• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN SISTEM USAHATANI INTEGRASI KAKAO DAN KAMBING DI DESA JONO OGE KECAMATAN SIRENJA KABUPATEN DONGGALA SULAWESI TENGAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGEMBANGAN SISTEM USAHATANI INTEGRASI KAKAO DAN KAMBING DI DESA JONO OGE KECAMATAN SIRENJA KABUPATEN DONGGALA SULAWESI TENGAH"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN SISTEM USAHATANI

INTEGRASI KAKAO DAN KAMBING DI

DESA JONO – OGE KECAMATAN SIRENJA

KABUPATEN DONGGALA SULAWESI TENGAH

(Development of Cacao – Goat Integration Farming System Jono – Oge

Kecamatan Sirenja Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah)

F.F.MUNIER1,A.ARDJANHAR1,U.FADJAR2,SYAFRUDDIN1danS.WIRYADIPUTRA3

1

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah, Jl. Raya Lasoso 62, Biromaru 94364

2

Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, Jl. Salak No. 1A, Bogor 16151

3

Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, PB Sudirman No. 90, Jember 68118

ABSTRACT

Donggala Regency is the main cocoa producer in Central Sulawesi Province. The area of cocoa plantation in Donggala Regency approximately 42.407 ha or 54% from the area of cocoa planting in Central Sulawesi. Result of Participatory Rural Appraisal (PRA) survey was done by BP2TP Bogor, at 10 poor villages in Donggala Regency have shown that the productivity of cocoa in villages about 300 – 600 kg/ha/year. The aim of this assessment is know the increasing productivity in both goat and cocoa which is followed by increasing farmer income. This assessment was conducted in Jono-Oge village, Sirenja Subdistrict, Donggala Regency, Central Sulawesi Province from May – December 2005. The technology was assessed for agronomy of cacao plant like trimming and canopy management, efficient fertilization, pest and disease controls, while goat raising technology like pen rehabilitation, feeding, disease and parasite controls. The cooperator farmers involved in this assessment were as many as 20 persons. The area of cocoa plant was 0,5 ha and 6 goats for every cooperator farmer. The result showed an increase of dry cocoa productivity to 345,5 kg/0,5 ha/4 months, or 1.382 kg/ha/year (introduction pattern) while that of farmer pattern (traditional) only 153,7 kg/0,5 ha/4 months or 614,8 kg/ha/year. The average daily body weight gain of goat has 56,3 g with finisher weight of 18,5 kg (introduction pattern), while farmer pattern only 27,8 g with average of finisher weight of 16,8 kg. Result of feasibility analysis showed that the introduction pattern resulted in R/C 1,47 and netto income of Rp. 2.847.250 or Rp. 711.812/month, while farmer pattern achieved R/C 1,19 and nett income of Rp. 646.800 or Rp. 161.700/month.

Key Words: Integration Farming System, Goat, Cocoa, Productivity

ABSTRAK

Kabupaten Donggala merupakan produsen kakao utama di provinsi Sulawesi Tengah. Luas areal pertanaman kakao di Kabupaten Donggala kurang lebih 42.407 ha atau 54% dari luas tanaman kakao di Sulawesi Tengah. Namun berdasarkan hasil survei Participatory Rural Appraisal (PRA) yang dilakukan BP2TP Bogor, pada 10 desa miskin di Kabupaten Donggala menunjukkan bahwa produktivitas kakao rakyat di desa-desa tersebut hanya berkisar 300 – 600 kg/ha/tahun. Tujuan pengkajian adalah untuk mengetahui peningkatan produktivitas kambing dan kakao yang diikuti dengan peningkatan pendapatan petani. Pengkajian ini telah dilaksanakan di Desa Jono-Oge, Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah dari bulan Mei-Desember 2005. Teknologi yang dikaji untuk budidaya tanaman kakao yakni pemangkasan dan pengelolaan tanaman penaung, pemupukan yang efisien, pengendalian hama dan penyakit, sedangkan teknologi pemeliharaan kambing adalah perbaikan perkandangan, pemberian pakan, pengendalian penyakit dan parasit. Petani koperator yang dilibatkan dalam pengkajian ini sebanyak 20 orang. Luas tanaman kakao yang dikaji 0,5 ha dan 6 ekor kambing untuk setiap petani koperator. Hasil pengkajian ini adanya peningkatan rataan produktivitas kakao kering mencapai 345,5 kg/0,5 ha/4 bulan, atau 1.382 kg/ha/tahun (pola introduksi) sedangkan kebiasaan petani hanya 153,7 kg/0,5 ha/4 bulan atau 614,8 kg/ha/tahun. Rataan pertambahan bobot hidup harian (PBHH) kambing 56,3 g dengan rataan bobot akhir 18,5 kg (pola introduksi), sedangkan pola petani hanya 27,8 g dengan rataan bobot akhir 16,8 kg. Hasil analisa kelayakan SUT integrasi kambing dan kakao pola introduksi selama 4 bulan dengan R/C 1,47 dan pendapatan

