• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1) Tinjauan Umum tentang Penyelesaian Sengketa a) Proses Ajudikasi ( Ajudicative procedure ) (1) Litigasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1) Tinjauan Umum tentang Penyelesaian Sengketa a) Proses Ajudikasi ( Ajudicative procedure ) (1) Litigasi"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori

1) Tinjauan Umum tentang Penyelesaian Sengketa a) Proses Ajudikasi ( Ajudicative procedure )

(1) Litigasi

Litigasi adalah proses gugatan atas suatu konflik yang diritualisasikan untuk menggantikan konflik sesungguhnya, dimana para pihak memberikan kepada seorang pengambil keputusan dua pilihan yang bertentangan ( Suyud Margono, 2004:23 ). Litigasi merupakan proses yang sangat dikenal bagi praktisi hukum dengan karakteristik pihak ketiga yang mempunyai kekuatan untuk memutuskan solusi diantara para pihak yang bersengketa.

Litigasi, dalam mengambil alih keputusan dari para pihak, sekurang-kurangnya dalam batas tertentu menjamin bahwa kekuasaan tidak dapat mempengaruhi hasil dan dapat menjamin ketentraman sosial. Sebagai suatu ketentuan umum atau suatu proses yang melalui proses gugatan, litigasi sangat baik sekali dalam menemukan kesalahan-kesalahan dan masalah-masalah dalam posisi pihak lawan. Litigasi juga memberikan suatu standar bagi prosedur yang adil dan memberikan peluang yang luas kepada para pihak untuk didengar keterangannya sebelum diambil keputusan.

Selain menjamin pengakuan yang adil kepada para pihak, kesempatan untuk didengar dan menyelesaikan sengketa, litigasi juga memiliki keuntungan dalam membawa nilai-nilai masyarakat yang terkandung dalam hukum untuk menyelesaikan sengketa ( suyud Margono, 2004:24). Litigasi tidak hanya menyelesaikan sengketa tetapi juga menjamin suatu ketertiban umum. Dengan demikian, litigasi mengenai sengketa perdata pada taraf tertentu merupakan suatu alat untuk mencapai tujuan masyarakat.

(2)

Keputussan pengadilan merupakan sebuah preseden, sehingga litigasi sangat bernilai. Litigasi memaksa para pihak berada pada posisi dimana memerlukan pembelaan yang dapat mempengaruhi keputusan.

Litigasi mengangkat seluruh persoalan atau perkara. Perkara yang diangkat bukan hanya mengenai materi tetapi juga prosedur. Hal itu dilakukan untuk memberikan kesamaan kepentingan dan mendorong para pihak untuk melakukan penyelidikan fakta. Litigasi kurang baik untuk sengketa yang bersifat melibatkan banyak pihak dan banyak persoalan dan juga kompelksitasnya. Selain itu, litigasi juga kurang cocok untuk sengketa yang memeiliki kemungkinan untuk diselesaikan melalui alternatif penyelesaian sengketa. Proses-proses litigasi mensyaratkan pembatasan sengketa dan persoalan-persoalan sehingga para hakim atau para pengambil keputusan lainnya dapat lebih siap membuat keputusan ( Garry Goodpaster, 1995:6 )

(2) Arbitrase

Didalam arbitrase, para pihak menyetujui untuk menyelesaikan sengketanya kepada pihak netral yang mereka pilih untuk membuat keputusan. Arbitrase merupakan suatu bentuk lain dari ajudikasi, yakni ajudikasi privat. Dalam beberapa hal arbitrase sama dengan litigasi dengan keuntungan dan kelemahannya. Perbedaanya adalah pada arbitrase melibatkan litigasi sengketa pribadi. Sifat pribadi pada arbitrase memberikan keutungan-keuntungan melebihi ajudikasi melalui pengadilan.Arbitrase pada dasarnya menghindari pengadilan.

Dalam arbitrase, para pihak dapat memilih hakim yang mereka inginkan, berbeda dengan sistem pengadilan yang telah menetapkan hakim yang akan memeriksa sengketa. Dengan adanya pemilihan hakim dapat menjamin kenetralan dan keahlian yang para pihak anggap perlu dalam sengketa mereka. Para pihak juga

(3)

dapat memilih hukum yang akan diterapkan dalam penyelesaian sengketa. Dengan demikian arbitrase melindungi para pihak yang khawatir akan hukum materi dalam suatu yurisdiksi tertentu. Sifat arbitrase yang menjaga rahasisa membantumelindungi para pihak dari penyingkapan kepada umum yang merugikan mengenai sengketa atau pengungkapan informasi dalam proses ajudikasi.

