• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia D 902011106 BAB VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia D 902011106 BAB VI"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

229

Bab VI

Sensor dan Ekhibisi

Sesudah film selesai diproduksi, maka pembuatnya harus segera mendaftarkan film tersebut ke Lembaga Sensor Film untuk diperiksa dan diberi ijin untuk ditayangkan. Ijin tersebut berupa surat tanda lolos sensor dari LSF. Jika pembuat film sudah memperoleh ijin tersebut, barulah film itu ia bawa ke ekshibitor (pengusaha bioskop) untuk negosiasi penayangan filmnya di layar lebar.

Lembaga Sensor Film telah ada sejak era kolonialisme, jaman penjajahan Belanda. Peraturan sensor atas film mulai diterapkan di bioskop tahun 1900 karena berbagai konten yang dianggap tidak layak disaksikan masyarakat pribumi, karena Belanda khawatir bagsa jajahan akan memberontak. Sejak mulai beroperasinya Nederlandsche Bioscope Maatschappij (Perusahaan Bioskop Belanda) di sebuah rumah di Kebon Jahe, Tanah Abang di sebelah pabrik kereta/bengkel mobil (Maatschappij Fuchss) 5 Desember 1900, enam tahun kemudian dibuatlah peraturan sensor film.

Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Ordonansi pada tahun 1916 yang mengatur tentang film dan cara penyelenggaraan

usaha bioskop atau ‖gambar idoep‖. Lembaga tersebut bernama

Commissie voor de Kuering van Films atau Komisi Pemeriksa Film (KPF). Sebagaimana disebutkan dalam Film Ordonantie No. 276, sistem penyensoran dilakukan pada pra-produksi, melalui deskripsi film. Jika dianggap perlu, film dipertunjukkan kepada KPF.

(2)

termasuk mengubah pandangan inlanders terhadap tuan-tuan kulit putih yang berkuasa (http://www.lsf.go.id/publik/content/, diunduh tanggal 1 November 2016).

Sejarah Sensor Film di Indonesia

Melalui laman lembaga sensor film, penulis mendapatkan informasi tentang perkembangan sensor atas film di Indonesia. Adalah Sir Hesketch Bell yang memberikan kesaksian, lewat buku

Administration in the Far East (1926) dalam perjalanan di Asia, bahwa tak satu pun manusia yang ditemuinya tak sependapat bahwa dampak film sangat menyedihkan bagi kewibawaan orang Eropa di Timur Jauh. Sebelum bioskop menyajikan bagian yang tidak baik dari masyarakat kulit putih, banyak bangsa kulit berwarna tidak mengetahui kejatuhan moral di kalangan terrtentu dalam masyarakat Barat. Penulis membagi sejarah perkembangan sensor di Indonesia ke dalam tiga masa, yaitu (i) masa penjajahan Belanda, (ii) masa penjajahan Jepang, dan (iii) masa kemerdekaan, (iv) era pasca reformasi.

Masa Penjajahan Belanda

Menyadari pengaruh buruk film dan bioskop, terutama yang dalam kacamata pemerintah kolonial yang dianggap menyerang kewibawaan mereka secara psikologis. Film Ordonansi 276 tahun 1916 pun berkali-kali mengalami pembaharuan sebagaimana yang tertera dalam Lembaran Negara No.377 (1919), No.688 (1919), dan No.742 (1922). Dalam Film Ordonantie No.377 (1919), disebutkan bahwa KPF memiliki kewenangan:

1. mengizinkan film

2. mengizinkan pertunjukan film ke khalayak untuk sementara 3. menolak film seutuhnya atau sebagian.

(3)

Sensor dan Ekhibisi

231 jika dianggap perlu, film dipertunjukkan kepada KPF. Hanya saja, terdapat tambahan berupa larangan antara lain adalah:

1. mengganggu ketertiban umum;

2. melanggar kesusilaan, tata krama; atau,

3. mengandung pengaruh yang merusak, seperti 'bahasa' atau 'perilaku' kasar; atau,

4. mempunyai pengaruh buruk terhadap penonton.

Masih pada tahun yang sama, dibuat aturan tambahan dalam Film Ordonantie No. 742, yaitu anak-anak yang belum mencapai usia 15 tahun dilarang menonton film, kecuali:

1. KPF menyatakan bahwa film tersebut dianggap tidak merusak anak;

2. ada pengumuman yang jelas pada semua tempat termasuk di pintu masuk dan tertera pada karcis masuk bahwa film tersebut layak bagi anak-anak (semua umur).

Pada tahun 1922, sebagaimana yang disebutkan dalam Lembar Negara No. 688, ada tambahan peraturan dalam paragraf 6 Film Ordonantie No. 377 (1919), yaitu: ‖Untuk membiayai administrasi dan pengawasan, pemohon membayar uang yang jumlahnya akan ditetapkan oleh Gubernur Jenderal kepada komisi sensor sebagai

imbalan untuk penyensoran setiap film yang diajukan.‖

Pada tahun 1925, melalui Film Ordonnantie 1925, Staadblad

No.477, yang diberlakukan 1 Januari 1926, dilakukan pembaharuan seputar masalah KPF dengan meningkatkan sifatnya yang regional menjadi sentral bagi seluruh Hindia Belanda. Komisi ini beranggotakan 15 orang, termasuk 4 wanita Eropa, 1 wanita pribumi, 4 orang berkebangsaan bukan Eropa. Pada Film Ordonnantie No. 477, tahun 1925, disebutkan:

(4)

2. KPF menolak film yang dianggap melawan ketertiban umum, kesusilaan, atau dengan alasan lain merusak atau menentang tatakrama untuk orang berusia lebih dari 17 tahun;

3. KPF memberi kesempatan kepada pemilik film yang filmnya ditolak (sebagian atau seluruhnya) untuk mengajukan keberatan atau keinginannya sebelum keputusan terakhir diambil;

4. Bagian film yang ditolak akan dimusnahkan;

5. Kepala Pemerintahan setempat dapat melarang pertunjukan hanya karena alasan ketertiban umum setempat;

6. Gubernur Jenderal dapat mengizinkan pertunjukan film yang ditolak oleh komisi kepada orang atau lembaga tertentu untuk tujuan riset ilmu pengetahuan atau untuk tujuan khusus yang lain;

Film Ordonnantie 1925 tersebut diperbaharui lagi oleh Film Ordonnantie 1926 (vide Staadblad No. 7), yang empat tahun kemudian diperbaharui lagi oleh Film Ordonnantie 1930 (vide Staadblad No. 447).

