TINJAUAN PUSTAKA
Identifikasi Potensi
Potensi alam dalam kamus Kehutanan RI tahun 1989 adalah mengenai
kandungan gejala alam dari suatu kawasan. Menurut Undang-undang (UU)
Nomor 9 tahun 1990, wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari
kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk
menikmati obyek dan daya tarik wisata. Potensi wisata adalah mengenai
kandungan gejala alam dari suatu kawasan yang dapat dijadikan sebagai obyek
dan daya tarik suatu perjalanan wisata.
Menurut Prosiding lokakarya wana wisata (1986) dalam Rimbawanti
(2003) mengemukakan bahwa potensi wisata secara umum meliputi berbagai
kekhasan yaitu:
a.
Estetis
: keindahan alam, keunikan gejala alam seperti air terjun, kawah,
sumber air panas, dan lain-lain serta keindahan untuk lintas alam
b.
Biologis
: Keanekaragaman dari jenis-jenis flora dan fauna
c.
Historis
: Keanekaragaman peninggalan sejarah
d.
Scientist
: Untuk penelitian ilmu pengetahuan
Potensi wisata yang dikemukaan Yoeti (1997) yaitu obyek pariwisata yang
dapat dilihat, disaksikan, dilakukan atau dirasakan. Obyek tersebut dapat berupa:
1.
Berasal dari alam, dapat dilihat dan disaksikan secara bebas
(pada tempat-tempat tertentu harus bayar untuk masuk, seperti cagar alam,
kebun raya, dan lain-lain) seperti: iklim, pemandangan, vegetasi hutan, flora
2.
Merupakan hasil kebudayaan suatu bangsa yang dapat dilihat, disaksikan,
dan dipelajari seperti: monumen dan peninggalan masa lalu, tempat-tempat
budaya, dan perayaan-perayaan tradisional.
Ekowisata merupakan suatu bentuk kegiatan pariwisata yang memanfaatkan
keaslian lingkungan alam, dimana terjadi interaksi antara lingkungan alam dan aktivitas
rekreasi, konservasi dan pengembangan, serta antara penduduk dan wisatawan. Dari
defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan ekowisata mengintegrasikan kegiatan
pariwisata, konservasi dan pemberdayaan masyarakat lokal, sehingga masyarakat
setempat dapat ikut serta menikmati keuntungan dari kegiatan wisata tersebut melalui
pengembangan potensi-potensi lokal yang dimiliki (Hadinoto, 1996).
Obyek dan Daya Tarik Wisata
Pariwisata pada saat ini menjadi harapan bagi banyak negara termasuk Indonesia
sebagai sektor yang dapat diandalkan dalam pembangunan berkelanjutan khususnya pada
sektor kehutanan. Pada sektor kehutanan, ekowisata diharapkan dapat menjadi kegiatan
yang paling penting dalam memulihkan kerusakan hutan dan mengembalikan peranan
masyarakat untuk ikut menjaga kelestarian hutan. Kawasan hutan yang dikelola dengan
tujuan ganda akan tercapai bila dikembangkan sebagai objek dan daya tarik wisata alam
(Fandeli dan Mukhlison, 2000).
Objek dan daya tarik wisata merupakan salah satu unsur penting dalam
dunia kepariwisataan. Dimana objek dan daya tarik wisata dapat menyukseskan
program pemerintah dalam melestarikan adat dan budaya bangsa sebagai aset
yang dapat dijual kepada wisatawan. Objek dan daya tarik wisata dapat berupa
alam, budaya, tata hidup dan sebagainya yang memiliki daya tarik dan nilai jual
untuk dikunjungi ataupun dinikmati oleh wisatawan. Dalam arti luas, apa saja
yang mempunyai daya tarik wisata atau menarik wisatawan dapat disebut sebagai
Menurut Undang-Undang No. 9 tahun 1990 tentang Kepariwisataan, objek dan daya
tarik wisata adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata. Objek dan daya tarik
wisata terdiri atas :
1. Objek dan daya tarik wisata ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang berwujud keadaan
alam, serta flora dan fauna
2. Objek dan daya tarik wisata hasil karya manusia yang berwujud museum,
peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya, wisata buru, wisata
petualangan alam, taman rekreasi dan tempat hiburan
Selanjutnya dijelaskan bahwa pembangunan objek dan daya tarik wisata dilakukan
dengan cara mengusahakan, mengelola, dan membuat objek-objek baru sebagai objek dan
daya tarik wisata.
