• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Yuridis Terhadap Perjanjian Antara Agen Pemasaran Perusahaan Properti Dan Pemilik Rumah (Studi Pada PT.Bursa Properti Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Yuridis Terhadap Perjanjian Antara Agen Pemasaran Perusahaan Properti Dan Pemilik Rumah (Studi Pada PT.Bursa Properti Medan)"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGERTIAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

A. Perjanjian Secara Umum

1. Pengertian Perjanjian

Perjanjian adalah salah satu sumber perikatan. Ini dijelaskan dalam Pasal

1233 KUH Perdata bahwa perikatan lahir karena suatu perjanjian atau karena

undang-undang. Akan tetapi dalam prakteknya perjanjian juga disebut juga

dengan persetujuan dan kontrak, kontrak (contract) menurut Black’s Law

Dictionary, diartikan sebagai suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang

menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal yang khusus.

Perjanjian melahirkan perikatan, yang menciptakan kewajiban pada salah satu

atau lebih pihak dalam perjanjian. Kewajiban yang dibebankan pada debitor

dalam perjanjian, memberikan hak pada pihak kreditor dalam perjanjian untuk

menuntut pelaksanaan prestasi dalam perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut.

Pelaksanaan prestasi dalam perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak dalam

perjanjian adalah pelaksanaan dari perikatan yang terbit dari perjanjian tersebut.

Dalam hal debitor tidak melaksanakan perjanjian yang telah disepakati tersebut,

maka kreditor berhak untuk menuntut pelaksanaan kembali perjanjian yang

belum, tidak sepenuhnya atau tidak sama sekali dilaksanakan atau yang telah

(2)

dengan atau tidak disertai dengan penggantian berupa bunga, kerugian dan biaya

yang telah dikeluarkan oleh kreditor.18

Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata, yang

menyatakan bahwa “Perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau

lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Jika diperhatikan

dengan seksama, rumusan yang diberikan dalam pasal 1313 KUH Perdata tersebut

ternyata menegaskan kembali bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang

mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah

kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih

orang (pihak) lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut. Rumusan tersebut

memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada

dua pihak, di mana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan

pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor).

Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih orang, bahkan dengan

berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih

badan hukum.19

Para sarjana hukum umumnya berpendapat bahwa defenisi perjanjian yang

terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap, dan pula terlalu luas.

Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak

saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di dalam

lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjan jian juga,

tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku

III. Perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III kriterianya dapat dinilai

18

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari

Perjanjian,RajaGrafindo Persada,Jakarta,2003,hal.91

19

(3)

secara materiil, dengan kata lain dinilai dengan uang.20 Dengan demikian defenisi

itu perlu disempurnakan dan dapat dilengkapi melalui doktrin. Menurut doktrin

(teori lama) yang disebut perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata

sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.21 Berdasarkan defenisi ini, telah

tampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum

(tumbuh/lenyapnya hak dan kewajiban).22

Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan

dengan perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih

berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.23 Teori baru tersebut

tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi harus dilihat perbuatan

sebelumnya atau yang mendahuluinya dan terbagi atas tiga tahap dalam membuat

perjanjian, yaitu:

a. Tahap pra-contractual, yaitu adanya penawaran dan permintaan;

b. Tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak

antara para pihak;

c. Tahap post-contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.24

Berdasarkan kelemahan defenisi itu, beberapa ahli hukum memberikan

defenisi tentang perjanjian. Menurut Salim H.S, perjanjian merupakan:

Hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan. Perlu diketahui bahwa subjek hukum yang satu

20

Mariam darus,dkk (2), Kompilasi Hukum Perikatan, Dalam rangka Memperingati Memasuki masa Purna Bakti Usia 70 tahun, Citra Aditya Bakti, Bandung,2011,hal.65

21

(4)

berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk

melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.25

Menurut Sudikno Mertokusumo, perjanjian tidak merupakan satu

perbuatan hukum, akan tetapi merupakan hubungan hukum antara dua orang yang

bersepakat untuk menimbulkan akibat hukum.26

Defenisi di atas, secara jelas terdapat persetujuan antara para pihak dan

juga perjanjian yang dilaksanakan terletak pada lapangan harta kekayaan yang

erat hubungannya dengan pembicaraan tentang syarat-syarat perjanjian pada Pasal

1320 KUH Perdata.27 Perjanjian disebut juga persetujuan atau kontrak karena

menyangkut kedua belah pihak yang setuju atau sepakat untuk melakukan sesuatu.

2. Subjek dan Objek Perjanjian

Menurut R.Subekti, yang termasuk dalam subjek perjanjian antara lain.

a. Orang yang membuat perjanjian harus cakap atau mampu melakukan

perbuatan melawan hukum tersebut, siapapun yang menjadi para pihak dalam suatu perjanjian harus memenuhi syarat bahwa mereka adalah cakap untuk melakukan perbuatan hukum.

b. Ada kesepakatan yang menjadi dasar perjanjian yang harus dicapai atas

dasar kebebasan menentukan kehendaknya (tidak ada paksaan, kekhilafan, atau penipuan), dengan adanya kesepakatan diantara kedua belah pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian itu mengikat mereka yang

membuatnya.28

Subjek perjanjian, yaitu pihak-pihak dalam perjanjian sekurang-kurangnya ada

dua pihak. Subjek perjanjian harus melakukan perbuatan hukum seperti yang

diatur dalam undang-undang. Subjek perjanjian dapat berupa manusia pribadi

yang berwenang melakukan perbuatan hukum apabila sudah berumur 21 tahun

25

Ibid. hal. 17

26

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty Yogyakarta,Yogyakarta,2003, hal.117-118

