A.Latar Belakang
Negara Indonesia terdiri dari beribu-ribu kepulauan yang mempunyai berbagai suku bangsa, bahasa, agama dan adat istiadat yang berbeda-beda, termasuk di dalamnya Hukum waris adat yang dianut oleh masing-masing kepercayaan yang berbeda-beda dan mempunyai bentuk kekerabatan dengan sistem keturunan yang berbeda-beda pula1. Diantara bentuk-bentuk atau sistem kekerabatan dan sistem keturunan yang terdapat di Indonesia, yaitu sistem keturunan patrilinial, matrilineal dan sistem keturunan parental atau bilateral, serta ada pula beberapa sistem kewarisan, yaitu: sistem individu, kolektif, mayorat,kewarisan Islam dan kewarisan barat.
Sistem kehidupan masyarakat banyak ditentukan oleh sistem kekeluargaan yang bermula dari bentuk perkawinan. Bentuk kekeluargaan itu berpengaruh terhadap pemikiran dan cara pemilikan atas harta serta cara penyelesaian peralihan harta. Hal ini Nampak pada praktik pembagian kewarisan hampir di seluruh daerah Nusantara salah satunya adalah sistem kewarisan yang dilaksanakan oleh masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau.
Menurut Moszkowski dan kemudian yang dikutip oleh Loeb, orang Sakai adalah orang veddoid yang bercampur dengan orang-orang Minangkabau yang datang
1
bermigrasi pada sekitar abad ke-14 di daerah Riau2. Ras Veddoid sendiri mempunyai ciri-ciri tinggi badan antara 153-158 cm untuk laki-lakinya. Mereka berkulit coklat tetapi lebih terang3. Rambut mereka berombak, rambut hitam yang kasar, mempunyai tonjolan mata yang menonjol, dan dahi yang mencekung, hidung mereka pesek, muka kasar, dan dagu yang mencekung. Mulut mereka besar dengan bibir yang tipis. Orang Sakai hidup dalam wilayah Kabupaten Bengkalis4. Jumlah Orang Sakai terbanyak adalah yang berada dalam wilayah Kecamatan Mandau5.
Orang Sakai sebagai komunitas masyarakat terpencil dalam kehidupan sehari-hari hidup berdampingan dengan masyarakat lain, mereka masih mempertahankan tradisi leluhur nenek moyang mereka, akan tetapi mereka telah mulai menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi akibat modernisasi, karena warga Sakai oleh masyarakat sekitar telah diberikan kesempatan dan peluang untuk diasimilasikan dengan masyarakat lainnya. Misalnya pembangunan pemukiman yang berdekatan dengan lokasi masyarakat setempat, melakukan perkawinan, mempekerjakan pada perusahaan serta telah mengenyam bangku pendidikan6.
Pemukiman masyarakat Sakai sudah mulai mengalami kemajuan, rumah-rumah mereka tidak lagi terbuat dari kulit kayu, rotan, atau bambu dan beratapkan rumbia akan tetapi mereka sudah ada yang memiliki rumah yang terbuat dari batu dan telah beratapkan
2
Parsudi Suparlan, Orang Sakai di Riau Masyarakat Terasing Dalam Masyarakat Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995, hal 72
3
Orang Kubu Dalam Kaca Mata Edwin Loeb, 19 Desember 2008, http://etnobudaya.net/2008/12/19/orang-kubu-dalam-kaca-mata-edwin-loeb/, diakses pada tanggal 28 April 2015
seng. Mereka juga sudah mengenal kendaraan bermotor sebagai alat transportasi7. Sistem kekerabatan bagi orang Sakai merupakan kerangka acuan yang penting dalam menentukan dengan siapa ego (saya) dapat berhubungan dan bekerjasama dalam berbagai kehidupan sosial, ekonomi dan keluarga. Bagi orang Sakai kelompok-kelompok kekerabatan dalam kehidupan mereka terwujud dalam kegiatan pengelolaan ladang, biasanya satuan pemukiman dihuni oleh satu atau dua kelompok keluarga8.
Orang Sakai menganut agama yang diselimuti oleh keyakinan pada animisme, kekuatan magi, dan tenung9. Dalam kenyataannya walaupun mereka telah memeluk agama Islam tetapi agama asli mereka tetap mereka yakini10. Mereka percaya bahwa lingkungan hidup dihuni oleh makhluk-makhluk gaib yang dinamakan “antu”, dimana Antu itu ada yang baik dan ada yang jahat11.
