in English

Translation Theory

(10)

Jurnal Langue, Oktober 2010 Vol. 4, No. 2 ISSN 1963-0487

Every translation activities will always be connected with translation theory. Based on a solid foundation on understanding of how language works, translation theory recognizes that different languages encode meaning in different forms. It guides translator to find appropriate ways in preserving meaning, while using the most appropriate forms of each language.

Translation theory is a tool which contains a standard of requirement to guide a good translation. Newmark in his book Approach to Translation points out that if a text of translation is out of context, the translation theory shows the possible translation procedures. It concerns in making choices and decisions either the source language or the target language (1981:19).

The word translation comes from the Latin language ‘translatio’, consisting of ‘trans’ (across) and ‘latum’ (carry), and the meaning is ‘what is carried across’. In general, translation means the replacement of textual material in one language (SL) by equivalent textual material in another language (TL) (Catford, 1969:20).

In his book Meaning-Based Tranlation, A Guide to Cross-Language, Larson explains that translation consists of the process of:

Studying the lexicon, grammatical structure, communication situations and cultural context of the source language text, analyzing it in order to determine its meaning, and reconstructing this same meaning using the lexicon and grammatical structure which are appropriate in the receptor language and its cultural context. (Sasmito, 2005:5)

The purpose of translation is to produce new text of language from another language which has the same content and meaning, and to achieve the same level of meaning requires a proper principle of translation. To make the process of translation run well, the translator needs a tool known as translation theory. It is a body of knowledge about the process of translating.

However, Beaugrande warns that :

It is inappropriate to expect that a theoritical model of translation should solve all the problems a translator encounters. Instead, it should formulate a set of strategies for approaching problem and for coordinating the different aspect entailed. (Sasmito, 2005:4)

Kinds of Translation

According to Larson (1984:5) translation is classified into two main types, namely: 1. Form-based Translation:

It attempts to follow the form of the Source Language and it is known as literal translation.

2. Meaning-based Translation:

(11)
(12)

Process of Translation

A good translator must take several steps in reexpressing the original text into the translated version. The process of translation can be seen as follows:

1. Analysing

The first step in translation process is to analyse and study the form and content of the SL text by reading the text to know the subject matter and its content in general. “The understanding of texts is not limited within the text itself, rather in the context which texts are produced (writer’s view) and interpreted (translator’s and reader’s view)” (Hoed, 2006:26).

2. Transferring

Transferring is usually done on translator’s mind and can be very short. Any language has form and content, transferring means to find and tranfer form and content so a translator must be able to find suitable form equivalence or suitable meaning equivalence. Meaning equivalence must be given priority over form (structural) equivalence in translation. If it is needed, form equivalence must be changed to retain the mening equivalence

3. Restructuring

In this step the translator tries to find the appropriate meaning equivalence, readability and naturalness in TL so that the message in the SL can be reexpressed properly in TL.

A Good Translation

The main objective of translation is to preserve the replacement of textual material in one language (SL) by equivalent textual material in another language (TL). A sucessful or good translation can be considered by the criteria as follows:

1. Meaning Fidelity:

Meaning fidelity means that the content and style of the original text should be preserved as far as possible in the translation text. It refers to the quality of being accurate ans should also refer to how clesely a translation honours the natural lexical and grammatical patterns of the target language. The example below is taken from Theory of Translation by A. Sasmito (2005: 28):

SL : Educationist became persuaded that the competition in the classroom was the best way to promote industry among students.

TL : Para pendidik diyakinkan bahwa persaingan di dalam kelas adalah

1 Restructuring

Analysing

Transferring

Target Language

SourceLanguage

(13)

Jurnal Langue, Oktober 2010 Vol. 4, No. 2 ISSN 1963-0487

cara terbaik untuk mempromosikan industri diantara murid-murid. (Low meaning fidelity).

TL : Para pendidik menjadi yakin yakin bahwa persaingan di dalam kelas

adalah cara terbaik untuk meningkatkan belajar diantara para murid. (High meaning fidelity).

2. Readability:

Writing is readable when its meaning can be quickly and easly understood by the reader for whom it is intended. The more difficult the text is to understand the lower readability it has, for example:

SL : Jane’s reckless driving angered her father.

TL : Kecerobohan Jane mengemudi memarahi ayahnya. (Low readability). TL : Kecerobohan Jane mengemudi membuat ayahnya marah. (High readability). 3. Naturalness :

To meet the level of naturalness, the translator has to ensure that his translation makes sense, it sound naturally and it is written in ordinary the target language, for example : SL : It’s raining cats and dogs.

TL : Ini adalah hujan kucing-kucing and anjing-anjing (Low naturalness). TL : Hujan deras sekali (High naturalness).

Translation Analysis

Translation analysis in this study is an essential link between translation theory and its practice, particularly in criticizing someone’s else translation since the text may take differently translated depending on the preffered method of the translator. The challenge in translation analysis here is to state the researcher own principle category but at the same time to elucidate the translator’s principles. In interpreting the translator’s intention and procedures, the researcher is not criticizing them but attempting to understand why the translator has used these procedures.

After considering whether the translation of Saman is succesful in its own terms, it is evaluated by the aspect of meaning fidelity, readability and naturalness. In term of meaning fidelity and naturalness aspects, the supported theory is taken from Newmark’s Theory of A Textbook of Translation; whereas, the term of readability aspect is taken from William’s Theory of Readable Writing. To be able to answer the problem formulation appeared, it is intended to classify the result of the translation analysis into three groups. The first group is Equivalent Translation, which means that the translator is successful to render the exact contextual meaning appropriatly from original into the translation version. The second group is Less Equivalent Translation, which means that the meaning of the translation can be accepted but it is not presented in proper way. The last group is Not Equivalent Translation, which means that the translated version fails to achieve the same meaning equivalence since the translator fails to reexpress the author’s intentions that are not effectivelly presented.

