• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Kopi dan SIklus Hara Mineral dari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hasil Kopi dan SIklus Hara Mineral dari"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1) Peneliti (Researcher); Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jl. PB. Sudirman No. 90, Jember.

Hasil Kopi dan Siklus Hara Mineral dari Pola Tanam Kopi dengan

Beberapa Spesies Tanaman Kayu Industri

Coffee Yield and Mineral Cycle in Intercropping of Coffea canephora and Some Species of Timber Shade Trees

A. Adi Prawoto

Ringkasan

(2)

Summary

Agroforestry system of coffee plantation using several timber species as shade trees is expected could sustain coffee farming system due to the favourable agro-ecological condition. This farming concept is also important to antici-pate eco-label and improvement of green consumerism issue. A study of Coffea canephora planting pattern using Tectona grandis, Paraserianthes falcataria, P. falcataria var. Solomon, Melia azedarach, Hibiscus macrophyllus and Leucaena sp., has been conducted in Kaliwining experimental station (45 m a.s.l and D of rainfall type according to Schmidt & Ferguson), during 2002 to 2008. The treatments were arranged in split plot, those timber species and the planting pattern (9 treatment) were used as the main plot, and coffee clones (BP 409, BP 534, BP 936 dan BP 939) as the sub plot. Each plot was planted in 0.25 hectare. The measured variables were berry yield at 3, 4 and 5 year old; berry outturn, relative water content (RWC) of coffee leaves during dry season; mi-croclimate, growth of the shade trees; yearly biomass of the litter; and mineral content of the litters. The result showed that berry yield at 4 and 5 year old of coffee-M. azedarach and coffee-Hibiscus sp. treatment were consistently lower than the control (coffee-Leucaena sp.), meanwhile the yield of coffee-T. grandis, coffee-P. falcataria treatment were not significantly different to the control. Un-til there age, effect of coffee clones were sUn-till not consistent, but yield of BP 939 tended to be the highest and BP 936 the lowest. The outturn of coffee berry was not influenced by shade species and their planting pattern, but the effect of clones was significant. Outturm of BP 936 was the lowest and significantly differ-ent with the others. In comparison with Leucaena sp., all of shade species and their planting pattern compete more for water consumption and improve evapo-transpiration of coffee leaves. RWC inside those shade trees were lower than that under Leucaena sp. The growth of P. falcataria grow was fastest, but Hibis-cus sp. was the slowest. At 5 year old, stem diameter were 22.7 cm and 14.0 cm for P. falcataria and Hibiscus sp. respectively. During one year observation, total litter biomass of Hibiscus was highest, followed by T. grandis then P. falcataria var. Solomon, and the lightest was M. azedarach litter. Based on the total litter biomass and their nutrient content, Hibiscus sp. showed the high-est potency to supply macro and micronutrient to the soil followed by Leucaena sp. P. falcataria var. Solomon, T. grandis, M. azedarach and the lowest one was P. falcataria. However, the role of those nutrient cycle on coffee bean yield was not linear, because of the inorganic fertilizer applicaion is very intensive.

Key words : Coffea canephora, Tectona grandis, Paraserianthes falcataria, Melia azedarach, Hibiscus macrophyllus, yield, outturn, litter, mineral cycle.

PENDAHULUAN

Sejak dekade 1990-an produktivitas tanaman kopi pada sebagian besar lahan perkebunan menunjukkan kecenderungan terus menurun.

(3)

ekologis. Model pengusahaan kayu dengan sistem yang terbarukan dengan memasuk-kannya dalam sistem pengusahaan perke-bunan menjadi alternatif yang menarik untuk dikaji. Hal ini sejalan dengan kebijakan pembangunan perkebunan pola konservasi yang relevan dengan perubahan ekologis dan perkembangan pasar.

Perkebunan kopi yang dikelola secara standar, telah memenuhi kaidah konservasi sumber daya alam (SDA) seperti yang di-nyatakan FAO (Untung, 1999). Keberadaan penaung yang meneruskan cahaya 70—80% sangat penting untuk menjamin umur produktif yang panjang serta tingkat produktivitas kopi yang tinggi (Maestri & Barros, 1977). Diversifikasi yang melibatkan banyak spesies dengan habitus yang beragam, mampu menjaga kelestarian lingkungan biotik maupun abiotik kebun. Sistem agrisillvikultur seperti itu dinyatakan sebagai salah satu bentuk agroforestri sederhana (De Foresta & Michon, 1997).

Agroforestri pada dasarnya adalah pola pertanaman yang memanfaatkan intensitas sinar matahari yang ‘berlapis-lapis‘ dan tanah untuk meningkatkan produktivitas lahan. Pola tanam agroforestri sendiri tidak sekedar untuk meningkatkan produktivitas lahan, tetapi juga melindungi lahan dari kerusakan dan mencegah penurunan kesuburan tanah melalui mekanisme alami. Tanaman kayu industri yang berumur panjang diharapkan mampu memompa zat-zat hara (nutrient) di lapisan tanah yang dalam, kemudian mentransfernya ke permukaan tanah melalui luruhnya biomassa (Budiadi, 2005). Selain itu, konsep pola agroforestri pada dasarnya secara perlahan mampu menekan emisi

karbon dan efek rumah kaca karena kopi dan tanaman penaung merupakan carbon sink yang baik. Kebijakan beberapa produsen kopi di Amerika Tengah yang mengikuti kesepakatan Kyoto mengenai carbon seques-tration, memperoleh bonus dari CO2 yang dapat diserapnya setelah merubah pola tanam kopi monokultur menjadi pola agroforestri (Vaas & Hermand, 2002).

Kopi merupakan tanaman yang secara alami tumbuh di bawah naungan, tetapi yang diusahakan tanpa penaung sering mem-berikan hasil yang lebih tinggi selama di-imbangi dengan input agrokimia yang tinggi. Namun, mengingat harga kopi yang ber-fluktuatif dan kondisi lingkungan yang cenderung makin marjinal, hasil evaluasi ekonomis dan ekologis menunjukkan bahwa usahatani kopi dengan pola tersebut ber-potensi mencemari air tanah dan makin mahal.

(4)

Erythrina spp. dan Inga spp. yang secara periodik dipangkas. Memang, spesies kayu industri jarang digunakan di kebun kopi di kawasan tersebut walaupun diakui bahwa hasil kayu sangat membantu keragaman sumber pendapatan pekebun.

Tanaman sengon (Paraserianthes falcataria) merupakan tanaman suku Legu-minosae yang tumbuh cepat, toleran tanah marginal, tajuknya meneruskan cahaya difus dan kayunya bernilai tinggi (Heyne, 1987). Oleh sifatnya tersebut tanaman ini berpeluang baik digunakan untuk penaung kopi serta konservasi lingkungan di kebun.

