PERPUSTAKAAN NASIONAL: KATALOG DALAM TERBITAN Peranan Farmasi Dalam Pembangunan Kesehatan-Seminar Proceeding – editor, M. Pandapotan Nst, dkk. – Medan : Fakultas Farmasi USU, 2012
ISBN 978-602-8892-72-8 Termasuk bibliografi
1. Peranan Farmasi I. Kesehatan
© Hak Cipta dilindungi berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotocopy tanpa izin dari penerbit
Cetakan pertama, September 2012
M. Pandapotan Nst.
PERANAN FARMASI DALAM PEMBANGUNAN KESEHATAN: SEMINAR PROCEEDING
Hak penerbitan pada Fakultas Farmasi USU.
Editor dan Penerbit tidak bertanggung jawab atas substansi tulisan.
Penyunting : Lia Laila
DAFTAR ISI
KATA SAMBUTAN KETUA PANITIA... 3
KATA SAMBUTAN DEKAN FAKULTAS FARMASI USU ... 4
KATA SAMBUTAN REKTOR ... 6
KATA PENGANTAR EDITOR... 9
DAFTAR ISI... 10
KUMPULAN MAKALAH LENGKAP KATEGORI BIOLOGI FARMASI... 14
KARAKTERISASI SIMPLISIA DAN SKRINING... 15
KARAKTERISASI SIMPLISIA DAN ISOLASI SERTA... 24
KANDUNGAN ASIATIKOSIDA DAN UJI FITOKIMIA ... 33
ISOLASI SENYAWA FLAVONOIDA DARI ... 45
Pemisahan Senyawa Flavonoid dari Ekstrak Etlasetat dengan KKt Preparatif ... 49
UJI POTENSI ANTITUBERKULOSIS EKSTRAK ETANOL ... 52
UJI SITOTOKSIK FRAKSI EKSTRAK ETANOL KUDA LAUT ... 63
AKTIVITAS SITOTOKSIK BEBERAPA ISOLAT... 71
SKRINING FITOKIMIA DAN UJI KEMAMPUAN SEBAGAI... 79
TANGGAP PERTUMBUHAN KEDELAI PADA ... 91
ANALISIS KOMPONEN KIMIA MINYAK ATSIRI ... 100
STUDI PERBANDINGAN AKTIVITAS ANTIBAKTERI ... 108
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI AGAR ... 120
POTENSI EKSTRAK ETILASETAT DAN EKSTRAK ETANOL... 129
UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DARI ... 120
POTENSI ANTIBAKTERI AIR REBUSAN SERBUK, EKSTRAK... 126
PRODUKSI BIOMASSA SECARA IN VITRO PADA ... 135
ISOLASI DAN KARAKTERISASI NATRIUM ALGINAT DARI... 145
UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK ETANOL... 154
KUMPULAN MAKALAH LENGKAP KATEGORI FARMAKOLOGI FARMASI ... 161
EFEK JUS WORTEL (Daucus carota L.) UNTUK MENURUNKAN KADAR KOLESTEROL TOTAL PADA MARMUT (Cavia cobaya) ... 162
EFEK SITOTOKSIK EKSTRAK ETANOL KULIT BATANG TANJUNG (Mimusopsi cortex) TERHADAP SEL T47D ... 168
PEMAKAIAN NSAIDS PADA SEBUAH APOTEK DI MEDAN, INDONESIA: MASALAH TERAPI OBAT ... 174
PENGETAHUAN HIPERTENSI PADA MAHASIWA FARMASI YANG MENGIKUTI
PHARMACY UPDATE 5 ... 182 MASALAH TERKAIT PENGGUNAAN OBAT (MTPO) DITINJAU DARI SEGI
INTERAKSI OBAT: SEBUAH STUDI KASUS PADA PENDERITA DIABETES
MELITUS TIPE 2 (DM TIPE 2) DENGAN PENYULIT HIPERTENSI ... 188 PROFIL KINERJA PRAKTIK FARMASI KOMUNITAS/APOTEK ... 209 EFEK EKSTRAK RIMPANG TEMULAWAK (CURCUMA XANTHORRHIZA ROXB.)
TERHADAP PENURUNAN KONTRAKSI OTOT POLOS ILEUM TIKUS
(RATTUS NOVERGICUS) JANTAN TERISOLASI SECARA IN VITRO ... 219 SKRINING FITOKIMIA DAN UJI AKTIFITAS SALEP EKSTRAK ETANOL DAUN
JARAK TINTIR(Jatropha multifida L. )SEBAGAI OBAT LUKA BUATAN YANG
DIINFEKSI PADA KULIT MARMUT JANTAN (Cavia cobaya)... 227 EFEK PENYEMBUHAN LUKA PADA MARMUT DARI MEMBRAN
ALGINAT-KITOSAN DAN KALSIUM ALGINAT ALGINAT-KITOSAN... 235 UJI SITOTOKSIK EKSTRAK ETANOL DAUN SIRSAK (Annona muricata L.)
