• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK AKAR SENGGUGU (Clerodendron serratum [L.] Spr.) TERHADAP DERAJAT INFLAMASI BRONKUS MENCIT Balb/C MODEL ASMA ALERGI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK AKAR SENGGUGU (Clerodendron serratum [L.] Spr.) TERHADAP DERAJAT INFLAMASI BRONKUS MENCIT Balb/C MODEL ASMA ALERGI"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

1

MENCIT Balb/C MODEL ASMA ALERGI

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

FITRIANI IKHSANIATUN G0006084

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2010

(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penelitian mengenai obat tradisional dan tanaman obat terus berlangsung bahkan meningkat jumlahnya akhir-akhir ini. Meskipun demikian, dalam kenyataan hingga saat ini baru beberapa penelitian obat tradisional ataupun tanaman obat yang digunakan dalam fasilitas pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2000). Salah satu contoh obat tradisional ini adalah seduhan kulit akar senggugu yang digunakan secara turun-temurun untuk menjernihkan suara, mengeluarkan lendir dari hidung, dan pengobatan sinusitis (IPTEKnet, 2009). Beberapa penelitian sebelumnya menunjukan bahwa ekstrak kulit akar senggugu dapat menurunkan viskositas larutan mukus atau mempunyai aktivitas sebagai mukolitik (Wahyono, 1998). Selain itu ekstrak etanoliknya mempunyai pengaruh antiinflamasi dan trakeospasmolitik (Wahyono, 2007).

Asma adalah penyakit paru dengan karakteristik obstruksi saluran napas yang reversibel (tetapi tidak lengkap pada beberapa pasien) baik secara spontan maupun dengan pengobatan, inflamasi saluran napas serta adanya peningkatan respon saluran napas terhadap berbagai rangsangan (hipereaktivitas) (Heru dan Sukamto, 2006). Secara umum asma dibagi menjadi dua golongan yaitu asma alergi/atopi dan nonalergi dengan

(3)

gambaran patologi yang ditemukan tidak berbeda walaupun berbeda penyebabnya (Frans dkk., 2003).

Sembilan puluh persen penyandang asma anak dan 80% dewasa adalah asma alergi (Frans dkk., 2003). Proses alergi dimulai dengan pajanan alergen-alergen yang ditangkap oleh Antigen Presenting Cell (APC). Sel dendritik di saluran napas berperan sebagai APC pada asma (Iris, 2004). Hasil olahan alergen oleh APC selanjutnya akan dipresentasikan ke sel Cluster of Differentiation (CD) 4+ T-helper (Th)2 melalui ekspresi Major Histocompability Complex (MHC) II (Nairn and Helbert, 2002). Sel CD4+ Th2 akan menghasilkan interleukin (IL) 4 dan IL-13 yang memacu sel B (sel-sel plasma) untuk menghasilkan imunoglobulin (Ig) E (Abbas and Litchman, 2003). Interleukin 5 juga dihasilkan oleh sel CD4+ Th2 yang akan menarik eosinofil ke tempat inflamasi (Sell, 2001). Imunoglobulin E yang terbentuk akan berikatan dengan sel mast dan menyebabkan degranulasi sel mast. Sel mast yang terdegranulasi akan melepaskan mediator-mediator inflamasi yang dapat menyebabkan spasme bronkus, edema, peningkatan sekresi mukus, dan konstriksi otot polos bronkus seperti histamin, leukotrien, dan prostaglandin. Faktor kemotakis seperti IL-5 dan Tumour Necrosis Factor (TNF)α juga dilepaskan oleh sel mast (David et al., 2006). Faktor kemotaktis ini akan memacu infiltrasi sel-sel radang seperti eosinofil, limfosit, makrofag, neutrofil, dan basofil ke dalam jaringan bronkus

(4)

(Abbas and Litchman, 2003). Infiltrasi sel-sel radang menunjukan terjadinya inflamasi pada bronkus (Heru dan Sukamto, 2006).

Akar senggugu memiliki beberapa kandungan kimia, diantaranya adalah sitosterol dan flavonoids (Vidya et al., 2007). Sitosterol diketahui memiliki efek antiinflamasi melalui penurunan hipersekresi mukus, penurunan infiltrasi eosinofil, dan penghambatan sitokin Th2 yaitu IL-4 dan IL-5 (Kim et al., 2007). Flavonoids sendiri dapat menghambat influks Ca2+ yang akan mencegah degranulasi sel mast selain itu flavonoids juga dapat menekan produksi IL-4 dan IL-13 oleh Th2 (Kawai et al., 2007). Secara umum ekstrak akar senggugu memiliki efek antiinflamasi, antialergi, antiasma (Shrivastava and Patel, 2007), dan antihistamin (Vidya et al., 2007). Sehingga dapat digunakan untuk mencegah dan mengobati asma alergi. Dari uraian di atas peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh ekstrak akar senggugu terhadap derajat inflamasi bronkus mencit Balb/C model asma alergi.

B. Perumusan Masalah

Adakah pengaruh pemberian ekstrak akar senggugu terhadap derajat inflamasi bronkus mencit Balb/C model asma alergi?

(5)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak akar senggugu terhadap derajat inflamasi bronkus mencit Balb/C model asma alergi.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai pengaruh pemberian ekstrak akar senggugu terhadap derajat inflamasi bronkus mencit Balb/C model asma alergi.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk penelitian lebih lanjut dalam upaya memanfaatkan senggugu sebagai obat antiasma alergi dalam pelayanan kesehatan secara resmi.

(6)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Senggugu (Clerodendron serratum [L.] Spr.) a. Sinonim

Clerodendron javanicum, Walp. (IPTEKnet, 2009). b. Nama daerah

Nama daerah atau nama lokal senggugu antara lain: singgugu (Sunda); srigunggu, sagunggu (Jawa); kertase, pinggir tosek (Madura); sinar baungkudu (Batak Toba); tinjau handak (Lampung); San tai hong hua (China) (IPTEKnet, 2009).

c. Klasifikasi

Kingdom : Plantae (tumbuhan)

Sub-kingdom : Tracheobiota (berpembuluh) Superdivisi : Spermatophyta (menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga) Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil) Sub-kelas : Asteridae

Ordo : Lamiales Famili : Verbenacea Genus : Clerodendron

(7)

d. Deskripsi

Gambar 2.1. Akar senggugu Gambar 2.2. Senggugu

Tumbuh liar pada tempat-tempat terbuka atau agak terlindung, bisa ditemukan di hutan sekunder, padang alang-alang, pinggir kampung, tepi jalan atau dekat air yang tanahnya agak lembab dari daratan rendah sampai 1.700 m dpl. Senggugu diduga tumbuhan asli Asia tropik. Perdu tegak, tinggi 1-3 m, batang berongga, berbongkol besar, akar warnanya abu kehitaman. Daun tunggal, tebal, dan kaku, bertangkai pendek, letak berhadapan, bentuk bundar telur sampai lanset, ujung dan pangkal runcing, tepi bergerigi tajam, pertulangan menyirip, kedua permukaan berambut halus, panjang 8-30 cm, lebar 4-14 cm, warnanya hijau. Perbungaan majemuk bentuk malai yang panjangnya 6-40 cm, warnanya putih keunguan, keluar dari ujung-ujung tangkai. Buah buni, bulat telur, masih muda hijau, setelah tua hitam. Perbanyakan dengan biji (IPTEKnet, 2009).

