• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dialog Nasional Menyelesaikan Apa?

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dialog Nasional Menyelesaikan Apa?"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

MAJALAH BULANAN HAK ASASI MANUSIA

Rua Governador C.M. Serpa Rosa T-091, Farol, Dili, Timor Leste. Tel.: +670.390.313323 Fax: +670.390.313324 E-Mail: direito@yayasanhak.minihub.org

Perkumpulan HAK

23

Edisi 23 - MARET 2003

Dialog Nasional

M

eny

eles

aika

n

A

pa?

D A F T A R I S I

DIREITO UTAMA:

Dialog Nasional Menyelesaikan Apa? Hal. 1 - 2

Agar Dialog Nasional Berguna Bagi Masa Depan Hal. 3

Yang Terlupakan Dalam Dialog Hal. 4 - 5 DIALOG: Ini Bukan Dialog Nasional Hal. 6 JUSTIÇA: Alternatif Penyelesaian Sengketa Hal. 7

PEMBERDAYAAN RAKYAT: Pestisida Buatan Sendiri Hal. 8 - 9

TEROPONG KEBIJAKAN: Makalah Kebijakan Regulasi Anti Kekerasan Domestik Hal. 10 - 11 HAK ASASI: Proses Penuntutan Komandan MAHIDI Hal. 12

INSTRUMEN HAM: Kebebasan Mengeluarkan Pendapat Hal. 13 Semua Orang Mempunyai Hak Dan Kedudukan Sama Hal. 14 GUGAT: Polisi Diperkuat Untuk Menegakkan Demokrasi Hal. 15

SERBA-SERBI: Menperjuangkan Pengadilan Internasional Hal. 16

AMI LIAN: Kata Masyarakat Tentang Dialog Nasional Hal. 16

T

untutan CPD-RDTL untuk melakukan dialog dengan Pemerintah dan

Unmiset akhirnya terlaksana pada 25 Januari 2003 lalu. Dialog yang diprakarsai Presiden Xanana Gusmão itu diikuti oleh hampir semua

pimpinanCPD-RDTL dan pengikutnya dengan Pemerintah dan UNMISET (Misi Dukungan PBB di Timor Leste, pengganti UNTAET). Berhasilkah dia-log tersebut menyelesaikan “konflik politik” di antara kelompok-kelompok politik? Kepada Direito, beberapa anggota komisi penyelenggaranya men-gatakan bahwa dialog tersebut berhasil karena bisa mempertemukan para pihak yang selama ini berbeda pendapat dalam satu forum dialog untuk membicarakan pemecahan masalah di antara mereka. Keberhasilan meng-ajak pihak-pihak yang bertikai untuk saling berdialog, yang sebelumnya lebih suka saling menuduh dan saling mencaci di muka publik, memang bisa dianggap sebagai salah satu hasil dari dialog itu.

Namun, ada pula pendapat yang menilai dialog tersebut belum bisa disebut berhasil. Dasar pendapat ini merujuk pada tidak disinggungnya hal-hal substansial dalam dialog tersebut. Mantan komandan FALINTIL L-7 alias Leki Nahak Fohorai Bo’ot yang diwawancarai Direito pada 9/2/ 2003 di desa Laivai, Lospalos, mengaku dirinya kurang puas atas dialog itu. Sebabnya, pembahasan dalam dialog tersebut tidak menyinggung hal-hal yang menurutnya mendasar. L-7 menyebut konflik antara kelompok

Salah satu aksi protes anggota CPD-RDTL terhadap Pemerintah RDTL. Foto: Rogério Soares/Direito

(2)

2 edisi 23 - Maret 2003 DIREITO UTAMA

D

ialog adalah pembicaraan antara dua orang atau dua pihak. Dalam dialog terjadi pertukaran pendapat dan gagasan. Satu pihak mengajukan suatu pandangan tentang sesuatu, kemudian mendengarkan pendapat pihak yang lain. Melalui dialog diharapkan dicapai suatu pengertian yang lebih baik dan lebih benar mengenai sesuatu. Dialog bisa digunakan sebagai sarana untuk mencari penyelesaian masalah. Misal-nya, terjadi sengketa antara orang yang tinggal di suatu rumah yang dibelinya secara sah dengan orang yang sekarang datang meminta tanah tempat rumah tersebut berdiri karena tanah ini dulu miliknya yang dirampas tentara pendudukan. Kemudian kedua belah pihak sepakat untuk berunding menyelesaikan masalah ini. Masing-masing pihak menyampaikan pandangan tentang masalahnya. Setelah itu, masing-masing pihak mengajukan cara penyelesaiannya.

Tentu saja, penyelesaian masalahnya ter-gantung pada penerimaan masing-masing pihak. Jika salah satu pihak mau menyelesa-ikan dengan cara yang diajukannya, tetapi pihak lain tidak mau maka tidak bisa tercapai penyelesaian. Oleh karena itu, jika masalah ingin diselesaikan melalui dialog maka masing-masing pihak harus menawarkan sesuatu kepada lawan dialognya, tidak bisa hanya menuntut. Dalam contoh kita di atas, pihak yang telah membeli rumah tersebut secara sah tidak bisa bersikeras mengatakan bahwa pemilik tanah yang dulu tidak punya hak lagi. Demikian pula, pemilik tanah yang dulu tidak bisa meminta penghuni rumah yang sekarang untuk pergi begitu saja. Salah satu kemungkinan penyelesaian adalah penghuni rumah yang sekarang memberi-kan sebagian tanahnya dan pemilik tanah yang dulu mendapatkan kembali sebagian tanahnya, bukan semuanya.

Dialog Nasional yang diprakarasai oleh Presiden Xanana Gusmão adalah dialog yang bertujuan menyelesaikan masalah. Dia-log dibuat setelah terjadinya demonstrasi-demonstrasi organisasi CPD RDTL. Tetapi yang tidak jelas adalah siapa pihak-pihak yang bersengketa dan apa masalah yang diseng-ketakan. Kejelasan tentang ini merupakan prasyarat dari penyelesaian. Jika tidak jelas siapa yang bersengketa, siapa dengan siapa yang diharapkan melakukan pertukaran gagasan dan pemikiran? 

Dialog Siapa?

Xanana Gusmão dengan beberapa orang pejuang lainnya seperti Kilik, Mauk Moruk, dan Ologari di hutan pada tahun 1983 sebagai salah satu masalah substansial yang tidak dibicarakan. Padahal menurut L-7, masa-lah itumasa-lah yang sesungguhnya melatarbelakangi berbagai aksi penentangan kelompok CPD-RDTL terhadap Xanana dan Pemerintah RDTL.

Sorotan lain datang dari Menteri Dalam Negeri, Rogério Tiago Lobato dan Presiden ASDT Fransisco Xavier do Amaral. Kepada Direito di kantornya pada 14/2/2003, Rogério Tiago Lobato mengatakan bahwa dirinya menya-yangkan dialog tersebut hanya melibatkan CPD-RDTL. Menurutnya, berba-gai persoalan yang marak terjadi selama ini bukan disebabkan oleh CPD-RDTL saja. Ada juga pihak lain ikut bermain di dalamnya. “Mengapa dia-log harus diadakan dengan CPD-RDTL yang kemauannya tidak punya dasar yang kuat? Lebih baik dialog seperti itu diadakan dengan perkumpulan politik lain yang punya dasar kuat untuk membantu mendinamiskan politi-k di Timor Leste,” politi-kata Menteri Dalam Negeri itu.

Presiden pertama RDTL yang sekarang menjabat Wakil Ketua Parleme-n NasoParleme-nal, FraParleme-nsisco Xavier do Amaral bahkaParleme-n lebih keras meParleme-nyatakaParleme-n CPD-RDTL sebagai kelompok yang tidak jelas identitasnya karena mereka tidak mengakui dirinya sebagai kewarganegaraan Timor Leste. Jadi me-nurutnya tidak sepantasnya pemerintah atau presiden melakukan dialog dengan CPD-RDTL. “CPD-RDTL tidak pernah menerima kewarganegaraan Timor Leste; Tidak ikut registrasi UNTAET; Tidak mengikuti Pemilihan Majelis Konstituante dan bahkan melarang orang untuk mengikutinya, maka untuk apa saya sebagai salah satu negara berbicara dengannya” kata Xavier.

Dari dua pendapat itu mana yang tepat, tentu saja masih perlu dibuktikan dari semua aspek. Yang pasti bahwa sikap menuduh kelompok tertentu sebagai organisasi ilegal tanpa alasan hukum yang kuat adalah sikap yang mengabaikan asas praduga tak bersalah. Begitu juga melarang sebuah kelompok untuk berdialog dengan pemerintah adalah sikap yang tidak demokratis. Berdialog dengan pemerintah adalah bagian dari perwujudan hak partisipasi setiap warganegara dalam turut memecahkan masalah-masalah kenegaraan. Menyatakan dialog nasional yang lalu tidak bermanfaat adalah juga sikap yang tidak bijaksana. Karena bagaimanapun juga dialog tersebut barulah dilakukan untuk pertama kalinya.

Sekedar penyeimbangnya, pendapat Ketua Parlemen Nasional Fransisco Guterres “Lu-Olo” barangkali bisa dijadikan bahan renungan. “Dialog ada-lah cara terbaik untuk menyelesaikan semua masaada-lah politik antar elit dan antar masyarakat di negeri ini,” katanya kepada Direito. Bahwa dia-log pada 25 Januari lalu belum menghasilkan hal konkret, itu harus dilihat sebagai sebuah proses awal yang tentu saja masih mengandung keku-rangan. “Yang penting, semua orang harus melihat dialog sebagai sarana terbaik dalam menyelesaikan masalah-masalah nasional,“ lanjutnya. Ia menegaskan agar di masa mendatang, dialog diarahkan untuk membahas hal-hal substansial yang menyangkut kepentingan seluruh bangsa ini.

Nuno Rodriguez dari Sahe Institute for Liberation, sependapat bahwa dialog seharusnya dipandang sebagai cara menyelesaikan masalah. Ia mengkritik pendapat yang menyatakan bahwa dengan terselenggaranya pertemuan pada 25 Januari lalu dialog nasional sudah berhasil. “Dialog baru pada tahap awal. Dialog bisa dianggap selesai kalau sudah menye-lesaikan masalah dengan sebaik-baiknya,” katanya kepada Rogério Soares dari Direito. Menurutnya, agar masalah bisa diselesaikan dialog harus membuka akar dari masalahnya. “Kita tidak akan pernah menyelesaikan suatu masalah kalau menghindar dari akar masalahnya,” katanya.

Memang betul, acara dialog nasionaltidak seharusnya digunakan ha-nya untuk menjelaskan resolusi-resolusi PBB dan peran PBB di negara kita. Ada media lain yang lebih tepat untuk itu dan tidak perlu mengeluar-kan banyak uang untuk sebuah dialog yang tidak menyentuh hal yang menjadi akar masalah yang membuat dilakukannya dialog itu.

(3)

DIREITO UTAMA

FALINTIL: di hutan ada masalah Foto: UNKNOWN

Agar Dialog Nasional Berguna Bagi Masa Depan

Ada masalah penting yang harus diselesaikan, tetapi sepertinya malah dihindari dalam dialog nasional. Yaitu masalah-masalah yang muncul selama perjuangan, terutama di dalam tubuh FALINTIL dan FRETILIN. Agar mencapai hasil, dialog harus menghadirkan para pemimpin perjuangan dari semua front, yaitu front perjuangan bersenjata, front klandestina dan front diplomatik untuk

mempertanggungjawabkan perjuangan kepada rakyat.

