• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gelang (Ascaris lumbricoides), cacing kremi (Axyuris vermicularis), cacing pita

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gelang (Ascaris lumbricoides), cacing kremi (Axyuris vermicularis), cacing pita"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Kecacingan

Cacingan (atau sering disebut kecacingan) merupakan penyakit endemik dan kronik disebabkan oleh cacing parasit dengan prevalensi tinggi, tidak mematikan, tetapi menggerogoti kesehatan tubuh manusia sehingga berakibat menurunnya kondisi gizi dan kesehatan masyarakat. Cacing yang populer saat ini adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing kremi (Axyuris vermicularis), cacing pita (Taenia solium), dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale).

2.2. Epidemiologi soil transmitted helminthes

Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar menatoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Diantara nematoda usus terdapat sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah dan disebut “soil transmitted helminthes” yang terpenting bagi manusia adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Trichuris trichiura, Strongyloides sterocoralis dan beberapa spesies Trichostrongylus (Gandahusada, dkk, 2006).

2.2.1. Ascaris Lumbricoides a. Nama umum

Manusia merupakan satu satunya hospes Ascariasis lumbricoides. Penyakit yang disebabkannya disebut askariasis.

(2)

b. Habitat

Cacing dewasa terdapat di dalam usus halus, tetapi kadang kadang dijumpai mengembara di bagian usus lainnya, hospes definitifnya adalah manusia, tetapi diduga dapat merupakan penyakit zoonosis yang hidup pada usus babi.

c. Siklus hidup

Telur cacing yang telah dibuahi yang keluar bersama tinja penderita, di dalam tanah yang lembab dan suhu yang optimal akan berkembang menjadi telur infektif, yang mengandung larva cacing. Infeksi terjadi dengan masuknya telur cacing yang infektif ke dalam mulut melalui maknanan atau minuman yang tercemar tanah yang mengandung tinja penderita askariasis. Dalam usus halus bagian atas dinding telur akan pecah sehingga larva dapat keluar, untuk selanjutnya menembus dinding usus halus dan memasuki vena porta hati. Bersama aliran darah vena, larva akan beredar menuju jantung, paru paru, lalu menembus dinding kapiler masuk kedalam alveoli. Masa migrasi ini berlangsung sekitar 15 hari.

Dari alveoli larva cacing merangkak ke bronki, trakea dan laring, untuk selanjutnya masuk ke faring, usofagus, turun ke lambung akhirnya sampai ke usus halus. Sesudah berganti kulit, larva cacing dalam darah tersebut disebut “lung migration”. Seekor cacing betina mulai mampu bertelur, yang jumlah produksi telurnya dapat mencapai 200.000 butir per hari.

d. Cara Infeksi

Penularan askariasis dapat terjadi melalui beberapa jalan, yaitu telur infektif masuk mulut bersama makanan dan minuman yang tercemar, melalui tangan yang kotor tercemar terutama pada anak, atau telur infektif terhirup melalui udara bersama

(3)

debu. Pada keadaan terakhir ini, telur menetas dimukosa jalan napas bagian atas, larva segera menembus pembuluh darah dan beredar bersama aliran darah.

e. Patogenesis

Cacing dewasa yang berada di dalam usus dan larva cacing yang beredar melalui aliran darah, menimbulkan perubahan patologis pada penderita. Migrasi larva cacing di paru-paru dapat menimbulkan pneumonia dengan gejala berupa demam , batuk, sesak dan dahak berdarah. Penderita juga mengalami urtikaria dan terjadi gambaran eosinofili sampai 20 persen. Pneumonia disertai gejala alergi ini disebut sebagai Sindrom Loeffler atau Ascaris pneumonia.

Pada infeksi berat (hiperinfeksi), terutama pada anak-anak dapat terjadi gangguan pencernaan dan penyerapan protein sehingga penderita mengalami gangguan pertumbuhan dan anemia akibat kurang gizi. Cairan tubuh cacing yang toksik dapat menimbulkan gejala mirip demam tifoid, disertai tanda tanda alergi misalnya urtikaria, edema pada wajah, konjungtivitis dan iritasi pernapasan bagian atas.

Pada manusia cacing dewasa dapat menimbulkan berbagai akibat mekanik, yaitu obstruksi usus, intususepsi, dan perforasi ulkus yang ada di usus. Selain itu cacing dewasa dapat melakukan migrasi ke organ organ di luar usus (askaris ektopik), misalnya ke lambung, usofagus, mulut, hidung, rima glottis atau bronkus, sehingga menyumbat pernapasan penderita. Juga dapat terjadi sumbatan saluran empedu, apendisitis, abses hati, dan pancreatitis akut.

(4)

f. Diagnosis

Diagnosis pasti askariasis ditegakkan bila melalui pemeriksaan makroskopis terhadap tinja atau muntahan penderita ditemukan cacing dewasa. Melalui pemeriksaan mikroskopis dapat ditemukan telur cacing yang khas bentuknya di dalam tinja atau cairan empedu penderita. Untuk membantu menegakkan diagnosis akariasis usus maupun askariasis organ, dapat dilakukan pemeriksaan radiografi dengan barium. Pemeriksaan darah menunjukkan eosinofilia pada awal infeksi, atau dilakukan scratch test pada kulit.

g. Pengobatan

Obat-obat cacing baru yang efektif, dan hanya menimbulkan sedikit efek samping adalah mabendazol, pirantel pamoat, albendazol dan levamisol. Piperasin dan berbagai obat cacing lain masih dapat digunakan untuk mengobati penderita askariasis.

h. Pencegahan

Melaksanakan prinsip-prinsip kesehatan lingkungan yang baik, misalnya membuat kakus yang baik untuk menghindari pencemaran tanah dengan tinja penderita, mencegah masuknya telur cacing yang mencemari makanan dan minuman dengan selalu memasak makanan dan minuman sebelum dimakan atau diminum, serta menjaga kebersihan perorangan.