Arbitrase dapat lebih cepat dan murah dalam menyelesaikan sengketa dibandingkan melalui pengadilan. Tetapi arbitrase tidak selalu lebih murah dan cepat terutama dalam sengketa internasional. Dengan adanya pemilihan hakim oleh para pihak, para pihak yang bersengketa tidak perlu lama menunggu pemeriksaan seperti pemeriksaan oleh pengadilan.

Proses melalui arbitrase cenderung lebih informal dibandingkan dengan proses pengadilan. Hal ini dapat dilihat dimana prosedurnya tidak begitu kaku dan lebih dapat menyesuaikan disbanding dengan aturan pada hukum acara perdata yang dilakukan dalam proses pengadilan. Arbitrase jarang mengalami penundaan dan prosedurnya lebih sederhana. Arbitrase juga mengurangi biaya-biaya yang berhubungan dengan proses pengadilan ( Garry Goodpaster, 1995:8 ).

b) Proses Konsensus (1) Ombudsman

Ombudsman adalah sebutan suatu badan atau institusi yang tugasnya menginvestigasi keberatan dan mencegah terjadinya sengketa para pihak atau memfasilitasi pemecahan masalahnya. ( Suyud Margono, 2004:27 ). Metode yang digunakan dalam ombusnman adalah investigasi, publikasi, dan rekomendasi.

Institusi model ombudsman ini adalah pihak yang independen. Hasil kerja dan penelitiannya hanya berupa rekomendasi terhadap putusan yang akan diambil dan tidak mengikat pihak-pihak yang bersengketa.

(4)

(2) Pencari Fakta Bersifat Netral ( Neutral Fact Finding )

Pencari fakta yang bersifat netral adalah pihak netral yang dipilih untuk mencari fakta. Hal itu dapat membantu proses negosiasi, mediasi, dan ajudikasi ( Riskin dan Westbrook, 1987:250 ). Dalam beberapa perkara, para pihak tidak bersengketa mengenai hukum atau penerapannya pada fakta-fakta. Para pihak bersengketa mengenai objektifitas fakta-fakta. Hal ini biasanya terjadi pada persoalan-persoalan yang kompleks.

Untuk menghindari perselisihan dari saksi-saksi ahli yang dihadirkan masing-masing pihak yang bersengketa, maka pengadilan dapat menunjuk saksi ahli yang netral untuk menyelidiki persoalan-persoalan yang ditetapkan dan melaporkan penemuan-penemuannya. Dengan penemuan ini, pihak ketiga dapat memperoleh fakta-fakta objektif dan perundingan dilanjutkan. Apabila para pihak tidak mencapai kata sepakat, hakim dapat menggunakan penemuan tersebut untuk membantu penyelesaiannya.

(3) Negosiasi

Negosiasi adalah proses konsensus yang digunakan para pihak untuk memperoleh kesepakatan antara para pihak yang bersengketa. Negosiasi menurut Fisher dan Ury seperti dikutip Suyud Margono adalah komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memilik berbagai kepentingan yang sama maupun berbeda ( Suyud Margono, 2004:28 ). Negosiasi dengan kata lain adalah sarana bagi para pihak yang bersengketa untuk mendiskusikan penyelesaian sengketa para pihak tanpa melibatkan pihak ketiga.

Negosiasi biasanya dipergunakan dalam sengketa yang belum terlalu rumit. Para pihak yang bersengketa masih beritikad baik untuk berdiskusi dan menyelesaikan masalah. Negosiasi dilakukan apabila antara kedua belah pihak yang bersengketa

(5)

masih terjalin komunikasi yang baik. Adanya komunikasi yang baik menandakan bahwa kedua belah pihak yang bersengketa masih memiliki rasa percaya satu sama lain dan adanya keinginan untuk melanjutkan kesepakatan serta berhubungan baik.

(4) Mediasi

“Mediation is an informal process in which a neutral third party helps other resolve a dispute plan a transaction but dose not ( and ordinarily does not have the power to ) impose a solutio” ( Riskin and Westbrook, 1987:4 ). Terjemahan bebas oleh penulis adalah, mediasi adalah proses negosiasi dimana pihak ketiga yang netral( mediator ) bekerjasama dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mencapai kesepakatan perjanjian tetapi tidak memiliki kekuasaan untuk menyelesaikan sengketa. Perbedaanya dengan hakim atau arbiter dengan mediator adalah mediator tidak berwenang memutuskan sengketa. Mediator hanya memiliki fungsi untuk membantu menyelesaikan persoalan para pihak yang dikuasakan kepadanya.

