• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN JASMAN ID

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN JASMAN ID"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN JASMANI DAN OLAHRAGA DI SEKOLAH

ARTIKEL

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH

Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum Pendidikan Olahraga yang dibina oleh Dr. Wasis D. Dwiyogo, M.Pd

Oleh

Chrysmada Dewa Kusuma 160614801100 / MPOR 104025

UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS PASCASARJANA

(2)

PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN JASMANI DAN OLAHRAGA DI SEKOLAH

Chrysmada Dewa Kusuma Pendidikan Olahraga

Pascasarjana

Universitas Negeri Malang Email: chyzmad@yahoo.co.id

Abstrak: Rendahnya mutu kebugaran yang dialami para siswa akhir-akhir ini menjadi topik pembicaraan disemua kalangan. Ditambah lagi dengan semakin tersingkirnya bidang studi pendidikan jasmani dalam struktur kurikulum pendidikan, dimana pendidikan jasmani adalah salah satu mata pelajaran yang dapat menanggulangi hal tersebut. Kurikulum pendidikan harus memberikan pengalaman seluas-luasnya kepada siswa untuk belajar dan bereksplorasi serta diberikan secara seimbang antara otak kanan dan otak kiri. Muatan kurikulum pendidikan jasmani tidak hanya ditekankan pada penguasaan motorik, tetapi juga pengembangan nilai-nilai kepribadian agar mampu mendorong terjadinya proses pembelajaran yang dapat menumbuhkembangkan pribadi siswa secara utuh yang mencakup ranah intelektual, fisikal, emosional, spriritual, dan sosial. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan kurikulum yang dapat meningkatkan tingkat kebugaran siswa dan memproporsikan alokasi waktu pendidikan jasmani sebagaimana yang disampaikan oleh UNESCO.

Kata kunci: Kurikulum, Pendidikan Jasmani

Pendahuluan

Rendahnya mutu kebugaran jasmani siswa sekolah dari seluruh jenjang di Indonesia dapat dijadikan satu petunjuk umum bahwa mutu program pendidikan jasmani di Indonesia masih sangatlah rendah. Dari survey yang dilakukan oleh Pusat Kesegaran Jasmani Depdiknas terdahulu, diperoleh informasi bahwa hasil pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah secara

(3)

melakukan survey tentang tingkat kebugaran jasmani pelajar yang menunjukkan 10,7% masuk kategori kurang sekali, 45,9% masuk kategori kurang, 37,66% masuk kategori sedang, dan 5,66% masuk kategori baik, sementara yang masuk kategori baik sekali 0%. Dari data tersebut dapat dilihat tingkat kebugaran jasmani masih kurang sekali dan dapat menyebabkan berbagai macam penyakit, (Toho, 2011:8). Sedangkan dari data kemenpora (2007:25) menyatakan secara nasional, angka kesakitan di daerah perdesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan.

Sebagai salah satu komponen pendidikan yang wajib diajarkan di sekolah, pendidikan jasmani memiliki peran yang sangat strategis dalam pembentukan manusia seutuhnya. Pendidikan jasmani tidak hanya berdampak positif pada pertumbuhan fisik anak, melainkan juga perkembangan mental, intelektual, emosional, dan sosialnya (Ayi Suherman, 2009). Di dalam kurikulum pembelajaran pendidikan jasmani terdapat pembelajaran kebugaran jasmani, yang di dalamnya mencakup pengertian bagaimana cara mendapatkan dan

menjaga agar tubuh peserta didik sehat dan bugar, sekaligus mengembangkan aspek kognitif dan aspek afektif/social. Kesegaran jasmani/kebugaran jasmani perlu dimiliki setiap siswa karena sebagai bekal dalam menjalani kehidupan sehari-hari dan masa selanjutnya.

Namun dikenyataannya peran dari pendidikan jasmani dengan melihat hal di atas kiranya belum terlaksana sebagaimana mestinya. Oleh sebab itu, diperlukan pengembangan kurikulum yang dapat meningkatkan tingkat

kebugaran siswa dan

memproporsikan alokasi waktu pendidikan jasmani sebagaimana yang disampaikan oleh UNESCO yang menyatakan dalam sekolah dasar, rata-ratanya adalah 103 menit setiap minggu dan di sekolah menengah rata-ratanya adalah 100 menit.