Mengobati penderita serta pengobatan misal dengan obat cacing berpektrum lebar di daerah endemic dapat memutuskan rantai siklus hidup cacing ini dan cacing lainnya. Pendidikan kesehatan pada penduduk perlu dilakukan untuk menunjang upaya pencegahan penyebaran dan pemberantasan askariasis.

(5)

2.2.2. Cacing Tambang

Pada manusia terdapat beberapa cacing tambang (hookworm) yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia. Cacing dewasa Ancylostoma Duodenale menimbulkan ankilostomiasis, cacing dewasa Necator Americanus menimbulkan nekatoriasis, larva ancylostoma braziliensis dan larva Ancylostoma Caninum keduanya menimbulkan dermatitis (creeping eruption). Cacing tambang terdiri dari Ancylostoma duodenale dan Necator americanus.

a. Habitat

Cacing dewasa hidup didalam usus, terutama di jejunum dan duodenum manusia dengan cara melekatkan diri pada membran mukosa menggunakan giginya, dan mengisap darah yang keluar dari luka ringan.

b. Distribusi geografi

Penyebaran cacing ini di seluruh daerah khatulistiwa dan ditempat lain dengan keadaan yang sesuai, misalnya didaerah pertambangan dan perkebunan. Prevalensi di Indonesia tinggi, terutama di daerah pedesaan. Antara tahun 1972-1979 prevalensi di berbagai daerah pedesaan di Indonesia adalah sekitar 50%. Pada survei survei yang dilakukan Departemen Kesehatan di sepuluh propinsi di Indonesia antara tahun 1990-1991 hanya didapatkan 0-24,7% sedangkan prevalensi sebesar 6,7% didapatkan pada pemeriksaan 2478 anak sekolah dasar di Sumatera Utara.

c. Larva

Dalam siklus hidupnya, cacing tambang mempunyai dua stadium larva, yaitu larva rhabditiform yang tidak infektif dan larva filariform yang infektif. Larva

(6)

rabditiform bentuk tubuhnya agak gemuk dengan panjang sekitar 250 mikron, dan larva filaform yang berbentuk langsing panjang tubuhnya sekitar 600 mikron.

d. Siklus hidup

manusia merupakan satu satunya hospes definitive N. americanus maupun A. duodenale. Telur yang keluar dari usus penderita dalam waktu dua hari akan tumbuh di tanah menjadi larva rabditiform (tidak infektif). Sesudah berganti kulit dua kali, larva rabditiform dalam waktu satu minggu akan berkembang menjadi larva filariform yang infektif.

Larva filariform akan menembus kulit sehat manusia, memasuki pembuluh darah dan limfe, beredar di dalam aliran darah, masuk ke jantung kanan, lalu masuk ke dalam kapiler paru. Larva menembus dinding kapiler masuk kedalam alveoli. Larva cacing kemudian mengadakan migrasi ke bronki, trakea, laring dan faring, sehingga akhirnya tertelan masuk ke esophagus.

Di esophagus larva berganti kulit untuk ketiga kalinya. Migrasi larva berlangsung sekitar sepuluh hari. Dari esophagus larva masuk ke usus halus, berganti kulit yang keempat kalinya, lalu tumbuh menjadi cacing dewasa. Dalam waktu satu bulan, cacing betina sudah mampu untuk bertelur.

e. Patogenesis

Gejala klinis ditimbulkan oleh cacing dewasa maupun larvanya. Cacing dewasa mengisap darah penderita. Seekor cacing dewasa N. americanus menimbulkan kehilangan darah sekitar 0,1 cc perhari, sedangkan seekor cacing A. duodenale dapat menimbulkan kehilangan darah sampai 0,34 cc perhari (Soedarto, 2008).

(7)

Biasanya terjadi anemia hipokrom mikrositer. Disamping itu juga terdapat eosinofilia. Bukti adanya toksin yang menyebabkan anemia belum ada. Biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi kerja menurun (Gandahusada, dkk, 2006).

Larva cacing menimbulkan dermatitis dengan gatal gatal (ground itch) pada waktu menembus kulit penderita. Selain itu larva pada waktu beredar di dalam darah (lung migration) akan menimbulkan bronchitis dan reaksi alergi yang ringan (Soedarto, 2008).

Menurut Noerhajati, sejumlah penderita penyakit cacing tambang yang dirawat di Yogyakarta mempunyai kadar hemoglobin yang semakin rendah bilamana penyakit semakin berat. Golongan ringan, sedang, berat, dan sangat berat mempunyai kadar Hb rata rata berturut-turut 11,3g%; 8,8g%; 4,8g%; dan 2,6g% (Gandahusada, dkk, 2006).

f. Diagnosis

Diagnosis pasti infeksi cacing tambang ditetapkan melalui pemeriksaan mikroskopis tinja untuk menemukan telur cacing.

Gambaran klinis infeksi cacing tambang yang tampak dapat berupa: - Anemia hipokromik mikroster

- Gambaran umum kekurangan darah: pucat, perut buncit, rambut kering dan mudah lepas

- Rasa tak enak di epigastrium - Sembelit, diare atau steatore

(8)

- Gejala bronchitis: batuk, kadang kadang dahak berdarah.