Jati (Tectona grandis) dapat tumbuh baik pada deviasi lingkungan yang lebar, mulai dari dataran rendah sampai ketinggian 800 m dpl. dan dari curah hujan kurang dari 900 mm/th sampai 3.800 mm/th, dari temperatur minimum 14OC sampai maksimum 41OC

(Salleh, 2001). Jati menghendaki areal yang terbuka namun masih toleran pada penyinaran 75—95%. Hasil penelitian siklus hara hutan jati umur 20 tahun di India menunjukkan bahwa 64—76% unsur hara dalam biomasa tanaman jati dikembalikan lagi ke dalam tanah (Salleh, 2001). Di Malaysia, jati diusahakan dengan tanaman karet, kakao dan kelapa sawit (Bacilieri et al., 1998).

Mindi (Melia azedarach), akhir-akhir ini banyak diusahakan pekebun di Jawa Timur sebagai penghasil kayu di samping untuk konservasi lingkungan. Pertumbuhan-nya cepat, tajukPertumbuhan-nya meneruskan cahaya difus dan daunnya untuk sementara kurang disukai ternak (Heyne, 1987). Peluangnya digunakan sebagai penaung kopi belum diketahui, demikian pula dampaknya pada perubahan sifat fisiko-kimia tanah yang terjadi serta

nilai pendapatan yang dapat diperoleh pekebun.

Lamtoro (Leucaena sp.) yang ditanam

rapat dengan jarak antara baris  satu meter,

mampu menghasilkan pupuk hijau sebanyak

120 ton/ha/tahun, sehingga dapat

menyum-bang 1.000 kg nitrogen, 200 kg asam fosfat dan 800 kg potasium, berturut-turut setara dengan 50 kg ammonium sulfat, 50 kg su-per fosfat dan 50 kg potasium muriate. Fiksasi N atmosfer menambah kesuburan tanah, murah dan tidak mengganggu ling-kungan (Padmowijoto, 2004).

Minat pekebun kopi menggunakan tanaman penaung akhir-akhir ini meningkat disebabkan oleh harga kopi dunia berfluk-tuasi dan kecenderungan meningkatnya green consumerism. Di Kostarika, 88% pekebun mengusahakan lebih banyak spesies di dalam kebun kopi, khususnya spesies tanaman buah (Albertin & Nair, 2004). Tulisan ini me-nyampaikan hasil kajian agroekologis dari budidaya tanaman kopi produktif muda yang diusahakan dengan tanaman sengon, mindi, jati, dan waru gunung yang diran-cang dengan sejumlah pola tanam.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di KP Kali-wining (45 m dpl. tipe iklim D menurut klasifikasi Schmidt & Ferguson) meng-gunakan kopi Robusta (Coffea canephora). Penelitian dengan rancangan split plot, setiap petak main plot perlakuan diuji pada areal 0, 25 ha. Perlakuan sebagai main plot adalah :

1. Kopi–Jati (Tectona grandis):

(5)

2. Kopi–Sengon laut (Paraserianthes falca-taria):

(a) Sengon (3 m x 2,5 m) x 12 m ( pagar ganda).

(b) Sengon 6 m x 2,5 m (pagar tunggal).

3. Kopi– Sengon (Paraserianthes falcataria) varietas Solomon :

(a) Sengon pagar ganda (3 m x 5 m) x 25 m.

(b) Sengon empat baris (3 m x 5 m x 5 m) x 25m.

4. Kopi–Mindi (Melia azedarach):

(a)Mindi pagar ganda (3 m x 5m) x 25m.

(b)Mindi empat baris (3 m x 5 m x 5 m) x 25m.

5. Kopi–Waru Gunung (Hibiscus macro-phyllus) :

Waru gunung ditanam empat baris

(3m x 5m x 5m) x 25m.

6. Kontrol :

Kopi-Lamtoro (Leucaena sp. ) jarak tanam 3 m x 2,5 m.

Sebagai sub plot adalah klon kopi, yaitu BP 409, BP 534, BP 936 dan BP 939. Dalam tulisan ini tanaman kopi berumur 5 tahun, dan tanaman industri berumur 6 tahun. Pemeliharaan tanaman kopi sesuai baku teknis, tanaman jati disiwing pada bulan Januari/Februari, tanaman lamtoro ditokok (topping).

Hasil kopi diamati dengan cara taksasi buah yang dilakukan pada bulan Mei/Juni dilanjutkan dengan pengamatan rendemen. Jumlah sampel setiap sub perlakuan 10 tanaman. Perkembangan hasil kopi pada umur 3, 4 dan 5 tahun disajikan di sini. Data hasil kopi dan rendemen biji dianalisis dengan program SAS 9.1 Sintaks.

Pengamatan hasil kopi dilakukan pada tanaman umur 3, 4 dan 5 tahun, atau pada tahun 2005 sampai 2007. Data curah hujan pada tiga tahun tersebut tertera dalam Tabel 1.

Pada pertengahan musim kemarau (Sep-tember) diamati kadar lengas daun relatif (KLR) kopi dengan rumus berikut:

KLR = (BB-BK)/(BJ-BK) x 100%

KLR : Kadar lengas daun relatif (%),

BB : Bobot basah sampel daun (g),

BJ : Bobot jenuh sampel daun (g),

BK : Bobot kering sampel daun (g).

(6)

100% apabila semua daun rontok. Variabel lingkungan yang lain adalah iklim mikro. Data iklim mikro kebun (suhu, kelembaban udara, intensitas penyinaran matahari) diamati pukul 12.00 pada musim hujan dan kemarau.

Variabel siklus nutrisi dicerminkan dari sumbangan hara mineral di dalam serasah daun/ranting tanaman penaung yang secara potensial dapat kembali ke lahan. Sampel serasah daun/ranting tanaman penaung di-kumpulkan dengan jaring (paranet) yang dipasang di bawah tanaman, dan data bobot basah serta bobot kering diamati sebulan sekali. Hijauan yang diperoleh dari pe-nyiwingan cabang-cabang tanaman jati dan pemenggalan tanaman lamtoro yang dilaku-kan pada awal hujan juga dicatat. Analisis hara mineral yang terkandung di dalam sampel serasah dilakukan di Laboratorium Tanah dan Jar ingan Tanaman Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia meng-gunakan metode baku.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kopi dan Rendemen

