• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABSTRAK INVENTARISASI SPESIES BELALANG DI KAWASAN HUTAN GALAM DESA TABING RIMBAH KECAMATAN MANDASTANA KABUPATEN BARITO KUALA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ABSTRAK INVENTARISASI SPESIES BELALANG DI KAWASAN HUTAN GALAM DESA TABING RIMBAH KECAMATAN MANDASTANA KABUPATEN BARITO KUALA"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

92

ABSTRAK

INVENTARISASI SPESIES BELALANG DI KAWASAN HUTAN GALAM DESA TABING RIMBAH KECAMATAN MANDASTANA KABUPATEN

BARITO KUALA

Oleh: Noor Latifah, Dharmono, Akhmad Naparin

Inventarisasi adalah pengumpulan data dan juga pemberian nama pada suatu organism yang baru ditemukan. Serangga merupakan hewan yang penyebarannya luas. Orthoptera yang dikenal dengan belalang adalah salah satu ordo dari serangga dengan ukuran relatif besar. Belalang merupakan salah satu kekayaan Indonesia yang jarang mendapatkan perhatian. Keberadaan dan spesies belalang di Indonesia baru sebagian kecil yang teridentifikasi artinya kajiannya masih sangat minim dan belum berkembang. Hutan galam merupakan hutan khas daerah hutan rawa gambut yang memiliki keanekaragaman tumbuhan dan hewan seperti pohon, semak, herba, mamalia, burung, reptil, amphibi, ikan, dan serangga. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui spesies belalang yang terdapat di Kawasan Hutan Galam Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala. Metode yang digunakan adalah metode eksploratif dan deskriptif dengan teknik transek yaitu dengan cara jelajah transek pada tiga stasiun pengamatan dengan ukuran 500x500 m. Setiap stasiun pengamatan memiliki 5 buah transek secara sistematis. Luas tiap transek adalah 100x100 m. Populasi dalam penelitian ini adalah semua spesies belalang yang terdapat di Kawasan Hutan Galam Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala. Sampel dalam penelitian ini adalah semua spesies belalang yang didapatkan dengan menggunakan jaring serangga dengan diameter permukaan 45 cm, diameter mata jaring 0,1 cm, tinggi kerucut 45 cm dan panjang lengan jaring 90 cm. Dari hasil penelitian diperoleh 6 spesies belalang dengan 2 famili yaitu famili Acrididae dengan spesies Oxya chinensis, Valanga nigricornis, Chorthippus biguttulus, Acrida ungarica dan Acrida conica. Famili Tettigonidae yaitu spesies Conocephalus fasciatus.

(2)

93

PENDAHULUAN

Pada saat ini jumlah spesies serangga sekurang-kurangnya ada 5 kali lipat jumlah semua hewan lain secara bersama-sama. Mereka terdapat hampir dimana-mana, populasi mereka sering kali berjumlah jutaan dalam wilayah setengah hektar. Beberapa spesies telah meampu beradaptasi untuk hidup di daerah tundra Arktik, yang lain terdapat di padang pasir yang kering serta panas terik, dan yang lainnya lagi telah mendiami Antartika. Bahkan di daerah beriklim sedang serangga menjelajahi dan menaklukkan habitat yang nampaknya tidak mungkin dihuni makhluk lain. Sebagian besar dari kesuksesan mereka ini disebabkan oleh evolusi sayap mereka dan mekanisme makan yang bervariasi (Hoeve, 1996).

Menurut Jumar (1997), serangga berperan dalam penyerbukan, sebagai predator dan parasit beberapa jenis hama tanaman, bermanfaat dalam kegiatan pengendalian hama tanaman, serta serangga juga berperan dalam mengendalikan gulma yang merugikan. Tetapi disisi lain serangga juga merupakan hama bagi tanaman.

Belalang termasuk kedalam ordo Orthoptera, belalang merupakan contoh yang baik untuk serangga karena kurang mempunyai kekhususan bila dibandingkan dengan serangga lainnya. Oleh karena itu ciri-cirinya berlaku untuk serangga lainnya. Seperti halnya udang-udangan, maka belalang tubuhnya terbungkus oleh exo-skeleton yang melindungi sistem organ yang lunak sebelah kanan (Jasin, 1987).

Belalang adalah serangga yang dapat mengganggu terhadap kelangsungan hidup tanaman, sebagai rantai makanan yang sangat penting dari berbagai konsumen, dan membantu penyerbukan berbagai macam tumbuhan (misal jika itu dibantu oleh kaki-kakinya yang tidak sengaja menempel dan ia berpindah ke tempat lain sehingga terjadilah penyerbukan). Habitat dari belalang itu sendiri dapat ditemui di kawasan yang banyak terdapat tanaman-tanaman di sekitarnya. Menurut Borror, dkk (1992) kebanyakan famili belalang yang umum ada di padang rumput

(3)

94

dan sepanjang sisi-sisi jalan sedangkan menurut Lilies (1991), belalang sering ditemukan di daerah berumput, daerah kering, pepohonan, padi, tembakau, jagung tebu.

Menurut Indriyanto (2006) ekosistem hutan gambut merupakan suatu tipe ekosistem hutan yang cukup unik karena tumbuh di atas tumpukan bahan organik yang melimpah. Hutan galam merupakan hutan khas daerah hutan rawa gambut dengan kemasaman tanah yang cukup tinggi. Umumnya hutan galam merupakan hutan homogen. Namun ada pula yang tumbuh di hutan air tawar. Hutan galam banyak dijumpai di daerah dataran rendah seperti Kabupaten Barito Kuala. Kabupaten Barito Kuala merupakan salah satu kabupaten yang secara geografis terletak di bagian barat provinsi Kalimantan Selatan. Sebagian besar wilayahnya berupa dataran rendah dengan lingkungan alam rawa gambut yang luas yang terletak di sepanjang Sungai Barito yang memiliki keanekaragaman tumbuhan dan hewan. Bentuk geologis wilayah Kabupaten Barito Kuala merupakan dataran rendah dengan ketinggian 0,2 – 3 m dari permukaan laut dengan luas ± 16.013,97 m3 (Kab. Barito Kuala, 2012).