TERHADAP SEL T47D... 28 PENGARUH EKSTRAK ETANOL R IMP ANG TEMU M ANGGA ... 30 UJI EFEK EKSTRAK ETANOL DAUN SIRIH MERAH ... 29 EFEK EKSTRAK ETANOL MAJAKANI (Quercus infectoria G. Olivier) TERHADAP
RESPON IMUN SELULER MENCIT... xxx UJI AKTIVITAS ANTIDIABETES EKSTRAK ETANOL DAUN AFRIKA (Vernonia
amygdalina Del.) TERHADAP TIKUS JANTAN GALUR WISTAR... v UJI EFEK EKSTRAK ETANOL BIJI JENGKOL (Pithecellobium lobatum Benth.)
TERHADAP PENURUNAN KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS PUTIH
JANTAN GALUR WISTAR YANG DIINDUKSI ALOKSAN... 6 UJI ANTIDIARE EKSTRAK ETANOL MAJAKANI PUTIH (Quercus infectoria G.
Olivier) DENGAN METODE TRANSIT INTESTINAL PADA TIKUS ... iv PENGUJIAN EFEK ANTIDIARE ... 7 UJI EFEK HIPOGLIKEMIK NATRIUM ALGINAT DARI RUMPUT LAUT Sargassum
ilicifolium (Turner) C.Agardh TERHADAP TIKUS PUTIH JANTAN GALUR
WISTAR YANG DIINDUKSI ALOKSAN ... 13 EFEK PEMBERIAN MONOSODIUM GLUTAMAT ( MSG ) TERHADAP
TERBENTUKNYA MIKRONUKLEUS PADA SEL DARAH MERAH MENCIT ... 21 UJI AKTIVITAS ANTIMIELOSUPRESI EKSTRAK ETANOL RIMPANG TEMU
MANGGA (Curcuma mangga Valeton & v.Zijp.) PADA MENCIT JANTAN YANG
DIINDUKSI DENGAN SIKLOFOSFAMIDA ... 2
KUMPULAN MAKALAH LENGKAP KATEGORI KIMIA FARMASI ... 9
PENURUNAN RESIDU PESTISIDA PADA TOMAT DENGAN METODE
PENCUCIAN... 10 AKRILAMID DALAM MINYAK GORENG BEKAS ... 20 PENETAPAN KADAR PROTEIN DAN NON PROTEIN NITROGEN (NPN) PADA
PEMANFAATAN HEMISELULOSA TONGKOL JAGUNG SEBAGAI ... 42
ANALISIS KOMPOSISI ASAM LEMAK DAN IDENTIFIKASI POSISI ASAM LAURAT DALAM MINYAK KELAPA MURNI ... iv
PENETAPAN KADAR CEFADROXIL DALAM SEDIAAN KAPSUL DENGAN NAMA DAGANG DAN GENERIK SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI... 1
PENGARUH INTERESTERIFIKASI LEMAK SAPI... 3
PENETAPAN KADAR MERKURI, KROMIUM DAN TEMBAGA PADA KERANG DI PERAIRAN BELAWAN SECARA SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM ... 15
ANALISIS KANDUNGAN MINERAL KALIUM, NATRIUM, DAN MANGAN PADA CACING TANAH Peryonix sp SECARA SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM... 23
PENGEMBANGAN METODE PENETAPAN KADAR BAHAN PEMANIS, PENGAWET, DAN KAFEIN DALAM PRODUK MINUMAN RINGAN BERKARBONASI DENGAN KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI ... 32
SIFAT ANTIBAKTERI DARI HASIL HIDROLISIS MINYAK KELAPA MURNI TERHADAP BAKTERI PATOGEN DAN PROBIOTIK ... 47
PENETAPAN KADAR SEFADROKSIL DALAM SEDIAAN KAPSUL ... 57
IDENTIFIKASI ASAM LEMAK PALMITAT PADA ... 1
KAJIAN HARA TANAH (pH, C-organik, N dan P) PADA LAHAN KEBUN KELAPA SAWIT PT. PANGKATAN INDONESIA YANG DIAPLIKASIKAN LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA SAWIT ... 5
PENGEMBANGAN METODE KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI SPEKTROMETRI MASSA UNTUK PENETAPAN KADAR RIFAMPISIN, ISONIAZID DALAM SEDIAAN TABLET... 2
PENENTUAN GOLONGAN SENYAWA KIMIA YANG MEMBERIKAN EFEK ANTIDIABETES DARI EKSTRAK KELOPAK BUNGA ROSELA (Hibiscus sabdariffa L.) ... 2
PENENTUAN KADAR VITAMIN C PADA KERIPIK KENTANG TERHADAP LAMA PENYIMPANAN DAN KONDISI KEMASAN DENGAN METODE TITRASI IODOMETRI ... 18
KUMPULAN MAKALAH LENGKAP BIDANG TEKNOLOGI FARMASI ... 1
PENGGUNAAN EKSTRAK DAUN PANDAN WANGI (Pandanus amaryllifolius Roxb) SEBAGAI PEWARNA RAMBUT DALAM SEDIAAN KRIM... 2
FORMULASI BENTUK SEDIAAN SACHET NATA DE COCO YANG ... 2