Mediator berfungsi apabila, salah satu pihak lebih kuat dan tidak seimbang dibanding pihak lain, maka mediator memiliki peranan pentng untuk menyetarakannya. Tujuan mediasi adalah untuk berhasil mencapai pengertian dan bersama-sama merumuskan penyelesaian sengketa antara kedua belah pihak. (5) Konsiliasi

Konsiliasi adalah penyelesaian sengketa dimana apabila para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan maka, pihak keriga mengajukan usulan jalan keluar. Pada dasarnya, proses konsiliasi hampir sama dengan mediasi. Konsiliasi mengacu pada proses penyelesaian sengketa secara konsensus antarpihak, dimana pihak netral dapat berperan aktif ataupun pasif. Perbedaanya dengan mediasi adalah pihak ketiga dapat berperan aktif, selain itu, usulan pihak ketiga harus disetujui oleh pihak-pihak yang bersengketa dan

(6)

dijadikan sebagai kesepakatan penyelesaian sengketa ( M.Husni, 2008:12 ).

c) Proses Ajudikasi Semu (1) Mediasi-Arbitrase

Mediasi-Arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa campuran yang dilakukan setelah proses mediasi tidak berhasil. Jadi, apabila dalam proses mediasi tidak diketemukan kesepakatan antara kedua belah pihak maka, dapat melnjutkan prses penyelsaian sengketa melalui arbitrase. Dapat dikatakan juga proses ini merupakan kombinasi dari proses mediasi dan arbitrase. Para pihak harus berusaha untuk mencapai penyelesaian sengketa melalui mediasi, namun apabila tidak mungkin diperoleh penyelesaian maka dapat digunakan proses arbitrase dalam jangka waktu terntentu yang ditetapkan ( Sudargo Gautama, 1996:96 ). (2) Pemeriksaan Juri Secara Sumir

Model pemeriksaan ini merupakan adaptasi dari beberapa konsep persidangan mini. Dalam pemeriksaan juri secara sumir, pengacara membuat suatu prestasi ringkas tentang perkara mereka di hadapan juri penasehat, bukan juri ajudkasi. Juri memberikan pertimbangan atas informasi-informasi yang dipresentasikan pengacara. Para pihak mempertahankan hak pemeriksaan mereka. Apabila mereka tidak memperoleh penyelesaian, mereka dapat menyidangkan perkaranya.

Pemeriksaan juri secara sumir merupakan suatu sarana yang dimaksudkan untuk menghemat waktu pengadilan dan sumber daya. Proses ini mirip dengan proses litigasi penuh karena para pihak harus mempersiapkan perkara mereka secara utuh seolah-olah mereka akan menyidangkannya ( Suyud Margono, 2004:31 )

(7)

Pemeriksaan mini adalah sama dengan pemeriksaan juri secara sumir, hanya saja tanpa adanya juri penasihat ( advisory jury ). Dalam proses ini, pengacara membuat suatu presentasi ringkas mengenai perkara pihak masing-masing di hadapan suatu panel yang terdiri dari wakil masing-masing pihak yang dikuasakan untuk merundingkan dan menyelesaikan perkara tersebut.

Para pihak yang memanfaatkan prosedur-prosedur pemeriksaan juri biasanya telah memulai dengan proses litigasi, maka pemeriksaan mini lebih fleksibel. Pihak yang berperkara yang menghadapi pemeriksaan dapat memanfaatkannya, namun hal tersebut juga memungkinkan bagi para pihak untuk menggunakan proses pemeriksaan mini sekalipun mereka belum secara formal mendaftarkan perkaranya di pengadilan. Pemeriksaan mini memiliki manfaat lebih jauh karena secara langsung melibatkan para pihak dalam penilaian materi/pokok perkara-perkara mereka melalui informasi yang diberikan dalam presentasi ringkas. Alasan memilih pemeriksaan mini adalah karena lebih cepat prosesnya dibanding pemeriksaan biasa dan lebih murah ( Agnes M.Toar, 1995:10 )

(4) Evalusi Netral Secara Dini

Prosedur evaluasi secara dini merupakan upaya lain untuk mendorong penyelesaian perkara secara damai. Berdasarkan prosedur ini, setelah suatu pihak mendaftarkan perkaranya, pengadilan segera menunjuk seorang pengacara yang netral dan berpengalaman dalam menilai materi atau pokok perkara ( on the merits ). Tujuan evaluasi netral secara dini adalah untuk memberikan para pihak yang berperkara suatu pandangan yang objektif mengenai perkara masing-masing. ( Garry Goodpaster, 1995:10 )

Perbedaannya dengan pemeriksaan juri secara sumir dengan persidangan mini adalah evaluasi netral secara dini terjadi

(8)

pada awal proses litigasi sebelum para pihak mengembangkan atau menunda perkara-perkara mereka karena banyak mengeluarkan biaya. Prosedur ini dapat menghasilkan keputusan yang baik, cepat, dan tidak mahal apabila keahlian dan reputasi evaluatornya serta rancangan penyelesaiannya baik.

