• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rina Shu. KIMI WO SHINJITERU Believe In You. Penerbit WordBox

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Rina Shu. KIMI WO SHINJITERU Believe In You. Penerbit WordBox"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Rina Shu

KIMI WO SHINJITERU

Believe In You

Penerbit

WordBox

(2)

KIMI WO SHINJITERU Believe In You Oleh: Rina Shu Copyright © 2010 by Rina Shu

Penerbit WordBox Desain Sampul: Bagus Bali Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com

(3)

CHAPTER 1

S

hira berulang kali melihat jam tangannya. Sudah dua jam dia duduk

sendirian di restoran itu. Kemarin, tiba-tiba seorang teman lamanya ketika SMA menelpon dan mengajak Shira bertemu. Jadi, di sinilah Shira sekarang. Terperangkap dalam aktivitas membosankan ini. Dari dulu temannya itu memang terkenal sering tidak tepat waktu. Ternyata sampai sekarang pun kebiasaan buruknya belum berubah. Sudah molor dua jam dari waktu yang dia janjikan.

Dari kejauhan, tampak seorang wanita cantik berbusana kerja yang sedikit seksi berjalan menghampiri meja Shira. Shira mengamatinya dengan seksama. Ya, ternyata itu memang Nerra, teman SMA-nya. Akhirnya si „ngaret’ itu datang juga, pikir Shira. Nerra menghampiri Shira dengan senyum tak bersalah.

“Hai Shira, belum lama kan?” Nerra langsung duduk di hadapan Shira. Shira mengangguk sambil tertawa pasrah.

“Kamu sudah banyak berubah ya… Sekarang jauh lebih cantik, sampai-sampai tadi aku nggak mengenali kamu. Kamu kerja di mana?” puji Shira.

“Sekarang aku kerja di sebuah stasiun TV, PR.” Tampak sekali ada kebanggaan dalam nada bicara Nerra.

Mereka memang tidak pernah berhubungan lagi sejak lulus SMA. Sebenarnya mereka juga bukan teman akrab. Dulu paling-paling mereka saling bicara hanya kalau ada perlu. Makanya Shira agak kaget saat Nerra menelponnya kemarin. Seharusnya ada sesuatu yang sangat penting yang harus Nerra sampaikan.

Nerra memandangi Shira. Lalu seketika matanya beralih ke sebelah kaki Shira yang terbungkus sepatu khusus untuk penyandang cacat polio.

“Kakiku masih sama seperti dulu,” ujar Shira sambil tersenyum. Cetusan Shira itu membuat Nerra salah tingkah. Seolah-olah pikirannya baru saja dibaca Shira. ”Bukan…bukan itu…” Bicaranya terbata-bata. “Jadi sekarang kamu seorang wartawan?” Nerra menunjuk name tag di dada Shira dengan matanya.

“Oh iya, aku kerja di sebuah majalah remaja sebagai jurnalis musik.”

“Waah, asyik dong! Hobimu kan menulis dan musik, sekarang kamu kerja di dua bidang itu. Beruntung sekali kamu…”

“Ya, walaupun agak stress, aku menikmatinya. Ada kabar penting apa?” Shira mulai capek dengan basa-basi ini.

“Oh iya, sampai lupa. Aku dapat undangan pernikahan dari Yuza, dia akan menikah minggu besok. Yang bikin aku bingung, nama mempelai wanitanya bukan namamu. Memangnya kalian sudah berpisah? Sejak kapan?” selidik Nerra.

Shira benar-benar kaget mendengar ucapan Nerra barusan. Yuza akhirnya menikah? Dengan gadis itu? Tanya Shira dalam hati. Tatapan Shira menerawang. Berita itu membuat Shira tidak dapat berkata apa-apa.

“Shira… Shira, kamu kenapa?” Panggilan Nerra membuyarkan lamunan Shira.

(4)

“Ah, nggak… aku nggak apa-apa. Iya kami memang sudah berpisah sekitar setahun yang lalu,“ Shira berusaha keras memulihkan kesadarannya. “Ehm, apa kamu ingat siapa nama mempelai wanitanya?” tanya Shira dengan lirih.

