Bab II
Kajian Pustaka
Pengantar
Sektor pariwisata telah menjadi salah satu sektor yang penting bagi masyarakat lokal yang memiliki kekayaan atau potensi sumber daya alam guna meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat lokal yang terpingirkan. Pada bab ini akan dijelaskan beberapa literatur mengenai konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism development) dan konsep pariwisata berbasis masyarakat (community based tourism). Untuk mencapai pembangunan pariwisata berkelanjutan dan pariwisata berbasis masyarakat, maka akan didukung dengan konsep daripada peranan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam proses pengembangan community based tourism.
Konsep Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan
Mengenai konsep pembangunan berkelanjutan ini saya mencoba melihat pada beberapa kajian teoritik dari pengembangan pariwisata berkelanjutan yang akan dijelaskan sebagai berikut. Pada bagian ini juga akan menguraikan berbagai pandangan peneliti terdahulu dalam mengkaji konsep – konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan.
Pada awalnya konsep pembangunan berkelanjutan dimulai dari konferensi Stockholm (1972) yang mengatakan bahwa konsep keberlanjutan mengeksplorasi hubungan antara pembangunan
ekonomi, kualitas lingkungan dan keadilan sosial (Roger, et al, 2008)7.
Selanjutnya konsep sustainable development dipopulerkan dalam laporan Brandtland tahun 19878, yang mengatakan bahwa sustainable
development is development that meets the needs of present without compromising the ability of future generation to meet their own needs.
Berdasarkan konsep pembangunan berkelanjutan diatas dapat dipahami bahwa dalam pembangunan berkelanjutan, setiap orang dapat memenuhi kebutuhannya pada saat ini tanpa membahayakan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya dalam memanfaatkan sumber daya alam. Di samping itu prinsip prinsip pembangunan berkelanjutan mencakup keberlanjutan lingkungan, keberlanjutan sosial dan budaya serta keberlanjutan ekonomi baik untuk generasi sekarang maupun generasi yang akan datang (WTO9 : 1993).
Dalam perkembangannya, konsep pembangunan berkelanjutan diadopsi dalam konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan. Pembangunan pariwisata berkelanjutan diartikan sebagai proses pembangunan pariwisata yang berorientasi kepada kelestarian sumberdaya yang dibutuhkan untuk pembangunan pada masa mendatang. (Edington & Smith, 1992)10 mengatakan bahwa “Form of
tourism that are consistent with natural, social, and community values and which allow both host and guest to enjoy positive and worthwhile interaction and shared experience”. Selain itu, Wall (1993 dalam Suwena 2010 & Dany 2012)11, menekankan pembangunan pariwisata
berkelanjutan tidak hanya pada ekologi dan ekonomi, tetapi juga kebudayaan berkelanjutan, karena kebudayaan juga merupakan sumber daya penting dalam pembangunan pariwisata. Oleh karena itu, Suwena (2010), mengkategorikan kegiatan wisata dianggap
7 Petters P. Roger at All. 2008. An Introduction to Sustainable Development. United
Kindom. Glen Education Foundation.
8 Brundtland. (1987). Our Common Future. Brundtland Publiser. 9 WTO : World Trade Organization
10 Edington, W.R & Smith, V. 1992. Emergence of Alternative Form of Tourism 11 Suwena, I Ketut. 2010. “Format Pariwisata Masa Depan” dalam Pariwisata
berkelanjutan apabila memenuhi syarat syarat sebagai berikut : “Pertama, secara ekologi berkelanjutan, yaitu pembangunan pariwisata tidak menimbulkan efek negatif terhadap ekosistem setempat. Selain itu, konservasi merupakan kebutuhan yang harus diupayakan untuk melindungi sumber daya alam dan lingkungan dari efek negatif kegiatan wisata ; Kedua, secara sosial dapat diterima, yaitu mengacu pada kemampuan penduduk lokal untuk menyerap usaha pariwisata (industri dan wisatawan) tanpa menimbulkan konflik sosial; Ketiga, secara kebudayaan dapat diterima, yaitu masyarakat lokal mampu beradaptasi dengan budaya wisatawan yang cukup berbeda (kultur wisatawan); Keempat, secara ekonomi menguntungkan, yaitu keuntungan yang didapat dari kegiatan pariwisata dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat”.
