• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINGKAT EMISI ACUAN HUTAN (FOREST REFERENCE EMISSION LEVEL) PROVINSI SUMATERA SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINGKAT EMISI ACUAN HUTAN (FOREST REFERENCE EMISSION LEVEL) PROVINSI SUMATERA SELATAN"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

TINGKAT EMISI ACUAN HUTAN

(FOREST REFERENCE EMISSION LEVEL)

PROVINSI SUMATERA SELATAN

Penyusun:

Herwin Purnomo, Arief Dermawan Prasetyo, Silvan Adri Rahmana, Muara Laut Tarigan,

Syamsuddin, Pernando Sinabutar, Hengki Siahaan, Muh Bambang Prayitno, Zulfikhar, Lulu

Yuningsih, Erta Heptiana, Neneng H. Leliana, Edi Cahyono, Teddy Rusolono, Tatang Tiryana,

Judin Purwanto, Hendi Sumantri, Berthold Haasler

DINAS KEHUTANAN PROVINSI SUMATERA SELATAN

2017

(2)

Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan

i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ...iii

DAFTAR GAMBAR ...iv

DAFTAR LAMPIRAN... vii

1 PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan... 2

1.3 Ruang Lingkup ... 2

1.3.1 Areal REDD+... 2

1.3.2 Aktifitas REDD+ ... 3

1.3.3 Jenis Cadangan Karbon dan Gas Emisi... 4

1.3.4 Periode Waktu FREL... 4

1.4 Definisi ... 4

1.4.1 Hutan ... 4

1.4.2 Deforestasi ... 5

1.4.3 Degradasi hutan... 5

1.4.4 Lahan gambut ... 5

1.4.5 Tingkat emisi acuan hutan (FREL) ... 5

1.5 Sistematika Dokumen... 5

2 METODOLOGI... 6

2.1 Kerangka Pemikiran... 6

2.2 Data yang Digunakan ... 6

2.2.1 Penutup Lahan ... 7

2.2.2 Faktor emisi dan Serapan CO

2

e... 8

2.3 Analisis Data ... 10

2.3.1 Analisis Perubahan Penutup Lahan ... 10

2.3.2 Penghitungan Stok Hutan... 12

2.3.3 Penghitungan Emisi ... 12

2.3.4 Penyusunan FREL ... 12

3 KONDISI HUTAN ... 13

3.1 Luas Hutan dan Penutupan Lahan ... 13

3.2 Cadangan Karbon ... 16

4 PERUBAHAN TUTUPAN HUTAN ... 18

4.1 Deforestasi... 18

4.2 Degradasi Hutan... 22

4.3 Dekomposisi Gambut... 24

4.4 Kebakaran Gambut ... 25

4.5 Reforestasi ... 26

5 TINGKAT EMISI ACUAN HUTAN... 29

5.1 Emisi Deforestasi ... 29

5.2 Emisi Degradasi Hutan... 31

5.3 Emisi Dekomposisi Gambut ... 33

(3)

Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan

ii

5.5 Serapan Emisi dari Reforestasi ... 36

5.2 FREL Provinsi Sumatera Selatan ... 38

6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 44

(4)

Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan

iii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Luas areal REDD+ menurut kabupaten dan wilayah KPH di Provinsi Sumatera Selatan . 3

Tabel 2. Kelas-kelas penutup lahan dalam peta penutup lahan... 7

Tabel 3. Faktor emisi deforestasi dan degradasi hutan untuk penyusunan FREL Sumatera

Selatan... 8

Tabel 4. Matriks transisi faktor emisi dekomposisi gambut (MoEF 2016)... 9

Tabel 5. Faktor emisi kebakaran gambut berdasarkan frekuensi kebakarannya... 9

Tabel 6. Faktor serapan emisi untuk reforestasi ... 9

Tabel 7. Emisi tahunan historis (1990–2012) dan proyeksinya (2013–2020) dari deforestasi,

degradasi hutan, dan dekomposisi gambut di Provinsi Sumatera Selatan... 39

Tabel 8. Emisi tahunan historis kotor dan bersih (1990–2012) serta proyeksinya (2013–2020)

dari deforestasi, degradasi hutan, dekomposisi gambut, kebakaran gambut, dan

reforestasi di Provinsi Sumatera Selatan ... 40

(5)

Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan

iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Hutan alam tahun 1990 (areal REDD+) di Provinsi Sumatera Selatan ... 2

Gambar 2. Kerangka pemikiran dalam penyusunan FREL Provinsi Sumatera Selatan ... 6

Gambar 3. Analisis spasial perubahan penutup lahan (Tahap 1), penentuan areal-areal

deforestasi dan degradasi hutan (Tahap 2), dan perhitungan emisi deforestasi dan

degradasi hutan (Tahap 3) (sumber: adaptasi dari MoEF 2016) ... 10

Gambar 4. Analisis spasial perubahan penutup lahan gambut (Tahap 1), penentuan

areal-areal dekomposisi gambut (Tahap 2), dan perhitungan emisi dekomposisi gambut

(Tahap 3) (sumber: adaptasi dari MoEF 2016)... 11

Gambar 5. Konsep reforestasi untuk peningkatan cadangan karbon hutan... 12

Gambar 6. Luas hutan menurut tipe ekosistemnya di Provinsi Sumatera Selatan pada periode

1990–2015... 13

Gambar 7. Sebaran sisa hutan alam pada tahun 2015 menurut fungsi kawasan hutan... 14

Gambar 8. Sebaran sisa hutan alam pada tahun 2015 menurut wilayah kabupaten/kota ... 15

Gambar 9. Sebaran sisa hutan alam pada tahun 2015 menurut wilayah KPH... 15

Gambar 10. Cadangan karbon pada biomassa atas permukaan tanah (BAP), kayu mati (KYM),

serasah (SRS), biomassa bawah permukaan tanah (BBP), dan tanah (TNH) di

Provinsi Sumatera Selatan pada periode 1990–2015 ... 16

Gambar 11. Cadangan karbon pada biomassa atas permukaan tanah (BAP), kayu mati (KYM),

serasah (SRS), biomassa bawah permukaan tanah (BBP), dan tanah (TNH) pada

berbagai tipe hutan di Provinsi Sumatera Selatan pada periode 1990–2015 ... 17

Gambar 12. Luas deforestasi tahunan di Provinsi Sumatera Selatan pada periode 1990–2015 18

Gambar 13. Total luas deforestasi menurut fungsi kawasan hutan di Provinsi Sumatera Selatan

selama periode 1990–2015... 19

Gambar 14. Sebaran spasial deforestasi pada tiap fungsi kawasan hutan di Provinsi Sumatera

Selatan pada periode 1990–2015... 19

Gambar 15. Total luas deforestasi pada tiap kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan selama

periode 1990–2015 ... 20

Gambar 16. Sebaran spasial deforestasi pada tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan

pada periode 1990–2015 ... 20

Gambar 17. Total luas deforestasi pada Areal Penggunaan Lain (APL) dan wilayah Kesatuan

Pengelolaan Hutan (KPH) di Provinsi Sumatera Selatan selama periode 1990–

2015... 21

Gambar 18. Sebaran spasial deforestasi pada tiap wilayah KPH di Provinsi Sumatera Selatan

pada periode 1990–2015 ... 21

Gambar 19. Luas degradasi hutan tahunan di Provinsi Sumatera Selatan pada periode 1990–

2015... 22

Gambar 20. Total luas deforestasi hutan menurut fungsi kawasan hutan di Provinsi Sumatera

Selatan selama periode 1990–2015 ... 23

Gambar 21. Total luas degradasi hutan pada tiap kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan

selama periode 1990–2015... 23

(6)

Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan

v

Gambar 22. Total luas degradasi hutan pada Areal Penggunaan Lain (APL) dan wilayah

Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Provinsi Sumatera Selatan selama periode

1990–2015... 23

Gambar 23. Luas hutan alam primer di lahan gambut yang mengalami dekomposisi menjadi

hutan sekunder dan penutup lahan lainnya di Provinsi Sumatera Selatan dalam

periode 1990–2015 ... 24

Gambar 24. Luas kebakaran gambut di Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2001–2015... 25

Gambar 25. Luas kebakaran gambut pada tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan

pada tahun 2001–2015 ... 26

Gambar 26. Luas kebakaran gambut pada wilayah KPH dan non-KPH (termasuk APL) di

Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2001–2015 ... 26

Gambar 27. Luas reforestasi untuk peningkatan cadangan karbon hutan di Provinsi Sumatera

Selatan selama periode 1990–2015 ... 27

Gambar 28. Luas reforestasi untuk peningkatan cadangan karbon hutan pada tiap kabupaten/

kota di Provinsi Sumatera Selatan selama periode 1990–2015 ... 27

Gambar 29. Luas reforestasi untuk peningkatan cadangan karbon hutan pada tiap wilayah KPH

dan non-KPH (termasuk APL) di Provinsi Sumatera Selatan selama periode 1990–

2015... 28

Gambar 30. Emisi historis tahunan (1990–2012) dari deforestasi di Provinsi Sumatera Selatan

(dalam satuan Mt CO

2

e/th = Juta ton CO

2

e/th) ... 29

Gambar 31. Emisi tahunan deforestasi pada tiap fungsi kawasan hutan di Provinsi Sumatera