Diagnosis banding untuk infeksi cacing tambang adalah penyakit penyakit: - Penyebab lain anemia

- Tuberculosis

- Penyebab gangguan perut lainnya

Pemeriksaan darah menunjukkan gambaran:

- Hemoglobin, menurun <11,5g/dl (wanita)< 13,5 g/dl (pria).

- MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration), kurang dari 31-36 g/dl.

Pemeriksaan sumsum tulang, menunjukkan gambaran hiperplasi normoblastik. Pada hapusan darah, terdapat gambaran :

- Hipokromik mikrositer

- Terdapat leukopeni dengan limfositosi relative. Jumlah leukosit kurang dari 4.000/ml.

- Eosinofilia, dapat mencapai 30%. - Anisositosis, atau poikilosotosis g. Pengobatan

Pengobatan ditujukan untuk mengatasi anemia maupun untuk memberantas cacingnya, yaitu :

1. Terapi anemia menggunakan preparat besi, yang diberikan per oral atau parenteral.

(9)

3. Obat cacing yang diberikan per oral yaitu mebendazol, albendazol, levamisol, dan pyrantel.

a. Mebendazol: dosis dewasa dan anak berumur di atas 2 tahun, 2 x 100 mg/ hari selama 3 hari. Jika perlu dapat diulang sesudah 3 minggu.

b. Albendazol, dosis tunggal 400 mg.

c. Lavemisol, terutama jika terjadi infeksi ganda dengan askariasis. Dosis tunggal dewasa, 120 mg dan dosis tunggal anak 2,5 mg/kg berat badan. d. Pyrantel, dosis tunggal 10 mg/kg berat badan.

h. Pencegahan

Untuk mencegah terjadinya infeksi baru maupun reinfeksi, dilakukan: 1. Pengobatan massal dan perorangan dengan obat cacing

2. Pendidikan kesehatan: membuat jamban yang baik, dan berjalan di tanah selalu menggunakan alas kaki (Soedarto, 2008)

i. Epidemiologi

Insidens tinggi ditemukan pada penduduk di Indonesia, terutama di daerah pedesaan, khususnya di perkebunan. Seringkali golongan pekerja perkebunan yang langsung berhubungan dengan tanah, terdapat infeksi lebih dari 70%.

Kebiasaan defekasi di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun (diberbagai daerah tertentu) penting dalam penyebaran infeksi. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah gembur (pasir,humus) dengan suhu optimum untuk N.americanus 280-320C, sedangkan untuk A.duodenale lebih rendah (230 -250C). pada umumnya A.duodenale lebih kuat. Untuk menghindari infeksi, antara lain adalah dengan memakai sandal atau sepatu (Gandahusada, dkk, 2006).

(10)

2.2.3. Trichuris trichiura a. Nama umum

Karena bentuknya mirip cambuk, cacing ini sering disebut sebagai cacing cambuk (whip worm).

b. Habitat

Cacing dewasa melekat pada mukosa usus penderita, terutama di daerah sekum dan colon, dengan membenamkan kepalanya di dalam dinding usus. Kadang kadang cacing ini ditemukan hidup di apendiks dan ileum bagian distal.

c. Siklus hidup

Infeksi terjadi jika manusia menelan telur cacing yang infektif, sesudah telur mengalami pematangan di tanah dalam waktu 3 – 4 minggu lamanya. Di dalam usus halus dinding telur pecah dan larva cacing keluar menuju sekum lalu berkembang menjadi cacing dewasa. Satu bulan sejak masuknya telur infektif ke dalam mulut, cacing dewasa yang terjadi sudah mulai mampu bertelur. Cacing dewasa dapat hidup beberapa tahun di dalam usus manusia.

d. Pathogenesis dan gejala klinis

Cacing dewasa yang menembus dinding usus menimbulkan trauma dan kerusakan pada jaringan usus,. Selain itu cacing menghasilkan toksin yang menimbulkan iritasi dan peradangan.

Pada infeksi ringan dengan beberapa ekor cacing, tidak nampak gejala atau keluhan penderita. Tetapi pada infeksi berat, penderita akan mengalami gejala dan keluhan berupa

(11)

- Diare berdarah - Nyeri perut - Mual dan muntah - Berat badan menurun

- Kadang kadang terjadi prolaps dari rectum yang melalui pemeriksaan proktoskopi dapat dilihat adanya cacing cacing dewasa pada kolon atau rektum penderita

Pemeriksaan darah pada infeksi yang berat, hemoglobin dapat berada di bawah 3 g% dan menunjukkan gambaran eosinofilia (eosinofil > 3%). Pemeriksaan tinja dapat menemukan telur cacing yang khas bentuknya.

Pada tahun 1976, bagian parasitologi FKUI telah melaporkan 10 anak dengan trikuriasis berat, semuanya menderita diare yang menahun selama 2-3 tahun. Kini kasus berat trikuriasis tidak pernah dilaporkan lagi di Jakarta.

Infeksi berat Trichus trichiura sering disertai dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa. Infeksi ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala; parasit ini ditemukan pada pemeriksaan tinja urin.

e. Diagnosis

untuk menegakkan diagnosis pasti, dilakukan pemeriksaan tinja untuk menemukan telur cacing yang khas bentuknya. Pada infeksi yang berat pemeriksaan proktoskopi dapat menunjukkan adanya cacing dewasa pada rektum penderita.

f. Pengobatan

(12)

- Pirantel pamoat (10 mg/kg berat badan) dan oksantel pamoat (10-20 mg/kg berat badan/hari) yang diberikan bersama dalam bentuk dosis tunggal, atau - Kombinasi Mebendazol dan pirantel pamoat.

- Pemberian satu jenis obat dapat diberikan:

- Mebendazol dengan dosis 2 x 100 mg/hari selama 3 hari berturut turut; - Levamisol dapat diberikan dengan dosis tunggal 2,5 mg/kg berat

badan/hari.