(8)

e. Kandungan kimia akar senggugu

Akar senggugu mengandung glikosida fenol, manitol dan sitosterol (IPTEKnet, 2009). Selain itu, terkandung pula flavonoids, triterpenoids, tannins, quinones, dan saponins dalam ekstrak etanoliknya (Vidya et al., 2007). Saponins dapat mengganggu replikasi Deoxyribo Nucleic Acid (DNA), mencegah multiplikasi sel kanker, dan menstimulasi respon imun. Tannins mempunyai efek sebagai antioksidan yang dapat menghambat aktivitas karsinogen dan perkembangan kanker (Rolfes et al., 2006).

Sterol adalah sekelompok senyawa yang mempunyai karakteristik struktur cincin kompleks steroid dengan berbagai variasi. Sitosterol adalah sterol yang banyak terdapat dalam makanan nabati (Almatsier, 2006). Sitosterol menyusun sekitar 45-95 persen dari total sterol dalam makanan nabati (Maurice et al., 2006). Sitosterol memiliki efek antitumor, antimikroba, antiinflamasi dan aktivitas imunomodulasi (Kim et al., 2007).

(9)

Flavonoids terdiri atas sekelompok besar poliphenol dengan berat molekul rendah yang merupakan metabolit sekunder dari tanaman. Flavonoids banyak terdapat pada makanan kita sehari-hari seperti buah-buahan, sayur-sayuran, kacang-kacangan, biji-bijian, kopi, teh, dan sebagainya. Flavonoids telah dikenal mempunyai efek sebagai antioksidan, antibakterial, aktivitas antiviral, antiinflamasi, antikanker, analgesik, hepatoprotektif, dan antialergi (Kawai et al., 2007).

Gambar 2.4. Struktur kimia flavonoids (Kawai et al., 2007) f. Efek farmakologi akar senggugu

Efek farmakologi dari kulit akar senggugu yaitu mukolitik (Wahyono, 1998), antiinflamasi, dan trakeospasmolitik (Wahyono, 2007). Selain itu, ekstrak etanolik akar senggugu juga memiliki efek antinosiseptif, antipiretik (Narayanan et al., 1999), dan hepatoprotektif (Vidya et al., 2007).

(10)

2. Asma alergi

Alergi adalah suatu keadaan hipersensitivitas yang diinduksi oleh pajanan antigen tertentu yang menimbulkan reaksi imunologi yang berbahaya pada pajanan berikutnya (Dorland, 2002). Alergi juga merupakan suatu kondisi inflamasi yang disebabkan adanya alergen dan dapat menimbulkan reaksi imun yang merugikan. Sensitisasi alergen dapat memicu timbulnya inflamasi. Paparan berulang dari alergen dapat lebih mengaktifkan proses inflamasi (Lockey and Bukanzt, 1999). Alergi bersifat spesifik pada tiap individu, tidak menular, dan dapat muncul bila terpapar oleh antigen (Chavis, 2001).

Asma alergi termasuk reaksi hipersensitivitas tipe 1, yaitu hipersensitivitas cepat (Sacher and Mc Pherson, 2000). Peningkatan antibodi IgE akibat alergen lingkungan yang umum seperti serbuk sari, bulu binatang atau tungau merupakan karakteristik dari hipersensitivitas cepat (David et al., 2006).

Patofisiologi asma alergi diawali oleh aktivasi sel mast sebagai respon terhadap ikatan IgE dengan alergen. Respon ini terdiri atas reaksi cepat yang didominasi oleh respon otot polos dan vaskuler terhadap mediator serta reaksi fase lambat yang ditandai oleh infiltrasi leukosit dan inflamasi (Abbas and Litchman, 2003; Kumar et al., 2005).

Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan diambil oleh APC, seperti sel dendritik di saluran napas. Di dalam APC alergen dikenali

(11)

dalam bentuk peptida yang berinteraksi dengan MHC II. Kompleks peptida-MHC II pada permukaan APC kemudian berinteraksi dengan reseptor sel T sehingga sel T teraktivasi (Lockey and Bukantz, 1999). Sel T naïve CD4+ dapat berasosiasi secara eksklusif dengan antigen yang dipresentasikan bersama MHC II (Pinchuk, 2002). CD4+ dibagi menjadi Th1 dan Th2 (Sell, 2001). Interleukin 12 mengarahkan sel T spesifik antigen menjadi Th1, sedangkan IL-4 merangsang perkembangan ke arah sel Th2 (Sherwood, 2001).

Sel CD4+ Th2 akan menghasilkan IL-4 dan IL-13 yang menstimulasi sel B untuk mengalami isotipe switching dan memproduksi IgE yang spesifik terhadap alergen tersebut (Janeway et al., 2005). Interleukin 5 juga akan dihasilkan oleh sel CD4+ Th2 yang akan memacu produksi eosinofil dalam sumsum tulang dan pelepasannya ke dalam sirkulasi. Eosinofil dipercaya berperan penting pada inflamasi paru yang dapat memacu asma (Janeway et al., 2005; Guntur, 2004).

Imunoglobulin E yang terbentuk akan berikatan dengan reseptor FcεRI pada permukaan sel mast dan basofil (David et al., 2006). Apabila terjadi paparan ulang oleh alergen maka akan terbentuk ikatan antara alergen dengan dua atau lebih IgE pada sel mast yang disebut sebagai cross-linking (Abbas and Litchman, 2003).

Cross-linking menyebabkan pemasukan Ca2+ dan meningkatkan

(12)

Monophosphate (cAMP) (Playfair and Chain, 2001; Guntur, 2004). Selanjutnya akan dihasilkan sinyal yang memacu respon sel mast meliputi pelepasan ion granula dengan cepat serta sintesis dan sekresi mediator lipid maupun sitokin (Abbas and litchman, 2003).