Methodology

(14)

Jurnal Langue, Oktober 2010 Vol. 4, No. 2 ISSN 1963-0487

the data, collects and classifies the data and then analyses the data. Based on the result of the research, the researcher sistematically makes the conclusion.

The first data of the research are both versions of the novel, Saman written by Ayu Utami and the English version of Saman translated by Pamela Allen. The researcher collects the data from sentences in both versions of the novel to find all complex sentences and then underline them. There are 110 complex sentences divided into three classifications: 31 complex sentences with noun clauses, 49 complex sentences with adverbial clauses, and 30 complex sentences with adjective clauses. Dealing with the data collecting technique, the writer puts some codes to the sentences mentioned above, for example, (S, 2:19) and (Sm 11:47). It means :

S = Saman (the title of original novel by Ayu Utami). Sm = Saman (the title of translated version by Pamela Allen). 2 and 11 = page of the novel.

19 and 47 = line on the page.

The next step of the analysis is to classify the result of the analysis in English version into three categories. There are equivalent translation, less equivalent translation and not equivalent translation based on the aspects of meaning fidelity, readability and naturalness. The examples of the detail analysis in each classification are presented in the form of codes. Then, the writer gives a profound evaluation and draws the conlusion at the last step of this study.

For the secondary data, the writer finds out some resources from internet and books related with the subject matter.

The research instrument of this study is Saman written in Indonesian and its translation in English. Both novels take a role as instruments to collect data. Besides, the writer is also an instrument to collect the data.

Analysis

The data analysis is shown in the table below: 1. Noun Clauses

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

31

2. Adverbial Clauses

32 33 34 35 36 37 38 39 40 41

(15)

Jurnal Langue, Oktober 2010 Vol. 4, No. 2 ISSN 1963-0487

52 53 54 55 56 57 58 59 60 61

62 63 64 65 66 67 68 69 70 71

72 73 74 75 76 77 78 79 80

3. Adjective Clauses

81 82 83 84 85 86 87 88 89 90

91 92 93 94 95 96 97 98 99 100

101 102 103 104 105 106 107 108 109 110

The result of the analysis is shown as follows:

1. Equivalent meaning :

2. Less Equivalent meaning :

3. Not Equivalent meaning :

From the diagram above, it can be concluded that most of the translation text are equivalent in meaning since the translator is succesful to reproduce the source language messages into the closest natural equivalent meaning in the receptor language.

x 100 = 7,27 %

8 110

x 100 = 1,82 %

2 110

x 100 = 90,91 % 100

110

Not Equivalent meaning

Less Equivalent

meaning

(16)

Jurnal Langue, Oktober 2010 Vol. 4, No. 2 ISSN 1963-0487

Samples of Analysis Process

(17)
(18)

EQUIVALENT MEANING that it would only hurt the workers. berahi hingga tanak seperti nasi.

TL :

Small birds seek the sun through the gasp in the leaves, allowing its rays to heat their

(19)
(20)

track...).

LESS EQUIVALENT MEANING

NO CODE SENTENCES PROBLEMS

1. Data number (100) SL :

Kong Tek, begitu dulu ia menyebut orang Cina yang membuka warung dekat

rumahnya, kini telah mengganti nama jadi Teki Kosasih. Ia menjadi suplier minyak.

TL :

Kong Tek as he used to call the Chinese man who had owned a warung near their home, had changed his named into Teki Kosasih because recently the Chinese were encouraged to change their name into ones that sounded more Indonesia, he was a supplier of an oil company.

1. Presenting overlong sentence.

2. Using unappropriate vocabulary choice.

SL : warung TL : a warung

NOT EQUIVALENT MEANING

NO CODE SENTENCES PROBLEMS

1. Data number (36). SL :

Ia hampir jatuh karena ombak tak juga teduh.

TL :

He was almost washed into the water by a wave.

1. Changing the complex sentence into a simple sentence

2. Ommiting cause and effect factor.

(21)
(22)
(23)

continue to relive his childhood memories.

baik itu...).

TL : (The man...he kindly gave...).

2. Getting failure to use appropriate vocabulary choice.

SL : (...ia

menitipkan kunci rumah...).

TL : (...he kindly gave him the key to the house...).

Conclusion

The novel Saman translated by Pamela Allen can be regarded as a good translation considering the aspects of fidelity, readability and naturalness. Most of the complex sentences appeared in the novel can be reexpressed properly from source language into target language. The process of translation also involves much collaboration with Ayu Utami, the author of Saman, so that the translator is successful to render the exact contextual meaning as the original, first in term of content and second in term of style.

Suggestions

Translation is an interesting subject because it covers a wide scope of English knowledge and skill. Related to the analysis of this study, the researcher suggests the following:

1. It would be advisable for the teachers to improve the teaching of translation both the theory and practice in order that all students master this subject to a high degree to meet a requirement for a young professional translator.

2. The students who learn English should practice more on translation because through translation they can apply all knowledge they have learnt.

3. In translating a text, a translator should solve the problems by various approaches to produce equivalent meanings.

(24)

Alwi, Hasan. 2003. Tata Bahasa Baku Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Hoedoro, Benny Hoed. 2006. Penerjemahan dan Kebudayaan. Cet. Pertama. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.

Newmark, Peter. 1988. A Textbook of Translation. London: Prentice Hall International (UK) Ltd.

Rokhman, Muh. Arif. 2006. Penerjemahan Teks Inggris. Yogyakarta: Pyramid Publisher.

Sasmito, Awidyo. 2005. Theory of Translation. Jakarta: STBA Pertiwi.

Suryawinata, et.al. 2003. Translation: Bahasan Teori & Penuntun Praktis Penerjemahan. Yogyakarta: Kanisius.