PRAPERLAKUAN VITAMIN C TERHADAP ... 17
BIOAVAILABILITAS KLOMIPRAMIN ... 17
PENGGUNAAN SERBUK BIJI ALPUKAT (Persea gratissima Gaertn) DALAM FORMULA PEWARNA RAMBUT ... 26
UJI AKTIVITAS DAN DAN DAYA PELEMBAB ... 6
FORMULASI SEDIAAN LIPSTIK MENGGUNAKAN ... 5
FORMULASI ORALLY DISINTEGRATING TABLET (ODT) METOKLOPRAMIDA HCL METODE FREEZE DRYING ... iv
FORMULASI ORALY DISINTEGRATING TABLET (ODT) METOKLOPRAMIDA HCL MENGGUNAKAN KROSPOVIDON DAN AC-DI-SOL DENGAN METODE CETAK LANGSUNG ... 4
PENGGUNAAN HASIL MODIFIKASI FISIKA... 13
PENGARUH KONSENTRASI PATI DAN PH TERHADAP ... 21
PEMANFAATAN PATI JAGUNG HASIL ISOLASI ... 29
OPTIMASI FORMULA SEDIAAN TABLET HANCUR DI MULUT METOKLOPRAMID DENGAN EKSIPIEN SARI TAPE PADAT, CORN STARCH DAN AVICEL ... 35
PENGARUH PENAMBAHAN ASAM TARTRAT TERHADAP PENINGKATAN NILAI SPF (SUN PROTECTING FACTOR) SEDIAAN TABIR SURYA KOMBINASI OKSIBENZON DAN OKTILMETOKSISINAMAT... 53
B16
PRODUKSI BIOMASSA SECARA IN VITRO PADA
PEGAGAN (Centella asiatica) Noverita Sprinse Vinolina
Fakultas Pertanian Universitas Sisingamangaraja XII Medan
ABSTRAK
Penggunaan tumbuhan sebagai obat, berkaitan dengan kandungan kimia yang terdapat dalam tumbuhan tersebut terutama zat bioaktif. Tanpa adanya suatu senyawa bioaktif dalam tumbuhan secara umum tumbuhan itu tidak dapat digunakan sebagai obat. Senyawa bioaktif yang terdapat dalam pegagan merupakan senyawa metabolik sekunder centellosida dan lain-lain. Media terbaik untuk induksi kalus dari daun adalah: [MS + IAA (2 mg/L) + Kn (0,2 mg/L); MS + IBA (0,1 mg/L) + BA (2 mg/L) dan MS + NAA (2 mg/L) + BA (2 mg/L)]. Ketiga media digunakan untuk menginduksi kalus-kalus dari eksplan tangkai daun tetapi bahan ini terbukti kurang efektif untuk induksi eksplan dari daun. Pada media [MS + IAA (2 mg/L) + Kn (0,2 mg/L)], induksi kalus baik tetapi pertumbuhannya sedikit. Pada media [MS + IBA (0,1 mg/L) + BA (2 mg/L)] dan [MS + NAA (2 mg/L) + BA (2 mg/L)] diamati pembentukan kalus yang subur. Pada media dengan NAA, IAA dan IBA akan dihasilkan kalus-kalus yang keras dan kompak, yang tidak diinginkan. Sebaliknya, media yang mengandung 2,4-D (1 mg/L) dengan kombinasi Kn (0,1 mg/L) akan dihasilkan kalus-kalus yang remah, tapi pertumbuhan yang signifikan tidak diinduksi, dan ketika digunakan Kn 1 mg/L tidak ada induksi kalus. Centellosida yang terbanyak dalam kultur kalus adalah madekakosida dan asiatikosida. Jika pada media digabungkan NAA dan BA maka kandungan dari kedua centellosida ini sama. Kandungan dalam kalus kira-kira sepuluh kali lebih rendah daripada tanaman in vitro, kandungannya berkisar antara 1,3-2,5 mg/g berat kering setelah elisitasi. Kandungan asiatikosida pada tanaman in vitro dilaporkan sekitar 50% lebih rendah daripada tanaman yang tumbuh di lapangan.
Kata kunci: Produksi biomassa, in vitro, centellosida, pegagan PENDAHULUAN
Pegagan (Centella asiatica)
merupakan tanaman liar yang banyak tumbuh di perkebunan, ladang, tepi jalan, pematang sawah ataupun di ladang yang agak basah. Tanaman ini berasal dari daerah Asia tropik,
tersebar di Asia Tenggara, termasuk
Indonesia, India, Tiongkok, Jepang dan Australia kemudian menyebar ke berbagai negara-negara lain. Nama yang biasa dikenal untuk tanaman ini selain pegagan adalah daun kaki kuda dan antanan.