Selatan selama periode 1990–2012 ... 30

Gambar 32. Emisi tahunan deforestasi pada tiap kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan

selama periode 1990–2012... 30

Gambar 33. Emisi tahunan deforestasi pada wilayah KPH dan non-KPH (termasuk APL) di

Provinsi Sumatera Selatan selama periode 1990–2012... 31

Gambar 34. Emisi historis tahunan (1990–2012) dari degradasi hutan di Provinsi Sumatera

Selatan (dalam satuan Mt CO

2

e/th = Juta ton CO

2

e/th) ... 31

Gambar 35. Emisi tahunan degradasi hutan pada tiap fungsi kawasan hutan di Provinsi

Sumatera Selatan selama periode 1990–2012 ... 32

Gambar 36. Emisi tahunan degradasi hutan pada tiap kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan

selama periode 1990–2012... 32

Gambar 37. Emisi tahunan degradasi hutan pada wilayah KPH dan non-KPH (termasuk APL) di

Provinsi Sumatera Selatan selama periode 1990–2012... 33

Gambar 38. Emisi historis tahunan (1990–2012) dari dekomposisi gambut di Provinsi

Sumatera Selatan (dalam satuan Mt CO2e/th = Juta ton CO

2

e/th) ... 33

Gambar 39. Emisi tahunan dekomposisi gambut pada tiap fungsi kawasan hutan di Provinsi

Sumatera Selatan selama periode 1990–2012 ... 34

Gambar 40. Emisi tahunan dekomposisi gambut pada tiap kabupaten di Provinsi Sumatera

Selatan selama periode 1990–2012 ... 34

Gambar 41. Emisi tahunan dekomposisi gambut pada wilayah KPH dan non-KPH (termasuk

APL) di Provinsi Sumatera Selatan selama periode 1990–2012 ... 35

Gambar 42. Emisi historis tahunan (2001–2012) dari kebakaran lahan gambut di Provinsi

Sumatera Selatan (dalam satuan Mt CO2e/th = Juta ton CO

2

e/th) ... 35

Gambar 43. Emisi tahunan kebakaran lahan gambut pada tiap kabupaten di Provinsi Sumatera

(7)

Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan

vi

Gambar 44. Emisi tahunan kebakaran lahan gambut pada wilayah KPH dan non-KPH

(termasuk APL) di Provinsi Sumatera Selatan selama periode 2001–2012 ... 36

Gambar 45. Serapan emisi historis tahunan (1990–2012) dari reforestasi untuk peningkatan

cadangan karbon hutan di Provinsi Sumatera Selatan (dalam satuan Mt CO2e/th =

Juta ton CO2e/th)... 37

Gambar 46. Serapan emisi tahunan dari reforestasi untuk peningkatan cadangan karbon hutan

pada tiap kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan selama periode 1990–2012... 37

Gambar 47. Serapan emisi tahunan dari reforestasi untuk peningkatan cadangan karbon hutan

pada tiap wilayah KPH dan non-KPH (termasuk APL) di Provinsi Sumatera Selatan

selama periode 1990–2012... 38

Gambar 48. Emisi tahunan historis (1990–2012), rata-rata emisi tahunan (1990–2012),

proyeksi emisi (2013–2020), dan emisi aktual (2013–2015) dari deforestasi,

degradasi hutan, dan dekomposisi gambut di Provinsi Sumatera Selatan ... 39

Gambar 49. Emisi tahunan historis (1990–2012), rata-rata emisi tahunan (1990–2012),

proyeksi emisi (2013–2020), dan emisi aktual (2013–2015) dari deforestasi,

degradasi hutan, dekomposisi gambut, kebakaran gambut, dan reforestasi di

Provinsi Sumatera Selatan... 41

Gambar 50. Perbandingan rata-rata emisi tahunan dari deforestasi, degradasi hutan,

dekomposisi gambut, kebakaran gambut, dan reforestasi di Provinsi Sumatera

Selatan ... 42

(8)

Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Luas deforestasi dan degradasi hutan pada tiap fungsi kawasan hutan di Provinsi

Sumatera Selatan pada periode 1990–2015 ... 46

Lampiran 2. Luas deforestasi dan degradasi hutan pada tiap kabupaten/kota di Provinsi

Sumatera Selatan pada periode 1990–2015 ... 48

Lampiran 3. Luas deforestasi dan degradasi hutan pada tiap wilayah KPH dan non-KPH

(termasuk APL) di Provinsi Sumatera Selatan pada periode 1990–2015 ... 51

Lampiran 4. Luas dekomposisi lahan gambut pada tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera

Selatan pada periode 1990–2015 ... 56

Lampiran 5. Luas dekomposisi lahan gambut pada tiap wilayah KPH dan non-KPH (termasuk

APL) di Provinsi Sumatera Selatan pada periode 1990–2015 ... 58

Lampiran 6. Luas areal kebakaran lahan gambut pada tiap kabupaten/kota di Provinsi

Sumatera Selatan pada periode 2001–2015 ... 61

Lampiran 7. Luas areal kebakaran lahan gambut pada tiap wilayah KPH dan non-KPH

(termasuk APL) di Provinsi Sumatera Selatan pada periode 2001–2015 ... 66

Lampiran 8. Luas areal reforestasi untuk peningkatan cadangan karbon hutan pada tiap

kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan pada periode 1990–2015... 71

Lampiran 9. Luas areal reforestasi untuk peningkatan cadangan karbon hutan pada tiap

wilayah KPH dan non-KPH (termasuk APL) di Provinsi Sumatera Selatan pada

periode 1990–2015 ... 80

Lampiran 10. Emisi tahunan dari deforestasi, degradasi hutan, dan dekomposisi gambut pada

tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan pada periode 1990–2015 ... 93

Lampiran 11. Emisi tahunan dari deforestasi, degradasi hutan, dan dekomposisi gambut pada

tiap wilayah KPH dan non-KPH (termasuk APL) di Provinsi Sumatera Selatan

pada periode 1990–2015... 97

Lampiran 12. Emisi kebakaran lahan gambut pada tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera

Selatan pada periode 2001–2015 ...102

Lampiran 13. Emisi kebakaran lahan gambut pada tiap wilayah KPH dan non-KPH (termasuk

APL) di Provinsi Sumatera Selatan pada periode 2001–2015 ...104

Lampiran 14. Serapan emisi dari reforestasi untuk peningkatan cadangan karbon hutan pada

tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan pada periode 1990–2015 ...106

Lampiran 15. Serapan emisi dari reforestasi untuk peningkatan cadangan karbon hutan pada

tiap wilayah KPH dan non-KPH (termasuk APL) di Provinsi Sumatera Selatan

pada periode 1990–2015...115

(9)

Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan

1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemerintah Republik Indonesia memiliki komitmen yang kuat terhadap dunia

internasional untuk berpartisipasi dalam mengurangi tingkat emisi gas rumah kaca (GRK). Dalam

kerangka Kyoto Protocol, pemerintah Republik Indonesia telah mentargetkan pengurangan emisi

sebesar 26% melalui upaya sendiri atau 41% dengan bantuan internasional. Bahkan pada COP 21

tahun 2015, pemerintah Republik Indonesia telah menyatakan kesanggupannya untuk

berkontribusi dalam penurunan emisi untuk periode 2020–2030 sebesar 29% melalui upaya

sendiri atau 41% melalui kerjasama internasional.

Dalam upaya pencapaian target pengurangan emisi GRK tersebut, pada tingkat nasional

pemerintah Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan Presiden No. 61 tahun 2011 tentang

Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dan Rencana Aksi Daerah

Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK). Selain itu, melalui Peraturan Presiden No. 71 tahun

2011 pemerintah telah mengembangkan sistem inventarisasi GRK untuk memperoleh data dan

informasi yang diperlukan untuk pelaporan kegiatan pengurangan GRK di Indonesia. Pada tingkat

internasional, pemerintah Indonesia juga berperan aktif untuk menggalang kerjasama penurunan

emisi GRK dengan negara lain melalui mekanisme REDD+ (Reducing Emission from Deforestation,

Forest Degradation, Sustainable Management of Forest, Enhancement of Forest Carbon Stock, and

Forest Conservation).

REDD+ merupakan mekanisme pembayaran berbasis hasil/kinerja (result-based

payment) dalam pengurangan emisi GRK di sektor kehutanan dan lahan gambut. Implementasi

REDD+ memerlukan tingkat emisi acuan hutan (Forest Reference Emission Level, selanjutnya

disebut FREL). Pada tahun 2016, Indonesia telah menyusun dan mengirim dokumen FREL

nasional ke UNFCCC, yang kemudian dinilai dan disetujui oleh UNFCCC. FREL nasional merupakan

tingkat emisi CO

2

acuan untuk mengukur kinerja dari suatu wilayah/negara dalam melakukan

implementasi REDD+, yang hanya mencakup aktifitas deforestasi dan degradasi hutan (DD) serta

dampaknya (termasuk di lahan gambut). Pada periode 1990–2012, rata-rata tingkat emisi di

Indonesia mencapai 293.2 Mt CO

2

e/tahun dari deforestasi dan 58.0 Mt CO

2

e/tahun dari degradasi

hutan (MoEF 2016). Diperkirakan tingkat emisi pada tahun 2020 akan mencapai 593.3 Mt CO

2

e

karena ada peningkatan emisi dari dekomposisi gambut.