Berdasarkan hasil observasi pendahuluan di kawasan hutan galam di Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala terlihat bahwa hutan galam tersebut berstatus semi alami. Dikatakan sebagai hutan semi alami disebabkan hutan galam di wilayah ini sebagian telah mengalami reklamasi menjadi lahan pertanian dan jalan. Galam yang tumbuh di kawasan ini beregenerasi secara alami membentuk hutan homogen. Tinggi galam dihutan tersebut ± 10 m. Hewan-hewan yang saling berhubungan pada hutan galam keberadaannya cukup banyak dan di daerah tersebut terlihat beberapa spesies belalang yang dijumpai. Sehingga dengan adanya inventarisasi terhadap belalang tersebut maka dapat diketahui spesies belalang apa saja yang terdapat di Kawasan Hutan Galam Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala.

(4)

95

Berdasarkan uraian di atas diketahui belum pernah dilakukan penelitian mengenai inventarisasi spesies belalang pada Kawasan Hutan Galam Desa Tabing Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala yang dilakukan oleh BKSDA Barito Kuala maupun Pendidikan Biologi FKIP UNLAM Banjarmasin, maka dari itu dirasa perlu diadakannya penelitian tentang Inventarisasi Spesies Belalang di Kawasan Hutan Galam Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksploratif dengan menggunakan metode jelajah transek yaitu turun langsung kelapangan dalam pengamatan dan pengambilan sampel untuk mengetahui spesies belalang yang tertangkap pada jaring serangga di Kawasan Hutan Galam Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala yang dibagi menjadi tiga stasiun pengamatan. Setiap stasiun pengamatan memiliki 5 buah transek secara sistematis dengan luas tiap transek adalah 100x100 m (Lampiran 2). Menurut Fathoni (2006), penelitian lapangan adalah suatu penelitian yang dilakukan di lapangan atau di lokasi penelitian, suatu tempat yang dipilih sebagai lokasi untuk menyelidiki gejala obyektif yang terjadi di lokasi tersebut. Menurut Indriyanto (2006), metode pengambilan secara sistematis dilakukan dengan penempatan desain petak-petak contoh (kuadrat atau titik) di lapangan secara non acak.

Populasi dalam penelitian ini adalah semua spesies belalang yang terdapat di Kawasan Hutan Galam Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala. Sampel dalam penelitian ini adalah semua spesies belalang yang didapatkan di Kawasan Hutan Galam Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala yang dibagi menjadi 3 stasiun pengamatan.

(5)

96

1.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kawasan Hutan Galam Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala. Waktu yang diperlukan dalam penelitian ini secara keseluruhan adalah 6 bulan, yaitu dari bulan Juli 2012 sampai dengan bulan Desember 2012 yang meliputi tahap persiapan (survei lokasi dan penyusunan proposal), pelaksanaan penelitian, pengumpulan data, analisis data, dan penyusunan skripsi. Adapun pengambilan data di lapangan dilakukan pada bulan Oktober 2012.

1.3 Populasi dan Sampel Penelitian

2.3.1 Populasi Penenlitian

Populasi dalam penelitian ini adalah semua spesies belalang yang terdapat di Kawasan Hutan Galam Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala.

2.3.2 Sampel Penelitian

Sampel dalam penelitian ini adalah semua spesies belalang yang didapatkan di Kawasan Hutan Galam Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala yang dibagi menjadi 3 stasiun pengamatan. Setiap stasiun pengamatan memiliki 5 buah transek secara sistematis dengan luas tiap transek adalah 100x100 m dan pengambilan data dilakukan pada jam 08.00 - 12.00 dan jam 12.00 - 18.00 WITA dengan menggunakan jaring net atau jala serangga yang memiliki diameter permukaan 45 cm, diameter mata jaring 0,1cm, tinggi kerucut 45 cm dan panjang lengan jaring 90 cm.

(6)

97

2.3 Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Jaring net atau jala serangga,

(2) Kertas label digunakan untuk menandai sampel yang didapat. (3) Kertas milimeter blok,

(4) Kamera untuk dokumentasi (5) Loupe

(6) Mikroskop Binokuler (7) Penggaris dan alat tulis (8) Plastik clip

(9) Rol meter digunakan untuk mengukur luas area penelitian (m). (10) Tabel panduan pengamatan

(11) Termometer untuk mengukur suhu udara.

(12) Hygrometer untuk mengukur kelembaban udara. (13) Lux meter untuk mengukur intensitas cahaya. (14) Anemometer untuk mengukur kecepatan angin.

Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Semua belalang yang ditemukan.

(2) Formalin 4%, digunakan untuk mengawetkan sampel belalang (awetan basah).

Analisis Data

Mengidentifikasi secara deskriptif dengan melakukan pengamatan ciri morfologi belalang yang ditemukan pada penelitian di Kawasan Hutan Galam Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala dengan menggunakan pustaka-pustaka:

(1) Borror, dkk. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. (2) Jumar, 1997. Entomologi Pertanian.

(3) Lilies, 1991. Kunci determinasi Serangga. (4) Berbagai sumber internet yang relevan.

(7)

98

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian spesies belalang di kawasan Hutan Galam Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala berdasarkan hasil penangkapan belalang maka diperoleh data seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi Spesies Belalang di Kawasan Hutan Galam

Filum Kelas Ordo Famili Spesies

Artrhopoda Insecta Orthoptera Acrididae

Oxya chinensis Valanga nigricornis Chorthippus biguttulus Acrida ungarica Acrida conica

Tettigonidae Conocephalus fasciatus

Pada tabel 1 diketahui bahwa terdapat 6 spesies belalang yang tertangkap yang berasal dari 2 famili yaitu Acrididae dan Tettigonidae. Famili Acrididae yaitu Oxya chinensis, Valanga nigricornis, Chorthippus biguttulus, Acrida ungarica dan Acrida conica sementara Famili Tettigonidae terdiri atas Conocephalus fasciatus.