Pegagan (Centella asiaticaI (L)
Urban) telah lama dimanfaatkan sebagai obat tradisional baik dalam bentuk bahan segar, kering maupun yang sudah dalam bentuk ramuan (jamu). Di Australia telah dibuat obat dengan nama ―Gotu Kola‖ yang bermanfaat sebagai anti pikun dan juga sebagai anti stress. Di Indonesia pegagan telah banyak
dimanfaatkan sebagai obat untuk
penyembuhan penyakit HIV melalui
peningkatan ketahanan tubuh pasien. Secara
penyembuh luka, radang, reumatik, asma, wasir, tuberkulosis, lepra, disentri, demam dan penambah selera makan. Di Cina, pegagan bermanfaat untuk memperlancar sirkulasi darah, bahkan dianggap lebih bermanfaat dibandingkan dengan ginkgo biloba atau ginseng yang berasal dari Korea.
Senyawa bioaktif Centella asiatica adalah triterpenoid saponin dan sapogenin dengan kerangka ursane yaitu asiatikosida dan madekasosida yang sangat menarik, demikian juga asam madecassic dan asam asiatik.
Asiatikosida dapat mempercepat proses
penyembuhan luka dan berguna dalam
pengobatan kusta dan TBC, sementara
madekasosida memiliki sifat antiinflamatory dan secara signifikan mampu meningkatkan sekresi kolagen III. Pegagan berasa manis,
bersifat mendinginkan, memiliki fungsi
membersihkan darah, melancarkan peredaran darah, peluruh kencing (diuretika), penurun
panas (antipiretika), menghentikan
pendarahan (haermostatika), meningkatkan syaraf memori, anti bakteri, tonik, antispasma,
antiinflamasi, hipotensis, insektisida,
antialergi dan stimulan. Saponin yang ada menghambat produksi jaringan bekas luka yang berlebihan (menghambat terjadinya keloid).
Karena sifatnya sebagai obat, minat pada tanaman ini telah meningkat beberapa tahun belakangan dan termasuk dalam studi literatur yang menggambarkan produksi triterpenoid saponin pada berbagai bagian
tanaman pada berbagai tanaman dan juga dalam kultur suspensi. Dengan demikian pegagan merupakan tumbuhan yang sangat bermanfaat untuk kehidupan.
Bertitik tolak dari ini maka penulis tertarik dan ingin mengetahui produksi biomassa secara in vitro pada pegagan.
Penelitian Kultur Teknis Dan Efek Farmakologis Pegagan
Penelitian yang bertujuan untuk menghasilkan bahan pemuliaan yang akan dimanfaatkan untuk pembentukan varietas unggul, perlu dilakukan karakterisasi dan evaluasi pada kondisi Iingkungan yang sesuai,
dengan teknik budidaya yang mampu
mendukung munculnya nomor nomor aksesi dengan potensi genetik yang optimal.
1. Studi Keragaman Pegagan (Centella
asiatica L. (Urban.) Berdasarkan Karakter Morfologi dan Agronomi Melalui Percobaan Lapang
Hasil penelitian Studi Keragaman
Pegagan (Centella asiatica L (Urban.) Berdasarkan Karakter Morfologi dan Agronomi Melalui Percobaan Lapang menunjukkan bahwa jenis aksesi nyata
mempengaruhi semua peubah
pertumbuhan. Artinya aksesi yang ada
mempunyai Keragaman pertumbuhan
yang berbeda. Dari hasil analisa diperoleh
bahwa 8 aksesi memiliki kadar
asiatikosida di atas rata-rata, yaitu aksesi Bengkulu , Malaysia, Ciwidey, Smukren, Boyolali , Karanganyar, Cilember, dan
Smugrim (0,72; 0,80; 0,77; 0,67; 0,91; 0,68; 0,77 dan 0,81 %).
2. Studi Keragaman Pegagan (Centella
asiatica L. (Urban.) Melalui Pendekatan Molekuler
Hasil penelitian Studi Keragaman
Pegagan (Centella asiatica L. (Urban.)
melalui Pendekatan Molekuler
menunjukkan bahwa isolasi DNA untuk pegagan telah berhasil yang ditunjukkan
dari hasil elektroforesis. Untuk
mendapatkan DNA yang berkualitas sebaiknya ekstraksi diambil dari sampel daun muda, dan waktu pengambilannya sebelum matahari terbit. Dari 22 primer (10-mer) yang
digunakan untuk mengamplifikasi DNA bulk terdapat tujuh primer yang mampu menghasilkan produk amplifikasi, yaitu: OPE-15, OPE-19, OPE-20, OPH-05,OPH-19, OPM-l2 dan OPM-24.Dari 18 aksesi pegagan yang dianalisis berdasarkan penanda RAPD pada tingkat kesamaan 0,73 terdapat 6 kelompok, yaitu (1) Cibodas, Cianjur, Sumedang, Cicurug,
Bali, Karanganyar, Smugrim; (2)
Cilember, (3) Malaysia; (4) Majalengka,
Smukren, Boyalali; (5) Banjaran,
Bengkulu, Majalengka, Ungaran,
Ciwidey; (6) Manoko.