Menurut Hamid (1996) obyek wisata didefenisikan sebagai segala sesuatu yang
menarik dan telah dikunjungi wisatawan sedangkan daya tarik adalah segala sesuatu yang
menarik namun belum tentu dikunjungi. Daya tarik tersebut masih memerlukan
pengelolaan dan pengembangan sehingga menjadi obyek wisata yang mampu menarik
kunjungan. Sedangkan Suwantoro (1997) menyatakan bahwa objek wisata alam adalah
sumber daya alam yang berpotensi dan berdaya tarik bagi wisatawan serta ditujukan
untuk pembinaan cinta alam, baik dalam kegiatan alam maupun setelah pembudidayaan.
Selanjutnya juga dijelaskan bahwa daya tarik wisata yang juga disebut objek wisata
merupakan potensi yang menjadi pendorong kehadiran wisatawan ke suatu daerah tujuan
wisata.
Menurut Wiwoho (1990) daya tarik tersebut antara lain dapat berupa :
1. Sumber-sumber daya tarik yang bersifat alamiah seperti iklim, pemandangan alam,
lingkungan hidup, fauna, flora, kawah, danau, sungai, gua-gua, tebing, lembah dan
gunung.
2. Sumber-sumber buatan manusia berupa sisa-sisa peradaban masa lampau, monumen
3. Sumber-sumber daya tarik yang bersifat manusiawi. Sumber manusiawi melekat
pada penduduk dalam bentuk warisan budaya misalnya tarian, sandiwara, drama,
upacara adat, upacara penguburan mayat, upacara keagamaan, upacara perkawinan
dan lain-lain.
Menurut Siswanto (2006), unsur pokok yang harus mendapat perhatian guna
menunjang pengembangan pariwisata di daerah tujuan wisata yang menyangkut
perencanaan, pelaksanaan pembangunan dan pengembangannya meliputi 5 unsur :
1. Objek dan daya tarik wisata.
Daya tarik wisata yang juga disebut objek wisata merupakan potensi yang menjadi
pendorong kehadiran wisatawan ke suatu daerah tujuan wisata.
2. Prasarana wisata.
Prasarana wisata adalah sumberdaya alam dan sumberdaya buatan manusia yang
mutlak dibutuhkan oleh wisatawan dalam perjalanannya di daerah tujuan wisata.
3. Sarana wisata.
Sarana wisata merupakan kelengkapan daerah tujuan wisata yang diperlukan untuk
melayani kebutuhan wisatawan dalam menikmati perjalanan wisatanya.
4. Tata laksana/infrastruktur.
Infrastruktur adalah situasi yang mendukung fungsi sarana dan prasarana wisata,
baik yang berupa sistem pengaturan maupun bangunan fisik di atas permukaan tanah
dan dibawah tanah.