Pembahasan

Potret Pendidikan Jasmani di Indonesia

(4)

kurang menggembirakan. Dengan hasil temuan tersebut menyebabkan adanya kecenderungan semakin menurunnya tingkat kebugaran jasmani dan rendahnya partisipasi siswa dalam kegiatan pendidikan jasmani di sekolahan. Hal tersebut bisa terjadi mungkin dari gurunya sendiri, yang kurang inovatif dalam mengajar. Khususnya di sekolah dasar masih ada guru pendidikan jasmani yang tidak berasal dari lulusan sarjana pendidikan jasmani dan olahraga seperti yang tercantum dalam Permen tahun 2014 bagian keenam tentang standar dosen dan tenaga kependidikan pasal 25 yang berisi standar dosen dan tenaga kependidikan merupakan kriteria minimal tentang kualifikasi dan kompetensi dosen dan tenaga

kependidikan untuk

menyelenggarakan pendidikan dalam rangka pemenuhan capaian pembelajaran lulusan. Padahal yang dari lulusan sarjana pendidikan jasmani pun bahkan ada yang belum paham apa arti dari pendidikan jasmani itu sendiri. Masih banyak dari mereka yang menyama artikan pendidikan jasmani dengan olahraga.

Dan yang mereka prioritasnya adalah prestasi.

Dengan paradigma yang salah tersebut, program olahraga dalam pelajaran pendidikan jasmani lebih menekankan pada harapan agar program tersebut berakhir pada terpetiknya manfaat pembibitan usia dini. Dengan kata lain, penggunaan olahraga di sekolah bukanlah dipandang sebagai alat pedagogis, melainkan lebih dihargai sebagai alat sosialisasi olahraga kepada siswa. Sebagai konsekuensinya, ruang lingkup pendidikan jasmani menjadi menyempit pada pengenalan cabang-cabang olahraga. Ricard Light, (2000) Guru lebih berkonsentrasi pada pengajaran teknik dasar dari cabang olahraga yang diajarkan, dan melupakan pentingnya mengangkat suasana bermain yang bisa menarik minat mayoritas anak. Wajar jika guru melupakan premis dasar pendidikan jasmani bahwa pendidikan jasmani adalah untuk semua anak (Dauer, dkk, 2003).

(5)

Upaya tersebut ditempuh antara lain dengan mengintroduksi sebuah pendekatan pembelajaran yang disebut modifikasi olahraga. Gerakan ini mengarah pada pengembangan model pembelajaran pendidikan jasmani yang sesuai bagi siswa di sekolah. Dari hasil modifikasi ini, Toho Cholik Mutohir, dkk (1996) dan Maksum A. (1998) menunjukkan bahwa model pembelajaran pendidikan jasmani dengan pendekatan ini, partisipasi siswa lebih tinggi dibandingkan pengajaran tradisional.

Meskipun dengan modifikasi olahraga bisa meningkatkan minat siswa, tapi jika menilik dari segi alokasi waktu dirasa kurang dari yang seharusnya. Melihat dari jadwal pelajaran di sekolahan, sangat memprihatikan karena pendidikan jasmani hanya sekali dalam seminggu sedangkan matematika, bahasa, IPA, IPS bisa mencapai dua bahkan tiga kali dalam seminggu. Itupun pendidikan jasmani cuma mendapatkan 2x45 menit dan ada yang 3x45 menit, yang dirasa sangat kurang, karena mereka perlu mengganti pakaian yang bisa menghabiskan 15 menit. Terus

bagaimana meningkatkan kebugaran mereka?. Robert Wood Johnson Foundation, (2009) berpendapat bahwa mengalokasikan waktu untuk pendidikan jasmani harian tidak merugikan kinerja akademik malah dengan olahraga teratur dapat meningkatkan konsentrasi siswa.

Kurikulum Pendidikan Jasmani

Kurikulum dalam

(6)

dunia belajar dan bagaimana caranya membuat dunia itu”.