Walaupun kinerja pengurangan emisi dalam mekanisme REDD+ diukur pada tingkat

nasional, namun implementasi kegiatan-kegiatan pengurangan emisi dilaksanakan pada tingkat

sub-nasional (provinsi). Oleh karena itu, selain FREL nasional perlu juga disusun dan ditetapkan

FREL sub-nasional sebagai acuan dalam alokasi kegiatan dan anggaran dalam pengurangan emisi

di tingkat provinsi. Kegiatan-kegiatan pengurangan emisi di tiap provinsi kemungkinan

berbeda-beda sesuai dengan karakteristik wilayah serta tingkat deforestasi dan degradasi hutannya.

Strategi dan rencana aksi pengurangan emisi tersebut sangat dimungkinkan tidak hanya terbatas

pada upaya pencegahan deforestasi dan degradasi hutan, melainkan juga pada

upaya-upaya peningkatan penyerapan karbon dari areal-areal yang sudah dikonversi seperti hutan

tanaman dan perkebunan. Strategi dan rencana aksi penurunan emisi seperti itu perlu dilakukan

oleh pemerintah daerah yang sebagian besar sumberdaya hutannya telah mengalami deforestasi

tinggi pada masa lalu.

Provinsi Sumatera Selatan termasuk salah satu provinsi yang telah mengalami deforestasi

tinggi, dimana areal hutannya telah dikonversi menjadi penggunaan lain seperti hutan tanaman

dan perkebunan. Kawasan hutan di Sumatera Selatan sebagian besar (41%) hanya tersisa di

empat kabupaten, yaitu: Banyuasin, Musi Banyuasin, Musi Rawas, dan Musi Rawas Utara,

sedangkan kawasan hutan di 12 kabupaten/kota lainnya sudah mengalami deforestasi. Hal ini

berarti bahwa upaya penurunan emisi melalui pencegahan deforestasi dan degradasi hutan

kurang relevan untuk Sumatera Selatan, karena kawasan hutan di sebagian besar wilayahnya (12

kabupaten lainnya) sudah mengalami deforestasi dan beralih fungsi ke penggunaan lahan lainnya.

Untuk Provinsi Sumatera Selatan upaya-upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi

hutan hanya mungkin dilakukan pada wilayah-wilayah yang masih memiliki tutupan hutan.

(10)

Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan

2

Padahal, sebagian besar wilayah di Sumatera Selatan memiliki tutupan hutan yang sudah sangat

rendah akibat deforestasi pada masa lalu, sehingga upaya-upaya penurunan emisi yang lebih

relevan dilakukan adalah peningkatan penyerapan karbon dari areal-areal yang telah berubah

fungsi (misalnya areal perkebunan dan hutan tanaman).

Sehubungan dengan hal tersebut, Provinsi Sumatera Selatan memandang perlu untuk

menyusun FREL sub-nasional yang tidak hanya memuat tingkat emisi acuan dari deforestasi dan

degradasi hutan melainkan juga dari aktifitas REDD+ lainnya, khususnya peningkatan cadangan

karbon hutan (enhancement of forest cabon stocks) yang belum diperhitungkan dalam FREL

nasional. Selain itu, pilihan-pilihan upaya mitigasi dan skenario-skenario pengurangan emisi

perlu dirumuskan dalam FREL sub-nasional agar sesuai dengan karakteristik wilayah dan arah

pembangunan di Provinsi Sumatera Selatan.

1.2 Tujuan

FREL Provinsi Sumatera Selatan disusun untuk menentukan tingkat emisi acuan dari

deforestasi, degradasi hutan, dan kebakaran hutan dan lahan, baik yang terjadi di tanah mineral

maupun di tanah gambut, yang terjadi di wilayah Provinsi Sumatera Selatan. FREL Sumatera

Selatan tersebut dimaksudkan sebagai acuan dalam implementasi kegiatan-kegiatan

pengurangan emisi melalui mekanisme REDD+ dan mekanisme insentif lainnya.

1.3 Ruang Lingkup

1.3.1 Areal REDD+

Mengacu pada dokumen FREL nasional (MoEF 2016), cakupan areal untuk FREL Provinsi

Sumatera Selatan (selanjutnya disebut areal REDD+) adalah “semua areal di tanah mineral dan

gambut yang pada tahun 1990 tertutup oleh hutan alam (natural forests), baik hutan alam primer

maupun hutan alam sekunder, tanpa memperhatikan status kawasan hutan yang ditunjuk oleh

Kementerian Kehutanan pada tahun 2013” (MoEF 2016). Luas areal REDD+ di Provinsi Sumatera

Selatan adalah 2,144,349 ha atau sekitar 24,5% dari total wilayah provinsi (Gambar 1).

(11)

Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan

3

Areal REDD+ tersebut merupakan areal hutan lahan kering primer seluas 298,462 ha,

hutan lahan kering sekunder seluas 740,559 ha, hutan mangrove primer seluas 136,160 ha, hutan

mangrove sekunder seluas 68,660 ha, hutan rawa primer seluas 18,354 ha, dan hutan rawa

sekunder seluas 882,155 ha. Berdasarkan jenis tanahnya, areal REDD+ tersebut terdapat di tanah

gambut seluas 697,578 ha dan tanah mineral seluas 1,446,771 ha. Berdasarkan administratif

pemerintahan, areal REDD+ tersebut mencakup 17 kabupaten, sedangkan berdasarkan pengelola

kawasan hutan mencakup 24 wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH, Tabel 1).

Tabel 1. Luas areal REDD+ menurut kabupaten dan wilayah KPH di Provinsi Sumatera Selatan

1.3.2 Aktifitas REDD+

Aktifitas REDD+ yang dicakup dalam dokumen FREL Provinsi Sumatera Selatan ini

mencakup pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, baik pada tanah mineral

maupun tanah gambut. Hal ini konsisten dengan cakupan aktifitas dalam FREL Nasional (MoEF

2016) yang hanya memperhitungkan deforestasi dan degradasi hutan sesuai dengan ketersedian

data aktifitas (yakni penutup lahan) pada tingkat nasional.

Namun di Provinsi Sumatera Selatan, perubahan tutupan hutan (forest cover) juga

disebabkan oleh kebakaran hutan, terutama di lahan gambut yang umumnya terjadi setiap tahun

di berbagai wilayah Sumatera Selatan sehingga dapat menyebabkan peningkatan emisi GRK

(khususnya CO

2

). Selain karena kebakaran hutan, emisi dari lahan gambut juga dapat terjadi

karena adanya dekomposisi tanah gambut. Oleh karena itu, dokumen FREL ini juga mencakup

perhitungan emisi dari kebakaran dan dekomposisi gambut. Adapun emisi dari kebakaran pada

lahan mineral diasumsikan sudah tercakup dalam perhitungan emisi dari deforestasi untuk

menghindari terjadinya perhitungan emisi ganda (double counting).

Selain aktifitas yang menyebabkan peningkatan emisi, mekanisme REDD+ memungkinkan

pemberian insentif finansial dari aktifitas-aktifitas yang bersifat penyerapan emisi (emission

No. Kabupaten

Luas (ha)

No.

Wilayah KPH

Luas (ha)

1 Banyuasin

361,328

1 KPHL Banyuasin

50,853

2 Empat Lawang

28,752

2 KPHL Bukit Balai

11,161

3 Lahat

65,668

3 KPHL Bukit Cogong

-4 Lubuklinggau

-

4 KPHL Bukit Dingin

14,215

5 Muara Enim

66,306

5 KPHL Bukit Nanti

34,122

6 Musi Banyuasin

566,148

6 KPHL Dempo

18,566

7 Musi Rawas

142,569

7 KPHL Lahat

18,356

8 Musi Rawas Utara

238,639

8 KPHL Mekakau

30,135

9 Ogan Ilir

336

9 KPHL Ogan Ulu

50,298

10 Ogan Komering Ilir

441,700

10 KPHL Okus

45,733

11 Ogan Komering Ulu

58,493

11 KPHL Peraduan Gistang

16,689

12 Ogan Komering Ulu Selatan

129,512

12 KPHP Benakat Semangus

84,517

13 Ogan Komering Ulu Timur

15,111

13 KPHP Lakitan

-14 Pagar Alam

18,716

14 KPHP Lalan Mendis

228,356

15 Palembang

36

15 KPHP Lalan Sembilang

60,875

16 Penukal Abab Lematang Ilir

11,034

16 KPHP Lempuing

377

17 Prabumulih

-

17 KPHP Martapura

12,873

Total areal

2,144,349

18 KPHP Meranti

166,556

19 KPHP Mesuji Hilir

16,550

20 KPHP Rawas

61,015

21 KPHP S. Batang Riding

87,924

22 KPHP S.Lumpur

277,720

23 KPHP Saka

882

24 KPHP Suban Jeriji

3,398

Jumlah areal KPH

1,291,168

Jumlah areal non-KPH & APL

853,181

Total areal

2,144,349

(12)

Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan

4

removal), yaitu peningkatan cadangan karbon hutan (forest carbon stocks), konservasi hutan

(forest conservation), dan pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management). Perhitungan

serapan emisi dari ketiga aktifitas REDD+ tersebut memerlukan ketersediaan data aktifitas dan

faktor emisi yang lebih rinci, sehingga belum dicakup dalam FREL nasional (MoEF 2016).

