• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) yang dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan Tahun 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) yang dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan Tahun 2012"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian PPOK

Menurut Europan Respiratory Society (1995), PPOK adalah kondisi keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Kondisi ini berkaitan dengan terjadinya inflamasi disebabkan respon paru- paru terhadap partikel atau gas yang beracun.

Menurut National Collaborating Centre for Chronic Conditions (2004), PPOK adalah penyakit yang ditandai dengan obstruksi aliran udara, bersifat irrevesibel, dan sebagian besar disebabkan karena merokok.16

Menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah penyakit yang ditandai oleh hambatan aliran udara yang terus menerus dan bersifat progresif dan biasanya berhubungan dengan peningkatan respon inflamasi kronis terhadap partikel dan gas berbahaya pada saluran udara pernapasan.3

Banyak istilah yang dipakai untuk Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) antara lain Emphysema and Chronic Bronchitis Syndrome, Chronic Obstrucyive Broncho Pulmonary Disease, Chronic Airways Obstructive, Chronic Obstructive

Lung Disease, Chronic Aspesific Respiratory Affection (CARA), Chronic Non

Spesific Lung Disease ( CNSLD ), dan pada tahun 1970 menjadi Chronic Obstructive Pulmonary Disease ( COPD).17

(2)

mengalami PPOK ini mengalami kesulitan bernapas, batuk yang rutin, dan intoleransi aktivitas.18,19 Keadaan ini lama kelamaan akan timbul komplikasi lain seperti gagal pernapasan.20

Sistem pernapasan adalah keterpaduan beberapa struktur yang terlibat dalam proses respirasi. Struktur utama sistem pernapasan adalah saluran udara pernapasan yang terdiri dari jalan napas, saluran napas, dan paru.

Jalan napas memiliki bagian yaitu nares (lubang hidung), hidung bagian luar, hidung bagian dalam, sinus paranasal, faring, dan laring. Sedangkan saluran napas adalah trakea, bronkus, dan bronkiolus. Parenkim paru adalah organ berupa kumpulan alveoli yang mengelilingi cabang bronkus. Paru-paru merupakan tempat pertukaran karbondioksida yang berasal dari darah menjadi oksigen untuk digunakan kembali. Paru-paru terdiri dari dua bagian yaitu paru- paru bagian kiri yang memiliki 2 lobus dan paru- paru kanan yang memiliki 3 lobus. Pada kedua bagian paru ini terdapat sekitar 1500 km aliran udara dan ada sebanyak 300- 500 juta alveoli yang berfungsi sebagai tempat pertukaran udara.21

(3)

2.1.1 Bronkitis Kronis

Bronkitis kronis adalah batuk produktif kronis yang menghasilkan lendir berlebihan di dalam bronki minimal selama 3 bulan per tahun paling tidak selama 2 tahun berturut- turut. Sputum yang dihasilkan bisa saja mukoid atau mukopurulen.22 Hal ini disebabkan terjadinya perubahan patologis seperti hipertrofi dan hiperplasia pada sel-sel penghasil mukus di bronkus. Selain itu silia yang melapisi bronkus mengalami disfungsional dan metaplasia sehingga mengganggu sistem mukosiliaris dan menyebabkan terakumulasinya mukus yang mengental sehingga sulit untuk dikeluarkan dari saluran napas. Mukus yang mengental tersebut akan menjadi tempat perkembangbiakan yang baik untuk mikroorganisme sehingga terjadi inflamasi di daerah saluran napas. Hal ini menyebabkan terjadinya edema di daerah jaringan serta perubahan bentuk dari paru.23 Jika terjadi infeksi yang berulang akan mengakibatkan kerusakan yang menetap pada saluran udara dan terbentuk jaringan parut sehingga terjadi penyempitan pada saluran perifer kecil.

2.1.2 Emfisema Pulmonal 24

(4)

alveoli kehilangan struktur penyangganya. Sehingga pada saat terjadi ekspirasi bronkioli akan mengerut dan saluran udara menyempit.