Krisis pendidikan jasmani yang terjadi hingga saat ini tidak bisa dilepaskan dari pemahaman terhadap peran pendidikan jasmani sebagai salah satu komponen penting dalam kurikulum. Misi pokok pendidikan jasmani seringkali belum dapat dipahami oleh banyak orang, sekalipun itu pendidik. Salah satu fakta yang tidak bisa dipungkiri adalah bahwa pendidikan jasmani sering dianggap sebagai bidang studi pelengkap dan dalam posisi yang kurang menguntungkan. Pertama, pendidikan jasmani adalah program yang relatif mahal untuk dilaksanakan karena memerlukan banyak perlengkapan. Kedua, banyak orang menilai bahwa pendidikan jasmani kurang penting dibandingkan pelajaran lain seperti matematika, bahasa dan sebagainya.

Kita semua menyadari bahwa perkembangan dan pertumbuhan anak baik secara fisik maupun intelektual akan berlangsung normal apabila diciptakan suatu kondisi yang memungkinkan aspek-aspek tersebut tumbuh dan berkembang secara wajar. Pendidikan jasmani

merupakan bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan. Pendidikan jasmani adalah wahana untuk menumbuhkembangkan anak secara wajar dan efektif. Oleh karena itu, sudah selayaknya bila pendidikan jasmani diberikan perhatian yang proposional dan dilaksanakan secara efisien, efektif serta sesuai dengan kondisi fisik dan psikis anak.

(7)

pemahaman dan pengembangan konsep gerak serta bagaimana gerak tersebut dilakukan. (3) Pendekatan “Pendidikan Olahraga”, yaitu konteks pendidikan semata-mata hanya digunakan sebagai media sosialisasi nilai-nilai pendidikan. (4) Pendekatan “Pendidikan Rekreasi”, yaitu pada unsur kesenangan dan kegembiraan siswa. (5) Pendekatan “Pendidikan Kesegaran Jasmani”, yaitu lebih didasarkan pada upaya pengembangan budaya hidup sehat kepada para siswa melalui kegiatan jasmani.

Kurikulum pendidikan di Indonesia masih cenderung menekankan pada kemampuan intelektual (verbal skill, logical, analytical) dan belum memberikan perhatian yang proporsional pada nonverbal skill, gerak dan emosi. Jadi kurikulum diharapkan tidak hanya memprioritaskan salah satu aspek, yaitu harus seimbang antara otak kanan dan otak kiri. Kurikulum juga harus mendorong terjadinya proses pembelajaran yang memberikan peluang bagi peserta didik belajar untuk tahu (learning to know), belajar untuk bekerja (learning to do), belajar untuk

mandiri (learning to be), dan belajar untuk bersama (learning to live together).

Pengembangan Kurikulum

Pendidikan Jasmani

Rencana pengembangan kurikulum pendidikan jasmani sebagaimana layaknya kurikulum di bidang lain biasanya didasarkan pada hasil akhir yang hendak dicapai (desired outcomes) oleh peserta didik. Jadi sebelum merancang suatu kurikulum, langkah pertama adalah mengidentifikasi hasil keluaran (exit outcomes) yang diharapkan dari peserta didik setelah mengikuti program. Hasil keluaran tersebut merupakan tingkat pencapaian prestasi sesuai dengan standar kompetensi yang dikehendaki. Setelah itu baru disusun hasil antara (intermediate outcomes) yang harus dicapai siswa setiap tingkat dan setiap unit pelajaran.

(8)

nasional tersebut dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan tingkat prestasi yang diharapkan setelah peserta didik selesai mengikuti program pendidikan jasmani yang di berlakukan di Amerika Serikat (AAPHERD, 1999).

Ada 7 standar nasional dalam m erancang kurikulum pendidikan jasmani; (1) Demonstrates competency in many movement forms and proficiency in a few movement forms. (2) Applied movement concept and principles to the learning and development of motor skill. (3) Achieves and maintains a health enhancing level of physical fitness. (4) Exhibits a physical active lifestyle. (5) Demonstrate responsible personal and social behavior in physical activity settings. (6) Demonstrate understanding and respect for differences among people in physical activity settings. dan (7) Understands that physical activity provides opportunities for enjoyment, challenge, self-expression, and social interaction.