Sistem kekerabatan Suku Sakai menganut matrilineal yaitu dititik beratkan menurut garis keturunan ibu/perempuan. Sistem kekerabatan ini lebih mengutamakan kedudukan anak perempuan dari anak laki-laki. Anak perempuan penerus keturunan ibunya, sedangkan anak laki-laki hanya seolah-olah pemberi bibit keturunan kepada isteri. Oleh sebab itu menurut masyarakat Sakai apabila suatu keluarga tidak memiliki anak perempuan, maka seolah-olah hidup tidak berkesinambungan. Namun demikian bukan berarti anak laki-laki tidak berfungsi dalam keluarga. Anak laki-laki membantu orang tua meringankan beban hidup keluarga.
7
Ibid, hal 21 8
Ibid, hal. 34. 9
Parsudi Suparlan, Op. Cit, hal 194 10
Ibid
11
Ketika agama Islam masuk ke Indonesia, nilai-nilai hukum agama Islam berhadapan dengan nilai-nilai hukum adat yang berlaku, dipelihara dan ditaati sebagai sistem hukum yang mengatur masyarakat tersebut. Oleh karena itu, proses penerimaan hukum kewarisan Islam sebagai hukum bersama-sama dengan sistem hukum kewarisan adat suku Sakai mengatur kewarisan masyarakat tersebut, yang kemudian lambat laun hukum kewarisan Sakai dalam hal tertentu digeser posisinya oleh hukum kewarisan Islam bagi mereka yang menganut agama Islam.
Tabel I
Tabel Penduduk Menurut Agama Tahun 2012 Provinsi Riau
Sumber : Kementerian Agama Riau 2012
Sumber : Kementerian Agama Riau 2012 No Kabupaten/Kota
Agama
Islam Kristen Katolik Hindu Buddha Khong
Pembaharuan Hukum kewarisan Islam di Indonesia ditandai dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam melalui Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam12. Kompilasi Hukum Islam yang mengatur kewarisan terdiri dari 23 pasal, dari Pasal 171 sampai dengan Pasal 193.
Sampai saat ini di Indonesia belum terbentuk hukum kewarisan secara nasional yang dapat mengatur pewarisan secara nasional, sehingga dalam hukum kewarisan di Indonesia dapat menggunakan berbagai macam sistem pewarisan antara lain: sistem hukum kewarisan menurut KUH Perdata, sistem kewarisan menurut hukum adat dan sistem kewarisan menurut hukum Islam13. Ketiga sistem ini semua berlaku dikalangan masyarakat hukum di Indonesia. Para pihak dapat memilih hukum apa yang akan digunakan dalam pembagian harta warisan yang dipandang cocok dan mencerminkan rasa keadilan. Hukum kewarisan Islam atau yang lazim disebut Faraidh dalam literatur Hukum Islam adalah satu bagian dari keseluruhan Hukum
Islam yang mengatur peralihan harta dari orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup14 Harta Peninggalan dari seorang Pewaris yang beragama Islam, pembagiannya wajib menggunakan Hukum Waris Islam (faraidh)15. Kewajiban ini dapat dikaji dalam Al-Qur’an surat Al Maidah dan surat An Nisaa’ 16.
12
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2011, hal 54
13
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, Rajawali Press, Bandung, 2005, hal 12 14
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Prenada Media, Jakarta Timur, 2004, hal 16 15
Afdol, Penerapan Hukum Waris Islam Secara Adil Dengan Metode Perhitungan Mudah Dan Praktis, Airlangga University Press, Surabaya, 2003, hal 2-3
16
Surat Al Maidah Ayat 44 yang artinya17 “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang di turunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir”. Surat Al Maidah Ayat 45 yang artinya18“Barang siapa yang tidak
memutus perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang dzalim.” Surat Al Maidah Ayat 46 yang artinya19 “Barang siapa yang
tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka termasuk orang-orang yang fasik.” Surat An Nisaa Ayat 14 yang artinya20 “Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal didalamnya dan
baginya siksa yang menghinakan.”
Menurut syariat, faraidh didefinisikan sebagai hukum yang mengatur pembagian harta waris, yang berdasarkan ketentuan Allah swt dan Rasulullah saw, karena langsung bersumber dari Allah swt, Tuhan yang menciptakan manusia dan Maha Tahu kebutuhan manusia, maka hakikatnya tidak ada lagi alasan bagi manusia khusunya kaum muslimin untuk menentangnya ataupun mengubahnya dari apa yang telah ditetapkan oleh Allah swt. dan Rasulullah saw tentang pembagian harta waris tersebut21.