(2)

bersih Rp. 2.847.250 atau Rp. 711.812/bulan, sedangkan pola petani dengan R/C 1,19 dan pendapatan bersih Rp. 646.800 atau Rp. 161.700/bulan.

Kata Kunci: SUT Integrasi, Kambing, Kakao, Produktivitas

PENDAHULUAN

Kabupaten Donggala merupakan produsen kakao utama di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah. Luas pertanaman kakao di Kabupaten Donggala ± 42.407 ha atau 54% dari luas pertanaman kakao di Provinsi Sulawesi Tengah. Namun dari hasil Partisipatory Rural Appraisal (PRA) yang dilakukan oleh Balai Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian (BP2TP) pada sepuluh desa miskin di Kabupaten Donggala menunjukkan bahwa produktivitas kakao rakyat di desa tersebut hanya berkisar 300 – 600 kg/ha/tahun (ANONIMUS, 2003). Angka produktivitas ini lebih rendah dibanding rata-rata produktivitas kakao nasional yang mencapai 932,94 kg/ha/tahun, apalagi bila dibandingkan dengan potensi produksi kakao yang dapat mencapai 2 – 3 ton/ha/tahun.

Dilaporkan bahwa rendahnya produktivitas kakao rakyat di desa miskin di Kabupaten Donggala antara lain berkaitan dengan teknik budidaya yang belum intensif, terutama berkaitan dengan aspek bibit, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, pemangkasan, dan naungan. Sementara itu, rendahnya mutu produksi kakao di desa-desa tersebut selain karena tidak dilakukan fermentasi juga karena terjadi serangan hama penggerek buah kakao (PBK, Conopomorpha cramerella) dan busuk buah.

Sistem integrasi tanaman-ternak merupakan satu sistem dan usaha agribisnis yang saling mengisi dari tanaman tersedia input pakan dan dari ternak menghasilkan kotoran untuk pupuk (DJAJANEGARA dan ISMAIL, 2004). Integrasi kakao dengan usaha kambing sangat tepat karena kulit buah kakao dapat digunakan sebagai pakan. Disamping itu tanaman gamal sebagai tanaman penaung tanaman kakao dapat dimanfaatkan untuk pakan kambing sebagai sumber protein kasar. Kotoran kambing dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pupuk organik (pupuk kandang) sehingga penggunaan input pupuk kimia diharapkan dapat dikurangi dan produk kakao yang dihasilkan bisa diarahkan kepada produk

organik. Permintaan produk organik di pasaran internasional cukup tinggi sehingga akan meningkatkan daya saing produk kakao tersebut.

Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan produktivitas kakao dan kambing dengan menggunakan teknologi budidaya yang dapat dilaksanakan oleh petani.

MATERI DAN METODE

Pengkajian ini dilaksanakan di Desa Jono-Oge, Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah dari bulan Mei-Desember 2005. Desa ini merupakan salah satu desa petani tertinggal (poor farmers) pada zona dataran rendah lahan kering. Petani koperator yang dilibatkan dalam kegiatan pengkajian ini sebanyak 20 orang dengan luas tanaman kakao yang dikaji 10 ha atau 0,5 ha/petani. Teknologi yang dikaji untuk budidaya tanaman kakao yakni pemangkasan dan pengelolaan tanaman penaung, pemupukan yang efisien, pengendalian hama dan penyakit.