Rokok merupakan faktor determinan yang paling memengaruhi penyakit ini. Saat ini diketahui lebih dari 4.000 zat kimia racun yang memengaruhi keseimbangan antara antiprotease dengan protease di dalam paru-paru yang menyebabkan kerusakan permanen. Pada emfisema tahap lanjut ditemukan :

a. Hiperinflasi dada

Diafragma datar dan rendah dengan pergerakan yang terbatas saat inspirasi dan ekspirasi. Peningkatan diameter anteroposterior dada dengan perluasan pada rongga retrosternal (barrel chest). Penampakan bagian jantung yang tipis, panjang, dan sempit. Hal ini disebabkan oleh inflasi berlebihan dan diafragma rendah.

b. Perubahan vaskular

Paru secara umum dipengaruhi oleh distribusi vaskularisasi pulmonal yang secara abnormal tidak rata sehingga pembuluh darah menjadi tipis disertai hilangnya gradasi halus normal dari pembuluh darah yang berasal dari hilus dan perifer.

c. Bullae

Rongga menyerupai kista sering terbentuk akibat robeknya jaringan alveolus yang melebar. Pada foto dada, rongga tersebut tampak sebagai daerah translusen dengan dindingnya terlihat sebagai bayangan kurva linear menyerupai garis rambut.

2.1.3 Asma Bronkial

(5)

menimbulkan sesak napas.17 Pada keadaan normal, aliran udara dari hidung sampai ke alveoli tidak mengalami hambatan. Namun ketika terjadi serangan asma, aliran udara pada saluran pernapasan menjadi lambat. Hal ini disebabkan terjadinya penyempitan saluran napas yaitu otot-otot saluran napas berkerut (bronkopasme), terjadinya pembengkakan sel- sel permukaan saluran napas, dan produksi mukus kental yang berlebihan sehingga menghambat saluran napas kecil.25

Peradangan saluran napas dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan perubahan bentuk pada saluran napas dengan meningkatnya otot polos, adanya gangguan epitel pada permukaan, meningkatnya kolagen, dan penebalan membran dasar. Perlu dilakukan penanganan yang tepat pada penderita asma agar tidak tejadi hal di atas untuk mengurangi kecenderungan menjadi PPOK.15

Ketiga penyakit ini dapat disebut sebagai PPOK apabila tingkat keparahannya sudah tahap lanjut dan bersifat progresif.21

2.2 Patogenesis PPOK

(6)

bronkus, metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis.

Pada penderita emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Apabila tidak ditangani dan faktor risikonya sendiri tidak dikurangi maka lama kelamaan akan terjadi obstruksi saluran napas yang bersifat irreversibel dan progresif.26

Adapun penyakit yang biasanya terjadi sebelum PPOK adalah bronkitis kronis, asma bronkial, TB Paru, Sinusitis, Polip, dan hipertensi.16

2.3 Gejala PPOK17 2.3.1 Sesak napas

Gejala ini yang paling sering terjadi pada penderita PPOK. Hal ini disebabkan saluran udara yang menyempit dan bersifat irreversibel. Penyempitan saluran napas tersebut menyebabkan peningkatan resistensi dan tertahannya udara sehingga udara inspirasi menjadi berkurang. Kurangnya udara yang masuk menyebabkan saluran bronkiolus menjadi kolaps, sehingga udara akan semakin sulit masuk ke paru-paru. Hiperinflasi paru-paru meningkatkan volume residu sehingga terjadi sesak saat beraktivitas. Diafragma menjadi rata sehingga dibutuhkan usaha yang lebih besar untuk bernapas.

2.3.2 Batuk dan produksi sputum

(7)

biasanya mengalami perburukan pada pagi hari. Warna dari dahak tersebut berwarna putih pada penderita yang bukan perokok dan berwarna abu-abu pada perokok. 2.3.3 Mengi

Suara mengi dihasilkan oleh aliran turbulen pada saluran udara. Gejala ini muncul karena adanya paparan alergen tertentu dan penderita yang mengalami eksaserbasi disebabkan penyempitan bronkus.