Nerra mencoba mengingat-ingat. “Kalau tidak salah… Namanya Andina, Andina Saskia.“

Ya, ternyata memang gadis itu! Andina, gadis yang membuat hubungan kami hancur. Ya Tuhan, jangan biarkan aku meneteskan air mata lagi untuk laki-laki itu. Terlebih lagi disini, dihadapan Nerra. Aku harus kuat… Doa Shira.

“Lho, memangnya kamu nggak dapat undangannya Ra?” Shira menggeleng. “Sayang sekali ya, kalian akhirnya berpisah. Padahal kalian sudah sangat berusaha agar hubungan kalian berjalan lancar. Walaupun aku memang tahu sebenarnya kalian nggak cocok. Pasti sangat sulit bagi Yuza yang populer untuk mempertahankan hubungan kalian. Tapi, memangnya masalah apa yang membuat kalian berpisah? Apa karena orang ketiga?” Shira hanya diam. Ia tidak bisa dan tidak ingin menjawab pertanyaan Nerra. Kalau sampai Nerra tahu masalah yang

sebenarnya, pasti dia akan menertawai Shira.

“Sudahlah, nggak apa-apa kalau kamu nggak mau cerita. Aku yakin pasti karena orang ketiga,“ Nerra mengambil kesimpulan sendiri.

Terserah, Shira sudah tidak mau ambil pusing dengan pemikiran Nerra. Berita ini pasti membuatnya bahagia. Sejak dulu Nerra memang sudah sangat menginginkan Shira dan Yuza berpisah. Nerra sebenarnya menyukai Yuza, tapi karena ia tahu Yuza tidak pernah menyukainya, ia pun menyerah. Tapi Nerra juga sangat tidak rela menerima kenyataan bahwa Yuza akhirnya memilih Shira, gadis pincang yang biasa-biasa saja.

Nerra selalu berpikir Shira bukanlah gadis yang cocok dan sepadan untuk Yuza. Gadis yang pantas menjadi pasangan Yuza seharusnya adalah gadis yang sama populernya dengan Yuza. Cantik, kaya, pintar, tubuhnya indah, dan yang paling penting sehat. Pemikiran Nerra itu akhirnya memang jadi kenyataan. Yuza akhirnya memang lebih memilih gadis seperti yang ada dalam bayangan Nerra. Andina.

Lamunan Shira berputar ke masa lalu. Saat ia dan Yuza masih saling mencintai. Hari itu hari ulang tahun Yuza, ia mengadakan pesta di kafe milik kakaknya. Tamu yang hadir adalah teman-teman baik Yuza dan tentu saja Shira. Ditengah pesta, tiba-tiba hadir seorang gadis yang wajahnya kurang familiar diantara mereka. Gadis itu langsung berjalan menghampiri Yuza dan memberi ucapan selamat ulang tahun. Mereka pun berbincang-bincang dan mereka tampak akrab.

Setelah mendapat kesempatan hanya berdua dengan Yuza, Shira langsung menanyakan perihal gadis itu.

“Za, perempuan yang tadi itu siapa sih? Cantik banget…” sindir Shira. “Kenapa? Cemburu ya?” goda Yuza.

Shira yang digoda pura-pura bersikap tidak peduli. “Namanya Andina, dia anak teman orangtuaku. Sebenarnya aku juga baru kenal. Tapi sepertinya orangtuaku berniat menjodohkan kami.” Yuza melirik Shira.

“Lalu, kalau memang benar kalian mau dijodohkan, apa kamu mau menerimanya?” Nada suara Shira mulai panik.

“Ya, mau apa lagi. Aku harus menerimanya. Lagipula Andina cantik, jadi nggak terlalu sulit bagiku untuk terima dia.“ Yuza sok serius. Ia memang senang sekali membuat Shira kesal. Katanya Shira tampak lebih manis kalau sedang kesal.

(5)

Shira cemberut. “Aduh, manisnya… Shira-ku sayang memang paling manis kalau cemberut…” rayu Yuza.