2) Tinjauan Umum tentang Arbitrase

a) Sumber Hukum dan Pengertian Arbitrase (1) Sumber Hukum

Tata Hukum Indonesia memiliki aturan mengenai arbitrase. Landasan hukumnya dari Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBG, yang menyatakan :“Jika orang Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa.”

Pasal 377 HIR dalam buku M.Yahya Harahap menegaskan sebagai berikut : ( M.Yahya Harahap, 1991:22 )

(a) Pihak-pihak yang bersangkutan diperbolehkan menyelesaikan sengketa melalui juru pisah atau arbitrase

(b) Arbitrase diberi fungsi dan kewenangan untuk menyelesaikan dalm benruk keputusan

(c) Untuk itu, baik para pihak maupun arbiter wajib tunduk menuruti peraturan hukum acara yang berlaku bagi bangsa atau golongan Eropa.

Aturan dalam HIR ini tidak memuat lebih lanjut tentang arbitrase. Oleh karena itu, untuk mengisi kekosongan hukum tentang arbitrase Pasal 377 HIR dan Pasal 705 RBG menunjuk pada pasal yang terdapat dalam Reglement Hukum Acara Perdata ( Reglement op de Bergerlijk Rechtsvordering, disingkat Rv, S1847-52 jo 1849-63 ). Sebagai pedoman umum aturan arbitrase yang

(9)

diatur dalam Reglemen Acara Perdata meliputi lima bagian pokok yaitu :

(a) Bagian Pertama (615-623): persetujuan arbitrase dan pengangkatan arbiter

(b) Bagian Kedua (624-630): pemeriksaan dimuka badan arbitrase

(c) Bagian Ketiga (631-640): putusan arbitrase

(d) Bagian Keempat (640-647): upaya-upaya terhadap putusan arbitrase.

(e) Bagian Kelima (647-651): berakhirnya acara-acara arbitrase

Seiringnya berjalannya waktu penggunaan Pasal 615 sampai Pasal 651 Rv sebagai pedoman arbitrase sudah tidak memadai lagi dengan kondisi ketentuan dagang yang bersifat internasional. Pembaharuan pengaturan mengenai arbitrase sudah merupakan sesuatu yang dianngap perlu perubahan secara substansif mengenai pengaturan arbitrase. Oleh karena itu, pada tanggal 12 Agustus 1999 telah disahkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-Undang ini merupakan perubahan atas pengaturan mengenai arbitrase yang sudah tidak memadai lagi dengan tuntuaan jaman. Dengan adanya Ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 ini maka Pasal 615-651 Rv, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 RBG sudah tidak berlaku lagi di Indonesia ( Gunawan Widjaya dan Michael Adrian, 2008:2 )

(2) Pengertian Arbitrase

Arbitrase berasal dari bahasa latin yaitu arbitare, yang memiliki arti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Terdapat banyak pengertian mengenai arbitrase oleh para ahli hukum. R.Subekti menyatakan arbitrase sebagai “Penyelesaian masalah atau pemutusan sengketa oleh seorang

(10)

arbiter atau para arbiter yang berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk kepada atau menaati keputusan yang diberikan oleh arbiter atau para arbiter yang mereka pilih atau tunjuk.” ( R.Subekti, 1987:1 )

Menurut Priyatna Abdurrasyid, arbitrase diartikan sebagai, “Suatu tindakan hukum dimana ada pihak yang menyerahkan sengketa atau selisih pendapat antara dua orang atau lebih kepada seseorang atau beberapa ahli yang disepakati bersama dengan tujuan memperoleh suatu keputusan final dan mengikat.” ( Priyatna Abdurrasyid, 2002: 55-56 )

Menurut Black Law Dictionary sebagaimana dikutip dalam jurnal “Seputar Arbitrase Institusional dan Arbitrase Ad-Hoc” arbitrase adalah :

Arbitration. The referenceof a dispute to an impartial

(third) person

chosen by the partiesto the disputewho agreein advanceto abide by the arbitrator's award issuedafter hearing at which both parties have an opportunity to be heard. An arrangement for taking and abiding by the judgment tof selected persons in somedisputedmetter,insteadof carrying it to established tribunalsofjustice,and its intendedto avoidthe formalities, thedelay,theexpense andvexationof ordinarylitigation. ( H.Jafar Sidik, 2002:2 )

Berdasarkan pengertian-pengertian yang dikemukakan diatas dapat ditarik suatu benang merah bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan oleh arbitrator.