Berdasarkan pada waktu penangkapan dan stasiun pengamatan yang dilakukan di Kawasan Hutan Galam Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala ditemukan 6 spesies belalang seperti yang disajikan pada tabel 2 berikut ini :

Tabel 2. Spesies belalang yang terdapat di Kawasan Hutan Galam desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala.

No. Nama Spesies

Stasiun Pengamatan (∑) I (Penduduk) II (Hutan Galam

Heterogen)

III (Hutan Galam Homogen) 08.00-12.00 12.00-18.00 08.00-12.00 12.00-18.00 08.00-12.00 12.00-18.00 1 Oxya chinensis 7 9 19 28 4 5 2 Valanga nigricornis 1 1 3 5 1 2 3 Conocephalus fasciatus 6 9 11 14 5 4 4 Chorthippus biguttulus 5 7 16 18 4 7 5 Acrida ungarica 0 0 1 2 0 0 6 Acrida conica 1 2 2 3 0 0 Jumlah 20 28 52 70 14 18

(8)

99

4.2 Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan yang dilakukan terhadap spesies belalang yang di temukan pada Kawasan Hutan Galam desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala di dapatkan 6 spesies. Berikut deskripsi dari tiap-tiap spesies belalang yang didapatkan :

1) Spesies 1

Gambar 1a. Spesies 1

Berdasarkan hasil pengamatan untuk spesies 1 (Lampiran 5) memiliki kepala dengan posisi Hypognatus, panjang antena 1 cm dengan 24 ruas dan berbentuk filiform. Pada kepala terdapat mata tunggal serta memiliki mulut dengan tipe menggigit-mengunyah. Toraks terbagi menjadi 3 yaitu protoraks, mesotoraks dan metatoraks. Dibagian mesotoraks terdapat sayap depan dengan tekstur perkamen, panjang 1,7 cm, bentuk memanjang, memiliki rangka sayap dan berwarna hijau kecoklatan. Sedangkan pada metatoraks terdapat sayap belakang dengan tekstur kasar, panjang 1, 6 cm lebih pendek dari sayap depan, bentuk membulat, memiliki rangka sayap dan berwarna hijau kecoklatan. Spesies ini memiliki tungkai yang terdiri dari koksa 1 ruas, trokhanter 1 ruas, femur 1 ruas, tibia 1 ruas, tarsus 3 ruas, memiliki kuku serta arolium dan tungkai berbentuk cursorial dengan panjang tungkai belakang yaitu 2,6 cm. Abdomen terdiri

Gambar 1b. Oxya chinensis (Turn) ( Mulayani, 2012)

(9)

100

dari 8 ruas dengan bentuk memanjang yang terdapat cercus serta ovipositor yang pendek. Panjang tubuhnya secara keseluruhan adalah 2,2 cm.

Menurut Lilies (1991), spesies yang memiliki antena pendek, pronotom tidak memanjang ke belakang, femur kaki belakang membesar, ovipositor pendek. Sebagaian besar berwarna abu - abu atau kecoklatan dan beberapa mempunyai warna cerah pada sayap belakang termasuk dalam ordo Orthoptera dengan famili acrididae.

Klasifikasi :

Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Orthoptera Sub Ordo : Caelifera Famili : Acrididae Genus : Oxya

Spesies : Oxya chinensis

2) Spesies 2

Gambar 2a. Spesies 2

Berdasarkan hasil pengamatan untuk spesies 2 (Lampiran 5) memiliki kepala dengan posisi Hypognatus, panjang antena 1,5 cm

Gambar 2b. Valanga nigricornis (Burmeister, 2012)

(10)

101

dengan 19 ruas dan berbentuk filiform. Pada kepala terdapat mata tunggal serta memiliki mulut dengan tipe menggigit-mengunyah. Toraks terbagi menjadi 3 yaitu protoraks, mesotoraks dan metatoraks. Dibagian mesotoraks terdapat sayap depan dengan tekstur lembut, panjang 0,7 cm, bentuk membulat, memiliki rangka sayap dan berwarna hijau muda. Sedangkan pada metatoraks terdapat sayap belakang dengan tekstur lembut, panjang 0,7 cm, bentuk membulat, memiliki rangka sayap dan berwarna hijau muda sama seperti sayap depan. Spesies ini memiliki tungkai yang terdiri dari koksa 1 ruas, trokhanter 1 ruas, femur 1 ruas, tibia 1 ruas, tarsus 3 ruas, memiliki kuku serta arolium dan tungkai berbentuk cursorial dengan panjang tungkai belakang yaitu 3,9 cm. Abdomen terdiri dari 9 ruas dengan bentuk memanjang yang terdapat cercus serta ovipositor yang pendek. Panjang tubuhnya secara keseluruhan adalah 4,5 cm.

Merujuk pada hasil deskripsi dan ciri – ciri pustaka spesies ini termasuk dalam ordo orthoptera dengan familli Acrididae serta perbandingan gambar litertur spesies menurut Dodi (2011) serta hasil validasi spesies ini termasuk dalam genus Valanga dengan nama spesies Valanga nigricornis (Burm).

Menurut Sudarmo (1988) nama umum Valanga niigricornis adalah walang kayu. Tanaman inangnya adalah kapas, jati, kelapa, kopi, coklat, jarak, jagung, wijen, ketela, waru, cemara, kapok, mangga, nangka, karet, pisang dan kluwih. Beberapa dari tanaman-tanaman tersebut juga terdapat di kawasan penelitian contohnya kelapa, waru, mangga, nangka dan pisang sehingga memungkinkan belalang ini dapat ditemukan pada kawasan penelitian. Nympha dan dewasa memakan daun, sehingga menyebabkan daun berlubang-lubang. Belalang ini berukuran panjang 58-71 mm dan dewasa berwarna kuning coklat atau coklat gelap. Sedangkan menurut Lilies (1991) Valanga nigricornis menyerang pohon jati dan berbagai pohon lainnya, dikenal sebagai walang kayu.