Universitas Terbuka. 1996. Translation: Materi Pokok PING 4449/ 2 SKS/ Modul 1-6. Jakarta.

Utami, Ayu. 1998. Saman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Utami, Ayu. 2005. Saman. Translated by Pamela Allen. Jakarta: PT. Equinox Publishing.

William, Ray. 1985. Readable Writing. A Manual for Author and Editors of EducationalTextbooks. England: Longman Group Limited.

(25)

BUILD A FIRE KARYA JACK LONDON DENGAN PENDEKATAN FORMALISME

Wulansari1

Faculty of Letters, Pertiwi School of Foreign Languages Jl. Dewi Sartika Kav 2 & 3 Cililitan Jakarta 13640

Telp. 021-8090474

Abstract

To Build A Fire is one of Jack London’s well-known short-stories figuring out the difficulty of a man in identifying his own nature as a human being in understanding the significance of signs and their meanings experienced in his life.The aim of this study is to identify the meanings of the diction or phrases in implying the self-alienation and hostility of a man in facing his own life, surrounding, and nature.This research uses descriptive analysis and applies formalism approach to analyze the art of languages used by the author in emphasizing the sharpness of its theme on the human’s stupidity, hostility, and arrogance potrayed through beautiful dictions and language style.

Key words : Self-alienation, hostility

Abstrak

To Build A Fire merupakan salah satu cerita pendek terkenal karya Jack London yang menggambarkan kesulitan seorang laki-laki dalam mengenali dirinya sendiri sebagai manusia dalam proses memahami pentingnya tanda beserta makna dari apa yang ia alami dalam hidupnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengenali makna dari pilihan kata dan frasa dalam menyiratkan keterasingan diri dan sikap permusuhan seorang manusia dalam menghadapi kehidupannya, lingkungannya, dan alam sekitarnya. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dan menerapkan pendekatan formalisme untuk menganalisa seni dari bahasa yang digunakan oleh pengarang dalam mempertajam tema mengenai kebodohan, permusuhan, dan kesombongan manusia yang tergambar melalui pilihan kata dan gaya bahasa yang indah. Kata kunci: Keterasingan diri, sikap permusuhan

Pendahuluan

Menganalisis dan memahami sebuah karya sastra baik dalam bentuk cerita pendek, novel, puisi, drama, maupun puisi dengan sudut pandang dan pendekatan sastra yang berbeda namun tepat memberikan kesempatan pembacanya untuk mendapatkan kedalaman interpretasi yang makin memperkaya makna karya sastra tersebut. Di dalam analisis singkat inipun penulis berusaha memahami sebuah karya sastra dari pendekatan formalisme.

Menawarkan sebuah karya sastra kepada masyarakat sama saja memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada masyarakat pembaca untuk ikut menentukan

(26)

pemaknaan dari karya sastra tersebut. Banyaknya pendekatan sastra yang digunakan sebagai alat untuk lebih memahami karya sastra memungkinkan kita mendapatkan wawasan seluas-luasnya akan nilai-nilai artistik yang terkandung dalam sebuah karya sastra. Pendekatan formalisme merupakan satu pendekatan karya sastra yang memberikan banyak inspirasi pembaca untuk mendapatkan pemahaman melalui pemakaian bahasa yang khas lewat deviasi dan distorsi dari bahasa praktis. Setelah membaca karya dari Jack London berjudul To Build A Fire saya tertarik untuk mengenalisisnya dengan pendekatan Formalisme.

Kajian Teori

Pendekatan formalism adalah sebuah teori yang awalnya berkembang di Rusia pada awal 1920 dan dipelopori oleh ahli bahasa dan formalis Rusia bernama Victor Shklovsky. Pendekatan yang digunakan untuk menganalisa karya sastra ini menitikberatkan pada proses defamiliarisasi. Proses defamiliarisasi ini menekankan penggunaan bahasa yang mampu mengembalikan kesadaran kita akan hal atau objek yang biasa menjadi tidak biasa, dan berbeda melalui pencitraan (imagery), simbolisme (symbolism), perbandingan (comparison), kalimat paralel (negative parallelism), gaya bahasa hiperbola (hyperbole), pengulangan ( repetition), dan penundaan atau perpanjangan plot.

Dalam buku Modern Criticism and Theory, Shklovsky menjelaskan secara jelas bahwa arti penting seni adalah dalam proses menggambarkan atau menjelaskan suatu objek dan bukan terpaku pada objek itu sendiri.” the purpose of art is to impart the sensation of things as they are perceived and not as they are known. The technique of art is to make objects ‘unfamiliar’, to make forms difficult, to increase the difficulty of length and perception, because the process of perception is an aesthetic end in itself and must be prolonged.” ( David Lodge, 1994:20) He says that art is a way of experiencing the artfulness of an object; the object is not important.

Dalam buku A Dictionary of Literary Terms and Literary Theory book, arti dari proses defamiliarization yang ditegaskan oleh Shklovsky adalah:

It is a translation of the Russian ostranenie ‘making strange’. To ‘defamiliarize’ is to make fresh, new, strange, different what is familiar and known. Through defamiliarization the writer modifies the reader’s habitual perceptions by drawing attention to the artifice of the text. This is a matter of literary technique. (1998:213)

(27)

menerangkan, menggambarkan, dan memaknainya melalui bahasa dan gambaran yang sedikit lebih panjang, puitis, penuh simbol, pencitraan, pengulangan, penundaan dan perpanjangan plot.

Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif. Teknik penelitian ini dilaksanakan berdasarkan kajian pustaka dengan objek utama penelitian,cerpen karya Jack London berjudul To Build a Fire dan menggunakan teori pendukung yang berhubungan dengan sastra, dan pendekatan formalisme. Unsur naratif dalam teks , seperti tokoh, dan tema cerpen ini dijadikan sebagai bahan penelitian dan pendukung diskusi dan pembuktian analisis. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan tema keterasingan dan sikap permusuhan manusia dengan diri, sesama, dan lingkungannya melalui efek defamiliarisasi penyampaian cerita.

Pendekatan formalisme diambil penulis untuk melakukan analisis deskriptif atas cerpen To Build a Fire dengan menekankan pembahasan dari aspek-aspek kebahasaan dan efek defamiliarisasi melalui perbandingan, kontras, penundaan plot, pengulangan, pencitraan, dan juga deskripsi cerita yang panjang. Pendekatan formalisme ini dianggap tepat untuk diambil sebagai alat analisis karena kentalnya efek defamiliarisasi yang terbangun dari pilihan kata, gambaran yang panjang dan jelas dari tokoh dan penokohannya, latar tempat, bahkan tema cerita dalam cerpen To Build a Fire.

(28)

Melalui proses pembacaan To Build a Fire, penulis melihat begitu dominannya penggambaran tokoh laki-laki pulau Yukon dan penokohannya yang ditonjolkan dari narasi cerita, perilaku, sikap, dan pemikirannya yang sering dibandingkan dengan keberadaan seekor anjing yang begitu setia dari awal perjalanan sampai dengan akhir hidup majikannnya. Dilihat dari keberpihakan pengarang dalam menegaskan keekslusifan laki-laki dari pulau Yukon , di sini penulis justru melihat sisi keterasingannya dari sesama maupun lingkungannya . Sebagai tokoh utama laki-laki tersebut memang layak untuk kerap ditampilkan, tetapi eksploitasi dalam bentuk kalimat aktif dalam aktifitasnya jelas memberikan satu makna konotatif akan satu hubungan komunikasi sepihak dan bukan dialogis ataupun interaktif dengan objek sekitarnya.

But all this—the distant trail, no sun in the sky, the great cold, and the strangeness and weirdness of it all—had no effect on the man. It was not because he was long familiar with it. He was a newcomer in the land, and this was his first winter. The trouble with him was that he was not able to imagine.He was quick and ready in the things of life, but only in the things, and not in their meanings. Fifty degrees below zero meant eighty-odd degrees of frost. Such facts told him that it was cold and uncomfortable, and that was all. It did not lead him to consider his weaknesses as a creature affected by temperature… Fifty degrees below zero was to him nothing more than fifty degrees below zero. That it should be more important than that was a thought that never entered his head (Jack London, 1995:42).

Pencitraan dan penggambaran yang kuat akan arogansi tokoh terhadap tanda-tanda alam yang ekstrim memperjelas adanya otoritas yang dibangun dan anggapan akan kemandiriannya dengan mengabaikan bantuan dan keberadaan objek lain di sekelilingnya. Kesulitannya memaknai keterbatasannya sebagai manusia dihadirkan pengarang melalui perbandingan ketajaman perasaan dan pola pikirnya dengan anjing serigalanya.

Following the man’s heels was a big native dog. It was a wolf dog, gray-coated and not noticeably different from its brother, the wild wolf. The animal was worried by the great cold. It knew that this time was no time for travelling. Its own feeling was closer to the truth than the man’s judgement. (1995:43)

(29)

Penulis juga melihat perbandingan dan kontras yang tajam melalui pencitraan visual dan sensual yang kental terbangun dalam pilihan kata yang diambil dalam cerita ini. Dari judul cerita To Build a Fire atau Membuat Api Unggun yang memberi makna adanya rasa membutuhkan kehangatan ataupun keinginan untuk mengusir rasa dingin yang sedang dirasakan. Banyaknya pilihan kata seperti kata “cold”, “frozen”, “no sun or promise of sun”,” the absence of the sun” “indescribable darkness”, “ice” , “first winter”, “50 degrees below zero meant 80 degrees of frost”, “numb” dan diksi lain yang sejenis menyiratkan satu rujukan pada situasi yang dingin, gelap tanpa adanya sinar matahari yang menandai ketiadaan kehangatan dan menegaskan suasana alam yang begitu ganas dan tidak bersahabat. Penggambaran keadaan yang diulang-ulang menunjukkan hubungan tema dengan judul cerita sendiri tentang ketidakbersahabatan, permusuhan, atau sifat dingin seseorang dengan lingkungannya melalui gambaran tentang alam maupun bahasa yang terbangun.

A. Tokoh dalam To Build a Fire dari Pendekatan Formalisme

Pertama kali saya akan menganalisis cerita ini dari tokoh cerita. Di dalam cerita To Build A Fire ini, Jack London cukup hemat dalam menampilkan tokoh ceritanya. Hanya ada dua tokoh utama dalam cerita, yang pertama adalah seorang laki – laki yang berasal dari pulau Yukon dan tokoh kedua adalah seekor anjing serigala. Sedangkan tokoh lain, seperti anak – anak muda dari pedesaan Indian Creek serta seorang tua dari daerah bernama Sulphur Creek hanyalah ditampilkan dalam alam dan khayalan laki – laki dari Yukon dan tidak ditampilkan nyata dalam narasi, gambaran, pemikiran dan perilaku tokoh-tokoh dalam cerita. Di bawah ini saya mencoba menggambarkan kedua tokoh cerita tersebut;

1. Laki-laki dari Pulau Yukon

(30)

There was no sun or promise of sun, although there was not a cloud in the sky. It was a clear day. However, there seemed to be an indescribable darkness over the face of things. It was because the sun was absent from the sky. This fact did not worry the man. He was not alarmed by the lack of sun. It had been days since he had seen the sun. (1995:42)

Selain sikap angkuh, kepicikan dan kebebalan laki-laki ini juga ditunjukkan dengan caranya membuat api unggun di bawah pohon cemara yang diselimuti salju. Pikirannya menjadi berkarat sebagai buah dari kebekuan dan kekerasan hatinya yang tidak mau melibatkan perasaan sensitifnya terhadap makna dari tanda yang terbangun dari sebuah konteks kejadian di lingkungannya.