Bila terdapat anemia, diberikan preparat besi disertai dengan perbaikan gizi penderita.

g. Pencegahan

Pencegahan penularan trikuriasis dilakukan melalui pengobatan penderita atau pengobatan masal untuk terapi pencegahan terhadap terjadinya reinfeksi di daerah endemis.Memperbaiki higiene sanitasi perorangan dan lingkungan, agar tak terjadi pencemaran lingkungan oleh tinja penderita, misalnya membuat WC atau jamban yang baik disetiap rumah. Memasak makanan dan minuman dengan baik dapat membunuh telur infektif cacing (Soedarto,2008).

h. Epidemiologi

Yang penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur tumbuh di tanah liat, tempat lembab dan teduh dengan suhu optimum kira kira 300C. di berbagai negeri pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya berkisar antara 30-90%.

(13)

Didaerah yang sangat endemic infeksi dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik dan pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan, mencuci dengan baik sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagi di negeri-negeri yang memakai tinja sebagai pupuk (Gandahusada, dkk, 2006)

2.2.4. Strongyloides stercoralis

Cacing benang (threadworm) yang menyebabkan strongiloidiasis ini merupakan cacing zoonosis yang tersebar luas di daerah tropis yang tinggi kelembapannya. Cacing betina dewasa hidup parasitik di dalam membran mukosa usus halus, terutama di daerah duodenum dan jejunum manusia dan beberapa jenis hewan. Cacing jantan jarang ditemukan di dalam usus hospes definitifnya.

a. Siklus hidup

Untuk melengkapi siklus hidupnya cacing ini tidak memerlukan hospes perantara. Hospes definitive tempat cacing dewasa hidup adalah manusia, sedangkan beberapa jenis hewan dapat bertindak sebagai hospes reservoir sehingga juga menjadi sumber penularan bagi manusia. Telur cacing yang oleh induk cacing dikeluarkan di dalam mukosa usus, akan segera menetas menjadi rabditiform. Kemudian larva ini akan berkembang melalui tiga jalur siklus hidup, yaitu:

1. Autoinfection. Di dalam usus, larva rabditiform berubah menjadi larva filariform, yang kemudian menembus mukosa usus dan berkembang menjadi cacing dewasa.

2. Siklus hidup langsung. Larva rabditiform bersama tinja penderita jatuh ke tanah, tumbuh menjadi larva filariform yang infektif. Jika menembus kulit

(14)

hospes, akan terjadi lung migration, dan selanjutnya berkembang menjadi cacing dewasa dalam usus penderita.

3. Siklus hidup tidak langsung. Larva rabditiform bersama tinja penderita jatuh ke tanah, berkembang menjadi dewasa yang hidup bebas (free living) di tanah, lalu melahirkan larva larva rabditiform. Larva rabditifrom ini di tanah tumbuh menjadi larva filariform yang infektif menembus kulit hospes, diikuti terjadinya lung migration, kemudian tumbuh dan berkembang menjadi cacing dewasa di dalam usus penderita.

b. Patogenesis

Kelainan patologis disebabkan oleh larva mapun oleh cacing dewasa. Larva cacing pada waktu menembus kulit, menimbulkan dermatitis disertai urtikaria dan pruritus. Jika larva yang mengadakan migrasi paru banyak jumlahnya, maka dapat menimbulkan pneumonia dan batuk darah.

Cacing dewasa yang berada di dalam mukosa usus dapat menimbulkan diare yang beradarah yang bisa disertai lender. Infeksi ringan dengan stronglyoides pada umumnya terjadi tanpa diketahui hospesnya karena tidak menimbulkan gejala. Infeksi sedang dapat menyebabkan rasa sakit seperti tertusuk tusuk di daerah epigastrium tengah dan tidak menjalar. Mungkin ada mual dan muntah; diare dan konstipasi saling bergantian. Pada strongiloidiasis ada kemungkinan terjadi autoinfeksi dan hiperinfeksi. Pada hiperinfeksi cacing dewasa yang hidup sebagai parasit dapat ditemukan di seluruh traktus digestivus dan larvanya dapat ditemukan diberbagai alat dalam (paru, hati, kandung empedu). Sering ditemukan pada orang orang yang mengalami gangguan imunitas dan dapat menimbulkan kematian.

(15)

Pada pemeriksaan darah mungkin ditemukan eosinofilia atau hiperesinofilia meskipun pada banyak kasus jumlah sel eosinofil normal.

c. Diagnosis

Diagnosis klinis tidak pasti karena strongiloidiasis tidak memberikan gejala klinis yang nyata. Diagnosis pasti ialah menemukan larva rabditiform dalam tinja segar, dalam biakan atau dalam aspirasi duodemum. Biakan tinja selama sekurang kurangnya 2 x 24 jam menghasilkan larva filariform dan cacing dewasa Strongyloides stercoralis yang hidup bebas.

d. Pengobatan

Dahulu tiabendazol merupakan obat pilihan dengan dosis 25 mg per kg berat badan, satu atau dua kali sehari selama 2 atau 3 hari. Sekarang albendazol 400 mg satu/dua kali sehari selama tiga hari merupakan obat pilihan. Mabendazol 100 mg tiga kali sehari selama dua atau empat minggu dapat memberikan hasil yang baik. Mengobati orang yang mengandung parasit, meskipun kadang-kadang tanpa gejala adalah penting mengingat dapat terjadi autoinfeksi. Perhatian khusus ditujukan kepada pembersihan sekitar daerah anus dan mencegah terjadinya konstipasi.

e. Prognosis

Pada infeksi berat strongilodiasis dapat menyebabkan kematian. f. Epidemiologi

Daerah yang panas, kelembaban tinggi dan sanitasi yang kurang, sangat menguntungkan cacing strongyloides sehingga terjadi daur hidup yang tidak langsung.