27

Titik Triwulan tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana,Jakarta,2010,hal.222

28

(5)

penuh (dewasa) atau walaupun belum 21 tahun penuh, sudah kawin, sehat ingatan

dan tidak dibawah pengampuan. Subjek perjanjian berupa badan hukum dan status

badan hukum itu sah menurut akta pendirian yang sudah diakui oleh Menteri

Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sedangkan untuk objek perjanjian, dinyatakan

bahwa suatu perjanjian haruslah mempunyai objek tertentu, sekurang-kurangnya

objek tersebut dapat ditentukan. Bahwa objek tersebut dapat berupa benda yang

sekarang ada dan benda yang nanti akan ada. Sehingga dapat disimpulkan

syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi objek perjanjian, antara lain:

1) Barang-barang yang dapat diperdagangkan (Pasal 1332 KUH Perdata),

2) Suatu barang yang sedikitnya dapat ditentukan jenisnya (Pasal 1333

KUH Perdata) Tidak menjadi halangan bahwa jumlahnya tidak tentu,

asal saja jumlah itu di kemudian hari dapat ditentukan atau dihitung.

3) Barang-barang yang aka nada dikemudian hari (Pasal1334 ayat 2 KUH

Perdata).

Barang-barang yang tidak boleh menjadi objek perjanjian adalah :

a) Barang-barang di luar perdagangan, misalnya senjata resmi yang

dipakai Negara,

b) Barang-barang yang dilarang oleh uandang-undang, misalnya

narkotika,

c) Warisan yang belum terbuka.

Menurut R.Subekti, mengenai objek perjanjian ditentukan bahwa :

(1) Apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak harus cukup jelas

(6)

(2) Apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak tidak bertentangan

dengan undang-undang, ketertiban umum atau kesusilaan.29

Perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif, akibat hukumnya adalah

perjanjian tersebut batal demi hukum (nietigbaar). Artinya dari semula tidak

pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.

3. Syarat Sahnya Perjanjian

Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang

ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian yang sah diakui dan diberi akibat

hukum. Menurut ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata dinyatakan bahwa,

syarat-syarat sah perjanjian:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

c. Suatu hal tertentu;

d. Suatu sebab yang halal.

Dua syarat pertama disebut syarat objektif, karena menyangkut subjeknya

atau para pihak yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat terakhir

disebut syarat objektif, karena berhubungan langsung dengan objek perjanjian.

Ad.a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

Menurut Subekti, yang dimaksud sepakat adalah kedua subjek yang

mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju, atau seia-sekata mengenai

hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh

pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak lain. Mereka menghendaki sesuatu

29

(7)

yang sama secara timbal balik.30 Cara mengutarakan kehendak ini bisa

bermacam-macam, dapat dilakukan secara tegas atau diam-diam, dengan tertulis (melalui

akta otentik atau dibawah tangan) atau dengan tanda.31 Namun dalam

mengutarakan kehendak tersebut dapat terjadi adanya ketidaksesuaian antara

kehendak dan pernyataan baik karena salah menulis atau salahnya sarana

komunikasi dalam menyampaikan kehendak. Menentukan kapan terjadinya

kesepakatan, ada tiga teori yang menentukannya, yaitu teori kehendak, teori

pernyataan dan teori kepercayaan.

Teori-teori tersebut menyatakan sebagai berikut:

1) Teori kehendak

Menurut teori ini yang menentukan apakah telah terjadi suatu perjanjian,

adalah kehendak para pihak. Suatu perjanjian yang tidak didasarkan atas

suatu kehendak yang tidak benar adalah tidak sah.

2) Teori pernyataan

Menurut teori ini yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah

pernyataan. Jika terjadiperbedaan antara kehendak dan pernyataan maka

perjanjian tetap terjadi.

3) Teori kepercayaan

Teori ini merupakan perbaikan atas teori kehendak maupun dari

teoripernyataan. Menurut teori ini yang menjadi ukuran adalah pernyataan

seseorang yang secara objektif dapat dipercaya.32

30

Ibid,hal.7

31

J.Satrio,Hukum Perjanjian,Citra Aditya Bakti, Bandung,1992,hal.3

32

(8)

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa

para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan

atau saling menyetujui kehendak masing-masing yang dilahirkan oleh para pihak

dengan tidak ada paksaan, kekeliruan dan penipuan.33 Dalam Pasal 1321 KUH

Perdata dinyatakan: “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena

kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Berdasarkan

ketentuan tersebut, maka terdapat beberapa unsur yang merupakan faktor yang

dapat menimbulkan cacatnya suatu kesepakatan. Unsur-unsur tersebut, yaitu:

a) Unsur paksaan (dwang)

Paksaan ialah paksaan terhadap badan (fisik) dan paksaan terhadap jiwa

(psikis) dan paksaan yang dilarang oleh undang-undang. Tetapi dalam hal

ini, di dalamnya undang-undang ada suatu unsur paksaan yang diizinkan

oleh undang-undang, yakni paksaan dengan alasan akan dituntut dimuka

hakim, apabila pihak lawan tidak memenuhi prestasi yang telah

ditetapkan.34

Paksaan harus menimbulkan rasa takut yaitu rasa takut yang rasional,

maksudnya orang lain yang apabila diposisikan dengan suatu paksaan/

pemaksaan tersebut juga akan merasa takut dan terancam (adanya

ancaman bagi diri sendiri maupun bagi keluarganya).

b) Unsur penipuan (bedrog)

Penipuan yaitu apabila terjadi suatu pihak dengan sengaja memberikan

keterangan yang tidak benar.

