• Tidak ada hasil yang ditemukan

SATUAN ACARA PENYULUHAN PENYAKIT CACINGAN (ASCARIASIS)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SATUAN ACARA PENYULUHAN PENYAKIT CACINGAN (ASCARIASIS)"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

SATUAN ACARA PENYULUHAN PENYAKIT CACINGAN (ASCARIASIS)

I. Latar belakang

Penelitian menunjukkan bahwa 90% anak Indonesia mengidap cacingan. Beberapa survei di Indonesia terhadap jenis-jenis cacing yang sering menginfeksi manusia

menunjukkan bakwa prevalensi Ascaris lumbricoides yang lebih tinggi 60% misalnya di Sumatra (70%), Kalimantan (79%), Sulawesi (88%), Nusa Tenggara Barat (92%), dan Jawa Barat (90%). Prevalensi Trichuris trichura juga tinggi yaitu untuk masing-masing daerah Sumatra (83%), Kalimantan (79%), Sulawesi (83%), Nusa Tenggara Barat (84%), dan Jawa Barat (91%). Untuk prevalensi cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) berkisar 30-50 % di berbagai daerah di Indonesia (Supali dkk, 2008).

Hasil pemeriksaan tinja pada anak sekolah dasar ibtidaiyah ang dilakukan oleh sub dit diare, kecacingan dan infeksi saluran pencernaan yang lain pada tahun 2002 – 2009 di 3988 SD/MI ang tersbar di 33 provinsi menunjukkan bahwa rata – rata prevalensi

cacingan adalah 31,8%. Berdasarkan data survey kecacingan yayasan kusuma buana (YKB) tahun 2006 – 2007, rata – rata angka prevalensi di Jakarta timur adalah 2,5% dan jakata utara sebesar 7,8%. Di provinsi Sulawesi selatan rata – rata angka prevalensi cacingan tahun 2009 – 2010 sebesar 27,28%. Provinsi jawa timur melakukan survey cacingan tahun 2008 – 2010 dengan rata – rata prevalensi cacingna sebesar 7,95%. Untuk tahun 2011 data yang terkumpil dari survey di beberapa kabupaten menunjukkan angka prevalensi yang bervariasi, di kabupaten lebak dan pandeglang menunjukkan angka prevalensi yang cukup tinggi yaitu 63% dan 43,78%, kemudian di kabupaten sleman DIY prevalensinya 21,78%, di kabupaten karangasem 51,27%, di kab. Lombok barat dan kota

(2)

mataram menunjukkan prevalensi berturut – turut 29,47% dan 24,53%. Terakhir kab. Sumba barat menunjukkan prevalensi 29,56% (Kemenkes, 2012).

Meskipun demikian, penyakit cacingan ini masih sering dianggap sebagai angin lalu tidak hanya oleh masyarakat tetapi juga pemerintah. Padahal, cacingan dapat

mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, dan kecerdasan penderitanya sehingga dipandang sangat merugikan, karena menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah. Hal ini tentu saja dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia. Melihat berbagai akibat yang ditimbulkan oleh penyakit ini, tentu saja cacingan dapat dikategorikan sebagai salah satu masalah kesehatan yang cukup mengkhawatirkan dan memerlukan penanganan yang serius. Hal ini terutama karena sebagian besar

penderitanya adalah anak – anak atau balita, yang masih dalam masa pertumbuhan. Selain itu, keadaan lingkungan dan kebersihan perseorangan juga sangat mempengaruhi penyebaran penyakit ini. Berkaitan dengan hal itu, diperlukan suatu upaya bersama dan juga kesadaran untuk menanggulangi penyakit ini. Dengan adanya penyuluhan ini dapat meningkatkan kesadaran serta pemahaman mengenai penyakit cacingan sebagai salah satu masalah kesehatan yang serius, diharapkan dapat menurunkan jumlah penderita penyakit ini, khususnya bagi balita atau anak – anak.

II. Tujuan Instruksional Umum (TIU)

Setelah diberikan penyuluhan, sasaran diharapkan mampu memahami tentang penyakit cacingan dan hal-hal yang terkait lainnya.

III. Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

1. Menjelaskan pengertian penyakit cacingan

2. Menjelaskan penyebab terjadinya penyakit cacingan

3. Menjelaskan cara cacing masuk ke dalam tubuh manusia

(3)

5. Menjelaskan pengobatan penyakit cacingan

6. Menjelaskan pencegahan penyakit cacingan

IV. Rencana kegiatan

1. Topik / materi : penyuluhan penyakit cacingan 2. Sasaran : ibu & anak

3. Metode : Ceramah dan Tanya jawab 4. Uraian tugas :

a. Moderator :

1) Menjelaskan tujuan penyuluhan

2) Mengarahkan proses kegiatan pada anggota kelompok 3) Mengevaluasi kegiatan setelah pelaksanaan

b. Penyaji :

1) Mempresentasikan materi c. Fasilitator :

1) Menyiapkan media untuk persentasi 2) Membagikan souvenir

3) Dokumentasi jalannya penyuluhan d. Observer :

1) Mengamati dan mencatat proses jalannya penyuluhan 2) Mengevaluasi jalannya penyuluhan

5. Waktu dan tempat Hari : Senin Tanggal : 27-11-2016 Jam : 08.00 Wib 6. Media

Leflet dan infokus

7. Setting tempat

(4)

Keterangan : : Peserta : Moderator : Penyaji : fasilitator 8. Struktur Pengorganisasian

Penyaji : Ovin Rabecha Hulu Moderatar : Budi Kurniawan Fasilitator : Fahriani

Observer : Sayyidatina

VI. Proses Kegiatan

(5)

1. Pendahuluan : 1. Menyampaikan salam 2. Memperkenalkan diri 3. kontrak waktu 4. Menjelaskan tujuan 1. Membalas salam

2. Mendengarkan dengan aktif

3. Mendengarkan dan memberi respon

4. Mendengarkan dengan aktif

3 menit 2. Penjelasan materi : 1. Pengertian penyakit cacingan 2. Penyebab terjadinya penyakit cacingan 3. Akibat penyakit cacingan 4. Gejala penyakit cacingan 5. Pengobatan penyakit cacingan 6. Pencegahan penyakit cacingan 1. Mendengarkan, memperhatikan

2. Menanyakan hal-hal yang belum jelas 3. Mendengarkan, memperhatikan 4. Mendengarkan, memperhatikan 5. Mendengarkan, memperhatikan 6. Menengarkan, memperhatikan 10 menit

(6)

3. Evaluasi 1. Memberikan pertanyaan lisan 2. Memberikan reward 3. Memberikan kesempatan peserta untuk bertanya 4. Penutup Menjawab pertanyaan 2. Peserta bertanya 5 menit

VII. Rencana Evaluasi

a. Struktur

Kesediaan media dan alat sesuai dengan rencana

Alat – alat di siapkan secara lengkap sebelum penyuluhan b. Proses

Pelaksanaan sesuai alokasi waktu Peserta mengetahui maksud dan tujuan

3. Selama kegiatan penyuluhan peserta mendengarkan dan memperhatikan dengan aktif

c. Hasil

75% di harapkan mampu :

Mengerti penyebab terjadinya penyakit cacingan Mengerti akibat penyakit cacingan

Mengerti gejala penyakit cacingan Mengerti pengobatan penakit cacingan Mengetahui pencegahan penyakit cacingan

MATERI

A. Definisi Penyakit Cacingan

Cacingan (atau sering disebut kecacingan) merupakan penyakit endemic dan kronik diakibatkan oleh cacing parasit dengan prevalensi tinggi, tidak mematikan, tetapi

(7)

menggerogoti kesehatan tubuh manusia sehingga berakibat menurunnya kondisi gizi dan kesehatan masyarakat (Zulkoni, 2010).

B. Penyebab dan Cara Penularan Penyakit Cacingan 1. Kebersihan lingkungan

Di Indonesia seharusnya tidak lagi menggunakan septictank untuk keperluan buang air besar. Ketika seorang anak yang cacingan buang air besar di lantai, maka telur atau sporanya bisa tahan berhari-hari, meskipun sudah dipel. Sebelum dapat rumah, larva tidak akan keluar (menetas). Begitu masuk ke usus, baru ia akan keluar. Telur cacing keluar dari perut manusia bersama feses. Jika limbah manusia itu dialirkan ke sungai atau got, maka setiap tetes air akan terkontaminasi telur cacing. Meskipun seseorang buang air besar di WC, ia tetap saja bisa menyebarkan telur ini bila kakusnya meluber saat musim banjir (kemenkes, 2012).

