• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyederhanaan Sistem Kepartaian dan Efe

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Penyederhanaan Sistem Kepartaian dan Efe"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENYEDERHANAAN SISTEM KEPARTAIAN DAN EFEKTIVITAS

PEMERINTAHAN

i

Oleh Ronny Basista, M.Siii

Pendahuluan

Salah satu isu aktual menyongsong Pemilu 2014 adalah penyederhanaan sistem kepartaian untuk diakomodasi dalam undang-undang pemilu yang baru. Tarik-menarik antarpartai masih terjadi, diskusi dan forum ilmiah juga turut memberi kontribusi pemikiran agar ke depan kita menghasilkan sistem kepartaian yang relatif sederhana demi stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan. Tulisan ini hendak memetakan berbagai alternatif pemikiran tersebut untuk dapat diperoleh suatu pemikiran yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik dan bebas dari kepentingan kelompok.

Sistem Kepartaian

Pada awal tulisan ini kita perlu menegaskan kembali definisi sistem kepartaian. Sistem kepartaian ialah pola perilaku dan interaksi di antara sejumlah partai politik dalam suatu sistem politik. Secara lebih komprehensif sistem kepartaian dapat dilihat berdasarkan 2 (dua) golongan besar, yakni sistem kepartaian berdasarkan Jumlah Partai dan Jarak Ideologi.

Jumlah Partai

Sistem kepartaian berdasarkan jumlah partai dapat digolongkan ke dalam sistem partai tunggal (totaliter, otoriter dan dominan), sistem dua partai dominan dan bersaing dan sistem multipartai.

No Sistem Kepartaian Definisi Contoh

1. Tunggal:

1). Totaliter Terdapat satu partai yang tak hanya memegang kendali atas militer dan pemerintahan, tetapi juga menguasai seluruh aspek kehidupan masyarakat. satu partai besar yang digunakan oleh penguasa sebagai alat memobilisasi masyarakat dan mengesahkan kekuasaannya, sedangkan partai-partai lain kurang menampilkan diri karena ruang gerak dibatasi penguasa. partai saja yang dominan (secara terus-menerus berhasil mendapatkan dukungan untuk

Partai Liberal Demokrat di Jepang.

i

Makalah disampaikan pada seminar FISIP-UT tanggal 23 Februari 2011 ii

(2)

2 berkuasa), sedangkan partai-partai lain tidak

mampu menyaingi partai yang dominan walaupun terdapat kesempatan yang sama untuk mendapatkan dukungan melalui pemilu yang demokratis.

2. Dwipartai bersaing Suatu sistem kepartaian yang di dalamnya terdapat dua partai yang bersaing untuk mendapatkan dan mempertahankan kewenangan memerintah melalui pemilihan umum. Partai yang memenangkan pemilu menjadi partai yang memerintah, sedangkan yang kalah berperan sebagai kekuatan oposisi yang loyal. yang bersaing untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan melalui pemilu, maka yang sering terjadi adalah pemerintahan koalisi dengan dua atau lebih partai yang secara bersama-sama dapat mencapai mayoritas di parlemen. Untuk mencapai konsensus di antara partai-partai yang berkoalisi itu memerlukan praktek daga g sapi , yaitu tawar-menawar dalam hal program dan kedudukan menteri.

Belanda, Prancis, Jerman, Italia, Indonesia.

Jarak Ideologi

Ilmuwan politik Italia, Giovanni Sartori, punya pendapat lain tentang sistem kepartaian ini. Menurut dia, penggolongan sistem kepartaian bukan masalah jumlah partai, melainkan jarak ideologi di antara partai-partai yang ada. Kongkretnya, penggolongan sistem kepartaian didasarkan atas jumlah kutub (polar), jarak di antara kutub-kutub itu (polaritas), dan arah perilaku politiknya (Surbakti, 2001).