Pengertian arbitrase menurut Pasal 1 angka 1 dan 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrasedan Alternatif Penyelesaian Sengketaadalah bahwa :"Arbitrase adalah

(11)

cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa." Angka 3, "Perjanjian Arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa"

b) Jenis-jenis Arbitrase

Terdapat dua macam arbitrase, yaitu arbitrase ad-hoc dan arbitrase institusional. Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 baik arbitrase ad-hoc maupun arbitrase institusional dapat digunakan.

(1) Arbitrase Ad-Hoc

Arbitrase Ad-Hoc disebut juga sebagai arbitrase volunter. Ketentuan dalam Reglement Rechtvordering (Rv) mengenal adanya Arbitrase ad-hoc. Menurut Pasal 615 ayat (1) Rv Arbitrase ad-hoc adalah Arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu, atau dengan kata lain Arbitrase ad-hoc bersifat insidentil.

Arbitrase ad-hoc bersifat sekali pakai (eenmalig). Maksud dari sekali pakai adalah setelah para Wasit atau Arbiter menjalankan tugasnya, maka Arbiter atau Majelis Arbiter yang memeriksa sengketa itu bubar. Para Arbiter dari Arbitrase ad-hoc dipilih sendiri oleh para pihak yang bersengketa dan para Arbiter menyelesaikan sengketa itu berdasarkan peraturan prosedur yang ditetapkan sendiri oleh para pihak.

Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyebutkan : “dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai

(12)

pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter, Ketua Pengadilan Negeri menunjuk arbiter atau majelis arbitrase.” Ayat (2) menyebutkan bahwa : “dalam suatu arbitrase ad-hoc bagi setiap ketidaksepakatan dalam penunjukan seorang atau beberapa arbiter, para pihak dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri.”

Guna mengetahui dan menentukan Arbitrase jenis ad-hoc atau Institusional yang disepakati para pihak, dapat dilihat melalui rumusan Klausula Arbitrase dalam akta perjanjian yang dibuat sebelum terjadi sengketa pactum de compromittendo atau pactum de contrahendo atau akta perjanjian yang dibuat setelah terjadinya sengketa acta van compromis,yang menyatakan bahwa perselisihan akan diselesaikan oleh Arbitrase ( Sudargo Gautama, 1999:30 ).

Ciri pokok Arbitrase ad-hoc adalah penunjukkan para arbiternya secara perorangan oleh masing-masing pihak yang bersengketa. Meskipun demikian, diantara salah satu dari tiga arbiter harus ada arbiter yang netral yang tidak ditunjuk oleh para pihak. Pada prinsipnya Arbiter ad-hoc tidak terikat atau terkait dengan salah satu lembaga atau Badan Arbitrase. Jenis arbitrase ini tidak memiliki aturan atau cara tersendiri mengenai tata cara pemeriksaan sengketa seperti halnya Arbirase Institusional. Akan tetapi, dalam melaksanakan acaranya sedapat mungkin mengacu kepada undang-undang yang berlaku

Arbitrase ad-hoc seringkali menemui kesulitan dalam prakteknya. Kesulitan pertama adalah sukar untuk mengangkat arbiter, mengingat para pihak seringkali tidak menyetujui arbiter secara bersama. Kesulitan kedua adalah

(13)

adanya kurang paham dari para pihak pada waktu merumuskan klausula arbitrase.( H.Jafar Sidik. 2002:29 ). (2) Arbitrase Institusional

Arbitrase institusional merupakan suatu badan arbitrase permanen yang telah mempunyai peraturan prosedur tersendiri untuk menyelesaikan setiap sengketa yang diperiksanya. Arbitrase institusional sengaja didirikan untuk menangani sengketa yang mungkin timbul bagi mereka yang menghendaki penyelesaian di luar pengadilan. Arbitrase institusional merupakan satu wadah yang sengaja didirikan untuk menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian.