Pengaruh pola tanam sejumlah spesies tanaman kayu industri sebagai penaung terhadap hasil buah kopi, tertera dalam Gambar 1. Tampak bahwa hasil kopi me-ningkat seiring dengan meme-ningkatnya umur tanaman, tetapi pada umur 4 tahun (2007) hasil kopi pada sebagian perlakuan penaung, turun dibandingkan hasil umur 3 tahun. Pada umur 3 tahun, hasil tertinggi diperoleh dari pola tanam kopi-sengon pagar tunggal. Pada umur 4 tahun hasil tertinggi dicapai pada pola tanam kopi-lamtoro yang tidak berbeda nyata dengan hasil kopi dengan pola tanam kopi-sengon, kopi-sengon varietas Solomon, dan kopi-jati. Pada umur 4 tahun tersebut, hasil kopi paling rendah diperoleh dari pola tanam kopi-mindi 4 baris. Pada umur 5, hasil kopi tertinggi diperoleh dari perlakuan kopi-jati dan hasil paling rendah dari perlakuan kopi-waru gunung. Hasil ini berbeda dengan penelitian Romero-Alvarado et al. (2002) di Meksiko, bahwa tanaman penaung Inga latibracteata tidak ber-pengaruh terhadap hasil biji kopi dan nutrisi dalam tanah. Dinyatakan bahwa keuntungan yang dapat dirasakan pekebun dari peng-gunaan Inga latibracteata tersebut sebagai penaung adalah menekan pertumbuhan gulma, sehingga menghemat biaya pengen-dalian.

Sebagai penyebab hasil kopi yang cenderung rendah pada umur 4 tahun di-bandingkan umur 3 tahun adalah karena kondisi cuaca yang kurang mendukung untuk menopang pembungaan dan pem-buahan hasil kopi umur 4 tahun. Bulan

Tabel 1. Curah hujan di lokasi penelitian, mm Table 1. Rainfall data in experimental site, mm

Januari (January) 123 212 147 Februari (February) 146 190 237 Maret (March) 294 218 415 April (April) 268 283 245

Mei (May) 21 145 137

Juni (June) 66 4 77

Juli (July) 65 7 15

Augustus (August) 13 1 3

(7)

dalam perlakuan, kurang tepat digunakan sebagai penaung tanaman kopi Robusta, hasil kopi selalu pada ranking bawah dibandingkan perlakuan yang lain. Diduga sebagai penye-babnya karena dua alasan yang berbeda, yaitu tanaman mindi menunjukkan tingkat kerontokan daun yang tinggi selama musim kemarau, sebaliknya tanaman waru me-nunjukkan tingkat penaungan yang terlalu berat. Hasil pengamatan tingkat penaungan pada musim hujan menggunakan alat Densiometer menunjukkan bahwa tanaman waru terlalu rindang dengan tingkat pe-naungan sekitar 73%, jauh di atas pepe-naungan lamtoro sekitar 49% (Gambar 2). Tingkat penaungan yang terlau minimum (di bawah mindi) dan terlalu berat (di bawah waru), berdampak pada metabolisme yang lebih lambat, hasil fotosintesis bersih rendah dan akhirnya hasil kopi juga rendah. Secara kering yang panjang pada tahun 2006 (Tabel

1) menyebabkan banyak bunga kopi stadium lilin yang seharusnya mekar pada bulan No-vember oleh rangsangan air hujan, men-jadi kering. Kerusakan bunga kopi tersebut berdampak pada penurunan hasil tahun 2007 (umur 4 tahun).

Hasil uji lanjut produksi kopi umur 4 dan 5 tahun tidak menunjukkan interaksi antara jenis tanaman penaung dengan klon kopi. Tampak dari Tabel 2 bahwa pengaruh spesies tanaman penaung terhadap hasil kopi belum konsisten. Pada umur 4 tahun, hasil tertinggi diperoleh dari kopi berpenaung lamtoro dan pada umur 5 tahun hasil tertinggi dari perlakuan kopi berpenaung jati dengan model pagar ganda. Walaupun demikian sudah terlihat hasil yang cenderung konsisten, bahwa tanaman mindi dan waru gunung dengan pola tanam seperti tersebut

Gambar 1. Pengaruh jenis dan pola tanam tanaman penaung terhadap hasil kopi pada umur 3, 4 dan 5 tahun (butir/pohon). Data disajikan sebagai rerata + simpangan baku.

Figure 1. Effect of planting system and shade tree species on the berry yield per tree at the age of 3, 4, and 5 year old. Data presented in average ± standard deviation.

Jati Sengo n

(8)

fisiologis, perangkat fotosintesis tanaman kopi menunjukkan plastisitas yang rendah terhadap perubahan pencahayaan. Daun kopi dilaporkan menunjukkan laju fotosintesis sangat rendah (kurang dari 2,5 mol/cm2/

detik), penghambatan fotosintesis kronis pada bulan kering dan dingin (Agustus) yang diikuti kehilangan klorofil yang drastis. Dibandingkan daun kopi yang ternaung, daun yang tanpa penaung menunjukkan konsen-trasi klorofil lebih rendah, transfer elektron lebih lambat dibandingkan yang dengan tanaman penaung (Chaves et al. , 2008).

Kurang optimumnya fungsi penaungan ini juga tampak dari variabel iklim mikro kebun (suhu, kelembaban relatif dan inten-sitas penyinaran matahari) khususnya pada musim kemarau (Tabel 3). Tampak bahwa

penyinaran matahari yang sampai tajuk tanaman kopi berpenaung tanaman mindi paling tinggi (33–37% terhadap penyinaran langsung) yang berdampak pada suhu lingkungan juga paling tinggi (sekitar 37OC)

jauh di atas suhu perlakuan kontrol (34,3OC).

Sebaliknya, tanaman waru meneruskan cahaya hanya 9,17% terhadap penyinaran langsung yang mengindikasikan tingkat penaungan yang berat. Kondisi iklim mikro yang tercipta dari kedua perlakuan tersebut kurang optimum untuk mendukung hasil kopi sebab tingkat penaungan yang optimum dilaporkan berkisar 20—30% dari penyinaran langsung (Maestri & Barros, 1977; Wrigley, 1988). Di daerah tropika, fungsi tanaman penaung memang lebih diutamakan untuk mengurangi intensitas sinar matahari yang berlebih pada musim kemarau, sebaliknya

Petak Utama (Main Plot)

Kopi – Jati ganda (Coffee – T. grandis double rows) 440. 1 bc 1,219.0 a Kopi - Sengon tunggal (Coffee – P. falcataria single row) 479. 8 ab 902. 2 bc Kopi - Sengon ganda (Coffee – P. falcataria double rows) 470. 4 b 723. 8 cd Kopi - Solomon-2 (Coffee – P. falcataria var. Solomon 2 rows) 469. 6 b 1, 024. 0 ab Kopi - Solomon-4 (Coffee – P. falcataria var. Solomon 4 rows) 291. 4 de 688. 0 cd Kopi - Mindi-2 (Coffee – M. azedarach 2 rows) 338. 7 cd 364. 4 ef Kopi - Mindi-4 (Coffee – M. azedarach 4 rows) 99. 5 f 316. 8 ef Kopi – Waru (Coffee – H. macrophyllus) 211. 3 ef 259. 1 f Kopi - Lamtoro (Coffee – Leucaena sp. ) 603. 5 a 869.7 bcd Anak Petak (Sub Plot)

BP 534 432. 3 a 618. 1 bc

BP 939 365. 9 ab 1,040.0 a

BP 409 377. 0 ab 753. 4 b

BP 936 337. 8 b 551. 4 c

Tabel 2. Pengaruh pola tanam dan klon terhadap rerata hasil kopi pada umur 4 dan 5 tahun Table 2. Influece of planting pattern and clones on the berry yield per tree at 4 and 5 year old

4 tahun (Year) 5 tahun (Year)

Catatan (Notes): Data dalm kolom dan petak yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% menurut uji HSD (Data in the same coloumn and plug followed by the same letter is not significantly different according to HSD 5%).