2. Kebiasaan yang buruk

Telur lainnya terbang ke tempat-tempat yang sering dipegang tangan manusia. Lewat interaksi sehari-hari, mereka bisa berpindah dari satu tangan ke tangan lain. Mereka akan masuk ke dalam perut jika biasa makan tanpa cuci tangan. Jika orang – orang selalu menggaruk-garuk lubang pantatnya saat sedang tidur, bisa jadi ia

terserang cacing kremi. Saat digaruk, telur-telur ini bersembunyi di jari dan kukunya. Sebagian lagi menempel di seprei, bantal, guling, dan pakaiannya. Lewat kontak langsung, telur menular ke orang-orang yang tinggal serumah dengannya. Lalu, siklus cacingan pun dimulai lagi (kemenkes, 2012).

3. Makanan yang tercemar oleh larva cacing.

Jika air yang telah tercemar dipakai untuk menyirami tanaman atau aspal jalan, telur-telur itu naik ke darat. Begitu air mengering, mereka menempel pada butiran debu. Saking kecilnya telur-telur itu tak akan pecah, meskipun dilindas ban mobil atau sepeda motor. Bersama debu, telur itu tertiup angin, lalu mencemari

(8)

gorengan atau es doger yang dijual terbuka di pinggir-pinggir jalan. Karena menular lewat makanan, korban cacingan umumnya anak-anak yang biasa jajan di pinggir jalan. Mereka juga bisa menelan telur cacing dari sayuran mentah yang dicuci kurang bersih. Misalnya, hanya dicelup-celup di baskom tanpa dibilas dengan air mengalir. Buang air besar sembarangan juga berbahaya. Prosesnya kotoran yang mengandung telur cacing mencemari tanah lalu telur cacing menempel di tangan atau kuku lalu masuk ke mulut bersama makanan. Kotoran yang dikerumuni lalat kemudian lalat hinggap di makanan, juga bisa masuk melalui mulut (kemenkes, 2012).

4. Tanah yang mengandung larva cacing

Tanah yang mengandung larva cacing dan masuk melalui pori – pori tubuh. Selain melalui makanan yang tercemar oleh larva cacing, cacing juga masuk ke tubuh manusia melalui kulit (pori-pori). Dari tanah, misalnya lewat kaki anak telanjang yang menginjak larva atau telur. Bisa juga larva cacing masuk melalui pori-pori, yang biasanya ditandai dengan munculnya rasa gatal (kemenkes, 2012).

C. Dampak Penyakit Cacingan

Pada kasus ringan cacingan memang tidak menimbulkan gejala nyata, tetapi pada kasus-kasus infeksi berat bisa berakibat fatal. Cacing dapat bermigrasi ke organ lain yang menyebabkan infeksi pada usus dan dapat berakhir pada kematian.

Infeksi usus akibat cacingan, juga berakibat menurunnya status gizi penderita yang menyebabkan daya tahan tubuh menurun sehingga memudahkan terjadinya infeksi penyakit lain termasuk HIV/AIDS, Tuberkulosis dan Malaria. Dampaknya dapat dilihat dari terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan anak-anak, komplikasi kehamilan, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), kerusakan tubuh secara signifikan hingga kecacatan, kebutaan, stigma sosial, serta produktivitas ekonomi dan pendapatan rumah tangga yang menurun. Bisa juga terjadi “erratic“, yakni, cacing keluar keluar lewat hidung atau mulut.” (Zulkoni, 2010).

(9)

Cacingan menyebabkan anemia sehingga membuat anak mudah sakit karena tidak punya daya tahan. Anak juga akan kehilangan berat badan, dan prestasi belajar turun. Dari pertumbuhan fisik yang terhambat, hingga IQ loss (penurunan kemampuan mental). Dalam perjalanannya, anak bisa jadi batuk seperti TBC, berdahak seperti asma.

1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) a. Distribusi Geografis

Cacing ini tersebar luas di seluruh dunia, terutama di daerah tropis dan subtropis yang kelembapan udaranya tinggi. Di beberapa daerah di Indonesia infeksi cacing ini dapat dijumpai pada lebih dari 60% dari penduduk yang diperiksa tinjanya.

b. Habitat

Cacing dewasa terdapat didalam usus halus, tetapi kadang-kadang dijumpai mengembara dibagian usus lainnya. Hospes defenitifnya adalah manusia, tetapi diduga dapat merupakan penyakit zoonosis yang hidup pada usus babi (Soedarto, 2008).

c.Siklus Hidup

Manusia merupakan satu-satunya hospes cacing ini. Cacing jantan berukuran 10 – 30 cm, sedangkan cacing betina 22 – 35 cm, pada stadium dewasa hidup di rongga usus halus, cacing betina dapat bertelur sampai 100.000-200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini apabila tertelan manusia, akan menetas menjadi larva di usus halus, larva tersebut menembus dinding usus menuju pembuluh darah atau slauran limfa dan dialirkan ke jantung lalu mengikuti aliran darah ke paru-paru menembus dinding pembuluh darah,lalu melalui dinding