33

Riduan Syahrani,Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata Cet-3,Alumni,Bandung,2006,hal 205.

34

(9)

c) Unsur kekeliruan/kekhilafan (dwaling)

Kekeliruan atau kekhilafan dapat terjadi dalam dua kemungkinan, yaitu

kekeliruan terhadap orang atau subjek hukum dan kekeliruan terhadap

barang atau objek hukum.

d) Unsur penyalahgunaan keadaan (misbruik van de omstandingheden)

Hukum perjanjian dalam perkembangannya di Negeri Belanda menerima

penyalahgunaaan keadaan sebagai alasan untuk membatalkan suatu

perjanjian, selain yang tradisional atau klasik, seperti paksaan, penipuan,

atau kekhilafan tersebut. Mengenai penyalahgunaaan keadaan ini dalam

BW Belanda yang baru (NBW), diatur dalam Buku III, Pasal 44 ayat (1),

dalam ketentuan ini penyalahgunaan keadaan ditempatkan sebagai cacat

kehendak yang keempat, disamping paksaan, penipuan, dan kekhilafan.35

Ad.b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

Semua orang adalah cakap untuk membuat suatu perikatan-perikatan jika

oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap, sebagaimana dinyatakan dalam

Pasal 1329 KUH Perdata. Dengan demikian apabila tidak dinyatakan dalam

undang-undang bahwa seseorang tidak cakap membuat suatu perikatan, maka

seseorang tersebut merupakan orang yang cakap untuk membuat suatu perikatan.

Dalam Pasal 1330 KUH Perdata yang dinyatakan bahwa, tidak cakap untuk

membuat suatu perjanjian adalah:

1) Orang-orang yang belum dewasa;

Pengertian orang-orang yang belum dewasa menurut Pasal 330 KUH

Perdata dihubungkan dengan Pasal 1330 KUH Perdata. Menurut Pasal 330

35

(10)

KUH Perdata yang dinyatakan bahwa, “Belum dewasa adalah mereka

yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih

dahulu kawin”. Dengan demikian yang termasuk golongan orang-orang

yang belum dewasa adalah orang yang belum kawin dan belum berumur

21 tahun. Dengan keluarnya Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun

1974, maka ketentuan umum dewasa diubah sehingga menjadi 18 tahun

(sudah pernah kawin) ini dikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam

putusannya No.477K/Sip/1976 tanggal 13 Oktober 1976.

2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;

Pengertian orang yang di bawah pengampuan (curatele) menurut Pasal

443 KUH Perdata dinyatakan bahwa, “Setiap orang dewasa yang selalu

berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap, dan boros”.

Dengan kata lain bahwa yang di bawah pengampuan yaitu orang yang

sudah dewasa atau telah berumur di atas 21 tahun tetapi tidak mampu

karena pemabuk, gila, dan pemboros.

3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh

undang-undang dan pada umumya semua orang kepada siapa undang-undang-undang-undang telah

melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun ketentuan ini

telah dicabut oleh Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 1963

tanggal 4 Agustus 1963 kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan

Tinggi di seluruh Indonesia.

Ad.c. Syarat hal tertentu;

Ketentuan untuk hal tertentu ini menyangkut objek hukum atau mengenai

(11)

benda berwujud, tidak berwujud, benda bergerak, atau benda tidak bergerak.

Dalam Pasal 1332 sampai Pasal 1334 KUH Perdata dijabarkan mengenai

keharusan adanya suatu objek dalam perjanjian, hal ini adalah konsekuensi logis

dari perjanjian tertulis itu sendiri. Tanpa adanya suatu objek, yang merupakan

tujuan dari para pihak, yang berisikan hak dan kewajiban dari salah satu atau para

pihak dalam perjanjian, maka perjanjian itu sendiri absurb adanya.36

Ad.d. Syarat sebab yang halal.

Isitilah kata halal bukanlah lawan kata haram dalam hukum Islam, tetapi

yang dimaksud sebab yang halal adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak

bertentangan dengan perundang-undangan, hal tersebut dikuatkan dari pernyataan

sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUH

Perdata yang mengatur mengenai kewajiban adanya suatu kausa yang halal dalam

setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak.

Pasal 1337 KUH Perdata memberikan perumusan secara negatif, dengan

dinyatakan bahwa suatu kausa dianggap secara terlarang, jika kausa tersebut

dilarang oleh undang-undang, kesusilaan, maupun ketertiban umum yang berlaku

dalam masyarakat dari waktu ke waktu. Menurut Yurisprudensi yang ditafsirkan

dengan kausa adalah isi atau maksud dari perjanjian. Hakim yang dapat menguji

apakah tujuan dari perjanjian itu dapat dilaksanakan dan apakah isi perjanjian

tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

36

(12)

4. Asas-Asas Perjanjian

Hukum perjanjian mengenal beberapa asas penting yang merupakan dasar

kehendak pihak-pihak untuk mencapai tujuan. Beberapa asas tersebut adalah

sebagaimana diuraikan berikut ini:

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas ini mempunyai arti setiap orang bebas mengadakan perjanjian apa

saja, baik yang sudah diatur maupun belum diatur dalam undang-undang.

Akan tetapi, kebebasan tersebut dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang

undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak

bertentangan dengan kesusilaan.

b. Asas Pacta Sunt Servanda

Asas ini mempunyai arti bahwa janji itu mengikat, bahwa suatu kontrak

yang dibuat secara sah mempunyai ikatan hukum yang penuh, KUH

Perdata juga menganut prinsip ini yang mengatakan bahwa suatu

perjanjian berlaku seperti undang-undang bagi para para pihak yang

membuatnya (Pasal 1338 KUH Perdata).

c. Asas Konsensual

Asas ini mempunyai arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat tercapai

kata sepakat (konsensus) antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian.