Teknologi pangkasan bentuk diterapkan pada tanaman belum menghasilkan (TBM) yang berumur 2 – 4 tahun. Cabang primer dari jorket yang dipelihara berjumlah tiga dan dipilih yang tumbuhnya kuat dan seimbang dengan memendekan tajuk tinggi tanaman hingga 3 – 4 m. Pangkasan pemeliharaan dan produksi dilakukan pada tanaman menghasilkan (TM) bertujuan untuk mempertahankan kerangka yang sudah terbentuk, memperoleh distribusi daun yang merata, memperoleh aerasi yang baik, dan merangsang pembungaan. Kriteria 100% yaitu pemangkasan benar ditandai cahaya matahari merata di sekitar pohon kakao, kriteria 75% yaitu pemangkasan agak benar ditandai cahaya matahari agak kurang di sekitar pohon kakao, kriteria 50% yaitu pemangkasan kurang benar ditandai cahaya matahari kurang di sekitar pohon kakao.

Pemupukan dilakukan berdasarkan hasil analisa sampel tanah yang diambil di lahan petani koperator di Desa Jono-Oge.

Teknologi pengendalian hama penggerek buah kakao (PBK, Conopomorpha

(3)

cramerella), Helopeltis sp., dan penyakit busuk buah kakao (Phytophthora palmivora) dengan cara kultur teknik dan sanitasi, perlakuan penyarungan buah, dan penggunaan insektisida apabila terpaksa. Pengendalian PBK dilakukan dengan menurunkan populasi hama PBK dengan teknologi pembungkusan buah kakao menggunakan plastik (sarungisasi). Perhitungan Intensitas serangan PBK dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh SULISTYOWATI (2003) sebagai berikut:

Z (n x z)

P = --- x 100% N x Z

dimana:

P = Intensitas serangan (%)

n = Buah contoh ke-i pada kategori serangan

z = Kategori serangan pada buah ke-i N = Jumlah buah yang diamati Z = Kategori serangan tertinggi

Kambing Peranakan Etawah (PE) betina yang didistribusikan kepada petani koperator berumur 1,0 – 1,5 tahun sebanyak 6 ekor kambing setiap petani koperator. Teknologi pemeliharaan kambing adalah perbaikan perkandangan, pemberian pakan sesuai dengan kebutuhan kambing, pengendalian penyakit dan parasit.

Model kandang adalah model panggung agar lebih mudah mengumpulkan kotoran kambing. Bahan pembuatan kadang menggunakan bahan baku lokal yang tersedia di lokasi pengkajian.

Susunan pakan yang diberikan pada kambing (pola introduksi) dengan komposisi; 60% rumput (rumput alam dan atau setaria) + 20% gamal + 20% Kulit Buah Kakao (KBK). Sebagai pembanding, ternak kambing hanya diberikan rumput alam secukupnya berdasarkan kebiasaan peternak (pola peternak). Semua jenis pakan yang digunakan dalam pengkajian ini akan dianalisa untuk mengetahui kandungan nutrisinya seperti bahan kering, protein kasar dan serat kasar.

Produksi kambing betina diamati dengan melihat pertambahan bobot hidup harian (PBHH). Penimbangan dilakukan setiap dua minggu sekali pada pagi hari sebelum diberikan pakan. Penimbangan ini dilaksanakan selama 2,5 bulan untuk semua

kambing betina yang dikaji. PBHH kambing betina dihitung dengan menggunakan rumus:

B – A PBHH = --- L dimana:

B : bobot badan akhir A : bobot badan awal L : lama pemeliharaan

Analisa kelayakan usaha dengan menggunakan uji Revenue Cost Ratio (R/C) yang dikemukakan oleh SOEKARTAWI (1995) sebagai berikut:

Total Revenue (TR) R/C = ---

Total Cost (TC)