Suyud Sugono mengatakan bahwa Arbitrase Institusional merupakan lembaga atau badan arbitrase yang bersifat permanen, sehingga disebut Permanent Arbital Body. Arbitrase institusional bersifat permanen, ia tetap ada meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai diputus. Sedangkan Arbitrase ad-hoc bersifat insidentil, ia akan berakhir keberadaannya setelah sengketa yang ditangani selesai diputus. Selain itu, dalam pendirian Arbitrase institusional sebagai lembaga atau badan yang bersifat permanen, didalamnya terdapat susunan organisasi serta ketentuan-ketentuan tentang tata cara pengangkatan arbiter dan tata cara pemeriksaan persengketaan secara baku yang mengacu pada undang-undang yang berlaku.( Suyud Margono, 2004:124 )

Menurut Gunawan Widjaya faktor kesengajaan dan permanen ini merupakan ciri pembeda dengan Arbitrase ad-hoc. Selain itu Arbitrase institusional ini sudah ada sebelum sengketa timbul yang berbeda dengan Arbitrase ad-hoc yang baru dibentuk setelah perselisihan timbul.

(14)

Selain itu, Arbitrase institusional ini berdiri untuk selamanya dan tidak bubar meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai.( Gunawan Widjaya, 2002:107 )

Arbitrase institusional ini dibagi menjadi 2 sifat yaitu arbitrase institusional yang bersifat nasional dan arbitrase institusional yang bersifat internasional. Arbitrase institusional yang bersifat nasional memiliki ruang lingkup keberadaan dan yurisdiksi meliputi kawasan Negara yang bersangkutan. Contohnya, Badan Arbitrase Nasional Indonesia ( selanjutnya disebut BANI ). Ruang lingkup keberadaan dan yurisdiksi BANI hanya meliputi wilayah Indonesia. Meskipun BANI bersifat nasional, bukan berarti lembaga ini hanya mampu menyelesaikan sengketa-sengketa yang berkadar nasional. Apabila para pihak meminta dan menyepakati untuk menyelesaikan sengketa dengan lembaga BANI, bukan tidak mungkin BANI dapat menyelesaikan sengketa berkadar internasional.

Disamping arbitrase institusional yang bersifat nasional, terdapat arbitrase institusional yang bersifat internasional. Badan-badan arbitrase internasional yang sudah ada dan sudah lama didirikan antara lain, Court of Arbitration of The International Chamber of Commerce (ICC), dan The International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) ( Munir Fuady, 2000:62 ) c) Putusan Arbitrase

Pasal 631 Rv meletakkan suatu asas bahwa putusan arbitrase harus berdasarkan peraturan-peraturan hukum yang berlaku dalam bidang yang disengketakan. Dalam himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia sebagaimana dikutip M.Yahya Harahap, pasal tersebut menyebutkan bahwa para wasit menjatuhkan

(15)

keputusan menurut aturan-aturan perundang-undangan kecuali, jika menurut kompromi, mereka diberi wewenang untuk memutus sebagai manusia-manusia baik berdasar keadilan.( M.Yahya Harahap, 1989:670 )

Mahkamah arbitrase dapat menjatuhkan putusan berdasarkan putusan ex aquo et bono, yang lazim juga disebut compositeur. Putusan ini dijatuhkan menurut keadilan atau according to the jurisdiction. Dalam istilah Hukum Belanda, hal ini disebut dengan memutus sengketa berdasar naar biljkheid. Cara demikian diperbolehkan apabila para pihak dalam perjanjian arbitrase memberi kuasa kepada mahkamah untuk memutuskan sengketa berdasarkan kebijakan atau keadilan. Tanpa adanya penegasan yang demikian, mahkamah tidak boleh memutus sengketa berdasarkan prinsip ex aruo et bono.

Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, para pihak berhak memohon pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian. Lembaga arbitrase dapat menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian dan memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut. Persoalan tersbut misalnya, penafsiran ketetntuan yang kurang jelas atau penambahan/pengurangan pada ketentuan yang berhubungan dengan munculnya keadaan yang baru. Pdemberian pendapat ini menyebabkan kedua belah pihak terikat padanya. Apabila, salah satu pihak melakukan tindakan yang bertentangan dengan pendapat tersebut, dapat dianggap sebagai pelanggaran perjanjian.

(16)

d) Pelaksanaan Putusan Arbitrase

Pelaksanaan arbitrase diatur pada Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Pasal 53 menyatakan bahwa:

Pelaksanaan putusan dilakukan dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal putusan ditetapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera pengadilan negeri dan oleh panotera diberikan catatan yang merupakan akta pendaftaran.

Ketua pengadilan negeri dalam memberikan perintah pelaksanaan harus perlu memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase telah memenuhi kriteria sebagai berikut ( Hendy Timex, 2003:80 ).