Sel mast yang teraktivasi akan menghasilkan dua jenis mediator, yaitu mediator primer yang berperan pada reaksi fase cepat dan mediator sekunder yang berperan pada reaksi fase lambat (Abbas and Litchman, 2003).

a. Mediator primer

Mediator ini dihasilkan dari degranulasi sel mast ketika teraktivasi, terdiri atas biogenic amine, enzim protease, proteoglikan, dan Eosinophyl Chemotactic Factor (ECF)-A. Efek patologis yang paling kuat dihasilkan oleh mediator jenis biogenic amine, yaitu histamin. Terikatnya histamin pada endotel menyebabkan konstriksi sel yang menimbulkan kebocoran plasma ke dalam jaringan. Histamin juga mensintesis relaksan sel otot polos vaskuler, seperti prostasiklin (PGI2) dan nitrit oksida yang menyebabkan vasodilatasi. Selain itu histamin juga menyebabkan konstriksi otot polos bronkus (Abbas and Litchman, 2003). Pada sistem imun, histamine meningkatkan sekresi sitokin CD4+ Th2 seperti IL-4, IL-5, IL-10, dan IL-13 serta menghambat produksi sitokin CD4+ Th1 yaitu IL-2, IL-12, dan interferon (IFN)γ (Guntur, 2007).

(13)

b. Mediator sekunder

Mediator sekunder disintesa selama aktivasi sel mast dan disekresi beberapa jam kemudian (David et al., 2006), diantaranya

1) Mediator lipid

Mediator lipid dihasilkan dari metabolism asam arakidonat melalui jalur lipoksigenase dan siklooksigenase. Mediator lipid terdiri atas leukotrien C4, D4, E4, dan prostaglandin D2 (PGD2) yang menyebabkan kontraksi otot polos, peningkatan permeabilitas vaskuler, serta sekresi mukus. Prostaglandin D2 juga merupakan kemoatraktan untuk neutrofil. Selain itu juga dihasilkan Platelet Activating Factor (PAF) yang akan merekrut dan mengaktivasi neutrofil, eosinofil, serta platelet ke dalam jaringan (Kumar et al., 2005).

2) Sitokin

Sitokin yang dihasilkan oleh sel mast diantaranya IL-3, IL-4, IL-5, IL-13, Granulocyte-Macrophage Colony-Stimulating Factor (GM – CSF), dan TNFα. IL-4 dan IL-13 akan mengaktivasi respon sel CD4+ Th2 sedangkan sitokin IL-3, IL-5, dan GM – CSF akan memacu produksi dan aktivasi eosinofil. Sementara itu TNFα akan meningkatkan ekspresi

(14)

molekul adesi endotel terhadap leukosit seperti E-Selection dan Intracellular Adhesion molecule-1 (ICAM-1). Selanjutnya akan terjadi infiltrasi leukosit jenis eosinofil, sel Th2, dan neutrofil ke jaringan (Janeway et al., 2005).

3) Kemokin

Termasuk kemokin ini adalah Macrophage Inflamatory Protein (MIP-1α) dan MIP-1β. Kemokin berfungsi untuk merekrut monosit, makrofag, dan neutrofil ke tempat alergi (Kumar et al., 2005).

3. Bronkus

Bronkus terdiri atas bronkus primer atau ekstrapulmonal dan bronkus sekunder atau intrapulmonal. Bronkus intrapulmonal merupakan hasil percabangan dari bronkus ekstrapulmonal sehingga ukurannya lebih kecil. Bronkus tersusun oleh beberapa lapisan, yaitu a. Lamina mukosa

Lapisan ini terdiri atas epitel bertingkat semu silindris bersilia. b. Lamina propria

Merupakan lapisan tipis di bawah lamina mukosa. Terdiri atas jaringan ikat halus dengan banyak serat elastin.

c. Lamina muskularis

Lapisan ini berupa selapis tipis otot polos yang melapisi lamina propria.

(15)

Pada lapisan ini terdapat banyak kelenjar serosa, mukosa, dan mukoserosa.

e. Lamina adventitia

Lapisan terluar dari bronkus ini dipisahkan dengan lamina submukosa oleh lempeng-lempeng tulang rawan. Pada celah antar tulang rawan tersebut, jaringan ikat submukosa menyatu dengan adventitia (Eroschenko, 2002).

Gambar 2.5. Histologi bronkus (Gregory, 2009) 4. Inflamasi bronkus

Inflamasi atau peradangan bronkus merupakan faktor patofisiologi yang penting pada asma alergi. Sel-sel radang tersebut meliputi neutrofil, eosinofil, limfosit, basofil, dan monosit (David et al., 2006).

a. Neutrofil

Merupakan granulosit polimorfonuklear karena bergranula dan mempunyai inti berlobus. Neutrofil adalah leukosit terbanyak di antara granulosit polimorfonuklear. Sitoplasma neutrofil mengandung granula halus berwarna ungu atau merah muda yang

a c b

(16)

sukar dilihat dengan mikroskop cahaya biasa. Akibatnya, sitoplasma neutrofil tampak bening. Inti neutrofil terdiri atas beberapa lobus yang dihubungkan oleh benang kromatin halus, jumlah lobus yang lebih sedikit menunjukan bahwa neutrofil ini kurang atau belum matang. Neutrofil terdapat sekitar 60-70 persen dari populasi leukosit darah dan mudah ditemukan (Eroschenko, 2002).

Gambar 2.6. Neutrofil segmen (Nivaldo, 2009) b. Eosinofil

Eosinofil merupakan 2-4 persen leukosit di dalam darah. Sel ini biasanya mudah dikenali pada apusan darah karena sitoplasmanya dipenuhi granula eosinofilik (merah muda terang) besar. Inti eosinofil khas bipolar namun kadang-kadang ada lobus ketiga yang kecil (Jancquira and Carneiro, 2005).

Gambar 2.7. Eosinofil (Nivaldo, 2009) c. Limfosit

(17)

Limfosit merupakan leukosit granuler. Limfosit tidak atau hampir tidak memiliki granula sitoplasma, dengan inti bulat sampai berbentuk tapal kuda. Limfosit mencakup sekitar 20-30 persen leukosit darah. Besarnya barvariasi, pada limfosit kecil intinya yang terpulas gelap mengisi hampir seluruh sitoplasma dan sitoplasma itu tampak sebagai daerah basofilik sempit di sekitar inti. Sitoplasma agranuler, namun dapat mengandung sedikit granula azurofilik. Pada limfosit besar, sitoplasma basofiliknya lebih banyak di sekitar inti, dan intinya lebih besar dan lebih pucat serta mengandung satu atau dua nucleoli (Prince and Wilson, 2006).

Gambar 2.8. Limfosit (Nivaldo, 2009) d. Monosit

Monosit adalah leukosit terbesar. Intinya bervariasi, dari bulat atau lonjong sampai berlekuk atau berbentuk tapal kuda dan terpulas lebih pucat daripada inti limfosit. Kromatinnya lebih halus terdispersi, sitoplasmanya banyak dan sedikit basofilik dan sering mengandung sedikit granula azurofilik. Monosit mencakup kira-kira 3-8 persen leukosit darah (Leeson et al., 1996).