Keterbatasan data aktifitas terkait konservasi hutan dan pengelolaan hutan lestari juga terjadi di

Provinsi Sumatera Selatan, sehingga dalam dokumen FREL ini hanya diperhitungkan aktifitas

peningkatan cadangan karbon. Di Sumatera Selatan, banyak areal REDD+ yang dikonversi

menjadi areal-areal hutan tanaman industri dan perkebunan yang berpotensi menyerap emisi.

1.3.3 Jenis Cadangan Karbon dan Gas Emisi

Cadangan karbon hutan tersimpan dalam lima sumber penyimpanan (carbon pools):

biomassa atas permukaan tanah, biomassa bawah permukaan tanah, kayu mati, serasah, dan

tanah (IPCC 2006). Perubahan penutup lahan dapat menyebabkan hilangnya cadangan karbon

pada sebagian atau seluruh sumber penyimpangan karbon tersebut. Dalam dokumen FREL ini,

diasumsikan bahwa deforestasi menyebabkan kehilangan semua (total lost) cadangan karbon

pada biomassa atas permukaan tanah, kayu mati, dan serasah akibat adanya pembersihan lahan

(land clearing) pada saat konversi areal hutan menjadi penggunaan lain. Untuk degradasi hutan,

perhitungan emisi didasarkan atas kehilangan sebagian (partial lost) cadangan karbon pada

biomassa atas permukaan, kayu mati, dan serasah akibat perubahan tutupan hutan primer

menjadi hutan sekunder, baik pada lahan kering, mangrove, maupun gambut. Adapun cadangan

karbon pada biomassa di bawah permukaan tanah dan pada tanah mineral dan gambut

diasumsikan tetap sehingga tidak diperhitungkan sebagai sumber emisi dari deforestasi. Namun

emisi dari dekomposisi tanah gambut tetap diperhitungkan sebagai sumber emisi lain.

Perhitungan emisi deforestasi dan degradasi hutan yang mencakup ketiga sumber cadangan

karbon tersebut berbeda dengan FREL nasional yang hanya memperhitungkan cadangan karbon

pada biomassa atas permukaan tanah sesuai dengan ketersediaan data pada tingkat nasional

(MoEF 2016). Hal ini dimaksudkan untuk menghitung tingkat emisi yang lebih komprehensif dan

akurat yang didukung oleh ketersediaan data faktor emisi lokal dari hasil survei cadangan karbon

di wilayah Provinsi Sumatera Selatan (Tiryana et al. 2016).

Sebagaimana halnya FREL nasional, jenis emisi yang diperhitungkan dalam dokumen

FREL ini adalah emisi gas karbon dioksida (CO

2

). Dibanding jenis gas rumah kaca lainnya,

misalnya metana (CH

4

), nitrogen dioksida (NO

2

), dan hidroflorokarbon (HFC), karbon dioksida

(CO

2

) merupakan komponen gas terbesar penyumbang emisi GRK dari sektor perubahan lahan

dan kehutanan (MoEF 2016).

1.3.4 Periode Waktu FREL

FREL Provinsi Sumatera Selatan ini disusun berdasarkan analisis data historis perubahan

penutup lahan pada periode 1990–2012 sesuai dengan FREL nasional. Periode waktu yang

digunakan untuk menganalisis emisi historis tersebut dianggap lebih menggambarkan dinamika

pengelolaan hutan di Indonesia (MoEF 2016). Adapun proyeksi emisi mencakup periode tahun

2013–2020. Emisi aktual yang terjadi pada periode 2013–2016 di Provinsi Sumatera Selatan

digunakan sebagai pembanding hasil proyeksi emisi berdasarkan data emisi historis tersebut.

1.4 Definisi

Dalam dokumen FREL Provinsi Sumatera Selatan ini digunakan istilah hutan, deforestasi,

degradasi hutan, lahan gambut, dan tingkat emisi acuan hutan (FREL) dengan definisi sebagai

berikut (MoEF 2016):

1.4.1 Hutan

Secara formal, hutan didefinisikan sebagai “hamparan lahan dengan luasan lebih dari 0.25

hektar yang ditumbuhi pohon-pohonan dengan tinggi lebih dari 5 meter dengan penutupan tajuk

sekurang-kurangnya 30%”. Namun dalam praktiknya, areal hutan ditetapkan berdasarkan hasil

interpretasi visual citra satelit dengan menggunakan definisi operasional bahwa “luas minimum

areal poligon yang dideliniasi sebagai hutan pada peta skala 1:50,000 adalah 0.25 cm

2

yang setara

(13)

Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan

5

REDD+ merupakan hutan alam yang diklasifikasikan menjadi enam kelas, yaitu: hutan lahan

kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder,

hutan rawa primer, dan hutan rawa sekunder.

1.4.2 Deforestasi

Deforestasi didefinisikan dalam dokumen FREL ini sebagai konversi dari penutup lahan

(land cover) berupa hutan alam menjadi penutup lahan lainnya yang hanya terjadi satu kali pada

suatu areal/wilayah tertentu. Definisi operasional tersebut mengacu kepada Peraturan Menteri

Kehutanan No. 30/2009 yang mendefinisikan deforestasi sebagai “perubahan secara permanen

dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia”.

1.4.3 Degradasi hutan

Degradasi hutan didefinisikan dalam dokumen ini sebagai perubahan dari kelas-kelas

hutan alam (mencakup hutan lahan kering primer, hutan mangrove primer, dan hutan rawa

gambut primer) menjadi kelas-kelas hutan sekunder. Definisi tersebut merupakan definisi

operasional dari Peraturan Menteri Kehutanan No. 30/2009 yang menyatakan bahwa degradasi

hutan merupakan “penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon selama periode tertentu

akibat kegiatan-kegiatan manusia”.

1.4.4 Lahan gambut

Lahan gambut didefinisikan sebagai areal dengan akumulasi bahan-bahan organik yang

terdekomposisi tidak sempurna, air jenuh dengan kandungan karbon paling sedikit 12%, dan

dengan kedalaman lapisan yang kaya karbon setidaknya 50 cm (Wahyunto et al. 2014, Agus et al.

2011, dan SNI 7925-2013 dalam MoEF 2016).

1.4.5 Tingkat emisi acuan hutan (FREL)

Dalam dokumen ini, tingkat emisi acuan (Forest Reference Emission level, FREL)

didefinisikan sebagai suatu proyeksi emisi gas karbon dioksida (CO

2

) yang digunakan sebagai

acuan dalam membandingkan tingkat emisi aktual pada suatu waktu di masa mendatang. patokan

(benchmark). Tingkat emisi acuan (FREL), yang dinyatakan dalam satuan ‘ton CO

2

e (karbon

dioksida ekuivalen) per tahun’, digunakan sebagai suatu patokan (benchmark) dalam menilai

kinerja penerapan mekanisme REDD+.

1.5 Sistematika Dokumen

Dokumen FREL ini terdiri dari 6 bab dan beberapa lampiran. Bab 1 menjelaskan latar

belakang dan tujuan penyusunan FREL Provinsi Sumatera Selatan beserta ruang lingkupnya dan

definisi dari istilah-istilah yang digunakan dalam dokumen ini. Bab 2 menjelaskan metode yang

digunakan dalam perhitungan data aktivitas (perubahan penutup lahan), penentuan faktor emisi,

perhitungan emisi dan serapan emisi, serta penyusunan tingkat emisi acuan (FREL). Hasil analisis

data berdasarkan metodologi yang dijelaskan pada Bab 2 tersebut diuraikan pada Bab 3–5.

Dalam Bab 3 dijelaskan kondisi umum hutan di Provinsi Sumatera Selatan terkait dengan luas

hutan, penutupan lahan, dan cadangan karbonnya pada periode 1990–2015. Bab 4 memaparkan

hasil analisis data perubahan tutupan hutan akibat deforestasi, degradasi hutan, dekomposisi

gambut, kebakaran gambut, dan reforestasi. Dalam Bab 5 dijelaskan bahwa perubahan tutupan

lahan tersebut menyebabkan terjadinya emisi, baik dari deforestasi, degradasi hutan,

dekomposisi gambut, maupun kebakaran gambut, serta peningkatan serapan emisi dari

reforestasi pada periode 1990–2012. Berdasarkan emisi historis, pada Bab 5 tersebut dijelaskan

bahwa tingkat emisi acuan (FREL) di Provinsi Sumatera Selatan dapat dinyatakan sebagai FREL

3D (yaitu tingkat emisi acuan dari deforestasi, degradasi hutan, dan dekomposisi gambut seperti

halnya FREL Nasional) dan sebagai FREL 3D+KR (yaitu tingkat emisi acuan dari deforestasi,

degradasi hutan, dekomposisi gambut, kebakaran gambut, dan reforestasi). Bab 6 memaparkan

sintesis dari temuan-temuan penting dalam penyusunan FREL ini disertai dengan rekomendasi

terkait prioritas rencana aksi mitigasi penurunan emisi di Provinsi Sumatera Selatan.