Gejala lain yang timbul adalah nyeri dada, infeksi dada, anoreksia, penurunan berat badan, kelelahan, depresi, dan kecacatan (terjadi pada PPOK stadium lanjut). 2.4 Komplikasi PPOK21

2.4.1 Kor pulmonal (gagal jantung kanan)

Komplikasi ini terjadi karena adanya peningkatan tekanan dan desakan dari ventrikel kanan (disebabkan perbesaran sel ventrikular kanan). Peningkatan resistensi pembuluh darah paru sebagai akibat dari penyempitan pembuluh darah hipoksia paru menyebabkan desakan pada sisi kanan jantung. Pada akhirnya terjadi hipertrofi dan kegagalan ventrikel kanan. Berdasarkan penelitian Puspita (2007) di RS Dr. Kariadi Semarang dari 72 penderita gagal jantung terdapat 9,7% PPOK sebagai komorbid gagal jantung.27

2.4.2 Polisitemia

(8)

darah, sehingga darah lebih sulit dipompa ke dalam jaringan, dan mengurangi pengiriman oksigen.

2.4.3Pneumotoraks

Komplikasi ini terjadi pada penderita emfisema. Bulla yang terdapat pada emfisema tahap lanjut bisa saja pecah sehingga udara yang terdapat di dalam bulla masuk ke dalam rongga pleura. Gejala yang muncul yaitu nyeri dada dan sesak yang meningkat. Diagnosis ditegakkan dengan foto sinar X. Pada tahap ringan tidak menunjukkan gejala sehingga dapat sembuh sendiri.

2.4.4 Eksaserbasi

Eksaserbasi terjadi karena produksi sputum yang berlebihan sehingga memudahkan bakteri tumbuh dan akan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik imunitas tubuh mulai menurun, hal ini ditandai dengan menurunnya kadar limfosit di dalam darah.

2.5 Epidemiologi PPOK

2.5.1 Distribusi dan Frekuensi PPOK Berdasarkan Orang

Pada tahun 2006 prevalens penderita PPOK lebih tinggi pada orang kulit putih di Amerika 0,5% sementara pada orang Afrika Amerika sebanyak 0,03%. Berdasarkan penelitian American Lung Association State of Lung Disease in Diverse Communities 2010, pada tahun 2008 perbandingan antara penderita PPOK berkulit hitam (Afrika Amerika) dengan penderita berkulit putih yang didiagnosis menderita bronkitis kronis cukup signifikan.28

(9)

penderita perempuan. Pada usia 45−65 tahun terjadi peningkatan angka prevalens sebesar 2% dan pada usia di atas 75 tahun terjadi peningkatan sebesar 7% pada laki- laki.29

Di negara Amerika dan Inggris tidak ada perbedaan yang menonjol antara jumlah penderita laki- laki dengan perempuan. Hal ini dikaitkan dengan faktor risiko PPOK yang paling berpengaruh yaitu rokok. Pada umumnya proporsi penggunaan rokok antara laki-laki dengan perempuan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Pada tahun 2004 di negara Inggris angka mortalitas PPOK sebanyak 5% pada laki- laki dan 4% pada perempuan. Angka mortalitas ini cenderung lebih tinggi di daerah urban seperti South Wales, bagian barat laut, dan daerah Skotlandia. Kebanyakan mereka adalah perokok dan golongan ekonomi menengah ke bawah.30

2.5.2 Distribusi Frekuensi Penderita PPOK berdasarkan tempat

Hasil survei yang dilakukan pada 25 negara penduduk terbanyak tahun 2006 angka kecacatan tertinggi adalah negara India dengan angka kecacatan 667 per 100.000 penduduk dan angka mortalitas PPOK tertinggi yaitu negara Cina sebanyak 130,5 per 100.000 penduduk. Sementara Indonesia berada pada peringkat ke-6 dengan angka kecacatan 613 per 100.000 penduduk dan angka mortalitas sebanyak 58,4 per 100.000 penduduk.31

2.5.3 Distribusi Frekuensi Penderita PPOK berdasarkan waktu

(10)

mengalami peningkatan dari tahun 2004-2007 kecuali tahun 2006. Pada tahun 2005 terjadi sedikit peningkatan. Akan tetapi pada tahun 2006 terjadi penurunan kasus sebanyak 49,61% . Hal ini disebabkan terjadinya gempa bumi yang mengakibatkan banyaknya korban yang meninggal.pada tahun 2007 terjadi peningkatan sebesar 146% dari tahun 2006 dan meningkat 23,85% dari tahun 2005.32