Masa Penjajahan Jepang

Pada tahun 1942, Pemerintahan Hindia Belanda bertekuk lutut di hadapan tentara pendudukan Jepang. Film Commissie dibubarkan. Penggantinya adalah Dinas Propaganda Tentara Pendudukan Jepang yang disebut Sendenbu Eiga Haikyusha (Peredaran Film) pada bulan Desember 1942. Beberapa peraturan baru dibuat, isinya adalah:

Film-film Hollywood dilarang kecuali berisi konten: 1. kejahatan barat

2. persahabatan dengan Asia

Film-film yang dibolehkan harus mempertunjukkan: 1. kehebatan militer Jepang

(5)

Sensor dan Ekhibisi

233 Film-film yang diproduksi harus:

1. menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Jepang

2. menggambarkan hubungan yang baik antara Jepang dan Asia 3. menggambarkan semangat nasionalisme

4. memperlihatkan kehebatan tentara Jepang

5. memperlihatkan kekayaan alam demi kesiapan menghadapi perang Pasifik.

Masa Kemerdekaan

Pada masa perjuangan fisik untuk mempertahankan Republik Indonesia antara tahun 1945-1946, tidak ada lembaga yang menangani penyensoran film. Baru pada tahun 1948 diberlakukan kembali Film Ordonnantie 1940, yang lebih disempurnakan dan dimuat dalam

Staadblad No. 155, yang menyatakan bahwa urusan pengawasan film dilakukan oleh ―Panitia Pengawas Film‖ (PPF) di bawah Directeur van Binnenlandsche Bestuur. Dalam kawasan yang masih dikuasai oleh Pemerintahan RI, khususnya di Yogyakarta, Dewan Pertahanan Nasional menerbitkan surat keputusan dan membentuk ―Badan Pemeriksaan Film‖ yang diangkat dan diberhentikan serta bertanggung jawab kepada Menteri Penerangan RI.

Pada tahun 1951, pemerintah menetapkan film memiliki aspek pendidikan dan budaya, sehingga PPF dipindah menjadi berada di bawah Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K). Ketentuan tersebut sebagaimana yang dipaparkan dalam Undang-Undang No. 23/ 1951, Tentang Penyerahan Urusan Penilikan Pilem dari Kementerian Dalam Negeri Kepada Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, yang mulai diberlakukan pada tanggal 20 November 1951.

Dari Undang-undang No. 23 Tahun 1951, terlahir Keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan RI, No. 40439/ Kab. Tahun 1952. Keputusan Menteri ini memberi instruksi kepada Panitia Pengawas Film (PPF), selain melaksanakan pasal 9 Film Ordonantie

(6)

percakapan-percakapan, dan tulisan-tulisan atau inti moral dalam film-film yang bersifat:

1. menganjurkan perang;

2. melanggar codex perwira (azas kesatrian)

3. memperlihatkan usaha untuk merobohkan pemerintah sendiri; 4. memperlihatkan bahwa sesuatu tujuan atau maksud, baik

maupun buruk, dapat dicapai dengan memakai kekerasan yang menggunakan senjata berlebih-lebihan, berulang-ulang.

Pemerintah RI menganggap bahwa bangsa Indonesia tidak boleh terkontaminasi oleh propaganda pihak asing melalui film yang dipertunjukkan untuk umum. Hal itu dikarenakan bangsa Indonesia sedang berjuang untuk tetap ‗merdeka atau mati‘. Pemerintah menganggap bisa saja berbagai pesan disisipkan ke dalam film, yang akan mempengaruhi opini masyarakat, sehingga secara tidak sadar mereka mulai berpihak kepada pihak Belanda/ penjajah.

Pada tanggal 5 Agustus 1964 telah diterbitkan Penetapan Presiden Nomor 1/ 1964. Dalam Penetapan Presiden tersebut di antaranya ada penegasan bahwa film yang dibuat di Indonesia, wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Menjadi pendukung dan pembela dasar-dasar ideologi Pancasila dan Idologi negara Pancasila dan manifesto politik beserta pedoman pelaksanaannya;

2. Dalam menggambarkan hal-hal yang mengandung pemberitaan kebijaksanaan, pemerintah memelihara agar supaya pemberitaan dan ulasan itu bersifat konstruktif dan tetap berpedoman pada manifesto politik beserta pedoman pelaksanaannya;

3. Memperlihatkan syarat-syarat ketertiban umum dan peraturan yang berlaku.

4. Film yang diimpor harus memenuhi syarat-syarat:

(7)

Sensor dan Ekhibisi

235 b. Tidak menjadi alat propaganda ideologi lain

c. Sesuai dengan syarat-syarat ketertiban umum di Indonesia.

Melalui Instruksi Presiden No. 012/ 1964, urusan film dialihkan dari Kementerian PP dan K kepada Kementerian Penerangan. Sejauh menyangkut PPF, pada tanggal 21 Mei 1965 ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 46/SK/M/1965 yang mengatur penyelenggaraan penyensoran film di Indonesia melalui suatu lembaga yang bernama ―Badan Sensor Film‖ (BSF). Adapun fungsi dan tugas BSF tetap menitikberatkan pada upaya menghindarkan masyarakat dari pengaruh buruk film, dan memperjelas eksistensi dan fungsi film untuk turut memantapkan program membangun nasionalisme (nation and character building).

Pembaharuan di Masa Orde Baru Memasuki awal dasawarsa 1990-an, keinginan sebagian besar masyarakat agar dibenarkan adanya beberapa stasiun televisi swasta untuk mendampingi TVRI semakin tidak terbendung lagi. Untuk mengantipasi segala kemungkinan, mulailah digiatkan persiapan dan penyelenggaraan jajak pendapat tentang perlunya Undang-undang tentang Perfilman.

Pada tanggal 30 Maret 1992 ditetapkanlah Undang-Undang No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman. Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1992 tersebut, dinyatakan bahwa ―sensor film adalah penelitian dan penilaian terhadap film dan reklame film untuk menentukan dapat atau tidaknya sebuah film dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum, baik secara utuh maupun setelah peniadaan bagian gambar atau suara tertentu‖. Di dalam UU tersebut, film diarahkan untuk:

1. melestarikan dan mengembangkan nilai budaya bangsa;

2. membangun watak dan kepribadian bangsa serta dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia;

3. membina persatuan dan kesatuan bangsa; 4. meningkatkan kecerdasan bangsa;

(8)

6. menjaga keserasian dan keseimbangan di antara berbagai kegiatan dan jenis usaha perfilman;

7. menjamin terpeliharanya ketertiban umum; 8. tidak merusak moral dan kesusilaan;

9. menjadi sarana hiburan yang sehat dengan demikian konten film harus sesuai dengan norma-norma kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dengan tetap berpedoman pada asas usaha bersama dan kekeluargaan, asas adil dan merata, asas perikehidupan dalam keseimbangan, dan asas kepercayaan pada diri sendiri.