B

ahwa dialog nasional diada kan untuk menyelesaikan ma salah CPD-RDTL (Commi-ssão Popular de Defesa da Repú-blica Democrática de Timor Leste) hampir semua orang mengetahui-nya. Tetapi apa sesungguhnya ma-salah mereka dan dengan siapa? Ini merupakan pertanyaan dasarnya. Dalam demonstrasi-demonstrasi mereka, CPD-RDTL menyatakan bahwa mereka menuntut restorasi kemerdekaan 28 November 1975, lengkap dengan bendera nasional yang dikibarkan pada hari prokla-masi tersebut, lagu kebangsaan, teks proklamasi, Konstitusi RDTL 1975, dan FALINTIL sebagai ten-tara nasional.

Tetapi L-7 alias Leki Nahak Fo-horai Boot, mantan Segundo Co-mandante Região 3 FALINTIL me-lihat bahwa ada masalah lain yang justru merupakan masalah yang sebenarnya. “Keinginan mereka (CPD-RDTL) adalah menyelesai-kan masalah mengapa Kilik, Oka, dan Carlele mati serta Mauk Moruk dan Ologari menyerah, kata L-7 kepada Oscar da Silva dan Rogerio Soares dari Direito. Menurutnya, pada tahun 1983 terjadi pertentang-an pertentang-antar pemimpin FALINTIL di hutan, yaitu antara Mauk Moruk dan Ologari sebagai Primeiro dan Segundo Comandante Brigada Ver-melha FALINTIL di satu sisi de-ngan Xanana Gusmão di sisi lain. “Masalah ini sampai sekarang be-lum diselesaikan, sehingga mereka (CPD-RDTL) ingin menyelesaikan-nya. Tetapi persoalan ini pada dia-log 25 Januari 2003 tidak ada pe-nyelesaiannya,” lanjut L-7.

Pertikaian antar pemimpin per-juangan ini terjadi ketika akan dia-dakan perundingan antara Pangli-ma FALINTIL Xanana Gusmão dengan Komandan Korem Timor Timur Kolonel Purwanto. Perun-dingan yang menghasilkan kesepa-katan penghentian

tembak-mene-mbak antara ABRI dengan FALIN-TIL ini lebih dikenal dengan sebut-an “Kontak Dame.” Menurut L-7, karena keadaan tidak memungkin-kan para pemimpin saat itu tidak bisa mengadakan rapat untuk mem-bahas perundingan ini. Mereka ha-nya berhubungan melalui surat. “Dalam surat-menyurat itu ada kata-kata yang baik, ada kata-kata yang tidak baik. Yang tidak baik kadang-kadang emosional. Maka terjadilah saling marah. “Persoalan

ini tidak sempat diselesaikan. Mauk Moruk turun dengan sejumlah sen-jata. Ologari mereka lucuti, kemu-dian jalan terpisah. Oka juga mere-ka lucuti, jalan sendiri sampai mati. Kilik kami tidak tahu, dibunuh In-donesia atau orang kami sendiri yang membunuh. Kami tidak tahu,” kata L-7.

Menurut L-7, masalah tersebut-lah yang seharusnya diselesaikan sekarang. Xanana Gusmao harus ada, demikian pula Ologari dan Mauk Moruk. Penyelesaian yang tepat adalah melalui apa yang dulu dikenal sebagai “oto-kritik.” “Mi-salnya ada yang melakukan kejaha-tan. Ia harus menjelaskan mengapa

melakukan hal tersebut. Ini bukan untuk memasukkan orang itu ke penjara. Bukan untuk membalas dengan melakukan kekerasan. Ini kita tidak mau. Tetapi otokritik di-lakukan agar kekerasan itu tidak terjadi lagi,” papar L-7.

L-7 juga mengusulkan agar dila-kukan penyelesaian dengan meng-hadirkan pemimpin tiga front per-juangan (bersenjata, klandestina, dan diplomasi). Para pemimpin masing-masing front ini harus

mem-berikan laporan dan melakukan otokritik. “Dalam dialog itu FA-LINTIL memberilan laporan. Rak-yat bisa bertanya kepada FALIN-TIL, mengapa perang sudah selesai kalian terpecah-belah? Frente diplomatika itu keluar negeri kare-na diutus rakyat. Rakyat bisa ber-tanya, megnapa kalian pulang sen-diri-sendiri, membuat partai sendi-ri-sendiri?” demikian gambaran yang diberikan L-7.

Ketujuh orang pemimpin diplo-matik yang harus hadir menurut L-7 adalah Abílio Araújo, Marí Alka-tiri, José Ramos-Horta, Rogério Lo-bato, Roque Rodriguez, Ana Pessoa, dan José Luís Guterres. 

(4)

4 edisi 23 - Maret 2003 DIREITO UTAMA

YANG TERLUPAKAN DALAM DIALOG

NASIONAL

Aksi di depan Palacio do Governo, Dili. Foto: Rogério Soares/Direito. Dialog Nasional yang diprakarsai oleh Presiden RDTL Xanana Gusmão dengan kelompok CPD-RDTL oleh berbagai

kalangan dinilai banyak kelemahan. Masalah yang dibahas bukan masalah yang substansial bagi seluruh bangsa, dialognya tidak melibatkan banyak pihak, malah masalah CPD-RDTL sendiri juga tidak dibicarakan.

M

enjelang berlangsungnya dialog nasional pada 25 Ja nuari 2003 lalu, masyara-kat nampak berada dalam satu barisan untuk mendukung dialog yang diprakarsai presiden Xanana Gusmão itu. Banyak orang yang saat itu percaya kalau dialog nasio-nal yang akan diselenggarakan di bekas aula CNRT itu bakal menun-taskan pertentangan politik antara CPD-RDTL dengan para politisi di pemerintahan. Juga pertentangan antar elit politik yang lain. Karena keyakinan itu maka tidaklah salah, orang pun kemudian beramai-ramai mendukung dilaksanakannya dialog itu. Apa yang terjadi setelah dialog itu berakhir, kenyataannya lain. Dia-log yang awalnya didukung oleh masyarakat akhirnya malah dikritik. Sumber kritikan terletak pada apa yang dinilai sebagai gagalnya dialog tersebut untuk menghasilkan solusi-solusi konkret.

Menurut pantauan Direito, me-reka yang mengkritik dialog itu bo-leh dibilang terdiri dari seluruh la-pisan masyarakat. Mulai dari mas-yarakat biasa, para aktivis organi-sasi non-pemerintah hingga para pejabat tinggi pemerintah dan anggota Parlemen Nasional. Kepa-da Direito (14/02/03), Presiden Parlemen Nasional, Fransisco Guteres alias Lu-Olo mengaku dirinya sependapat dengan mereka yang mengatakan dialog nasional yang diprakarsai presiden Xanana itu tidak tidak mampu menghasil-kan solusi konkret. Menurutnya hal itu terjadi karena peserta dan pe-nyelenggara tidak mampu menjadi-kan hal-hal substansial sebagai ma-salah yang seharusnya didialogkan. “Saya heran sendiri, mengapa dia-log nasional yang secara politis cukup bergengsi itu, malah hanya bisa digunakan untuk membahas hal-hal yang tidak penting, tidak

serius dan tidak menyangkut lang-sung kepentingan keseluruhan bangsa dan negara ini,” kata Lu Olo di kantornya.

Perdebatan alot atas ide “Reajus-tamento” Konstitusional CPD-RDTL yang cukup banyak mema-kan waktu di dalam dialog itu, di-anggap Lu Olo sebagai sebuah per-debatan yang tidak penting. Menu-rutnya, ide “reajustamento konsti-tusional” adalah sebuah penghalus-an bahasa saja dari ide CPD-RDTL sebelumnya tentang restorasi total konstitusi RDTL tahun 1975. “Ide merestorasi total Konstitusi 1975 adalah ide yang tidak sejalan de-ngan kebutuhan dan tuntutan mas-yarakat dalam konteks kemerdeka-an sekarkemerdeka-ang. Ide itu tidak terlalu penting dan seharusnya jangan di-jadikan topik bahasan dalam dialog nasional itu,” tegas Lu Olo.

Presiden FRETILIN ini juga me-nyesalkan bahwa dialog tersebut banyak membuang-buang waktu untuk tanya jawab dengan UNMI-SET (Misi Dukungan PBB di Ti-mor Leste) tentang resolusi-resolusi

PBB dan peran PBB di negara ini. Menurutnya, untuk mengetahui in-formasi tentang itu, orang bisa me-minta langsung kepada orang-orang yang duduk di pemerintah.

Lalu apa masalah substansial yang seharusnya dibicarakan dala-m dialog itu? Lu Olo dala- menjelaskan-nya bahwa masalah rekonsiliasi na-sional adalah salah satunya. Seha-rusnya konsep rekonsiliasi yang di-jalankan selama ini dibahas dalam dialog itu agar bisa tahu apakah konsep seperti itu diterima rakyat atau tidak. Masalah lain yang dini-lainya substansial juga adalah kea-manan nasional di negara ini. Dia-log nasional seharusnya membahas masalah ini dengan tujuan menga-jak masyarakat untuk berpikir ber-sama dengan pemerintah dalam mencari konsep terbaik tentang bagaimana keamanan nasional ini bisa dijamin. Apakah setiap masa-lah di masayarakat harus selalu mendatangkan FDTL, ataukah di-serahkan saja kepada polisi atau rakyat juga diminta berkontribusi menjaga keamanan nasional itu?

(5)

DIREITO UTAMA

Dialog Pemerintah dengan CPD-RDTL di GMT, Dili. Foto: R. Soares. Isu substansial lainnya adalah

tentang apa konsep pembangunan terbaik yang harus diterapkan di negara ini agar hasilnya bisa dinik-mati oleh seluruh rakyat. Apakah pembangunan itu harus berakhir dengan situasi seperti yang dialami rakyat Indonesia yang justru me-nimbulkan jurang yang besar antara mereka yang kaya dengan mereka yang miskin yang semakin hari se-makin bertambah miskin saja. “Ja-nganlah orang saling mencubit saja harus kita selesaikan dengan mela-kukan dialog nasional. Lama-lama pekerjaan kita di negara ini hanya berdialog dan berdialog terus tanpa kita sendiri tahu kejelasan tujuan dialog itu sendiri. Tujuanya saja ti-dak tahu apalagi hasilnya. Pekerja-an lain bisa terbengkalai akhirnya,” kata Lu-Olo dengan nada tawa.

Sementara itu, L-7 alias Nahak Leki Fohorai Bo’ot yang ditemui Di-reito di lahan persawahanya di Laivai, Lospalos (9/2/03) menya-takan ketidakpuasanya atas dialog itu. Ia mengatakan bahwa dialog nasional seharusnya juga memba-has masalah terkait konflik internal di tubuh FALINTIL di hutan pada

tahun 1983. Konflik yang dimak-sudnya adalah konflik antar Xana-na versus Kilik, Mauk Moruk, dan Ologari Assuwain. Konflik ini ber-akhir dengan hilangnya Kilik, yang saat itu menjadi Chefe do Estado Maior (Kepala Staf) FALINTIL se-cara misterius di hutan dan menye-rahnya Mauk Moruk dan Ologari yang masing-masing menjabat

Primeiro dan Segundo Comandan-te Brigada Ver melha (Brigade Merah) pada 1983.