(16)

Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah gembur, berpasir dan humus. Frekuensi di Jakarta pada tahun 1956 sekitar 10-15%, sekarang jarang ditemukan. Pencegahan strongiloidiasis terutama tergantung pada sanitasi pembuangan tinja dan melindungi kulit dari tanah yang terkontaminasi, misalnya dengan memakai alas kaki.

Penerangan kepada masyarakat mengenai cara penularan dan cara pembuatan serta pemakaian jamban juga penting untuk pencegahan penyakit strongilodiasis (Gandahusada, dkk, 2006).

2.3. Pengertian Petani

Jumlah penduduk penduduk Indonesia 215,3 juta orang. Angkatan kerja hingga Februari 2005 tercatat 105,8 juta orang. Dari dari jumlah penduduk dan angkatan kerja yang sebagian besar berada di Pulau Jawa, terdapat pula sejumlah penganggur yang tersebar di seluruh wilayah, dengan konsentrasi juga di Pulau Jawa (Badan Statistik, 2005).

Petani, merupakan kelompok kerja terbesar di Indonesia. Meski ada kecenderungan jumlah yang semakin menurun, angkatan kerja yang bekerja pada sektor pertanian, masih berjumlah 42 juta orang, atau di sekitar 40% dari angkatan kerja. Para petani merupakan angkatan kerja, bekerja dalam sebuah wilayah terbuka, terpajan sinar ultraviolet dari matahari, terpajan bahan kimia beracun pestisida, serta banyak faktor kesehatan risiko lain, termasuk penyakit menular. Faktor risiko kesehatan petani sangat kompleks dan saling terkait, sehingga menyulitkan penyusunan programnya. Namun demikian, bukan berarti masalah tersebut diabaikan.

(17)

Banyak wilayah kabupaten di Indonesia yang mengandalkan pertanian, termasuk perkebunan sebagai sumber penghasilan utaman daerah (PAD).

Di dalam sektor pertanian termasuk diantaranya subsektor tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan. Dengan demikian, angkatan kerja yang termasuk petani adalah mereka yang bekerja pada pertanian tanaman pangan (seperti padi, jagung, sagu), pemetik teh, pemetik kelapa, petani gula, kelapa, kopra, perkebunan lada, karet, tanaman hortikultura (sayur mayur), dan lain lain.

Berdasarkan catanan yang ada, petani tanaman pangan masih merupakan jumlah terbesar. Oleh sebab itu, sudah selayaknya kesehatan petani, baik kesehatan sebagai modal awal untuk bekerja, maupun risiko bekerja, harus dikelola dengan baik dan professional.

2.3.1. Penerapan Teknologi Sebagai Faktor Risiko Kesehatan Pertanian Tanaman Pangan

Persoalan utama higiene perusahaan dan kesehatan kerja di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan adalah lokasi dan beroperasinya perusahaan yang biasanya berada di daerah rural (pedesaan), sehingga higiene dan kesehatan pedesaan langsung mempengaruhi keadaan higiene dan kesehatan masyarakat petani dan pekebun serta masyarakat kehutanan. Selain itu tenaga kerja menghadapi risiko aneka penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan lingkungan kerja serta perlunya penyesuaian terhadap perkembangan cara kerja dan proses produksi dengan menggunakan teknologi baru (Suma’mur,2009).

Dalam perspektif kesehatan, penerapan teknologi adalah health risk. Baik teknologi yang bersifat software maupun hardware. Oleh sebab itu, ketika terjadi

(18)

perubahan ataupun pemilihan sebuah teknologi, secara implisit akan terjadi perubahan ataupun pemilihan sebuah teknologi, secara implisit akan terjadi perubahan faktor risiko kesehatan. Teknologi mencangkul kini digantikan traktor, akan mengubah faktor risiko kesehatan yang dihadapi petani.

Menurut Achmadi, masyarakat petani tanaman pangan dapat didentifikasi menjadi tiga kelompok :

a. Kontak tani, dikenal sebagai petani yang berpengetahuan luas, mudah mengadopsi teknologi baru, memiliki jiwa kepemimpinan.

b. Tani maju, petani yang berpengetahuan luas dan mudah menerima pengetahuan baru.

c. Tani naluri, yang hanya mengikuti petani a dan b.

Ketiga jenis petani diarahkan untuk berkelompok dan bekerja sama dalam dalam kelompok kelompok tani, yang secara hamparan lahan pertanian menjadi lebih luas dan tentu saja lebih efektif serta produktif.

2.3.2. Kualitas Kesehatan Petani Indonesia

Untuk mendukung perekonomian wilayah kabupaten, sekaligus perekonomian nasional maka sudah selayaknya kualitas petani khususnya aspek pendidikan dan kesehatannya dikelola dengan baik. Kesehatan merupakan salah satu dari 3 (tiga) unsur pokok penentu Indeks Perkembangan Manusia (Human Development Index) bersama dengan status sosial ekonomi dan pendidikan. Kualitas petani, langsung maupun tidak, berhubungan dengan tingkat Indeks Perkembangan Manusia (IPM) ini. Untuk menghadapi persaingan nasional maupun global indeks Perkembangan

(19)

Manusia (IPM) dapat digunakan sebagai indikator kesiapan wilayah kabupaten dan kota.