Sejak saat ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian yang dibuat itu cukup

secara lisan saja. Akan tetapi, ada perjanjian tertentu yang dibuat secara

tertulis, misalnya perjanjian perdamaian, hibah, dan asuransi. Tujuannya

adalah untuk bukti lengkap mengenai apa yang diperjanjikan atau

(13)

d. Asas Obligatoir

Asas ini mempunyai arti bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak

itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum

mengalihkan hak milik. Hak milik baru beralih apabila dilakukan dengan

perjanjian yang bersifat kebendaan (zakelijke overeenkomst), yaitu melalui

penyerahan (levering).37

Asas-asas inilah yang merupakan asas terpenting dari begitu banyak asas yang ada

dalam perjanjian.

5. Hapusnya Perjanjian

Perikatan hapus ada sepuluh cara dan telah diatur dalam Pasal 1381 KUH

Perdata yang mengatur berbagai cara hapusnya perikatan yang lahir dari

perjanjian dan perikatan yang lahir dari undang-undang, dengan cara-cara yang

ditunjukkan oleh pembentuk undang-undang itu, tidaklah membatasi para pihak

untuk menciptakan cara yang lain untuk menghapuskan suatu perikatan.

Menurut Salim dalam bukunya Hukum Kontrak Teori dan Teknik

Penyusunan Kontrak, adapun cara-cara penghapusan perikatan antara lain:38

a. Karena pembayaran (betaling);

Pengertian pembayaran dalam hal ini harus dipahami secara luas, tidak

boleh diartikan dalam ruang lingkup yang sempit, seperti yang selalu

diartikan hanya terbatas pada masalah yang berkaitan dengan pelunasan

hutang semata-mata. Mengartikan pembayaran hanya terbatas pada

37

Abdulkadir Muhammad,Op-cit,hal 295.

38

(14)

“pelunasan hutang”semata-mata tidaklah selamanya benar karena ditinjau

dari segi yuridis teknis, tidak selamanya harus berbentuk sejumlah uang

atau barang tertentu, bisa saja dengan pemenuhan jasa atau pembayaran

dengan bentuk tak berwujud atau yang immaterial. Pembayaran prestasi

dapat dilakukan dengan “melakukan sesuatu”. Misalkan tukang cukur

yang telah melakukan suatu perbuatan jasa dapat saja disebut telah

membayar prestasi dengan jasa. Guru privat yang telah memberi pelajaran,

termasuk dalam arti “pembayaran”. Berakhirnya kontrak karena

pembayaran dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 1382 KUH Perdata

sampai dengan Pasal 1403 KUH Perdata. Ada dua pengertian pembayaran,

yaitu pengertian secara sempit dan yuridis teknis. Pengertian pembayaran

dalam arti sempit adalah pelunasan utang oleh debitor kepada kreditor.

Pembayaran seperti ini dilakukan dalam bentuk uang atau barang, namun

pengertian pembayaran dalam arti yuridis tidak hanya dalam bentuk uang

atau barang, tetapi juga dalam bentuk jasa, seperti jasa dokter bedah,

tukang cukur, atau guru privat. Orang yang dapat melakukan pembayaran

utang, adalah:

1) Debitor yang berkepentingan langsung:

a) Penjamin atau borgtocher,dan

b) Orang ketiga yang bertindak atas nama debitor.

2) Orang yang berhak menerima pembayaran, yaitu:

a) Kreditor,

b) Oang yang menerima kuasa dari kreditor,

(15)

d) Orang-orang yang berhak menurut undang-undang (Pasal 1385

KUH Perdata).

b. Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau

penitipan (konsignasi);

Pemenuhan prestasi dalam suatu perjanjian sepatutnya dilaksanakan sesuai

hal yang diperjanjikan termasuk waktu pemenuhannya, namun tidak jarang

prestasi tersebut dapat dipenuhi sebelum waktu yang diperjanjikan.

Penawaran dan penerimaan pemenuhan prestasi sebelum waktunya dapat

menjadi sebab berakhirnya perjanjian, misalnya perjanjian pinjam

meminjam yang pembayarannya dilakukan dengan cicilan, apabila pihak

yang berhutang dapat membayar semua jumlah pinjamannya sebelum

jatuh tempo, maka perjanjikan dapat berakhir, sebelum waktunya.

Penawaran pembayaran tunai utang dilakukan saat si berpiutang menolak

pembayaran dari si berutang. Penawaran yang demikian diikuti dengan

penitipan, membebaskan si berutang, dan berlaku baginya sebagai

pembayaran, asal penwaran itu telah dilakukan dengan cara menurut

undang-undang.

c. Karena pembaharuan utang (novasi);

Novasi di atur dalam Pasal 1413 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1424

KUH Perdata. Novasi adalah sebuah persetujuan, di mana suatu perikatan

telah dibatalkan dan sekaligus suatu perikatan lain harus dihidupkan, yang

ditempatkan di tempat yang asli. Vollmar mengartikan novasi adalah suatu

perjanjian karena dimana sebuah perjanjian yang akan dihapus, dan

seketika itu juga timbul sebuah perjanjian baru. Novasi adalah suatu

perjanjian antara debitur dan kreditur, dimana perjanjian lama dan

subjeknya yang ada dihapuskan dan timbul sebuah objek dan subjek

(16)

d. Karena perjumpaan utang atau kompensasi;

Kompensasi atau perjumpaan utang diatur dalam Pasal 1425 KUH Perdata

sampai Pasal 1435 KUH Perdata. Kompensasi adalah penghapusan

masing-masing utang dengan jalan saling memperhitungkan utang yang

sudah dapat ditagih antara kreditur dan debitur. Syarat-syarat terjadinya

kompensasi:

1) Kedua-duanya berpokok pada sejumlah uang;atau

2) Berpokok pada jumlah barang yang dapat dihabiskan dari jenis yang

sama; atau

3) Kedua-duanya dapat ditetapkan dan ditagih seketika.