L-7, yang terakhir menjadi Se-gundo Comandante Região III ini mengatakan bahwa konflik-konflik masa lalu yang belum diselesaikan itulah yang sebenarnya melatarbe-lakangi berbagai aksi penentangan terus-menerus CPD-RDTL terha-dap Xanana dan Pemerintah pim-pinan FRETILIN sekarang.

Menteri Dalam Negeri, Rogério Tiago Lobato yang pernah disebut-sebut dekat dengan berbagai kelom-pok bekas pejuang yang tidak puas, mengatakan bahwa dirinya menye-salkan mengapa dialog nasional itu tidak mampu membahas hal-hal yang substansial. Menurutnya, itu terjadi karena dialog nasional diran-cang tanpa banyak melibatkan pi-hak lain dalam mendiskusikan kon-sepnya. “Perangcang dan peserta dialog itu seharusnya juga melibat-kan asosiasi politik lain atau kelom-pok lain, selain dari CPD-RDTL sendiri, agar konsepnya bisa meme-nuhi syarat kelayakan sebagai sebu-ah dialog yang betul-betul dituju-kan untuk menyelesaiakn

masala-h-masalah yang substansial. Saya pikir semakin beragam yang terli-bat di dalamnya, semakin terbuka peluang untuk membahas masalah substansial dalam dialog itu,” kata salah seorang pendiri FALINTIL ini kepada Direito.

Pendapat senada juga di sampa-ikan Xavier do Amaral, Presiden RDTL pertama yang sekarang

men-jadi Wakil Presiden Parlemen Na-sional. Proklamator kemerdekaan RDTL 28 November 1975 itu juga mengatakan dirinya kurang puas karena dialog tersebut tidak memi-liki tujuan yang jelas dan status dia-log itu tidak jelas sebagai diadia-log nasional. Karena pesertanya hanya terdiri dari kalangan CPD-RDTL dan FRETILIN, menurutnya dialog tersebut lebih tepat disebut seba-gai dialog bilateral antara CPD-RDTL dengan FRETILIN. Dialog nasional menurut Xavier do Amaral adalah dialog yang melibatkan se-mua kelompok yang saling berten-tangan.

Presiden partai ASDT ini juga menilai bahwa dialog itu tidak membahas hal-hal yang substansi-al. “Hanya masalah-masalah yang punya kaitan langsung dengan ke-butuhan seluruh bangsa dan yang berhubungan dengan upaya perba-ikan kondisi nyata di negara inilah yang seharusnya dijadikan bahan dialog dalam dialog nasional kema-rin,” tegasnya.

Mengedepankan dialog untuk menyelesaikan masalah adalah prin-sip demokrasi yang harus dijunjung tinggi. Begitupun kritikan terhada-p dialog nasional itu adalah bagian dari proses demokrasi. Jika begitu, sorotan kritis pada dialog nasional yang diprakarsai Presiden Xanana Gusmão kemarin haruslah dilihat secara positif untuk tujuan perbaik-an pada dialog-dialog mendatperbaik-ang. Itu jika orang masih menganggap penting untuk melakukannya lagi. Satu hal yang cukup positif yang diperoleh Direito dari mereka yang mengkritik dialog tersebut adalah adanya niat baik dari mereka untu-k memperbaiuntu-ki dialog sejenis yang akan dilakukan di masa depan.

Kepada Direito, mereka semua mengaku merasa berkepentingan untuk menjadikan setiap dialog na-sional sebagai sarana penyelesaian masalah-masalah utama di negara ini. Bukti niat baik itu juga diung-kapkan dalam bentuk pengakuan mereka atas adanya beberapa ma-salah besar selama ini yang tidak terselesaikan karena diabaikan be-gitu saja. Selain itu, mereka menya-takan kesedian untuk terlibat dalam dialog lain untuk membahas masa-lah-masalah yang mungkin saja ber-kaitan dengan diri mereka.

(6)

DIALOG

6 edisi 23 - Maret 2003

Francisco Xavier do Amaral. Foto: Rogério Soares.

Francisco Xavier do Amaral: Ini

Bukan Dialog Nasional

Presiden pertama RDTL menilai dialog yang diadakan Januari lalu bukan dialog nasional karena tidak membahas masalah nasional dan pesertanya tidak mewakili seluruh golongan masyarakat. Berikut petikan wawancaranya dengan Rogério Soares dan Oscar da Silva dari Direito.

Bagaimana pandangan anda men-genai dialog nasional yang sudah dilakukan?

Dialog yang telah dilakukan itu oleh semua orang dan semua media massa disebut dialog nasional. Tetapi kita ti-dak tahu apa materinya dan tujuannya. Saya juga mendapatkan undangan dari Presiden RDTL. Jadi saya kira Presiden RDTL yang merencanakan dan mengor-ganisir dialog itu. Undangan itu bukan datang dari CPD-RDTL, sehingga mem-buat saya juga bertanya-tanya. Tetapi karena undangan datang dari presiden RDTL maka saya pikir undangan itu un-tuk kita semua. Mungkin akan berbicara mengenai situasi nasional, masa depa-n badepa-ngsa, dadepa-n melihat kembali masa lalu. Tetapi setelah saya sampai di sana tidak seperti yang saya pikirkan. Dalam dialog itu saya melihat dua kelompok. Seolah-olah dialog itu antara CPD-RDTL dengan FRETILIN. Dari cara mereka mengambil tempat duduk juga secara

sendiri-sendiri kelompoknya. Jadi dia-log itu antara CPD-RDTL dengan FRETI-LIN, bukan dialog nasional.

Mengenai dialogi saya sudah pernah mengatakan di Parlemen Nasio-nal bahwa dialog itu tidak saya anggap dialog nasional. Kalau dialog nasional, semua partai politik, semua tokoh mas-yarakat datang duduk bersama mem-bahas semua masalah dalam segala bi-dang. Tetapi ini tidak, hanya dua kelom-pok yang datang melakukan dialog, dua kelompok itu yang saling bertukar pikir-an. Semua orang lain yang datang ha-nya sekedar mendengar, termasuk saya. Ini bukan dialog nasional!

Saya melihat baik-baik, maka saya mencurigai dialog ini dilakukan oleh CPD-RDTL atau Presiden RDTL atau mereka berdua yang merencanakan se-mua ini. Itulah pertanyaan-pertanyaan yang masih di udara, belum terjawab. Kalau Presiden RDTL yang mengorga-nisir, ini tidak pantas, sebab ini bukan tugas Presiden. Presiden menga-takan demokrasi, tetapi ini bukan caranya untuk menghidupkan de-mokrasi. Demokrasi ada aturan yang artinya rakyat sebagai satu warganegara duduk bersama me-lakukan dialog untuk menyelesai-kan masalahnya.

Kita melakukan dialog nasional karena ada suatu masalah nasio-nal. Sekarang kita melakukan dia-log nasional dengan orang yang tidak mengakui dirinya sebagai warganegara Timor Leste. CPD-RDTL tidak pernah menerima ke-warganegaraan Timor Leste, tidak ikut registrasi UNTAET, tidak meng-ikuti pemilihan umum Majelis Konstituante dan bahkan mela-rang omela-rang untuk mengikutinya.

Presiden sebagai kepala nega-ra, pergi berbicara dengan kelom-pok yang tidak mengakui sebagai warganegara Timor Leste. Itu bukan pergi bermain atau pergi pasiar sehingga tidak memperhi-tungkan dampak positif dan

nega-tifnya. Itulah pertanyaan-pertanyaan yang membuat saya masih bingung.

Dialog nasional seharusnya meli-batkan semua yang terlibat dalam resistensia sampai sekarang. Apa sebenarnya di balik semua itu?

Ada udang dibalik batu. Mungkin mereka mempunyai ide yang lain. Sebab semua diundang ke dialog itu yang semestinya kalau ada yang bertanya masalah apa kepada siapa, dia akan menjawab. Tetapi mereka di sana melakukan dialog dua arah dari CPD-RDTL ke FRETILIN. Karena di sana sudah terbagi kelompok sendiri-sendi-ri, dari kelompok CPD-RDTL dan kelom-pok FRETILIN, termasuk di dalamnya Mari Alkatiri. Ini suatu permainan. Permainannya saja tidak menjadi ma-salah. Tetapi bisa berakibat fatal bagi bangsa dan negara. Pemerintah Fretilin kadang tidak punya pandangan. Lihat dulu, siapa orang yang kita mau bicara dengannya. Dia datang bicara mewakili siapa dan apa yang ingin dia bicarakan. Jangan hanya sembarangan berbicara dengan setiap orang yang datang. Saya sudah memberikan pandangan saya di Parlemen bahwa saya tidak mengeta-hui dan tidak menyetujui dialog itu. Bagi saya dialog itu hanya membuang wak-tu dengan duduk bersama yang hanya memboroskan uang.

Kalau memang ada masalah nasio-nal yang harus diselesaikan mela-lui dialog nasional, yang mengor-ganisir harus orang-orang yang netral?

Semestinya begitu, tetapi ini kan rekayasa. Rekayasa adalah kotor. Orang berbuat apa saja yang hanya menun-jukkan suatu simbol tetapi tidak tahu apa yang dibuatnya. Dan sekedar ha-nya membuat kekacauan.

Seharusnya orang-orang yang ber-kepentingan mengadakan koordinasi dengan kedua uskup. Saya sangat setuju kalau kedua uskup atau salah sa-tunya yang mengadakan dialog.

Apa dialog itu masih ada lanjutan-nya?

Pasti ada lanjutannya. Tetapi kita ti-dak tahu ke mana arahnya. Saya bisa mengatakan bahwa ke manapun lanjut-annya pasti akan membuat kacau bang-sa dan negara. Akan menimbulkan keri-butan, menimbulkan sesuatu yang tidak jelas. Kita hanya melegitimasi sesuatu yang tidak legal. 

(7)

JUSTIÇA

ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

Silverio Pinto Baptista

Pengadilan Timor Lorosae saat ini berjalan lambang karena banyak faktor. Selain pemerintah sendiri belum mempunyai badget yang tetap untuk menset-up sistem pengadilan yang baik juga kendala utama yang dihadapi sekarang adalah faktor sumberdaya manusia yang terbatas. Oleh karena itu untuk kasus-kasus perdata sebaiknya diselesaikan dengan melalui

mediasi, arbitrasi, rekonsiliasi dan negosiasi tanpa melalui pengadilan.

H

au mai Tribunal ne’e atu asiste julgamentu hau nia kolega nia kazu, tanba hau nia kolega nian kazu hatoo iha tri-bunal kleur ona. Ohin ami tama iha laran juis dehan kazu ne’e labele halo julga, sei adia tan fali. Hau senti kuandu hanesan ne’e bebeik maka bainhira los kazu kolega ne’e bele hotu tanba julga deit adia bebeik. Hau senti buat hirak ne’e tenki hare didiak, tanba kuandu julga lao kleur eantaun bainhira los mak kazu ne’e bele hotu”, kata Natalino Mendonça seorang kelu-arga terdakwa dengan nada tanya dan sedih di depan pengadilan Dili. Fenomena di atas bukanlah hal baru. Sesunguhnya masih banyak orang seperti Tiu Natalino Men-donça yang mengeluh atas dunia peradilan kita sekarang berjalan lambang. Banyak orang berangga-pan kalau kasus diajukan ke Pen-gadilan itu cepat diselesaikan dan gampang. Mereka kira menyelesai-kan kasus di Pengadilan tidak ada biaya alias gratis. Anggapan itu, kurang tepat seperti yang dialami oleh Tiu Natalino Mendoca di atas. Sekarang jikalau ada orang yang ingin menyelesaikan perkaranya di Pengadilan sebelumnya dia harus siap untuk mengikuti prosesnya yang memakan waktu lama untuk sering datang ke pengadilan dan hal lain adalah har us mempunyai persediaan biaya yang cukup.