(11)

102 Filum : Arthropoda

Kelas : Insecta Ordo : Orthoptera Sub Ordo : Caelifera Famili : Acrididae Genus : Valanga

Spesies : Valanga nigricornis

3) Spesies 3

Gambar 3a. Spesies 3

Berdasarkan hasil pengamatan untuk spesies 3 (Lampiran 5) memiliki kepala dengan posisi Hypognatus, panjang antena 4 cm dengan 16 ruas dan berbentuk setaceus. Pada kepala terdapat mata tunggal serta memiliki mulut dengan tipe menggigit-mengunyah. Toraks terbagi menjadi 3 yaitu protoraks, mesotoraks dan metatoraks. Dibagian mesotoraks terdapat sayap depan dengan tekstur perkamen, panjang 2,1 cm, bentuk memanjang, memiliki rangka sayap dan berwarna hijau kecoklatan. Sedangkan pada metatoraks terdapat sayap belakang dengan tekstur kasar, panjang 2,5 cm lebih panjang dari sayap depan, bentuk memanjang, memiliki rangka sayap dan berwarna hijau kecoklatan. Spesies ini memiliki tungkai yang terdiri dari koksa 1 ruas, trokhanter 1 ruas, femur 1 ruas, tibia 1 ruas, tarsus 4 ruas, memiliki kuku serta arolium

Gambar 3b. Conocephalus fasciatus (Austin, 2012)

(12)

103

dan tungkai berbentuk cursorial dengan panjang tungkai belakang yaitu 2,6 cm. Abdomen terdiri dari 14 ruas dengan bentuk memanjang yang terdapat cercus serta ovipositor seperti pedang. Panjang tubuhnya secara keseluruhan adalah 1,7 cm.

Menurut Borror, dkk (1992), spesies yang memiliki sungut yang panjang seperti rambut, tarsi yang beruas 4. Sedangkan menurut Lilies (1991), spesies yang memiliki tubuh yang besar dengan posisi muka miring, memiliki antena seperti rambut, antena tersebut sama panjang atau lebih panjang dari tubuhnya. Ada yang memiliki sayap dan ada pula yang tidak memiliki sayap. Warna sayap hijau tetapi ada yang menyamar dengan sayap coklat atau seperti karat. Pada betina mempunyai ovipositor panjang dan ramping berbentuk seperti pedang termasuk ke dalam ordo Orthoptera dengan famili Tettigonidae.

Merujuk pada hasil deskripsi dan ciri – ciri pustaka spesies ini termasuk dalam ordo orthoptera dengan familli Tettigonodae serta perbandingan gambar literatur menurut Austin (2012) serta hasil validasi spesies ini termasuk dalam genus Tettigonia dengan nama spesies Conocephalus fasciatus.

Klasifikasi :

Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Orthoptera Sub Ordo : Ensifera Famili : Tettigonidae Genus : Conocephalus

(13)

104

4) Spesies 4

Gambar 4a. Spesies 4

Berdasarkan hasil pengamatan untuk spesies 4 (Lampiran 5) memiliki kepala dengan posisi Hypognatus, panjang antena 0,6 cm dengan 16 ruas dan berbentuk filiform. Pada kepala terdapat mata tunggal serta memiliki mulut dengan tipe menggigit-mengunyah. Toraks terbagi menjadi 3 yaitu protoraks, mesotoraks dan metatoraks. Dibagian mesotoraks terdapat sayap depan dengan tekstur perkamen, panjang 0,6 cm, bentuk memanjang, memiliki rangka sayap dan berwarna hijau kecoklatan. Sedangkan pada metatoraks terdapat sayap belakang dengan tekstur kasar, panjang 0,5 cm lebih pendek dari sayap depan, bentuk memanjang, memiliki rangka sayap dan berwarna hijau kecoklatan. Spesies ini memiliki tungkai yang terdiri dari koksa 1 ruas, trokhanter 1 ruas, femur 1 ruas, tibia 1 ruas, tarsus 3 ruas, memiliki kuku serta arolium dan tungkai berbentuk saltatorial dengan panjang tungkai belakang yaitu 3,8 cm. Abdomen terdiri dari 7 ruas dengan bentuk memanjang yang terdapat cercus serta ovipositor yang pendek. Panjang tubuhnya secara keseluruhan adalah 2,1 cm.

Menurut Lilies (1991), spesies yang memiliki antena pendek, pronotom tidak memanjang ke belakang, femur kaki belakang membesar, ovipositor pendek. Sebagian besar berwarna abu-abu atau kecoklatan dan

Gambar 4b. Chorthippus biguttulus (Robert, 2012)

(14)

105

beberapa mempunyai warna cerah pada sayap belakang termasuk dalam ordo Orthoptera dengan famili Acrididae.

Sementara menurut Borror, dkk (1992), spesies yang memiliki sungut biasanya lebih pendek dari pada tubuhnya dan tarsi 3 ruas. Kebanyakan warnanya kelabu atau kecoklatan dan beberapa mempunyai warna yang cemerlang pada sayap belakang termasuk kedalam ordo Orthoptera dengan famili Acrididae.

Merujuk pada hasil deskripsi dan ciri – ciri pustaka spesies ini termasuk dalam ordo orthoptera dengan familli Gryllidae dan perbandingan gambar literatur menurut Robert (2012) serta hasil validasi spesies ini termasuk dalam genus Chorthippus dengan nama spesies Chorthippus biguttulus.