Adapun tujuan utama dari kompensasi, yaitu:

a) Penyederhanaan pembayaran yang simpang siur antara pihak kreditur

dan debitur;

b) Dimungkinkan terjadinya pembayaran sebagian;

c) Memberikan kepastian pembayaran dalam keadaan pailit.

Kompensasi dapat terjadi dengan dua macam cara, yaitu:

1) Demi hukum

Kompensasi atau perjumpaan hutang demi hukum atau ipso jure

compensatur adalah suatu perjumpaan utang yang terjadi tanpa adanya

pemberitahuan dan permintaan dari pihak debitur dan kreditur.

2) Batas permintaan kedua belah pihak

Kompensasi atau perjumpaan hutang kontraktual adalah suatu bentuk

kompensasi yang terjadi atas dasar permintaan dan persetujuan antara

(17)

e. Karena percampuran utang;

Percampuran utang diatur dalam Pasal 1436 KUH Perdata sampai dengan

Pasal 1437 KUH Perdata. Percampuran utang adalah percampuran

kedudukan sebagai orang berutang dengan kedudukan sebagai kreditur

menjadi satu. Percampuran utang dapat terjadi dengan dua cara, yaitu:

1) Dengan jalan penerusan hak dengan alas hak umum,dan

2) Dengan jalan penerusan hak dibawah ala hak khusus.

f. Karena pembebasan utang;

Pembebasan utang diatur dalam Pasal 1438 KUH Perdata sampai dengan

Pasal 1443 KUH Perdata. Pembebasan utang adalah suatu pernyataan

sepihak dari kreditur kepada debitur, bahwa debitur dibebaskan dari

perutangan. Ada dua cara terjadinya pembebasan utang, yaitu:

1) Cuma-cuma, dan

2) Prestasi dari pihak debitur.

Pembebasan hutang dengan cuma-cuma harus dipandang sebagai

penghadiahan. Sedangkan prestasi dari pihak debitur, artinya sebuah

prestasi lain, selain prestasi yang terutang. Pembebasan ini didasarkan

pada perjanjian.

g. Karena musnahnya barang yang terutang;

Menurut ketentuan Pasal 1444 KUH Perdata, apabila benda tertentuyang

menjadi objek perikatan itu musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan, atau

hilang bukan karena kesalahan debitor, dan sebelum dia lalai

menyerahkannya pada waktu yang telah ditentukan, perikatannya menjadi

(18)

sah, misalnya, karena pencurian, maka musnah atau hilangnya benda itu

tidak membebaskan debitor (orang yang mencuri) untuk mengganti

harganya.

h. Karena kebatalan atau pembatalan;

Kebatalan kontrak diatur dalam Pasal 1446 KUH Perdata sampai dengan

Pasal 1456 KUH Perdata. Adanya tiga penyebab timbulnya pembatalan

kontrak, yaitu:

1) Adanya perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang belum

dewasa dan dibawah pengampuan ;

2) Tidak mengindahkan bentuk perjanjian yang di syaratkan

undang-undang;

3) Ada cacat kehendak.

i. Karena berlakunya suatu syarat batal, yang diatur dalam bab ke satu buku

ini;

Syarat batal yang dimaksud di sini adalah ketentuan isi perikatan yang

disetujui oleh kedua belah pihak, syarat tersebut apabila dipenuhi

mengakibatkan perikatan itu batal (nietig) sehingga perikatan menjadi

hapus. Syarat ini disebut syarat batal. Syarat batal pada asasnya selalu

berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu dibuat. Perikatan yang batal

dipulihkan dalam keadaan semula.

j. Karena daluarsa atau verjaring, hal mana akan diatur dalam suatu bab

tersendiri.

Berakhirnya perjanjian dapat disebabkan oleh lewatnya waktu (daluarsa)

(19)

menjadi isi perjanjian telah dilaksanakan. Semua kesepakatan diantara

para pihak menjadi berakhir setelah apa yang menjadi tujuan

diadakannnya perjanjian telah tercapai oleh para pihak

Hapusnya perikatan bisa terjadi akibat dari sepuluh syarat batal yang telah

dijelaskan diatas, sesuai dengan pendapat Salim H.S dalam bukunya hukum

kontrak teori dan teknik penyusunan kontrak.

B. Perjanjian Baku Secara Umum

1. Pengertian Perjanjian Baku

Perjanjian baku berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu standart

contract. Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan telah

dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak

oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah.