Agar keluhan seperti Tiu Natali-no ini tidak terjadi maka sebaiknya, antara kasus pidana dan perdata, hanya kasus pidana saja yang diajukan ke pengadilan untuk pro-ses. Sedangkan kasus perdata seba-iknya diselesaikan di luar pengadi-lan dengan menggunakan alternatif penyelesaian sengketa yang lain, seperti mediasi, arbitrasi, rekonsi-liasi, konsultasi, negoasiasi dan lain-lain. Mengapa demikian? Karena apabila semua kasus kita ajukan ke pengadilan, tentunya dalam proses penyelesaiannyapun membutuhkan waktu dan biaya yang besar. Satu kasus paling cepat diselesaikan

da-Pengadilan Distrik Dili Foto: Rogerio Soares/Direito

lam tiga bulan. Biaya besar misal-nya untuk pendaftaran kasus, membayar pengacara, akomodasi dan transportasi. Di pengadilan dis-trik Dili, biaya untuk registrasi satu kasus perdata besarnya US$ 100. Pengadilan distrik Baucau US$ 75. Biaya ini kemungkinan akan ditam-bah lagi oleh pihak penggugat, bi-lamana biaya ini sudah selesai di-gunakan oleh pengadilan untuk memproses perkaranya.

Sesungguhnya dapat dimengerti, mengapa permasalahan seperti itu dapat terjadi? Bahwa kelamahan-kelemahan utama yang dihadapi

a-dalah terbatasnya SDM (sumber daya manusia), seperti hakim, jaksa dan pengacara. Dan belum adanya budget tetap dari pemerintah untuk membantu menset-up sistem pera-dilan yang baik. Kurangnya SDM, dapat dilihat bahwa untuk ke-4 pen-gadilan distrik yang sekarang ada di Timor Lorosae, yakni pengadilan distrik Dili, yang yurisdiksinya meliputi distrik Aileu, Ermera dan Liquiça, hakim investigasinya hanya dua orang, hakim panel lima orang, jaksa empat orang, panitera delapan orang, merangkap sebagai staf ad-ministrasi pengadilan. Pengadilan distrik Baucau, yang mencakup wi-layah distrik, Lospalos, Viqueque dan Manatuto, hakim panelnya

ha-nya empat orang, hakim investigasi satu orang, merangkap ketua pen-gadilan. Jaksa penuntut hanya dua orang dan pengacara satu orang. Pengadilan distrik Suai, yang wila-yah yurisdiksinya meliputi distrik, Bobonaro, Same dan Ainaro, hakim panelnya hanya tiga orang, hakim investigasi satu orang, merangkap ketua pengadilan, pengacara belum ada. Sementara ini pengadilan di Suai belum berfungsi karena sarana dan prasaran kerja belum memadai. Praktis semua kasus diselesaikan di pengadilan distrik Dili. Pengadilan distrik Oecussi pengacara, jaksa

dan hakim investigasi masing-masing hanya satu orang. Sedang-kan hakim panel belum ada. Untuk kasus pidana kadang-kadang jaksa harus membawa tersangka untuk di hearing atau disidangkan di penga-dilan distrik Dili, karena hakim yang bertugas di Dili tidak ada waktu umtuk datang ke Oecussi untuk menyidangkan perkara itu.

Oleh karena itu sebaiknya untuk kasus-kasus kecil seperti kasus pencemaran nama baik (penghina-an), kasus buruh, kasus tanah, ka-sus pencemaran lingkungan dapat diselesaikan melalui lembaga pe-nyelesaian sengketa alternatif.

(8)

PEMBERDAYAANRAKYAT

8 edisi 23 - Maret 2003

Hasil pestisida organik, kelompok tani Luro, Lautem. Foto: Mariano Ferreira.

PESTISIDA BUATAN SENDIRI

Pestisida organik adalah bagian dari pertanian berkelanjutan yang saat ini dikembangkan. Supaya pertanian kita berkelanjutan, tidak menciptakan ketergantungan dan tidak merusak lingkungan maka jangan terlalu mengunakan pestisida dan pupuk kimia dari pabrik dalam bertani.

D

alam produksi pertanian ti dak terlepas dari yang na manya faktor produksi. Salah satu faktor produksi adalah pengunaan pestisida untuk mem-basmi hama yang menyerang tana-man budidaya petani. Pada masa pendudukan Indonesia, petani ter-biasa mengunakan pestisida kimia dari pabrik yang sebenarnya sangat potensial merugikan lingkungan dan kesehatan petani. Dan juga se-cara ekonomis biaya produksi san-gat tinggi. Pada era kemerdekaan yang sedang gencar mengembang-kan sistem pertanian organik atau pertanian berkelanjutan, kita harus mengunakan pestisida organik.

Dalam sistem pertanian berke-lanjutan, diharapkan petani men-gunakan pestisida organik karena

ramah lingkungan dan tidak me-nimbulkan dampak negatif lainnya. Kita menghindari pengunaan pes-tisida kimia dari pabrik untuk mem-berantas hama karena banyak faktor negatifnya seperti pencemaran ling-kungan dan juga mempengaruhi kesuburan tanah. Jadi jangan hanya dilihat sebagai pemberantas hama yang menyerang tanaman. Pembe-rantasan hama dengan mengunakan pestisida kimia dalam konsentrasi yang tinggi akan meresap kedalam tanaman dan tidak bisa hilang yang disebut residu. Residu (zat sisa) bahan kimia yang terserap dalam

tanaman berbahaya bagi kesehatan manusia yang mengkonsumsinya. Walaupun tidak secara langsung menimbulkan sakit (penyakit) pada saat mengkonsumsi hasil pertanian-nya, tetapi akan menimbulkan ber-bagai penyakit di kemudian hari setelah manusia itu lanjut usia. Pes-tisida kimia tidak hanya mengan-cam kesehatan manusian melalui resido, akan tetapi juga secara ekonomis petani harus mengeluar-kan biaya yang lebih untuk mem-belinya di pabrik. Dan juga akan memciptakan ketergantungan bibit tanaman yang terbiasa menguna-kan pestisida kimia, kalau tidak lagi mengunakan pestisidanya maka akan memberikan pertumbuhan yang tidak baik dan produksi tana-man yang rendah. Ketergantungan yang lebih parah lagi a-dalah para pengusaha yang mempunyai pabrik pestisida kimia bisa mengendalikan harga hasil pertanian sesuai dengan keinginannya karena produksi hasil pertanian petani tergan-tung dari pestisida yang mereka hasilkan. Kalau terjadi demikian maka petani hanya sekedar pekerja atas tanahnya sendiri untuk kepenting-an pengusaha pestisida kimia dkepenting-an pupuk kimia yang tidak pernah bekerja di sawah dan kebun.

Tetapi yang menjadi persoalan sekarang adalah bagaimana supaya kita sebagai petani terhindar dari pengunaan pestisida kimia dalam memberantas hama yang sekarang menjadi persoalan kita. Untuk itu, harus mencari jalan keluar atau alternatif lain untuk bisa mengatasi masalahnya. Selama ini sudah ba-nyak NGO yang memberdayakan petani untuk hidup mandiri dan ti-dak tergantung pada orang lain te-lah mencari alternatif pemecahan yang disesuaikan dengan kondisi sumberdaya alam yang ada. Sebe-narnya, membasmi hama tidak

selalu mengunakan pestisida kimia yang sangat merugikan itu. Tetapi kita bisa menghindari hama dengan pengolahan tanah yang baik kare-na takare-nah yang bersih/sehat akan menghasilkan tanaman sehat pula; Pengunaan bibit atau benih lokal yang sudah beradaptasi dengan lingkungan kita yang relatif tahan terhadap hama; Dan mengunakan pola tanam campuran atau tumpan sari. Kalau terpaksa harus nakan pestisida maka bisa mengu-nakan pestisida organik buatan oleh petani dengan memamfaatkan ke-kayaan alam sendiri.

Sebenarnya hal pembuatan pes-tisida organik sendiri tidaklah su-sah, tergantung dari kreatifitas para petani sendiri setelah mengetahui-nya. Sebab sudah banyak kali Per-kumpulan HAK bersama kelompok tani dampingan seperti di Subdis-trik Luro, DisSubdis-trik Lautem dan Sub-distrik Alas, Distrik Manufahi mengatasi hama dengan membuat pestisida organik buatan sendiri. Pestisida organik ini dibuat dari tumbuh-tumbuhan yang ada di ling-kungan kita. Hal ini sangat baik di-ikuti oleh semua petani di seluruh Timor Lorosae karena semua bahan yang digunakan untuk membuat pestisida organik terdapat di alam kita sendiri. Bahan-bahan baku pembuatan pestisida organik itu seperti dedaunan, bunga dan biji, batang, akar dan umbi-umbian ta-naman yang pahit.

Daun, batang, akar dan umbi ta-naman yang sering digunakan oleh petani dampingan selama ini untuk membuat pestisida organi antara lain: (a) Jenis dedaunan misalnya: daun mindi, mahoni, surem, daun ai-hanek, daun tuba, daun sirsak, daun siri, daun tembako, daun bun-ga paitan, daun ai-kalik dan dedau-nan pahit lainnya. (b) Umbi-umbian, misalnya: Umbi gadung (kuan kout), Umbi Laos, Maek Katar. (c) Jenis batang dan akar seperti tuha, Bauk moruk, akar mahoni, batang bunga paitan. (d) Bunga dan Biji se-perti: biji sirsak, biji nyamplon

(9)

(sam-PEMBERDAYAANRAKYAT

Para petani sedang membuat sendiri pestisida organik. Foto: Mariano Ferreira

Mariano Ferreira

palo), lombok, bunga kenikir, me-kar sore, brontoali dan bunga pai-tan. Bahan-bahan untuk membuat pestisida organik tidak hanya yang disebutkan diatas tetapi masih ba-nyak jenis ragamnya di Timor Lo-rosae yang belum teridentifikasi.

Pembuatan pestisida organik se-cara alamiah dengan mengunakan tumbuh-tumbuhan di atas sangat mudah. Tingal kreatifitas dan ke-tekunan petani mencoba mengerja-kan dengan memamfaatmengerja-kan semua sumberdaya alam yang kita miliki untuk kebutuhan kita. Pestisida or-ganik buatan sendiri ini juga tidak menimbulkan efek sampin terhadap lingkungan dan tidak ada resido yang terserap dalam tanaman kare-na tidak mencampur dengan bahan kimia. Secara ekonomis petani ti-dak mengeluarkan biaya yang lebih tinggi dalam proses pembuatannya karena bahannya mudah didapat-kan (sudah tersedia di alam sekitar kita). Dan dalam proses pembuat-an pestisida orgpembuat-anik juga hpembuat-anya mengunakan alat-alat yang sudah dimiliki petani seperti: parang, pisau, lingis, ember dan alat penum-buk tradisional lainnya. Serta dalam proses itu juga petani bisa memam-faatkan limbah-limbah tertentu yang dibutuhkan tanpa mengeluar-kan biaya seperti botol plastik Aqua, botol dan kaleng lainya yang bisa digunakan untuk menimpan pestisida hasil buatan maupun pro-sesnya.