Oleh karena itu, Sartori mengklasifikasikan sistem kepartaian menjadi 3 (tiga), yaitu pluralisme sederhana, pluralisme moderat, dan pluralisme ekstrim.

Sistem Partai Kutub Polaritas Arah

Pluralisme Sederhana Bipolar Tidak ada Sentripetal

Pluralisme Moderat Bipolar Kecil Sentripetal

Pluralisme Ekstrim Multipolar Besar Sentrifugal

Yang dimaksud dengan bipolar adalah kegiatan aktual suatu sistem partai yang bertumpu pada dua kutub, meskipun jumlah partai lebih dari dua karena sistem kepartaian ini tidak memiliki perbedaan ideologi yang tajam. Multipolar berarti sistem partai yang bertumpu pada lebih dari dua kutub yang biasanya terdiri atas lebih dari dua partai dan di antara kutub-kutub itu terdapat perbedaan ideologi yang tajam.

(3)

3 perpecahan yang tak terintegrasi karena hal itu mungkin merupakan gejala sementara yang masih dapat diatasi. Dalam hal ini, perlu diperhatikan arah perilaku politik setiap partai apakah;

 Menuju ke pusat atau ke integrasi nasional (sentripetal); ataukah

 Menjauhi pusat atau hendak mengembangkan sistem tersendiri (sentrifugal).

Negara Sistem Partai Kutub Polaritas Arah

AS Pluralisme sederhana Bipolar (dua partai) Tidak ada Sentripetal Belanda Pluralisme moderat Bipolar (tiga atau empat

partai sebagai basis)

Kecil Sentripetal Italia Pluralisme ekstrim Multipolar Besar (jarak

ideologi yang berjauhan)

Sentrifugal

Labih lanjut menurut Sartori, dalam konteks negara-negara berkembang, dikenal sistem kepartaian lain, yaitu pluralisme ekstrim dan hegemoni. Model yang pertama cenderung menghasilkan ketidakstabilan politik karena masing-masing memiliki ideologi yang bertentangan sehingga tingkat konsensus rendah. Sistem yang kedua terjadi ketika sejumlah partai diizinkan tetapi hanya sebagai partai kelas dua karena mereka tidak diizinkan berkompetisi secara bebas dengan partai hegemoni.

Model hegemoni terbagi 2 (dua), yaitu sistem hegemoni yang bersifat ideologis dan sistem hegemoni yang bersifat pragmatis. Dalam sistem yang bersifat ideologis, partai-partai satelit terwakili dalam pemerintahan tetapi tanpa hak-hak yang penuh, sedangkan dalam sistem yang pragmatis, patai-partai marginal memiliki hak penuh untuk berpartisipasi dalam proses politik.

Negara-negara berkembang biasanya mulai dengan sistem kepartaian pluralisme ekstrim, kemudian beralih pada sistem kepartaian yang hegemoni. Ingat kasus Indonesia tempo doeloe. Pada zaman Soekarno, sistem kepartaian kita pluralisme ekstrim; ada komunis (PKI), sosialis (PSI), nasionalis (PNI), religius (Masyumi). Antara PKI dan Masyumi dipisahkan oleh jarak ideologi yang sangat jauh, yang pertama di kiri dan yang terakhir di kanan. Ketika Soeharto berkuasa, dia dan berbagai kekuatan politik di belakangnya—termasuk militer—menyederhanakan sistem kepartaian, di mana Golkar merupakan partai hegemoni.

Sistem Kepartaian di Era Reformasi

Pemilu I di era reformasi diselenggarakan pada tahun 1999. Pemilu 199 diikuti 48 partai politik yang memenuhi syarat sesuai undang-undang pemilu. Berikut hasil perolehan suara dan kursi pada Pemilu 1999.

(4)

4 partai besar (PDI-P, Golkar, PKB, PPP, PAN), sedangkan 27 partai tidak memperoleh kursi sama sekali. Pada masa ini diberlakukan electoral threshold 2%, sehingga partai yang memperoleh suara di bawah 2% tidak

dapat ikut pemilu berikutnya kecuali misalnya dengan mengubah nama partai, seperti yang dialami Partai Keadilan menjadi Partai Keadilan Sejahtera.