HASIL DAN PEMBAHASAN Teknologi budidaya kakao

Tanaman kakao merupakan salah satu tanaman perkebunan yang menghendaki kondisi lingkungan yang sesuai dengan kelembaban sedang di sekitar tanaman agar aktivitas fisiologis berjalan dengan optimum. Untuk menciptakan kondisi tersebut, salah satu teknologi pemangkasan baik tanaman kakao maupun naungannya. Pemangkasan cabang yang tidak produktif sangat membantu efisiensi penggunaan hara yang dihasilkan dapat diserap sesuai dengan kebutuhan tanaman. Pemangkasan cabang atau ranting sakit dapat mengurangi sumber infeksi hama dan penyakit terutama hama PBK, penyakit busuk buah, kanker batang dan antraknosa. Hama PBK sangat menyenangi kondisi iklim yang lembab, saat sore hari imago PBK beristirahat pada dahan atau ranting yang dinaungi (SULISTYOWATI, 2003). Penyakit busuk buah dan kanker batang, perkembangannya sangat dipengaruhi oleh iklim, demikian pula penyakit antraknosa. Jaringan atau ranting sakit yang terserang perlu dihilangkan karena menjadi sumber infeksi. Pemangkasan tanaman kakao di lapang hingga saat ini masih berdasarkan kriteria yang bersifat kualitatif. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa teknologi pemangkasan pemeliharaan pada tanaman kakao dewasa sebanyak 11 petani

(4)

koperator telah melakukan pemangkasan dengan kriteria 100%, 5 petani koperator telah melakukan pemangkasan dengan kriteria 75% dan 4 petani koperator lainnya telah melakukan pemangkasan dengan kriteria 50%.

Tanaman naungan pada tanaman kakao di lokasi pengkajian seperti gamal (Gliricidia sepium) dan kelapa dalam. Sebagian besar tanaman kakao milik petani koperator belum ditanami tanaman penaung pohon gamal. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa produktivitas kakao tertinggi dapat dicapai pada kondisi lingkungan tanaman kakao yang terlindungi sebagian dari terik matahari. Permasalahan yang timbul di lapang yaitu pada petani koperator yang tanaman naungannya menggunakan pohon kelapa dalam. Petani ini tidak dapat melakukan pemangkasan pada tanaman kelapanya sehingga walaupun petani telah melakukan pamangkasan pada tanaman kakaonya, kondisi iklim mikro di sekitar kebun tetap lembab. Hal ini memicu terjadinya serangan hama dan penyakit, terutama panyakit busuk buah dan kanker batang. Menurut Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (WITJAKSANA, 1989) bahwa tanaman kelapa sebagai penaung tanaman kakao dengan tajuk yang terlalu rimbun dapat dilakukan dengan pengurangan tajuk, pengurangan tajuk 5 – 6/pelepah atau tersisa 12 – 14 pelepah per pohon, dan hal tersebut tidak menurunkan hasil kelapa. Agar pengurangan itu tidak terlalu merugikan, disarankan agar memotong daun tua paling bawah.

Berdasarkan hasil analisis tanah di Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor dianjurkan bahwa dosis pemupukan untuk tanaman kakao di Desa Jono-Oge dapat dilihat pada Tabel 1.

Pemupukan pada tanaman kakao sangat dianjurkan terutama setelah panen buah kakao. Sebelum kegiatan pengkajian ini para petani hanya sebagian kecil yang melakukan pemupukan dengan menggunakan pupuk anorganik. Penggunaan pupuk urea kurang sesuai kebutuhan tanaman kakao yang produktif. Aplikasi pemupukan dibagi menjadi 2 tahapan, tahap pertama saat awal musim hujan (Oktober – November) dan tahap kedua akhir musim hujan (Maret – April). Pemupukan anorganik dengan cara tugal (bintang 6) hanya dilakukan petani koperator yang memiliki lahan miring untuk menghindari terjadinya

pohon rebah akibat terpotongnya akar tanaman saat dicangkul membuat piringan.

Tabel 1. Dosis pupuk pada lahan tanaman kakao di

Desa Jono-Oge

Jenis pupuk Pemupukan I dan II (gram/pohon/6 bulan) Urea SP-36 KCl Pupuk bokashi (kotoran kambing) 200 100 150 1.000 – 2.000

Sampel Tanah Dianalisis di Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor, 2005

Sanitasi sangat penting dilakukan, hal ini berkaitan erat dengan serangan hama dan penyakit. Kebun kakao yang tidak dilakukan sanitasi akan menjadi sumber infeksi hama dan penyakit.