Klasifikasi :

Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Orthoptera Sub Ordo : Caelifera Famili : Acrididae Genus : Chorthippus

Spesies : Chorthippus biguttulus

5) Spesies 5

(15)

106

Berdasarkan hasil pengamatan untuk spesies 5 (Lampiran 5) memiliki kepala dengan posisi Hypognatus, panjang antena 0,8 cm dengan 16 ruas dan berbentuk setaceus. Pada kepala terdapat mata tunggal serta memiliki mulut dengan tipe menggigit-mengunyah. Toraks terbagi menjadi 3 yaitu protoraks, mesotoraks dan metatoraks. Dibagian mesotoraks terdapat sayap depan dengan tekstur perkamen, panjang 0,6 cm, bentuk membulat, memiliki rangka sayap dan berwarna coklat. Sedangkan pada metatoraks tidak terdapat sayap belakang. Spesies ini memiliki tungkai yang terdiri dari koksa 1 ruas, trokhanter 1 ruas, femur 1 ruas, tibia 1 ruas, tarsus 3 ruas, memiliki kuku serta arolium dan tungkai berbentuk cursorial dengan panjang tungkai belakang yaitu 2,7 cm. Abdomen terdiri dari 8 ruas dengan bentuk memanjang yang terdapat cercus serta ovipositor yang pendek. Panjang tubuhnya secara keseluruhan adalah 3,4 cm.

Menurut Lilies (1991), spesies yang memiliki antena pendek, pronotm tidak memanjang ke belakang, femur kaki belakang membesar, ovipositornya pendek. Sebagian besar berwarna abu-abu atau kecoklatan dan beberapa mempunyai warna cerah pada sayap belakang termasuk dalam ordo Orthoptera dengan famili Acrididae.

Sementara menurut Borror, dkk (1992), spesies yang memiliki sungut biasanya lebih pendek dari pada tubuhnya dan tarsi 3 ruas.Kebanyakan warnanya kelabu atau kecoklatan dan beberapa mempunyai warna yang cemerlang pada sayap belakang termasuk ke dalam ordo Orthoptera dengan famili Acrididae.

Merujuk pada hasil deskripsi dan ciri – ciri pustaka spesies ini termasuk dalam ordo orthoptera dengan familli Acrididae serta perbandingan gambar literatur menurut Marzo (2012) serta hasil validasi spesies ini termasuk dalam genus Acrida Linnaeus (1758) dengan nama spesies Acrida ungarica.

(16)

107 Klasifikasi :

Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Orthoptera Sub Ordo : Caelifera Famili : Acrididae Genus : Acrida

Spesies : Acrida ungarica

6) Spesies 6

Gambar 6a. Spesies 6

Berdasarkan hasil pengamatan untuk spesies 6 (Lampiran 5) memiliki kepala dengan posisi Hypognatus, panjang antena 0,6 cm dengan 9 ruas dan berbentuk setaceus. Pada kepala terdapat mata tunggal serta memiliki mulut dengan tipe menggigit-mengunyah. Toraks terbagi menjadi 3 yaitu protoraks, mesotoraks dan metatoraks. Dibagian mesotoraks terdapat sayap depan dengan tekstur kasar, panjang 1,8 cm, bentuk membulat, memiliki rangka sayap dan berwarna hijau. Sedangkan pada metatoraks terdapat sayap belakang dengan tekstur perkamen, panjang 1,7 cm lebih panjang dari sayap depan, bentuk memanjang, memiliki rangka sayap dan berwarna hijau kecoklatan. Spesies ini memiliki tungkai yang terdiri dari koksa 1 ruas, trokhanter 1 ruas, femur 1 ruas, tibia

Gambar 6b. Acrida conica (Peter, 2010)

(17)

108

1 ruas, tarsus 3 ruas, memiliki kuku serta arolium dan tungkai berbentuk cursorial dengan panjang tungkai belakang yaitu 2,5 cm. Abdomen terdiri dari 9 ruas dengan bentuk membulat yang terdapat cercus serta ovipositor yang pendek. Panjang tubuhnya secara keseluruhan adalah 4,1 cm.

Menurut Lilies (1991), spesies yang memiliki antena pendek, pronotom tidak memanjang ke belakang, femur kaki belakang membesar, ovipostior pendek. Sebagian besar berwarna abu- abu atau kecoklatan dan beberapa mempunyai warna cerah pada sayap belakang termasuk ke dalam ordo Orthoptera dengan famili Arcididae.

Sementara menurut Borror, dkk (1992), speseis yang memiliki sungut biasanya lebih pendek dari pada tubuhnya dan tarsi 3 ruas. Kebanyakan warnanya kelabu atau kecoklatan dan beberapa mempunyai warna yang cemerlang pada sayap belakang termasuk kedalam ordo Orthoptera dengan famili Acrididae.

Merujuk pada hasil deskripsi dan ciri – ciri pustaka spesies ini termasuk dalam ordo Orthoptera dengan familli Acrididae serta perbandingan gambar menurut Peter (2010) serta hasil validasi spesies ini termasuk dalam genus Acrida dengan nama spesies Acrida conica. Klasifiikasi :

Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Orthoptera Sub Ordo : Caelifera Famili : Acrididae Genus : Acrida

Spesies : Acrida conica

Menyimak tabel 2 dapat diketahui bahwa jumlah individu belalang perstasiun pengamatan yang paling banyak ditemukan pada stasiun pengamatan ke-2 yang merupakan stasiun dengan kondisi hutan galam heterogen atau terdapat tanaman lain di kawasan hutan tersebut yang tidak hanya galam saja. Didapatkan belalang dengan jumlah 122 ekor

(18)