It was his own fault or, instead, his mistake. He should not have built the fire under the pine tree. He should have built it in the open space. But it had been easier to pull the sticks from the bushes and drop them directly on the fire. Now the tree under which he had done this carried a weight of snow on its branches. No wind had been blowing for weeks, and each branch was heavy with snow. Each time he pulled a stick he shook the tree slightly.There had been just enough movement to cause the awful thing thing to happen. High up in the tree one branch dropped its load of snow. This fell on the branches beneath. This process continued, spreading out and involving the whole tree. It grew like an avalanche, and it descended without warning upon the man and the fire, and the fire was blotted out! Where it had burned was a pile of fresh snow. (1995:47)

Pencitraan kesombongan yang tersirat dari bahasa dan visualisasi antara pohon pinus yang menjulang tinggi dan salju dihadirkan bersama api unggun yang mampu melelehkan kebekuan salju yang menempel di ketinggian pohon pinus. Perbandingan antara dingin dan api menjelaskan kerasnya laki-laki Yukon yang masih belum mampu atau gagal menghadirkan kehangatan dari api unggun atau api semangat kemanusiawiaannya untuk bersifat waspada dan realistis. Sifat kejam dan tidak bersahabat juga ditunjukkannya dengan caranya menendang si anjing yang kelaparan dan kedinginan dan idenya untuk membunuh anjing tersebut demi menghangatkan tangannya yang beku dalam perut anjing yang hangat. Keangkuhan diri laki-laki ini begitu tinggi sehingga mendukungnya untuk melakukan “euthanasia” atau membunuh dirinya pelan – pelan dengan cara tidur tenang di dalam kebekuan salju sabagai pilihan dan cara untuk menjemput ajal secara terhormat.

He was certain to freeze in his present circumstances, and he should accept it calmly. With this new-found peace of mind came the first sleepiness. A good idea, he thought, to sleep his way to death. Freezing was not as bad as people thought. There were many ways to die. (1995:51)

(31)

Dinginnya kutub tidak sebanding dengan dinginnya hati laki-laki Yukon dalam memanusiakan dirinya sendiri.

2. Anjing Serigala

Sebagaimana sifat – sifat anjing yang biasanya dibekali dengan ketajaman indera, cerdas dan setia, anjing serigala dalam cerita inipun punya stereotip yang sama. Keberpihakan pengarang terhadap kecerdasan dan ketajaman naluri dasar anjing yang melebihi majikannya dipaparkan melalui pilihan kata yang menekankan kemampuan seekor binatang yang mampu menganalisa keadaan dengan pilihan solusinya sekaligus. Gaya bahasa hiperbola dan pencitraan visual yang tajam mampu memberikan kesan kontras antara kualitas manusia dan seekor anjing.

The dog did not know anything about temperatures. Possibly in its brain there was no sharp consciousness of a condition of very cold such as was in the man’s brain. But the brute had its instinct. It experienced a vague but menacing apprehension that subdued it and made it slink along at the man’s heels, and that made it question eagerly every unwonted movement of the man as if expecting him to go into camp or to seek shelter somewhere and build a fire. The dog had learned fire, and it wanted fire, or else to burrow under the snow and cuddle its warmth away from the air (1995:43).

Meskipun secara fisik, ia hanya seekor anjing serigala, tetapi ia ditampilkan sebagai tokoh penting yang memiliki kelebihan dari apa yang kita sebut sebagai “ manusia dengan pikiran dan budinya.” Anjing serigala ini dengan setia mengikuti semua kemauan mustahil laki – laki dari Yukon. Meskipun banyak usaha dilakukan oleh laki – laki dari Yukon itu untuk mencelakakan dirinya dan menganggapnya tak lebih dari budak setianya, namun anjing serigala ini tetap setia menemani laki –laki ini. Kecerdasan dan ketajaman indera anjing serigala ditunjukkan dengan caranya memahami arti setiap tanda baik itu dalam bentuk derajat dari titik beku salju dan arti dari api unggun sebagai pengaman, dan penjaga kehangatan darah untuk tetap mengalir dalam keadaan yang sangat dingin seperti itu. Perbandingan kecerdasan, empati, perasaan, dan kualitas “kemanusiaan” yang dengan sengaja menyandingkan manusia dengan seekor anjing merupakan sindiran, kritikan, dan pertanyaan besar pengarang terhadap manusia yang sering kehilangan sisi kemanusiannya.

B.Tema Cerita To Build A Fire

Dari analisis tokoh melalui narasi dan gaya penulisannya, penulis mencoba mencari kejelasan tema yang terbangun dari kentalnya efek defamiliarisasi yang tersirat dalam arti harafiah maupun simbolik dari setiap pilihan kata dan kalimat dalam cerpen To Build a Fire ini. Dengan melihat kepribadian laki – laki dari Yukon ini, komunikasi yang ada, persahabatan yang ia jalin dengan anjingnya, pikiran atau pun suara hatinya sendiri, serta dukungan latar alam yang sulit dijamah dan ditaklukkan semakin memperkuat tema cerita.

(32)

menghadang di depan mata, dan ketidakbersahabatannya dengan anjingnya, adalah gambaran ketidakdewasaannya sebagai manusia yang dibatasi kemampuan untuk bertahan hidup. Seekor anjing telah menunjukkan kelebihannya dengan gaya bertahan hidupnya yang jauh lebih masuk akal dan sehat dalam nalar manusia. Sebagai manusia, laki – laki dari Yukon ini tidak pernah berusaha bersahabat dan belajar dari dirinya sendiri, perasaannya, pikirannya, orang – orang di sekitarnya, binatang yang setia menemaninya, dan alam lingkungannya.