Cara membuat pestisida orga-nik

Cara pembuatanya sederhana, tidak membutuhkan teknik yang sulit se-hingga bisa dibuat oleh semua pe-tani yang ada di Timor Lorosae ka-lau membutuhkannya. Langkah-langkanya sebagai berikut:

(1) Mengumpulkan semua bahan yang telah disebutkan di atas baik jenis daun-daunan, bunga dan biji, batang-batangan dan umbi-umbian. Jumlah bahan yang diambil sesuai dengan kebutuhan.

(2) Semua jenis bahan ditumbuk, digerus sesuai dengan bahan sam-pai hancur dengan mengunakan alat tumbuk yang dimiliki petani. Tiap jenis bahan yang mau digunakan harus ditumbuk atau digerus secara sendiri-sendiri.

(3) Hasil tumbukan atau gerusan dicampur dengan air secukupnya sesuai dengan jumlah bahan yang ditumbuk, kemudian diaduk sam-pai rata dalam ember atau bak pengaduk lainya. Dan tiap adukan disimpan di tempat yang teduh (dari sinar matahari maupun air hujan) minimal selama 24 jam lamanya. (4) Campuran yang telah disimpan itu kemudian diperas dan disaring airnya, kemudia diisi dalam botol plastik atau kalen bekas apa saja yang bisa dimamfaatkan untuk di-simpan.

Air perasan bahan-bahan itu me-rupakan pestisida yang siap digu-nakan sesuai dengan kebutuhan

petani. Setiap bahan bisa digunakan sendiri-sendiri untuk memberantas hama yang menyerang tanaman kita, misalnya untuk untuk mem-berantas hama tikus dan lainya mengunakan bauk moruk dan tuha. Dan juga untuk hama tertentu bisa mengunakan campuran satu sama lain untuk memberantas atau menyemprotkan pada hama yang menyerang tanaman. Misalnya hama wereng pada tanaman padi bisa memakai campuran hasil air rendaman bungga paitan dengan bunga kinikir yang telah diperas. Bisa juga kita mencoba menguna-kan jenis yang ada secara sendiri-sendiri untuk mengatasi hama yang menyerang tanaman kita. Sebelum mengunakan, ukuran campuran de-ngan air tidak tetap, semuanya di-sesuaikan dengan kebutuhan de-ngan menambah konsentrasi (jumlah) pestisida yang digunakan sampai bisa menjawab persoalan yang kita hadapi.

Bagi para petani yang selama ini mengalami masalah dalam membe-rantas hama, maka sekarang saat-nya mencoba dan mengunakan pes-tisida organik buatan sesuai dengan kebutuhan. Kami yakin akan bisa membantu menjawab persoalan yang dihadapi dengan tidak menge-luarkan biaya produksi yang terlalu tinggi untuk membeli pestisida kimia dari pabrik.

(10)

TEROPONGKEBIJAKAN

10 edisi 23 - Maret 2003

Naskah Kebijakan untuk regulasi tentang kekerasan domestik sudah disetujui oleh Dewan Menteri RDTL. Naskah ini disusun oleh organisasi-organisasi non-pemerintah dengan dukungan dari Kantor Penasehat Perdana Menteri Urusan Promosi Kesetaraan.

Naskah Kebijakan Regulasi

Anti-Kekerasan Domestik

M

eningkatnya kekerasan da lam relasi domestik bukan lah semata-mata persoalan dan urusan hukum. Akar permasa-lahan jauh lebih luas, yaitu faktor masyarakat itu sendiri dan faktor struktur sosial masyarakat patriar-kis yang masih sangat nampak di masyarakat Timor Leste.

Konstitusi dan hukum tertulis lain yang berlaku di Timor Leste mengatur masalah kekerasan seca-ra umum, namun belum ada yang secara khusus mengatur soal keke-rasan domestik. Oleh karena itu pada tingkat praktis banyak kasus kekerasan domestik dengan segala dimensinya yang terjadi di Timor Leste yang tidak tertangani secara baik berdasarkan instrumen hukum yang kini tersedia.

Masalahnya memang bukan semata-mata perbuatan melangar hukum, tetapi juga terkait dengan struktur sosial masyarakat yang membentuknya dan ikut mempen-garuhi pemikiran dan perilaku mas-yarakat yang berlangsung dalam konteks ruang dan waktu yang lama. Pada hakekatnya proses pem-bentukan sebuah produk hukum bukan terlepas dari lingkungan, justru sistem dan struktur sosial yang melingkupinya memberi mem-pengaruhi pembentukan sebuah sistem hukum. Inilah persoalannya, mengapa sistem hukum yang ber-laku sering tidak efektif menjawab dan menyelesaikan masalah keke-rasan domestik.

Dalam hal kekerasan terhadap perempuan umumnya dan kekera-san domestik khususnya, ketentu-an hukum yketentu-ang biasketentu-anya dipakai a-dalah hukum warisan Indonesia, yaitu Kitab Undang-Undang Hu-kum Pidanga (KUHP). Kode penal tersebut sudah seringkali dikritik karena kurang menjamin hak-hak korban kekerasan seksual umum-nya dan kekerasan domestik khu-susnya. Karena itulah muncul ga-gasan tentang perlunya melakukan revisi KUHP. Tetapi mengingat luas

dan spesifiknya masalah tersebut, tampaknya yang lebih penting ada-lah tersedianya undang-undang yang khusus mengatur masalah ke-kerasan domestik. Naskah kebija-kan yang telah disusun bersama oleh organisasi-organisasi non-pe-merintah Timor Leste bersama Kantor Penasehat Perdana Mente-ri Urusan Promosi Kesetaraan ber-tujuan untuk menyusun undang-undang yang khusus untuk kekera-san domestik.

Di Timor Leste, proses penyu-sunan dan pembentukan sebuah re-gulasi (undang-undang) tampaknya kurang jelas mekanismenya. Ada regulasi yang langsung dibuat rancangannya kemudian didiskusi-kan dan disahdidiskusi-kan tanpa sebuah stu-di yang layak, meskipun masalah yang diaturnya cukup kompleks. Ada pula yang prosesnya lama. Mi-salnya terlebih dahulu harus dila-kukan studi, kemudian dibuat nas-kah kebijakannya, dan setelah di-setujui oleh Dewan Menteri akan ditindaklanjuti dengan penyusunan rancangan untuk selanjutnya diaju-kan kepada Parlemen Nasional.

Masalah kekerasan domestik di-awali dengan penyusunan naskah kebijakan (policy paper). Proses ini terkait dengan sensitivitas persoal-annya dan sikap masyarakat umum-nya terhadap kekerasan domestik. Sebuah tim yang ditugaskan untuk menyusun naskah kebijakan men-catat hal-hal mendasar tentang ke-kerasan domestik. Salah satu reko-mendasinya adalah pembuatan un-dang-undang yang khusus. Naskah kebijakan tersebut bertujuan mem-berikan argumentasi dan dasar-dasar bagi dibentuknya sebuah un-dang-undang atau regulasi.

Hasil kajian yang dituangkan da-lam naskah kebijakan tersebut in-tinya adalah sebagai berikut ini.

Istilah

Istilah yang digunakan adalah kekerasan domestik, bukan keke-rasan rumahtangga. Kekekeke-rasan

do-mestik menunjukan karakteristik kekerasan yang tidak semata-mata melihat aspek locus (tempat terjadi-nya perbuatan pidana), tetapi me-letakkan kekerasan domestik dalam konteks penyelenggaraan hubung-an sosial yhubung-ang subordinat. Ini berarti tindak kekerasan yang dilakukan seorang laki-laki terhadap seorang perempuan yang belum menikah (relasi pacaran) bisa dikategorikan sebagai kekerasan domestik. De-ngan kata lain, kekerasan domes-tik lebih luas cakupannya keti-mbang kekerasan rumahtangga.

Definisi

Kekerasan domestik bukan saja meliputi kekerasan fisik, tetapi juga mencakup tindakan-tindakan ber-dampak psikis, ekonomi, dan seba-gainya. Contohnya, perbuatan men-gancam/menggertak (biasanya su-ami terhadap istri) adalah tindakan berdampak psikis. Sedang suami ti-dak memberikan nafkah kepada istri dikategorikan sebagai kekerasan domestik yang bersifat ekonomi.

Fakta Kekerasan Domestik

Kekerasan domestik berdampak kepada: (a) individu yang terkena langsung (misalnya korban); (b) keluarga (misalnya anak-anak diter-lantarkan dan perginya anggota lain dari rumah); (c) negara (misalnya menurunnya pendapatan negara).

Kekerasan domestik tidak hanya terjadi pada istri dan golongan ma-syarakat tidak berpendidikan. Da-lam banyak kasus kekerasan do-mestik juga terjadi pada kelompok orang berpendidikan seperti dokter, bahkan orang yang berprofesi seba-gai aparat penegak hukum.

Penyebab utama kekerasan do-mestik: (a) tatanan masyarakat pat-riarkis dan peran gender; (b) kultur dan kebiasaan/adat; (c) sejarah dan budaya kekerasan; (d) pendapat masyarakat yang sebagian besar menganggap kekerasan domestik sebagai urusan dalam rumahtangga (suami-istri) sehingga tidak boleh ada campur tangan terhadapnya. Penyelesaian di pengadilan diang-gap mencemarkan nama baik kelu-arga, dan sebagainya.

Kondisi masyarakat dan faktor lain seperti situasi perang/konflik bersenjata membuat tingkat keke-rasan domestik meningkat. Misal-nya pengamatan sejumlah aktivis di tempat pengungsian membuktikan terjadinya kekerasan domestik. Ini

(11)

TEROPONGKEBIJAKAN

Perempuan rentan terhadap kekerasan. Foto: R. Soares/Direito akibat dari situasi yang tegang dan

kondisi yang tidak aman di kamp pengungsi. Faktor kekerasan sosial, seperti tingginya angka penga-ngguran, lingkungan tempat tinggal yang kumuh, penggunaan obat-obat terlarang juga merupakan faktor lain yang menjadi pemicu ke-kerasan domestik.

Fakta Hukum Kekerasan Do-mestik

Data yang dihimpun dari berba-gai instansi penegak hukum (kepo-lisian dan kejaksaan) menunjukkan tingginya kasus kekerasan domes-tik dibanding bentuk kekerasan lain terhadap perempuan.

Undang-undang dan ketentuan hukum yang relevan dengan keke-rasan domestik adalah sebagai be-rikut.

(1) Kitab Undang-Undang Huku-m Pidana (KUHP) Huku-masih leHuku-mah mengatur kekerasan domestik. Yang biasanya digunakan untuk menye-lesaikan kekerasan domestik mau-pun bentuk kekerasan seksual lain adalah pasal 89,90, Bab XX pasal 351-356, Bab XIV pasal 281-301, Bab XIII pasal 279, Bab XVIII pasal 331-336, Bab XV pasal 304-308. Namun umumnya pasal-pasal ter-sebut lebih terfokus pada kekeras-an fisik.