(18)

Gambar 2.9. Monosit (Nivaldo, 2009) e. Basofil

Granula pada basofil tidak sebanyak pada eosinofil, namun ukuran granulanya lebih bervariasi, tidak begitu berhimpitan dan terpulas biru tua atau coklat. Meskipun intinya tidak berlobi banyak dan terpulas basofilik pucat, umumnya basofil terhalangi oleh kepadatan granula. Basofil ini mencakup kurang dari satu persen leukosit dan itulah sebabnya paling sulit ditemukan dan dikenali (Eroschenko, 2002; Jancquira and Carneiro, 2005).

(19)

B. Kerangka Berpikir

1. Kerangka berpikir konseptual

IL-12 IL-4 IL-4 IL-5 influx ca2+ Ig E degranulasi Keterangan : : memacu : menghambat

Gambar 2.11. Skema kerangka berpikir flavonoids alergen APC IL-4,IL-13,IL-5 Sel CD4+ Th1 Eosinofil Sel CD4+ Th2 Sel B Sel mast Faktor kemotaktik: IL-5 TNFα Spasmogen: Leukotriens Histamin prostaglandin Rekruitmen sel-sel inflamasi ke jaringan bronkus berkurang Derajat inflamasi bronkus turun Ekstrak akar senggugu sitosterol sitosterol

(20)

2. Kerangka berpikir teoritis

Alergen yang masuk ke dalam tubuh mencit akan ditangkap oleh APC yaitu sel penyaji antigen yang nantinya akan dikenali oleh sel Th. Proses ini akan menyebabkan pelepasan IL-4 dan IL-12. IL-12 akan memacu peningkatan sel CD4+ Th1, sedang IL-4 akan memacu peningkatan sel CD4+ Th2. Pada reaksi alergi keseimbangan antara sel Th1 dengan Th2 akan berubah, sel Th2 akan cenderung lebih meningkat jumlahnya akibat sekresi IL-4 yang berlebihan. Adanya peningkatan aktivitas dari sel Th2 akan disertai dengan sekresi dari beberapa interleukin seperti IL-4, IL-5, dan IL-13, ketiganya mampu menstimulasi sel B dalam memproduksi antibody IgE. Interleukin 5 sendiri mampu menstimulasi pertumbuhan dan diferensiasi eosinofil.

Imunoglobulin E yang terbentuk akan berikatan dengan sel mast. Alergen yang diikat oleh dua atau lebih molekul IgE pada permukaan sel mast (cross-linking) menimbulkan influks Ca2+ ke dalam sel. Hal ini akan menurunkan kadar cAMP intraseluler yang menimbulkan degranulasi sel mast. Sel mast yang terdegranulasi akan melepaskan mediator-mediator inflamasi yang dapat menyebabkan spasme bronkus, edema, peningkatan sekresi mukus, dan konstriksi otot polos bronkus seperti histamin, leukotrien, dan prostaglandin. Faktor kemotakis seperti IL-5 dan TNFα juga dilepaskan oleh sel mast. Faktor kemotaktis ini akan memacu infiltrasi sel-sel radang seperti eosinofil, limfosit, makrofag, neutrofil, dan basofil ke dalam

(21)

jaringan bronkus. Infiltrasi sel-sel radang menunjukan terjadinya inflamasi pada bronkus.

Akar senggugu memiliki beberapa kandungan kimia, diantaranya adalah sitosterol dan flavonoids. Sitosterol memiliki efek antiinflamasi melalui penurunan hipersekresi mukus, penurunan infiltrasi eosinofil, dan penghambatan sitokin Th2 yaitu IL-4 dan IL-5.

Flavonoids dapat menghambat influks Ca2+ yang akan mencegah

degranulasi sel mast selain itu flavonoids juga dapat menekan produksi IL-4 dan IL-13 oleh Th2. Dengan demikian pemberian ekstrak akar senggugu dapat digunakan untuk mencegah dan mengobati asma alergi. Hal tersebut dapat dilihat, salah satunya, melalui penurunan derajat inflamasi bronkus mencit Balb/C model asma alergi.

C. Hipotesis

Ekstrak akar senggugu menurunkan derajat inflamasi bronkus mencit Balb/C model asma alergi.

(22)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik, dengan post test only control group design.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian berupa 30 ekor mencit Balb/C jantan, dengan berat badan ±20–30 gram, dan berumur 6-8 minggu. Bahan makanan mencit digunakan pakan mencit pelet.

D. Teknik Sampling

Pengambilan sampel dilakukan dengan metode random sederhana sampling.

Dalam penelitian ini subjek dibagi ke dalam lima kelompok. Jumlah subjek pada masing-masing kelompok didapat dari Rumus Federer (Purawisastra, 2001), yaitu

(k-1) (n-1) ≥ 15 (5-1) (n-1) ≥ 15 4 (n-1) ≥ 15 4n-4 ≥ 15

(23)

4n ≥ 19 n ≥ 4,75

keterangan: k = jumlah kelompok

n = jumlah sampel dalam tiap kelompok

Jadi tiap kelompok minimal terdiri dari 5 ekor mencit Balb/C, dalam penelitian ini digunakan 6 ekor mencit Balb/C tiap kelompok.

E. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel bebas : Ekstrak akar senggugu 2. Variabel terikat : Derajat inflamasi Bronkus 3. Variabel perancu :

a. Dapat dikendalikan : makanan, genetik, umur, berat badan tikus.

b. Tidak dapat dikendalikan : variasi kepekaan mencit Balb/C terhadap suatu zat.

F. Skala Variabel Penelitian

1. Ekstrak akar senggugu : skala nominal 2. Derajat inflamasi bronkus : skala ordinal G. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Ekstrak akar senggugu

Ekstrak didapat dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO2T), Tawangmangu. Pemberian ekstrak akar senggugu dilakukan peroral dengan dosis 100 dan 200 mg/kgBB/hari (Narayanan et al., 1999) atau 0,1 dan 0,2

(24)

mg/gBB/hari. Dengan mengambil rata-rata berat badan mencit 20 gram maka dosis ekstrak akar senggugu menjadi 2 dan 4 mg/20 gBB/hari.