Munir Fuady mengartikan kontrak baku adalah:

“Suatu kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh salah ssatu pihak dalam

kontrak tersebut, bahkan sering kali tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal

ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umunya para pihak

hanyamengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpaperubahan dalam klausul-klausulnya, di mana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausul-klausul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut,sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah. Pihak yang kepadanya disodorkan kontrak baku tersebut tidak mempunyai

kesempatan untuk bernegosiasi dan berada hanya pada posisi “take it or leave

it”. Dengan demikian, oleh hukum diragukan apakah benar-benar ada elemen

kata sepakat yang merupakan syarat sahnya kontrak dalam kontrak tersebut. Karena itu pula, untuk membatalkan suatu kontrak baku, sebab kontrak baku an sichadalah netral”.39

Menurut Mariam Badrulzaman bahwa standar kontrak merupakan perjanjian

yang telah dibakukan dan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

39

(20)

a. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat;

b. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi

perjanjian;

c. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu;

d. Bentuk tertentu (tertulis);

e. Dipersiapkan secara massal dan kolektif.40

Hakekatnya dari perjanjian baku merupakan perjanjian yang telah

distandarisasi isinya oleh pihak ekonomi kuat, sedangkan pihak lainnya hanya

diminta untuk menerima atau menolak isinya. Apabila debitur menerima isinya

perjanjian tersebut, maka ia menandatangani perjanjian tersebut, tetapi apabila ia

menolak, maka perjanjian itu dianggap tidak ada, karena debitur tidak

menandatangani perjanjian tersebut. Dalam praktiknya, sering kali debitur yang

hanya menandatangani perjanjian tersebut tanpa dibacakan isinya. Namun isi

perjanjian baru dipersoalkan oleh debitur pada saat debitur tidak mampu

melaksanakan prestasinya. Kreditur berpendapat bahwa di dalam standar kontrak

telah ditentukan dan diatur secara jelas dan rinci, sehingga tidak ada alasan bagi

debitur untuk menolak pemenuhan prestasi tersebut.

Terlihat dari uraian di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur kontrak baku,

yaitu:

1) Diatur oleh kreditur atau ekonomi kuat;

2) Dalam bentuk sebuah formulir; dan

3) Adanya klausul-klausul eksonerasi/pengecualian.41

40

Mariam Darus Badrulzaman (3), Perjanjian Baku(standard),Perkembangannya di

Indonesia,Alumni,Bandung, 1980,hal.4

41

(21)

Pada umumnya selalu dikatakan bahwa sebuah kontrak standar adalah

kontrak yang bersifat ambil atau tinggalkan, mengingat bahwa tidak ada prinsip

kontrak. Dalam reformasi hukum perjanjian diperlukan pengaturan tentang

kontrak standar. Hal ini sangat diperlukan untuk melindungi masyarakat, terutama

masyarakat ekonomi lemah terhadap ekonomi kuat.

2. Bentuk dan Jenis Perjanjian Baku

Bentuk perjanjian baku atau standar yang dibuat salah satu pihak adalah

berbentuk tertulis. Isinya telah ditentukan secara sepihak oleh pihak ekonomi

kuat. Isinya dituangkan dalam klausul baku. Menurut Pasal 1 angka 10

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen selanjutnya

disebut UUPK, klausul baku adalah:

“setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan atau

ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan

dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh

konsumen”42

Kajian defenisi diatas, maka klausul baku itu dituangkan dalam satu dokumen

atau perjanjian. Pembuatan klausul baku ini tidak boleh bertentangan dengan

undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan yang baik. Oleh karena itu,

Hondius mengemukakan bahwa dewasa ini terdapat syarat-syarat baku di hampir

semua bidang di mana dibuat kontrak. Beberapa aktivitas penting dan

cabang-cabang perusahaan, dimana banyak perjanjian dibuat atas dasar syarat baku,

(22)

c. Pembangunan (syarat-syarat seragam administrative untuk pelaksanakan

Hondius mengemukakan bahwa kiranya tidak tepat kalau ada kesan

seakan-akan hampir semua transaksi dibuat atas dasar syarat-syarat baku. Tidak

semua transaksi cocok untuk dibakukan, sebagai contoh kontrak yang tidak cocok

dibakukan adalah:

1) Jenis-jenis kontrak baru dan hubungan hukum baru;

2) Transaksi antara pengusaha dan seorang partikelir, yang segera

dilaksanakan dalam hal mana pengusaha tidak ada risiko besar

(misalanya penjualan bahan makanan);

3) Transaksi antara golongan swasta satu dengan swasta lain (penjualan

mobil bekas);

4) Perjanjian-perjanjian, kedua belah pihak segan mempergunakan

dokumen-dokumen (misalnya transaksi gelap, tidak diberikan nota

karena kedua belah pihak mengelakkan undang-undang pajak

peredaran).

Mariam Darus Barulzaman membagi jenis perjanjian baku menjadi empat

jenis, yaitu:

43

(23)

a) Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh

pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang

kuat disini ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi

ekonomi kuat dibandingkan pihak debitur;

b) Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya

ditentukan oleh kedua belah pihak, misalnya perjanjian baku yang

pihak-pihaknya terdiri dari pihak majikan (kreditur) dan pihak lainnya

buruh (debitur). Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi,

misalnya pada perjanjian buruh kolektif.

c) Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah ialah perjanjian baku

yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan

hukum tertentu, misalnya perjanjian-perjnajina yang mempunyai objek

hak-hak atas tanah. Dalam bidang agraria, misalnya formulir-formulir

perjanjian sebagaimana yang diatur dalam SK Menteri Dalam Negeri

tanggal 6 Agustus 1977 No.104/dja/1977 berupa antara lain akta jual

beli;dan

d) Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat

adalah perjanjian-perjnajian yang konsepnya sejak semula sudah

disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang

minta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan, di dalam

perpustakaan belanda, jenis keempat ini disebut contract model.

Berdasarkan hasil kajian terhadap berbagai jenis perjanjian yang berlaku di

(24)

telah dibakukan. Kontrak itu dapat dikaji dari objeknya. Jenis-jenis kontrak

tersebut sebagai berikut:

(1) Kontrak baku yang dikenal dalam bidang pertambangan umum dan

minyak dan gas bumi, seperti kontrak baku pada kontrak karya,

kontrak production sharing, perjanjian karya pengusahaan batu bara,

kontrak bantuan teknis, dan lain-lain.