(2) Regulasi UNTAET No. 25/ 2001 yang merupakan hukum acara pidana kelemahannya adalah belum adanya prosedur perlindungan ter-hadap korban dan saksi; pengaku-an korbpengaku-an secara teoritis sudah cukup, namun, dalam praktek ma-sih dibutuhkan alat bukti lain (pemeriksaan DNA); hukum acara tidak memberi peluang bagi penga-cara dan pekerja sosial untuk men-dampingi korban.

(3) Aspek tertentu hukum per-data dan hukum perkawinan yang berlaku secara formalistis juga ti-dak adil terhadap korban kekeras-an domestik.

(4) Mekanisme pencatatan dan pelaporan kasus di kepolisian dan institusi lain dan penyelesaian me-lalui mediasi memiliki kelemahan yang harus dibenahi dalam rangka memenuhi dan menjamin hak-hak korban kekerasan domestik.

Persoalan Penegakan Hukum

Terdapat empat faktor yang teriden-tifikasi sebagai hambatan dan ke-lemahan penegakan hukum: (a) pe-negak hukum tidak sensitif dalam menangani kasus kekerasan

domes-tik; (b) kurang inisiatif dan tidak responsif; (c) kurang dukungan unit-unit di berbagai institusi pene-gak hukum; (d) jumlah dan kualitas penegak hukum masih kurang.

Peranan “Traditional Justice”

Dalam kasus kekerasan domes-tik peran traditional justice cukup do-minan. Namun mekanisme ini

me-miliki kelemahan: (1) tidak sesuai dengan standar hak asasi manusia; (2) masyarakat belum bisa membe-dakan mana kasus kriminal dan bu-kan; (3) peran pemimpin adat ma-sih didominasi perspektif budaya patriarkis.

Landasan dan Visi

Regulasi mengenai kekerasan domestik perlu memiliki memiliki landasan dan visi. Ada tiga kompo-nen landasan dan visi yang diusul-kan: (1) landasan filosofis; (2) lan-dasan sosiologis; (3) lanlan-dasan yuridis.

Meskipun bukan merupakan u-kuran baku bagi setiap regulasi, di-sepakati dalam diskusi bahwa da-lam regulasi kekerasan domestik perlu dicantumkan asas dan tujuan-nya. Asas menunjukkan semangat yang mendasari sebuah undang-un-dang. Secara teknis, penting untuk mengingatkan aparat hukum ten-tang esensi dan eksistensi sebuah ketentuan yang menjadi acuan da-lam pelaksanaan tugas yudisialnya. Komponen asas-asas pokok: (1) kese-taraan dan keadilan gender; (2) ke-adilan relasi sosial; (3) perlindung-an dperlindung-an penegakperlindung-an hak asasi mperlindung-anu- manu-sia; (4) perlindungan keutuhan

ke-luarga sebagai sendi utama kebaji-kan masyarakat.

Tujuan: (1) menegaskan kekerasan domestik sebagai suatu kejahatan; (2) penegakan hak-hak korban; (3) upaya penghapusan kekerasan do-mestik bagi kelompok-kelompok rentan dalam relasi domestik.

Berdasarkan hasil analisis ten-tang fakta sosial dan yuridis,

diu-sulkan pengembangan kerangka rancangan undang-undang kekeras-an domestik dari pikirkekeras-an-pikirkekeras-an pokok sebagai berikut: (1) Definisi & Ruang Lingkup Kekerasan Do-mestik; (2) Peran dan Tanggungja-wab Negara; (3) Peran Komunitas; (4) Nafkah dan Harta Benda Milik Bersama; (5) Pemulihan; (6) Peran Penegak Hukum dan Pusat Laya-nan, yang menyangkut Kewajiban para Penegak Hukum, Peran dan Tugas Kepolisian dan Layanan Lintas Sektor.

Prosedur Pidana

Bagian ini terdiri dari mekanis-me pelaporan; perintah an sementara; perintah perlindung-an; pelanggaran perintah perli-ndungan; standar atau mekanisme baku dalam penangganan kasus ke-kerasan domestik; pemberian naf-kah kepada korban dan anak-anak korban dalam perkawinan; (g) penggunaan harta bersama dalam perkawinan. 

Lito Exposto SH adalah Kepala Divisi Pe-nanganan Kasus pada Perkumpulan HAK, salah seorang konsultan teknis untuk penyu-sunan Naskah Kebijakan Regulasi Kekera-san Domestik.

(12)

edisi 23 - Maret 2003 12

Proses Penuntutan Komandan Milisi MAHIDI

HAK ASASI

Aniceto Guró Berteni Neves

Pelimpahan surat dakwaan kepada Pengadilan Distrik Dili pada 24 Fe-bruari 2003 lalu oleh Wakil Jaksa Agung untuk Kejahatan Berat me-liputi penuntutan terhadap para pelaku tindak kejahatan di distrik Ainaro sepanjang tahun 1999. Se-perti yang diketahui, milisi pro In-donesia yang beroperasi di wilayah Distrik Ainaro dan sekitarnya ada-lah MAHIDI (Mati Hidup Integrasi dengan Indonesia) dibawah pim-pinan Cancio Lopes de Carvalho. Demi penegakan hukum dan kea-dilan, Jaksa Penuntut untuk kasus kejahatan berat secara khusus mendakwa Cansio Lopes de Carval-ho sebagai komandan tertinggi milisi pro Indonesia (MAHIDI) yang menjadi penanggungjawab utama atas tindak kejahatan yang terjadi di Ainaro dan sekitarnya.

Dakwaan terhadap Cancio Lopes bersama 21 orang anggotanya yang secara aktif terlibat dalam kejaha-tan terhadap kemanusian itu masing-masing; (1) Remesio Lopes de Carvlho, (2) Orlando Baptista, (3) Celestino Barros, (4) Bernabe Barros, (5) Vasco da Cruz, (6) Domingos Alves, (7) Francisco Mendes, (8) Fernando Lopes, (9) Joao Baptista, (10) Martinho Lopes, (11) Francisco Atelulo, (12) Manuel Gomes, (13) Felismino Lopes, (14) Jose Lokomau, (15) Jose Beldasi, (16) Adriano Lopes Titimau, (17) Alfonso Caldas, (18) Silverto Lo-pes, (19) Marcelo Gomes, (20) Marcelino Beremali, dan (21) Lino Barreto.

Dalam surat dakwaan tersebut secara khusus menuntut ke 22 ter-dakwa dengan keterlibatan mereka baik secara perorangan maupun atas dasar tanggungjawab pemim-pin (komando). Pertanggungjawa-ban perorangan dari masing-masing terdakwa antara lain:

a. Melakukan kejahatan secara individu atau bersama orang lain diluar tangunjawab atau perintah komando.

b. Memerintahkan, mengajak atau membujuk orang agar menco-ba melakukan kejahatan dan sam-pai diwujudkan

(c) Memberi bantuan atau berse-kongkol untuk memudahkan dala-m dala-mencoba atau dala-melakukan suatu kejahatan.

(d) Berniat dan ikut terlibat lang-sung dalam kelompok yang mela-kukan kejahatan atau yang menco-ba melakukan kejahatan.

Sedangkan menuntut tanggung-jawab komando adalah terutama terhadap Cancio Lopes de Carval-ho, Remezio Lopes de Carvalho dan Vasco da Cruz sebagai pemimpin yang tahu atau seharusnya tahu bahwa bawahan itu melakukan tin-dakan kejahatan tersebut tetapi a-tasan tidak mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna men-cegah tindakan semacam itu, atau-pun menghukum pelakunya seper-ti tercantum dalam bagian 14.3 Regulasi UNTAET nomor 15/ 2000.

Dari surat dakwaan yang dike-luarkan tersebut ada tujuh bentuk tindak kejahatan yang dituduhkan: (1) Serangan bersenjata yang ter-jadi di Fatuk Maria desa Manutasi, kecamatan Ainaro Kota kabupate-n Aikabupate-naro pada takabupate-nggal 3 Jakabupate-nuari 1999 yang mengakibatkan dua or-ang korban meninggal dunia dan lima orang korban luka-luka.

(2) Serangan terhadap pendudu-k sipil di pendudu-kampung Galitas, pendudu- keca-matan Zumalai kabupaten Covali-ma pada tanggal 25 Januari 1999 yang mengakibatkan tiga orang kor-ban meninggal dunia dan satu orang luka tembak.

(3) Serangan dan pembunuhan terhadap mahasiswa Universitas Ti-mor Timur (UNTIM) di kampung Dais desa Beco I kecamatan Suai Kota kabupaten Covalima pada tanggal 11 dan 13 April 1999. Se-rangan ini mengakibatkan dua orang mahasiwa meninggal dunia, masing-masing Bernardino Simao, mahasi-wa Fisipol UNTIM dan Joao da Silva Ximene, mahasiswa Fakultas Pertanian, UNTIM termasuk bebe-rapa korban luka-luka.

(4) Penyiksaan terhadap empat orang penduduk sipil di pos milisi MAHIDI di Zulo kecamatan Zu-malai kabupaten Covalima.

(5) Pembunuhan terhadap Fer-nando Gomes pada tanggal 5 Sep-tember 1999 di desa Cassa kecama-tan Ainaro Kota kabupaten Ainaro. (6) Penculikan dan pembunuha-n terhadap Paulipembunuha-no Maria Biapembunuha-nco di desa Cassa kecamatan Ainaro Kota kabupaten Ainaro pada tanggal 12 September 1999.

(7) Serangan di desa Maununo, kecamatan Ainaro Kota kabupate-n Aikabupate-naro pada takabupate-nggal 23 Septem-ber 1999. Serangan ini mengakibat-kan 11 orang korban jiwa dan tiga lainnya luka-luka.

Menurut pemantauan kami bah-wa, secara prinsip ini adalah langkah maju dimana negara/pe-merintah dapat memastikan adanya penegakkan hukum dengan menun-tut pertanggungjawaban Cancio Lopes de Carvalho, beserta 21 ang-gotanya sebagai pelaku dalam ke-jahatan 1999 di wilayah Ainaro. Beberapa catatan dari hasil peman-tauan kami bahwa; penuntutan para pelaku dalam tujuh kasus kejaha-tan tersebut diatas adalah tidak mencakup seluruh kejahatan yang terjadi dalam kurung waktu terse-but di wilayah Ainaro.

Menurut data investigasi kami, jenis-jenis kejahatan tersebut terja-di terja-di Zumalai, Cassa dan Maunu-no, bentuk kejahatan yang sama yang melibatkan Cancio Lopes de Carvalho sebagai komandan milisi MAHIDI dan anggotanya juga ter-jadi di tempat-tempat lain di Aina-ro. Jenis kejahatan dan tempat-tem-pat kejadian yang belum masuk dalam dakwaan tersebut diatas, antara lain; teror, penyiksaan dan pembunuhan yang terjadi di Hato-Udo, di Maubisse, di Hatobulico dan di Ainaro Kota sendiri. Ini ber-dasarkan hasil investigasi kami atas kejahatan di Ainaro. Kami memin-ta untuk menjadikan bagian yang ti-dak terpisahkan dari penyelidikan, dan penuntutan di bawah kewenan-gan jaksa penuntut kejahatan berat di Timor Lorosae menurut regulasi UNTAET nomor 2000/15.

(13)

Salah satu aksi protes di Parlemen Nasional. Foto: R. Soares

INSTRUMENHAM

Kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat adalah prinsip universal dalam negara demokratis. Negara atau pemerintah menciptakan kondisi yang baik dalam memgeluarang dijamin oleh Kovenan Internasional tentang Hak

Sosial, Ekonomi dan Budaya.