Perolehan suara tertinggi di DPR ternyata tidak mutlak menjadikan PDIP memimpin pemerintahan, karena

(5)

5 Pada Pemilu tahun 2004, partai yang ikut serta lebih minim dibandingkan pemilu sebelumnya, yakni 24 parpol. Sebanyak 17 dari 24 parpol tersebut berhasil memperoleh kursi di parlemen. Berikut perolehan suara parpol-parpol tersebut.

Ranking Suara Partai Politik Perolehan Suara Jml. Kursi DPR

RI

Jumlah Persen

1 Partai Golongan Karya 24.480.757 21,58 128

2 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 21.026.629 18,53 109

3 Partai Kebangkitan Bangsa 11.989.564 10,57 52

4 Partai Persatuan Pembangunan 9.248.764 8,15 58

5 Partai Demokrat 8.455.225 7,45 57

6 Partai Keadilan Sejahtera 8.325.020 7,34 45

7 Partai Amanat Nasional 7.303.324 6,44 52

8 Partai Bulan Bintang 2.970.487 2,62 11

9 Partai Bintang Reformasi 2.764.998 2,44 13

10 Partai Damai Sejahtera 2.414.254 2,13 12

11 Partai Karya Peduli Bangsa 2.399.290 2,11 2

12 Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia 1.424.240 1,26 1

13 Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan 1.313.654 1,16 5

14 Partai Nasional Banteng Kemerdekaan 1.230.455 1,08 1

15 Partai Patriot Pancasila 1.073.139 0,95 0

16 Partai Nasional Indonesia Marhaenisme 923,159 0,81 1

17 Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia 895.610 0,79 0

18 Partai Pelopor 878.932 0,77 2

19 Partai Penegak Demokrasi Indonesia 855.811 0,75 1

20 Partai Merdeka 842.541 0,74 0

21 Partai Sarikat Indonesia 679.296 0,60 0

22 Partai Perhimpunan Indonesia Baru 672.952 0,59 0

23 Partai Persatuan Daerah 657.916 0,58 0

24 Partai Buruh Sosial Demokrat 636.056 0,56 0

Total 113.462.414 100 550

Sumber : Pengumuman Hasil Rekapitulasi Perhitungan Suara Pemilu KPU, www.kpu.go.id

Pada pemilu ini untuk pertama kalinya dalam sejarah dilakukan pemilihan langsung presiden dan wakil presiden. Parpol atau gabungan parpol yang berhak mengajukan calon ialah dengan perolehan suara paling minim 5% dari perolehan suara legislatif pada pemilu tersebut.

Pemilu 2009 diikuti oleh sebanyak 44 partai politik termasuk partai politik lokal di Aceh. Tabel berikut menggambarkan perolehan suara masing-masing partai.

No Partai Politik (No Pemilu) Jumlah Suara Persentase

(6)

6

Golkar (23) 15.037.757 14,45%

PDIP (28) 14.600.091 14,03%

PKS (8) 8.206.955 7,88%

PAN (9) 6.254.580 6,01%

PPP (24) 5.533.214 5,32%

PKB (13) 5.146.122 4,94%

Gerindra (5) 4.646.406 4,46%

Hanura (1) 3.922.870 3,77%

PBB (27) 1.864.752 1,79%

PDS (25) 1.541.592 1,48%

PKNU (34) 1.527.593 1,47%

PKPB (2) 1.461.182 1,40%

PBR (29) 1.264.333 1,21%

PPRN (4) 1.260.794 1,21%

PKPI (7) 934.892 0,90%

PDP (16) 896.660 0,86%

Barnas (6) 761.086 0,73%

PPPI (3) 745.625 0,72%

(7)