Pengendalian PBK dengan cara sarungisasi merupakan cara pengendalian yang efektif saat ini. Efektifitas pengendalian dengan teknik sarungisasi mencapai 95 – 100% (SULISTYOWATI, 2003). Pengedalian hama PBK dengan metode penyarungan buah kakao ini sudah dikuasai oleh petani koperator. Namun pelaksanaannya di tingkat petani koperator belum seluruhnya melaksanakan dengan berbagai macam alasan seperti terbatasnya waktu untuk menyarung buah kakao, petani koperator tidak mampu mengalokasikan waktu untuk setiap kegiatan usahataninya. Berdasarkan hasil pengamatan dengan mengambil secara acak buah kakao di kebun petani koperator untuk menghitung intensitas serangan hama PBK, menunjukkan bahwa intensitas serangan hama PBK di desa Jono-Oge cukup bervariasi yakni dari tidak ada serangan (0) sampai serangan sedang (35,2%) pada Tabel 2.

Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa rataan intensitas serangan PBK dengan pengendalian sarungisasi cukup rendah. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh SULISTIAWATY (2003) bahwa efektivitas sarungisasi dapat mencapai 95 – 100%. Rataan intensitas serangan PBK dengan pengendalian insektisida kimia masih cukup tinggi. Kondisi ini disebabkan karena insektisida kimia hanya mampu membunuh imago, padahal keberadaan imago pada

(5)

tanaman kakao hanya pada sore hari, pada malam hari imago kawin dan bertelur, sedangkan penyemprotan dilakukan sore hari. Rataan intensitas serangan PBK pada kontrol (kebiasaan petani) cukup tinggi karena tidak dilakukan pengendalian. Serangan busuk buah kakao relatif rendah pada pengendalian dengan sarungisasi karena umumnya petani koperator yang melakukan pengendalian dengan sarungisasi telah melakukan pemangkasan dengan cara yang benar. Sedangkan petani koperator yang melakukan pengendalian PBK dengan insektisida dan kontrol belum memangkas secara benar sehingga masih terjadi serangan busuk buah 10%.

Tabel 2. Rataan intensitas serangan PBK dan

serangan busuk buah kakao Serangan (%) Pengendalian Intensitas PBK Busuk buah kakao Kontrol 46,7 10,0 Insektisida 35,2 10,0 Sarungisasi 0 0

Pengendalian hama penggerak batang dilakukan dengan menggunakan agen hayati yaitu Beauveria bassiana (Bb). Bb merupakan jamur parasitik termasuk dalam kelas Deuteromycetes. Jamur ini mengeluarkan toksin beauvericin, beauverolides, asam oksalat yang berperan sebagai racun perut hama. Jamur ini juga masuk melalui kulit serangga hama dengan cara menempel pada kulit dan menembus masuk kedalam tubuh serangga hama (JESMANAT, 2000). Beberapa petani koperator yang mengaplikasikan Bb pada tanaman kakaonya, menunjukkan cukup berhasil mematikan hama penggerek batang. Batang yang terserang hama penggerek tidak lagi mengeluarkan serbuk bekas gerekan larva dan campuran kotoran larva dengan asumsi bahwa larva yang ada dalam jaringan batang sudah terselimuti jamur Bb. Hasil percobaan yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Perkebunan Medan menyimpulkan bahwa untuk mendapatkan efektivitas yang tinggi atau mortalitas larva mencapai 100% dengan konsentrasi yang dianjurkan adalah 1,18 x 107 konidia/ml air.

Rataan produksi kakao kering petani koperator selama 4 bulan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rataan produksi kakao kering petani

koperator selama bulan September – Desember 2005

Produksi kakao kering (kg/0,5 ha/4 bulan) Pengendalian Desa Jono-Oge Kontrol Insektisida Sarungisasi 153,7 268,2 345,5

Tabel 3 menunjukkan rataan produksi kakao kering tertinggi dengan metode pengendalian sarungisasi, sedangkan rataan produksi kakao kering kontrol (kebiasaan petani) rendah. Rataan produksi kakao kering pada Tabel 3 diatas merupakan rataan produksi panen raya, dimana panen raya terjadi 2 kali setahun berarti rataan produksi kakao kering tertinggi (metode sarungisasi) adalah 1.382 kg/ha/tahun, sedangkan pada kontrol (kebiasaan petani) lebih rendah hanya 614,8 kg/ha/tahun.