Dosis ekstrak akar senggugu untuk kelompok 4 adalah 2 mg dalam 0,1 ml dan untuk kelompok 5 adalah 4 mg dalam 0,2 ml. Jumlah ekstrak akar senggugu yang diperlukan selama penelitian adalah:

(2 + 4) mg/mencit/hari x 6 mencit x 27 hari = 972 mg ≈ 1000 mg Volume aquades yang digunakan sebagai pelarut ekstrak akar senggugu adalah :

1000 mg/2 mg = V (ml)/0,1 ml

V (ml) = (1000 mg x 0,1 ml)/2 mg

V = 50 ml

2. Derajat inflamasi bronkus

Bronkus mencit yang akan dibuat preparat diperoleh pada hari ke-28 atau pada akhir percobaan, dengan mengorbankan mencit, diambil jaringan bronkus utama di dekat percabangan (bifurcation) sepanjang 1,5 cm, kemudian direndam dalam larutan formalin buffer 10% selama 10 jam, setelah itu dibuat blok parafin. Selanjutnya dibuat potongan serial terhadap blok parafin tersebut untuk dibuat slide. Setelah itu dilakukan pewarnaan Haematoxyllin-Eosin (HE) untuk melihat derajat inflamasinya. Preparat bronkus diamati dengan perbesaran 100 kali dalam satu lapang pandang. Jadi, dari preparat

(25)

histologis saluran napas yang diperoleh dari penelitian ini, dapat dikelompokan dalam beberapa grade (Myou et al., 2003), yaitu

0 = Tidak infiltrasi sel radang

1 = Infiltrasi sel radang ke lumen bronkus

2 = Infiltrasi sel radang ke-1 lapisan dinding bronkus

3 = Infiltrasi sel radang hingga 2-4 lapisan dinding bronkus 4 = Infiltrasi sel radang hingga > 4 lapisan dinding bronkus H. Mencit Model Asma Alergi

Untuk membuat mencit model asma alergi dilakukan injeksi intraperitonial pada hari ke-0 dengan 0,15 cc ovalbumin (OVA) dalam alumunium hidroksida [Al(OH)3] dari 2,5 mg OVA yang dilarutkan pada 7,75 ml Al(OH)3. Pada hari ke-14 dipapar lagi dengan 0,15 cc OVA dalam aquades secara i.p. dari 2,5 mg OVA yang dilarutkan pada 10 ml aquades. Selanjutnya, pada hari ke-21, 23, 25, dan 27, mencit disensitisasi menggunakan OVA aerosol 50 mg dalam 5 ml aquades selama 20 menit menggunakan alat nebulizer kecepatan 6 L/menit.

I. Penentuan Dosis Antihistamin

Antihistamin yang digunakan dalam penelitian ini adalah Telfast® (antihistamin generasi III) 120 mg yang mengandung Fexofenadine. Faktor konversi manusia (dengan berat badan ±70 kg) ke mencit (dengan berat badan ±20 gr) adalah 0,0026 (Harmita dan Maksum R., 2005). Dengan demikian, dosis antihistamin yang diberikan pada mencit adalah:

(26)

Telfast® diberikan pada mencit dengan dosis 0,3 mg/mencit/hari/oral yang sudah dilarutkan dalam 0,1 ml aquades. Jadi, volume aquades yang digunakan sebagai pelarut antihistamin adalah:

120 mg/0,3 mg = V (ml)/0,1 ml

V = 40 ml

J. Rancangan Penelitian

Gambar 3.1. Skema rancangan penelitian Keterangan :

n = Jumlah Mencit K1 = Kelompok kontrol K2 = Kelompok asma

K3 = Kelompok asma + antihistamin

K4 = Kelompok asma + ekstrak akar senggugu 2 mg/mencit/hari K5 = Kelompok asma + ekstrak akar senggugu 4 mg/mencit/hari I1 = Derajat inflamasi bronkus K1

I2 = Derajat inflamasi bronkus K2 I3 = Derajat inflamasi bronkus K3 I4 = Derajat inflamasi bronkus K4 I5 = Derajat inflamasi bronkus K5 K. Alat dan Bahan

1. Alat penelitian

a. Kandang hewan ukuran 35 x 20 x 15 b. Timbangan hewan merk camry

n K1 Bandingkan dengan uji Krusskal-Wallis dilanjutkan dengan Mann-Whitney K3 K2 K4 K5 I5 I4 I3 I2 I1

(27)

c. Spuit injeksi 0,1 ml d. Sonde 0,1 ml e. Pipet ukur 1 ml f. Labu ukur 5 ml g. Beaker glass 5 ml h. Deck glass i. Nebulizer j. Mikroskop cahaya 2. Bahan penelitian

a. Ekstrak akar senggugu b. Bronkus hewan coba c. Aquades

d. Pakan mencit pelet e. OVA

f. Antihistamin generasi III g. Formalin buffer 10% h. Al(OH)3

i. Blok parafin j. Pewarna HE L. Cara Kerja

1. Kandang mencit disiapkan, satu kandang berisi 1 kelompok mencit. Mencit diadaptasi dengan lingkungan selama 7 hari.

(28)

2. Mencit sebanyak 30 ekor dikelompokan secara acak menjadi 5 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 6 ekor mencit dengan rincian:

a. Kelompok 1 : kelompok kontrol b. Kelompok 2 : kelompok asma

c. Kelompok 3 : Kelompok asma + antihistamin

d. Kelompok 4 : Kelompok asma + ekstrak akar senggugu 2 mg/mencit/hari

e. Kelompok 5 : Kelompok asma + ekstrak akar senggugu 4 mg/mencit/hari

3. Antihistamin untuk kelompok 3 dan ekstrak akar senggugu untuk kelompok 4 dan 5 diberikan setiap hari.

4. Sensitisasi OVA intraperitonial (i.p.) dilakukan pada hari ke-0 dan 14 dengan dosis 0,15 ml/mencit.

5. Pada hari ke-21, 23, 25, dan 27, mencit disensitisasi menggunakan OVA aerosol 50 mg dalam 5 ml aquades selama 20 menit menggunakan alat nebulizer kecepatan 6 L/menit.

6. Dua puluh empat jam setelah paparan OVA aerosol berakhir, semua mencit dikorbankan menggunakan teknik cervical dislocation. Bronkus mencit diambil dan dibuat preparat dengan pengecatan HE. Preparat diamati menggunakan mikroskop cahaya untuk menentukan derajat inflamasinya.

(29)

M. Alur Penelitian

hari ke-0 dan 14

hari ke-21, 23, 25, dan 27

hari ke-28

Gambar 3.2. Alur penelitian Mencit Balb/C

30 ekor

Kelompok 5 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4

Kelompok 1 Antihistamin 0,3mg/mencit /hari/oral Ekstrak akar senggugu 2mg/mencit/ hari/oral Ekstrak akar senggugu 4mg/mencit/ hari/oral

Sensitisasi OVA aerosol 50mg dalam 5ml aquades Sensitisasi OVA i.p. 0,15 ml/mencit

Terminasi dengan metode dislokasi servikalis

Analisis statistik Koleksi bronkus

Slide preparat

(30)

N. Teknik Analisis Data

Data hasil penelitian berupa grade histologis saluran napas, dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji Kruskall-Wallis dan dilanjutkan dengan Post Hoc Tests yaitu Mann-Whitney menggunakan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) 12.0 for Windows Release.

Kruskall-Wallis adalah uji nonparametrik untuk membandingkan perbedaan mean lebih dari dua kelompok, sedangkan Mann-Whitney digunakan untuk membandingkan perbedaan mean antarkelompok.