(14)

Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan

6

2 METODOLOGI

2.1 Kerangka Pemikiran

Penyusunan FREL diawali dengan penentuan areal REDD+ Provinsi Sumatera Selatan

(Gambar 2). Sebagaimana dijelaskan pada Bab 1, areal REDD+ adalah seluruh areal di tanah

mineral dan gambut yang pada tahun 1990 merupakan hutan alam yang luasnya mencapai

2,144,349 ha. Pada areal REDD+ tersebut selanjutnya dilakukan analisis perubahan penutup

lahan (land cover change analysis) dengan menggunakan peta penutupan lahan untuk periode

1990–2015. Dari hasil analisis tersebut diperoleh data dan informasi mengenai luas dan sebaran

areal-areal deforestasi, degradasi hutan, kebakaran lahan/gambut, dan areal-areal reforestasi

untuk peningkatan cadangan karbon hutan pada tiap kabupaten dan wilayah KPH di Sumatera

Selatan. Emisi dari deforestasi, degradasi hutan, dekomposisi gambut, dan kebakaran

hutan/lahan gambut dihitung berdasarkan luas areal (activity data) pada setiap periode dan

faktor emisi (emission factor) yang sesuai dengan kondisi penutupan lahan di Sumatera Selatan.

Selain emisi, juga diperhitungkan potensi serapan karbon dari areal-areal yang mengalami

deforestasi atau degradasi hutan pada suatu periode, tetapi kemudian menjadi areal-areal

reforestasi (dalam dokumen FREL ini berupa Hutan Tanaman Industri) yang dapat meningkatkan

cadangan karbon hutan pada periode berikutnya. Emisi yang terjadi dalam periode 1990–2012

dianggap sebagai emisi historis, yang nilai rata-rata emisinya merupakan tingkat emisi hutan

acuan (Forest Reference Emission Level, FREL) untuk periode 2013–2020. Secara rinci, prosedur

penyusunan FREL tersebut diuraikan lebih lanjut di bawah ini.

Gambar 2. Kerangka pemikiran dalam penyusunan FREL Provinsi Sumatera Selatan

2.2 Data yang Digunakan

Data yang digunakan dalam penyusunan FREL Provinsi Sumatera Selatan terdiri dari data

penutup lahan (activity data) serta faktor emisi CO

2

(emission factor) dan faktor serapan emisi CO

2

(15)

Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan

7

2.2.1 Penutup Lahan

Data penutup lahan yang digunakan adalah peta penutup lahan (land cover map) dan

peta-peta penunjang lainnya, yaitu peta-peta lahan gambut, peta-peta kebakaran hutan, peta-peta kawasan hutan, peta-peta

wilayah administrasi kabupaten, dan peta wilayah KPH.

Peta penutup lahan diperoleh dari Direktorat Planologi dan Tata Kelola Lingkungan,

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Peta tersebut terdiri dari 23 kelas penutup lahan

(land cover class), termasuk enam kelas penutup lahan yang dikategorikan sebagai hutan alam,

yang dihasilkan melalui teknik penafsiran secara visual pada citra satelit Landsat (Tabel 2). Peta

penutup lahan yang digunakan mencakup data deret waktu (time series data) selama 25 tahun,

yaitu tahun: 1990, 1996, 2000, 2003, 2006, 2009, 2011, 2012, 2013, 2014, dan 2015. Peta penutup

lahan digunakan untuk membangkitkan data tutupan hutan serta data aktivitas deforestasi,

degradasi hutan, dan reforestasi.

Tabel 2. Kelas-kelas penutup lahan dalam peta penutup lahan

Peta lahan gambut yang digunakan dalam FREL ini bersumber dari Peta Lahan Gambut

Indonesia yang diterbitkan BBSDLP (Balai Besar Sumberdaya Lahan dan Pertanian), Departemen

Pertanian tahun 2011. Peta Lahan Gambut berskala 1:250.000 dan dipublikasikan dalam Web GIS

Satu-Peta di

http://tanahair.indonesia.go.id

. Peta lahan gambut bersama dengan peta penutup

lahan digunakan untuk membangkitkan data aktivitas lahan gambut yang terdegradasi.

Peta wilayah provinsi dan kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan bersumber dari

Bappeda Provinsi Sumatera Selatan. Peta tersebut juga telah digunakan untuk penyusunan Peta

RTRWP Provinsi Sumatera Selatan. Sedangkan Peta Wilayah KPH bersumber dari Dinas

Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan. Peta ini digunakan untuk mengelompokkan hasil

penyusunan FREL kedalam wilayah-wilayah kabupaten dan KPH untuk keperluan mitigasi

pengurangan emisi di tingkat kabupaten dan KPH.

Peta kebakaran hutan dan lahan gambut Provinsi Sumatera Selatan diperoleh dari hasil

analisis spasial kejadian kebakaran melalui citra Landsat pada periode 2006, 2008, 2009, 2014

dan 2015 yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan. Informasi dari peta

ini digunakan untuk mengetahui luas kejadian kebakaran pada lahan gambut .

No. Kelas penutup lahan

Singkatan Kategori

1 Hutan lahan kering primer

Hp

Hutan alam

2 Hutan lahan kering sekunder

Hs

Hutan alam

3 Hutan mangrove primer

Hmp

Hutan alam

4 Hutan mangrove sekunder

Hms

Hutan alam

5 Hutan rawa primer

Hrp

Hutan alam

6 Hutan rawa sekunder

Hrs

Hutan alam

7 Hutan tanaman

Ht

Hutan tanaman

8 Semak/Belukar

B

Non-hutan

9 Perkebunan

Pk

Non-hutan

10 Belukar rawa

Br

Non-hutan

11 Pertanian lahan kering

Pt

Non-hutan

12 Pertanian Lahan Kering & Semak Pc

Non-hutan

13 Sawah

Sw

Non-hutan

14 Savana

S

Non-hutan

15 Tambak

Tb

Non-hutan

16 Rawa

Rw

Non-hutan

17 Permukiman

Pm

Non-hutan

18 Pelabuhan Udara/Laut

Bdr

Non-hutan

19 Transmigrasi

Tr

Non-hutan

20 Tanah terbuka

T

Non-hutan

21 Pertambangan

Tm

Non-hutan

22 Tubuh air

Air

Non-hutan

(16)

Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan

8

2.2.2 Faktor emisi dan Serapan CO

2

e

Selain data aktivitas (perubahan penutup lahan), diperlukan juga faktor emisi untuk

deforestasi, degradasi hutan, dekomposisi gambut, dan kebakaran gambut serta faktor serapan

emisi untuk reforestasi. Dalam dokumen FREL ini digunakan faktor emisi lokal (Tier 3) untuk

deforestasi dan degradasi hutan berdasarkan hasil survei cadangan karbon pada berbagai tipe

penutup lahan di Sumatera Selatan (Tiryana et al. 2016). Sesuai cakupan pool karbon yang

digunakan dalam FREL ini, faktor emisi deforestasi dan degradasi hutan mencakup biomassa atas

permukaan tanah, serasah, dan kayu mati seperti tercantum pada Tabel 3.

Tabel 3. Faktor emisi deforestasi dan degradasi hutan untuk penyusunan FREL Sumatera

Selatan

Faktor emisi deforestasi diperoleh dari konversi cadangan karbon menjadi karbon

dioksida ekuivalensi (CO

2

e) dengan tetapan 3.67 (44/12), yang berarti bahwa 1 ton cadangan

karbon (yang tersimpan pada BAP, SRS, dan KYM) berasal dari penyerapan gas CO

2

sebanyak 3.67

ton. Cadangan karbon diduga dari biomassa atas permukaan tanah, serasah, dan kayu mati dengan

asumsi bahwa 1 ton biomassa menyimpan cadangan karbon sebanyak 0.47 ton (IPCC 2006).

Adapun faktor emisi degradasi hutan dihitung dari selisih antara CO

2

e hutan primer dan hutan

sekunder, baik pada hutan lahan kering, hutan mangrove, maupun hutan rawa. Sebagai contoh,

faktor emisi dari degradasi hutan lahan kering primer menjadi hutan lahan kering sekunder

adalah 83.86 ton CO

2

e/ha (Tabel 3).