Prevalensi PPOK di Povinsi Jawa Tengah tahun 2005 sebesar 0,09 kemudian terjadi peningkatan pada tahun 2006 menjadi 0,14 dan pada tahun 2007 sebesar 0,16. Terjadi penurunan prevalensi dari tahun 2008 sebesar 0,20% menjadi 0,12% akan tetapi masih menjadi salah satu dari tujuh penyakit terbesar. Pada tahun 2009 PPOK di Provinsi Jawa Tengah berjumlah 39.474 kasus (proporsi 2,6%).33

2.5.4 Faktor risiko PPOK a. Rokok

Rokok merupakan faktor risiko yang paling besar terhadap terjadinya PPOK. Hampir 90% PPOK disebabkan oleh rokok.34 Berdasarkan penelitian Tri Agus Yuarsa (2013) dari 85 penderita proporsi penderita yang memiliki riwayat merokok selama 30-40 tahun sebesar 87% dan yang paling sedikit proporsi penderita yang memiliki riwayat merokok 10-20 tahun yaitu 0,03)%.4

(11)

parenkim serta jaringan ikat dari ekstraseluler, dengan sifatnya sebagai bahan kimia yang elektrofilik reaktif. 24

Asap rokok

efek sistemik Inflamasi epitel stres oksidan (penurunan berat badan, Saluran pernapasan

kelemahan otot)

CD8

Makrofag PMN Penghambatan antiprotease normal (penghambatan α-1antitripsin)

Peningkatan aktivitas protease genetika

Kerusakan dinding alveolus dan bronkus , peningkatan produksi mukus

PPOK

b. Defisiensi alfa-1-antitripsin

Alfa-1-antitripsin merupakan senyawa protein atau polipeptida yang terdapat dalam darah atau cairan bronkus. Senyawa ini berfungsi menghalangi perusakan parenkim paru oleh protease yang berasal dari bakteri maupun leukosit. Apabila terjadi defisiensi kemungkinan akan terjadi emfisema, yang berpotensi menjadi PPOK. Kelainan ini dapat diturunkan melalui gen resesif autosomal.17

c. Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja yang menghasilkan partikel juga menjadi faktor risiko PPOK, seperti penambang batu bara, penambang batu karang, pekerjaan yang menghasilkan

(12)

partikel debu organik seperti debu kapas, debu padi, dan debu kayu. Bagi mereka yang sering terpajan dengan klorin, amonia, sulfur dioksida, toluen diisosianat, asap diesel, kromium, sulfur, natrium dioksida, dan aldehid juga berisiko terkena PPOK.35 Insiden PPOK lebih tinggi pada golongan sosio ekonomi rendah, terutama yang tinggal di daerah perkotaan. Hal ini dikaitkan dengan tempat tinggal mereka yang kumuh, lembab, dan kepadatan penduduk yang memudahkan terjadinya penyebaran infeksi saluran pernapasan. Gaya hidup mereka yang banyak merokok dan tingginya paparan polusi pekerjaan juga memengaruhi tingginya kasus PPOK di lingkungan ini.29 Di beberapa wilayah regional seperti di Afrika dan Asia masih menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar untuk memasak dengan ventilasi yang buruk. Hal inilah yang mengakibatkan ibu rumahtangga banyak yang menderita PPOK.36

d. Pertumbuhan paru yang tidak optimal

Hai ini berkaitan dengan pola konsumsi pada masa kehamilan, berat lahir yang rendah, dan pajanan faktor risiko sewaktu anak-anak. Tetapi hal ini masih dugaan dan belum dapat dibuktikan.1

2.6 Pencegahan PPOK 2.6.1 Pencegahan Primer26 a. Pendidikan mengenai PPOK

(13)

mengandung banyak partikel berbahaya, dan lingkungan sekolah untuk berupa pencegahan dini untuk tidak merokok karena ini merupakan faktor pencetus yang paling utama.