Rasa takut jika orang lain mengetahui kelemahan akan keterbatasannya dan kegagalannya ditunjukkan secara berlebihan dengan membenamkan dirinya dalam timbunan salju dengan titik beku yang mencapai lebih dari 50 derajat di bawah nol sebagai cara mengakhiri hidup yang menurutnya sangat terhormat. Kekonyolan demi kekonyolan yang ia lakukan semakin mempertegas betapa sulitnya ia mengenali dirinya dengan kelemahan fisik, dan kepicikan pemikirannya. Sebagai makhluk sosial, ia membutuhkan hubungan sosial dengan manusia dan makhluklain dan mempunyai sifat ketergantungan dengan sesama dan lingkungannya. Filosofi hidupnya begitu dangkal dan sempit membuat laki-laki ini terbutakan oleh sisi buruk yang terlalu mendominasi pribadinya dan menciptakan sikap keterasingan diri dan permusuhan dengan dirinya sendiri sebagai individu dan sesamanya.

Inilah tema yang dapat diambil penulis dari cerita Jack London berjudul To Build A Fire melalui analisis formalisme yang menitikberatkan pada proses penyampaian pesan pengarang atau makna melalui bahasanya yang unik, berbeda, dan tidak biasa: 1. Sikap permusuhan manusia dengan dirinya sendiri, Manusia yang tidak ramah

dan tidak pernah belajar tentang dirinya sendiri dengan menerima dirinya apa adanya menjadikannya orang asing bagi dirinya sendiri.

2. Kegagalan seorang untuk menyemangati dirinya sendiri untuk memahami diri dan lingkungannya dengan bertahan hidup dalam keras dan ganasnya alam merupakan simbol dari ketidakpedulian seorang manusia.

3. Keangkuhan mampu membutakan manusia untuk melihat kelemahan dan keterbatasan dirinya.

4. Manusia sebagai makhluk sosial dengan sifat ketergantungan terhadap sesama dan keagungannya sebagai makhluk yang mempunyai hati dan akal ditakdirkan untuk selalu membutuhkan orang lain dalam mencapai tujuan hidupnya di dunia. 5. Adanya dua sisi, yaitu sisi baik dan buruk dalam diri manusia mencerminkan

kemampuannya untuk memilih dan mengontrol suara hati dan pikirannya untuk selalu berorientasi pada kebajikan, kebijaksanaan, dan kebaikan yang membuatnya bernilai sebagai manusia.

(33)

Kesimpulan

Keterasingan diri dan ketidakbersahabatan seorang manusia dengan alam dan mahluk sekitarnya dapat dilihat dari beberapa aspek dalam karya sastra prosa yaitu melalui tokoh utama dan pembantu dengan latar serta tema yang diambil sebagai pendukung adanya kesatuan tanda akan adanya tema yang saya simpulkan. Cerpen karya Jack London berjudul To Build A Fire ini merupakan sebuah cerita sederhana tentang keangkuhan, dan satu sisi buruk kehidupan manusia yang mempunyai dua sisi dalam hidupnya . Melalu pendekatan formalisme, cerita To Build A Fire tidak sekedar menceritakan dan menggambarkan latar tempat yang sulit terjamah , manusia yang angkuh, anjing yang baik dan lingkungannya secara rinci, tetapi juga menampilkan proses penundaan dan perlambatan alur cerita melalui pilihan kata, gaya bahasa, dan bahasa yang indah, puitis, dan tidak biasa. Dari elemen intrinsiknya, cerpen karya Jack London ini mampu menyentuh dan bahkan menyadarkan pembaca untuk lebih merefleksi diri sendiri sebagai makhluk sosial dan makhluk yang mempunyai keagungan sekaligus keterbatasan sebagai manusia.

Pengambilan latar yang tidak bersahabat, baik untuk manusia maupun seekor anjing, semakin memperjelas kesenjangan persahabatan sesungguhnya. Dinginnya hawa kutub dengan titik bekunya yang jauh di bawah nol menegaskan dinginnya suasana yang dijalin antara seorang manusia dengan segala keangkuhannya terhadap anjing serigalanya. Latar cerita yang berupa dataran bersalju dengan pohon – pohon pinusnya yang begitu kokoh dan menjulang adalah symbol dari betapa dingin dan kerasnya hati seorang manusia yang dalam perjalanannya merasa tidak memerlukan bantuan apapun dari lingkungan dan orang lain atau teman. Kedinginan hati yang melebihi titik beku dari cuaca dingin di sekitarnya

Daftar Pustaka

Abrams, M.H., 1979 The Mirror and the Lamp. Oxford University Press.Inc: New York.

Cohen, B, Bernard.1973. Writing About Literature. Scott Foresman: Illinois.

Hawthorn, Jeremy. 2000. A Glossary of Contemporary Literary Theory. Oxford University Press: New York.

Hurlock, Elizabeth. 1974. Personality Development. McGraw-Hill: New York.

Lodge, David. 1994. Modern Criticism and Theory. Longman: New York.

London, Jack. 1995. To Build A Fire and Other Stories By Jack London, Ladder Edition: Washington.

(34)

Selden, Raman. 1996. Panduan Membaca Teori Sastra Masa Kini. Gajah Mada University Press: Yogyakarta.

Skhlovsky, Victor. 1998. A Dictionary of Literary Terms and Literary Theorybook.