(10)

alveolus masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva menuju faring, sehingga menimbulkan rangsangan batuk, kemudian tertelan masuk ke dalam esophagus lalu menuju ke usus halus, tumbuh menjadi cacing dewasa. Proses tersebut memerlukan waktu kurang lebih 2 bulan sejak tertelan sampai cacing dewasa (menurut Depkes RI, 2004 yang dikuti oleh Zulkhriadi, 2008).

Gambaran umum siklus hidup cacing Ascaris lumbricoides adalah sebagai berikut : Cacing dewasa hidup di saluran usus halus. Seekor cacing betina mampu menghasilkan telur sampai 240.000 per hari, yang akan keluar bersama feses. Telur yang sudah dibuahi mengandung embrio dan menjadi infektif setelah 18 hari sampai beberapa minggu di tanah. Tergantung pada kondisi lingkungan (kondisi optimum: lembab, hangat, tempat teduh). Telur infektif tertelan. Masuk ke usus halus dan merasa mengeluarkan larva yang kemudian menembus mukosa usus, masuk kelenjar getah bening dan aliran darah dan terbawa sampai ke paru-paru. Larva mengalami pendewasaan di dalam paru-paru (10-14 hari), menembus dinding alveoli, naik ke saluran pernafasan dan akhirnya tertelan kembali. Ketika mencapai usus halus, larva tumbuh menjadi cacing dewasa. Waktu yang diperlukan mulai dari tertelan telur infektif sampai menjadi cacing dewasa sekitar 2 sampai 3 bulan. Cacing dewasa dapat hidup 1 sampai 2 tahun di dalam tubuh (Zulkhriadi, 2008).

d. Gejala Klinis

Infeksi biasa yang mengandung 10-20 ekor cacing sering berlau tanpa diketahui penderita dan baru ditemukan pada pemeriksaan tinja rutin atau bila cacing dewasa keluar sendiri bersam tinja (Menurut Brown, 1983 yang dikutip oleh Zulkhriadi, 2008).

(11)

Patogenesis Ascariasis berhubungan dengan respon imun hospes, efek migrasi larva, efek mekanis cacing dewasa, dan defisiensi gizi. Larva yang mengalami siklus dalam jumlah besar akan menyebabkan pneumonitis. Apabila larva menembus jaringan masuk alveoli, larva mampu merusak epitel bronkus (Muslim, 2009).

Askariasis juga sering tidak bergejala tetapi jika jumlah cacing ini di dalam perut semakin banyak, maka berbagai macam gejala akan muncul (Zulkoni, 2010). Gejala infestasi cacing yang masih ringan dapat berupa: 1) Ditemukannya cacing dalam tinja 2) Batuk mengeluarkan cacing 3) Kurang nafsu makan 4) Demam 5) Bunyi mengi pada saat bernapas (wheezing) Gejala infeksi cacing yang berat antara lain adalah:

1) Muntah

2) Napas pendek

3) Perut buncit

4) Usus tersumbat

5) Saluran empedu tersumbat

2. Cacing Cambuk (Trichuris trichiura) a. Distribusi Geografis

Cacing ini tersebar luas di daerah tropis berhawa panas dan lembab. Trichuris trichiura hanya dapatditularkan dari manusia ke manusia sehingga cacing ini bukan parasit zoonosis (Muslim, 2009).

(12)

b. Habitat

Cacing dewasa melekat pada mukosa usus penderita, terutama di daerah sekum dan kolon, dengan membenakan kepalanya didalam dinding usus. Kadang-kadang cacing ini ditemukan hidup di apendiks dan ileumbagian distal (Muslim, 2009).

c.Siklus Hidup

Infeksi terjadi jika manusia tertelan telur cacing yang infektif, sesudah telur mengalami pematangan di tanah dalam waktu 3-4 minggu lamanya. Didalam usus halus dinding telur pecah dan larva caing keluar menuju sekum lalu berkembang menjadi caing dewasa. Satu bulan sejak masuknya telur infektif ke dalam mulut, cacing dewasa yang terjadi sudah mulai mampu bertelur. Cacing dewasa dapat hidup beberapa tahun di dalam usus manusia (soedarto, 2008).