KEBEBASAN MENGELUARKAN PENDAPAT

Aniceto Guró Berteni Neves

(Kepala Divisi Pencari Fakta & Dokumentasi Perkumpulan HAK)

K

ebebasan untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat adalah prinsip universal di dalam negera demokratis. Dalam perkembangannya, prinsip ini mengilhami perkembangan demok-rasi di negara-negara yang berkem-bang. Bahwa pentingnya mencipta-kan kondisi baik secara langsung maupun melalui kebijakan politik pemerintah/negara yang menjami-n hak publik atas kebebasamenjami-n ber-ekspresi dan mengeluarkan penda-pat sebagai salah satu baromoter penegakan demokrasi dalam mas-yarakat suatu bangsa.

Prinsip ini antara lain; diatur da-lam Konvensi Internasional Hak Sipil Politik (ICSPR) artikel 19 yang mengatur tentang kebebasan ber-pendapat dan berkespresi. Dalam prakteknya, artikel ini mengatur tentang ‘Kebebasan Fundamental’ yang sifatnya inter-relasi dengan prinsip-prinsip dasar lainnya seper-ti kebebasan untuk bergerak dan kebebasan untuk memilih tempat tinggal sesuai dengan pilihannya (artikel 12, ICSPR); kebebasan untuk berpikir dan kesadaran me-milih agama dan aliran kepercaya-an (artikel 18, ICSPR); kebebaskepercaya-an membentuk organisasi atau per-kumpulan secara damai (artikel 21, ICSPR) dan kebebabsan untuk berasosiasi sebagaimana ditentukan di dalam artikel 22, ICSPR.

Di Timor Lorosae, prinsip-prin-sip tersebut diatas telah ditandatan-gani atau diratifikasi oleh Pemerin-tah Republik Demokratic de Timor-Leste (RDTL) pada tanggal 10 Desember 2001 lalu. Untuk memas-tikan, menjamin dan memberikan maka pemerintah harus: (a) Perlin-dungan terhadap semua pendapat/ opini tanpa batas. Prinsip ini adalah salah satu hak azasi yang mana pe-merintah tidak dapat membatasi atau melarangnya. Pendapat/opini tersebut bersifat lisan atau tertulis dengan tidak membatasi hak azasi orang lain yang sama. (b) Membe-rikan perlindungan terhadap hak atas kebebasan dasar untuk

bereks-presi yang tidak saja mencakup hak untuk memberikan informasi dan ide-ide dalam berbagai jenis. Tetapi juga menyangkut hak atas kebeba-san untuk mencari dan menerima (right to seek and reseive) secara langsung atau pun melalui suatu media tertentu. (c) Menekankan secara jelas bahwa dalam menikma-ti hak berekspresi dan mengeluar-kan pendapat harus secara bersa-maan pada tempat dan waktunya diikuti dengan suatu tugas dan tanggungjawab yang penuh.

Kebebebasan dasar untuk ber-ekspresi dan mengeluarkan penda-pat tidak dapenda-pat didefinisikan atau ditafsirkan oleh seseorang yang da-pat menghilangkan atau mengabur-kan makna dari semangat pelaksa-naannya. Artinya; kebebasan ber-ekspresi dan mengeluarkan penda-pat yang mengandung unsur-unsur kekerasan adalah pelanggaran ter-hadap prinsip itu sendiri. Misalnya; kebebasan berekspresi dan menge-luarkan pendapat melalui aksi membakar rumah, gedung, pusat pembelanjaan, penjarahan, men-gancam dengan senjata tajam dan lainnya.

Dari aspek hak azasi, tindakan-tindakan seperti tersebut tergolong

tindakan yang melangar hak atas kebebasan dari orang lain. Karena, disamping menganggu ketertiban umum juga membatasi hak atas keamanan orang lain dalam masya-rakat. Sedangkan dari aspek huku-m, merupakan tindak-pidana yang dapat dituntut pertanggungjawa-bannya lewat pengadilan.

Untuk memastikan penikmatan hak untuk berekspresi dan menge-luarkan pendapat secara adil, maka setiap warga-negara harus juga diikat dengan kewajiban azasi yakni; konsekwensi dibatasi oleh keinginan yang berhubungan den-gan kepentinden-gan orang lain. Kare-na hak berekspresi dan berpenda-pat seseorang dibatasi oleh hak or-ang lain dalam masyarakat sosial. Untuk itu, negara/pemerintah men-gatur pembatasan-pembatasan da-lam melakukan ekspresi dan men-geluarkan pendapat yang bertujuan untuk melindungi hak-hak tersebut dan reputasi dari hak-hak tersebut satu sama lain, demi keamanan na-sional, ketertiban umum (public order), kesehatan masyarakat dan moralitas masyarakat dalam suatu negara.

(14)

GUGAT

edisi 23 - Maret 2003 14

Masyarakat Kota Dili. Foto: Rogério Soares/Direito.

SEMUA ORANG MEMPUNYAI HAK

DAN KEDUDUKAN\ SAMA

Semua orang mempunyai kah dan kedudukan yang sama tanpa diskriminasi. Tetapi dalam pelaksanaannya sering terjadi penyimpangan. Kadang mereka yang statusnya tahanan sering orang mengabaikan haknya.

INSTRUMENHAM

Aniceto Guró Berteni Neves

B

erdasarkan prinsip hukum internasional dan hak azasi manusia, semua orang sama kedudukannya tanpa diskriminasi. Dalam prakteknya sering terjadi kelalaian, misalnya persamaan ke-dudukan tidak termasuk orang-or-ang yorang-or-ang statusnya ditahan atau dipenjarakan. Sering terjadi perla-kuan diskriminatif terhadap orang-orang ini. Biasanya para korban ini termasuk kelompok yang rentang sebab haknya sering dilanggar mi-salnya; ditangkap dengan cara ke-kerasan, diinterogasi untuk menda-patkan suatu pengakuan, disiksa dalam tahanan, penghilangan pak-sa, hingga pada perlakuan kejam dan tidak bermartabat lainnya. Se-mentara itu, dari aspek hukum ne-gara/pemerintah memang mempu-nyai kewajiban menangkap, mena-han seseorang demi hukum dan per-lindungan hak azasi setiap orang da-lam masyarakat.

Sudah dapat dipastikan bahwa anggapan masyarakat umum yang belum mengerti, mengangap orang-orang yang ditangkap lalu ditahan dalam tahanan tidak punya hak azasi lagi. Apalagi para mantan milisi anti-kemerdekaan yang dita-han/dipenjara karena melakukan pelanggaran berat Hak Asasi Ma-nusia pada 1999. Tentu mereka akan menerima stigma yang lain sekali dari masyarakat di Timor Lo-rosae.

Dalam perkembangan hukum internasional pandangan semacam itu tidak memiliki justifikasi secara penologis. Dipastikan semua orang dalam situasi dan keadaan apapun harus dipandang memiliki kedudu-kan yang sama dan tanpa diskrimi-nasi dalam bentuk apapun baik menurut jenis kelamin, agama, warna kulit, asal-usul, bahasa. Ke-sadaran ini yang termanifestasi da-lam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) hingga mengikrarkan pentingnya perlakuan khusus terhadap orang-orang yang ada dalam tahanan negara. Dalam konteks hukum internasional tersebut dan sampai pada hu-kum di negara RDTL, hak-hak azasi para korban penangkapa-n, penahanan telah dijustifikasi dengan ketentuan, sbb :

1. Tahapan awal terjadinya “penangkapan dan penahana-n”; menurut ketentuan m internasional maupun huku-m nasional Tihuku-mor Lorosae, prinsipnya melarang dilakukan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang. Tidak bole-h dilakukan penabole-hanan yang panjang atau pun pembuangan (artikel 9 UDHR dan ICSPR). Setiap warga negara yang di-tangkap harus segera diberita-hukan secara jelas, dan tepat mengenai alasan-alasan pe-nangkapan atas dirinya, serta hak-hak hukumnya untuk menghubungi pengacara dan

anggota keluarga atau orang yang dipercayainya (Konstitusi RDTL pasal 30 ayat 2,3 dan 4 serta di da-lam artikel 2 Regulasi No. 25/ 2001).

2. Tahap dimulainya “penyelidi-kan/investigasi”; Setelah seseorang ditangkap harus segera dilakukan penyelidikan yang efektif dan cepat (habeas corpus). Selama dalam proses ini secara hukum para kor-ban memiliki hak-hak seperti; hak untuk didampingi kuasa hukum, hak untuk diam/tidak menjawab, hak untuk tidak dipaksa. Dan kor-ban juga memiliki hak untuk dibe-baskan bersyarat atau dibedibe-baskan sama sekali jika penyelidikan diang-gap tidak perlu pada awal pemeriksaan (Ketentuan interna-sional hak azasi manusia artikel 10 UDHR dan artikel 14 ICSPR dan Konstitusi RDTL pasal 33 dan pasal 3 ayat 1 Regulasi No.25/ 2001).

3. Tahapan mulainya persidanga-n; setelah seseorang dinyatakan dapat dibuktikan berdasarkan ke-terangan saksi-saksi dan bukti awal, maka harus segera diajukan ke de-pan hakim di pengadilan untuk memulai proses pemeriksaan. Sela-ma dalam proses persidangan, korban mempunyai hak untuk membela diri yang tetap didampingi kuasa hukum (artikel 8 dan 10 UDHR`dan Konstitusi RDTL pasal 26, 28, 33 dan 34 serta pasal 3 Regulasi No.25/2001.

4. Tahapan mulainya “pemenja-raan dan pembebasan”; Sampai den-gan adanya putusan pengadilan yang berarti dihukum penjara, maka korban mempunyai hak untuk me-nyatakan menolak putusan hakim dengan mengajukan banding pada tingkat pengadilan yang lebih tinggi, hak untuk diperhatikan aspek sosial, ekonomi, kesehatan, dan psikologi selama di dalam penjara. Begitu juga jika dinyatakan bebas murni, maka korban mempunyai hak untuk memperoleh kembali semua barang milik pribadinya yang disita pada saat penahanan dan ganti-rugi/kompensasi serta reha-bilitasi nama baiknya atas tuduhan yang sewenang-wenang kepada korban tahanan tersebut.

Dari semua ketentuan tersebut, negara/pemerintah di dunia manapun termasuk RDTL mempu-nyai kewajiban untuk menjamin pe-laksanaannya di dalam Negara.

(15)

GUGAT

Unit Gerak Cepat, Polisi Nasional Timor Leste. Foto: Rogério Soares.

POLISI DIPERKUAT UNTUK

MENEGAKKAN DEMOKRASI

Banyak masalah yang dihadapi pihak kepulisian kita Timor Lorosae. Dari jumlah Fasilitas transportasi dan komunikasi serta pengetahuan yang masih menim dalam kalangan kepolisian mempengaruhi kelancaran tugas sehari-harinya.