109

dari 6 spesies yang ditemukan pada kawasan tersebut. Hal ini dikarenakan stasiun tersebut berbatasan dengan sungai dan juga ada persawahan yang merupakan salah satu habitat bagi belalang serta faktor lingkungan yang juga mendukung bagi kehidupan belalang tersebut terlihat pada hasil pengukuran parameter lingkungan (lampiran 4) pada stasiun 2 yaitu suhu pada jam 08.00-12.00 WITA berkisar antara 30o C sampai 31o C dan pada jam 12.00-18.00 WITA berkisar antara 32o C sampai 33o C selain itu intensitas cahaya juga tergolong lebih tinggi dari pada intenitas cahaya di stasiun 1 dan 3. Faktor-faktor tersebut yang dapat menunjang kehidupan bagi belalang yang berada dikawasan tersebut. Menurut Lilies (1991), belalang sering ditemukan di daerah berumput, pepohonan, padi, tembakau, jagung dan tebu. Jumlah individu belalang pada stasiun pengamatan ke-1 yang merupakan stasiun dengan kondisi hutan galam yang mendekati pemukiman penduduk dan jalan didapatkan belalang berjumlah 48 ekor dari 5 spesies yang ditemukan pada kawasan tersebut. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan pada stasiun pengamatan ke-2 hal itu dikarenakan stasiun tersebut berbatasan dengan pemukiman warga yang dapat mengganggu aktivitas dari belalang tersebut. Menurut Borror, dkk (1992) kebanyakan famili belalang umumnya ada di padang rumput dan sepanjang sisi-sisi jalan. Sedangkan jumlah individu belalang pada stasiun pengamatan ke-3 yang merupakan stasiun dengan kondisi hutan galam yang homogen paling sedikit jumlahnya yaitu hanya 32 ekor dari 4 spesies yang ditemukan pada kawasan tersebut. Dikarenakan lokasinya yang berada di tengah hutan galam yang masih alami dan homogen sehingga belalang lebih sedikit ditemukan. Menurut Dharmono (2007) galam diketahui berinteraksi secara negative dengan lingkungan tumbuhan di sekitarnya. Galam menghasilkan zat-zat kimia atau bahan organic yang bersifat allelopathy melalui daun dan serasah yang jatuh. Galam menghasilkan serasah dengan berbagai metabolit sekunder. Daun segar dan daun kering Melaluca cajuputi Powell mengandung flavonoid dan minyak atsiri (sineol,

(19)

110

I-limonena dan asam betulinat). Hal ini menandakan semakin menjauh dari daerah reklamasi, maka semakin tinggi kerapatan tegakan galam. Dengan demikian, semakin tinggi pula produksi serasah yang dihasilkan oleh galam. Serasah galam diketahui mengandung metabolit sekunder yang berpengaruh terhadap peningkatan kadar keasaman tanah. Apabila kandungan serasah galam itu tinggi, maka semakin tinggi pula strees lingkungan di sekitarnya. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap tumbuhan yang tumbuh di sekitar galam tersebut yang diduga dijadikan sumber makanan dan habitat bagi belalang.

Berdasarkan hasil pada tabel 2 di Kawasan Hutan Galam Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala pada waktu pengamatan yang berbeda dari pukul 12.00-18.00 WITA lebih banyak individu belalang yang ditemukan dari pada pukul 08.00-12.00 WITA. Hal ini disebabkan belalang melakukan kegiatannya pada siang hari, saat matahari bersinar. Sedangkan pada dini hari saat matahari belum terik hanya belalang dari beberapa famili atau spesies tertentu yang melakukan aktifitas pada waktu tersebut sehingga jarang dijumpai karena mereka sering kali bersembunyi. Menurut Lilies (1991) Belalang aktif pada siang hari ketika matahari bersinar, oleh karena itu ketika cuaca cerah beberapa belalang akan menampakkan dirinya.

Dari hasil pengukuran parameter yang disajikan (Lampiran 4) didapatkan data pada pukul 08.00-12.00 WITA suhu berkisar antara 30o C sampai 31oC sedangkan pukul 12.00-18.00 WITA suhu berkisar antara 32o C sampai 33oC. Berdasarkan data yang diperoleh, maka suhu di Kawasan Hutan Galam Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala mendekati kategori optimum karena berada pada kisaran 30o C sampai 33o C. Suhu di daerah tersebut tergolong hangat sehingga aktivitas belalang cukup tinggi. Sesuai dengan aktivitas belalang yang biasanya aktif pada siang hari tepatnya pada cuaca yang cerah. Menurut Jumar (1997), kisaran suhu yang efektif bagi serangga adalah suhu minimum 15o C, suhu optimum 25o C dan suhu maksimum

(20)

111

45o C. Artinya semua belalang dapat bertahan pada suhu di Kawasan Hutan Galam Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana. Kecepatan angin biasanya berperan dalam membantu penyebaran serangga diantaranya belalang dan mempengaruhi kandungan air yang tentunya juga berhubungan dengan kelembaban udara, dimana kelembaban udara merupakan faktor fisik yang mempengaruhi distribusi, kegiatan maupun perkembangan serangga. Hal ini sesuai dengan hasil pengukuran kelembaban udara pukul 08.00-12.00 WITA berkisar antara 68% sampai 76% sedangkan pukul 12.00-18.00 WITA kelembaban udara berkisar antara 64% sampai 66% termasuk dalam kategori kelembaban udara yang cukup tinggi yang dapat mendukung bagi organisme lain seperti tumbuhan yaitu tersedianya air yang cukup sehingga kelangsungan hidup insekta khususnya belalang sendiri terjaga dan juga menunjang aktivitas hidup dari belalang. Intensitas cahaya pukul 08.00-12.00 WITA berkisar antara 4,23 K.Lux sampai 5,79 K.Lux sedangkan pukul 12.00-18.00 WITA intensitas cahaya berkisar antara 6,4 K.Lux sampai 7,41 K.Lux, dan kecepatan angin pukul 08.00-12.00 WITA berkisar antara 0,35 m/s sampai 0,79 m/s sedangkan pukul 12.00-18.00 WITA kecepatan angin berkisar antara antara 0,63 m/s sampai 1,86 m/s. Spesies belalang banyak ditemukan pada pukul 12.00-18.00 WITA hal ini dikarenakan pada pukul ini kondisi lingkungan khususnya intensitas cahaya sudah tinggi antara 6,4 K.Lux sampai 7,41 K.Lux. Intensitas cahaya di daerah tersebut cukup cerah jika dilihat dari hasil pengukuran parameternya. Pada kondisi cahaya seperti ini di duga cocok untuk belalang beradaptasi dengan baik. Sedangkan pada penelitian Yuliadi (2002) untuk kisaran suhu 25o C sampai 28o C, kecepatan angin berkisar antara 0,37 m/s–1 m/s, kelembaban udara berkisar antara 92% sampai 97%, dan intensitas cahaya antara 2,17 K.Lux–3,13 K.Lux. Pada penelitian Elmi (2007) untuk suhu berkisar antara 29° C sampai 35° C, kecepatan angin antara 0,44 m/s-1,50 m/s, kelembaban udara pada kisaran antara 65% sampai 85%, dan intensitas cahaya berkisaran antara 5,34 K.Lux–10,65 K.Lux. Pada