(2) Kontrak baku yang dikenal dalam praktik bisnis, sperti kontrak baku

dalam perjanjian leasing, beli sewa, franchise, dan lain-lain.

(3) Kontrak baku yang dikenal dalam bidang perbankan, seperti

perjanjian kredit bank, perjanjian bagi hasil pada bank syariah.

(4) Kontrak baku yang dikenal dalam perjanjian pembiayaan nonbank,

seperti perjanjian pembiayaan dengan pola bagi hasil pada perusahaan

modal ventura.

(5) Kontrak baku yang dikenal dalam bidang asuransi, seperti perjanjian

asuransi yang dibuat oleh perusahaan asuransi.44

Di samping itu, dikenal juga perjanjian baku yang dikenal dalam pembebanan

jaminan, seperti perjanjian pembebanan hak tanggungan, fidusia, dan gadai.

Perjanjian ini telah dibakukan oleh pemerintah dan lembaga pegadaian.

3. Perlindungan bagi Pemilik Rumah dalam Perjanjian Baku

Perlindungan pemilik rumah dalam perjanjian baku yang dibuat antara

agen pemasaran perusahaan properti dengan pemilik rumah sebenarnya tidak

diatur jelas dalam undang-undang, akan tetapidapat menghubungkannya dengan

UUPK, dimana kedudukan pemilik rumah ini sebagai konsumen pemakai jasa

44

(25)

agen pemasaran dalam menjual rumahnya. Yang menjadi isu pokok dalam

kesepakatan itu adanya perjanjian standar (baku), yang oleh banyak pihak dinilai

tidak adil bagi pihak konsumen.Sehingga banyak pendapat sarjana hukum yang

menyatakan bahwa perjanjian baku bukanlah perjanjian, akan tetapi Salim H.S

berpandangan bahwa:

“Perjanjian baku memiliki kekuatan mengikat karena kebisaaan yang berlaku

dalam masyarakat, yang pada dasarnya masyarakat menginginkan hal-hal yang bersifat pragmatis. Artinya dengan menandatangani perjanjian baku, seseorang akan segera mendapatkan sesuatu yang diinginkannya, tanpa

memerlukan waktu dan pikiran yang lama”.45

Upaya melindungi hak konsumen atau pemilik rumah yang merasa dalam

penandatanganan perjanjian ada upaya penipuan, paksaan maka pembatalan dapat

dilakukan seperti pada Pasal 1321 KUH Perdata yang menyebutkan tiga alasan

sekarang, sekalipun di Belanda telah terjadi perkembangan yang sangat berarti,

khusunya dari sudut hukum perlindungan konsumen. Kemajuan ini dimaksud

adalah dimasukkannya alasan keempat, yaitu penyalahgunaan keadaan (misbruik

van omstandigheden). Keempat alasan ini dicantumkan dalam Buku III Pasal 44

ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda yang baru.

Penyalahgunaan keadaan berkaitan dengan kondisi yang ada pada saat

kesepakatan terjadi. Kondisi itu membuat ada salah satu pihak berada dalam

45

(26)

keadaan tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya. Itu sebabnya, ada ahli yang

berpendapat penyalahgunaan keadaan ini sebagai salah satu bentuk dari cacat

kehendak juga.46

Satu hal yang harus diingat, penyalahgunaan keadaan sejak semula tidak

dapat dianggap sebagai hal yang dapat dibenarkan oleh hukum. Sebenarnya,

penyalahgunaan keadaan sejak dulu dimasukkan sebagai keadaan yang

bertentangan dengan ketertiban umum atau kebisaaan yang baik. Atas dasar itu,

suatu perjanjian dapat dinyatakan tidak berlaku, baik seluruhnya maupun bagian

tertentu saja. Dengan demikian, ada anggapan “sebab” yang terlarang sama

dengan “isi” perjanjian yang tidak dibenarkan. Padahal, penyalahgunaaan tidak

semata-mata berkaitan dengan “isi” perjanjian. Isinya mungkin tidak terlarang,

tetapi ada sesuatu yang lain, yang terjadi pada saat lahirnyaperjanjian, yang

menimbulkan kerugian pada salah satu pihak. Inilah yang dinamakan

“penyalahgunaan keadaan”.47

UUPK sendiri secara umum membuka kemungkinan pengajuan gugatan

oleh konsumen kepada pelaku usaha berdasarkan faktor penyalahgunaan keadaan

ini. Penjelasan Pasal 2 UUPK menyebutkan adanya lima asas perlindungan

konsumen, yaitu asas:

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo,Jakarta,2000,hal. 69.

47

(27)

Pada asas keadilan, dijelaskan seluruh rakyat diupayakan agar dapat

berpartisipasi semaksimal mungkin dan agar diberi kesempatan kepada konsumen

dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannnya

secara adil. Kemudian, dalam asas keseimbangan disebutkan, perlu diberi

keseimbangan antara kepentinagan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah

dalam arti materil dan sprituil.

Pasal 4 huruf g UUPK dinyatakan pula, salah satu hak konsumen adalah

hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif. Penjelasan dari ketentuan tersebut secara jelas dapat ditafsirkan

sebagai keterkaitan dengan larangan “penyalahgunaan keadaan”, dalam ketentuan

itu dikatakan, setiap konsumen memilik hak untuk diperlakukan atau dilayani

secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya,

daerah, pendidikan, kaya, miskin dan status sosial lainnya.