7

RepublikaNusantara (21) 630.780 0,61%

PPD (12) 550.581 0,53%

Patriot (30) 547.351 0,53%

PNBK (26) 468.696 0,45%

Kedaulatan (11) 437.121 0,42%

PMB (18) 414.750 0,40%

PPI (14) 414.043 0,40%

Pakar Pangan (17) 351.440 0,34%

Pelopor (22) 342.914 0,33%

PKDI (32) 324.553 0,31%

PIS (33) 320.665 0,31%

PNI Marhaenisme (15) 316.752 0,30%

Partai Buruh (44) 265.203 0,25%

PPIB (10) 197.371 0,19%

PPNUI (42) 146.779 0,14%

PSI (43) 140.551 0,14%

PPDI (19) 137.727 0,13%

Merdeka (41) 111.623 0,11%

(8)

8

Sumber : www.kpu.go.id 9 Mei 2009

Berdasarkan ketetapan dalam Bab XIII Pasal 204 -212, UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, maka hanya 9 parpol saja yang bisa meloloskan wakilnya sebagai anggota DPR. Partai lainnya, meskipun memperoleh suara/kursi, dianggaap tidak

memperolehnya (hangus) karena adanya klausul parliamentary threshold 2,5%. Partai-partai

yang berhasil duduk di DPR adalah sebagai berikut:

No Partai Politik Perolehan Suara

Kursi Parlemen

Perhitungan I Revisi

Demokrat 20,85% 148 150

Golkar 14,45% 108 107

PDIP 14,03% 93 95

PKS 7,88% 59 57

PAN 6,01% 42 43

PPP 5,32% 39 37

PKB 4,94% 26 27

Gerindra 4,46% 30 26

Hanura 3,77% 15 18

Jumlah 100% 560 560

Sumber : KPU tgl 9 Mei 2009

Beberapa Alternatif Pemikiran

(9)

9 threshold (PT) yang diberlakukan. Perolehan suara PBB tidak mencapai 2,5% yang merupakan syarat minimal PT.

Sebagai masyarakat awam, kita berhak memandang bahwa kemajemukan partai saat ini bersifat semu. Semu, karena pada dasarnya jumlahnya saja yang banyak namun ideologinya sama. Semu, karena pada dasarnya ideloginya sama namun lambang partainya saja yang beda. Semu, karena partainya berbeda-beda padahal orang-orangnya sebelumnya berhimpun di partai yang sama. Semu, karena bahkan ada partai yang tidak jelas ideologinya. Semu, karena mereka banyak yang semu, hanya mencari popularitas dan menjual kembali popularitas semu. Dan, semu-semu lainnya….

Ketika ada alternatif memecah kejumudan ini kita menyambutnya dengan baik. Meski, tetap saja kita mesti menghormati berbagai pandangan itu. Berbagai pandangan itu dapat saya rincikan sebagai berikut.

Wacana Maksud/Tujuan Kontrawacana

3 Asimiliasi partai Partai-partai yang seide,

segagasan, sehaluan, yang

4 Parliamentary threshold 5-7% Optimalisasi fungsi kepartaian

di parlemen

5 Electoral threshold 5% Optimalisasi fungsi kepartaian

di masyarakat

7 Sistem distrik Menonjolkan kualitas calon,

kedekatan dengan konstituen

“membunuh” partai kecil

Penyederhanaan Sistem Kepartaian dan Efektivitas Pemerintahan

(10)

10 sistem pluralisme sederhana seperti di Amerika Serikat. Sistem multipartai bagi pemerintahan presidensial, diakui ataupun tidak, turut memberi andil bagi terjadinya horse trading politics atau politik daga g sapi . Karena tidak terdapat satu partai mayoritas, maka partai pemenang yang tidak mayoritas akan merangkul partai-partai lain untuk mencapai suara mayoritas membentuk pemerintahan. Atas dasar ini maka partai-partai kecil yang diajak berga u g itu e gajuka se a a ko trak politik. Bahasa kasar ya, gue dapat apa kalau

erga u g a a loe . Posisi di kabinet dan di sejumlah direksi BUMN menjadi incaran.