5. Masyarakat/lingkungan.
Daerah tujuan wisata yang memiliki berbagai objek dan daya tarik wisata akan
mengundang kehadiran wisatawan. Masyarakat di sekitar objek wisatalah yang akan
menyambut kehadiran wisatawan tersebut dan sekaligus akan memberikan layanan
Menurut MacKinnon et al. (1990), faktor-faktor yang membuat suatu kawasan
menarik bagi pengunjung adalah :
1. Letaknya dekat, cukup dekat, atau jauh dengan bandar udara internasional atau pusat
kota
2. Perjalanan ke kawasan tersebut mudah dan nyaman, perlu sedikit usaha, sulit, atau
berbahaya
3. Kawasan tersebut memiliki atraksi yang menonjol misalnya satwa liar yang menarik
4. Kondisi sarana prasarana harus mendukung
5. Kawasan tersebut memiliki beberapa keistimewaan yang berbeda
6. Memiliki tambahan budaya yang sangat menarik serta beberapa atraksi wisata
7. Unik dalam penampilannya
8. Memiliki fasilitas rekreasi pantai atau tepian danau, sungai, air terjun, kolam renang
atau tempat rekreasi lainnya.
9. Kawasan cukup dekat dengan lokasi lain yang menarik wisatawan sehingga menjadi
bagian kegiatan wisatawan
10. Sekitar kawasan tersebut memiliki pemandangan indah
11. Keadaan makanan dan akomodasi tersedia
Yoeti (1985) menyatakan bahwa suatu daerah untuk menjadi daerah tujuan wisata
(DTW) yang baik harus mengembangkan 3 hal agar daerah tersebut menarik untuk
dikunjungi yakni:
a)
Adanya something to see yaitu adanya sesuatu yang menarik untuk dilihat yangdalam hal ini objek wisata yang berbeda dengan tempat-tempat lain (mempunyai
keunikan tersendiri)
b)
Adanya something to buy yaitu terdapat sesuatu yang menarik untuk dibeli. Dalamsehingga di daerah tersebut harus ada fasilitas untuk dapat berbelanja atau shopping
yang menyediakan souvenir maupun kerajinan tangan lainnya
c)
Adanya something to do yaitu suatu aktivitas yang dapat dilakukan di tempat itu yangdapat membuat orang yang berkunjung merasa betah di tempat tersebut
Analisis Kesiapan Masyarakat
Pendekatan yang dipakai untuk mengkaji analisis kesiapan masyarakat
dalam pengembangan secara partisipatif adalah 'Participatory Rural Appraisal'
atau PRA. Participatory Rural Appraisal ini adalah sekumpulan teknik dan alat
yang mendorong masyarakat desa untuk turut serta meningkatkan dan
menganalisa pengetahuannya mengenai hidup dan kondisi mereka sendiri, agar
mereka dapat membuat rencana dan tindakan.
Kajian keadaan pedesaan secara
partisipatif dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dan percaya diri
masyarakat dalam mengidentifikasi serta menganalisa situasinya, baik potensi
maupun permasalahannya (Hikmat, 2001).
PRA mengutamakan masyarakat agar memperoleh kesempatan untuk
memiliki peran dan mendapat manfaat dalam kegiatan program pengembangan.
PRA terdiri dari sekumpulan teknik atau alat yang dapat dipakai untuk mengkaji
keadaan pedesaan. Teknik ini berupa visual (gambar, tabel, bentuk) yang dibuat
oleh masyarakat sendiri dan dipergunakan sebagai media diskusi masyarakat
tentang keadaan mereka sendiri serta lingkungannya. Beberapa teknik yang
terkenal meliputi:
1.
Pemetaan kawasan desa
2.
Kalender musim
3.
Transek (penelusuran desa)
PRA biasanya sudah diawali dengan proses sosialisasi pemberdayaan
masyarakat. Kualitas informasi yang digali dengan PRA biasanya tinggi, namun
kuantitatif kadang-kadang kurang tepat. Walaupun kita tidak tahu apakah
informasi seratus persen benar, yang penting bahwa informasi itu cenderung
mendekati kebenaran. Untuk itu, dimanfaatkan prinsip triangulasi atau
pengecekan kembali dan pemeriksaan ulang. Kajian keadaan pedesaan Partisipatif
tahap pertama adalah dalam siklus pengembangan dan pemberdayaan masyarakat.