b. Mengurangi paparan iritan lingkungan

Iritan lingkungan tersebut antara lain asap rokok, polutan tempat kerja, dan udara dingin. Rokok merupakan faktor utama pencetus PPOK. Selain itu rokok juga dapat memperparah keadaan penderita. Untuk itu rokok harus dihindari, sekitar 10%-15% perokok menderita PPOK. Angka kematian PPOK pada perokok juga lebih tinggi dibanding yang bukan perokok.21 Polutan juga dapat memperberat kondisi penderita PPOK, selain bersifat iritan terhadap saluran pernapasan. Penggunaan alat pelindung diri (APD) sangat penting dalam mengurangi paparan polutan. Udara dingin berhubungan dengan peningkatan reaktivitas saluran napas pada penderita asma bronkial.

c. Menjaga berat badan ideal

Kondisi berat badan yang berlebih dapat mengakibatkan otot-otot pernapasan harus bekerja lebih keras, diafragma terdorong ke atas dan menekan paru bagian bawah, sehingga mengakibatkan gangguan keseimbangan ventilasi perfusi. Menjaga berat badan agar tetap ideal perlu dilakukan untuk mengurangi beban kerja paru, selain untuk menghindari risiko timbulnya penyakit lainnya.

d. Predisposisi genetik

Hal ini berkaitan dengan riwayat keluarga yang menderita emfisema, mengingat

(14)

Faktor risiko yang masih dapat dicegah seperti merokok, polutan, dan yang lainnya untuk dihindari.

e. Nutrisi yang cukup

Wanita hamil perlu mengonsumsi gizi yang cukup agar pembentukan organ bayi dapat terbentuk dengan sempurna. Karena pembentukan organ paru yang tidak sempurna sewaktu bayi menjadi salah satu faktor risiko PPOK.

2.6.2 Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder merupakan diagnosa dini pada penderita agar dengan cepat dapat ditangani sehingga tidak semakin buruk dan bahkan terkena komplikasi. Bagi yang berada di lingkungan polutan tinggi agar mengurangi paparan polutan maupun polusi udara. Penderita yang merupakan perokok untuk mengurangi ataupun menghindari paparan rokok agar kondisi penderita tidak semakin parah.37 Vaksinasi harus dilakukan untuk mengurangi risiko terjadinya komplikasi eksaserbasi.38

Diagnosa PPOK ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

a. Anamnesa

Hasil anamnesa diperoleh umumnya penderita berusia pertengahan keatas, riwayat merokok atau bekas perokok, pernah terpajan dengan bahan iritan seperti asap rokok, polutan bahan kimia beracun, dan polusi udara dalam jangka waktu yang lama, serta memiliki riwayat keluarga penderita emfisema. Hal ini berkaitan

dengan defisiensi α-1-antitripsin yang dapat diturunkan. Adanya infeksi saluran

(15)

penderita yang memeriksakan diri kembali untuk melihat progresivitas penyakit dan respon pengobatan.14

b. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda hiperinflasi paru, penggunaan otot napas sekunder, perubahan pola napas dan suara napas yang abnormal (mengi).

Ada beberapa tanda klinis yang dicurigai penderita PPOK yaitu purse lips breathing (mulut setengah terkatup), barrel chest ( diameter antero-posterior dan transversal sebanding), pelebaran sela iga, bila terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut nadi jugularis di leher dan edema tungkai, penampilan pink buffer (kulit kemerahan, badan kurus, pernapasan purse lips breathing) tanda ini khas pada penderita emfisema, dan blue bloater (gemuk sianosis, adanya edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer) merupakan tanda khas pada penderita bronkitis kronis.

c. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang digunakan untuk menunjang pemeriksaan lainnya untuk menentukan diagnosis PPOK, antara lain:

c.1 Dengan menggunakan alat spirometri.

Obstruksi ditentukan dengan melihat nilai Volume Ekspirasi Paksa Detik Pertama (VEP1) prediksi dan Arus Puncak Ekspirasi (APE). 26

(16)

c.3 Pemeriksaan darah rutin yaitu pemeriksaan Hemoglobin (Hb), Hematokrit (Ht), dan leukosit. Apabila ditemukan polisitemia menunjukkan telah terjadi hipoksia kronik.1,26

c.4 Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat terjadinya eksaserbasi agar dapat ditangani dengan pemiihan antibiotik.infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK.