(31)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Hasil Penelitian

Derajat inflamasi bronkus tiap kelompok diamati menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 100 kali. Hasil pengamatan infiltrasi sel radang pada bronkus ditunjukan pada gambar berikut:

Gambar 4.3. Grade 2 pada kelompok antihistamin

Gambar 4.4. Grade 3 pada kelompok akar senggugu 4mg

Gambar 4.1. Grade 0 pada kelompok kontrol Gambar 4.2. Grade 1 pada kelompok akar senggugu 2mg

(32)

Gambar 4.5. Grade 4 pada kelompok asma Keterangan :

: yang ditunjuk adalah sel-sel radang

Tabel berikut menunjukan tingkat keparahan infiltrasi sel-sel radang pada tiap-tiap kelompok berdasarkan skor Myou et al. (2003) Tabel 4.1. Tingkat keparahan infiltrasi sel-sel radang pada bronkus mencit

Balb/C masing-masing kelompok.

Kelompok Grade 0 Grade 1 Grade 2 Grade 3 Grade 4

∑ % ∑ % ∑ % ∑ % ∑ % K1 6 100 0 0 0 0 0 0 0 0 K2 0 0 0 0 0 0 1 16,67 5 83,33 0 0 2 33,33 3 50 1 16,67 0 0 K3 K4 0 0 1 16,67 3 50 1 16,67 1 16,67 K5 0 0 0 0 3 50 3 50 0 0

Sumber : Data primer 2010 Keterangan :

K1 : Kelompok kontrol K2 : Kelompok asma

K3 : Kelompok asma + antihistamin

K4 : Kelompok asma + ekstrak akar senggugu 2 mg/mencit/hari K5 : Kelompok asma + ekstrak akar senggugu 4 mg/mencit/hari

Dari tabel 4.1 dibuat histogram grading inflamasi pada bronkus mencit Balb/C pada tiap-tiap kelompok perlakuan.

(33)

Gambar 4.6. Histogram grading inflamasi masing-masing kelompok terhadap jumlah sampel

B. Interpretasi Hasil

Data yang diperoleh dalam tabel 4.1 selanjutnya dianalisis secara statistik menggunakan uji Kruskall-Wallis untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan mean lebih dari dua kelompok. Hasil uji Kruskall-Wallis yang didapat (p =0,000) menunjukan adanya perbedaan yang bermakna (p <0,05) pada sedikitnya dua kelompok perlakuan. Untuk mengetahui kelompok mana yang memiliki perbedaan, maka harus dilanjutkan dengan Post Hoc Test yaitu uji Mann-Whitney.

Dengan menggunakan uji Mann-Whitney (α =0,05) didapatkan perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol dengan asma, kontrol dengan antihistamin, kontrol dengan senggugu dosis 2 mg, kontrol dengan senggugu dosis 4 mg, asma dengan antihistamin, asma dengan senggugu

(34)

dosis 2 mg, dan asma dengan senggugu dosis 4 mg. Sementara itu antara kelompok antihistamin dengan senggugu dosis 2 mg, antihistamin dengan senggugu dosis 4 mg, dan senggugu dosis 2 mg dengan senggugu dosis 4 mg tidak berbeda secara bermakna (tabel 4.2).

Tabel 4.2. Rangkuman hasil uji Mann-Whitney antarkelompok

Kelompok p Kemaknaan K1-K2 0,000 Bermakna K1-K3 0,002 Bermakna K1-K4 0,002 Bermakna K1-K5 0,002 Bermakna K2-K3 0,002 Bermakna K2-K4 0,026 Bermakna K2-K5 0,004 Bermakna K3-K4 0,485 Tidak bermakna K3-K5 0,180 Tidak bermakna K4-K5 0,699 Tidak bermakna

(35)

BAB V PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini, untuk membuat mencit model asma alergi dilakukan sensitisasi mencit menggunakan OVA. OVA yang masuk ke dalam tubuh mencit akan ditangkap oleh APC. APC selanjutnya akan memacu differensiasi sel CD4 naïve menjadi sel CD4+ Th2. Sel CD4+ Th2 menghasilkan IL-4, IL-5, dan IL-13 yang akan memacu sel B untuk memproduksi IgE yang spesifik terhadap OVA.

Imunoglobulin E yang terbentuk akan berikatan dengan reseptor FcεRI pada permukaan sel mast dan basofil. Paparan ulang oleh OVA akan menyebabkan terbentuknya cross-linking yang akan memacu respon sel mast yang meliputi reaksi fase cepat dan fase lambat. Pada reaksi fase cepat dilepaskanlah mediator primer, terutama histamin, yang menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah dan konstriksi otot polos bronkus. Reaksi fase lambat terjadi beberapa jam kemudian yang diperantarai oleh mediator sekunder yang terdiri atas mediator lipid, sitokin, dan kemokin. Mediator sekunder ini akan memacu infiltrasi sel radang ke jaringan bronkus. Hasil pengamatan infiltrasi sel radang pada tabel 4.1 menunjukan adanya peningkatan derajat inflamasi pada kelompok asma bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Derajat inflamasi pada kelompok asma menunjukan grade 3 (16,67%) dan grade 4 (83,33%), yang berbeda secara bermakna (p =0,000) dengan kelompok kontrol. Hal ini sesuai dengan penelitian Clausen et al. (2003) yang menyatakan bahwa sensitisasi OVA dapat menimbulkan reaksi alergi yang memicu timbulnya inflamasi.

(36)

Efek ekstrak akar senggugu dalam mencegah asma alergi, pada penelitian ini, ditunjukan dengan penurunan derajat inflamasi bronkus pada kelompok perlakuan yang diberi ekstrak akar senggugu dosis 2 mg/mencit yaitu grade 1 (16,67%), 2 (50%), 3 (16,67%) dan 4 (16,67%) yang berbeda secara bermakna (p =0,026) dengan kelompok asma. Kelompok perlakuan yang diberi ekstrak akar senggugu dosis 4 mg/mencit juga menunjukan penurunan derajat inflamasi yaitu grade 2 (50%) dan grade 3 (50%) yang berbeda secara bermakna pula (p =0,004) dengan kelompok asma. Efek ini merupakan hasil kerja sinergis dari zat-zat yang terkandung dalam ekstrak akar senggugu, diantaranya adalah sitosterol dan flavonoids.

Sitosterol memiliki efek antiinflamasi melalui penurunan hipersekresi mukus, penurunan infiltrasi eosinofil, dan penghambatan sitokin Th2 yaitu IL-4 dan IL-5 (Kim et al., 2007). Flavonoids dapat menghambat influks Ca2+ yang akan mencegah degranulasi sel mast selain itu flavonoids juga dapat menekan produksi IL-4 dan IL-13 oleh Th2. Flavonoids terdiri atas sekelompok besar poliphenol dengan berat molekul rendah yang merupakan metabolit sekunder dari tanaman. Berdasarkan struktur kimianya flavonoids terbagi menjadi delapan kelompok yaitu flavan, flavanon, isoflavanon, flavon, isoflavon, anthosianidin, khalkon, dan flavonolignan (Kawai et al., 2007). Dari penelitian ini belum dapat ditentukan kelompok flavonoids mana yang paling banyak terdapat dalam akar senggugu dan yang paling berperan dalam mencegah dan mengatasi asma alergi.