Setelah kajian, masyarakat akan masuk tahap perencanaan kemudian pelaksanaan
dan monitoring dan evaluasi. Setelah itu, mereka lanjutkan dengan ulang
mengkaji sebagai dasar untuk rencana baru (Mustafa, 1988).
Pengembangan desa wisata
Perencanaan merupakan proses pembuatan keputusan tentang apa yang harus
dikerjakan dimasa depan dan bagaimana melakukannya. Perencanaan harus
memperhatikan keadaan sekarang secara realistis dan faktor potensial yang dapat
dikembangkan. Perencanaan usaha harus dimulai dengan survei terperinci mengenai sifat
dan bentuk pengembangan yang direncanakan terutama dalam hal sumberdaya yang
dimiliki (Kusmayadi, 2004).
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia (2003) menyatakan
bahwa secara konseptual ekowisata dapat didefinisikan sebagai suatu konsep
pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya
pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat dan
pemerintah setempat.
Berdasarkan segi pengelolaannya ekowisata dapat didefinisikan sebagai
penyelenggaraan kegiatan wisata yang bertanggung jawab di tempat-tempat alami dan
berkelanjutan dan mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya)
serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Sumberdaya kawasan pedesaan
yang di dalamnya mencakup sumberdaya fisik, sosial dan budaya ternyata dapat
dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata. Seringkali masyarakat pedesaan tidak menyadari
bila wilayahnya memiliki nilai lebih yang tidak dimiliki wilayah lainnya (Fauzi, 2004).
Pengembangan adalah upaya memperluas atau mewujudkan potensi-potensi,
membawa suatu keadaan secara bertingkat pada suatu keadaan yang lebih lengkap, lebih
besar, lebih baik, dan memajukan sesuatu yang lebih awal kepada yang lebih akhir
atau dari yang sederhana kepada yang lebih kompleks. Dari segi kualitatif,
pengembangan berfungsi sebagai upaya peningkatan yang meliputi penyempurnaan
program ke arah yang lebih baik, di mana hal-hal yang dikembangkan meliputi
aktivitas manajemen yang terdiri atas perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan
evaluasi (Ramly, 2007).
Aspek-aspek yang perlu diketahui dalam pengembangan pariwisata menurut
Dimjati (1999) adalah :
1. Wisatawan (tourist) dengan melakukan penelitian tentang wisatawan sehingga dapat
diketahui karakteristik wisatawan yang diharapkan datang.
2. Pengangkutan (transportasi) adalah bagaimana fasilitas transportasi yang tersedia
baik dari negara asal atau angkutan ke obyek wisata.
3. Atraksi/obyek wisata (attraction) mengenai apa yang dilihat, dilakukan dan dibeli di
daerah tujuan wisata (DTW) yang dikunjungi.
4. Fasilitas pelayanan (service facilities).
5. Informasi dan promosi (information) yaitu cara-cara promosi yang akan dilakukan
baik melalui iklan atau paket yang tersedia.
Desa wisata merupakan suatu bentuk lingkungan permukiman yang sesuai
dengan tuntutan wisatawan dalam menikmati, mengenal dan menghayati atau
kegiatan hidup masyarakatnya (mencakup kegiatan hunian, interaksi sosial, kegiatan adat
setempat dan sebagainya), sehingga terwujud suatu lingkungan yang harmonis, rekreatif,
dan terpadu dengan lingkungannya (Ikaputra, 1985).
Desa wisata merupakan bentuk desa yang memiliki ciri khusus di
dalamnya, baik alam dan budaya, serta berpeluang dijadikan komoditi bagi
wisatawan. Wujud desa wisata itu sendiri bahwa desa sebagai obyek dan subyek
pariwisata. Sebagai objek, merupakan tujuan kegiatan pariwisata, sedangkan
sebagai subyek adalah sebagai penyelenggara, apa yang dihasilkan oleh desa akan
dinikmati oleh masyarakatnya secara langsung dan peran aktif masyarakat sangat
menentukan kelangsungan desa wisata itu sendiri (Soebagyo, 1991).