Teknologi pemeliharaan kambing

Jenis kambing yang diintroduksi dan dikembangkan pada pengkajian ini adalah jenis Peranakan Etawah (PE). Kambing PE ini didatangkan dari kawasan Lembah Palu yang kondisi alamnya berbeda dengan lokasi pengkajian sehingga memerlukan waktu adaptasi sekitar 3 bulan. Skala pemilikan pemilikan kambing untuk layak diusahakan sebagai tambahan pendapatkan keluarga adalah berkisar 5 – 7 ekor. Jumlah kambing ini dapat mencukupi kebutuhan kotoran kambing (manure) sebagai bahan baku pembuatan pupuk bokashi untuk luasan kebun kakao 1 ha. Pemberian pakan dasar berupa rumput alam dan atau rumput setaria 60% dari total hijauan pakan dan pakan tambahan daun gamal 20 % + kulit buah kakao (KBK) 20% dari total hijauan pakan, diberikan dalam bentuk dilayukan. Rataan total pemberian pakan harian 2,2 kg/ekor dengan komposisi rumput 1,3 kg/ekor, daun gamal 0,45 kg/ekor dan KBK 0,45 kg/ekor. Sebagai pembanding, ternak kambing

(6)

Tabel 4. Kandungan nutrisi pakan

Kandungan nutrisi Jenis pakan

Bahan kering (%) Protein kasar (%) Serat kasar (%) Lemak (%) Rumput alam Rumput setaria Daun gamal KBK 32,9 35,9 42,7 18,7 7,5 12,7 18,3 9,9 29,5 39,9 38,2 32,7 2,2 0,4 2,8 9,2 Pakan dianalisis di Lab. Analitik, Fak. Pertanian Untad, Palu, 2005

hanya diberikan rumput alam secukupnya berdasarkan kebiasaan peternak.

Kandungan protein pada susunan pakan ini sudah dapat memenuhi kebutuhan protein kasar untuk produksi dan reproduksi kambing yakni 16%. Pakan yang diberikan pada kambing semuanya dapat dihabiskan kecuali KBK pada awal pemberian tersisa, tetapi setelah 2 minggu kemudian dapat dihabiskan semuanya.

Pemberian obat-obatan pada kambing apabila terserang penyakit dan parasit. Berdasarkan pemantauan di lapang, umumnya kambing betina pada kegiatan pengkajian ini sehat. Gangguan infeksi pada mulut akibat mengkonsumsi hijauan pakan berduri dapat diatasi dengan pemberian antibiotik secara intensif selama 3 hari berturut-turut. Pemberian obat cacing pada awal kegiatan pengkajian dan selanjutnya setelah 2 bulan kemudian. Integrasi kambing dan kakao akan memberikan tambahan keuntungan petani selain melalui penjualan kakao, juga melalui penjualan kambing dan pupuk kandang dari kotoran kambing yang sudah difermentasi.

Komposisi pakan yang diberikan pada kambing betina memberikan respon positif terhadap Pertambahan Bobot hidup Harian (PBHH) (Tabel 5).

Tabel 5 menunjukkan rataan PBHH kambing pada pola introduksi lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (kebiasaan petani). Tingginya rataan PBHH pola introduksi ini karena didukung oleh manajemen pemeliharaan yang baik sesuai anjuran teknis. Namun PBHH pola introduksi ini relatif lebih rendah dari hasil pengkajian sebelumnnya. PRABOWO dan BAHRI (2004) melaporkan bahwa hasil kajian di Lampung Timur, kambing betina yang diberikan pakan kulit buah kakao 30 – 70% dan blok suplemen lengkap (ad libitum) dengan rataan PBHH 58,6 g. Adanya perbedaan ini karena adanya penambahan blok suplemen lengkap yang dikonsumsi kambing 5 – 10 g/hari. Pada kontrol (kebiasaan petani), pemberian pakan lengkap kurang tepat waktu dan takarannya tidak sesuai anjuran.

Tabel 5. Rataan PBHH kambing

Desa/pola pemeliharaan Bobot awal (kg) Bobot akhir (kg) PBHH (g) Kenaikan bobot badan (kg) Kontrol Introduksi 15,1 14,4 16,8 18,5 27,8 53,3 1,7 4,1

(7)

Analisa kelayakan usahatani

Tabel 6. Struktur biaya dan pendapatan bersih (R/C) dari usaha kambing betina pola petani per kandang

6 ekor selama 2,5 bulan

Parameter Biaya (Rp.)