Dalam Indeks Perkembangan Manusia (IPM) kesehatan petani harus dilihat dalam dua aspek perspektif. Yakni, kesehatan sebagai modal kerja, dan aspek penyakit kaitannya dengan pekerjaan, khususnya faktor risiko akibat penggunaan teknologi baru dan agrokimia.

Bekerja sebagai petani memerlukan modal awal. Selain stamina, kondisi fisik harus mendukung pekerjaan tersebut. Seorang petani jangan sampai sakit sakitan. Kemudian tingkat pendidikan dan kesehatan petani diperlukan untuk mendukung produktivitas.

Salah satu masalah yang mengganggu perkembangan kualitas kesehatan petani adalah sanitasi dasar. Sanitasi dasar meliputi penyediaan air bersih, jamban keluarga, serta sarana rumah sehat yang memadai. Aksesibilitas petani dan masyarakat miskin terhadap air bersih dan sangat rendah. Demikian pula terhadap jamban. Banyak keluarga penduduk pedesaan tidak memiliki jamban keluarga. Dari data Riskesdas yang ada menunjukkan bahwa rata-rata nasional, penduduk yang akses terhadap sarana air bersih pada tahun 2002, hanya 72,3%. Sedangkan yang memiliki jamban keluarga hanya 63,85%. Secara proporsional aksesibilitas terhadap air bersih penduduk perkotaan lebih baik ketimbang penduduk pedesaan (Ditjen PPML 2003 dalam Achmadi, 2012).

Sanitasi dasar merupakan salah satu faktor risiko utama timbulnya penyakit-penyakit infeksi baik yang akut seperti kolera, hepatitis A, maupun kronik seperti disentri, infeksi cacing, bakteri Coli, maupun penyakit infeksi kronik lainnya. Setiap

(20)

petani akan mengalami kesakitan (morbiditas). Apabila seseorang menderita diare kronik jelas akan mengganggu produktivitas bekerja. Demikian pula batuk pilek kronik, akibat ventilasi atau kondisi perumahan yang buruk.

Penderita gizi buruk dan kecacingan tidak bisa bekerja dengan baik. Penyakit kronik yang berkaitan dengan sanitasi dasar yang buruk, merupakan contributor terhadap tingginya absentiisme di kalangan petani dan lebih lanjut penurunan produktivitas.

2.3.3. Penyakit yang Berhubungan dengan Pekerjaan Petani

Berbeda dengan konsep penyakit endemik yang mengganggu Indeks Perkembangan Manusia (IPM), apabila seorang petani sedang bekerja, maka mereka akan terkena risiko untuk mendapatkan penyakit akibat pekerjaannya. Dengan kata lain, pekerjaan (pertanian) sebagai faktor risiko penyakit petani yang dihubungkan dengan pekerjaannya. Kalau Indeks Perkembangan Manusia (IPM) tenaga kerja adalah gambaran awal kondisi kualitas sebagai bahan input atau modal awal, penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan akan memperburuk kondisi awal tersebut. 2.3.3.1. Kualitas Kesehatan Petani

Secara teoritis apabila seseorang bekerja, ada tiga variable pokok yang saling berinteraksi, yakni kualitas tenaga kerja, jenis atau beban pekerjaannya, dan lingkungan pekerjaannya. Akibat hubungan interaktif berbagai faktor risiko kesehatan tersebut, apabila tidak memenuhi persyaratan memenuhi persyaratan dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang berhubungan dengan pekerjaan dapat bersifat akut dan mendadak, kita kenal sebagai kecelakaan, dapat pula bersifat menahun. Berbagai gangguan kesehatan yang berhubugan dengan pekerjaan misalnya, ketulian

(21)

pada pekerja yang mengalami kebisingan. Para petani yang menderita keracunan insektisida tingkat sedang hingga tinggi.

Penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan juga diderita oleh petani, seperti sakit pinggang (karena alat cangkul yang tidak ergonomis), gangguan kulit karena sinar ultraviolet ataupun agrokimia. Penggunaan agrokimia merupakan faktor risiko penyakit yang paling sering dibicarakan. Kondisi kesehatan awal tenaga kerja akan memperburuk penyakit-penyakit yang berhubungan dengan pekerjaannya. Penderita anemia akan kekurangan gizi disebabkan kecacingan disawah atau perkebunan ataupun kurang pasokan makanan, kemudian dapat diperburuk karena keracunan organofosfat.

Beberapa penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan, ternasuk penyakit infeksi yang diakibatkan bakteri, virus maupun parasit. Penyakit malaria, cacing tambang dan leptospirosis misalnya, selain dapat dianggap sebagai penyakit yang merupakan bagian dari kapasitas kerja atau modal awal untuk bekerja, juga dapat dianggap sebagai penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan.

2.3.4. Faktor Risiko Kesehatan Kerja Petani

Seorang petani yang memiliki derajat sosial ekonomi rendah akan bertempat tinggal pada pemukiman kumuh tanpat sanitasi yang memadai. Kapasitas kerja gizi rendah, diare karena kurang air bersih, akibatnya akan mudah mengalami sakit sakitan.

Petani Indonesia pada umumnya tidak memerlukan transportasi untuk menuju tempat pekerjaannya. Namun, bagi petani perkebunan atau tenaga kerja perkotaan yang memerlukan waktu lama menuju tempat kerjanya, maka kualitas dan kapasitas

(22)

kerjanya akan berkurang. Terlebih lagi bagi tenaga kerja yang menggunakan sepeda motor yang harus exposed terhadap pencemaran udara dan kebisingan jalan raya, tentu akan menimbulkan beban yang lebih berat.