Sistem multipartai yang kita anut sekarang ini berpengaruh pada efektivitas pemerintahan dan kualitas partai politik. Dengan fragmentasi yang besar, tarik-menarik kepentingan itu pun akan marak terjadi. Di parlemen, partai pemerintah akan berusaha menghimpun sebanyak mungkin kekuatan politik lainnya untuk membentuk koalisi pendukung pemerintah. Karena bukan sistem parlementer, maka koalisi ini cenderung rapuh. Anggota koalisi akan berpindah ke kubu lain manakala terdapat satu isu atau wacana yang tidak menguntungkan dirinya. Dengan kata lain, koalisi yang dibangun bukan koalisi ideologis yang berumur panjang, tetapi koalisi kontekstual tergantung wacana dan bersifat pragmatis. Akibatnya, kekuatan koalisi pemerintah di parlemen seperti gelang karet, kadang kuat kadang lemah, tergantung isu yang bermuara pada kepentingan. Akibatnya lagi, pemerintah selalu gagal memprediksi kekuatannya di parlemen setiap mengajukan draft kebijakan. Karena, hal ini tergantung konstelasi politik yang terjadi saat itu.

Kita tidak bisa menyalahkan pilihan kita terhadap sistem multipartai yang dianut. Pada dasarnya, sistem ini telah mengakomodasi kemajemukan dan dinamika politik masyarakat (inklusif). Sistem multipartai memungkinkan terwakilinya beragam aspirasi politik rakyat yang menghendaki dibentuknya wadah berupa parpol. Dalam sistem politik demokrasi yang kita anut, tidak ada pembatasan terhadap kehendak rakyat itu. Namun demikian, demokrasi secara prosedural telah dikenal di berbagai negara. Secara substansial, demokrasi itu bercermin pada kehendak rakyat, tetapi secara prosedural, negara demokratis berhak menentukan langkah-langkah apa yang ditempuh untuk mewujudkan demokrasi itu.

Sistem multipartai dengan pemerintahan presidensial merupakan tantangan terberat bagi negara ini membangun demokrasi yang terkonsolidasi. Salah satu cara agar keberadaan parta-partai politik tidak kontraproduktif terhadap jalannya pemerintahan adalah menyederhanakan sistem kepartaian yang ada. Sebagaimana diutarakan di atas, koalisi yang dibangun oleh ragamnya partai politik sifatnya kasuistik. Oleh karena itu, kita perlu adanya koalisi yang tegas dibarengi oleh adanya oposisi yang jelas pula. Hal itu dimungkinkan bila sistem pemerintahan kita parlementer. Sekali lagi, karena kita masih alergi dan trauma oleh istilah parle e ter di asa Orde La a, aka kita harus a pu ewujudka stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan presidensial dengan sistem multipartai yang sederhana.

Dalam sistem parlementer, bergonta-gantinya pemerintahan merupakan hal yang lazim. Pemerintah dapat jatuh ketika terdapat mosi tidak percaya. Sedangkan dalam sistem presidensial, jatuhnya pemerintah erupaka hal ya g ta u . Pe gala a pahit kita ala i ketika Gus Dur dile gserka . Hi gga sekara g, polemik itu tidak berkesudahan, kecuali karena kita yang memang tidak senang adanya konflik berkepanjangan.

Penyederhanaan sistem kepartaian seyogyanya dapat dilihat dalam konteks demikian. Kita mesti dapat eradaptasi a tara siste ultipartai da siste pe eri taha preside sial. Me a g, pada awal ya— termasuk hingga saat ini—kita susah menerima kenyataan ini. Beragamnya pandangan sebagaimana diuraikan pada tabel di atas merupakan ekspresi kekageta kita e eri a ke yataa politik. Maka, se agia ada ya g memandangnya sebagai suatu usaha pemberangusan hak politik rakyat, ada yang mensinyalir adanya skenario dari parpol-parpol besar, dan seterusnya.