Derajat keparahan PPOK berdasarkan hasil nilai spirometri VEP1 dan APE

dibagi atas: 30

1. Stadium 1 (ringan) : ≥80% (dengan adanya gejala) 2. Stadium 2 (sedang) : 50 - 79%

3. Stadium 3 (berat) : 30 - 49%

4. Stadium 4 (sangat berat) : < 30 % atau 50% dengan gagal napas

Dinyatakan menderita PPOK apabila ditemukan anamnesis penderita terpapar dengan faktor risiko, serta adanya batuk kronik dan berdahak dengan sesak napas terutama saat melakukan aktivitas pada usia pertengahan ke atas.1

Pengobatan yang dapat diberikan antara lain:

1. Terapi B2-agonis dan anti-kolinergi. Keduanya merupakan bronkodilator yang dapat menurangi gejala dan tingkat keparahan eksaserbasi.

(17)

3. Teofilin, berguna untuk mengontrol gejala PPOK. Namun karena pertimbangan efek samping, penderita direkomendasikan menggunakan inhalasi bronkodilator. 4. Terapi oksigen digunakan bagi penderita yang mengalami gagal napas. Terbukti

terapi ini tidak memiliki efek yang berbahaya dalam jangka panjang.38

Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS) merupakan program yang dilakukan pihak rumah sakit kepada penderita dan keluarga penderita agar mereka berperan dalam penyembuhan dan pencegahan suatu penyakit. Hal ini merupakan kerjasama antara petugas kesehatan dengan penderita dan keluarga penderita.

2.6.3 Pencegahan Tersier39

Pencegahan tersier merupakan pencegahan yang dilakukan untuk mengurangi keterbatasan penderita PPOK. Hal- hal yang dapat dilakukan adalah:

a. Latihan fisik

Latihan ini bermanfaat untuk meningkatkan daya tahan tubuh terutama otot pernapasan pada saat beraktivitas.

b. Terapi psikososial

Terapi ini meliputi dukungan dari pihak keluarga kepada penderita, konsultasi masalah yang dialami penderita, karena penderita PPOK biasanya mengalami depresi dan kecemasan sehingga perlu diberikan motivasi oleh orang-orang yang dekat dengan penderita.

c. Terapi nutrisi

(18)

yang perlu dilakukan adalah pengaturan pola makan bagi penderita. Akan tetapi harus diikuti dengan berolahraga.

2.7 Kerangka Konsep

Berdasarkan latar belakang dan studi kepustakaan di atas, maka dapat diuat kerangka konsep karakteristik penderita penyakit obstruksi kronik (PPOK) yang dirawat inap di RSUP HAM Medan tahun 2012 seperti bagan di bawah ini.

KARAKTERISTIK PENDERITA PPOK

1. Sosiodemografi: Umur

Jenis Kelamin Agama Pendidikan Pekerjaan Tempat Tinggal 2. Keadaan medis

Keluhan

Tingkat Keparahan

Jenis Penyakit sebelumnya Jenis Komplikasi

Riwayat Merokok

Referensi

Dokumen terkait

Dekan Fakultas llmu Keolalu'agaan Universitas Negeri Yoryakarla, menugaskan/meng[iin- kan Saudara yang narnanya tersebut di bawah ini

Sehubungan dengan telah dilaksanakannya Evaluasi Kualifikasi dari perusahaan yang saudara pimpin, maka dengan ini kami mengundang saudara dalam kegiatan Pembuktian

dilarang di dalam aturan perundang-undangan tentang pemilu Presiden dan Wakil Presiden, pemilu legislatif, dan pilkada sampai dengan adanya dugaan praktik pencucian

permulaan dialog Allah S.W.T., menggunakan kalimat wa id yang berarti dan ingatlah, ini adalah upaya Allah S.W.T., menarik perhatian sehingga makhluk yang diajak

[r]

45 yang dimana mereka tidak menetap agamanya, seperti halnya pada saat pendeta atau ustad yang datang ke Desa Petani tersebut untuk datang penyuluhan agama maka

Kondisi ini dapat dibuktikan bahwa keputusan waktu panen lobster ternyata hasilnya tidak dapat selamanya benar dalam hal tidak dapat merubah situasi menjadi lebih baik

Motivasi dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh revaluasi aset tetap bewujud dan rekayasa akrual terhadap laba kena pajak perusahaan.. Variabel bebas