Rui Viana

M

enteri dalam negeri, Rogé rio Lobato mengatakan pi haknya akan segera mem-perkuat Polisi Nasional Timor Leste (PNTL) untuk menjamin stabilitas dan keamanan dalam negeri (STL,7/3/03). Lobato mengakui departemennya akan segera upaya-kan peningkatan pelatihan, menam-bah sarana transportasi & komuni-kasi, dan mempersenjatai para po-lisi dengan senjata laras panjang. PNTL memang sudah lama disorot publik, awalnya terkait dengan ma-salah rekrutmen. Para eks polisi jaman Indonesia yang terekrut da-lam PNTL merdeka dinilai tidak se-harusnya, karena para mantan po-lisi itu diduga banyak terlibat dala-m kejadian kekerasan di dala-masa lalu. Yang menyeroti hal itu bukan hanya masyarakat biasa tapi juga sejumlah pejabat teras di negara ini. Dan pernah juga dipersoalkan di Parlemen Nasional oleh anggota parlemen. Sejumlah anggota polisi yang tidak mau disebutkan nama-nya, yang sebelumnya adalah para mantan aktifis klandestin, mangaku kini ada semacam dua kubu dalam PNTL, yakni kubu mantan polisi Indonesia dan kubu polisi mantan pemuda klandestin. Kubu polisi mantan polisi Indonesialah yang lebih dipercaya UNPOL ketimbang kubu polisi mantan klandestin. Terbukti para pimpinan polisi dido-minasi para mantan polisi Indone-sia. Begitulah yang dikatakan para polisi itu. Tidak hanya itu, masih ada masalah lain terkait dengan hubungan PNTL dengan UNPOL. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan HAK bersama Amnesty Internasional pada akhir tahun 2002 lalu, ditemukan banyak kelemahan dalam sistem “transferensia kapa-sitas dan pengetahuan” UNPOL ke PNTL. UNPOL yang datang dari berbagai negara dengan mengguna-kan sistemnya masing-masing, me-nyulitkan penyerapan pengetahuan

di kalangan PNTL. Untuk waktu tertentu sistem polisi Australia yang dikembangkan, tapi kadang sistim Amerika dan Portugal yang dipakai. Adapun masalah lain seperti sarana penunjang tugas kepolisian. Sejak 20 Mei 2002 lalu, UNPOL menarik sebagian besar sarana komunikasi dan transportasinya hingga menye-babkan PNTL tidak bisa menjalan-kan tugasnya dengan baik.

Persoalan-persoalan di atas se-sungguhnya diakui oleh pemerintah dan pihak kepolisian sendiri. Pem-bentukan dua komisi, masing-masing dari parlemen nasional dan pemerintah untuk menyelidiki kasus 3 dan 4 Desember 2002 yang belakangan justru terfokus menye-lidiki kepolisian, menunjukan indi-kasi ke arah itu seperti yang tersirat dalam rencana, Rogério Lobato untuk memperkuat kepolisian.

Menambah latihan bagi polisi me-mang perlu, begitupun menambah peralatan komunikasi dan transpor-tasi serta mempersenjatai polisi dengan senjata laras panjang. Tapi membangun PNTL lebih baik tidk setidkedar itu, yang paling utama

a-dalah konteksnya harus dipahami sebagai upaya menjadikan PNTL seprofesional mungkin.

Polisi yang profesional adalah polisi yang selalu bekerja dalam kerangka membangun demokrasi di negara ini. Itu berarti pembangunan kemampuan PNTL haruslah bertu-juan akhir pada terbentuknya sebu-ah kepolisian yang selalu bekerja atas dasar hukum dan menjadi a-parat pembela HAM di negara ini. Untuk mencapai itu, polisi tidak boleh dilibatkan dalam urusan po-litik praktis dan dikendalikan me-nurut kepentingan politik penguasa atau kelompok politik tertentu. Po-lisi harus betul-betul menjadi apa-rat hukum yang tunduk pada kons-titusi dan hukum yang berlaku. Po-lisi juga tidak boleh disamakan den-gan militer. Persenjataan polisi jan-gan dipakai sebagaimana yang dipakai militer. Kalau memang san-gat perlu maka harus digunakan sesuai aturan hukum yang ada. Jika aturan hukum itu belum ada, peme-rintah harus segera membuatnya sebelum para polisi dipersenjatai.

(16)

serba-serbi

AMI LIAN

PENERBIT: Perkumpulan HAK. PENGELOLA : José Luís de Oliveira, Rui Viana, Rogério Soares, Nug Katjasungkana, Oscar da Silva, Mariano Fereirra, F.X. Sumaryono, Aneceto Guro Berteni Neves | ALAMAT REDAKSI: Rua Governador C.M. Serpa Rosa T-091, Farol, Dili, Timor Lorosae. Tel.: +670.390.313323 Fax: +670.390.313324 E-mail: direito@yayasanhak.minihub.org

Memperjuangkan Pengadilan Internasonal

Apa Kata Masyarakat Tentang Dialog Nasional

Sebagian kegiatan yang dilakukan oleh Perkumpulan HAK dalam usaha pengembangan dan perbaik-an kondisi secara umum dalam konteks hak asasi manusia, salah satunya seperti kampanye keadila-n rakyat Timor Lorosae. Dalam periode tiga bulan awal tahun ini masalah keadilan bagi rakyat Timor Lorosae yang ditangani oleh Divisi Kajian Kebijakan melakukan per-temuan reguler Aliansi Pengadilan Internasional (15 organisasi) untuk membahas perkembangan proses Pengadilan Ad Hoc HAM, mengi-kuti lokakarya internasional untuk membahas strategis bagi pengadi-lan internasional di Melbourne (Ja-nuari), melobby anggota Kongres Amerika di Wahington dan bebe-rapa pejabat PBB di New York un-tuk menghentikan dukungan bagi TNI dan meminta untuk mereview Pengadilan Ad Hoc HAM (Febru-ari), mengeluarkan surat tanggap-an kepada Jurubicara PBB dtanggap-an

Pre-TERBITAN INI DIDUKUNG OLEH:

Munculnya berbagai masalah akibat perubahan politik dalam proses perjuangan yang tidak terselesaikan sampai sekarang juga belum menemukan format yang baik untuk menyelesaikan-nya. Presiden Xanana Gusmão berinisiatif untuk mengadakan dia-log untuk menyelesaikan persoa-lan. Sayangnya, ia tidak memberi tujuan yang jelas. Akibatnya ter-jadi kebingungan di tentang dialog tersebut. Berikut pandangan yang dikumpulkan oleh Rogerio Soares dari Direito.

“Dialog nasional itu seolah han-ya antar dua kelompok (CPD-RDTL dan Fretilin). Seharusnya melibat-kan seluruh rakyat,” kata Agusto da Costa, seorang penduduk Maubara, Liquiça. Menurutnya, kalau hanya untuk dua kelompok

itu tidak akan menyelesaikan masalah. “Kemerdekaan ini a-dalah jerih-payah seluruh rak-yat Timor Leste. Kalau menga-dakan dialog nasional jangan hanya dengan satu-dua orang. Pemerintah atau pemimpin bangsa harus turun ke basis untuk dialog dengan seluruh rakyat,” tegas Agusto.

Ia mengusulkan agar dibuat dialog dengan pemuda di desa-desa yang sekarang tidak mendapat pekerjaan. “Supaya bisa mencari alternatif penye-lesaian,” katanya.

Hal lain diungkapkan oleh Raimundo de Jesus Mesquita (35 thn), penduduk Laulara (Distrik Aileu) yang ditemui Di-reito di Maubisse. “Dialog itu bagi saya adalah langkah

positif yang diambil oleh Preside-n kita uPreside-ntuk meraPreside-ngkul semua o-rang yang idenya berbeda untuk bersatu membangun bangsa” ka-tanya. Namun Mesquita menya-yangkan bahwa CPD-RDTL tidak menerima hasil dialog. “Mereka bukannya mengajarkan politik yang baik kepada rakyat seperti yang mereka perjuangkan selama ini. Tetapi malah sebaliknya mena-namkan benih buruk di Timor Lo-rosae,” katanya dengan nada kecewa.

Walaupun demikian, Mesquita menegaskan bahwa dirinya akan terus mendukung dialog nasional selanjutnya. “Tetapi dialog nasio-nal jangan hanya diadakan untuk satu-dua kelompok, harus melibat-kan seluruh golongan rakyat Ti-mor Lorosae,” tegasnya.

siden RDTL berkaitan dengan ke-tidakseriusan mereka dalam mendukung dakwaan Serious Cri-me Unit UNMISET terhadap Jen-deral Wiranto dan tujuh pejabat sipil dan militer lainnya (Maret). Terakhir, melakukan lobby pada peserta sidang tahunan Komisi Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa un-tuk meminta dilakukannya review terhadap Pengadilan Ad Hoc Jakar-ta dan mendesak untuk dilakukan-nya pengadilan internasional.

Sebagian kegiatan lain yang di-lakukan HAK pada Divisi Pember-dayaan adalah:

Pemberdayaan Kelompok Basis Selama periode ini dilakukan pen-gembangan managemen organisasi pada Koperasi Mina Timor (Dili), Yayasan Rai Maran (Maubara), dan Organizasaun Amor da Paz (Alas, Manufahi). Sedangkan pengemban-gan pengetahuan hak asasi manusia dan hukum melalui kegiatan diskusi basis, selama periode ini telah dila-kukan 11 kali diskusi di beberapa suco yang tersebar di Timor Loro-sae.

Penguatan Jaringan/Dai Popular selama periode ini kegiatan Dai Popular yang dilakukan HAK ada-lah menfasilitasi pembentukan ke-lompok rakyat di Uatucarbau (Janu-ari), dan terlibat dalam menyeleng-garakan acara adat tara bandu di Irabim Atas (Februari).

Penguatan Jaringan HASATIL (Hame-tin Sustanibilidade Agricultura Timor Lorosae)

Selama periode ini HAK melakukan kegiatan untuk memperkuat pen-gembangan pertanian berkelanjutan adalah:

(1) Lokakarya pertanian berkelan-jutan di Alas dan Luro (Januari) (2) Fasilitasi pembentukan kelompok petani kopi dan hortikultura di Ma-ubisse (Januari), (3) Pelatihan pen-gawetan ikan di Alas, Manufahi (Fe-bruari), (4) Distribusi peralatan dan bibit pertanian ke Luro dan Alas (Februari & Maret), (5) Fasilitasi pelatihan agroforestri untuk petani Alas dan Luro yang diselenggarakan di Maubara (Februari) (6) Menye-lenggarakan rapat evaluasi dan perencanaan triwulan (Maret).

Referensi

Dokumen terkait

Sasaran yang akan dicapai adalah menguatnya posisi strategis mekanisasi pertanian, dengan meningkatnya laju adopsi dan penggunaan alat dan mesin pertanian untuk mendukung

Sempora (ault )one adalah )ona sesar naik paling ditemukan di cekungan Tarakan. 0ona ini membagi olkanik semenanjung Sempora dari sedimen *ulau Sebatik tara. 0ona

Bila dibandingkan dengan arang aktif tempurung kelapa yang diteliti oleh Sudrajat dan Pari (2002) yang berkisar antara 19,00 - 20,47% dan maka daya serap arang aktif tempurung

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN TINGKAT STRES PADA REMAJA HIPERTENSI DI WILAYAH. KERJA PUSKESMAS KEDUNGMUNDU

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan anemia gizi, body image dan perilaku kontrol berat badan dengan kejadian kurang gizi pada remaja putri di

Analisis yang telah dilakukan pada model integrasi pasar secara vertikal antara pasar produsen gabah dengan pasar ritel beras di Indonesia menunjukkan bahwa dalam jangka panjang

jantung pada dinding dada.Batas bawahnya adalah garis yang menghubungkan sendi kostosternalis ke-6 dengan apeks jantung... FISIK DIAGNOSTIK JANTUNG DAN