Hukum kewarisan Islam pada dasarnya bersumber kepada beberapa ayat Al
Qur’an sebagai Firman Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW
17
Soenarjo, Al-Quran dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Jakarta, 1971, hal 95 18
Ibid, hal 96 19
Ibid
20
Ibid, hal 67 21
dan Hadis Rasul yang terdiri dari ucapan, perbuatan, dan hal-hal yang didiamkan Rasul22. Baik dalam Al-Qur’an maupun Hadist-Hadist Rasul dasar hukum kewarisan itu ada yang secara tegas mengatur, dan ada yang secara tersirat, bahkan kadang-kadang hanya berisi pokok-pokoknya saja, yang paling banyak ditemui dasar atau sumber Hukum kewarisan itu dalam surat An-Nisa; disamping sunah-sunah lainnya sebagai pembantu23.
Hukum kewarisan sebagai pernyataan tekstual yang tercantum dalam
Al-Qur’an dan Sunnah itu berlaku secara universal bagi seluruh umat Islam dan
mengandung nilai-nilai yang bersifat abadi24. Al-Qur’an dan Sunnah dipandang telah mencukupi sebagai sumber legislasi yang memberi pedoman hukum yang berkenaan dengan kehidupan pribadi dan sosial muslimin, khususnya dalam bidang kewarisan25. Kehidupan manusia yang dinamik membutuhkan Hukum yang bisa berubah dengan perubahan kondisi sosial budaya, menghadapi perubahan sosial budaya yang demikian, maka diperlukan usaha dengan mencurahkan segala kemampuan berfikir
guna mengeluarkan Hukum syari’at dan dalil-dalil Al-Qur’an dan Sunnah, inilah
yang dinamakan dengan Ijtihad26. Hasil Ijtihad inilah yang dijadikan sumber oleh kaum muslimin dalam menghadapi persoalan-persoalan yang tidak disebutkan dalam Al-Quran dan Sunnah, khususnya persoalan yang berkaitan dengan kewarisan27.
22
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan HUkum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hal 45
23
Ibid, hal 35 24
Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, Pustaka Jaya, Jakarta, 1995, hal 1-2
25
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia Eksistensi dan Adaptabilitas, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2012, hal 16
26
Ibid
27
Tujuan dari Hukum Kewarisan Islam adalah mengatur cara-cara membagi harta peninggalan agar dapat bermanfaat kepada ahli waris secara adil dan baik. Oleh karena itu harta peninggalan adalah hak milik dari yang meninggal baik yang ia dapatkan sendiri, secara perseorangan atau pemberian secara sah dari orang lain atau warisan turun temurun. Harta tersebut menurut Islam adalah urusan keluarga ahli waris tidak dapat dicamputi oleh orang luar.
Hukum kewarisan Islam dalam hal tertentu mempunyai corak tersendiri, berbeda dengan Hukum kewarisan lain28. Berbagai asas Hukum ini memperlihatkan bentuk karakteristik dari Hukum kewarisan Islam itu, sistem kewarisan Islam memiliki asas yang menjadi pedoman, antara lain29 :
1. Asas Ijbari
Hukum kewarisan Islam didasarkan kepada asas ijbari dalam pengertian bahwa manusia tidak bebas memberikan tirkahnya kepada orang-orang yang dikehendakinya30. Asas Ijbari dalam Hukum kewarisan Islam mengandung arti bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung kepada kehendak dari pewaris atau permintaan dari ahli warisnya31. Hal ini berarti peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya sesuai dengan kehendak Allah tanpa tergantung kepada
28
Amir Syarifuddin, Op. Cit, hal 19 29
Ibid
30
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006, hal 207
31
kehendak ahli waris atau pewaris. Ahli waris langsung menerima kenyataan pindahnya harta pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan 2. Asas Bilateral
Asas bilateral dalam Hukum kewarisan berarti seseorang menerima hak atau bagian warisan dari kedua belah pihak, dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat keturunan perempuan32. Dalam Al Qur’an7 surat An Nisaa’ dijelaskan bahwa seorang laki-laki berhak mendapatkan warisan dari pihak ayahnya juga dari pihak ibunya. Begitu pula seorang anak perempuan berhak menerima harta warisan dari pihak ayahnya dan juga dari pihak ibunya33.
3. Asas Individual
Hukum Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual, dengan arti bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan34. Masing-masing ahli waris menerima bagiannnya secara tersendiri, tanpa terikat dengan ahli waris yang lain. Pembagian secara individual ini didasarkan pada ketentuan bahwa setiap insan sebagai pribadi mempunyai kemampuan untuk menjalankan hak dan kewajibannya. Dengan demikian, harta waris yang telah dibagi sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan menjadi milik ahli waris secara individual.