(11)

11 ta pa diga ggu oleh kepe ti ga -kepentingan politik kelompok tertentu di parlemen yang sesungguhnya melelahkan masyarakat. Macetnya komunikasi akibat fragmentasi yang sangat besar di parlemen menimbulkan minimnya produk kebijakan dan konflik melelahkan yang kontraproduktif.

Penyederhanaan sistem kepartaian dapat dilakukan dengan berbagai ide yang dilontarkan oleh beberapa kalangan. Misalnya, memperketat syarat partai peserta pemilu, baik bagi partai baru maupun partai lama. Persentasi keterwakilannya di sejumlah wilayah harus ditingkatkan untuk menjamin keseriusan. Untuk partai lama bisa dilakukan dengan menerapkan electoral threshold yang persentasinya dari pemilu ke pemilu harus meningkat. Angka 5% merupakan sesuatu yang cukup rasional. Penyederhaan itu dapat juga dilakukan dengan parliamentary thershold (PT), sehingga wakil yang duduk di parlemen itu hendaknya berasal dari partai-partai yang diinginkan masyarakat luas.

Asimilasi partai dan konfederasi partai-partai politik turut meramaikan wacana penyederhanaan kepartaian. Pada asimilasi partai, maka partai-partai yang seide, segagasan dan sehaluan, yang belum berhasil dapat bergabung dengan partai lain yang sudah berhasil, misalnya dengan partai yang lolos PT. Yang patut diperhatikan adalah adanya ide konfederasi partai-partai politik, di mana terjadinya penggabungan beberapa partai politik namun tidak menghilangkan eksistensinya masing-masing. Hal ini harus dikaji lebih lanjut, terutama dari aspek legalitas wakil partai konfederasi di parlemen dan yang jelas apakah aturan perundang-undangan mengakomodasi hal demikian.

Muculnya ide menyederhanakan daerah pemilihan (dapil) melalui penambahan jumlah dapil dan penciutan jumlah kursi merupakan ide yang patut dipertimbangkan. Dengan jumlah kursi yang minim, katakanlah 3-7 kursi perdapil, maka setiap calon dan partai harus bekerja ekstrakeras untuk mendapatkan kepercayaan rakyat. Hasil jerih payah yang luar biasa itu tentu saja melahirkan sosok calon yang kredibel dari partai yang mantap. Sinyalemen akan munculnya politik uang memang akan terjadi, namun tentunya masyarakat saat ini sudah semakin cerdas. Saat inilah kita dapat membuktikan hasil pendidikan politik masyarakat yang telah kita lakukan selama ini, baik oleh pemerintah, akademisi, ormas-ormas, dan tentu saja partai-partai politik.

Ide ya g ukup ekstri aru-baru ini datang dari Ryaas Rasyid. Meskipun ide ini bukanlah ide mutakhir, a u ketika u ul di asa di a a kita seperti ya sudah pasrah de ga siste proporsio al aka ide i i dapat dipandang revolusioner. Seolah menghentakkan alam bawah sadar kita, kita akui distrik merupakan cara paling cepat menyederhanakan sistem kepartaian dari multipartai kategori pluralisme moderat menuju pluralisme sederhana. Namun, sudah barang tentu ditolak mentah-mentah oleh legislator yang berwenang membuat undang-u da g pe ilu. “iste distrik e ge al istilah satu distrik satu wakil , ya g akhir ya wakil yang benar-benar dikenal baiklah yang memenangi suara di distriknya. Namun hal ini dipandang dapat menafikan dinamika politik masyarakat.