Mengacu kepada teori kesehatan lingkungan dan kesehatan kerja, maka risiko kesehatan petani yang ditemui di lapangan pekerjaannya sebagai berikut:

1. Mikro organisme : faktor risiko yang memberikan kontribusi terhadap kejadian penyakit infeksi, parasit, kecacingan maupun malaria. Penyakit kecacingan dan malaria selain merupakan ancaman kesehatan (sebagai modal awal) juga merupakan faktor risiko pekerjaan petani karet, perkebunan lada, dan lain lain. Berbagai faktor risiko yang menyertai leptospirosis, gigitan serangga, dan binatang berbisa.

2. Faktor lingkungan kerja fisik: sinar ultraviolet, suhu panas, suhu dingin, cuaca, hujan, angin dan lain lain.

3. Ergonomi: yakni kesesuaian alat dengan kondisi fisik petani seperti cangkul, traktor, dan alat alat pertanian lainnya.

4. Bahan kimia toksik: agrokimia, seperti pupuk, herbisida, akarisida dan pestisida (Achmadi, 2012).

(23)

2.4. Faktor-Faktor Penyebab Kecacingan 2.4.1. Higiene Perorangan

Higiene perorangan (kebersihan perorangan) adalah cara perawatan diri manusia untuk memelihara kesehatan mereka. Kebersihan perorangan sangat penting untuk diperhatikan. Pemeliharaan kebersihan perorangan diperlukan untuk kenyamanan individu, keamanan dan kesehatan (Potter,2005).

Kebersihan diri meliputi: a. Kebersihan kulit

Kebersihan kulit merupakan cerminan kesehatan paling pertama member kesan. Oleh karena itu perlu memelihara kulit sebaik-baiknya. Pemeliharaan kesehatan kulit tidak terlepas dari kebersihan lingkungan, makanan yang dimakan serta kebiasaan hidup sehari-hari.

Untuk selalu memelihara kebersihan kulit kebiasaan sehat harus selalu memperhatikan:

1. Menggunakan barang-barang keperluan sehari-hari milik sendiri. 2. mandi minimal 2x sehari.

3. mandi memakai sabun. 4. menjaga kebersihan pakaian.

5. makan yang bergizi terutama sayur dan buah 6. menjaga kebersihan lingkungan

b. Kebersihan Rambut

Rambut yang terpelihara dengan baik akan membuat terpelihara dengan subur dan kesan indah sehingga akan menimbulkan kesan cantik dan tidak berbau apek.

(24)

Dengan selalu menjaga kebersihan rambut dan kulit kepala maka perlu diperhatikan hal sebagai berikut:

1. Memperhatikan kebersihan rambut dengan mencuci sekurang-kurangya 2x seminggu

2. Mencuci rambut dengan menggunakan shampoo/ bahan pencuci rambut lainnya.

3. Sebaiknya menggunakan alat peralatan rambut sendiri. c. Kebersihan Gigi

Menggosok gigi dengan teratur dan baik akan menguatkan dan membersihkan gigi sehingga terlihat cemerlang. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menjaga kesehatan gigi adalah:

1. Menggosok gigi secara benar dan teratur dianjurkan setiap sehabis makan 2. Memakai sikat gigi sendiri

3. Menghindari makanan yang merusak gigi

4. Membiasakan makan buah yang menyehatkan gigi 5. Memeriksa gigi secara teratur

d. Kebersihan Mata

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam kesehatan mata adalah: 1. Membaca ditempat terang

2. Makan makanan yang bergizi 3. Istirahat yang cukup dan teratur 4. Memakai peralatan sendiri dan bersih 5. Memelihara kebersihan lingkungan

(25)

e. Kebersihan telinga

Hal yang diperhatikan dalam kebersihan telinga adalah 1. Membersihkan telinga secara teratur

2. Jangan mengorek-ngorek telinga dengan benda tajam f. Kebersihan Tangan, Kaki dan Kuku

Seperti halnya kulit, tangan, kaki dan kuku harus dipelihara dan ini tidak terlepas dari kebersihan lingkungan sekitar dan kebiasaan hidup sehari-hari. Selain indah dipandang mata, tangan, kaki, dan kuku yang bersih juga menghindarkan kita dari berbagai penyakit. Kuku dan tangan yang kotor dapat menyebabkan bahaya kontaminasi dan berbagai penyakit-penyakit tertentu.

Untuk menghindari hal tersebut maka perlu diperhatikan sebagai berikut: 1. Membersihkan tangan sebelum makan

2. Memotong kuku secara teratur 3. Membersihkan lingkungan 4. Mencuci kaki sebelum tidur 2.4.2. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap ojek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Secara garis besarnya dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan, yaitu:

(26)

a. Tahu (know) b. Memahami (comprehension) c. Aplikasi (application) d. Analisis (analysis) e. Sintesis (synthesis) f. Evaluasi (evaluation) 2.4.3. Alat Pelindung Diri (APD)

Terdapat berbagai upaya untuk menanggulangan bahaya-bahaya yang terdapat di lingkungan kerja, yaitu: pengendalian secara teknik (engineering control), pengendalian secara administrative (administrative control) dan pemakaian alat-alat pelindung diri (personal protective equipment).

Menurut OSHA atau Occupational Safety and Health Administration, personal protective equipment atau Alat Pelindung Diri (APD) didefinisikan sebagai alat yang digunakan untuk melindungi pekerja dari luka atau penyakit yang diakibatkan oleh adanya kontak dengan bahaya (hazard) di tempat kerja, baik yang bersifat kimia, biologis, radiasi, fisik, elektrik, mekanik dan lainnya.