Pengeluaran Biaya Tetap

Biaya penyusutan kandang per 6 bulan 46.500 Biaya Produksi

Bakalan ternak kambing betina muda 6 ekor x @ R.p 300.000 1.800.000 Tenaga kerja Rp. 5.000 (¼ hari) x 75 hari 375.000

Jumlah pengeluaran 2.221.500

Penerimaan

Kambing dewasa (siap kawin) berbobot hidup 16,8 kg 6 ekor x @ Rp. 425.000 2.550.000 Pendapatan

Pendapatan bersih periode (2,5 bulan) 328.500

R/C 1,15

Tabel 7. Struktur biaya dan pendapatan bersih (R/C) dari usaha kambing betina pola introduksi per kandang

6 ekor selama 2,5 bulan

Parameter Biaya (Rp.)

Pengeluaran Biaya Tetap

Biaya penyusutan kandang per 6 bulan 46.500 Biaya Produksi

Bakalan ternak DEG betina muda 6 ekor x @ Rp 300.000 1.800.000 Pakan

Kulit buah kakao 0,45 kg x 6 ekor x 75 hari x Rp. 100 20.250 Daun gamal 0,45 kg x 6 ekor x 75 hari x Rp. 200 40.500 Rumput 1,3 kg x 6 ekor x 75 hari x Rp. 150

Obat-obatan/vitamin 17.500 Tenaga kerja Rp. 5.000 (¼ hari) x 75 hari 375.000

Jumlah pengeluaran 2.299.750

Kambing dewasa (siap kawin) berbobot hidup 18,5 kg 6 ekor x @ Rp 500.000 3.000.000 Pendapatan bersih periode (2,5 bulan) 700.250

(8)

Tabel 8. Struktur biaya dan pendapatan bersih (R/C) dari kakao pola petani dan introduksi untuk luas kebun

kakao 0,5 ha selama 4 bulan

Volume Biaya (Rp)

Komponen biaya

Pola petani Pola introduksi Pola petani Pola introduksi Pengeluaran

Pupuk Urea 50 kg 200 kg 50.000 200.000

SP-36 20 kg 100 kg 28.000 140.000

KCl 30 kg 150 kg 72.000 360.000

Pupuk kandang - 2 t - 400.000

Insektisida 3 liter 1 liter 135.000 45.000

Herbisida 1 liter 2 liter 65.000 130.000

Plastik (pembungkus buah) - 15 pak - 180.000

Karet gelang - 1,5 kg - 34.500

Peralatan (cangkul, garpu, paralon, keranjang, dll.)

1 paket 1 paket 45.000 57.500 Tenagakerja (HOK)

Penyiangan 12 HOK 2,5 HOK 240.000 50.000 Pemangkasan 8 HOK 8 HOK 160.000 160.000

Pemupukan 1,5 HOK 2 HOK 30.000 40.000

Pengendalian hama & penyakit

6 HOK 2 HOK 120.000 40.000

Penyarungan - 8 HOK - 160.000

Panen 6 HOK 7,5 HOK 120.000 150.000

Jumlah pengeluaran 1.065.000 2.147.000

Penerimaan 153,7 kg 345,5 kg 1.383.300 3.593.200

Pendapatan bersih 318.300 1.446.200

R/C 1,29 1,67

Upah tenaga kerja : Rp 20.000/HOK Penjualan kakao kering di desa Rp. 9.000/kg Penjualan kakao kering di Palu Rp. 10.400/kg

Tabel 9. Struktur biaya dan pendapatan bersih (R/C) dari integrasi usahatani kakao dan kambing kontrol

(kebiasaan petani) selama 4 bulan

Usahatani/ternak Pengeluaran (Rp.) Penerimaan (Rp.) Pendapatan (Rp.) Usaha kambing Usahatani kakao Total 2.221.500 1.065.000 3.286.500 2.550.000 1.383.300 3.933.300 328.500 318.300 646.800 Pendapatan

Pendapatan bersih per musim Pendapatan bersih per bulan

161.700 646.800

(9)

Tabel 10. Struktur biaya dan pendapatan bersih (R/C) dari integrasi usahatani kakao dan kambing pola

introduksi selama 4 bulan

Usahatani/ternak Pengeluaran (Rp) Penerimaan (Rp) Pendapatan (Rp) Usaha kambing Usahatani kakao Total 2.299.750 2.174.000 4.473.750 3.000.000 3.593.200 6.593.200 700.250 2.147.000 3.864.025 Pendapatan