Standar seperti di atas membantu menentukan hasil

keluaran dna kurikulum sesuai dengan perkembangan anak. Disamping itu beberapa prinsip dasar juga perlu diperhatikan dalam merancang kurikulum pendidikan jasmani, yaitu: (1) Perhatian selalu dipusatkan pada hasil keluaran setiap tingkat kelas, (2) Rencanakan berbagai peluang bagi peserta didik untuk menguasai kempotensi termasuk pengetahuan dan keterampilan yang dipersyaratkan sebelum maju ke tingkat yang lebih tinggi, (3) Rencanakan bagaiamana setiap peserta didik memperoleh

dukungan sesuai dengan

kebutuhannya sehingga termotivasi untuk mencapai tujuan program, dan (4) Buat rancangan secara mundur dari hasil keluaran - hasil program – hasil mata pelajaran – hasil unit sampai dengan hasil pembelajaran.

Selain hal-hal yang telah disampaikan di atas, ada beberapa catatan yang perlu mendapat perhatian. (1) Tujuan bersifat oriented dengan pengabdian pada tujuan-tujuan non-fisik, (2) Pola pengembangan materi yang bersifat kecabangan, (3) Guru perlu diberikan keleluasaan untuk

(9)

pengajarannya, dan (4) Alokasi waktu pendidikan atau bentuk kegiatan olahraga di sekolah perlu ditingkatkan. Disini saya mengusulkan untuk menambahkan jam pelajaran pendidikan jasmani dari yang selama ini 2 atau 3 jam saja perminggu menjadi 4 jam dua kali perminggu.

Faktor penting yang hendaknya juga menjadi fokus

perhatian adalah model

pembelajaran yang selama ini diterapkan oleh guru pendidikan jasmani di sekolah tergolong monoton dan itu menjadikan siswa bosan sehingga tidak tertarik untuk matapelajaran pendidikan jasmani. Terkait dengan masalah ini, perlu ditekankan kembali tentang pendekatan modifikasi olahraga guna untuk mengganti model pengajaran tradisional yang selama ini diterapkan dan tujuan utamanya yaitu untuk menarik minat siswa untuk aktif bergerak. Pendekatan ini telah berhasil diterapkan dibeberapa negara seperti Amerika dan Australia (Siedentop, 1994; Tinning, Kirk dan Evans, 1993; Australia Sport Commision, 1994; Barrie G., Liz T., Flaviu H., 2012; Ingegerd R.

Ericsson, 2014; Anmol, 2015). Guru harus mampu memanfaatkan lingkungan yang ada secara optimal sehingga dapat menumbuhkan situasi dan kondisi dimana anak terangsang untuk senang belajar.

Kesimpulan

Terbukti bahwa dengan pengembangan kurikulum yang tepat dapat meningkatkan dalam hal positif pada peserta didik. Banyak peneliti telah menerapkannya dan berhasil. Emily Clapham dan Eileen C. S, (2015); Dwayne, dkk, (2015) mengembangkan kurikulum pendidikan jasmani di dalam teknologi juga mengalami peningkatan aktivitas fisik dari peserta didiknya.

(10)

Keseimbangan kurikulum perlu dibarengi dengan keefektifan pelaksanaanya di lapangan melalui model pembelajaran yang memungkinkan siswa bereksplorasi, mendapatkan pengalaman gerak guna untuk meningkatkan kebugaran mereka.

Daftar Rujukan

AAPHERD. 1999. Physical Education for Lifelong Fitness. The Physical Best Teacher’s Guide. IL: Human Kinetics.

Anmol. 2015. Future Trends and Chellenges in Physical Education and Physical Sports Sciences. International Journal of Physical Education, Sports and Health. 1(3): 59-60. Australian Sports Comission. 1994. Sport It! Towards 2000, Developmental Sports Skill Program. South Australia: ASC.

Clapham, Emily dkk. 2015. Effects of a Physical Education Supportive Curriculum and Technologi Device on Physical Activity. The Physical Education. 72(1): 102-116.

Daryl, Siedentop. 1994. Sport Education, Quality Physical Education Through Positive Sport Experience.

Dauer, dkk. 2003. Dynamic Physical Education For Elementary School Childern. 12th Ed. New York: Macmillan Publishing Company.