Untuk menghitung emisi dekomposisi gambut, digunakan faktor emisi dekomposisi

gambut seperti yang digunakan dalam FREL Nasional (MoEF 2016). Tabel 4 menyajikan

nilai-nilai faktor emisi dekomposisi gambut dalam bentuk matriks transisi untuk menghitung emisi

dekomposisi yang terjadi akibat perubahan suatu penutup lahan gambut pada periode tertentu

menjadi penutup lahan gambut lainnya pada periode berikutnya. Diagonal matriks transisi

tersebut menyatakan nilai-nilai emisi dekomposisi gambut pada penutup lahan tertentu,

sedangkan nilai-nilai di atas dan di bawahnya menyatakan nilai-nilai faktor emisi dekomposisi

pada penutup lahan yang berubah. Misalnya, faktor emisi dekomposisi gambut untuk hutan lahan

kering sekunder (Hs) adalah 19 tCO

2

e/th sedangkan untuk pertanian lahan kering (Pt) adalah 51

tCO

2

e/th. Dengan mengasumsikan bahwa proses dekomposisi berlangsung secara perlahan-lahan

dari suatu periode (P1) ke periode berikutnya (P2), maka nilai faktor emisi dekomposisi gambut

pada suatu tipe penutup lahan pada P2 (di luar diagonal matriks transisi) merupakan rata-rata

nilai faktor emisi dekomposisi dari tipe penutup lahan pada periode P1 dan tipe penutup lahan

pada periode P2. Sebagai contoh, perubahan dari Hs pada P1 menjadi Pt pada P2 memiliki faktor

emisi sebesar 35 tCO

2

e/th, yang merupakan nilai rata-rata dari faktor emisi Hs (19 tCO

2

e/th) dan

faktor emisi Pt (51 tCO

2

e/th). Penjelasan lebih lanjut mengenai faktor emisi dekomposisi gambut

tersebut dapat dilihat pada dokumen FREL Nasional (MoEF 2016).

Faktor emisi (FE) kebakaran gambut ditentukan berdasarkan hasil penelitian Konecny et

al. (2016) seperti disajikan pada Tabel 5. Dalam perhitungan emisi, nilai FE yang digunakan

disesuaikan dengan frekuensi kejadian kebakaran di suatu areal tertentu dimana semakin sering

areal tersebut terbakar (misal hingga empat kali) maka nilai FE-nya semakin kecil.

BAP

SRS

KYM

Total

Deforestasi

Degradasi

Hutan lahan kering primer

157.7

3.0

6.1

166.8

612.30

83.86

Hutan lahan kering sekunder

121.7

4.5

17.8

144.0

528.44

-Hutan mangrove primer

143.2

1.0

2.4

146.6

537.88

224.80

Hutan mangrove sekunder

81.8

1.0

2.6

85.3

313.08

-Hutan rawa primer

252.9

6.1

4.9

264.0

968.71

543.86

Hutan rawa sekunder

97.3

4.7

13.7

115.8

424.85

-BAP = Biomassa atas permukaan, SRS = Serasah, KYM = Kayu mati

(17)

Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan

9

Tabel 4. Matriks transisi faktor emisi dekomposisi gambut (MoEF 2016)

Tabel 5. Faktor emisi kebakaran gambut berdasarkan frekuensi kebakarannya

Untuk menghitung potensi serapan emisi CO

2

dari areal-areal reforestasi digunakan faktor

serapan emisi seperti tercantum pada Tabel 6. Areal-areal reforestasi diasumsikan berasal dari

areal-areal deforestasi pada 7 tipe hutan (yang tidak memiliki cadangan karbon awal karena

berupa tanah kosong), sehingga memiliki faktor serapan emisi yang sama dengan faktor emisi

untuk hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan mangrove primer, hutan

mangrove sekunder, hutan rawa primer, hutan rawa sekunder, dan hutan tanaman.

Tabel 6. Faktor serapan emisi untuk reforestasi

1Hp 2Hs 3Hmp 4Hms 5Hrp 6Hrs 7Ht 8B 9Pk 10Br 11Pt 12Pc 13Sw 14S 15Tb 16Rw 17Pm 18Bdr 19Tr 20T 21Tm 22Air 23Aw 1Hp 0 9.5 0 9.5 0 9.5 36.5 9.5 20 9.5 25.5 25.5 17 17.5 0 0 17.5 0 25.5 25.5 25.5 0 0 2Hs 9.5 19 9.5 19 9.5 19 46 19 29.5 19 35 35 26.5 27 9.5 9.5 27 9.5 35 35 35 9.5 9.5 3Hmp 0 9.5 0 9.5 0 9.5 36.5 9.5 20 9.5 25.5 25.5 17 17.5 0 0 17.5 0 25.5 25.5 25.5 0 0 4Hms 9.5 19 9.5 19 9.5 19 46 19 29.5 19 35 35 26.5 27 9.5 9.5 27 9.5 35 35 35 9.5 9.5 5Hrp 0 9.5 0 9.5 0 9.5 36.5 9.5 20 9.5 25.5 25.5 17 17.5 0 0 17.5 0 25.5 25.5 25.5 0 0 6Hrs 9.5 19 9.5 19 9.5 19 46 19 29.5 19 35 35 26.5 27 9.5 9.5 27 9.5 35 35 35 9.5 9.5 7Ht 36.5 46 36.5 46 36.5 46 73 46 56.5 46 62 62 53.5 54 36.5 36.5 54 36.5 62 62 62 36.5 36.5 8B 9.5 19 9.5 19 9.5 19 46 19 29.5 19 35 35 26.5 27 9.5 9.5 27 9.5 35 35 35 9.5 9.5 9Pk 20 29.5 20 29.5 20 29.5 56.5 29.5 40 29.5 45.5 45.5 37 37.5 20 20 37.5 20 45.5 45.5 45.5 20 20 10Br 9.5 19 9.5 19 9.5 19 46 19 29.5 19 35 35 26.5 27 9.5 9.5 27 9.5 35 35 35 9.5 9.5 11Pt 25.5 35 25.5 35 25.5 35 62 35 45.5 35 51 51 42.5 43 25.5 25.5 43 25.5 51 51 51 25.5 25.5 12Pc 25.5 35 25.5 35 25.5 35 62 35 45.5 35 51 51 42.5 43 25.5 25.5 43 25.5 51 51 51 25.5 25.5 13Sw 17 26.5 17 26.5 17 26.5 53.5 26.5 37 26.5 42.5 42.5 34 34.5 17 17 34.5 17 42.5 42.5 42.5 17 17 14S 17.5 27 17.5 27 17.5 27 54 27 37.5 27 43 43 34.5 35 17.5 17.5 35 17.5 43 43 43 17.5 17.5 15Tb 0 9.5 0 9.5 0 9.5 36.5 9.5 20 9.5 25.5 25.5 17 17.5 0 0 17.5 0 25.5 25.5 25.5 0 0 16Rw 0 9.5 0 9.5 0 9.5 36.5 9.5 20 9.5 25.5 25.5 17 17.5 0 0 17.5 0 25.5 25.5 25.5 0 0 17Pm 17.5 27 17.5 27 17.5 27 54 27 37.5 27 43 43 34.5 35 17.5 17.5 35 17.5 43 43 43 17.5 17.5 18Bdr 0 9.5 0 9.5 0 9.5 36.5 9.5 20 9.5 25.5 25.5 17 17.5 0 0 17.5 0 25.5 25.5 25.5 0 0 19Tr 25.5 35 25.5 35 25.5 35 62 35 45.5 35 51 51 42.5 43 25.5 25.5 43 25.5 51 51 51 25.5 25.5 20T 25.5 35 25.5 35 25.5 35 62 35 45.5 35 51 51 42.5 43 25.5 25.5 43 25.5 51 51 51 25.5 25.5 21Tm 25.5 35 25.5 35 25.5 35 62 35 45.5 35 51 51 42.5 43 25.5 25.5 43 25.5 51 51 51 25.5 25.5 22Air 0 9.5 0 9.5 0 9.5 36.5 9.5 20 9.5 25.5 25.5 17 17.5 0 0 17.5 0 25.5 25.5 25.5 0 0 23Aw 0 9.5 0 9.5 0 9.5 36.5 9.5 20 9.5 25.5 25.5 17 17.5 0 0 17.5 0 25.5 25.5 25.5 0 0 Periode 2 P er io d e 1 Penutup lahan

Parameter

Sumber

kebakaran gambut

1 kali 2 kali 3 kali 4 kali

pustaka

Kedalaman terbakar (cm)

17

10

6

2 Konecny et al . (2016)

Luas areal (ha)

1

1

1

1

-Bobot isi (g/cm3)

0.121 0.121 0.121 0.121 Konecny et al . (2016)

Faktor pembakaran

1

1

1

1 Konecny et al . (2016)

FE CO

2

-C (g/kg)

464

464

464

464 IPCC (2014)

Berat bahan bakar tersedia (t dm/ha)

206

115

69

23 Konecny et al . (2016)

FE CO

2

-C (t C/ha)

95.6

53.4

32.0

10.7

-FE CO

2

-CO

2

(t CO

2

/ha)

350.8 195.8 117.5

39.2

-Frekuensi kebakaran

Faktor serapan emisi

BAP

SRS

KYM

Total

(ton CO

2

e/ha)

Hutan lahan kering primer

157.7

3.0

6.1

166.8

612.30

Hutan lahan kering sekunder

121.7

4.5

17.8

144.0

528.44

Hutan mangrove primer

143.2

1.0

2.4

146.6

537.88

Hutan mangrove sekunder

81.8

1.0

2.6

85.3

313.08

Hutan rawa primer

252.9

6.1

4.9

264.0

968.71

Hutan rawa sekunder

97.3

4.7

13.7

115.8

424.85

Hutan tanaman

28.1

3.2

6.4

37.8

138.56

BAP = Biomassa atas permukaan, SRS = Serasah, KYM = Kayu mati

(18)

Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan

10

2.3 Analisis Data

2.3.1 Analisis Perubahan Penutup Lahan

Untuk memperoleh data perubahan penutup lahan pada periode 1990–2012, dilakukan

analisis spasial peta penutup lahan antar dua periode seperti terlihat pada Gambar 3 Tahap 1.