UU Perfilman Tahun 1992 melahirkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film (LSF). PP No. 7 Tahun 1994 berisi tentang kewenangan LSF sebagai berikut:

1. meluluskan sepenuhnya suatu film dan reklame film untuk diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum;

2. memotong atau menghapus bagian gambar,adegan, suara dan teks terjemahan dari suatu film dan reklame film yang tidak layak untuk dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum;

3. menolak suatu film dan reklame film yang tidak layak untuk untuk diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum;

4. menetapkan penggolongan usia penonton;

5. menyimpan dan/ atau memusnahkan potongan film hasil penyensoran dan film serta rekaman video impor yang sudah habis masa hak edar;

Era Pasca Reformasi

(9)

Sensor dan Ekhibisi

237 dengan melahirkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2009. Pasal 1 UU Perfilman 2009, menyebutkan bahwa:

―Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan.

Perfilman adalah berbagai hal yang berhubungan dengan film. Budaya bangsa adalah seluruh sistem nilai, gagasan, norma, tindakan, dan hasil karya bangsa Indonesia di seluruh wilayah nusantara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Kegiatan perfilman adalah penyelenggaraan perfilman yang langsung berhubungan dengan film dan bersifat nonkomersial. Usaha perfilman adalah penyelenggaraan perfilman yang langsung berhubungan dengan film dan bersifat komersial. Masyarakat adalah warga negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang perfilman.

Iklan film adalah bentuk publikasi dan promosi film.

Insan perfilman adalah setiap orang yang memiliki potensi dan kompetensi dalam perfilman dan berperan dalam pembuatan film.

Sensor film adalah penelitian, penilaian, dan penentuan kelayakan film dan iklan film untuk dipertunjukkan kepada khalayak umum.‖

Film-film yang dilarang berdasarkan UU No. 33 Tahun 2009 pasal 6, adalah jenis film yang:

1. mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahagunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;

2. menonjolkan pornografi

3. memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku, antar-ras, dan/atau antargolongan

4. menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai-nilai keagamaan;

(10)

Pada UU Nomor 33 Tahun 2009 ini, penonton digolongkan ke dalam rentang usia sebagai berikut: (i) Semua Umur (SU), (ii) 13 tahun atau lebih, (iii) 17 tahun atau lebih, dan (iv) 21 tahun atau lebih. Adapun aturan yang berkenaan dengan sensor film tertera pada Bab VI Pasal 57 yang menyebutkan bahwa:

1. Setiap film dan iklan film yang akan diedarkan dan atau dipertunjukkan wajib memperoleh surat tanda lulus sensor. 2. Surat tanda lulus sensor sebagaimana dimaksud pada ayat

satu (1) diterbitkan setelah dilakukan penyensoran yang meliputi:

a. penelitian dan penilaian tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan suatu film yang akan diedarkan dan/ atau dipertunjukkan kepada khalayak umum;

b. penentuan kelayakan film dan iklan film untuk diedarkan dan/atau dipertunjukkan kepada khalayak umum; dan c. penentuan penggolongan usia penonton film.

3. Penyensoran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan prinsip memberikan perlindungan kepada masyarakat dari pengaruh negatif film dan iklan film.

Pada Pasal 58, juga disebutkan bahwa:

1. Untuk melakukan penyensoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 Ayat (2) dan Ayat (3) dibentuk lembaga sensor film yang bersifat tetap dan independen.

2. Lembaga Sensor Film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia.

3. Lembaga Sensor Film bertanggung jawab kepada presiden melalui menteri.

4. Lembaga Sensor Film dapat membentuk perwakilan di ibu kota provinsi.

(11)

Sensor dan Ekhibisi

239

"Surat tanda lulus sensor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 Ayat (1) diterbitkan oleh lembaga sensor film"

Prinsip penyensoran juga dapat dilihat pada Pasal 60 yang berbunyi:

1. Lembaga Sensor Film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) melaksanakan penyensoran berdasarkan pedoman dan kriteria sensor film yang mengacu kepada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7.

2. Lembaga Sensor Film melaksanakan penyensoran berdasarkan prinsip dialog dengan pemilik film yang disensor.

3. Lembaga Sensor Film mengembalikan film yang mengandung tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan yang tidak sesuai dengan pedoman dan kriteria sensor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pemilik film yang disensor untuk diperbaiki.

4. Lembaga Sensor Film mengembalikan iklan film yang tidak sesuai dengan isi film sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 21 ayat (2) kepada pemilik iklan film untuk diperbaiki.

5. Lembaga Sensor Film dapat mengusulkan sanksi administratif kepada pemerintah terhadap pelaku kegiatan perfilman atau pelaku usaha perfilman yang melalaikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan 7.

Selanjutnya, Pasal 61 disebutkan bahwa:

1. Lembaga Sensor Film memasyarakatkan penggolongan usia penonton film dan kriteria sensor film.

2. Lembaga Sensor Film membantu masyarakat agar dapat memilih dan menikmati pertunjukan film yang bermutu serta memahami pengaruh film dan iklan film.

(12)

UU Perfilman Tahun 2009 memberi arahan dan amanat bahwa LSF senantiasa mengedepankan prinsip dialog dalam menjalankan penyensoran. Bahkan LSF sangat membuka ruang konsultasi pra-sensor bagi kreator yang hendak mendiskusikan filmnya. Dialog pra-sensor sudah berjalan secara efektif, yang pada akhirnya ketika film disensor sudah bersih dari konten yang tidak diperkenankan oleh Undang-undang. Dialog pra-sensor, tidak dikenakan biaya apapun.

Saat ini Lembaga Sensor Film dipimpin olej Dr. Ahmad Yani Basuki, M. Si., dan Wakil Ketua Drs. Dody Budiatman, disertai beberapa staf. Kepengurusan LSF ini masa kerjanya dimulai sejak tahun 2015-2019. Kantor Sekretariat LSF berlokasi di Gedung Film lantai 6, Jl. M.T. Haryono Kav.47-48 Jakarta. Sayangnya, ketika penulis mampir ke sana pada bulan Agustus-Oktober 2015, tidak ada yang bisa dan bersedia diwawancarai.