Perlakuan Treatment

(9)

di daerah sub tropis untuk mencegah kerusakan akibat radiative frost (Caramori et al. , 1996).

Hasil penelitian di Brazil menunjukkan kecenderungan yang sama, bahwa kopi yang diusahakan secara agroforestri khususnya spesies yang tidak memungkinkan untuk dilakukan pemangkasan, produksinya lebih rendah daripada yang penaungnya memung-kinkan untuk dipangkas. Hasil kopi dengan penaung hanya 515 kg/ha sementara yang diusahakan monokultur mencapai 2443 kg/ ha (Campanha et al., 2004). Pertumbuhan cabang kopi yang diusahakan secar a agroforestri lebih sedikit, jumlah daun lebih sedikit, jumlah cabang produktif lebih sedikit dan hasil biji kopi lebih rendah daripada yang diusahakan monokultur.

Selain pengaruh dari spesies penaung, populasi tanaman penaung berdampak terhadap hasil kopi. Dalam penelitian perbedaan populasi tersebut tampak dari pola tanam dari pagar tunggal ke pagar ganda dan dari pola pagar 2 baris ke pagar 4 baris. Di antara pagar yang cukup lebar jaraknya, ditanami lamtoro yang fungsinya sebagai penaung paling optimum. Hasil penelitian menunjukkan terjadi penurunan hasil kopi dengan makin meningkatnya populasi tanaman industri (Tabel 2). Penelitian di Brazil Selatan menggunakan Grevillea ro-busta dengan populasi 26, 34, 48, 71, dan 119 tanaman per hektar menunjukkan bahwa pada populasi penaung 26, 34, dan 48 tanaman/ha tidak terjadi penurunan produksi kopi, tetapi pada populasi 71 dan 119 tanaman /ha, terjadi penurunan hasil kopi yang signi-fikan (Baggio et al. , 1997). Peningkatan populasi Cordia alliodora dari

100 tanaman/ha menjadi 260 tanaman/ha dilaporkan menurunkan hasil kopi dari 2.300 kg/ ha menjadi 1. 700 kg/ ha (Vaast & Harmand, 2002).

Pada musim kemarau, variabel penaung yang berpengaruh terhadap hasil kopi adalah tingkat kerontokan daun. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa fungsi pe-naungan tanaman lamtoro tidak terganggu selama musim kemarau, sebaliknya pada tanaman mindi, fungsi penaungan minimum karena tingkat kerontokan daunnya mencapai sekitar 90%. Tanaman jati juga merontokkan daun selama musim kemarau, tetapi karena di antara pagar ganda ditanami lamtoro, maka fungsi penaungannya masih lebih baik. Fungsi penaungan tanaman lamtoro paling stabil, persentase daun rontok selama musim kemarau sangat sedikit (sekitar 10% ). Kondisi yang relatif sama dengan lamtoro adalah tanaman sengon, tingkat kerontokan daun pada musim kemarau sekitar 20% (Gambar 4). Kelemahan dari tanaman sengon adalah tidak memungkinkan di-lakukan pemangkasan dan risiko kerusakan tanaman kopi ketika memanen hasil kayunya. Namun, risiko kerusakan tanaman kopi pada saat tanaman kayu industri dipanen, pernah diamati di Kostarika. Disimpulkan bahwa risiko kerusakan akibat penebangan dan pengangkutan hasil kayu bukanlah peng-halang untuk tidak menggunakan kayu industri sebagai penaung tanaman kopi karena nilai hasil kayu Cordia alliodora sebagai tanaman penaung lebih tinggi (US$ 66/m3) daripada kerusakan kopi yang dapat

diakibatkannya (Somarriba, 1992).

(10)

Kopi – Jati (Coffee – T. grandis) 33.3 60.7 11. 00 33. 58 55.3 16. 26 Kopi-Sengon (Coffee-P. falcataria):

- Pagar ganda (Double rows) 35.0 58.0 10. 65 32.5 56.8 23. 33 - Pagar tunggal (Single row) 34.7 57.7 9.35 31.5 60.6 16. 67 Kopi-Solomon (Coffee-P. falcataria var. Solomon):

- 2 baris (2 rows) 33.7 62.0 11. 96 35.8 56.0 25. 00

- 4 baris (4 rows) 34.7 53.7 9.93 36.1 54.7 20. 00

Kopi-Mindi (Coffee-M. azedarach):

- 2 baris (2 rows) 34.5 53.3 16. 96 37.0 50.2 36. 67

- 4 baris (4 rows) 34.7 56.0 16. 52 36.5 52.4 32. 50

Kopi – Waru (Coffee-Hibiscus sp. ) 35.3 54.7 7.53  31.2  57.8 9.17

Kontrol (Kopi-Lamtoro) 33.7 55.7 9.71 34.3 53.3 24. 17

Control (Coffee-Leucaena sp. )

Tabel 3. Iklim mikro pada beberapa pola tanam kopi Table 3. Microclimate in some coffee agroforestry system

Perlakuan Treatment

(11)

140

D

au

n

ro

nt

ok

(

F

a

ll

in

g

l

e

a

ve

s)

,

%

Gambar 3. Persentase kerontokan daun pada musim kemarau. Garis vertikal menunjukkan simpangan baku.

Figure 3. Percentage of falling leaves during dry season. Vertical linear indicate standard deviation. 120

100

80

60

40

20

0

P. falcataria M. azedarach T. grandis H. macrophyllus Leucaena sp.

Gambar 4. Pengaruh klon terhadap hasil kopi pada umur 3, 4 dan 5 tahun. Garis vertikal menunjukkan simpangan baku.

Figure 4. Effect of coffee clone on the cherry yield per tree at 3, 4, and 5 year old. Vertical linear indicate standard deviation.