(a) Para pihak menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase. (b) Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa

melalui arbitrase dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani para pihak

(c) Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan

(d) Sengketa lain yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah yang tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum

Selanjutnya, untuk pelaksanaan putusan arbitrase internasional dimulai sejak bergabungnya Indonesia dalam Konvensi New York 1958 pada tahun 1981. Meskipun begitu, masih terjadi kekosongan hukum mengenai tata cara pelaksanaan putusan arbitrase asing. Mahkamah Agung

(17)

bersikukuh bahwa putusan arbitrase asing tidak bisa dilaksanakan berdasarkan asas Hukum Indonesia. Asas ini adalah asas kedaulatan territorial. Meskipun begitu, terdapat kasus dimana pengadilan negeri melaksanakan eksekusi terhadap putusan arbitrase asing. Hal ini membuat Mahkamah Agung mengeluarkan Perma Nomor 1 Tahun 1990. Perma ini mengisi kekosongan hukum mengenai tata cara pelaksanaan putusan arbitrase asing.( Mutiara Hikmah, 2013:85-86 )

e) Pembatalan Putusan Arbitrase

Permintaan pembatalan putusan arbitrase yang pertama diatur oleh Rv dalam pasal 643. Beberapa yang dibahas berhubungan dengan pembatalan arbitrase. Salah satunya syarat formal permohonan pembatalan antara lain sebagai berikut :

(a) Putusan tidak dapat dimintakan banding, dengan kata lain upaya banding mematikan upaya pembatalan. Apabila putusan telah disbanding maka tidak dapat dilawan dengan upaya pembatalan.

(b) Tenggang waktu permohonan pembatalan diajukan dalam jangka waktu 6 bulan sejak putusan diberitahukan kepada para pihak.

(c) Dalam pasal 645 Rv, tuntutan atau perlawanan baru terbuka setelah ada perintah eksekusi dari ketua pengadilan negeri.

Selanjutnya alasan pembatalan diatur secara limitatif pada 643 Rv sebagai alasan atau dasar untuk mengajukan permohonan pembatalan arbitrase. Alasan yang dapat diacu adalah sebagai berikut : ( Hendy Timex, 2003:83-84 )

(18)

(a) Putusan melampaui batas-batas persetujuan (b) Putusan berdasarkan putusan yang batal atau

telah lewat waktu

(c) Putusan telah diambil oleh anggota arbiter yang tidak berwenang atau tidak dihadiri anggota arbiter lain, atau diambil oleh arbiter minoritas (d) Putusan mengabulkan atau memutus hal-hal

yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut ( ultra petita )

(e) Putusan mengandung hal yang saling bertentangan antara pertimbangan yang satu dengan yang lain

(f) Mahkamah atau majelis lalai untuk memutus tentang satu atau beberapa bagian dari persetujuan padahal telah diajukan untuk diputus

(g) Majelis melanggar tata cara menurut hukum yang pelanggarannya diancam dengan batalnya putusan termasuk pelanggaran atas tata cara yang disepakati para pihak dalam persetujuan maupun tata cara hukum acara

(h) Putusan yang dijatuhkan berdasarkan surat-surat palsu yang kepalsuannya diakui atau dinyatakan palsu sesudah putusan dijatuhkan

(i) Apabila setelah putusan dijatuhkan ditemukan surat-surat penting yang menentukan dan selama proses pemeriksaan disembunyikan para pihak (j) Putusan didasarkan pada kekurangan atau itikad

buruk dan hal baru diketahui setelah putusan dijatuhkan.

(19)

Dari alasan-alasan yang diungkapkan diatas hanya 3 alasan yang dipertahankan setelah dicabutnya 643 Rv dan diganti Undang –Undang Nomor 30 Tahun 1999. Alasan yang dipertahankan adalah pada nomor 8,9, dan 10. Alasan pembatalan putusan arbitrase tersebut diatur pada Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Sedangkan, alasan yang dikemukakan pada poin 1,4,5, dan 6 tercantum dalam penjelasan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 sebagai alasan mengajukan keberatan kepada arbiter atau majelis arbitrase terhadap putusan yang diajukan ( Joni Emirzon, 2001:115 ).

Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa alasan mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase terbatas pada :

(a) Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu

(b) Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan

(c) Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Selanjutnya pada penjelasan Pasal 70 menyatakan bahwa pembatalan dapat diajukan pada putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Hal ini diatur pada Pasal 71 yang berbunyi : “Permohonan pembatalan putusan harus diajukan arbitrase dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri.”