Dalam Pasal 15 UUPK bahkan secara tegas dinyatakan, pelaku usaha

dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara

pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun

psikis terhadap konsumen. Selanjutnya dalam hubungannya dengan perjanjian

standar, Pasal 18 UUPK meletakkan hak-hak yang setara antara konsumen dan

pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak (Pasal 1320 KUH

Perdata)48, Perlunya perlindungan debitur dalam pelaksanaan perjanjian baku

disebabkan karena dalam prakteknya terdapat penyimpangan-penyimpanganyang

berupa klausul eksonerasi (exemption clause), klausul eksonerasi adalah klausul

yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali

48

(28)

tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen/penjual.49

Perjanjian eksonerasi yang membebaskan tanggung jawab seseorang pada

akibat-akibat hukum yang terjadi karena kurangnya pelaksanaan kewajiban-kewajiban

yang diharuskan oleh undang-undang, antar lain tentang masalah ganti rugi dalam

hal perbuatan ingkar-janji. Ganti rugi ini tidak dijalankan apabila dalam

persyaratan eksonerasi tercantum hal itu. Contoh dari klausul eksonerasi adalah:50

a) Adanya pembebasan tanggung jawab pihak pengembang dalam perjanjian

pembelian rumah, dalam hal pengembang tidak dapat memenuhi janjinya

untuk melaksanakan penyelesaian pembangunan atas rumah yang dibeli,

tepat pada waktunya.

b) Adanya pembatasan tanggung jawab ganti rugi bagi perusahaan

pengangkutan berkaitan dengan kehilangan barang bawaan penumpang.

c) Adanya pembatasan terhadap tanggung jawab terhadap kecelakaan

jasmani yang diderita oleh penumpang.

Dapat dilihat betapa tidak adanya keseimbangan posisi tawar-menawar

antara produsen/penjual yang lazim disebut sebagai kreditor dan konsumen

(debitor) di lain pihak. Serta, penyalahgunaan keadaan dalam klausul perjanjian

tersebut. Walaupun harus diakui bahwa klausul yang terdapat dalam perjanjian

baku banyak mengalihkan beban tanggung gugat dari pihak perancang kontrak

baku kepada pihak lawannya, namun setiap kerugian yang timbul dikemudian hari

akan tetap ditanggung oleh para pihak yang harus bertanggung jawab berdasarkan

klausul perjanjian tersebut, kecuali jika klausul tersebut merupakan klausul yang

49

Ibid,hal. 141.

50

(29)

dilarang berdasarkan Pasal 18 Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen.

Adapun isi Pasal 18 UUPK adalah:

1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan

untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula

baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

a) menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b) menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan

kembali barang yang dibeli konsumen;

c) menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan

kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli

oleh konsumen;

d) menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha

baik secara langsung, maupun tidak langsung untuk melakukan

segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli

oleh konsumen secara angsuran;

e) mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau

pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f) memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa

atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual

beli jasa;

g) menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa

aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang

dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen

(30)

h) menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha

untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan

terhadap barang yang dibeli olch konsumen secara angsuran.

2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau

bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang

pengungkapannya sulit dimengerti.

3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada

dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana

dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dinyatakan batal demi hukum.

4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan

dengan Undang-undang ini.

Konsekuensi atas pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 18 ayat (1) dan

ayat (2) tersebut, dalam Pasal 18 ayat (3) dinyatakan batal demi hukumsetiap

klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha padadokumen atau

perjanjian yang memuat ketentuan yang dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) maupun

perjanjian baku atau klausula baku yang memenuhi ketentuan sebagaimana

dimaksud pada Pasal 18 ayat (2). Hal ini merupakan penegasan kembali akan sifat

kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1320 jo. Pasal 1337 KUH Perdata.

Ini berarti perjanjian yang memuat ketentuan mengenai klausula baku yang

dilarang sebagaimana dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) atau yang memiliki format

sebagaimana dilarang dalam Pasal 18 ayat (2) dianggap tidak pernah ada dan

mengikat para pihak, pelaku usaha, dan konsumen yang melaksanakan transaksi

perdagangan barang dan/ atau jasa tersebut. Atas kebatalan demi hukum dari

(31)

UUPK selanjutnya mewajibkan para pelaku usaha untuk menyesuaikan klausula

baku yang bertentangan dengan UUPK ini. Agar pihak konsumen selaku pemilik

rumah tidak lagi merasa dirugikan lagi dalam menjual rumahnya oleh pihak agen

Referensi

Dokumen terkait

 Read request dapat dilayani oleh salah satu dari kedua disk yg berisi data yg diminta  Write request memerlukan kedua strip yg berkaitan untuk diupdate secara paralel oth 

Ketika penampungan air laut sebagai bahan baku pembuatan garam telah cukup banyak dan terjaga ketersediannya pada sekitar pertengahan musim kemarau sebagian kolam

Produk dari kegiatan ini berupa perbaikan/penyempurnaan perencanaan pembe- lajaran pada satu topik terpilih yang dijadikan contoh latihan sejak kegiatan identifikasi

Berdasarkan putusan majelis hakim di Pengadilan Militer (DILMIL) II-09 Bandung Nomor 63-K/PM.II-09/AD/III/2013 Tahun 2013 mengenai dijatuhkannya hukuman pidana mati

troattle penuh), sehingga udara tersebut menyerap kalor dari plat dan sirip-sirip pemanas pada alat pengering tersebut. Pada pengujian alat dengan beban,

Berdasarkan hasil analisa mineralgrafi yang didukung analisa x-ray mapping dan ditampilkan secara tampilan spectro electron microscpe, dapat dikatakan bahwa contoh-contoh

Analisis faktor kualitas produk dalam pengembangan bisnis Healthy Red Velvet Cake melalui pendekatan strategi Blue Ocean.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Pendayagunaan harta benda wakaf di wilayah Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Trenggalek yang berbentuk sarana kegiatan ibadah, sarana kegiatan pendidikan, sarana