- Pendapatan bersih per musim - Pendapatan bersih per bulan

2.847.250 711.812

R/C 1,47

KESIMPULAN

Hasil pengkajian pengembangan yang telah dilaksanakan maka dapat disimpulkan bahwa rataan produksi kakao kering tertinggi mencapai 345,5 kg/0,5 ha/4 bulan atau 1.382 kg/ha/tahun, sedangkan kontrol (pola petani) hanya 153,7 kg/0,5 ha/4 bulan atau 614,8 kg/ha/tahun. Rataan pertambahan bobot hidup harian (PBHH) lebih tinggi pada pola introduksi yaitu 53,3 g, diikuti kenaikan rataan bobot akhir yang tinggi yakni 3,4 kg, sedangkan pada kontrol (kebiasaan petani) hanya 27,8 g, diikuti kenaikan rataan bobot akhir hanya 2,0 kg selama 2,5 bulan.

DAFTAR PUSTAKA

ANONIMUS. 2003. Pengembangan inovasi dan diseminasi teknologi pertanian untuk pemberdayaan petani miskin pada lahan marginal di Donggala, Sulaweai Selatan. Laporan Akhir. BP2TP dan BPTP Sulteng.

DJAJANEGARA,A. dan I.G.ISMAIL. 2004. Manajemen sarana Usahatani dan pakan dalam sistem integrasi tanaman-ternak. Pros. Seminar Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman-Ternak. Balitbangtan, Deptan, Jakarta. hlm. 205 – 225.

JESMANAT. 2000. Diktat Kuliah: Pengenalan Jamur Patogen Serangga Hama. Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. PRABOWO, A. dan S.BAHRI. 2004. Kajian sistem

usahatani ternak kambing pada perkebunan kakao rakyat di Lampung. Makalah Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak di Denpasar, 20 – 22 Juli 2004. Puslitbang Peternakan berkerjasama dengan BPTP Bali dn CASREN. hlm. 366 – 374.

SOEKARTAWI. 1995. Analisis Usahatani. Universitas Indonesia-Press (UI-Press), Jakarta.

SULISTYOWATI,E. 2003. Pengenalan Hama Utama. Teknik Pengamatan dan Pengedalian pada Tanaman Kakao. Puslitkoka, Jember.

WITJAKSANA. 1989. Kelapa sebagai Penaung Kakao. Panduan Lengkap Budidaya Kakao. Puslitkoka, Jember.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan rumusan masalah adalah memodelkan rangkaian sistem eksitasi PT Indonesia Power UBP Kamojang Unit 2 menggunakan Simulink dari Matlab dan melihat nilai sudut

Hasil penelitian menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan dan motivasi mempunyai pengaruh terhadap disiplin kerja, sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa pengaruh terdapat

Hasil pengujian menunjukkan bahwa kapasitas penyimpanan pesan rahasia ini lebih baik dari metode steganografi teks berbasis emoticon pada chat yang telah ada.. Hasil

Berdasarkan tabel tersebut jelas terlihat bahwa jenis kesalahan yang paling banyak dilakukan oleh santriwati kelas II Pesantren Darul Arafah adalah kesalahan penggunaan afiks

Mie bakso adalah makanan jajanan yang disukai sampel baik pada kelompok yang tidak meng- alami sindrom pramenstruasi maupun pada kelompok yang mengalami sindrom

Karena waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki pompa hanya sebentar + 15 menit, Masinis jaga dan Juru Minyak jaga yang pada saat itu berada dalam kamar mesin

Dalam menyelesaikan laporan Tugas Akhir yang berjudul Perancangan Pusat Dokumentasi Arsitektur Nusantara di Kota Malang ini, saya menyadari bahwa banyak pihak yang telah ikut

)BTJM CFMBKBS BEBMBI NFSVQBLBO TVBUV LFUFSBNQJMBO ZBOH EJUFSJNB TFTFPSBOH TFTVEBI NFOHJLVUJLFHJBUBOQFNCFMBKBSBO)BTJMCFMBKBSJUVUFOUVEBQBUEJBNBUJEBMBNCFSCBHBJ NPEFM CBJL TFDBSB