3. Tanggap Tanaman Pegagan (Centella
asiatica L (Urban.) dari Berbagai Ketinggian, Naungan dan Aksesi
terhadap Pertumbuhan dan Produksi Triterpenoid dan Asiatikosida
Sedangkan pada penelitian Tanggap Tanaman Pegagan (Centella asiatica L
(Urban.) dari Berbagai Ketinggian,
Naungan dan Aksesi terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Triterpenoid dan Asiatikosida telah diperoleh 5 aksesi dengan kandungan asiatikosida tinggi (Boyolali, Smugrim, Malaysia, Ciwidey, dan Cilember).
4. Tanggap Tanaman Pegagan (Centella
asiatica L. (Urban.) dari Berbagai Ketinggian Tempat dan Pemupukan P, dan Waktu Panen terhadap
Pertumbuhan dan Produksi
Triterpenoid dan Asiatikosida.
Penelitian ini menunjukkan bahwa di dataran tinggi pada umur 2 bulan di tanah
Andosol, pemupukan P terhadap
pertumbuhan tanaman pegagan hanya nyata mempengaruhi panjang tangkai
bunga induk. Pemberian pupuk P
menurunkan panjang tangkai bunga induk . Pemupukan P nyata mempengaruhi warna daun. Pemberian pupuk P
semakin meningkatkan nilai warna
daun Pemupukan P nyata
mempengaruhi tangkai daun, sulur daun, bobot panen, dan kandungan asiatikosida. Pemberian pupuk P semakin meningkatkan bobot tangkai daun, sulur daun, bobot panen, dan kandungan asiatikosida. Bobot panen
tertinggi diperoleh pada perlakuan 72 kg P205/ha, tetapi kandungan asiatikosida tertinggi diperoleh pada perlakuan 36 kg P205/ha. Sedangkan di dataran rendah
pada umur 2 bulan di tanah Latosol, pemupukan P terhadap pertumbuhan tanaman pegagan hanya nyata mempengaruhi jumlah daun per tanaman, panjang tangkai daun, panjang sulur, dan panjang tangkai bunga induk. Pemberian pupuk P menurunkan jumlah daun, panjang sulur, dan panjang tangkai bunga induk, tetapi meningkatkan panjang tangkai daun. Pemupukan P tidak nyata
mempengaruhi warna daun. Pemupukan P nyata memengaruhi sulur daun, bobot panen, dan kandungan asiatiksia tetapi tidak nyata mempengaruhi bobot daun dan tangkai daun. Pemberian pupuk P semakin meningkatkan bobot sulur daun. Bobot panen tertinggi diperoleh pada perlakuan 108 kg P205/ha, tetapi kandungan asiatikosida tertinggi diperoleh pada 36 kg P205/ha. Di dataran tinggi produksi
tanaman pegagan lebih rendah , tetapi kandungan asiatikosida lebih tinggi dibandingkan dataran rendah
(Ghulamahdi, M., Sandra Arifin Aziz dan Nurliani Bermawie, 2007).
Triterpen Saponin pada Pegagan
Penggunaan tumbuhan sebagai obat, berkaitan dengan kandungan kimia yang terdapat dalam tumbuhan tersebut terutama
zat bioaktif. Tanpa adanya suatu senyawa bioaktif dalam tumbuhan secara umum tumbuhan itu tidak dapat digunakan sebagai obat. Senyawa bioaktif yang terdapat dalam tumbuhan biasanya merupakan senyawa
metabolik sekunder seperti alkaloid,
flavonoid, steroid, terpenoid, saponin dan lain-lain.
Senyawa Terpen
Senyawa terpen, pada awalnya
merupakan suatu golongan senyawa yang hanya terdiri dari atom C dan H, dengan perbandingan 5 : 8 dengan rumus empiris C5H8 (unit isoprena), yang bergabung secara head to tail (kepala ekor). Oleh sebab itu senyawa terpen lazim disebut isoprenoid. Terpen dapat mengandung dua, tiga atau lebih suatu isoprena. Molekul-molekulnya dapat berupa rantai terbuka atau siklik. Mereka dapat mengandung ikatan rangkap, gugus
hidroksil, gugus karbonil atau gugus
fungsional lain. Struktur mirip yang
mengandung unsur-unsur lain disamping C dan H disebut terpenoid. Dewasa ini baik terpen maupun terpenoid dikelompokkan sebagai senyawa terpenoid (isoprenoid).