H

as

il

,

gl

d/

ph

n

(Y

ie

ld

,

b

er

ry

/t

re

e)

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800

BP 534 BP 939 BP 409 BP 936

3 th (yr) 4 th (yr) 5 th (yr)

jati, sengon laut dan sengon varietas Solomon dengan pola tanam yang tepat, dapat di-gunakan sebagai penaung tanaman kopi. Pola tanam dimaksud adalah dengan pola pagar ganda dan di antara “pagar” yang jaraknya cukup lebar tersebut digunakan tanaman lamtoro sebagai penaung. Di lain pihak,

(12)

Dari pengaruh klon kopi, belum me-nunjukkan hasil yang konsisten. Pada umur 4 tahun, hasil kopi berkisar pada 38–432 butir/tanaman dan BP 936 paling rendah dan berbeda nyata dengan hasil klon BP 409, BP 936 dan BP 534. Pada umur 5 tahun, hasil kopi berkisar pada 551–1040 butir/ tanaman dan klon BP 939 menunjukkan hasil tertinggi dan berbeda nyata dengan ketiga klon yang lain. Hasil buah ini masih belum optimum mengingat tanamannya masih muda sehingga berbeda dengan potensi yang tertera dalam laporan usulan pelepasan klon-klon unggul tersebut yakni lebih dari 3 ton/ ha/tahun (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2003).

Variabel yang berkaitan dengan hasil kopi adalah tingkat rendemen. Dari Tabel 4 tampak bahwa spesies dan pola tanam tanaman penaung industri dan juga klon kopi berpengaruh terhadap rendemen kopi hasil panen umur 4 tahun. Rendemen kopi ter-tinggi diperoleh dari perlakuan penaung sengon pagar tunggal yang berbeda nyata dengan perlakuan penaung tanaman jati, dan Solomon pagar ganda. Percobaan di Gua-temala, Honduras dan Kostarika menun-jukkan bahwa tanaman penaung menyebab-kan kualitas biji kopi lebih baik, baik dalam komposisi biokimianya termasuk unsur kafein, lemak dan kandungan asam kloro-genik, kualitas fisik biji seperti ukuran biji,

Petak Utama (Main Plot)

Kopi – Jati ganda (Coffee – T. grandis double rows) 19. 91 ab Kopi - Sengon tunggal (Coffee – P. falcataria single row) 21. 79 a Kopi - Sengon ganda (Coffee – P. falcataria double rows) 20. 55 ab Kopi - Solomon-2 (Coffee – P. falcataria var. Solomon 2 rows) 19. 18 b Kopi - Solomon-4 (Coffee – P. falcataria var. Solomon 4 rows) 21. 27 ab Kopi - Mindi-2 (Coffee – M. azedarach 2 rows) 19. 96 ab Kopi - Mindi-4 (Coffee – M. azedarach 4 rows) 20. 21 ab Kopi – Waru (Coffee – H. macrophyllus) 20. 15 ab Kopi - Lamtoro (Coffee – Leucaena sp. ) 20. 59 ab Anak Petak (Sub Plot)

BP 534 21. 43 a

BP 939 20. 21 a

BP 409 20. 69 a

BP 936 18. 39 b

Tabel 4. Pengaruh faktor tunggal terhadap rendemen kopi hasil panen umur 4 tahun Table 4. Effect of single factor on outturn of coffee yield at 4 year old

Perlakuan Treatment

Rendemen pada umur 4 th, % Outturn at 4 year old, %

(13)

rendemen, serta kualitas organoleptik-nya (Avelino et al. , 2001; Guyot et al. , 1996; Muschler, 1998; Vaast et al. , 2002). Penelitian pada Coffea arabica L. var. Caturra & Catimor 5175 yang ditanam di dataran rendah sehingga kondisinya kurang optimum untuk Arabika, bobot buah me-ningkat nyata jika populasi penaung Erythrina poeppigiana meningkat dari 0% menjadi 80% . Per sentase biji besar meningkat dari 49% dan 43% pada tanpa penaung menjadi 69% and 72% di bawah penaung tetap berturut-turut untuk varietas Caturra dan Catimor. Penaungan dilaporkan memacu pengisian biji dan pemasakan buah kopi lebih lambat tetapi lebih seimbang, sehingga kualitas bijinya lebih baik di-bandingkan yang tanpa penaung (Muschler, 2001).

Tingkat rendemen kopi lazimnya di-pengaruhi oleh tingkat kelebatan buah dan kesehatan tanaman, sementara kedua variabel tersebut terpengaruh oleh tingkat persaingan air dan har a miner al dengan tanaman penaung. Seperti dilaporkan Kanten et al. (2005) bahwa perbedaan spesies tanaman penaung menyebabkan tingkat kompetisi yang berdampak pada hasil dan kualitas biji kopi. Spesies Terminalia ivorensis berpotensi sebagai kompetitor penyerapan air dan hara mineral lebih kuat dari pada Eucalyptus deglupta yang tampak dari sebaran akar serabutnya yang lebih intensif.

Adanya pengaruh klon kopi terhadap rendemen, diduga merupakan faktor genetis. Dalam penelitian ini BP 936 menunjukkan

hasil dan rendemen paling rendah dibanding-kan BP 939, BP 534 dan BP 409.

Kadar Lengas Daun Relatif

Tanaman kayu industri yang diamati dalam penelitian ini bersaing air lebih berat daripada lamtoro. Kadar lengas daun relatif daun kopi (KLR) pada musim kemarau yang secara tidak langsung mencerminkan tingkat kompetisi tersebut, lebih rendah dari pada kontrol. Dari Gambar 5 terlihat bahwa KLR daun kopi berpenaung lamtoro tertinggi (86%) dan berbeda nyata dengan semua perlakuan yang lain kecuali sengon pagar tunggal dan waru gunung. KLR paling r endah ter jadi pada per lakuan kopi ber penaung mindi pagar ganda yakni 70,65%. Di samping variabel KLR menyata-kan tingkat kompetisi serapan air, juga men-cerminkan laju mekanisme yang menyebab-kan kehilangan lengas, yaitu proses evaporasi dan transpirasi. Tanaman mindi yang tingkat kerontokan daunnya tinggi selama kemarau, menyebabkan suhu yang diterima tajuk tanaman kopi tinggi dan mengakibatkan evapotranspirasi yang berlebih sehingga sampai 79,90% (BP 409).