Penulis hanya mendapatkan informasi tentang rekapitulasi jumlah film yang lolos sensor dalam periode empat tahun terakhir melalui laman LSF (http://lsf.go.id). Statistik menunjukkan bahwa jumlah film di televisi yang masuk sensor dan lolos terus meningkat selama empat tahun terakhir. Sementara, jumlah film di bioskop yang lolos sensor relatif stabil pada periode tersebut. Data tersebut ditunjukkan pada Gambar 6.1 dan Tabel 6.1.

Sumber: LSF, 2016

(13)

S

e

n

so

r d

an

E

kh

ib

is

i

2

4

1

Tabel 6.1. Rekapitulasi Data Lulus Sensor Tahun 2016

(14)

Perdebatan Sensor Film di Indonesia

Sensor senantiasa menjadi perdebatan dari masa ke masa. Beberapa wawancara pendahuluan di tahun 2007 telah penulis lakukan dengan Ibu Titie Said10

(almarhum) yang menjabat Ketua Badan Sensor Film di tahun tersebut, serta Bapak Slamet Rahardjo dan Riri Riza yang mewakili pembuat film.

Penulis ingin tahu mekanisme sensor film di Indonesia Pasca Reformasi, dan bagaimana tanggapan para pembuat film atas mekanisme sensor itu. Penulis membaca di surat kabar dan majalah

Cinemags bahwa sensor film sebenarnya sudah tidak diperlukan lagi di era Pasca Reformasi ini. Riri Riza termasuk salah satu movie-maker

yang menolak adanya sensor atas film Indonesia. Berikut ini adalah kutipan wawancara-wawancara tersebut, yang sengaja disajikan dalam

kondisi ―mentah‖ untuk memberi gambaran proses coding (Manurung, E.M., 2008).

Elvy : jadi maksud Ibu, film Indonesia bukan public domain tapi domain-nya negara, ya, bu?

Titie : Ngga juga, 45 itu –kita ini ada 45 orang—16 dari masyarakat, dari berbagai instansi dan departemen, 10 dari organisasi, ada organisasi keagamaan, ada organisasi perempuan, ada organisasi para pakar. Elvy : jadi, biarpun di-regulate tapi toh menampung

aspirasi dari masyarakat, begitu maksud ibu?

Titie : Iya, iya, jadi semua itu menampung aspirasi. Oh, regulasi itu perlu!Amerika tidak punya Undang-undang koq, tapi karena mereka itu sudah maju dan satu persepsi, maka bisa. Persepsinya satu, kalo anak ngga boleh, orang tua juga ngga ngasih. Dia beli di toko-toko porno misalnya, ya ngga boleh, ditangkap, ada sanksinya. Biarpun yang jual anak-anak, kalo ketahuan bisa ditangkap, ada peraturannya ada sanksinya. Makanya kita perlu lembaga ini... Sebab

10

(15)

Sensor dan Ekhibisi

243

kalo anda melihat, wah kalau saya biarkan,

audzubilah… ada adegan-adegan yang wow… Jadi

kalo masuk bioskop, klasifikasi itu harus ada! Elvy : jadi tugas-tugas menyensor itu apa aja, sih, bu? Titie : pertama mereka (para pembuat film) harus daftar

dulu ke Direktorat Film, kemudian disaring dulu di sana, baru ke sini, di sinilah kita melakukan sensornya, 1 kelompok itu 5 orang, siapa dengan siapa itu tidak ada yang tahu kecuali saya, saya anu ngga hafal, itu sudah satu bulan sebelumnya dikelompokkan. Mereka tonton satu demi satu, kemudian di sensornya saya turut melihat, ceritanya apa, genrenya apa, drama, komedi, atau apa? Horor? Elvy : Ok bu, jadi alasan penyensoran masih tetap ada

sampai saat ini, lebih karena keadaan masyarakat kita yang belum siap?

Titie : Iya, dan masyarakatnya juga berbagai-bagai. Seniman muda teriak: kebebasan, tetapi yang agamis juga menolak: hargai keyakinan saya… Nah, ini juga

(16)

Elvy : Kita punya UU No. 8 Tahun 1992, dan PP No 7 Tahun 1994 tentang LSF. Maksud ibu direvisi, apanya?

Titie : Sesudah PP masih ada Peraturan Menteri juga, kalo mau direvisi yah semuanya. Kita kan payungnya UU, jadi mulai dari Undang-undangnya dulu. Sekarang inipun, sebenarnya sudah mulai ada perubahan-perubahan, misalnya dulu tugas LSF hanya di Jakarta. Sekarang, sejak ada TV lokal, maka di daerah pun harus ada yang namanya sensor, iya kan? Mau ubah nama LSF jadi LKF atau apapun, mau mengklasifikasi umur dan sebagainya, intinya kan tetap sama, harus ada yang melarang, sudah jadi Lembaga Klasifikasi pun kita masih bisa menolak koq, kalo ternyata film itu tidak cocok klasifikasi

umur penontonnya. Gitu…

Elvy : Jadi LSF sekarang sedang mencari bentukan yang

‗pas‘ ya bu, supaya semua pihak diuntungkan?

Titie : Iya, tapi ya ngga bisa, tetap aja harus ada yang menyensor. Coba aja lihat tontonan sekarang, ada

―Buser‖, ada kriminal dan segala macam. Itu apa? Itu kan merefleksikan keadaan masyarakat di suatu tempat, pada suatu saat? Jadi gimana, anak-anak yang menonton itu terus dapat apa? Demokrasi kayak gimana, anak-anak menentukan tontonannya sendiri? Ngga bisa, orang tuanya juga ngga bisa diandalkan, lha wong anak-anak sekarang ditinggal sendirian koq di rumah. Trus di sinetron, kenapa banyak ibu-ibu yang kalo ngomong matanya harus mendelik? Di sinetron kan mata ibu-ibu pada

mendelik semua… (interupsi telepon..) jadi film itu

bisa mempengaruhi budaya, karena bisa mengubah pola pandang, pola pikir kita. Gitu, jadi film dalam arti semua ya –dvd, vcd, segala macam tontonan— bisa mengubah mindset kita.

(17)

Sensor dan Ekhibisi

245 kutipan-kutipan wawancara dengan Bapak Slamet Rahardjo, Riri Riza, dan Ariani Darmawan di tahun 2007 (Manurung, E.M., 2008).

Elvy : Jadi menurut bapak, film itu domain-nya siapa, domain negara?