“Jangan marah ya, tadi aku cuma bercanda kok. Tentu saja aku nggak akan mau, aku kan cuma cinta sama Shira. Aku juga cuma mau menikah dan hidup sama Shira.” Yuza merangkulkan tangannya ke pundak Shira.

“Aku nggak percaya,” tolak Shira.

Yuza spontan langsung berlutut dihadapan Shira. “Apa aku harus membelah dadaku, mengiris pergelangan tanganku dan menikam jantungku untuk membuktikan-nya?”

“Norak banget sih! Jijik deh…” Shira tertawa.

Saat itu jauh di dalam hatinya Shira percaya pada Yuza. Selama pacaran Yuza tidak pernah sekalipun mengecewakan Shira. Sikapnya selalu manis dan selalu penuh rasa sayang pada Shira. Tapi ternyata semua yang manis-manis itu hanya jadi kenangan sekarang. Kepercayaan Shira sudah dikhianati. Janji-janji Yuza tidak pernah terbukti. Yuza akhirnya memilih Andina sebagai teman hidupnya.

* * *

Setelah pertemuannya dengan Nerra, Shira benar-benar kacau. Sebenarnya ia sudah tidak ingin mengingat-ingat lagi masa lalunya bersama Yuza. Setelah mereka berpisah, Shira memang sempat terpuruk. Kekecewaannya terhadap orang yang sangat ia cintai dan percayai begitu dalam. Tapi kemudian Shira memutuskan untuk kembali bangkit. Ia berusaha mengubur kenangan pahit itu dalam kesibukan kerjanya. Ia selalu berniat berbuat yang terbaik untuk pekerjaannya. Walaupun begitu, luka yang ditinggalkan sebenarnya masih menganga lebar. Dan itu membuatnya trauma. Shira tidak ingin lagi mencintai pria. Ia takut kecewa untuk kedua kalinya.

Pulang dari restoran itu seharusnya Shira kembali ke kantornya. Tapi ia tahu ia tidak akan punya konsentrasi yang cukup untuk bekerja. Dan ia butuh ke suatu tempat untuk menenangkan diri. Sebuah taksi kosong lewat di depannya, Shira pun memanggil-nya.

“Taksi!” Taksi itu berhenti. Shira masuk ke dalam kendaraan berwarna biru itu. Hemm, wangi taksi… Shira menghirup dalam-dalam aroma taksi yang berasal dari pewangi mobil. Satu hal yang membuatnya sedikit rileks.

“Ke Bintaro, Pak.“ Shira menyampaikan tujuannya dengan singkat.

Shira berdiri diam di ambang pintu sebuah kamar yang tidak begitu luas namun tampak luas karena penataannya yang apik. Letak kasur, lemari dan meja kerja diatur dengan rapi ditambah dengan beberapa poster artis dan anime Jepang yang melekat manis di dinding kamar yang berwarna hijau muda. Shira hapal betul tiap detil kamar ini. Selama hampir 18 tahun, setiap kali ia merasa kesepian atau sedih, ia pasti datang ke kamar ini. Sebenarnya bukan kamar ini yang membuatnya nyaman, melainkan pemiliknya.

Seorang gadis yang kini duduk membelakanginya. Gadis luar biasa yang diam-diam begitu ia kagumi. Gadis yang bila sedang berhadapan dengan komputernya tidak akan peduli pada sekelilingnya, seperti saat ini. Sudah hampir setengah jam Shira berdiri memandanginya namun gadis itu tidak menyadarinya sedikitpun.

(6)

“Rana…” panggil Shira

“Shira ya?” Rana masih memunggungi Shira. “Kok tumben nggak bilang dulu kalau mau kesini?”

Shira memutar kursi roda Rana agar bisa berhadapan dengannya. “Tulisanmu belum selesai ya?” Shira menunjuk komputer Rana.

“Belum, baru sekarang aku lanjutin lagi. Itu juga baru dapat sedikit. Habis akhir-akhir ini aku cepat lelah sih. Jadi nggak bisa duduk terlalu lama di kursi roda. Yang penting, targetku novel ini harus selesai sebelum aku mati,” Rana tertawa. Bagi Shira, tawa Rana tampak sangat cantik. Shira pun ikut tertawa.