(14)

me-nunjukkan laju transpirasinya lebih cepat daripada yang diusahakan dengan penaung yang mengindikasikan kopi mengalami cekaman lingkungan lebih kuat. Meskipun demikian, konsumsi air harian tanaman kopi per hektar umumnya lebih tinggi di bawah naungan daripada tanpa naungan yang disebabkan oleh pertumbuhan vegetatif kopi yang lebih kuat. E stimasi laju total transpirasi kopi dan tanaman penaung adalah 20—250% lebih tinggi daripada kopi tanpa penaung. Edeglupta merupakan spesies penaung yang optimum karena fungsi penaungannya sepanjang tahun lebih stabil daripada T. ivorensis dan E. poeppigiana yang menggugurkan daun selama musim kemarau yang tegas (Rudi & Philippe, 2006).

Pertumbuhan Tanaman Penaung

Pertumbuhan lilit batang sengon laut paling cepat, pada umur 5 tahun, diameter tanaman sengon laut mencapai sekitar 22,7 cm (Gambar 6). Sementara itu tanaman waru tumbuh paling lambat dan berbeda nyata dibandingkan sengon laut. Laju pertumbuhan tanaman jati relatif sama dengan tanaman mindi. Hasil penelitian di Ghana juga menunjukkan hal yang sama bahwa pada umur 4 tahun, pertumbuhan beberapa varietas sengon (Albizia adenocephala, A. guachapele, A. niopoides, A. plurijuga, A. saman dan A. tomentosa) sangat menjanjikan dengan tinggi 12, 2–14,5 m dan diameter batang 12–22,4 cm (Anim-Kwapong, 2003).

Gambar 5. Kadar lengas daun relatif musim kemarau (September), dalam rerata ± simpangan baku.

(15)

Gambar 6. Perkembangan lilit batang tanaman industri umur 3, 4, dan 5 tahun. Garis vertikal menunjukkan simpangan baku.

Figure 6. Growth of stem girth of industrial species at 3, 4, and 5 year old. Vertical linear indicate standart deviation.

100

90 80

60

50

40

30

0 70

T. grandis

L

il

it

b

at

an

g

(

S

te

m

g

ir

th

),

c

m

10 20

P. falc.-1 P. falc. Var P. falc.-2 P. falc. Var Solomon-4

M. azedarach 2

M. azedarach 4

Hibiscus sp.

3-th (year)3-th (year) 4-th (year)4-th (year) 5-th (year)

Siklus Nutrisi

Yang dimaksud dengan siklus nutrisi dalam peneltian ini adalah jumlah hara yang dikembalikan ke tanah lewat serasah daun dan ranting yang luruh. Pengamatan serasah dilakukan dengan memasang jaring paranet di bawah tanaman penaung, bobot sekali. Hasil pengamatan bobot serasah selama satu tahun menunjukkan bahwa pada musim kemarau serasah yang luruh lebih banyak daripada saat musim hujan. Perkecualian untuk tanaman jati dan lamtoro, serasah pada bulan Februari paling banyak karena pada bulan tersebut tanaman jati disiwing dan tanaman lamtoro dipenggal (ditokok) agar tidak menaungi tanaman kopi terlalu berat.

Selama satu tahun pengamatan, total bobot serasah tanaman waru gunung paling berat, disusul serasah tanaman jati dan sengon

Solomon. Serasah paling sedikit berasal dari tanaman mindi. Bobot ser asah kering tanaman sengon tersebut (sekitar 2,5 kg/ph/ th) lebih rendah dari pengamatan di Ghana yang menguji beberapa varietas tanaman sengon dengan hasil biomassa setengah tahun berkisar pada 3–10 ton/ha (Amin-Kwapong, 2003).

(16)

Tabel 5. Kadar unsur hara mikro dalam serasah (ppm)

Table 5. Micro nutrients content of litter of several coffee shade trees species

Mn 34 398 261 88 66 61

T. grandis Hibiscus sp. P. falcataria var. Solomon

P. falcataria M. azedarach Leucaena sp.

T. grandis M .

Gambar 7. Total bobot serasah kering beberapa tanaman industri yang diusahakan bersama tanaman kopi, periode Januari – Desember.

Figure 7. Total of litter dry weight of some species during January – December.

T. grandis M. azedarach P. falcataria P. falc. var. Solomon

Hibiscus sp. Leucaena sp.

(17)

Kadar Mg tertinggi dari serasah daun waru disusul daun sengon Solomon, mindi, sengon laut dan jati. Kadar SO4 tertinggi adalah serasah dari daun sengon solomon disusul daun lamtoro, waru dan mindi. Secara umum dapat dinyatakan bahwa serasah daun jati banyak mengandung unsur N, K dan Ca, daun waru N, K, dan Ca; daun sengon Solomon unsur N, Ca, dan SO4; daun sengon laut N, K, dan Ca; daun mindi unsur N, K, Ca, dan Mg; daun lamtoro N, P, K, Ca, dan SO4.

Mendasarkan pada bobot serasah yang rontok serta hara mineral yang ter-kandung, selanjutnya dapat dihitung total hara mineral yang berpotensi untuk di-kembalikan ke lahan. Hasilnya me-nunjukkan bahwa tanaman waru gunung berpotensi mengembalikan total unsur hara makro (N, P, K, Ca, Mg, SO4) ke tanah paling banyak (387,86 g/ph/th), di-ikuti tanaman lamtoro (274,34 g/ph/th), sengon varietas Solomon (272,10 g/ph/th),

Mn 1510 1632 2158 10045 20728 3193

Fe 7283 11423 2585 5465 18477 11568

Cu 489 173 176 269 576 576

Zn 933 593 577 693 785 1152

Tabel 6. Potensi hara mikro yang kembali ke tanah dalam bentuk serasah periode Januari – Desember (mg/pohon) Table 6. The potency of micro nutrient contained by litter during January – December (mg/tree)

Hara Mineral

T. grandis Hibiscus sp. P. falcataria var. Solomon

P. falcataria M. azedarach Leucaena sp. Gambar 9. Potensi hara makro yang kembali ke tanah dalam bentuk serasah, periode Januari – Desember.

Figure 9. Potency of macro nutrients contained by litter during January to December.

(18)

jati (244,26 g/ph/th), mindi (208,44 g/ph/th) dan sengon laut (128,23 g/ph/th. Dari enam spesies yang diamati, potensi unsur hara kembali ke lahan dari tanaman sengon laut paling sedikit. Walaupun demikian, di-bandingkan tanaman penaung Gliricidia, tanaman penaung sengon dilaporkan mem-berikan masukan serasah 81% lebih banyak, kandungan C-organik 17% lebih tinggi, N-total 40% lebih tinggi, P-tersedia 112% lebih tinggi (Purwanto et al. , 2007). Terhadap unsur hara mikro (Fe, Mn, Cu, Zn) urutan potensi nilai hara dikembalikan ke tanah hampir sama dengan unsur hara makro, dari yang tertinggi adalah tanaman waru gunung, lamtoro yang relatif sama dengan sengon varietas Solomon, mindi, jati dan yang pa-ling sedikit tanaman sengon laut (Tabel 6). Namun, jika dikaitkan dengan data hasil kopi, peran siklus hara tersebut masih belum menunjukkan hubungan yang linier, pe-ngaruh interaksi faktor tumbuh yang lain lebih dominan. Adanya perlakuan pemu-pukan anor ganik yang intensif dalam penelitian ini, ditengarai juga berpengaruh terhadap masih tidak jelasnya peran dari siklus nutrisi terhadap hasil kopi.