4. Asas Keadilan Berimbang
Asas keadilan berimbang dalam Hukum kewarisan Islam berarti keseimbangan antara hak yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan
32
Zainuddin Ali, Op. Cit, hal 54
33
Ibid
34
dalam melaksanakan kewajiban35. Sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an surat An Nisaa’ ayat 7, yakni bahwa anak laki-laki demikian juga anak perempuan ada bagian harta dari peninggalan ibu bapaknya. Kata keadilan yang
berasal dari bahasa Arab yaitu “al-adl” berarti keadaan yang terdapat di dalam
jiwa seseorang yang membuatnya menjadi lurus. Mengenai hak-hak ahli waris seperti anak laki-laki dan anak perempuan dalam Al Qur’an Surat An Nisaa’ ayat 11, hak bapak dan ibu juga terdapat pada ayat tersebut, hak suami dan isteri terdapat dalam ayat 12, hak saudara laki-laki dan saudara perempuan terdapat pada ayat 12 ayat 176 surat An Nisaa’. Dari ayat-ayat tersebut terdapat dua bentuk bagian yang diperoleh laki-laki dan perempuan yaitu:
(a) Laki-laki mendapat jumlah yang sama dengan perempuan seperti ibu dan bapak sama-sama mendapat seperenam apabila pewaris meninggalkan anak sebagaimana tersebut dalam ayat 11 surat An Nisaa’, begitu pula saudara laki-laki dan saudara perempuan sama-sama mendapat seperenam dalam kasus pewaris kalalah sebagaimana tersebut pada ayat 12 surat An Nisaa’. (b) Laki-laki memperoleh bagian lebih banyak yaitu dua kali lipat dari bagian
perempuan dalam kasus yang sama, yaitu antara anak laki dan anak perempuan dalam ayat 11 surat An-Nisa dan antara saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat 176 surat An-Nisa dalam kasus yang terpisah. Duda mendapat dua kali lipat dari bagian janda yaitu seperdua
35
untuk duda jika isteri tidak meningglkan anak, sementara janda hanya mendapat seperempat bagian jika suami tidak meninggalkan anak.
5. Asas Semata Akibat Kematian
Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan menggunakan istilah kewarisan hanya berlaku setelah yang mempunyai harta meninggal dunia36. Asas ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dengan nama waris selama yang mempunyai harta masih hidup37.Dengan demikian, harta seseorang tidak dapat beralih selama pemilik harta (warisan) yang bersangkutan masih hidup. Jika ada peralihan harta kepada ahli waris, misalnya kepada anak dari orang tuanya, maka dalam hukum Islam hal itu disebut dengan hibah.
Ada perbedaan dalam hal pembagian harta warisan dari si mati yang berlaku pada zaman sebelum kemerdekaan Republik Indonesia dan yang berlaku sekarang38. Pada zaman sebelum kemerdekaan Republik Indonesia harta warisan si mati yang merupakan milik kepala keluarga diberikan seluruhnya kemanakannya, yang mutlak seluruhnya harus diberikan kepada kemanakan si mati dinamakan pusako (harta pusaka) yang terdiri atas senjata, perhiasan, dan peralatan berharga lainnya39. Pada zaman sekarang bila yang mati adalah kepala keluarga (suami) maka separuh warisan dari si mati diberikan kepada kemanakan laki-laki anak dari saudara kandung
36
Amir Syarifuddin, Op. Cit, hal 28 37
Ibid
38
Ibid
39
perempuan, dan separuhya lagi di berikan kepada anak-anak kandungnya40. Warisan yang terutama harus dibagi dua tersebut dinamakan pusako, hal yang sama juga berlaku bagi pusako yang dimiliki istri yang meninggal41.
Dalam adat Sakai yang menarik keturunannya secara Matrilineal memang bertolak belakang dengan garis keturunan menurut Islam yang Bilateral. Demikian pula dengan hukum kewarisannya yang dalam masyarakat Sakai yang dilakukan secara kolektif sedangkan hukum Islam melakukannya secara Individual.
Salah satu contoh sengketa waris yang terjadi di Desa Petani adalah YSF (anak laki-laki) dan NS (anak perempuan). Sebelum orang tua mereka meninggal, orang tua mereka meninggalkan warisan harta peninggalannya berupa satu bidang ladang sebuah rumah, emas dan sebuah sepeda motor. YSF hanya mendapat sebidang ladang dan sebuah sepeda motor, sedangkan NS mendapat sebuah rumah dan emas. Tetapi YSF menolak untuk menerima porsi bagian warisan yang telah ditentukan untuknya. Penyelesaian sengketa waris ini dimusyawarahkan melalui Ketua Adat42. Dalam hal ini Ketua Adat memberi keputusan bahwa harta warisan pewaris dibagi sesuai dengan waris Islam, sehingga dengan demikian para pihak wajib mematuhi keputusan Ketua Adat43.