Alat pelindung diri yang efektif harus: 1. Sesuai dengan bahaya yang dihadapi

2. Terbuat dari material yang akan tahan terhadap bahaya tersebut 3. Cocok bagi orang yang akan menggunakannya

4. Tidak mengganggu kerja operator yang sedang bertugas 5. Memiliki konstruksi yang sangat kuat

(27)

6. Tidak mengganggu alat pelindug diri lain yang sedang dipakai secara bersamaan

7. Tidak meningkatkan risiko terhadap pemakainya (Ridley,2008) Ada berbagai macam alat pelindung diri, yaitu:

a. Alat Pelindung Kepala

Tujuan dari penggunaan alat pelindung kepala adalah untuk mencegah:

Bahaya terbentur oleh benda tajam atau benda keras yang dapat meyebabkan luka gores, potong atau tusuk; bahaya kejatuhan benda-benda atau terpukul oleh benda-benda yang melayang atau meluncur di udara; bahaya panas radiasi, api, dan percikan bahan-bahan kimia korosif.

b. Alat Pelindung Wajah/mata

Alat pelindung mata menurut bentuknya dapat dikategorikan menjadi: kaca mata (spectacles), goggles (cup type/box type), tameng muka (face screen/face shield)

c. Alat Pelindung Telinga

Alat pelingung telinga berfungsi sebagai penghalang (barier) antara sumber bising dan telinga bagian dalam, juga melindungi telinga dari ketulian akibat kebisingan. Secara umum, alat pelindung telinga dibedakan menjadi sumbat telinga (ear plug) dan tutup telinga (ear muff).

d. Pemakaian Masker

Pemakaian masker untuk melindungi pernapasan dari gas tertentu (Daryanto,2007).

(28)

e. Alat Pelindung Tangan

Sarung tangan merupakan alat pelindung diri yang paling banyak digunakan. Dalam memilih sarung tangan dipertimbangkan beberapa faktor sebagai berikut: bahaya terpapar, apakah berbentuk bahan korosif, panas dingin, tajam, atau kasar; daya tahan terhadap bahan-bahan kimia.

f. Alat Pelindung Kaki

Alat pelindung kaki atau sepatu keselamatan kerja dipergunakan untuk melindungi kaki dari bahaya kejatuhan benda-benda berat, percikan cairan, mikrobiologi dan tertusuk oleh benda-benda tajam.

g. Pakaian Pelindung

Pakaian pelindung atau pakaian kerja dapat berbentuk Apron yang menutupi sebagian dari tubuh, pemakaiannya yaitu mulai dari dada sampai lutut dan Overalls yang menutupi seluruh tubuh. Pakaian pelindung digunakan untuk melindungi pemakai dari percikan bahan kimia dan cuaca kerja yang ekstrim.

h. Sabuk dan Tali Pengaman

Sabuk dan tali pengaman dipergunakan untuk bekerja di tempat tinggi, misalnya pada kapal, sumur atau tangki. Alat pengaman ini juga dipergunakan pada pekerjaan mendaki, memanjat, dan kontruksi bangunan (Sarwono,2002).

2.4.4. Masa Kerja

Lama kerja seseorang jika dikaitkan dengan pengalaman kerja dapat mempengaruh kecelakaan kerja. Terutama pengalaman dalam hal menggunakan berbagai macam alat kerja. Semakin lama masa kerja seseorang maka pengalaman yang diperoleh akan lebih banyak dan memungkinkan pekerja dapat bekerja lebih

(29)

aman. Berdasarkan hasil studi ILO (1998) dalam Dirgagunarsa (1992) di Amerika menunjukkan bahwa kecelakaan kerja yang terjadi selain karena faktor manusia, disebabkan juga karena masih baru dan kurang pengalaman.

Pengalaman merupaakan keseluruhan yang didapat seseorang dari peristiwa yang dilaluinya, artinya bahwa pengalaman seseorang dapat mempengaruhi perilakunya dalam kehidupan organisasinya. Dengan demikian, semakin lama masa kerja seseorang maka pengalaman yang diperolehnya semakin banyak yang emungkinkan pekerja dapat bekerja lebih aman (Millah, 2008).

2.5. Kerangka Konsep

Faktor-Faktor Penyebab Kecacingan:

1. Higiene Perorangan 2. Pengetahuan 3. Alat Pelindung Diri 4. Masa Kerja

Referensi

Dokumen terkait

Menanggapi hal demikian pemerintah membuka ruang negosiasi untuk menyelesaikan perselisihan ini dengan melakuan perundingan hingga akhirnya selesai dengan berbagai kesepakatan.Dengan

Kita dapat mengaktifkan rekaman dengan mengklik tombol Record pada transport panel atau toolbar, atau dengan menggunakan perintah tombol yang secara default pada

Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perusahaan yang bergerak di bidang jasa pengiriman barang yang berperan sebagai pelaku usaha dalam menjalankan usahanya

Target dari pelaksanaan kegiatan ini adalah meningkatnya kemampuan guru dalam mengolah limbah plastic dan kayu yang ada di sekitar sekolah untuk menjadi

41 CPE adalah perubahan struktural pada sel inang sebagai akibat dari infeksi virus yang menyebabkan sel inang lisis.. Dari ketiga gingerol ini, [6]-gingerol

Higiene mencakup juga masalah perawatan kesehatan diri, termasuk ketepatan sikap tubuh, dalam pengertian tersebut juga terkandung makna perlunya perlindungan bagi pekerja

 Primary Lube Oil Pump atau Main Lube Oil pump (Pompa Minyak Pelumas Utama), berfungsi sebagai pompa minyak pelumas utama dan diputar langsung oleh poros turbin gas,

Penulis mengucapkan syukur alhamdulillah kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kesehatan dan hidayah-Nya, Penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum yang