Slamet : Negara itu ngga ada urusannya dengan film. Kalau kita percaya antara State, Nation, People, itu beda dong! Bahwa sebuah negara dalam batas wilayah nasional, dan kerja samanya dengan negara lain yang disebut global, maka sangatlah naïf jika kita menganggap bahwa Nation itu tidak ada. Itu kan berarti kita ditipu mati-matian, seolah-olah

borderless-lah, nationless-lah, yah kalo begitu caranya mana pernah ada Kancil menang ama Harimau? Itu mah hutan belantara yang diberikan, itu yang namanya persaingan bebas yang tanpa ukuran. Nah, saya menolak globalisasi dari awal, saya tidak menginginkan persaingan bebas, yang saya inginkan adalah persaingan yang fair. Jadi bukan free market atau free competition, tapi fair market, fair competition. Harus tetap ada yang mengatur...

Elvy : Jadi, maunya peran pemerintah sekarang, lebih ke arah apa?

(18)

Gubernur atau Kepala Daerah Provinsi masing-masing, bicara soal pajak, untuk melakukan apa yang namanya.. misalnya seperti ‗tax holiday‘ atau

pengurangan pajak. Misalnya bicara seperti ini, bagaimana kalau pajak tontonan dikurangi dari 20% menjadi 10%, pasti akan memicu produktifitas orang-orang film. daripada menyumbang pajak 20 % tapi cuma 2 kali, mendingan kan menyumbang pajak 10% tapi 10 kali?

Elvy : yang menentukan pembagian 40 : 40 (yang 20% untuk pajak) antara pengusaha bioskop dengan produser, itu siapa?

Riri : Yah, itu adalah aturan baku. Udah dari sononya kaya gitu, sama seperti di Amerika, di mana-mana. Karena tidak ada peraturan mengenai itu, maka bioskop bikin aturan sendiri, di sini bioskop kan cuma satu? Dan organisasi film itu mandul, ada yang namanya persatuan perusahaan film Indonesia, itu juga mandul, ngga bisa turun ke jalan bersama-sama dan ngomong ke twenty-one : gue maunya gini! Dan juga karena pemerintahnya mandul.

Elvy : Padahal kondisi perfilman kita saat ini sudah mulai

profitable ya, mas. Masa, ngga punya bargaining power ?

Riri : karena bargaining power kami lemah sekali, mestinya sih bisa dan ada yang punya peran lebih dari itu.

Catatan untuk proses coding transkrip wawancara: warna kuning untuk kode peran pemerintah dalam sensor film (yang sudah ada dan yang diharapkan), warna hijau untuk kode butuh penggalian informasi lebih lanjut (meragukan).

(19)

Sensor dan Ekhibisi

247 Setelah film lolos sensor dan mendapat surat keterangan dari LSF, film tersebut dapat segera dibawa ke ekshibitor yaitu pengusaha bioskop untuk dinegosiasikan penayangannya pada layar lebar. Seperti yang dikemukakan Riri Riza --yang kemudian ditegaskan kembali oleh Ifa Isfansyah-- pembagian keuntungan masih tetap sama antara pembuat film dengan pengusaha bioskop sampai saat ini, yaitu 40 : 40 : 20 (catatan 20% untuk pajak tontonan).

Ekshibitor di Indonesia

Layar lebar di Indonesia yang lebih dikenal dengan istilah

―bioskop‖ mengalami beberapa perkembangan. Dulu, bioskop tidak

semewah sekarang, bangunannya lebih sederhana dan dimiliki oleh pengusaha kelas menengah di Indonesia. Namun seiring perkembangan jaman, bioskop-bioskop tersebut akhirnya bangkrut. Bioskop kini muncul dengan berbagai perbaikan, bangunannya lebih megah dan mewah.

Gambar 6.2. Gedung ―Sylva‖ sisa-sisa peninggalan bioskop yang pernah berjaya (dokumentasi MI/Khoirul Hamdani)

Sejak era Orde Baru, muncul bioskop dengan nama ―Studio 21‖ di Jakarta. Gedung bioskop ―Kartika Chandra‖ diubah ruangannya menjadi beberapa layar, yang disebut dengan cinepleks. ―Studio 21‖ pertama di ―Kartika Chandra‖ ini dibangun oleh Sudwikatmono (alm.)

(20)

Tahun 1999, Sudwikatmono melepas kepemilikan atas ―Grup 21‖ itu pada rekannya yaitu Benny Suherman dan Harris Lesmana (http://news.detik.com/kolom/1542254/, diunduh tanggal 2 November 2016.

Sampai awal tahun 2016, bioskop di Indonesia sudah berjumlah 1.000 layar, dan dipastikan akan bertambah terus hingga 2.000 layar di tahun 2018. Pemain baru bermunculan, bukan hanya ―Grup XXI‖ saja, kini hadir ―Bliz Megapleks‖ dan ―Cinemaxx‖ dengan teknologi baru dan pilihan film-film non-Hollywood seperti film-film Asia (disebut bioskop independen). Bisnis di bidang layar lebar akan berkembang dan bergairah. Bertambahnya layar lebar menjadi dorongan positif bagi bisnis dan industri film di Indonesia (Metro News, 4 Juni 2015).

Tiga Bioskop Terbesar

Sampai saat ini layar bioskop terbanyak dimiliki oleh ―Cinema XXI‖ yaitu sebanyak 853 layar di 152 lokasi di Indonesia, dan masih akan menambah terus jumlah layarnya di tahun berikutnya. ―Grup XXI‖ menurut Ibu Catherine Keng, menyambut baik kehadiran pemain baru dan berharap pemain-pemain baru ini membuka bioskop di daerah-daerah yang belum tersentuh bioskop selama ini (Keng, C., 2015).

Perusahaan ―XXI‖ atau Cineplex 21 Group –sebenarnya tidak berbeda, keduanya dalam satu kepemilikan yang sama—berdiri sejak tahun 1986. Grup ini sejak semula sudah bekerja sama dengan perusahaan ―IMAX‖ di Amerika Serikat yaitu spesialis layar super

besar. Saat ini, ―Grup XXI‖ sudah memiliki enam bioskop ―IMAX‖. Satu kekurangan bioskop ini adalah jarang, hampir tidak pernah, menayangkan film indie atau film Asia.

(21)

Sensor dan Ekhibisi

249 Indonesia. Kota-kota baru yang dituju adalah Surabaya, Bandung, Tangerang, Karawang, Cirebon, Jakarta dan Yogyakarta. ―Blitz‖ menargetkan 150 layar di 20 lokasi selama dua tahun ke depan.