PENGGUNAAN SISTEM TANDA DAN MAKNA DALAM NOVEL KARYA DAN BROWN : THE DA VINCI CODE

Susi Haryanti1

Faculty of Letters, Pertiwi School of Foreign Languages Jl. Dewi Sartika Kav 2 & 3 Cililitan Jakarta 13640

Telp. 021-8090474

Abstract

The objectives of the research are to (1) analyse the intrinsic elements of “The Da Vinci Code” novel, and (2) analyse the sign systems in the form of icon, index and symbol, and also their meanings which are applied in a novel. This research belongs to qualitative research using qualitative-descriptive method. Data is taken from the text in the novel and the conversation among the characters. The results of this research indicate that: (1) the theme of the novel is about a murder. The plot is a mix between the forward and the backward plot which is shown by a lot of pauses and dreams done by the characters. The characters in the novel consist of limited people. The setting of time and place are limited only in Paris and London within 2 days and 2 nights. (2) the novel has 4 icons, 8 indexes and 7 symbols which are related one another in forming a meaning to strengthen the theme of the novel.

Key words: sign systems, intrinsic elements.

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis unsur intrinsik novel ‘The Da Vinci Code’, dan (2) menganalis sistem tanda yang berupa ikon, indeks dan simbol beserta maknanya. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Data

(35)

penelitian diambil dari teks dan percakapan antara tokoh-tokoh di dalam novel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Novel yang diteliti adalah bertemakan pembunuhan. Alur penceritaan merupakan percampuran antara alur maju dan alur mundur yang dibuktikan dengan munculnya banyak jeda dan mimpi yang dialami oleh para pemeran utama. Tokoh yang muncul terbatas hanya pada beberapa tokoh. Latar tempat dilakukan di Paris dan London, sedangkan latar waktu terjadi selama 2 hari 2 malam. (2) Novel “The Da Vinci Code” memiliki 4 ikon, 8 indeks dan 7 simbol yang saling berhubungan dalam membentuk sebuah makna untuk mempertegas tema novel.

Kata Kunci: sistem tanda, unsur intrinsik.

Pendahuluan

The Da Vinci Code adalah novel karya Dan Brown yang terbit pada bulan Maret 2003 dan menduduki peringkat buku bestseller hampir tiada henti sejak terbitnya (La Ode Ola, 2006: 76). Novel The Da Vinci Code adalah thriller historis yang menggabungkan semangat sebuah misteri pembunuhan internasional dengan sebuah koleksi esoteria yang diambil dari sebuah sejarah Barat selama 2.000 tahun. Novel ini mampu memberikan interpretasi terhadap sejarah Barat. Para tokoh protagonisnya memulai sebuah eksplorasi terhadap sejumlah rahasia terbesar kebudayaan Barat; mulai dari hakikat senyum Monalisa hingga rahasia Holy Grail atau yang lebih dikenal dengan nama Cawan Suci.

Novel ini menarik untuk diteliti karena ceritanya mencakup karya seni, arsitektur, dokumen, dan ritual rahasia seperti lukisan Leonardo Da Vinci, Injil Gnostik, Hieros Gamos, dan lain-lain. Meskipun karakternya fiksional, yang menarik adalah bahwa menurut penulisnya dokumen, ritual, organisasi, karya seni, dan arsitektur dalam novel ini semuanya nyata dan ada. Di samping itu, novel ini merupakan karya sastra yang menggunakan banyak sekali tanda dan sistem tanda dalam penulisannya. Mengingat akan pentingnya sistem tanda dan maknanya dalam sebuah karya sastra sebagai salah satu produk bahasa, maka peneliti merasa perlu untuk mengadakan penelitian tentang hal ini.

Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah penggunaan sistem tanda dan makna dalam novel The Da Vinci Code.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis unsur intrinsik dalam novel berupa tokoh dan penokohan, alur, latar, dan tema yang membangun novel The Da Vinci Code. Selain itu juga untuk menganalisis sistem tanda yang berupa ikon, indeks, dan simbol; serta bagaimana penggunaannya dan juga hubungan di antaranya dalam membentuk makna dalam novel The Da Vinci Code.

Sistem Tanda

(36)

maknanya, dan konvensi tanda, karya sastra tidak dapat dimengerti maknanya secara optimal (Pradopo, 1995: 118).

Sastrawan menyampaikan pikiran dan perasaannya melalui bahasa secara artistik sehingga apa yang disampaikannya itu tidak akan pernah tersampaikan apabila ia menggunakan bahasa sebagaimana penggunaannya sehari-hari. Oleh karena itu, untuk memahami dan menikmati karya sastra diperlukan seperangkat lain yang tidak diperlukan dalam memahami bahasa sehari-hari.

Semiotik merupakan suatu kajian tentang fenomena yang mengejawantah sebagai suatu tipe korelasi khusus antara tanda dan pesan itu mencakup berbagai bidang ilmu (Masinambou, 2000: 137). Semiotika adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya seperti: cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya (Sudjiman, 1996: 5).

Pendekatan semiotik terhadap karya sastra sudah pasti tidak dapat mengabaikan aspek kebahasaannya. Faktor pertama dalam model semiotik harus menempatkan bahasa secara layak sebagai sistem tanda yang kompleks dan beragam. Bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem semiotik atau ketandaan yang lebih memiliki arti. Pembahasan sastra yang bersifat semiotik dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai usaha untuk menganalisis karya sastra, yaitu novel, sebagai suatu sistem tanda-tanda dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan sastra mempunyai makna. Dengan mengamati variasi-variasi di dalam struktur novel atau hubungan dalam (internal) antara unsur-unsurnya, maka akan terlihat bermacam-macam makna yang terdapat dalam karya sastra tersebut.

Novel merupakan salah satu genre dalam prosa fiksi. Istilah prosa fiksi atau karya fiksi, biasa juga diistilahkan dengan prosa cerita, narasi atau cerita berplot. Pengertian prosa fiksi tersebut adalah kiasan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita (Aminuddin, 2000: 66).