Sebagai suatu bentuk struktur dari kegiatan pariwisata, desa wisata erat
kaitannya dengan kegiatan tinggal menetap di dalam atau dekat dengan kehidupan
masyarakat pedesaan, belajar mengenai desa dan budaya lokal serta cara hidup
masyarakat serta seringkali turut berpartisipasi dalam aktivitas pedesaan. Dalam
perencanaan dan pengembangan serta pengelolaan masyarakat terlibat secara
penuh sehingga dengan demikian diharapkan keuntungan dapat diterima oleh
penduduk itu sendiri (Basuki, 1992).
Menurut Romani (2006) tindakan bijaksana dengan memperhatikan
kepentingan serta kondisi lingkungan perlu diperhatikan dalam mengembangkan
sebuah desa wisata, khususnya di wilayah yang masih memiliki ikatan serta sifat
tradisional. Sebagai model dasar pembentukan sebuah desa wisata, harus
memperhatikan pemilihan site dalam merencanakan fasilitas yang hendak
digunakan. Perlu koordinasi dengan penduduk serta kerjasama antara mereka
sendiri untuk melakukan pengembangan dan pengelolaan serta pemasaran yang
menomersatukan proses pelibatan penduduk setempat dalam tukar gagasan,
tindakan, pengambilan keputusan, dan kontrol dalam mengembangkan kegiatan
pariwisata pedesaan. Dengan demikian diharapkan dari kegiatan yang lahir
nantinya dapat memberikan kerangka kerja yang simboisis mutualisme, saling
menguntungkan antara masyarakat dan wisatawan.
Terdapat beberapa kriteria desa wisata yaitu :
1.
Atraksi wisata adalah semua yang mencakup alam, budaya, dan hasil
ciptaan manusia. Atraksi yang dipilih adalah yang paling menarik dan
atraktif di desa
2.
Jarak tempuh adalah jarak tempuh dari kawasan wisata terutama tempat
tinggal wisatawan dan juga jarak tempuh dari ibukota provinsi
3.
Besaran desa biasanya menyangkut masalah-masalah jumlah rumah, jumlah
penduduk, karakteristik dan luas wilayah desa. Kriteria ini berkaitan dengan
daya dukung kepariwisataan pada suatu desa
4.
Sistem
kepercayaan
dan
kemasyarakatan merupakan aspek penting
mengingat adanya aturan-aturan yang khusus pada komunitas sebuah desa.
Perlu dipertimbangkan adalah agama yang menjadi mayoritas dan sistem
kemasyarakatan yang ada (Mukaryanti dan Saraswati, 2005).
Strategi melibatkan peran serta masyarakat dapat dilakukan antara lain
dengan:
1.
Menginformasikan kepada penduduk setempat tentang apa yang akan terjadi
bila pariwisata pedesaan masuk ke desa mereka
3.
Menghargai pendapat dan melibatkan masyarakat setempat dalam
pengambilan keputusan
4.
Meningkatkan pemahaman tentang pariwisata dan dampaknya
5.
Mendorong hubungan antar wisatawan dan penduduk setempat
(Ahimsa-putra, dkk, 2000).
Prinsip penting lainnya yang patut diperhatikan dalam pengembangan desa
wisata:
1.
Mengembangkan fasilitas-fasilitas wisata dalam skala kecil beserta
pelayanannya yang dekat atau di dalam desa itu sendiri
2.
Fasilitas dan pelayanan tersebut dimiliki dan dikerjakan oleh penduduk,
secara individu atau bekerjasama
3.
Pengembangan yang didasarkan kepada sifat budaya tradisional suatu desa
(human life) atau sifat atraksi yang dekat dengan alam (nature based).