d. Gejala Klinis

Cacing dewasa yang menembus dinding usus menimbulkan trauma dan kerusakan pada jaringan usus. Selain itu cacing menghasilkan toksin yang menimbulkan iritasi dan peradangan. Pada infeksi ringan dengan beberapa ekor cacing, tidak tampak gejala atau keluhan penderita. Tetapi pada infeksi berat, penderita akan mengalami gejala dan keluhan berupa : anemia berat dengan hemoglobin yang dapat kurang dari tiga persen, diare berdarah, nyeri perut, mual dan muntah, berat badan menurun kadang-kadang terjadi prolaps dari rectum yang melalui pemeriksaan proktoskopidapat dilihat adanya cacaing-cacing dewasa pada kolon atau rectum penderita (Muslim, 2009).

3. Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale)

Pada manusia terdapat beberapa jenis cacing tambang (hookworm) yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia. Cacing dewasa Ancylostoma duodenale

(13)

menimbulkan ankilostomiasis, cacing dewasa Necator americanus menimbulkan nekatoriasis, larva Ancylostoma branziliensis dan larva Ancylostoma caninum. Keduanya menimbulkan dermatitis (creeping eruption) (Stanhope dan Knollmueller, 2010).

a. Distrbusi Geografis

Cacing tambang tersebar luas di seluruh dunia (kosmopolit) terutama di daerah tropis dan subtropics, terutama yang bersuhu panas dan mempunyai kelembapan tinggi. Di Eropa, Cina, dan Jepang, infeksi cacing-cacing ini banyak dijumpai pada pekerja tambang, sehingga cacing-cacing ini disebut cacing tambang. Infeksi cacing tambang di Indonesia disebabkan oleh Necator americanus yang menyebabkan nekatoriasis dan Ancylostoma duodenale yang menimbulkan ankilostomiasis (Stanhope dan Knollmueller, 2010).

b. Habitat

Cacing dewasa hidup di dalam usus halus , terutama di jejunum dan duodenum manusia dengan cara melekatkan diri pada membrane mukosa menggunakan giginya, dan mengisap darah yang keluar dari luka gigitan (Stanhope dan Knollmueller, 2010).

c. Siklus Hidup

Manusia merupakan satu-satunya hospes defenitif N. americanus maupun A. duodenale. Telur yang keluar dari usus penderita dalam waktu dua hari akan tumbuh di tanah menjadi larva rabditiform (tidak infektif). Sesudah berganti kulit dua kali, larva rabditiform dalam waktu seminggu berkembang menjadi larva filariform yang infektif. Lung migration. Larva filariform akan menebus kulit sehat manusia,

(14)

memasuki pembuluh darah dan limfe, beredar dalam aliran darah, masuk ke jantung kanan, lalu masuk ke dalam kapiler paru. Larva menembus dinding kapiler masuk ke dalam alveoli. Larva cacing kemudian mengadakan migrasi ke bronki, trakea, laring dan faring, akhirnya tertelan masuk ke esophagus. Di esofagus larva berganti kulit untuk ketiga kalinya. Migrasi larva berlansung sekitar sepuluh hari. Dari esofagus larva masuk ke usus halus, berganti kulit yang keempat kalinya, lalu tumbuh menjadi cacing dewasa. Dalam waktu satu bulan,cacing betina sudah mampu bertelur (Soedarto, 2008). Ingesti telur infektif dari tanah yang terkontaminasi dengan feses. Tidak ada dari orang ke orang. Tanah yang terinfeksi dapat terbawa oleh kaki atau alas kaki. Siklus hidup memerlukan 4 sampai 8 minggu (Stanhope dan Knollmueller, 2010).

d. Gejala Klinis

Gambaran gejala klinis infeksi cacing tambang yang tampak dapat berupa : anemia hipokromik mikrositer, gambaran umum kekurangan darah yaitu pucat, perut buncit, rambut kering dan mudah lepas, rasa tak enak di epigastrum, sembelit, diare atau steatore, ground-itch (gatal kulit di tempat masuknya larva cacing), serta gejala bronkitis seperti batuk, kadang-kadang dahak berdahak (Soedarto, 2008).

D. Pengobatan

Pengobatan penyakit kecacingan dapat berbeda-beda tergantung jenis cacing yang menyebabkan penyakit. Infeksi cacing pita memerlukan terapi dengan golongan obat keras yang hanya dapat diperoleh dengan resep dokter. Berikut adalah beberapa bahan aktif obat yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit kecacingan. Bahan aktif ini bisa terdapat dalam berbagai merek dagang.