(21)

112

penelitian Rismaniar (2009) untuk suhu berkisar antara 29° C sampai 32° C, kecepatan angin antara 0,46 m/s-2,20 m/s, kelembaban udara pada kisaran antara 70% sampai 94%, dan intensitas cahaya berkisaran antara 3,2 K.Lux–30,4 K.Lux. Adanya kesamaan suhu dan intensitas cahaya yang tinggi pada penelitian Elmi (2007) dengan penelitian di Kawasan Hutan Galam ini menyebabkan banyaknya spesies belalang yang ditemukan pada kedua lokasi penelitian. Sedangkan pada penelitian Yuliadi (2002), dan Rismaniar (2009) dengan suhu dan intensitas cahaya yang lebih rendah menyebabkan sedikitnya spesies belalang yang ditemukan.

Menurut Michael, (1994) suhu udara berhubungan dengan intensitas cahaya yang sangat mempengaruhi kegiatan vital suatu organisme. Kemudian Jumar, (1997) menjelaskan bahwa kecepatan angin biasanya berperan dalam membantu penyebaran serangga diantaranya belalang dan memepengaruhi kandungan air yang tentunya juga berhubungan dengan kelembaban udara, di mana kelembaban udara merupakan factor fisik yang memepengaruhi distribusi, kegiatan maupun perkembangan serangga contohnya belalang.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian spesies belalang yang ditemukan dari beberapa kawasan dapat disajikan pada tabel 3 sebagai berikut :

Tabel 3. Perbandingan hasil penelitian belalang di beberapa lokasi penelitian

Nama Peneliti Yuliadi

(2002) Elmi (2007) Rismaniar (2009) Latifah (2012) Lokasi Penelitian 1 2 3 4 Famili Acrididae     Gryllidae   - - Tettigoniidae -    Spesies Neoconocephalus velox   - - Caperrata scabra -  - - Scudderia furcata   - - Oxya chinensis - - -  Valanga nigricornis - - -  Chorthippus biguttulus - - -  Conocephalus fasciatus   - 

(22)

113

Acrida ungarica - - - 

Acrida conica - - - 

Keterangan Lokasi Penelitian: 1 = Kabupaten Banjar

2 = Kabupaten Hulu Sungai Selatan 3 = Kabupaten Kota baru

4 = Kabupaten Barito Kuala

Berdasarkan hasil perbandingan penelitian di Kawasan Hutan Galam Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala dapat dilihat perbedaan jumlah famili dan spesies yang diperoleh dengan penelitian Yuliadi (2002), Elmi (2007), dan Rismaniar (2009). Jumlah famili yang paling banyak ditemukan yaitu pada penelitian Elmi (2007) pada Kawasan Gua Berangin kapur Batu Laki Desa Malutu kecamatan padang batung kabupaten hulu sungai selatan dengan 3 famili sedangkan pada penelitian Latifah (2012) di Kawasan Hutan Galam Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala hanya 2 famili sama dengan hasil penelitian pada penelitian Rismaniar (2009) di kawasan Perkebunan Pisang Gunung Gedambaan Desa Gedambaan Kabupaten Kotabaru. Sedangkan untuk jumlah spesies yang paling banyak ditemukan adalah pada penelitian Latifah (2012) dengan 6 spesies dan yang paling sedikit ditemukan adalah pada penelitian Rismaniar (2009) dengan 2 spesies. Hal ini dikarenakan dipengaruhi oleh keadaan parameter lingkungan di daerah masing-masing lokasi penelitian dan juga karena adanya ketersediaan sumber makanan yang banyak sehingga berperan dalam mendukung kehidupan suatu organisme.

(23)

114

PENUTUP

Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa terdapat 6 spesies belalang yang terdapat di Kawasan Hutan Galam Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala. Terdapat 5 spesies termasuk famili Acrididae adalah Oxya chinensis, Valanga nigricornis. Chorthippus biguttulus, Acrida Conica dan Acrida ungarica. Sedangkan 1 spesies lain termasuk famili Tettigonidae yaitu Conocephalus fasciatus. Keenam spesies belalang ini tersebar di beberapa lokasi di Kawasan Hutan Galam Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala.

Berdasarkan hasil penelitian, dibuat saran sebagai berikut:

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang inventarsiasi spesies Belalang pada tempat yang berbeda dengan metode penelitian yang berbeda.

2. Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk mengetahui keanekaragaman spesies belalang serta peranan belalang bagi lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Austin, 2012. Conocephalus fasciatus photo (Online). Diakses melalui http://www.austinbug.com/tettigoniidae3.html. Pada tanggal 21 Oktober 2012.

Borror, Triplehon & jhonson. 1992. Pengenalan pelajaran serangga. Sixth edition. Terjemahan soetiyono partosoedjono S. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.

Depnaker trans. 2012. Kota Terpadu Mandiri Mandastana. Tersedia: http://www.bto.depnakertrans.go.id (Online). Diakses tanggal 28 Juli 2012.

Dharmono. 2007. “Dampak Tumbuhan Gelam (Melaleuca cajuputi Powell) Terhadap Struktur dan Komposisi Vegetasi Lahan Gambut (Studi Kasus Terhadap 4 Lahan Gambut di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan” . Jurnal Penelitian Sains Biologi Universitas Lambung Mangkurat (Online). Volume 4, Nomor 1, Januari 2007,

(24)

115

Halaman 19-28. Tersedia: http://www.unlam.ac.id/ bioscientie. Diakses tanggal 28 Juli 2012.