Jaringan bioskop baru ―Cinemaxx‖ yang dimiliki oleh ―Lippo Group‖ juga menyediakan dana sebesar enam triliun rupiah dalam rangka membangun 1.000 layar bioskop di 85 kota di Indonesia untuk lima tahun ke depan. Sampai saat ini ―Cinemaxx‖ memiliki limapuluh satu layar di sepuluh lokasi. Bulan Juni tahun 2015, layar ditambah enam di ―Lippo Plaza‖ Yogyakarta. Menurut Brian Riady (2015) perusahaannya bertekad untuk menjadi jaringan bioskop terbesar yang disukai anak muda di Indonesia.

Ketiga bioskop terbesar di Indonesia ini memiliki ciri khas masing-masing. Sebagai pemain lama, ‖Grup XXI‖ memiliki jenis ruangan sedang yang kurang lebih memuat 150 orang. ―XXI‖ memiliki studio ―IMAX‖ dengan dolby atmos audio. Pendatang baru yaitu ―Blitz Megapleks‖ memiliki ruangan yang lebih luas serta layar yang ukurannya jumbo, khusus di studio ―Sphere X Blitz‖ memiliki layar super jumbo (seukuran lapangan basket) dengan audio 360 derajat. Masih dalam grup yang sama, ―CGV Blitz‖ juga memiliki studio 4DX

yang lebih modern. ―Cinemaxx‖ memiliki studio dengan audio dolby atmos seperti halnya ―Cinema XXI‖. Selain itu, ada fasilitas online

sehingga penonton bisa membeli tiket tanpa mengantre sekalipun tidak menjadi anggota (non-member). Beberapa contoh ruangan di bioskop-bioskop tersebut ditunjukkan pada Gambar 6.3 sampai 6.5.

sumber: kabarbuton.com

(22)

Dua bioskop memiliki ruang (studio) premium dengan harga tiket yang lebih mahal. Gambar 6.3 dan 6.4 adalah contohnya.

Sumber: http://forum.detik.com

Gambar 6.4 Velvet Studio di Blitz Megapleks

Sumber: http://forum.detik.com

Gambar 6.5 Studio Premiere di Cinema XXI

Harga tiket di bioskop bervariasi, bergantung hari ketika menonton dan jenis studio. Studio standar ―Cinema XXI‖, ―Cinemaxx‖, dan ―CGV Blitz‖ harganya antara Rp 25.000 sampai Rp 40.000 untuk hari biasa, dan Rp 40.000 sampai Rp 70.000 untuk akhir minggu. Jenis studio atau kelas premium harga tiket lebih mahal. Harga tiket kelas premier berkisar antara Rp 50.000 sampai Rp 100.000. Studio ―Velvet Class‖ milik ―CGV Blitz‖ memiliki harga tiket paling mahal, yaitu Rp 220.000.

(23)

Sensor dan Ekhibisi

251 di Provinsi Bali; bioskop ―88‖ di Pekanbaru Riau; ―Golden Theatre‖ di Kediri, ―Sarinah Cineplex‖ di Malang; ―E-Plaza Cinema‖ di Semarang;

―Rajawali Cinema‖ di Purwokerto; ―Gajah Mada Cinema‖ di Tegal;

―Borobudur Cineplex‖ di Pekalongan; ―Hollywood Cinema‖ di Kendari; dan Bioskop ―Raya‖ di Padang (http://telusur.metrotvnews. com/news-telusur/ObzOgjek-ruwetnya-membangun-bioskop)

.

Masalah Ekshibisi di Indonesia

―Grup XXI‖ yang menjadi ekshibitor terbesar di Indonesia menjadi masalah terbatasnya pasar di dalam negeri untuk movie maker. Hal ini ditunjukkan pada jumlah yang tertera pada tabel di bawah yaitu sebanyak 83% bioskop di Indonesia dimiliki oleh ―Grup 21‖, ―XXI‖, dan

―Premiere‖. ―Blitz Megaplex‖ memiliki sisanya sebesar 4,8 persen, sedangkan gabungan bioskop independen yang tersebar di seluruh Indonesia hanya sekitar 12% persen saja dari total keseluruhan bioskop di Indonesia. Dari segi layarnya, ―Grup 21‖ dan ―XXI‖ memiliki layar sebanyak 81,8 % dari total 902 layar di seluruh Indonesia. Sisanya sebesar 9,5% dimiliki oleh ―Blitz‖ dan 8,6% dimiliki bioskop-bioskop independen. Bioskop-bioskop independen hanya memiliki sedikit layar yaitu satu atau dua layar saja dalam satu bioskop, sehingga jumlah layar keseluruhan masih kalah dibandingkan jumlah layar ―Blitz Megaplex‖, bahkan ―XXI‖.

Tabel 6.2. Proporsi Jumlah Bioskop, Layar, dan Kursi

Grup 21 : Blitz : Independen

(24)

Indonesia. Pada kenyataannya hampir semua bioskop melanggar Undang-Undang ini. Data tahun 2013 di bawah ini menunjukkan bioskop ―21‖ dan ―XXI‖ hanya memenuhi 80% saja dari target 60%, sedangkan bioskop ―Blitz‖ hampir mencapai target yaitu sebesar 98%, dan bisokop independen adalah satu-satunya pasar eksebisi yang makin meningkatkan pemutaran film Indonesia.

Tabel 6.3. Realisasi Jumlah Jam Pertunjukkan Film Indonesia Dibandingkan Kuota Minimal

Sumber:http://filmindonesia.or.id

Sumber: filmindonesia.or.id

Gambar 6.6. Grafik Jumlah Jam Penayangan Film Indonesia di Bawah Kuota Minimal

(25)

Sensor dan Ekhibisi

253 pengusaha bioskop, yaitu jika dalam waktu satu sampai tiga hari --atau paling lama seminggu-- film tersebut tidak mendatangkan penonton dalam jumlah yang cukup, maka film Indonesia harus segera turun dari layar lebar. Pada akhirnya, movie-maker mencoba mencari jalan keluar

dengan membuat ―ruang‖ pemutaran sendiri. Sebagai contoh, ruang yang dimaksud disebut ―art-house‖ seperti yang sudah ada di salah satu studio ―XXI‖ di Bandung dan Jakarta.

Selera Penonton Menurut Ekshibitor

Pada bagian ini, penulis memiliki maksud yang sama yaitu melakukan pemeriksaan silang antara data dari wawancara dengan penonton, dengan informasi atau persepsi para ekhibitor, pengusaha bioskop. Sebuah workshop di Jakarta baru-baru ini membahas tentang

industri film dan pemasarannya. Workshop berjudul ―The Art of Film Marketing‖ ini diadakan oleh MPA bekerja sama dengan APROFI. Workshop ini dihadiri oleh beberapa narasumber yang berasal dari industri film internasional –yaitu Walt Disney Pictures Asia dan

perusahaan konsultan sosial media ―We Are Social‖— dan narasumber nasional (BEK), movie-maker dan komunitas pecinta film.

Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 6.7. Beberapa Narasumber di Workshop

(26)

Diskusi berjalan cukup menarik dan beberapa komentar dari para film maker terkait film-film tidak laris yang mereka buat muncul. Salah satunya berasal dari Bapak Ardi yang membuat film berjudul

―Trio Macan‖. Semula ia memperkirakan film tersebut akan laris,

seperti film ―Chery Belle‖ yang ia buat sebelumnya, namun Bapak Ardi keliru. Berikut adalah kutipan diskusi dengan beliau:

―Penonton digiring seleranya oleh Hollywood. Setelah film

―Chery Belle‖ yang cukup laris, saya membuat film berikutnya yaitu ―Trio Macan‖, ternyata film tersebut

gagal.... tidak laku di pasaran‖ (Ardi, 18 November 2015).

Menurut Ardi, yang sebelumnya berprofesi sebagai pembuat sinetron, membuat film layar lebar tidak sama dengan membuat sinetron. Selera penonton lebih sulit diprediksi. Ardi mengira, setelah

filmnya yaitu ―Chery Belle‖ akan mudah memasarkan film berikutnya ―Trio Macan‖, namun ternyata tidak demikian. Selera penonton terha -dap film Ardi berikutnya tidak sehebat apresiasi terha-dap film ―Chery

Belle‖. Rupanya para penonton yang kerap memenuhi studio di bioskop adalah penonton dari kalangan remaja.

Berikut ini adalah penjelasan dari Catherine Keng tentang apresiasi penonton di Indonesia terhadap film nasional yang dianggap terbatas (segmented) ini, sebagai berikut:

―Fim Indonesia itu sangat segmented, tidak seperti film asing, sangat universal. Dengan demikian film Indonesia pangsa pasarnya tertentu, tidak bisa dipasarkan di semua layar.

Contoh: film ―Bombe‖ sangat laku di ―Makasar XXI‖ bisa tahan 2,5 bulan tapi tidak di tempat lain‖ (Keng, C., 18 November 2015).

Ibu Catherine sebagai perwakilan ―Grup XXI‖ lebih melihat peran pembuat film dalam membentuk selera penonton, seperti contoh

(27)

Sensor dan Ekhibisi

255 membuktikan bahwa penonton kita memang lebih apresiatif terhadap film asing daripada film lokal. Tetapi hal tersebut menurut Catherine tidak menutup kemungkinan bertambahnya apresiasi dari penonton lokal di masa depan, dengan cara memproduksi film seperti film

―Bombe‖ yaitu film yang mengangkat budaya lokal, yang akan laku di daerahnya masing-masing.

Lebih lanjut dikemukakan Ibu Catherine sebagai Corporate Secretary XXI, programming adalah jantung dari bioskop. Seleksi awal diputar atau tidaknya sebuah film adalah berdasarkan kriteria sebagai berikut: (i) apakah film tersebut merupakan mass-market product? atau (ii) art-house product? atau (iii) untuk wilayah tertentu saja? Menurut-nya, tidak setiap film harus diputar di banyak layar. Selain kriteria-kriteria tersebut, pihak ekshibitor juga akan melihat trailer dan teaser

serta portofolio pembuat film. Ekshibitor hanya akan memberi waktu untuk melihat animo penonton selama 1-3 hari, karena antrean film sangat panjang. Bioskop, menurut Ibu Catherine, punya andil untuk mengembalikan penonton dalam negeri menonton film Indonesia.

Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 6.8. Bersama Catherine Keng Gambar 6.9. Bersama Dian Soenardi

Informasi Jumlah Penonton

(28)

Website film Indonesia tidak mengeluarkan data tentang itu, dan ketika peneliti menanyakan pada beberapa movie-maker, seperti Lala Timothy dan Ifa Ifansyah, mereka pun tidak tahu berapa persisnya jumlah penonton yang menikmati film yang mereka buat dan tayang di layar lebar.

Dari waktu ke waktu, catatan dan informasi tentang penonton tidak terdokumentasi dengan baik. Data yang didapatkan melalui catatan perfilman Indonesia di website filmindonesia,or.id hanya menyebutkan judul-judul film yang paling laku saja, bukannya film-film yang gagal atau dilarang diputar di dalam negeri. Contohnya, film-film

―Loetoeng Kasaroeng‖ yang rilis pertama kali di tahun 1926 disebut -sebut sebagai film yang sangat laris di Bandung, tapi itupun tak pernah

ada catatannya. Film ―Terang Boelan‖ yang rilis tahun 1937 di Jakarta juga disebut J.B. Kristanto—dalam bukunya: ―Katalog Film Indonesia‖ -- sebagai film box-office pertama di tanah Hindia, yang laku dijual ke RKO Singapura senilai SGD 200.000 (Irwansyah, A., 2015).

Sumber: dokumentasi Indonesia Cinematheque

Gambar 6.10. Film ―Terang Boelan‖ (dokumentasi Indonesia Cinematheque)

Saat Indonesia sudah merdeka penuh, film―Krisis‖ (1953) karya Usmar Ismail disebut menjadi yang terlaris di Indonesia sesudah film

―Terang Boelan‖. Selain itu, catatan dari ―PT Perfin‖ menunjukkan film

―Ratapan Anak Tiri‖ (1973) yang menjadi film terlaris di Jakarta dengan jumlah penonton 467.831; itupun hanya berasal dari penonton di Jakarta saja. Film berikutnya yang juga laris menurut ―PT Perfin‖

(29)

Sensor dan Ekhibisi

257 cukup meyakinkan, yaitu sekitar 699.000 orang. Ini terbawa sampai sekarang. Jumlah perolehan penonton yang dipublikasikan pengusaha bioskop (seperti Grup XXI) biasanya terbatas hanya untuk film-film yang pendapatannya menguntungkan saja. Tabel 6.4. memperlihatkan data film-film yang penulis dapatkan yang terbatas pada film yang menguntungkan saja, yaitu film yang meiliki jumlah penonton paling banyak.