(15)

MEBENDAZOL

Mebendazol digunakan untuk mengobati infeksi cacing kremi, cacing tambang, cacing gelang, dan cacing cambuk. Obat ini tidak dianjurkan untuk wanita hamil dan anak di bawah usia 2 tahun. Namun pada kehamilan di bawah 3 bulan, mebendazol tidak menimbulkan efek buruk.

Dalam penggunaan mebendazol sangat jarang terjadi efek yang tidak diinginkan, namun pernah dilaporkan beberapa efek yang tidak diinginkan yaitu sakit perut, diare, kejang pada bayi, dan ruam.

Aturan pakai

Untuk infeksi cacing kremi, dosis sebesar 100 mg dosis tunggal untuk dewasa dan anak di atas 2 tahun. Jika terjadi infeksi kembali, ulangi dosis yang sama 2 minggu kemudian.

PIPERAZIN

Piperazin digunakan untuk mengatasi infeksi cacing kremi dan cacing gelang. Obat ini tidak dianjurkan untuk wanita hamil pada 3 bulan pertama. Pada ibu menyusui, hentikan menyusui sampai dengan 8 jam setelah penggunaan obat terakhir karena piperazin terdistribusi pada ASI. Beberapa efek yang tidak diinginkan dapat terjadi setelah penggunaan piperazin diantaranya mual, muntah, kejang perut, diare, reaksi alergi, dan sesak napas.

(16)

Aturan pakai

Untuk infeksi cacing kremi:

Dosis untuk dewasa sebanyak 2,25 gr/15 mL sekali sehari selama 7 hari.

Dosis untuk Anak di bawah 2 tahun sebanyak 0,3-0,5 mL/kgbb sekali sehari selama 7 hari.

Dosis untuk anak usia 2-3 tahun sebanyak 5 ml sekali sehari selama 7 hari. Dosis untuk anak usia 4-6 tahun sebanyak 7,5 mL sekali sehari selama 7 hari. Dosis untuk anak usia 7-12 tahun sebanyak 10 mL sekali sehari selama 7 hari.

Bila perlu ulangi pengobatan setelah satu minggu.

Untuk infeksi cacing gelang:

Dosis untuk Dewasa sebanyak 30 mL dosis tunggal.

Dosis untuk Anak usia 1-3 tahun sebanyak 10 mL dosis tunggal. Dosis untuk anak usia 4-5 tahun sebanyak 15 mL dosis tunggal. Dosis untuk anak usia 6-8 tahun sebanyak 20 mL dosis tunggal. Dosis untuk anak usia 9-12 tahun sebanyak 25 mL dosis tunggal.

Ulangi pengobatan setelah dua minggu.

PIRANTEL PAMOAT

Pirantel pamoat, atau nama lainnya yaitu pirantel embonat, digunakan untuk mengobati infeksi cacing kremi, cacing gelang, cacing tambang, cacing cambuk. Adanya anggota keluarga yang terinfeksi juga merupakan pertanda infeksi pada anggota keluarga yang lain. Untuk itu dianjurkan pemberian pirantel pamoat pada seluruh anggota keluarga untuk memusnahkan telur dan cacing serta mencegah infeksi berulang. Penggunaan pada wanita hamil dan anak di bawah 2 tahun harus berhati-hati.

(17)

Beberapa efek samping yang mungkin terjadi setelah penggunaan pirantel pamoat antara lain hilang nafsu makan, kejang perut, mual, muntah, diare, sakit kepala, pusing, rasa mengantuk, sukar tidur, dan merah-merah pada kulit.

Aturan pakai

Untuk infeksi cacing kremi:

dosis 1000 mg untuk Dewasa dengan berat badan di atas 75 kg, dosis 750 mg untuk anak di atas 12 tahun berat badan 41-75 kg,

dosis 500 mg untuk anak 6-12 tahun berat badan 22-41 kg:; 2-6 tahun berat badan 12-22 kg: 250 mg; 6 bulan – 2 tahun berat badan di bawah 12 kg: 125 mg.

Untuk infeksi cacing gelang:

Dosis 500 mg untuk Dewasa dengan berat badan di atas 75 kg,

Dosis 375 mg untuk anak di atas 12 tahun dengan berat badan 41-75 kg, Dosis 250 mg untuk anak 6-12 tahun dengan berat badan 22-41 kg, Dosis 125 mg untuk anak 2-6 tahun dengan berat badan 12-22 kg,

Dosis 62,5 mg untuk anak 6 bulan – 2 tahun dengan berat badan di bawah 12 kg.