Untuk itu pada beberapa wilayah pedesaan yang telah menjadi bagian dari
kegiatan wisata desa perlu diupayakan peningkatan aspek yang telah disebutkan di
atas, yakni aspek fisik, sosial dan budaya serta kelembagaannya agar dapat menjadi
desa-desa wisata (Ahimsa-Putra, 2000).
Kondisi Kawasan Wisata Danau Linting
Kawasan Danau Linting merupakan danau vulkanik yang sangat indah dan unik
memiliki luas permukaan danau sekitar 5.512 m² dengan total luas kawasan lebih kurang
3 hektar. Dibandingkan dengan Danau Toba yang sudah terkenal sebagai icon wisata
Sumatera Utara, masih banyak orang yang belum mengenal pesona Danau Linting. Selain
danau yang indah, disekitar danau terdapat pohon-pohon besar yang rimbun sehingga
menghadirkan landscape yang sangat menarik. Jarak Danau Linting dari Medan sekitar
kendala orang untuk mengunjungi danau ini adalah kondisi jalan menuju lokasi yang
masih kurang baik dan transportasi yang kurang lancar.
Secara administratif Danau Linting berada di Desa Sibunga-bunga Hilir,
Kecamatan Sinembah Tanjung Muda (STM) Hulu. Pemerintah Kabupaten Deli Serdang
menetapkan kawasan Danau Linting ini sebagai kawasan wisata melalui Surat Keputusan
Bupati Deli Serdang Nomor 556/272/DS/Tahun 1999 tentang Pelestarian dan Pengelolaan
Kawasan Wisata Danau Linting di Kecamatan Sinembah Tanjung Muda (STM) Hulu
Kabupaten Daerah Tingkat II Deli Serdang. Dalam surat keputusan bupati tersebut, radius
100 meter dari pinggir danau dinyatakan sebagai kawasan lokasi wisata. Meskipun sudah
ditetapkan sebagai kawasan wisata, namun Danau Linting baru dikelola secara serius oleh
Perangkat Desa Sibunga-bunga terhitung sejak awal September baru-baru ini.
Danau Linting memiliki keunikan dengan warna air hijau kebiru-biruan, airnya
yang terasa panas, dan mengandung belerang. Secara geologis, kawasan Danau Linting
memiliki struktur batuan kapur dengan semburan air panas sebagai hasil dari proses
geothermal. Pada hari sabtu dan minggu atau hari libur nasional, Danau Linting banyak
dikunjungi pengunjung lokal khususnya dari daerah Medan dan sekitarnya. Masyarakat di
luar Desa Sibunga-bunga Hilir ternyata sudah banyak yang mengetahui keberadaan lokasi
ini. Dari sisi pemasaran, adanya pengunjung yang rutin datang pada hari libur
menunjukkan bahwa Danau Linting cukup marketable dan akan cukup menjanjikan
apabila dikelola secara professional.
Melihat dari karakteristik Danau Linting, sepertinya danau ini dulunya adalah
sebuah kawah atau retakan dari peristiwa vulkanik. Hal ini dilihat dari beberapa hal yang
bisa ditemui di danau ini seperti kandungan belerangnya yang cukup tinggi, serta
kedalamannya yang masih menjadi misteri hingga saat ini.
Berdasarkan hasil penelusuran melalui google earth, kawasan Danau Linting yang
secara geografis berada pada koordinat 3º13’46,10’’LU dan 98º43’34,15’’BT. Kawasan
yang berbatasan langsung dengan Danau Linting adalah sebagai berikut:
a. Sebelah utara berbatasan dengan desa Durian IV Mbelang
b. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Simalungun
c. Sebelah selatan berbatasan dengan desa Rumah Rih
d. Sebelah barat berbatasan dengan desa Rumah Rih
Pihak Kecamatan STM Hulu memposisikan Danau Linting dengan mengintegrasikan
pengelolaan kawasan bersama desa-desa yang memiliki lahan pertanian yang berbatasan
langsung dengan Danau Linting khususnya yang berasal dari ketiga desa tersebut agar