Pada tahap awal, peta penutup lahan tahun 1990 (LC 90) di-overlay-kan dengan peta penutup

lahan tahun 1996 (LC 96). Hasil overlay kedua peta tersebut (LC 90-96) kemudian di-overlay-kan

lagi dengan peta penutup lahan tahun 2000 (LC 00) sehingga diperoleh data perubahan penutup

lahan hingga tahun 2000 (LC 90-96-00). Analisis spasial seperti itu terus dilakukan hingga tahun

2012, sehingga diperoleh peta perubahan penutup lahan untuk 7 periode: 1990–1996, 1996–

2000, 2000–2003, 2003–2006, 2006–2009, 2009–2011, 2011–2012. Peta perubahan penutup

lahan tersebut dianalisis lebih lanjut untuk memperoleh data luas areal hutan, luas deforestasi,

dan luas degradasi hutan pada setiap periode. Untuk menghitung luas areal deforestasi dan

degradasi hutan dilakukan analisis spasial lebih lanjut dengan menandai (masking) areal-areal

yang bukan hutan alam (non-natural forest, non-NF) pada peta penutup lahan periode berikutnya

untuk membentuk Peta Hutan Alam 1990 (Natural Forest 1990, NF 1990) seperti terlihat pada

Gambar 3 Tahap 2. Areal-areal deforestasi pada suatu periode dihitung berdasarkan peta NF

1990 dengan peta non-NF pada periode berikutnya. Sebagai contoh, deforestasi pada periode

1990–1996 dihitung berdasarkan layer peta NF 1990 dan non-NF 1996. Untuk periode 1996–

2000, deforestasi dihitung berdasarkan layer peta NF 1990 dan non-NF 1996 dan 2000. Adapun

luas areal degradasi hutan diperoleh dari pertampalan (overlaying) antara layer peta hutan alam

primer dengan hutan alam sekunder pada tahun yang berurutan.

Gambar 3. Analisis spasial perubahan penutup lahan (Tahap 1), penentuan areal-areal

deforestasi dan degradasi hutan (Tahap 2), dan perhitungan emisi deforestasi dan

degradasi hutan (Tahap 3) (sumber: adaptasi dari MoEF 2016)

Analisis spasial juga dilakukan untuk menentukan dan menghitung luas areal-areal

dekomposisi gambut dengan cara meng-overlay-kan peta penutup lahan antar dua periode

dengan peta lahan gambut seperti terlihat pada (Gambar 4). Sebagai contoh, peta penutup lahan

tahun 1990 (LC 90), peta lahan gambut (Peatland), dan peta penutup lahan tahun 1996 (LC 96)

di-overlay-kan satu sama lain sehingga diperoleh data perubahan penutup lahan gambut gambut

pada periode 1990–1996 (P+LC 90-96). Kemudian hasil overlay ketiga peta tersebut

di-overlay-kan lagi dengan peta penutup lahan pada periode berikutnya (misal LC 00) untuk memperoleh

data perubahan penutup lahan gambut hingga periode tersebut (misal tahun 1996–2000). Proses

tersebut terus dilakukan untuk memperoleh data perubahan penutup lahan gambut hingga tahun

2012 (P+LC 90-11-12). Berdasarkan peta perubahan penutup lahan gambut tersebut dianalisis

(19)

Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan

11

lebih lanjut untuk menghitung luas dekomposisi lahan gambut pada setiap periode (Gambar 4

Tahap 3).

Gambar 4. Analisis spasial perubahan penutup lahan gambut (Tahap 1), penentuan areal-areal

dekomposisi gambut (Tahap 2), dan perhitungan emisi dekomposisi gambut (Tahap

3) (sumber: adaptasi dari MoEF 2016)

Perubahan lahan akibat kebakaran gambut dianalisis dengan menggunakan metode grid

berdasarkan data hotspot (MoEF 2016). Dalam dokumen FREL ini digunakan data hotspot tahun

2001–2015 dari Ditjen Planologi Kementerian Kehutanan dan Lingkungan. Tidak semua data

hotspot tahunan tersebut digunakan dalam analisis, melainkan dipilih hotspot-hotspot yang

memiliki tingkat kepercayaan ≥80%. Kemudian data hotspot tersebut di-overlay-kan dengan peta

raster dengan ukuran grid/pixel 1 x 1 km. Grid-grid tanpa data hotspot tidak diperhitungkan

sebagai areal kebakaran. Namun grid-grid yang berisi minimal satu hotspot dianggap sebagai areal

kebakaran dengan asumsi bahwa luas areal terbakar hanya 75% dari ukuran grid (7,500 ha). Peta

areal-areal kebakaran tersebut kemudian di-overlay-kan dengan peta lahan gambut dari

Kementerian Pertanian untuk memperoleh data luas kebakaran gambut pada setiap tahun.

Selain deforestasi, degradasi hutan, dekomposisi gambut, dan kebaran gambut,

perubahan penutup lahan di Provinsi Sumatera Selatan juga dimungkinkan karena adanya

reforestasi yang berpotensi untuk meningkatkan cadangan karbon hutan. Oleh karena itu, analisis

spasial juga dilakukan untuk menentukan dan menghitung luas areal-areal reforestasi pada setiap

periode waktu. Hal itu dilakukan dengan meng-overlay-kan peta deforestasi pada suatu periode

(misalnya Def 90–96, Gambar 3) dengan peta penutup lahan pada periode berikutnya (misalnya

LC 2000). Dalam dokumen FREL ini, areal reforestasi didefinisikan sebagai areal deforestasi

(kelas-kelas non-hutan) yang penutup lahannya kemudian berubah menjadi hutan lahan kering

primer, hutan lahan kering sekunder, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder, hutan

rawa primer, hutan rawa sekunder, atau hutan tanaman (Gambar 5).

(20)

Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan

12

Gambar 5. Konsep reforestasi untuk peningkatan cadangan karbon hutan

2.3.2 Penghitungan Stok Hutan

Stok hutan dicerminkan oleh luas hutan alam (primer dan sekunder) dan cadangan

karbonnya yang masih tersisa pada periode tertentu: 1990, 1996, …, 2015. Data luas hutan alam

pada setiap periode tersebut diperoleh dari analisis perubahan penutup lahan (Gambar 3 Tahap

1). Sesuai dengan batasan areal REDD+, total luas hutan pada suatu periode (L

t

, ha) merupakan

penjumlahan luas dari keenam tipe hutan alam (L

i

, ha), yaitu: hutan lahan kering primer, hutan

lahan kering sekunder, hutan mangrove primer, hutan mangrove sekunder, hutan rawa primer,

dan hutan rawa sekunder:

1 n t i i

L

L

(1)

Total cadangan karbon hutan pada suatu periode (C

t

, ton) dihitung berdasarkan luas (L

i

, ha) dan

nilai cadangan karbon (C

i

, ton/ha) pada keenam tipe hutan tersebut (Tabel 3):

1 n t i i i

C

L C

(2)

2.3.3 Penghitungan Emisi

Emisi deforestasi, degradasi hutan, dekomposisi gambut, dan kebakaran gambut pada

suatu periode (E

t

, ton CO

2

e) dihitung berdasarkan perkalian antara luas areal (A, ha) dan faktor

emisi/serapan (EF, ton CO

2

e/ha; Tabel 3–6):

.

t

E

A EF

(3)

Nilai emisi dinyatakan dalam bentuk nilai rata-rata tahunan agar lebih mudah

membandingkannya, yang kemudian diperinci menurut jenis tanah (gambut dan mineral), tipe

penutup lahan, wilayah kabupaten/kota, dan wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).

2.3.4 Penyusunan FREL

Tingkat acuan emisi hutan (FREL) disusun berdasarkan nilai-nilai emisi tahunan historis

(1990–2012). Berdasarkan cakupan emisinya, dalam dokumen ini FREL dibedakan menjadi dua,

yaitu: 1) FREL untuk deforestasi, degradasi hutan, dan dekomposisi gambut (selanjutnya disebut

FREL 3D) dan 2) FREL untuk deforestasi, degradasi hutan, dekomposisi gambut, kebakaran

gambut, dan reforestasi (selanjutnya disebut FREL 3D+KR). Penyajian tingkat emisi acuan hutan

dalam bentuk FREL 3D sesuai dengan cakupan FREL Nasional yang hanya meliputi emisi

deforestasi, degradasi hutan, dan dekomposisi gambut. Adapun FREL 3D+KR dimaksudkan untuk

memberikan informasi yang lebih komprehensif tentang potensi emisi di Provinsi Sumatera

Selatan, yang juga mencakup kebakaran gambut dan reforestasi yang belum diperhitungkan

dalam FREL Nasional.