Untuk infeksi cacing tambang:

Dosis 20 mg/kgbb diminum sebagai dosis tunggal selama dua hari berturut-turut atau 10 mg/kgbb diminum sebagai dosis tunggal selama 3 hari berturut-turut.

Untuk infeksi cacing cambuk:

Dosis 10 mg/kgbb diminum sebagai dosis tunggal. Berdasarkan berat badan menjadi sebagai berikut:

Dosis 1000 mg untuk dewasa dengan berat badan di atas 75 kg,

Dosis 750 mg untuk anak di atas 12 tahun dengan berat badan 41-75 kg, Dosis 500 mg untuk anak 6-12 tahun dengan berat badan 22-41 kg,

(18)

Dosis 250 mg untuk anak 2-6 tahun dengan berat badan 12-22 kg, Dosis 125 mg untuk anak 6 bulan – 2 tahun berat badan di bawah 12 kg.

LEVAMISOL

Levamisol sangat efektif terhadap infeksi cacing gelang, sehingga digunakan sebagai obat pilihan pertama pada pengobatan infeksi cacing gelang. Levamisol dapat ditoleransi dengan baik, namun pernah dilaporkan juga terjadi efek yang tidak diinginkan seperti mual muntah pada sebagian kecil pasien. Pemakaian obat ini pada dewasa yaitu dalam dosis tunggal sebesar 120-150 mg.

Pengobatan dapat dilakukan secara individu atau massal pada masyarakat, Pengobatan individu dapat digunakan bemacam – macam obat.

Pemilihan obat cacing untuk pengobatan massal harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu :

d. Mudah di terima di masyarakat

e. Mempunyai efek samping yang minimum

f. Bersifat polivalen sehingga dapat berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing g. Harganya murah (terjangkau)

1.Pengobatan yang dilakukan untuk infeksi yang disebabkan oleh cacing cambuk adalah Albendazole / Mebendazole dan Oksantel pamoate.

(19)

2. Pengobatan infeksi cacing tambang adalah Pyrantel pamoate ( Combantrin, Pyrantin), Mebendazole (Vermox, Vermona, Vircid), Albendazole.

E. Pencegahan

Upaya pencegahan cacingan dapat dilakukan melalui upaya kebersihan perorangan ataupun kebersihan lingkungan. Kegiatan tersebut meliputi:

1) Menjaga Kebersihan Perorangan

a. Mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air besar dengan menggunakan air dan sabun.

b. Potong kuku anak secara teratur. Kuku panjang bisa menjadi tempat bermukim larva cacing.

c. Ajari anak untuk tidak terbiasa memasukkan tangan ke dalam mulutnya. Selalu pakaikan sandal atau sepatu setiap kali anak bermain di luar rumah.

d. Bilas sayur mentah dengan air mengalir atau mencelupkannya beberapa detik ke dalam air mendidih.

e. Juga tidak jajan di sembarang tempat, apalagi jajanan yang terbuka

f. Menggunakan air bersih untuk keperluan makan, minum, dan mandi :

g. Memasak air untuk minum

h. Mencuci dan memasak makanan dan minuman sebelum dimakan;

(20)

j. Memakai alas kaki bila berjalan di tanah, dan memakai sarung tangan bila melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan tanah;

k. Menutup makanan dengan tutup saji untuk mencegah debu dan lalat mencemari makanan tersebut (Kemenkes, 2012).

2) Menjaga Kebersihan Lingkungan

a.Membuang tinja di jamban agar tidak mengotori lingkungan.

b. Jangan membuang tinja, sampah atau kotoran di sungai.

c.tidak menyiram jalanan dengan air got

d. Mengusahakan pengaturan pembuangan air kotor.

e.Membuang sampah pada tempatnya untuk menghindari lalat dan lipas.

f. Menjaga kebersihan rumah dan lingkungannya (Kemenkes, 2012).