Biosintesis terpen adalah kondensasi ester secara enzimatik dari porsil-porsil asetil dari asetilkoenzime A. Zat antara dalam
pembentukan terpen adalah pirofosfat
(difosfat) dari asam mevalonat dan sepasang isopenteril alkohol.
kompleks yaitu senyawa hasil kondensasi suatu gula dengan suatu senyawa hidroksil organik yang apabila dihidrolisis akan menghasilkan gula (glikon) dan non-gula (aglikon). Saponin ini terdiri dari dua kelompok : saponin triterpenoid dan saponin steroid. Saponin banyak digunakan dalam kehidupan manusia, salah satunya banyak terdapat dalam letak yang dapat digunakan untuk bahan pencuci kain (batik) dan sebagai shampo. Saponin dapat diperoleh dari tumbuhan melalui metoda ekstraksi. Hasil penelitian yang telah dilakukan, disimpulkan
tumbuhan pegagan (Centella asiatica)
mengandung alkaloid, flavonoid, senyawa terpen dan steroid.
Struktur terpenoid yang bermacam ragam itu timbul sebagai akibat dari reaksi-reaksi sekunder berikutnya seperti hidrolisa,
isomerisasi, oksidasi, reduksi dan siklisasi atas geranil-, farnesil -- dan geranil-geranil pirofosfat. Lebih dari 4000 jenis triterpenoid telah diisolasi dengan lebih dari 40 jenis kerangka dasar yang sudah dikenal dan pada prinsipnya merupakan proses siklisasi dari skualen.
Biosintesis
Centellosida adalah senyawa
triterpenoid yang dibiosintesis melalui yang jalur mevalonate dalam sitoplasma, (lihat Gambar 1). Biosintesisnya dapat dibagi dalam tiga tahap:
1. Sintesis prekursor universal dari
semua terpenoid, isopentenyl
difosfat (IPP).
2. Sintesis pertama triterpene, squalene. 3. Sintesis Centellosida.
Gambar 1. Biosintesis triterpen saponin (Mangas et al., 2008)
Keterangan: SQS = squalene synthase, CYS = cycloartenol synthase, βAS = β-amyrin synthase
Pada Gambar 2 dapat dilihat struktur kimia
dari triterpen pentasiklik, R1 = H
(asiatikosida) atau OH (untuk madekasosida),
R2= glucose-glukose-rhamnose (Aziz et al.,
2007).
Gambar 2. Hubungan antara sterol dan triterpen saponin pada Centella asiatica
Baru-baru ini, Kim et al. (dalam Mangas, et. al, 2009) telah mengkloning beberapa gen yangterlibat dalam jalur biosintesis dari triterpenoid saponin dalam C. asiatica, -amyrin sintase (CabAs), seperti
cycloartenol sintase (CaCYS), squalene
sintase (CaSQS) dan farnesyl difosfat sintase. Dalam konteks ini, data kuantitatif ekspresi gen ini dapat memberikan wawasan keaktifan dan ketidak aktifan gen serta pengaturan gen-gen dalam jalur biosintetik C. asiatica.
Para penulis ini menunjukkan bahwa tingkat perkembangan mRNA CabAS pada daun mencapai puncaknya di usia 2-3
minggu dan menurun setelah 4 minggu. Akan tetapi, meskipun terjadi penurunan tingkat mRNA CabAS, kandungan asiatikosida daun meningkat dari waktu ke waktu. Untuk menjelaskan hal ini hubungan terbalik antara tingkat mRNA CabAS dan kandungan
saponin dalam jaringan, telah diusulkan
bahwa triterpene aglycones bertindak sebagai komponen struktural membrane selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Oleh karena itu, karena jumlah transkrip
CabAS meningkat pada awal tahap
perkembangan daun C. asiatica, diperkirakan bahwa CabAS mungkin memainkan peran dalam mensintesis komponen struktural membran. Penulis juga telah menentukan bahwa jasmonate metil 0.1mM cukup untuk meningkatkan mRNA CabAS dan t CaSQS dan dengan demikian akan kandungan triterpene saponin.
Produksi Triterpen Saponin Pegagan Secara In Vitro
Media Untuk Mendapatkan Kalus yang Besar dan Remah
Sebelum membentuk kultur
suspensi sel, perlu untuk mendapatkan biomassa yang baik dari kultur kalus yang remah. Berdasarkan beberapa penelitian, pengaturan pertumbuhan akan berbeda dalam medium MS yang diuji untuk memperoleh kalus-kalus dari eksplan daun dan tangkai daun. Eksplan dari daun muda dan petioles itu disterilisasi dan dikulturkan dalam media MS yang
mengandung kombinasi konsentrasi auksin dan sitokinin yang berbeda (Table2). Media yang diuji untuk induksi kalus ditulis dengan huruf miring dalam Tabel 2. Eksplan diinkubasi dalam gelap pada suhu 25 º C dalam cawan petri.
Kalus-kalus mulai tumbuh setelah dua minggu dan telah dikembangkan pada minggu keempat. Induksi persentase kalus-kalus dari daun eksplan pada media diuji seperti yang tertera pada Tabel 2.