Depdikdas. 2003. Survey Nasional Kebugaran Jasmani Siswa Sekolah Menengah. Jakarta: Depdikdas.

Ericsson, Ingegerd R. 2014. Effects of Motor Skills Training and Daily Physical Education; Research result in the Swedish Bunkeflo Poject. International Journal of Physical Education, (online),

(https://www.researchgate.net/ publication/306263752), diakses pada 12 Pebruari 2017. Gordon, Barrie, dkk. 2012. A

National of Newzaeland Secondary Schools Physical

Education Programs

(11)

Jewet, A.E. (1994). Curriculum Theory and Research in Sport Pedagogy. Sport Scient Review. 3(1): 11-18.

Light, Richard. (2000). Taking A Tactical Approach, (online), (http://www.theage.com.au), Diakses pada 12 Pebruari 2017.

Macdonald, D. 2003. Curriculum Change and the Postmodern

World: The School

Curriculum-reform Project an Anachronism?. Journal of Curriculum Studies. 35(2): 139-149.

Mahendra, Agus. Menggagas Kurikulum Penjas Masa Depan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Maksum, A, dkk. 1996. Pengembangan Model Pembelajaran Bagi Siswa di Tingkat Pendidikan Dasar. Surabaya: IKIP Surabaya. Mutohir, Toho Cholik, dkk. 1996.

Pengembangan Model Pengajaran Pendidikan Jasmani di SD. Surabaya: IKIP Surabaya.

Mutohir, Toho Cholik. 2011. Berkarakter dengan

Berolahraga Berolahraga dengan Karakter. Jakarta: Sport Media.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2014. Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Indonesia: Mendikbud. Robert, Wood Johnson Foundation.

2009. Active Education Physical Education, Physical Activity and Academic Performance. San Diego: Active Living Research.

Sheehan, Dwayne P., dkk. 2015. Exergaming and Physical Education: A Qualitative Examination from the Teachers’ Perspectives. Journal of Case Studies in Education. 4(1): 1-14.

Suherman, Ayi. 2009.

Pengembangan Kurikulum Pendidikan Jasmani.

https://www.google.com/url? sa=t&rct=j&q=&esrc=s&sou rce=web&cd=2&cad=rja&ua

(12)

%2FINOVASI_PENDIDIKAN

%2FModul_4-Inovasi_Kurikulum.pdf&usg= AFQjCNFqBEHCLXma4MLK 2nvxhe4wTvnTOQ&sig2=hsvz jevuxoOl_XScfTDMtw&bvm=

bv.146786187,d.c2I,

(download pada 12 Pebruari 2017).

Tinning, R., dkk. 1993. Learning to Teach Physical Education. Australia: Prentice Hall

Referensi

Dokumen terkait

lengkap karena tidak menuliskan satuan pada besaran. 4) Menuliskan besaran yang ditanya, dari 30 peserta didik 14 (46,7%) orang. peserta didik menuliskan simbol besaran

Penetapan materi muatan, jangka waktu, dan Institusi Pendidikan tempat pelaksanaan Penyetaraan Kompetensi dan Penyesuaian Kemarnpuan Dokter dan Dokter Gigi WNI Lulusan

Ketentuan pasal tersebut memberikan pandangan bahwa perwujudan dari kedaulatan yang penuh dan eksklusif atas ruang udara di atas wilayah teritorial, berarti bahwa:

Berdasarkan pengamatan dan analisis data yang telah diperoleh, dapat dinyatakan bahwa secara umum pelaksanaan kegiatan pembelajaran dengan menerapkan model

Saya sudah memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menguasai materi pembelajaran sesuai usia dan kemampuan belajarnya melalui pengaturan

Pemberian MSG yang tidak mengakibatkan terjadinya kerusakan sel piramidal di korteks serebri menunjukkan bahwa kemampuan dari sawar darah otak pada tikus untuk setiap

Daging yang digunakan untuk membuat bakso adalah daging yang masih dalam keadaan segar tanpa melalui proses penyimpanan atau pengawetan sehingga dapat menghasilkan mutu

1) Perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik. 2) Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan atau untuk pelaksanaan pembangunan