Tabel 6.4. Film-film Indonesia Terlaris Tahun 2009-2015

No Judul Film Tahun Jumlah Penonton

1 Laskar Pelangi 2008 4.631.841

2 Habibie dan Ainun 2012 4.488.889

3 Ayat-ayat Cinta 2008 3.581.947

4 Ketika Cinta Bertasbih 2009 3.100.906

5 5 CM 2012 2.392.210

21 Surga Yang Tak Dirindukan 2015 1.424.652

22 Garuda di Dadaku 2009 1.371.131

23 Casino Kings Part 1 2015 1.208.989

24 Sang Pencerah 2010 1.206.000

25 99 Cahaya di Langit Eropa 2013 1.189.709

26 Soekarno 2013 960.071

27 Cinta Brontosaurus 2013 892.915

28 Perempuan Berkalung Sorban 2009 793.277

29 Negeri 5 Menara 2012 772.397

30 Surat Kecil Untuk Tuhan 2011 748.842

31 Arwah Goyang Karawang 2011 727.540

32 Setan Budeg 2009 700.000

33 Coboy JuniorThe Movie 2013 683.604

34 Hafalan Shalat Delisa 2011 668.731

35 Di Balik 98 2015 648.947

(30)

No Judul Film Tahun Jumlah Penonton

43 TandaTanya 2011 552.612

44 Purple Love 2011 520.786

45 Taman Lawang 2013 526.761

46 Di Bawah Lindungan Ka’bah 2011 520.267

47 True Love Never Dies 2010 518.527

48 Pocong Rumah Angker 2010 503.450

49 Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh

2014 501.258

50 Soegija 2012 459.465

(diunduh dari: http://showbiz.liputan6.com/read/2294952, 31 Agustus 2016)

Interpretasi Atas Temuan

Beberapa interpretasi diperoleh dari temuan-temuan di Bab enam ini.Interpretasi pertama dari bagian tentang sensor adalah, masih ditemukannya aturan-aturan ketat di dalam Undang-Undang Perfilman Nomor 33 Tahun 2009 tentang berbagai larangan atas film-film yang bernuansa pornografi, narkotika, dan lain-lain. Namun pada kenyataannya, aturan ini tidak dilaksanakan secara merata. Film-film asing dibiarkan masuk dengan adegan-adegan yang dipenuhi nuansa-nuansa yang dilarang tersebut. Pembuat film masa kini seperti Riri Riza dan Ifa Isfansyah menolak sensor macam itu. Mereka menginginkan sensor lebih diterapkan untuk kebijakan film impor, yaitu pembatasan film impor oleh pemerintah. Penulis menginterpretasikan bahwa sensor yang dibuat pemerintah melalui LSF membatasi kreativitas pembuat film di dalam negeri. Di sisi lain, film impor bebas masuk dengan segala macam cerita di dalamnya tanpa sensor yang seketat film produksi dalam negeri. Ini adalah paradoks pertama yang penulis temukan dalam pelaksanaan sensor di Indonesia.

(31)

Sensor dan Ekhibisi

259 dan mengeluarkan banyak biaya atau pengorbanan dalam proses pembuatannya. Ini adalah paradoks kedua yaitu paradoks pembagian keuntungan dan masa tayang akibat dominasi kekuasan di tangan ekshibitor.

Interpretasi ketiga diperoleh ketika dilakukan pemeriksaan silang antara komentar penonton dengan pendapat ekshibitor dan pembuat film tentang selera penonton. Umumnya, pembuat film berpendapat mayoritas penonton Indonesia masih dijajah seleranya oleh film-film Hollywood, dan biasanya penonton itu mengharapkan jenis-jenis film yang ringan atau cheesy. Namun ternyata, ada juga penonton yang mengapresiasi film-film ―berat‖ seperti film ―Siti‖ – kalau film tersebut memang dinyatakan berat oleh pembuatnya. Tidak semua penonton dapat dikategorikan sebagai penonton yang senang film-film ringan yang membuat mereka harus berpikir keras. Beberapa pernyataan Lala seperti film-film block-buster ala Hollywood memang ada benarnya, di samping pemilihan aktor dan aktris terkenal untuk mendukung film yang bersangkutan. Namun, sekalipun Lala (pembuat film) sudah membuat film ―Tabula Rasa‖ yang menurutnya merupakan film berjenis ringan --film tersebut menceritakan realitas masyarakat kecil yang gampang ditemui dalam situasi sehari-hari—ternyata tetap saja tidak atau belum tentu dapat diapresiasi dengan baik oleh penonton. Itu adalah paradoks ketiga.

Interpretasi yang keempat penulis peroleh dari pernyataan Ibu Catherine bahwa film Indonesia masih sangat segmented sehingga kurang laku, sementara film asing lebih universal. Penulis kemudian berusaha mencari informasi tentang jumlah penonton. Ternyata informasi yang didapatkan menunjukkan bahwa film-film laris di antaranya merupakan film bertemakan Islamic yang diceritakan secara lebih modern, film-film sejarah, perjuangan, nasionalisme,dan biografi seseorang yang dihormati dan dikagumi, serta film laga yang dikemas dengan lebih modern dan seru. Film-film tersebut adalah ―Habibie dan

Ainun‖, ―Soekarno‖, ―Ketika Cinta Bertasbih‖, ―Tenggelamnya Kapal

(32)

Gambar

Gambar 6.1. Statistik Sensor di Indonesia Tahun 2013-2016
Tabel 6.1. Rekapitulasi Data Lulus Sensor Tahun 2016
Gambar 6.2 . Gedung ―Sylva‖ sisa-sisa peninggalan bioskop yang pernah
Gambar 6.3. Ruang Bioskop Cinemaxx
+7

Referensi

Dokumen terkait

In this study, we compare and contrast estimates of deformation obtained from different pre and post-event airborne laser scanning (ALS) data sets of the 2014 South Napa

The methodology presented here is useful for situations where massive sensor data need to be compressed in a way that allows a progressive retrieval with increasing

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Disemprotkan ( Jet Application of Fluid ), pada proses pendinginan dengan cara ini cairan pendingin disemprotkan langsung ke daerah pemotongan (pertemuan antara

[r]

Merespon hal tersebut, unit Kursus Bahasa Asing (KBA) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) berupaya keras mengembangkan bahasa asing melalui short course yang memuat stimulasi

Salah satu kata-kata yang sangat diingat Lutfiya, yaitu kutipan kata-kata ibunya di salah satu buku yang pernah diberikan ibunya, yaitu, “Wahai anakku, hidup itu berat, tapi jadi

Perusahaan yang bersangkutan dan manajemennya tidak dalam pengawasan pengadilan, tidak pailit, kegiatan usahanya tidak sedang dihentikan dan/atau direksi yang bertindak