Tabel 2. Induksi dan morfologi dari eksplan C. asiatica dalam medium MS
a. PGR: pengatur pertumbuhan tanaman, IAA: indoleacetic acid; 2,4-D: 2,4-asam asetat dichlorophenoxy; IBA: indole3 -naphtaleneacetic asam; KIN: kinetin; BA: 6benzyladenine; 4PU30: N(2cloro4
-asam butirat; NAA: piridil)-N '-fenilurea.
b. Data mewakili rata 20 bereplikasi /
menengah dalam dua mengulangi
eksperimen. Italic: Media diuji untuk induksi kalus (Mangas et al., 2009)
Media terbaik untuk induksi kalus dari daun adalah: [MS + IAA (2 mg/L) + Kn (0,2 mg/L); MS + IBA (0,1 mg/L) +
BA (2 mg/L) dan MS + NAA (2 mg/L) + BA (2 mg/L)]. Ketiga media digunakan untuk menginduksi kalus-kalus dari eksplan tangkai daun tetapi bahan ini terbukti kurang efektif untuk induksi eksplan dari daun. Pada media [MS + IAA (2 mg/L) + Kn (0,2 mg/L)], induksi kalus baik tetapi pertumbuhannya sedikit. Pada media [MS + IBA (0,1 mg/L) + BA (2 mg/L)] dan [MS + NAA (2 mg/L) + BA (2 mg/L)] diamati pembentukan kalus yang subur. Pada media dengan NAA, IAA dan IBA akan dihasilkan kalus-kalus yang keras dan kompak, yang tidak
diinginkan. Sebaliknya, media yang
mengandung 2,4-D (1 mg/L) dengan kombinasi Kn (0,1 mg/L) akan dihasilkan kalus-kalus yang remah, tapi pertumbuhan yang signifikan tidak diinduksi, dan ketika digunakan Kn 1 mg/L tidak ada induksi kalus.
Induksi jaringan kalus bertujuan untuk mendapatkan kalus-kalus yang besar, putih dan remah. Ketiga media yang dipilih untuk induksi yang diuji adalah [MS + NAA (2 mg/L) + BA (2 mg/L)] dan [MS + IAA (2 mg/L) + Kn (0,2 mg / L)] akan terbentuk Kalus-kalus yang kompak dan tanpa pertumbuhan yang signifikan, bila menggunakan media yang mengandung BA dalam kombinasi dengan NAA. Pada media dengan [MS + IBA (0,1 mg/L) + BA (2 mg/L)] untuk multiplikasi in vitro C. asiatica,
kalus-kalus berwarna putih, besar tapi tidak remah. Peneliti juga menggunakan ketiga media ini dengan 1/2 MS garam, di mana
kalus-kalus lebih putih tapi
pertumbuhannya tetap sama dan tetap tidak remah.
Peneliti mengamati bahwa
pertumbuhan yang lebih besar dengan mengunakan IBA dibandingkan dengan auksin (IAA, NAA, 2,4-D), untuk memperoleh kalus-kalus yang remah, dan mengubah sitokinin BA menjadi N-(2-cloro-4-piridil)-N '-phenilurea (4PU-30) pada konsentrasi yang berbeda. Telah dilaporkan bahwa sitokinin yang berasal dari phenylurea merupakan sumplemen
yang terbaik untuk mendukung
pertumbuhan tajuk pada C. asiatica, dan dalam penelitian sebelumnya dengan kultur kalus tembakau peneliti mengamati bahwa 4PU-30 berkembang menjadi kalus-kalus yang besar dan remah.
Dengan pengecualian media [MS + IBA (0,1 mg/L) + 4PU-30 (0,2 mg/L)], konsentrasi 4PU-30 yang lain diuji (1, 2
dan 3 mg/L) dan memberikan
pertumbuhan yang baik, walaupun dalam tidak ditembukan induksi kalus yang tidak remah.
Sebelumnya diperoleh kalus-kalus yang remah dengan menggunakan 2,4-D
(2 mg/L), diputuskan untuk
menggunakannya sebagai pengganti
auksin IBA, mempertahankan kinetin 4PU-30 (3 mg/L). Hasilnya, medium MS + 2,4-D (2 mg/L) + 4PU-30 (3 mg/L), adalah medium yang optimal untuk mendapatkan kalus-kalus yang besar, putih dan remah (Gambar 3). Saat ini penelitian yang sedang dikembangkan di
laboratorium bertujuan untuk
meningkatkan produksi triterpen saponin dengan kultur suspensi sel C. asiatica.
Gambar 3. Aspek keremahan kalus-kalus yang diperoleh dengan 2,4-D (2 mg / L) + 4PU-30 (3 mg/L) sebelum pembentukan kultur suspensi sel (Mangas et al., 2009). Pola Centellosida pada Kalus dan Tanaman In
Vitro
Kandungan madekasosida,
madekasik pada kultur kalus dalam medium MS dengan regulator pertumbuhan yang berbeda ditunjukkan pada Gambar 4. Angka ini menunjukkan bahwa centellosides yang terbanyak dalam kultur kalus adalah madekakosida dan asiatikosida. Jika pada media digabungkan NAA dan BA maka kandungan dari kedua centellosides ini sama.