Perbedaan spesies tanaman penaung terhadap nilai hara juga pernah dilaporkan Suhendi & Purwadi (1994). Nilai hara dalam biomassa beberapa kultivar Leucaena sp. menunjukkan kesetaraan dengan N, P, dan K berturut-turut sebesar 22 kg, 3 kg, dan 3,5 kg per ha/th (Suhendi & Purwadi, 1994) sementara biomassa daun Cassia spectabilis setara dengan 97 kg Urea; 7 kg SP-36; 66 kg KCl; 51 kg Dolomit; 12 kg Kieserit; 8 kg Z masing-masing per hektar/th dengan populasi 400 ph/ha. Di Kostarika, tanaman

legum Erythrina poeppigiana yang dipangkas 2—3 kali per tahun nilai hara dalam biomassa setar a dengan pupuk inor ganik yang direkomendasikan, yaitu 270 kg.N, 60 kg.P, 150 kg. K/ha/tahun, jauh lebih besar dari kemampuannya untuk fiksasi N. Sebaliknya tanaman bukan legum Cordia alliodora yang digunakan sebagai penaung kopi, karena tidak dipangkas maka simpanan nutrien di dalam batang khususnya unsur kalium merupakan faktor pembatas produktivitas tanaman (Beer, 1988).

Pengamatan di Ethiopia juga menunjuk-kan perbedaan kemampuan produksi serasah dan siklus hara antarspesies penaung. Daun tanaman Croton macrostachyus mengandung P 20% lebih tinggi dan K 25% lebih rendah dari pada yang dikandung serasah Cordia africana. Disimpulkan bahwa bagaimanapun juga serasah tanaman penaung berperan besar dalam menjaga daur nutrisi lewat meka-nisme pencegahan pelindian, translokasi ke sub soil, dan menyuburkan top soil lewat dekomposisi dan mineralisasi serasah. Serasah yang beragam macam dan kualitas-nya lebih menjamin efisiensi penyerapan mineral oleh tanaman (Gindaba et al., 2005).

KESIMPULAN

(19)

Rendemen kopi tidak terpengaruh oleh spesies tanaman penaung dan pola tanamnya, tetapi terpengaruh oleh klon yakni rendemen BP 936 paling rendah.

Tingkat evapotranspirasi dan persaingan air pada musim kemarau antara tanaman pokok kopi dengan tanaman penaung yang dinyatakan dengan variabel kadar lengas daun relatif, berbeda antarperlakuan. Dibanding-kan dengan penaung lamtoro, semua spesies tanaman kayu industri dan pola tanamnya menyebabkan harkat KLR lebih rendah.

Pertumbuhan tanaman sengon paling cepat, sebaliknya tanaman waru gunung paling lambat. Pada umur 5 tahun, dia-meter tanaman sengon laut mencapai se-kitar 22,7 cm dan tanaman waru 14 cm. Laju pertumbuhan tanaman jati relatif sama dengan tanaman mindi.

Selama satu tahun pengamatan, total bobot ser asah tanaman war u gunung paling berat, disusul serasah jati dan sengon Solomon. Ser asah paling sedikit dar i tanaman mindi. Dibandingkan serasah lamtoro, serasah jati lebih banyak me-ngandung hara K dan Mg, sengon Mg dan Mn, mindi K, Ca, Mg, Fe, dan Mn; waru gunung K, Mg, Fe dan Mn.

Serasah tanaman waru berpotensi mengembalikan unsur hara makro dan mikro ke lahan paling banyak, sebaliknya tanaman sengon laut paling sedikit. Urutan setelah waru adalah jati, mindi, lamtoro (Leu-caena sp.), dan sengon Solomon.

Disebabkan oleh perlakuan pemupukan anorganik yang intensif, peran siklus nutrisi tersebut terhadap hasil kopi tidak menunjuk-kan korelasi yang linier.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Ir. Abdul Mukti Nur, SU yang telah merintis penelitian ini yang kemudian menyer ahkan kelanjutannya kepada penulis. Ucapan serupa juga di-sampaikan kepada Sdr. Wagiyo, Herwanto, dan Surani yang telah membantu pelaksanaan penelitian di lapangan dan pengamatan sejumlah variabel. Juga kepada Sdr. Teguh Iman Santoso, SP. dan Faila Sophia D., SP. yang juga membantu pengamatan dan analisis data, disampaikan terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Albertin, A. & P. K. R. Nair (2004). Farmers’ per-spectives on the pole of shade trees in coffee production systems: An as-sessment from the Nicoya Peninsula, Costa Rica. Human Ecology, 32, 443—463.

Anim-Kwapong, G.J. (2003). Potential of some neotropical Albizia species as shade trees when replanting cacao in Ghana. Agroforestry Systems, 58, 185—193.

Avellino J.; J.J. Perriot; C. Pineda; B. Guyot; & C. Cilas (2001). Vers une identifica-tion de cafes-terroir au Honduras: Caracterisation physique, phytotech-nique et bioloque des cafeires hondu-riennes. XIX Colloque Scientifique International du Café, Triete, Italie, 14—18 may 2001, Paris, France, Asic.

(20)

Baggio, A.J.; P. H. Caramori; A. A. Filho &

L. Montoya  (1997).  Productivity  of

Southern Brazilian coffee plantations shaded by differ en t stockin gs of Grevillea robusta. Agroforestry Sys-tems, 37, 111—120.

Beer J. (1988). Litter production and nutrient cycling in coffee (Coffea arabica) or cacao (Theobroma cacao) plantations with shade trees. Agroforestry Sys-tems, 7, 103—114.

Budiadi (2005). Agroforestry, mungkinkah mengatasi permasalahan sosial dan lingkungan?. Inovasi Online. Down-load www. mio.ppi.jepang.org 

Caramori, P.H.; A. A. Filho & A. C. Leal (1996). Coffee shade with Mimosa scabrella Benth. for frost protection in south-ern Brazil. Agroforestry Systems, 33, 205—214.

Ch aves, Agnaldo R.M.; A. Ten-Caten ;

H. A. Pinheiro;  A. Ribeiro  & F. M. DaMatta  (2008).  Seasonal

changes in photoprotective mecha-nisms of leaves from shaded and un-shaded field-grown coffee (Coffea arabica L.) trees. Trees, Structure and Function, 22, 351—361.