(37)

Hasil penelitian diatas sesuai dengan penelitian Kim et al. (2007) yang menggunakan beta sitosterol untuk memperlihatkan efek antiinflamasi pada mencit asma yang diinduksi OVA.

Uji Mann-Whitney untuk membandingkan kedua kelompok yang diberi ekstrak akar senggugu yaitu dosis 2 mg dan 4 mg/mencit tidak menunjukan hasil yang signifikan (p =0,699). Hal ini mungkin dikarenakan ekstrak akar senggugu dosis 2 mg/mencit merupakan dosis optimal dalam menurunkan infiltrasi sel-sel radang ke bronkus sehingga penambahan dosis tidak menghasilkan perbedaan yang bermakna pada derajat inflamasi bronkus.

Kelompok antihistamin menunjukan penurunan derajat inflamasi yaitu masing-masing grade 1 (33,33%), 2 (50%), dan 3 (16,67%). Uji Mann-Whitney antara kelompok antihistamin dan kelompok asma menunjukan hasil p =0,002. Hal ini berarti ada penurunan derajat inflamasi yang bermakna pada kelompok antihistamin bila dibandingkan dengan kelompok asma. Antihistamin generasi ke-3 bermanfaat dalam pengobatan asma derajat ringan dan sedang, akan tetapi kurang bermanfaat pada asma derajat berat (Nelson, 2003). Dibutuhkan dua kali injeksi intraperitoneal OVA dalam Al(OH)3 untuk membuat mencit model asma alergi derajat berat dan tidak dibutuhkan sama sekali adjuvant (AL(OH)3) untuk membuat mencit model asma alergi derajat ringan (Deurloo et al., 2001). Dengan demikian, sensitisasi OVA pada penelitian ini mungkin menghasilkan mencit model asma alergi derajat sedang sehingga antihistamin yang diberikan mampu memberikan efek berupa penurunan derajat inflamasi bronkus.

(38)

Hasil penelitian selanjutnya membandingkan penurunan derajat inflamasi bronkus antara kelompok antihistamin dengan kelompok ekstrak akar senggugu dosis 2 mg maupun 4 mg/mencit. Dari uji Mann-Whitney antara kelompok antihistamin dengan kelompok ekstrak akar senggugu dosis 2 mg/mencit didapatkan nilai p =0,485, sedangkan dengan kelompok ekstrak akar senggugu dosis 4mg/mencit didapatkan nilai p =0,180. Hasil analisis tersebut menunjukan bahwa tidak ada perbedaan derajat inflamasi bronkus yang bermakna antara kelompok antihistamin dengan kelompok ekstrak akar senggugu dosis 2 mg dan 4 mg/mencit. Jadi, dari penelitian ini didapatkan bahwa ekstrak akar senggugu menurunkan derajat inflamasi bronkus mencit model asma alergi sebanding dengan antihistamin generasi ke-3.

(39)

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Ekstrak akar senggugu dosis 2 mg dan 4 mg menurukan derajat inflamasi bronkus mencit model asma alergi.

B. Saran

Dengan mempertimbangkan hasil penelitian ini, penulis memberi saran sebagai berikut :

1. Dapat dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan parameter lain seperti sitokin-sitokin proinflamasi pada asma alergi.

2. Dapat dilakukan identifikasi komposisi flavonoids dan sitosterol dalam akar senggugu yang berkhasiat sebagai antiasma-alergi.

(40)

DAFTAR PUSTAKA

Abbas AK, and Lichtman AH. 2003. Cellular and Molecular Immunology. Canada: Elsevier Science, pp: 264: 443-8.

Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal: 63.

Chavis LM. 2001. Ask Your Pharmacist. USA: St. Martin’s Press, p: 33. Clausen SK, Bergqvist M, Poulsen LK, Poulsen OM, Nielsen GD. 2003.

Development of sensitisation or tolerance following repeated OVA inhalation in BALB/cJ mice. Dose-dependency and modulation by the Al(OH)3adjuvant.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entroz/query.fcgi?cmd=Retrieve&db=Pu

bMed&list-uids=12505376&dopt=Abstract (14 Maret 2010)

David M, Jonathan B, David BR and Ivan R. 2006. Immunology. Seventh Edition. Canada: Elsevier, pp: 423-42.

Depkes RI. 2000. Pedoman Pelaksanaan Uji Klinik Obat Tradisional. Jakarta. Depkes RI, hal: 5.

Deurloo DT, Esch BCAM, Hofstra CL, Nijkamp FP, and Oosterhout AJM. 2001. CTLA4-IgG reverses asthma manifestations in a mild but not in a more “severe” ongoing murine model. Am J Respir Cell Mol Biol. 25 : 751-60.

Dorland WAN. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC, hal: 60. Eroschenko VP. 2002. Atlas Histologi di Fiore. Editor Bahasa Indonesia:

Dewi A., Tiara M.N.S. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 63: 65: 243.

Frans AB, Wiwien HW, Faisal Y. 2003. Imunoterapi pada asma alergi. Cermin Dunia Kedokteran. 141: 39.

Gregory P. 2009. Histology of Selected Organs of the Respiratory System.

http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://science.tjc.edu/image s/respiratory_histology/bronchus1.jpg&imgrefurl=http://science.tjc.ed u/images/respiratory_histology/Index.htm&usg=__beWQY2HwnrX1J kE9nIDif77rMRc=&h=401&w=536&sz=30&hl=id&start=1&tbnid= wqCIwToKm6rqwM:&tbnh=99&tbnw=132&prev=/images%3Fq%3 Dhistologi%2Bbronkus%26gbv%3D2%26hl%3Did%26sa%3DG (25 Oktober 2009).

(41)

Guntur. 2004. One airway one disease dalam : Perspektif Masa Depan Imunology-Infeksi Edisi I. Editor: Reviono. Surakarta: Sebelas Maret University Press, hal: 128-33.

Guntur. 2007. Dapatkah Alergi Dicegah? Dipresentasikan dalam One Day Simposium : The Latest Perspective of Allergy. Solo, 16 Desember 2007.

Harmita dan Maksum R. 2005. Analisa Hayati. Jakarta: Ari Cipta, hal: 73-7 Heru S dan Sukamto. 2006. Asma Bronkial dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid I Edisi IV. Editor : Aru WS, dkk. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hal: 247.