Dodi, 2011. Valanga nigricornis photo (Online). Diakses melalui

http://jepretanhape.wordpress.com/2011/05/02/valanga-nigricornis-javanese-grasshopper-belalang-kayu4.jpg. Pada tanggal 21 Oktober 2012.

Engemann, J. G, and R. W. Hegner. 1981. Invertebrate Zoology. Third Edition. Mac Millan Publishing Co. Inc, New Delhi.

Elmi, Zainal. 2007. Inventarisai Jenis-jenis Insekta Bersayap Di Kawasan Gua Berangin Gunung Kapur Batu laki Di Desa Malutu Kecamatan Padang Batung Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Skripsi JPMIPA FKIP UNLAM. Banjarmasin. (Tidak dipublikasikan).

Erniwati. 2003. Belalang (Orthoptera) dan kekerabatannya. Di dalam: Amir M, Kahono S (ed.). Serangga Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Barat. Biodiversity Conservation Project. Hal. 63-76.

Fathoni, A. 2006. Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi. PT Asdi Mahasatya, Jakarta.

Hadi, M, Tarwotjo & Rahadian. R. 2009. Biologi Insekta Entomologi. Graha Ilmu: Yogyakarta.

Hoeve, W. Van. 1996. Ensiklopedi Indonesia seri fauna serangga. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta.

Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. Rieneka Cipta. Banjarbaru.

Jasin, Maskoeri. 1987. Sistematika Hewan (Invertebrata dan Vertebrata). Sinar Wijaya. Surabaya.

Kab. Barito Kuala. 2012. Geografi Kabupaten Barito Kuala. Tersedia: http://www.baritokualakab.go.id (Online). Diakses tanggal 28 Juli 2012.

Kalshoven LGE. 1981. Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah. Jakarta : PT Ichtiar Baru-van Hoeve. Terjemahan dari : De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie.

Ichtiar Baru. Van Hoeve, Jakarta.Karim, A.A. 2003. Mengenal Galam Cajuputi. Hasil Jelajah dan Ulasan dari judul asli “Potensi Hutan

(25)

116

Galam dan Pemanfaatannya di Kelurahan Landasan Ulin Timur, Kecamatan Landasan Ulin, Banjarbaru, Fakultas Kehutanan Unlam Banjarbaru (Online). Tersedia: http://www.a2karim99.wordpress.com. Diakses 29 Juli 2012. Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. PT. Bumi Aksara, Jakarta.

Lilies, S. Christina. 1991. Kunci Determinasi Serangga. Kasinus. Yogyakarta.

Matnawy, Hudi. 1991. Perlindungan Tanaman. Kasinus. Yogyakarta. Marzo, 2012. Acrida ungarica photo (Online). Diakses melalui

http://listadoentomologicobenimamet.blogspot.com/2012/03/acrid a-ungarica.html. Pada tanggal 22 Oktober 2012.

Michael, P. 1994. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Lapangan dan Laboratorium. UI. Press. Jakarta.

Mulyani, 2012. Oxya chinensis photo (Online). Diakses melalui http://www.fobi.web.id/v/insect/f-acr/oxy-chi. Pada tanggal 21 Oktober 2012.

Noor, Muhammad. 2001. Pertanian Lahan Gambut: Potensi dan Kendala. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

---. 2004. Lahan Rawa: Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat Masam. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Peter, 2010. Acrida conica photo (Online). Diakses melalui http://www.brisbaneinsects.com/pchew_brisbane/index.htm. Pada tanggal 21 Oktober 2012.

Pracaya, 2006. Hama Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya. Jakarta. Rismaniar, Andina. 2009. Kerapatan dan Pola Distribusi Jenis-Jenis

Insekta Terbang di Kawasan Perkebunan Pisang Gunung Gedambaan Desa Gedambaan Kabupaten Kotabaru. Skripsi JPMIPA FKIP UNLAM Banjarmasin. (Tidak dipublikasikan).

Sudarmo, S., 1988. Pengendalian Serangga Hama. Kanisius. Yogyakarta. Yuliadi, 2002. Jenis-jenis Insekta dari Sumber Intensitas Cahaya yang Berbeda Dengan Jarak yang Sama di Kebun karet Desa Bawahan Selan Kabupaten Banjar. Skripsi JPMIPA FKIP UNLAM Banjarmasin. (Tidak dipublikasikan).

Gambar

Tabel  2.  Spesies  belalang  yang  terdapat  di Kawasan  Hutan  Galam  desa  Tabing  Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala
Gambar 1a. Spesies 1
Gambar 2a. Spesies 2
Gambar 3a. Spesies 3
+5

Referensi

Dokumen terkait

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei yaitu pengamatan langsung ke lapangan terhadap kondisi ekosistem mangrove di Desa Sebubus Kecamatan

Berdasarkan tabel 3 untuk kemelimpahan jenis ikan di Kawasan Hutan Galam Desa Tabing Rimbah Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala didapat hasil untuk

Untuk memperoleh data lapangan dimulai dengan membuat peta satuan lahan, kemudian ditentukan sampel yang akan diambil berdasarkan karakteristik lahan kering yang

Jika petani mendapatkan informasi 3 jenis terkait adanya sosialisasi benih padi varietas Mekongga.. 2) Kemampuan adalah keikutsertaan anggota kelompok tani pada saat

Untuk membuat objek pada WebGL, yang pertama kali dilakukan adalah dengan menentukan vertex dari objek dan disimpan pada sebuah array. Lalu dengan menggunakan

6. Informed consent yang sudah di tanda tangani oleh pasien atau keluarga pasien disimpan dalam rekam medic.. Bila informed consent yang diberikan oleh pihak lain atau pihak ke

Kecemasan ini muncul karena orang yang sudah mati menjadi terputus hubungan dengan orang–orang yang ada di dunia, selain itu dukungan serta kasih sayang dari

Pemberian pupuk organik cair urin sapi untuk pertumbuhan tanaman bayam (Amaranthus tricolor L) sebanyak 10% dan setara dengan urea.. Saran- saran yang dapat digunakan sebagai