40
Ibid, hal 192-193 41
Ibid
42
Hasil Wawancara dengan Suibri, Masyarakat Desa Petani, Tanggal 10 Mei 2015 43
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan tersebut diatas, maka akan dilakukan
penelitian tesis yang berjudul ”Pelaksanaan Hukum Waris Islam pada masyarakat
Sakai di Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau”.
B.Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka perumusan masalah adalah sebagai berikut :
1. Mengapa terjadi pergeseran Hukum waris adat menjadi Hukum waris Islam pada masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau ?
2. Bagaimana pelaksanaan Hukum waris Islam pada masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau ?
3. Bagaimana penyelesaian sengketa harta warisan pada masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau ?
C.Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam rangka melakukan penelitian terhadap ketiga permasalahan di atas, adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui penyebab bergesernya Hukum waris adat menjadi Hukum waris Islam pada masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan Hukum waris Islam pada masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau.
D.Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dampak yang positif dalam menambah ilmu pengetahuan dan wawasan hukum di Indonesia baik secara ilmiah maupun secara praktis. Adapun manfaat tersebut antara lain :
1. Secara Teoritis
Hasil penelitan diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bidang Hukum Waris terutama tentang pelaksanaan hukum waris Islam pada Masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau.
2. Secara Praktis
Secara praktis, memberikan sumbangan pemikiran dan pengetahuan kepada masyarakat adat muslin Sakai, praktisi, ketua adat Sakai, dan pihak-pihak terkait lainnya.
E. Keaslian Penelitian
Sepanjang yang diketahui berdasarkan penelusuran kepustakaan dilingkungan Universitas Sumatera Utara khususnya dilingkungan Sekolah Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul ini belum pernah dilakukan. Akan tetapi ditemukan beberapa judul tesis yang berhubungan dengan topik dalam tesis ini antara lain :
1) Farida Hanum, Nim 027011018, dengan judul Pelaksanaan Hukum Waris Islam Dalam Lingkungan Adat Mandailing Godang (Studi Pada Mandailing Godang Kabupaten Madina).
1. Bagaimana pelaksanaan Hukum waris Islam pada masyarakat Mandailing Godang ?
2. Apa sajakah yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan Hukum waris Islam pada masyarakat Madailing Godang ?
3. Bagaimana penyelesaian sengketa masalah harta warisan pada masyarakat Mandailing Godang ?
2) Adi Fitra, Nim 107011062, dengan judul Pengaruh Hukum Waris Islam Terhadap Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Gayo (Studi di Kabupaten Aceh Tengah). Rumusan Masalah :
1. Bagaimana pengaruh hukum waris Islam terhadap hukum waris adat pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah ?
2. Bagaimana perkembangan hukum patah titi pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah ?
3. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinya pergeseran hukum patah titi pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah ?
3) Mika Lestari, Nim 117011027, dengan judul Pelaksanaan Hukum Waris Islam pada Masyarakat Batak Toba (Studi di Kota Medan).
Rumusan Masalah :
2. Bagaimana penyelesaian sengketa yang terjadi dalam pembagian warisan di kalangan masyarakat Batak Toba yang beragama Islam di Kota Medan ? 4) Indamayasari, Nim 137011033, dengan judul Analisis Yuridis Terhadap Penerima
Hibah Yang Melebihi Ketentuan Dalam Hukum Waris Islam (Studi Kasus Putusan No. 85 K/AG/2010).
Rumusan Masalah :
1. Mengapa Kompilasi Hukum Islam memberikan pembatasan dalam pemberian hibah ?
2. Bagaimana akibat hukum hibah yang melebihi ketentuan di dalam Fiqih dan Kompilasi Hukum Islam ?
3. Apakah yang menjadi pertimbangan Hukum hakim terhadap kasus hibah yang melebihi ketentuan HUkum Islam di Pengadilan Agama Medan Nomor 616/Pdt.G/PA-Mdn ?