Penutup

Baiklah, sistem proporsional dengan berbagai variannya dianggap sudah sesuai bagi kita sementara ini dari sisi inklusivitasnya dan keterjangkauannya terhadap kemajemukan masyarakat. Dengan tenggang waktu yang tidak lama kita berharap DPR segera mengintervarisasi ide-ide dan berbagai wacana yang berkembang untuk diformulasikan dalam bentuk undang-undang pemilu. Harapan kita, sistem kepartaian dengan multipartai (pluralisme) sederhana mulai menampakkan perwujudannya. Sedikit, tapi pasti. Oleh karena itu, kita berharap tahun 2012 tidak kiamat, karena DPR belum menyelesaikan UU Pemilu.

Bahan Bacaan

(12)

12 Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1977.

---, Partisipasi dan Partai Politik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998.

Dhakidae, Daniel (peny.), Partai-partai Politik Indonesia: Ideologi, Strategi, Program, Jakarta: Kompas, 1999. Feith, Herbert, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1999.

Grofman, Bernard, and Arend Lijphart, Electoral Laws and Their Political Consequences, New York: Agathon Press Inc., 1986.

Haris, Syamsuddin, Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan PPW-LIPI, 1998.

Karim, M. Rusli, Perjalanan Partai Politik di Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1983.

Kingemann, Hans Dieter, Richard Hoffebert, and Ian Budge, Parties, Policies and Democracy, Boulder: Westview Press, 1994.

Lawson Key, and Peter Merkl, When Parties Fail, New Jersey: Princeton University Press, 1988. Lipow, Arthur, Political Parties and Democracy, Chicago: Pluto Press, 1996.

Panebianco, Angelo, Political Parties: Organization and Power, Cambridge UK: Cambridge University Press, 1998.

Purwantana, PK., Partai Politik di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.

Reynolds, Andrew, and Ben Reilly, Electoral System Design, Stockholm: International IDEA, 1997. Robertson, David, A Theory of Party Competition, New York: John Wiley and Son, 1976.

Sachsenroder, Wolfgang, and Ulrike Frings, Political Party System and Democratic Development in East and Souteast Asia, Vermont: Ashgate Publishing Co., 1998.

Sanit, Arbi, Sistem Politik Indonesia; Kestabilan, Peta Kekuatan Politik dan Pembangunan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1981.

Sartori, Giovanni, Parties and Party Systems: A Framework for Analysis, Cambridge UK: Cambridge University Press, 1976.

Simbolon, Parakitri, Menjadi Indonesia: Akar-akar Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Kompas, 1995. Sundquist, James L., Dinamics of the Party System, Washington DC: The Brookings Institution, 1983. Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, PT Gramedia Widiasarana, Jakarta, 1992.

(13)

Referensi

Dokumen terkait

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan yang bekerja di CV Sujiwo Kusuma, Klaten berjumlah 63. Jumlah subjek 63 ini dipergunakan semua sebagai

Hasil Uji Statistik Man-Whitney U test memperlihatkan perilaku agresif (p = 0.000) dan harga diri (p = 0.000) ada ditemukan perbedaan.Berdasarkan hasil penelitian

Data pada Tabel 16 menunjukkan bahwa minat usaha angkatan kerja perempuan di beberapa Kabupaten, Kota dan di Propinsi Sumatera Barat pada umurnnya adalah

Hasil pengujian menyatakan secara simultan kesadaran membayar pajak, pengetahuan dan pemahaman peraturan perpajakan, persepsi atas efektifitas sistem perpajakan, dan

Az írásbeli fordulóban legeredményesebb elméleti feladatmegoldó: Turi Soma , ELTE Apáczai Csere János Gyakorlógimn., Budapest A számítási feladatok legjobb

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas segala berkat, rahmat, dan anugerah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Realitas Kisruh

Jika dilihat dari data deskriptifnya, skor rata- rata kemampuan menyusun karya ilmiah pada kelas eksperimen I yang diberikan resitasi berupa tugas menyusun proposal

を認めつつ、その結論に限定を見出し、むしろ以前からある古典的なテーゼを再検討し、