Campanha, M.M.; R. H. Silva Santos; G. B. de Freitas; H. E. P. Martinez; S.L.R. Garcia & F.L. Finger (2004). Growth and yield of coffee plants in agroforestry and monoculture systems in Minas Gerais, Brazil. Agroforestry Systems, 63, 75—82.

De Foresta & G. Michon (1997). The agroforest alternative to Imperata grasslands: When smallholder agriculture and for-estry reach sustainability. Agroforfor-estry Systems, 36, 105—120.

Gindaba, J.; A.Rozanov & L. Negash (2005). Trees on farms and their contribution

to soil fertility parameters in Badessa, eastern Ethiopia. Biology and Fertil-ity of Soils, 42, 66—71.

Guyot, B.; D. Gueule; J.C. Manez; J.J. Perriot, J. Giron & L. Villain (1996). The influ-ence of altitude at Ombrage and qual-ity of Coffee Arabica. Plant Research Development, 5, 272—283.

Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indone-sia. Badan Litbang Kehutanan, Jakarta.

Maestri, M. & R.S. Barros (1977). Coffee, p. 249— 273. In : P. de T. Alvim & T.T. Kozlowski (Eds.). Ecophysiology of Tropical Crops. Acad. Press, New York.

Muschler R.G. (1998). Tree Crop Compatibil-ity in Agroforestry and QualCompatibil-ity of Cof-fee Grown Under Managed Tree Shade in Costa Rica. Thesis Ph.D., University of Florida, Gainesville.

Muschler, R.G. (2001). Shade improves coffee quality in a sub-optimal coffee-zone of Costa Rica. Agroforestry Systems, 51, 131—139.

Padmowijoto, S. (2004). Pengembangan Model Pertanian Terpadu. Workshop Agro-forestry 2004, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Purwanto; E. Handayanto; D. Suprayogo; J. Bako Baon & K. Hairiah (2007). Nitrifikasi potensial dan nitrogen-mi-neral tanah pada sisten agroforestri kopi dengan berbagai pohon penaung. Pelita Perkebunan, 23, 38—56.

Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2003). Usulan Pelepasan Klon-Klon Kopi Robusta BP 436, BP 534, BP 920, BP 936, BP 939, SA 203. Pusat Pene-litian Kopi dan Kakao Indonesia, Jember.

(21)

the shades of Inga sp. vs. multiple spe-cies in Chiapas, Mexico. Agroforestry Systems, 54, 215—224.

Rudi, Van K. & V. Philippe (2006). Transpira-tion of arabica coffee and associated shade tree species in sub-optimal, low-altitude conditions of Costa Rica. Agroforestry Systems, 67, 187–202.

Salleh, H. (2001). Teak in Sabah. A sustainable Agroforestry. The Harris Salleh Expe-rience.

Somarriba, E. (1992). Timber harvest, damage to crop plants and yield reduction in two Costa Rican coffee plantations with Cordia alliodora shade trees. Agroforestry Systems, 18, 69—82.

Staver, C.; F. Guharay; D. Monterroso &

R. G. Muschler  (2004). Designing pest-suppressive multistrata perennial crop systems: shade-grown coffee in Cen-tral America. Agroforestry Systems, 53, 151—170.

Suhendi, D. & B. Purwadi (1994). Lamtoro r esisten kutu lon cat men dukun g budidaya kopi organik. Pros. Gelar Teknologi Kopi Arabika Organik, Takengon (Aceh Tengah), 8—9 No-vember 1994, p. 155—162.

Untung & Kasumbogo (1999). Pembangunan per tanian ber kelanjutan dalam persaingan lingkungan global dan pemanfaatan sumberdaya optimal. Seminar Nasional Pembangunan Pertanian pada Milenium III, Fakultas Pertanian UGM, Yogya-karta. 18 p.

Vaast, P. & J.M. Harmand (2002). The Impor-tance of Agroforetsry Systems for Cof-fee Production in Central America and Mexico. Recherche et Cafeiculture, CIRAD, 35—43.

Vaast, P.; R. van Kanten; P. iles; J. Aigrand & A. Aquilar (2008). Biophyaical interac-tion between timber trees and Arabica coffee in suboptimal conditions of cen-tral America. p. 133—146. In : Toward Agroforesty Design. Springer, Nether-lands.

van Kanten, R.; G. Schroth; J. Beer & F. Jimenaz (2005). Fine-root dynamics of coffee in association with two shade trees in Costa Rica. Agroforestry Systems, 63, 247—261.

Wrigley, G. (1988). Coffee. John Wiley & Sons, New York.

Gambar

Tabel 1. Curah hujan di lokasi penelitian, mmTable 1. Rainfall data in experimental site, mm
Gambar 1.Pengaruh jenis dan pola tanam tanaman penaung terhadap hasil kopi pada umur 3, 4 dan 5Figure 1.tahun (butir/pohon)
Tabel 2.Pengaruh pola tanam dan klon terhadap rerata hasil kopi pada umur 4 dan 5 tahunTable 2.Influece of planting pattern and clones on the berry yield per tree at 4 and 5 year old
Table 3. Microclimate in some coffee agroforestry system
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pori anti banjir (HAKI 079102) telah dirancang untuk meningkatkan presipitasi air hujan ke dalam tanah sehingga dapat menurunkan risiko banjir akibat air larian.Semua

Kesimpulan dari penelitian ini adalah RSTN Kabupaten Boalemo dalam menerapkan penyusunan laporan keuangan yang berdasarkan pada 2 standar yakni berdasarkan SAK dan SAP di

Berdasarkan hasil pengamatan sumberdaya alam di Pantai Nyalo, pantai ini memiliki potensi wisata yang dapat dikembangkan untuk menarik wisatawan.Panorama bukit-bukit

Tujuan pengujian adalah untuk membandingkan/me- validasi hasil simulasi numerik dengan menggunakan software LS-Dyna untuk memperoleh pemahaman akan karakteristik

Sukrosa secara signifikan berpengaruh meningkatkan kekerasan, waktu larut tablet dan nilai kesukaan responden serta menurunkan % disolusi zat aktif.Tak ada pengaruh

Rekomendasi akan menampilkan sejumlah film yang dirating oleh 3 orang yang memiliki tingkat kedekatan paling tinggi dengan pengguna.Pengguna hanya dapat memberikan nilai

Setelah melakukan pembimbingan, telaahan, arahan dan koreksi terhadap penelitian skripsi berjudul :UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR MATA PELAJARAN PENDIDIKAN

Bercermin dari perubahan- perubahan yang pernah dilakukan sejak masa reformasi 1983, DJP melakukan perubahan progresif dalam hal perangkat struktur organisasi dengan