(20)

Selanjutnya untuk prosedur pengajuan permohonan pembatalan diatur pada Pasal 72 yang menyatakan bahwa :

(a) Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri (b) Apabila permohonan sebagaimana ayat (1)

dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase (c) Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan

oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan sebagaimana ayat (1) diterima (d) Terhadap Putusan Pengadilan Negeri dapat

diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus pada tingkat pertama dan terakhir

(e) Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.

Menurut Munir Fuady, berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 permohonan pembatalan terhadap suatu putusan arbitrase diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. hal ini menjadi permasalahan, karenakesulitan untuk menentukan pengadilan negeri mana yang kompeten untuk itu. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak memberikan penjelasan tentang pengadilan negeri yang berkompeten menyelesaikan

(21)

masalah pembatalan putusan arbitrase ( Munir Fuady, 2003:111).

Konsekuensi hukum berdasarkan penjeleasan Pasal 72 ayat (2) adalah :

Ketua Pengadilan Negeri diberi wewenang untuk memeriksa tuntutan pembatalan jika diminta oleh para pihak, dan mengatur akibat dari pembatalan seluruhnya atau sebagian dari putusan arbitrase yang bersangkutan. Ketua Pengadilan Negeri dapat memutuskan bahwa setelah diucapkan pembatalan, arbiter yang sama atau arbiter lain akan memeriksa kembali sengketa bersangkutan atau menentukan bahwa suatu sengketa tidak mugkin diselesaikan lagi melalui arbitrase.

(22)

B. Kerangka Pemikiran PT. Sea World PT. PJA Sengketa perjanjian BOT (Built Operate and

Transfer)

Opsi perpanjangan oleh PT. Sea World

Klausula arbitrase Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 BANI ( Badan Arbitrase Nasional) Putusan arbitrase ditolak diterima PN. Jakarta Utara Putusan No: 305/PDT.g/ BANI/2014/ PN.Jkt.Utr Pertimbangan hakim Akibat hukum

(23)

Keterangan :

Dalam sengketa perjanjian Built Operate and Transfer antara PT. Sea World Indonesia dan PT. Pembangunan Jaya Ancol, para pihak menempuh penyelesaian sengketa tersebut melalui arbitrase. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut sudah disepakati oeh para pihak melalui klausula arbitrase.

Ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, mengenai syarat arbitrase disebutkan bahwa : “Dalam Hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak”. Dalam hal sengketa perjanjian BOT para pihak menyepakati untuk menyelesaikan sengketa melalui BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia).

Majelis Arbiter yang dipilih langsung oleh kedua belah pihak dan BANI sebagai lembaga yang dipercaya untuk menyelesaikan sengketa ini memiliki kewajiban untuk mengeluarkan sebuah putusan sebagai wujud akhir dari proses berperkara. Sesuai Pasal 72 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, PT. Sea World Indonesia yang merasa dirugikan oleh putusan dari Majelis Arbiter dirasa tidak netral, berpihak, tidak berdasarkan ketentuan hukum atau berdasarkan keadilan dan kepatutan mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase kepada ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 secara rinci telah menyebutkan tentang pembatalan putusan arbitrase dan alasan pembatalan putusan arbitrase. Dalam mempelajari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 diharapkan akan menghasilkan pengetahuan mengenai pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara dalam mengabulkan permohonan pembatalan putusan arbitrase dan akibat hukum dari dibatalkannya putusan arbitrase tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam rangka untuk menjamin tingkat keamanan/keselamatan masyarakat dan lingkungan sekitar fasilitas nuklir dari aspek radiologis pasca terjadinya gempa, telah dilakukan

Spiral & double-loop wire binding ( Jilid ring spiral Kawat) Jilid spiral ini tersedia dengan bergai jenis ukuran dari yang kecil sampai besar tergantung ketebalan kertas

setiap cabang oiahraga yang bentuknya seperti karpet yang dapat dicopot dan dipasang dengan mudah.Agar sesuai dengan penekanan performa teknologi tinggi pada bangunan gedung

(3) terlaksananya pembelajaran dalam bentuk real-life experience berupa pe- ngalaman wirausaha, karena teori saja tidak cukup untuk membangun se- orang real

[r]

Saya telah menerima dan mengerti penjelasan tentang penelitian “Karakteristik tempat perkembangbiakan larva nyamuk pada rumah penduduk di Kecamatan Tanjung Tiram,

Program Studi Diploma Teknik Informatika Fakultas Teknologi Informasi. Universitas Kristen Satya

tailing pasir untuk budidaya pakchoy, pengaruh amelioran pupuk organik dan pupuk NPK terhadap pertumbuhan dan produksi pakchoy di lahan tailing pasir bekas