Kandungan dalam kalus kira-kira
sepuluh kali lebih rendah daripada tanaman in vitro, kandungannya berkisar antara 1,3-2,5 mg/g berat kering setelah elisitasi (Gambar 5). Ini mungkin kelihatannya rendah tetapi, sebagaimana disebutkan sebelumnya, kandungan asiatikosida pada tanaman in vitro dilaporkan sekitar 50% lebih rendah daripada tanaman yang tumbuh di lapangan.
Gambar 4. Kandungan triterpen saponin dalam kalus Centella asiatica (mg/g berat kering) M : madekasosida A : asiatikosida MA : asam madekasik AA : asam asiatik (Mangas et al., 2009)
Gambar 5. Kandungan centellosida tertinggi dan terendah pada kalus (C), bagian tajuk tanaman (AP) dan akar (R) tanaman C. asiatica in vitro (mg/g berat kering) MeJa = Metil Jasmonat (Mangas et al., 2009)
DAFTAR PUSTAKA
Achmad. S.A, 1986, Kimia Organik Bahan Alam, Universitas Terbuka, Jakarta. Ahmad, Fasihuddin dan Hasmah Raji, 1993,
Kimia Hasilan Semula Jadi dan Tumbuhan Ubatan, Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur.
Aziz,Z.A, M.R. Davey, J.B.Power, P. Anthony, R.M.Smith and K.C.Lowe. 2007. Production of asiatikosida and madekasosida in Centella asitica in vitro and in vivo. Plant Sciences Division, School of Biosciences,
University of Nottingham,UK.
Biologia Plantarum 51(1): 34-42.
Darwis.D. 2001, Teknik Isolasi dan
Karakterisasi Senyawa Metabolit
Sekunder, Workshop Peningkatan
Sumber Daya Manusia Untuk
Pemanfaatan Sumber Daya Alam Hayati dan Rekayasa Bioteknologi, FMIPA Universitas Andalas Padang.
Duke.J, 2005, Phytochemical and
Etnobotanical Databases, Maryland,
Beltsuille Agricultural Researah
Center.
Fessenden & fessenden. 1982. Kimia Organik Jilid II. Jakarta : Erlangga.
Ghulamahdi, M., Sandra Arifin Aziz dan Nurliani Bermawie. 2007. Evaluasi Karakter Morfologi Fisiologi dan
Genetik Pegagan Mendukung
Standarisasi Mutu Pegagan. Lab Balai
Besar dan Pengembangan Pasca
Panen, Lab PSPT IPB, Lab Pusat Studi Biofarmaka IPB Lab Tanah IPB. Hart, Harold. 1990. Kimia Organik. Jakarta :
Erlangga
Harborne.J.B, 1987, Metode Fitokimia,
Penuntun Modern Menganalisa
Tumbuhan, terbitan ke-2, Terjemahan Kosasih Padmawinata dan Iwang
Soediro, ITB Bandung.
Januwati, Mariam dan M. Yusron. Budidaya Tanaman Pegagan. Balai penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai
Penelitian Tanaman Obat dan
Aromatika.
Koesniobari, Soendoro. 1965. Apotik Hijau.
Surabaya : Fakultas Kedokteran
Universitas Air Langga
Makin. H.L, 1977, Biochemistry of Steroids
Hormones, London, Nlack Well
Scientific Oxford Ikan. R, 1991, Natural Products to Laboratory Guide,
2nd edition, University of Jerusalem.
Mannito.P, 1981, Biosynthesis of Natural Products, Terjemahan PG Sammes, Chicster Ellis Horwood Ltd.
Mangas, S., Merce, Bonfill, Lidia Osuna, Elisabeth Moyano, Jaime Tortoriello, Rosa M. Cusido, M. Teresa Pin˜ol, Javier Palazo´n The efect of methyl jasmonate on triterpene and sterol metabolisms of Centella asiatica,
Ruscus aculeatus and Galphimia
glauca cultured plants.
Phytochemistry 67 (2006) 2041-2049. Mangas, S., Elisabeth Moyano, Lidia Osuna,
Rosa M. Cusido, Mercedes
Bonfill, Javier Palazo. 2008. Triterpenoid Saponin Content and The Expression Level of Some Related Genes In Calli of Centella asiatica. Lett 30:1853-1859.
Mangas S., Moyano E., Hernandez-Vazquez
L. and Bonfill M. 2009. Centella
asiatica (L) Urban: An Updated
Approach Terpenoids. Editors: Javier
Palazón and Rosa M. Cusidó
1Laboratorio de Fisiología Vegetal, Facultad de Farmacia, Universidad de Barcelona, 08028 Barcelona, Spain.
Departament de Ciencies