IPTEKnet. 2009. Sengugu dalam Tanaman Obat Indonesia.

http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php?mnu=2&id=19 (3

Agustus 2009).

Iris R. 2004. Peranan antihistamin pada inflamasi alergi. Cermin Dunia Kedokteran. 142: 19.

Jancquira LC, Carneiro J. 2005. Basic Histology Text and Atlas. New York: McGraw-Hill Companies, pp: 223-36.

Janeway CAJr, Travers P, Walport M and Mark JS. 2005. Immunobiology the

Immune System in Health and Disease 6th Edition. New York: Garland

Science Publishing, pp: 517-43.

Kawai M, Toru H, Shinji H, Junsuke A, Michiru M, Yusuke K. et al. 2007. Flavonoids and related compounds as anti-allergic substances. Allergology International. 56: 113-23.

Kim IS, Hur IK, Yang EJ, Song GY, Kim JH, Lee JS, Yun CY, Woo JS, Yuk JE. 2007. Effects of lactose-b-sitosterol and b-sitosterol on ovalbumin-induced asthmatic mice. The Journal Of Immunology. 178: 39.3.

Kumar V, Abbas AK, Fausto N. 2005. Disease of immunity. In: Robbins and Cotran Pathologic Basic of Disease. Philadelphia: Elsevier Inc., pp: 193-209.

Leeson R, Leeson TS, Paparo AA. 1996. Darah dalam : Buku Ajar Histologi. Editor : Jan Tambayong, Sugito W. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 162.

(42)

Lockey RF and Bukantz SC. 1999. Allergens and Allergen Immunotherapy. New York: Marcel Dekker, pp: 46-51.

Maurice ES, Moshe S, Catharine R, Benjamin C, Robert JC. 2006. Modern Nutrition in Health and Disease, 10th Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, p: 131.

Myou S, Leff AR, Myo S, Boetticher E, Tong J, Meliton AY et al. 2003. Blockade of inflamation and airway hyperresponsiveness in immune-sensitized mice by dominant-negative phosphoinosite-3-kinase-TAT. J Exp Med. 198: 1573.

Nairn R and Helbert M. 2002. Immunology for Medical Students. Mosby, pp: 72-3: 224-5: 305-11.

Narayanan N, Thirugnanasambantham P, Viswanathan S, Vijayasekaran V, Sukumar E. 1999. Antinociceptive, anti-inflammatory and antipyretic effects of ethanol extract of Clerodendron serratum roots in experimental animals. Journal of Ethnopharmacology. 65: 237-41. Nelson HS. 2003. Prospects for antihistamines in the treatment of asthma. J

Allergy Clin Immunol. 112(4) : 96-100.

Nivaldo M. 2009. Atlas of hematology.

http://www.hematologyatlas.com/principalpage.htm (5 september

2009.

Pinchuk G. 2002. Theory and Problem of Immunology. USA: McGraw-Hill Companies, pp: 97: 257.

Plantamor. 2009. Senggugu (Clerodendron serratum [L] Spr.).

http://www.plantamor.com/spcdtail?recid (3 Agustus 2009).

Playfair SHL and Chain BM. 2001. Immunology at Glance Seventh Edition. Oxford: Blackwell Science Ltd., pp: 72-3.

Prince SA and Wilson LM. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume I Edisi 6. Editor Bahasa Indonesia: Huriawati Hartanto dkk. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 247-55. Purawisastra S. 2001. Penelitian Pengaruh Isolat Galaktomanan Kelapa

terhadap Penurunan Kadar Kolesterol Serum Kelinci.

http://digilib.ekologi.litbang.depkes.go.id/office.php?m=bookmark&i

d=jkpkbppk-gdl-grey-2001-suryana-108-galaktomanan (9 Agustus

(43)

Rolfes SR, Pinna K, Whitney E. 2006. Understanding Normal and Clinical Nutrition. Belmont: Thompson Wadsworth, p: 466.

Sacher RA and McPherson RA. 2000. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium Edisi 11. Editor Bahasa Indonesia : Huriawati Hartanto. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 218.

Sell S. 2001. Immunology, Immunopathology and Immunity. Washington: ASM Press, pp: 41: 71: 178-9.

Sherwood L. 2001. Human Physiology From Cells to System. USA: Brooks/Cole, p: 416.

Shrivastava N, Patel T. 2007. Clerodendron and healthcare. Medicinal and Aromatic Plant Science and Biotechnology. 1(1): 142-150.

Vidya SM, Krishna V, Manjunatha BK, Mankani KL, Manzoor A, Jagadesh S. 2007. Evaluation of hepatoprotektive activity of Clerodendron serratum L. Indian Journal of Experimental Biology. 45: 538-42. Wahyono. 1998. Isolasi senyawa aktif dari kulit akar dan kulit batang

Clerodendron serratum Spreng yang berkhasiat sebagai mukolitik. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UGM.

Wahyono. 2007. Uji toksisitas akut ekstrak etanolik terstandar dari kulit akar senggugu (Clerodendron serratum L. Moon). Majalah Farmasi Indonesia. 18 (1): 1-7.

Gambar

Gambar 2.1. Akar senggugu   Gambar 2.2. Senggugu
Gambar 2.3. Struktur kimia sitosterol (Maurice et al., 2006)
Gambar 2.4. Struktur kimia flavonoids (Kawai et al., 2007)  f.  Efek farmakologi akar senggugu
Gambar 2.5. Histologi bronkus (Gregory, 2009)  4.  Inflamasi bronkus
+7

Referensi

Dokumen terkait

Program Peningkatan Sistem Pengawasan Internal dan Pengendalian Pelaksanaan Kebijakan

matematika pada peserta didik kelas VII yang mengalami hambatan..

Data dari observasi, kuesioner, dan wawancara dianalisa berdasarkan teori pengajaran dengan pendekatan genre- based (Derewianka, 1990) dan pengajaran multimodality (Walsh,

Perintah getX() digunakan untuk menentukan titik koordinat dalam scenario pada actor seperti terlihat pada gambar 9...

Judul Tugas Akhir/Skripsi: PERANCANGAN VISUAL KAMPANYE SOSIAL DAMPAK NEGATIF PENGGUNAAN GADGET UNTUK ORANG TUA PADA ANAK USIA 6-12 TAHUN DI DKI JAKARTA Dengan ini menyatakan

Pada Gambar 5, gaya reaksi yang terjadi pada masing - masing jenis crash box , dapat dianalisa luasan dibawah kurva sebagai usaha yang dilakukan oleh impactor .Maka

Dalam Program Studi Teknologi Industri Pertanian, tidak semua pengetahuan dapat diberikan melalui tahap perkuliahan. Mahasiswa dituntut untuk mengenal bagaimana

Selain itu trading range theory menyatakan bahwa manajemen melakukan stock split didorong oleh prilaku praktisi pasar yang konsisten dengan anggapan bahwa dengan