5) Fatma Yulia, 2008, Universitas Gajah Mada, dengan judul Pandangan Masyarakat Suku Sakai Terhadap Sistem Pewarisan Menurut Hukum Adat di Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau
Rumusan Masalah :
Dari judul penelitian tersebut tidak ada kesamaan dengan penelitian yang penulis lakukan. Dengan demikian judul ini belum ada yang membahasnya sehingga penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
F.Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori merupakan salah satu konsep dasar penelitian sosial. Secara khusus, teori adalah seperangkat konsep/konstruk, defenisi dan proposisi yang berusaha menjelaskan hubungan sistimatis suatu fenomena, dengan cara memerinci hubungan sebab-akibat yang terjadi44. Sehingga bisa dikatakan bahwa suatu teori adalah suatu kerangka kerja konseptual untuk mengatur pengetahuan dan menyediakan suatu cetak biru untuk melakukan beberapa tindakan selanjutnya.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Receptie Exit. Menurut Hazairin, bahwa hukum agama itu bagi rakyat Islam dirasakannya sebagai sebagian dari perkara imannya45. Selanjutnya Hazairin menyatakan bahwa46 Persoalan lain yang sangat mengganggu dan menentang iman orang Islam ialah
“Teori Receptie” yang diciptakan oleh kekuasaan kolonial Belanda untuk merintangi
kemajuan Islam di Indonesia. Menurut teori receptie itu hukum Islam bukanlah hukum, hukum Islam itu baru boleh diakui sebagai hukum jika hukum Islam itu telah menjadi Hukum adat. Tergantunglah kepada kesediaan masyarakat adat penduduk setempat untuk menjadikan Hukum Islam yang bukan Hukum itu menjadi Hukum
44
Sardar Zainuddin, Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Mizan, Bandung, 1996, hal 43
45
Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum, Tintamas, Jakarta, 1974, hal 101
46
adat. Teori receptie, yang telah menjadi darah daging kaum yurist Indonesia yang dididik di zaman Kolonial baik di Jakarta (Batavia) maupun di Leiden, adalah sebenarnya teori iblis, yang menentang iman orang Islam, menentang Allah, menentang Al-Qur’an, menentang sunnah Rasul.
Pada akhirnya tentang keberadaan dan berlakunya teori receptie ini setelah Indonesia merdeka, Hazairin mengemukakan sebagai berikut: Bahwa teori receptie, baik sebagai teori maupun sebagai ketetapan dalam pasal 134 ayat 2 Indisch Staatsregeling sebagai konstitusi Belanda telah lama mati, yaitu terhapus dengan
berlakunya UUD 1945, sebagai konstitusi Negara Republik Indonesia47. Jadi, menurut Hazairin, teori Receptie, yang menyatakan bahwa hukum Islam baru berlaku bagi orang Islam kalau sudah diterima dan menjadi bagian dari hukum adatnya, sebagaimana dikemukakan oleh C.Snouck Hurgronje, adalah teori iblis (syetan) dan telah mati, artinya telah hapus atau harus dinyatakan hapus dengan berlakunya UUD 1945. Pemahaman inilah yang dimaksud dengan teori Receptie Exit.
Teori ini menyebutkan bahwa hukum Islam baru mempunyai kekuatan hukum jika sudah diterima oleh hukum adat48. Hukum Adat pada masyarakat Sakai telah mengalami pergeseran akibat masuknya Agama Islam. Hal ini dapat terlihat dalam kehidupan masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau yang mayoritas telah memeluk
47
Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Tintamas, Jakarta, 1975, hal 8
48
agama Islam, dimana Hukum Islam tersebut telah diberlakukan oleh sebagian masyarakat Sakai dalam pelaksanaan Waris.
Sebagian besar masyarakat Sakai mengikuti hukum Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Hadist, karena mayoritas Suku Sakai beragama Islam. Banyak masyarakat Sakai yang menggunakan hukum Islam untuk membagi warisan. Hal ini pernah dijelaskan dalam teori Receptio in Complexu yang mengungkapkan bahwa adat-istiadat dan hukum adat suatu golongan hukum masyarakat adalah receptio (penerimaan) seluruhnya dari agama yang dianut oleh golongan masyarakat itu. Hukum adat suatu golongan masyarakat adalah penerimaan secara bulat dari hukum agama yang dianut oleh golongan masyarakat itu. Dalam hal ini, Suku Sakai secara mayoritas beragama Islam dan menggunakan hukum Islam untuk membagi warisannya.
Menurut teori Receptie Exit, pemberlakuan hukum Islam tidak harus didasarkan atau ada ketergantungan kepada hukum adat. Pemahaman demikian lebih dipertegas lagi antara lain dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, tentang perkawinan, yang memberlakukan hukum Islam bagi orang Islam (pasal 2 ayat 1), Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan Agama Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI).
Selain itu, didalam penelitian ini digunakan teori pendukung, yaitu teori keadilan. Berbicara tentang keadilan, kiranya perlu meninjau berbagai teori para ahli, salah satunya adalah Plato49. Dalam mengartikan keadilan Plato sangat dipengaruhi oleh cita-cita kolektivistik yang memandang keadilan sebagai hubungan harmonis,
49
dengan berbagai organisme sosial, setiap warga Negara harus melakukan tugasnya sesuai dengan posisi dan sifat alamiahnya50.