(21)

Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan

13

3 KONDISI HUTAN

3.1 Luas Hutan dan Penutupan Lahan

Provinsi Sumatera Selatan secara keseluruhan memiliki luas 87,421.17 km

2

atau

8,742,117 ha (BPS-Sumsel 2016). Luas Provinsi Sumatera Selatan kira-kira 18.5% dari luas Pulau

Sumatera (473,481 km

2

) atau 4,55 % dari luas daratan Indonesia (1,922,570 km

2

). Berdasarkan

penutup lahan utamanya, Provinsi Sumatera Selatan dapat dibedakan atas lahan berpenutupan

hutan dan lahan tidak berhutan. Berdasarkan kondisi penutupan hutannya, hutan di Provinsi

Sumatera Selatan dapat dibedakan lagi atas hutan alam dan hutan tanaman.

Luas tutupan hutan alami Provinsi Sumatera Selatan selama 25 tahun terakhir telah jauh

berkurang (Gambar 6). Tutupan hutan alam pada tahun 1990 mencapai 2.14 juta hektar atau

masih 25 % dari luas provinsinya, akan tetapi tutupan hutan pada tahun 2015 hanya tersisa seluas

0.84 juta ha atau tinggal 10% dari luas provinsinya. Jika dilihat periode waktu terjadi

pengurangan luas hutannya, pengurangan hutan yang sangat tinggi terjadi pada periode 1996–

2000 dimana selama 5 tahun tersebut Provinsi Sumatera Selatan kehilangan hutan hingga 0.90

juta ha. Pada periode tersebut, khususnya tahun 1997, juga terjadi masa kemarau yang panjang

sebagai dampak cuaca ekstrim El-Nino yang menyebabkan kebakaran hutan yang sangat masif di

Sumatera Selatan.

Gambar 6. Luas hutan menurut tipe ekosistemnya di Provinsi Sumatera Selatan pada periode

1990–2015

Sebagian besar tutupan hutan alam yang tersisa di Provinsi Sumatera Selatan berada di

lahan mineral 796,140 ha (atau 90% dari luas total) sedangkan di lahan gambut hanya tersisa

86,788 ha (atau 10% dari luas total). Sedangkan berdasarkan tipe ekosistemnya, sisa hutan alam

tersebut terdiri atas hutan lahan kering sekunder 38%, hutan lahan kering primer 34%, hutan

mangrove sekunder 10%, hutan mangrove primer 9% dan hutan rawa sekunder 8%. Hutan

primer yang masih tersisa dalam hamparan yang kompak berada di kawasan TN Kerinci Seblat,

sedangkan hutan mangrove yang cukup sebagian besar luas berada di TN Sembilang.

Sebagian besar tutupan hutan berada di kawasan hutan negara 778,684 ha (93%), dan

dalam jumlah yang sedikit (7%) di luar kawasan hutan negara (Areal Penggunaan Lain).

Berdasarkan fungsi hutannya (Gambar 7), sebagian besar tutupan hutan terkonsentrasi di fungsi

hutan konservasi 394,728 ha (47%), hutan lindung 257,170 ha (31%), dan hutan produksi

126,886 ha (16%). Tutupan hutan alami yang luas dan kompak di hutan konservasi terutama di

wilayah TN Kerinci Seblat dan TN Sembilang.

Berdasarkan pembagian wilayah administrasi kabupaten/kota (Gambar 8), tutupan

hutan alam paling luas berada di Kabupaten Banyuasin 186.910 ha (22%), Kabupaten Musi Rawas

(22)

Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan

14

Utara 174.858 ha (21%), dan Kabupaten Musi Banyuasin 95.349 ha (11%). Sedangkan

kabupaten/kota dengan luas hutan paling kecil adalah Palembang hanya 36 ha (0.004%). Namun

jika dibandingkan dengan luas wilayah kabupaten/kotanya, kabupaten yang persentase tutupan

hutannya masih tinggi adalah Musi Rawas Utara.

Berdasarkan pembagian wilayah pengelolaan hutan kedalam Kesatuan Pengelolaan

Hutan (KPH; Gambar 9), sebaran tutupan hutan alam yang masih luas berada di wilayah Non

KPH/wilayah Hutan Konservasi (Taman Nasional, Suaka Alam) 454,689 ha (54%), KPHP Meranti

67,258 ha (8%), KPHL Ogan Ulu 47,031 ha (6%), KPHL Banyuasin 39,407 ha (5%). KPH yang

paling sedikit tutupan hutan alamnya adalah KPHP Subanjeriji (0,01%), KPHP Saka, KPHP S.

Batang Riding, dan KPHP Martapura tetapi memiliki tutupan hutan tanaman yang cukup luas.

Dengan demikian tutupan hutan alam yang cukup luas berada di wilayah pengelolaan Hutan

Konservasi dan Hutan Lindung, dan sedikit di Hutan Produksi.

(23)

Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan

15

Gambar 8. Sebaran sisa hutan alam pada tahun 2015 menurut wilayah kabupaten/kota

(24)

Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan

16

3.2 Cadangan Karbon

Cadangan karbon hutan yang diperhitungkan dalam FREL Sumatera Selatan ini hanya

mencakup biomassa atas permukaan tanah (BAP), serasah (SRS), dan kayu mati (KM) karena

ketiga carbon pools secara langsung dipengaruhi oleh perubahan lahan (khususnya deforestasi,

degradasi hutan, dan kebakaran hutan/lahan). Pada tahun 2015, total cadangan karbon hutan

Provinsi Sumatera Selatan sebesar 120.48 juta ton C (Gambar 10) atau 42% dari total cadangan

karbon pada tahun 1990 (289.21 juta ton C). Total cadangan karbon hutan pada tahun 2015

tersebut terdapat pada tanah mineral (78%), tanah mangrove (16%), dan tanah gambut (6%).

Cadangan karbon pada tanah gambut relatif rendah karena hanya mencakup BAP, SRS, dan KM.

Padahal, cadangan karbon terbesar pada hutan rawa gambut di Provinsi Sumatera Selatan

terdapat pada tanah gambut (Tiryana et al. 2016), yang tidak diperhitungkan dalam dokumen

FREL ini.

Gambar 10. Cadangan karbon pada biomassa atas permukaan tanah (BAP), kayu mati (KYM),

serasah (SRS), biomassa bawah permukaan tanah (BBP), dan tanah (TNH) di

Provinsi Sumatera Selatan pada periode 1990–2015

Berdasarkan kepada tipe ekosistem hutannya (Gambar 11), total cadangan karbon hutan

terbesar berada di ekosistem hutan lahan kering primer (17–39%), diiukuti oleh hutan lahan

kering sekunder (35–38%), hutan mangrove primer (6–11%), hutan mangrove sekunder (2–6%),

hutan rawa primer (0–3%), dan hutan rawa sekunder (6–35%). Cadangan karbon hutan

mangrove dan rawa gambut yang relatif rendah tersebut disebabkan karena tidak

memperhitungkan cadangan karbon tanah yang merupakan pool karbon terbesar pada ekosistem

hutan mangrove dan hutan rawa gambut (Tiryana et al. 2016).

(25)

Tingkat Emisi Acuan (Forest Reference Emission Level) Provinsi Sumatera Selatan

17

Gambar 11. Cadangan karbon pada biomassa atas permukaan tanah (BAP), kayu mati (KYM),

serasah (SRS), biomassa bawah permukaan tanah (BBP), dan tanah (TNH) pada

berbagai tipe hutan di Provinsi Sumatera Selatan pada periode 1990–2015

Gambar

Tabel 1. Luas areal REDD+ menurut kabupaten dan wilayah KPH di Provinsi Sumatera Selatan
Gambar 2. Kerangka pemikiran dalam penyusunan FREL Provinsi Sumatera Selatan
Tabel 3. Faktor emisi deforestasi dan degradasi hutan untuk penyusunan FREL Sumatera  Selatan
Gambar 6.  Luas hutan menurut tipe ekosistemnya di Provinsi Sumatera Selatan pada periode  1990–2015
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelitian yang berjudul Hubungan Curah Hujan dengan Kejadian Kebakaran di Provinsi Sumatera Selatan ini dapat disimpulkan bahwa musim kemarau di Sumatera

PERENCANAAN JARINGAN IRIGASI AIR SUNUR KABUPATEN OKU SELATAN PROVINSI SUMATERA SELATAN..

Emisi karbon terbesar yang dihasilkan akibat kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2000 terdapat pada pertanian tanah kering bercampur semak sebesar 58. Emisi

Bagi pemerintahan Provinsi Sumatera Selatan diharapkan dapat menjadi bahan acuan untuk memilih alternatif kebijakan yang akan di ambil dalam upaya peningkatan pertumbuhan

Pengawasan yang dilakukan oleh DPRD Provinsi Sumatera Selatan dari hasil implementasi kebijakan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, terdapat beberapa kasus diantaranya

Rencana Strategis Sekretaria t Daerah Provinsi Sumatera Selatan menjadi acuan dan dijabarkan pada rencana k erja tahunan dan rencana kerja anggaran B i ro-B i ro

INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI TAHUN 2021 PROVINSI SUMATERA SELATAN JUMLAH PESERTA : 1,228 Orang.. LOKASI : 1) KANREG VII

Bahan yang digunakan adalah “Peta Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Selatan Skala 1 : 250.000”,”Peta Perkembangan Pengukuhan Kawasan Hutan Provinsi Kalimantan Selatan s/d tahum 2016