Cipta sastra sebenarnya mengandung berbagai macam unsur yang sangat kompleks, antara lain unsur keindahan, unsur yang berhubungan dengan nilai-nilai keagamaan, filsafat, politik, dan bermacam masalah kehidupan, unsur intrinsik yang berhubungan dengan ciri karakteristik cipta sastra itu sendiri, unsur ekstrinsik yang melatarbelakangi proses cipta cebuah karya sastra, serta unsur yang berkaitan dengan media pemaparan yaitu bahasa dan struktur wacana. Dengan demikian karya sastra dapat dilihat sebagai suatu sistem tanda yang utuh, struktur tanda yang memiliki fungsi, dan tujuan estetis tertentu (Wellek, 1985: 159).

Pierce mengemukakan tiga macam tanda, yaitu: ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang mempunyai hubungan kemiripan dengan acuannya; indeks mempunyai hubungan kontiguitas dengan acuannya; sedangkan simbol mempunyai hubungan dengan acuannya berdasarkan konvensi (Zaimar, 1990: 21).

(37)

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Data yang tersaji adalah berupa kata, frase dan kalimat. Sumber data utama adalah sebuah novel berjudul The Da Vinci Code. Uji keabsahan data dilakukan dengan melakukan serangkaian wawancara dengan beberapa orang ahli bahasa serta dengan melakukan kajian terhadap hasil penelitian yang relevan.

Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan membaca novel dan mengambil data yang kemudian diklasifikasikan berdasarkan kelompok-kelompoknya yang terdiri dari kelompok ikon, kelompok indeks dan kelompok simbol. Setelah itu, penulis menganalisis data sesuai dengan acuan teori yang relevan, menyajikan hasil analisis dan menyimpulkannya.

Hasil dan Pembahasan

A. Unsur Intrinsik dalam Novel

Tokoh utama yang merupakan tokoh protagonis dalam novel The Da Vinci Code adalah Robert Langdon, Profesor Simbologi Keagamaan dari Universitas Harvard, Amerika Serikat. Dalam novel, ia berpasangan dengan Detektif Sophie Neveu. Tokoh lainnya adalah Kurator Museum Louvre Jacques Sauniere. Kemudian, ada Polisi Perancis Kapten Bezu Fache dan Letnan Jerom Collet. Sementara tokoh antagonisnya adalah Direktur Opus Dei di New York Uskup Manuel Aringarosa; Silas, seorang rahib anak buah Aringarosa; Sir Leigh Teabing, Bangsawan Inggris; dan pembantunya Remy Legaludec; serta Andre Vernet, Presiden Bank Penyimpanan Zurich cabang Paris.

Alur cerita dalam novel dibuat maju-mundur oleh penulisnya. Hal ini terbukti dari banyaknya flash back yang dilakukan oleh hampir semua tokoh-tokohnya. Flash back tersebut terdiri dari ingatan masa kecil, penggalan cerita sejarah tentang Yesus Kristus, serta sedikit cerita tentang perkuliahan Robert Langdon.

Novel ini bertemakan pembunuhan dengan tujuan untuk menemukan sebuah makam yang diyakini sebagai makam Maria Magdalena, yang di dalam novel diceritakan sebagai istri Yesus Kristus. Novel The Da Vinci Code di tulis oleh Dan Brown dengan banyak teka-teki berupa simbol-simbol gambar, permainan kata atau anagram serta kode-kode rahasia yang harus dipecahkan oleh para tokoh-tokohnya.

Dalam novel The Da Vinci Code, hanya terdapat latar waktu yang sempit yaitu dua malam dan satu hari. Sedangkan latar tempatnya berganti-ganti dengan cepat antara Paris, London lalu kembali ke Paris lagi. Latar tempat lainnya adalah berupa bangunan-bangunan gereja-gereja dan kapel-kapel baik di Inggris maupun di Perancis; seperti Gereja Templar di Inggris, Gereja Saint-Sulpice di Paris, Makam para Biarawan di Inggris, serta Kapel Rosslyn di Inggris.

B. Sistem Tanda dalam Novel

Referensi

Dokumen terkait

Permasalahan yang sering terjadi pada Klinik Medisina yaitu pada pasien akan melakukan pemeriksaan dan belum mempunyai kartu berobat harus mendaftarkan diri kepada

Wereng yang diinfestasikan pada tanaman rentan Pelita menunjukkan repon ketahanan paling tinggi 234 kali lipat dibandingkan pada tanaman tahan Inpari 13 yang

Dari hasil penelitian mengenai strategi komunikasi pemasaran yang dilakukan oleh UKM Kacapuri ditemukan bahwa strategi komunikasi pemasaran yang dilakukan oleh UKM

Adapun langkah-langkah yang dilakukan Institut Agama Islam Negeri Kudus dalam upaya menyemai moderasi beragama mahasiswa diantaranya dengan menjadikan Ilmu Islam Terapan sebagai

68 DEWI RAHMAH TENGGAYUN, 4 JANUARI 1991 1203104467 PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS STAI ALKAUTSAR BENGKALIS 3,00 THE INFLUECE OF OPINION PROOF STRATEGY TOWARD STUDENTS' ABILITY IN

Berisi tentang penelitian terdahulu, pengertian manajemen personalia, pengertian produktivitas tenaga kerja, pengukuran produktivitas, faktor-faktor yang mempengaruhi

Penerimaan Pegawai Subag Umum dan Kepegawaian Subag Umum dan Kepegawaian Setiap ada perubahan Soft copy dan hard copy v Selama berlaku website. Ringkasan Kinerja Program dan

Data di dapat dengan penyebaran kuisioner kepada pengguna angkutan Nice Trans Taxi dan juga wawancara dengan pengelola Nice Trans Taxi kemudian data dianalisis, hasil analisis