Prinsip keadilan yang dapat diterima seluruh masyarakat akan menjadi prinsip keadilan yang bukan sekedar lahir dari kata setuju, tetapi benar-benar merupakan jelamaan kesepakatan yang mengikat dan mengandung isyarat komitmen menjaga kelestarian prinsip keadilan tersebut51. Masalah keadilan muncul ketika ketika individu-individu yang berlainan mengalami konflik atas kepentingan mereka, maka prinsip-prinsip keadilan harus mampu tampil sebagai pemberi keputusan dan penentu akhir bagi perselisihan masalah keadilan52. Sehingga penyelesaian sengketa waris pada masyarakat Sakai akan menimbulkan keadilan bagi para pihak, baik secara adat maupun secara Islam.
2. Konsepsi
Kerangka konseptual adalah penggambaran antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dalam arti yang berkaitan, dengan istilah yang akan diteliti dan/atau diuraikan dalam karya ilmiah.53
Adapun uraian dari konsep atau istilah yang digunakan dalam penulisan ini agat terlaksana sesuai dengan tujuan yang akan ditentukan diantaranya adalah : a. Hukum Kewarisan adalah adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan
hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing54.
50
Ibid, hal 91-92 51
Ibid
52
Ibid
53
b. Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki atau perempuan yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan maupun hak-hak yang diperoleh beserta kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan selama hidupnya, baik dengan surat wasiat maupun tanpa surat wasiat55.
c. Ahli Waris adalah orang yang berhak mewaris karena hubungan kekerabatan (nasab) atau hubungan perkawinan (nikah) dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris56.
d. Harta Waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat57. e. Sistem Kekerabatan Matrilineal adalah Sistem Kekerabatan yang berdasarkan
pertalian keturunan melalui keibuan yang menarik garis keturunannya dari pihak ibu terus keatas58.
f. Sistem Kekerabatan Parental adalah sistem kekerabatan yang berdasarkan pertalian keturunan melalui ayah dan ibu yang menarik garis keturunannya melalui pihak ayah dan pihak ibu ke atas59
g. Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah kegiatan pengumpulan atau sesuatu yang dihimpun. KHI di Indonesia merupakan langkah awal dalam kodifikasi hukum islam
54
Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, Fokus Media, 2006, hal 107
55
Zainuddin Ali, Op. Cit, hal 85
56
Ibid, hal 47
57
Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, Fokus Media, 2006, hal 107
58
Zainuddin Ali, Op. Cit, hal 26 59
dibidang muamalah yang berlaku yuridiksi Peradilan Agama bagi warga Negara Indonesia yang beragama Islam. KHI berlaku sah dan dijadikan pedoman bagi seluruh Peradilan Agama di Indonesia berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 dan Keputusan Menteri Agama No. 154 Tahun 1991 tertanggal 22 Juni 199160.
h. Masyarakat Sakai adalah sekelompok orang campuran Vedoid dengan Minangkabau yang bermigrasi sekitar abad ke-14, dan menganggap bahwa mereka datang dari negeri Pagaruyung61.
G. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu penelitian yang akan menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara menyeluruh tentang masalah dan sistem hukum dan mengkajinya secara sistematis sehingga dapat lebih mudah dipahami dan disimpulkan.
2. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian dilakukan melalui pendekatan Yuridis Empiris. Pendekatan yuridis dilihat dari segi perundang-undangan, peraturan-peraturan serta norma hukum yang relevan. Sedangkan pendekatan empiris menekankan pemelitian bertujuan untuk memperoleh pengetahuan empiris dengan jalan terjun langsung ke lapangan62.
60
Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, Fokus Media, 2006 61
Parsudi Suparlan, Op. Cit, hal 72 62
Penelitian ini digunakan karena data-data yang dibutuhkan berupa hasil wawancara dengan para informan.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis, sebab Kecamatan Mandau banyak dihuni oleh masyarakat adat Sakai yang telah beragama Islam. Kecamatan Mandau terdiri dari 15 desa, sehingga akan diambil 3 Desa sebagai sampel yaitu, Desa Petani, Desa Kesumbo Ampai, dan Desa Bumbung.
4. Populasi dan Teknik Sampling
Populasi adalah seluruh objek atau seluruh individu atau seluruh gejala atau seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti63. Populasi atau Universe adalah seluruh obyek atau seluruh individu atau seluruh gejala atau seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti64. Populasi biasanya sangat besar dan sangat luas, maka kerap kali tidak mungkin untuk meneliti seluruh populasi itu. Dalam suatu penelitian sebenarnya tidak perlu meneliti semua obyek atau semua individu atau semua kejadian atau semua unit tersebut untuk dapat memberikan gambaran yang tepat dan benar mengenai keadaan populasi tersebut, maka cukup diambil sebagian saja untuk dapat diteliti sebagai sampel.