LAPORAN HASIL KEGIATAN PENYULUHAN KEGIAITAN

PUSKESMAS SENAPELAN

Hari/tanggal : Senin, 28 november 2016

(21)

Tempat : Ruang tunggu puskesmas senapelan

Topik : Peyuluhan penyakit keacingan

Peserta : Orang tua dan anak

Penanggung jawab : Ns. Wirda nurjannah, S.Kep

A. Pelaksanaan

Pelaksanaan kegiatan penuluhan dibagi menjadi 3 tahap, yaitu: 1. Tahap pekenalan dan penggalian pengetahuan peserta

Setelah member salam dan perkenalan pematei telebih dahulu menyampaikan maksud dan tujuan diberikan penyuluhan sebelum materi disampaikan. Kemudian pemateri memberi pertanyaan pembuka untuk mengetahui tingkat pengetahuan peserta (pretest) tentang materi yang akan diberikan. Pertanyaan yang diberikan, sebagai berikut:

 Apakah pengertian kecacingan:

 Bagaimana penanggulangan kecacingan, yang biasa dilakukan warga selama ini?

Peserta menjawab pertanyaan pemateri dengan bahasa mereka, dimana sebagian besar peserta dapat menjawab pertanyaan dengan benar. Setelah itu penyaji langsung masuk pada materi penyuluhan.

2. Tahap penajian materi

Penyajian materi sesuai dengan materi penyuluhan yang terlampir pada SAP. Disela-sela materi ang disampaikan, pemateri memberikan kesempatan pada peserta untuk bertanya langsung apabila ada materi yang tidak dimengerti. Setelah materi

disampaikan semua, pemateri melakukan demonstrasi pembuatan larutan gula garam. 3. Evaluasi

a. Ealuasi struktur

Mahasiswa datang sebelum waktu yang ditetapkan untuk mempersiapkan sarana dan prasarana untuk kegiatan penyuluhan. Semua peserta datang tepat waktu. Penyuluhan dimulai dari jam 08.00 sampai jam 08.30.

(22)

Peserta yang hadir sebanyak 17 orang . pelaksanaan penyuluhan berjalan sebagaimana yang diharapkan dimana peserta antusias menjawab pertanyaan yang diajukan pemateri dan hamper sebagian besar peserta aktif melontarkan pertanyaan.

c. Ealuasi hasil

Lebih dari 75% dari peserta yang hadir mampu menjawab pertanyaan dari mahasiswa tentang materi yang disampaikan. Hal ini membuktikan bahwa peserta memperhatikan mmateri yang disampaikan.

Pertanyaan yang muncul dari peserta yang hadir antara lain: 1) Dari umur berapa boleh diberikan obat cacing?

Jawaban yang diberikan:

Obat cacing bisa diberikan dari umur 1 tahun, hanya saja dosisnya

dibedakan. anjuran agar mengkonsumsi obat cacing sebenarnya ditujukan sebagai upaya pencegahan. jika sudah hidup di lungkungan yang sehat dan bersih, anjuran tersebut tidak perlu diikuti. Anjuran tersebut ditujukan kepada orang-orang yang memiliki resiko tinggi terserang cacingan.

Daftar Pustaka

Muslim. (2009). Parasitologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC

Kementerian kesehatan RI direktorat jenderal pp dan pl. 2012. Pedoman pengendalian Kecacingan.

(23)

Soedarto. (2008). Parasitologi Klinik. Surabaya: Airlangga Universitas Press.

Stanhope, Marcia dan Ruth N. Knollmueller. (2010). Praktik Keperawatan KesehatanKomunitas,

Edisi 2. Jakarta: EGC.

Supali, T., Margono, S.S. dan Abidin A.S.N. 2008. Nematoda Usus, dalam Susanto, I., Ismid, I.S., Sjarifuddin, P.K. dan Sungkar, S. (Editor), Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Buku Kedokteran ECG.

Zukhriadi Dly, Rahmad R. (2008). Hubungan Higiene Perorangan Siswa dengan Infeksi Kecacingan Anak SD Negeri Di Kecamatan Sibolga Kota Kota Sibolga. Diakses pada tanggal 31 Oktober 2012 dari www.repositoryusu.ac.id.

Referensi

Dokumen terkait

Setelah telur menetas, maka muncul larva tingkat I (zoea I) yang terus menerus berganti kulit sampai sebanyak 5 kali sampai terbawa arus ke perairan pantai (samapi zoea V),

Penderita kusta membawa dampak yang cukup parah bagi penderitanya, dampak tersebut dapat berbentuk kecacatan yang menyebabkan perubahan bentuk tubuh.Dampak dari kecacatan

Telur yang menetas akan menjadi larva, kemudian akan tumbuh menjadi rayap muda yang disebut nimfa (nymph) yang akan mengalami 8 kali pergantian kulit hingga dewasa (Nandika

Di usus halus larva akan tumbuh menjadi cacing dewasa, sedangkan cacing yang betina akan bertelur dan telur akan keluar kea lam luar bersama tinja, apabila