“Ada apa? Matamu itu kelihatan sedih,” tebak Rana.

Shira terdiam sebentar. Tadi di jalan ia begitu menggebu-gebu ingin segera cerita pada sahabatnya itu. Tapi begitu melihat Rana, kesedihannya langsung berkurang. Shira menarik nafas panjang. Ia pun mulai menceritakan apa yang baru saja dialaminya. Tentang pertemuannya dengan Nerra, dan berita yang disampaikan Nerra padanya. Rana terkejut mendengarnya.

“Jadi, Yuza sudah menikah dengan Andina? Jadi, dia meninggalkanmu karena dia mau menikah dengan Andina? Bukan karena sudah nggak cocok lagi seperti yang dia katakan?” Rana coba menganalisa keadaan yang sebenarnya.

Shira mengangguk. “Sepertinya mereka sudah berhubungan sejak lama. Mungkin sebelum kami putus. Ternyata dia lebih memilih gadis seperti itu dibanding aku. Ya, aku rasa keputusannya memang benar. Semua orang juga berpendapat seperti itu. Dugaanku selama ini benar.”

“Tapi menurutku ini sebuah berita yang bagus.”

“Bagus? Kok bagus?” Shira tidak mengerti dengan pernyataan Rana.

“Dengan begini, kamu jadi tahu seberapa brengseknya Yuza. Kalau dia nggak setulus seperti yang selama ini kamu pikirkan. Sekarang kamu nggak bisa mengharapkan Yuza lagi. Kamu nggak bisa terjebak lagi dalam masa lalu. Sekarang waktunya kamu bangkit, terus berjalan ke depan. Kamu harus lupain Yuza,“ jelas Rana.

“Iya, aku memang akan lupain Yuza. Dan aku akan terus berjalan ke depan. Tapi nggak dalam urusan cinta. Kejadian ini semakin membuatku yakin kalau nggak ada cinta yang tulus untukku.”

“Ayolah, Ra, jangan pesimis begitu.”

Ponsel Rana berbunyi. Sebuah pesan masuk. Sesungging senyuman tipis menghiasi wajah Rana.

“Dari siapa? Kok senyum-senyum gitu? Ehm…dari Gillian ya?” goda Shira. Rana hanya tersenyum malu.

“Gimana hubungan kalian? Kapan jadian? Jangan lama-lama, memangnya mau sampai kapan begini?”

“Aku dan Gillian jadian? Nggak mungkin!” bantah Rana. “Dia memang baik. Tapi cuma karena baik, mungkin ada sedikit rasa kasihan. Dia nggak mungkin menyukaiku. Aku tahu diri, Ra.”

Shira terdiam. Bukan baru sekali ini Rana dekat dengan seorang pria dan semua memang tidak pernah berlanjut ke hubungan cinta. Rupanya Rana sudah lelah berharap seperti yang dulu-dulu.

(7)

“Na, apa benar ya nggak akan ada seorangpun untuk kita?” Shira menanyakan apa yang menjadi perenungannya selama ini.

“Aku nggak tahu. Tapi kalaupun memang benar nggak ada, aku selalu berdoa supaya Tuhan melapangkan hatiku agar aku ikhlas menerima semua takdirku,” jawab Rana.

“Kenapa ya Na, harus ada orang-orang kayak kita?”

Rana tersenyum. “Aku juga nggak tahu pasti. Tapi aku yakin Tuhan menciptakan makhluknya dalam segala bentuk pasti dengan alasan. Mungkin kehadiran kita di dunia ini adalah untuk mengingatkan orang-orang yang lebih beruntung dari kita bahwa mereka harus bersyukur. Apapun alasannya kita ini cuma „wakil‟ Tuhan. Dan kita harus menjalankan hidup yang telah dianugerahkan Tuhan pada kita dengan sebaik-baiknya. Dan aku sedang berusaha melakukannya saat ini.”

“Nyontek dari buku mana lagi nih?” ledek Shira.

Rana melotot, sementara Shira cuma nyengir sambil membentuk tanda peace dengan jarinya

Referensi

Dokumen terkait