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat suku Sakai muslim yang tinggal di Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis yang terdiri dari 15 Desa yaitu :
1. Desa Harapan Baru 2. Desa Sebangar
63
Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, Alumni, Bandung, 2000, hal 44. 64
3. Desa Balai Makam
Dari 15 Desa tersebut akan diambil 3 Desa sebagai sampel, dan dari setiap Desa akan diambil 5 Orang sebagai responden.
Tabel 2
Alasan pemilihan 3 desa tersebut sebagai sampel adalah karena sebagian Orang sakai di desa tersebut mayoritas memeluk agama Islam66. Kemudian dari tiap desa diambil masing-masing lima kepala keluarga sebagai responden. Pertimbangan dalam pemilihan para responden adalah, Orang sakai yang merupakan penetap lama,
65
Situs Resmi Pemerintahan Kabupaten Bengkalis Government Of Bengkalis Refency, Selasa 03 Februari 2015, http://www.bengkaliskab.go.id/statis-18-kecamatan-mandau.html, diakses pada tanggal 20 April 2015
66
yang telah memeluk agama Islam dalam waktu yang lama, dan telah menggunakan waris Islam dalam menyelesaikan warisannya.
Teknik Sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah Purposive Sampel. Mardalis dalam bukunya mengemukakan bahwa67 Penggunaan teknik Purposive Sampel mempunyai suatu tujuan atau dilakukan dengan sengaja, cara penggunaan sampel ini diantara populasi sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya. Penggunaan teknik ini senantiasa berdasarkan kepada pengetahuan tentang ciri-ciri tertentu yang telah didapat dari populasi sebelumnya.
5. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Selain itu digunakan juga data sekunder yang terdiri dari bahan-bahan hukum, yaitu :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas (autoritatif)68. Bahan hukum primer dalam penelitian ini terdiri dari : Al-Qur’an dan Hadist.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder berupa bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer seperti doktrin (pendapat para ahli), buku-buku, jurnal hukum, makalah, media cetak dan elektronik.
c. Bahan Hukum Tersier
67
Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Bumi Aksara, Jakarta, 1989, hal 58
68
Bahan hukum yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang relevan untuk melengkapi data dalam penelitian ini, yaitu seperti kamus umum, majalah dan internet serta bahan-bahan diluar bidang hukum yang berkaitan guna melengkapi data.
6. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya, maka dalam penelitian ini menggunakan 2 (dua) alat pengumpulan data yaitu :
1. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan dengan menelaah semua literatur yang berhubungan dengan topik penelitian yang sedang dilakukan. Data ini diperoleh dengan mempelajari buku-buku, hasil penelitian, dokumen-dokumen perundang-undangan yang ada kaitannya dengan penelitian ini.
2. Studi Lapangan
Data atau materi pokok dalam penelitian diperoleh langsung melalui penelitian dengan penyebaran kuesioner dan wawancara secara bebas dan terbuka dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah disiapkan terhadap 1 (satu) orang Kepala Desa, 2 (dua) orang Ketua Adat dan 1 (satu) orang Pemuka Agama di Kecamatan Mandau sebagai Informan.
7. Alat Pengumpul Data
a. Studi Dokumen, yang akan dilakukan dengan kegiatan penelusuran peraturan perundang-undangan dan sumber hukum positif lain dari sistem hukum yang dianggap relevan dengan pokok persoalan hukum yang sedang dihadapi69.
b. Wawancara , yaitu dengan menemui secara langsung pihak-pihak yang terkait dalam penelitian ini seperti 1 (satu) orang Kepala Desa, 2 (dua) Orang Ketua Adat dan 1 (satu) Orang Pemuka Agama di Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis. c. Kuesioner, yaitu memberikan seperangkat pertanyaan atau pernyataan kepada
responden, yaitu masyarakat sakai yang beragama Islam.
8. Analisis Data
Setelah semua data yang diperlukan terkumpul secara lengkap dan disusun secara sistematis, selanjutnya akan dianalisis. Dalam penelitian ini penulis memilih metode analisis data secara kualitatif yaitu analisis berupa kalimat dan uraian. Dimana terlebih dahulu dilakukan pengkajian terhadap data yang diperoleh selama penelitian, kemudian dianalisi dengan teori yang melandasinya untuk mencari dan menemukan hubungan/relevansi antara data yang diperoleh, kemudian ditarik kesimpulannya dengan menggunakan metode induktif mengenai pelaksanaan Hukum waris Islam pada masyarakat Sakai di Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis.
69