Konsep pembangunan berkelanjutan kemudian oleh (Burns & Holden, 1997)12, diadaptasikan untuk bidang pariwisata sebagai sebuah
model yang mengintegrasikan lingkungan fisik, lingkungan budaya dan wisatawan untuk memenuhi pencapaian pembangunan pariwisata yang berkelanjutan. Sejalan dengan pandangan Burns dan Holden, konsep pariwisata berkelanjutan oleh (Chucky, 1999)13 yang dimuat
dalam International Tourism: A global perspective, terfokus pada tiga hal, yaitu : “1). Quality, sustainable tourism provides a quality experience for visitor, while improving the quality of life of the host community and protecting of quality of the environment; 2). Continuity, sustainable tourism ensures the continuity of the natural resources upon which it is based, and the continuity of the culture of the host community with satisfying experience for visitor; 3). Balance, sustainable tourism balance the needs for tourism industry, supporters of the environment and the local community. Sustainable tourism emphasize the mutual goals and cooperation among visitor, host
12 Burns, P & Holden, A. 1997. Tourism: A New Perspective . Prestice Hall
International (UK) Limited. Hemel Hempsted.
13 Chucky. 1999. International Tourism: A Global Prespective. Word Tourism
community and destination in contras to more traditional approaches to tourism which emphasize their diverses an conflicting needs.
Selanjutnya, UNWTO committed to the global sustainable tourism criteria (2010) menekankan bahwa melalui suatu kriteria, persyaratan minimum bisnis pariwisata harus bercita – cita untuk pencapaian dalam rangka melindungi dan mempertahankan sumber daya alam dan budaya sambil memastikan pariwisata memenuhi potensi sebagai alat untk pengentasan kemiskinan. Oleh karena itu UNWTO menekankan empat tujuan utama atau kriteria dari pengembangan pariwisata berkelanjutan adalah: pertama,
memaksimalkan manfaat pariwisata bagi masyarakat lokal; kedua,
mengurangi efek negatif pada warisan budaya; ketiga, mengurangi kerusakan pada lingkungan lokal; keempat, merencanakan untuk keberlanjutan pariwisata. Dengan demikian dari berbagai kajian konseptual tentang pengembangan pariwisata berkelanjutan, konsep dari Chucky (1999) dan UNWTO merupakan suatu acuan dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan yang berbasis masyarakat.
Adapun beberapa konsep teori yang akan dijelaskan oleh beberapa ahli berikut yang berbicara mengenai pariwisata berkelanjutan. The International Eco-Tourism Society mendefinisikan pariwisata berbasis lingkungan sebagai kegiatan pariwisata di wilayah konservasi dengan lingkungan yang alami dan menjamin kelangsungan pendapatan penduduk lokal dengan melibatkan mereka dalam kegiatan pariwisata (Denman, 2001)14. Dalam hal ini, prinsip pengembangan
ekowisata terbagi dalam dua bagian, yakni : mendorong konservasi alam dan mendatangkan manfaat secara ekonomis bagi penduduk lokal yang hidup di sekitar konservasi alam (Nations, 2001). Program pariwisata berwawasan lingkungan dapat bermanfaat bagi penduduk lokal maka keterlibatan masyarakat lokal yang tinggal disekitar lokasi konservasi alam menjadi sangat penting mengingat merekalah yang berhubungan langsung dengan satwa dan tanaman yang ada. Jika
14 Richard Denman. 2001. Guidelines for Community Based Ecotourism Development.
masyarakat lokal memperoleh manfaat dari kegiatan pariwisata berwawasan lingkungan maka dengan sendirinya akan menjaga sumberdaya alam yang ada, dengan demikian konservasi alam juga akan terjaga. Masyarakat lokal yang tinggal di sekitar obyek wisata disebut sebagai “gateway communities” (Davies & Cahill, 2000)15.
Masyarakat lokal inilah yang sering berpartisipasi dalam kegiatan pariwisata baik secara umum dan khususnya pariwisata berwawasan lingkungan.
Pariwisata berwawasan lingkungan lebih baik dalam pengembangan masyarakat pedesaan dan daerah terpencil. Hal ini disebabkan pada umumnya lokasi obyek wisata yang diminati wisatawan terletak di daerah pedesaan yang sangat terpencil (Neto, 2003)16 . Kegiatan pariwisata yang berwawasan lingkungan diharapkan
memberi dampak positif terhadap masyarakat yang hidup di sekitar lokasi konservasi. Program ekowisata mendorong usaha kecil dan menengah dapat berkembang serta pada dasarnya telah dioperasikan oleh penduduk lokal (Nations, 2001). Masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi obyek wisata bisa menjadi pemandu wisata, buruh mengangkat barang-barang, menjadi pedagang souvenir, mengelola usaha penginapan dan restoran. Kegiatan sebagai pemandu wisata serta pengusaha dalam usaha kecil dan menengah membutuhkan pelatihan khusus dengan demikian maka pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat perlu merancang pelatihan rutin karena penduduk lokal tidak memiliki pengetahuan yang memadai.
Dalam upaya mencapai konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan, diperlukan partisipasi dan keterlibatan masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan, mampu mencapai tujuan pembangunan secara efektif dan efisien yang mendukung aspek keberlanjutan. Dengan demikian, konsep pembangunan pariwisata berbasis komunitas juga menjadi bagian yang sangat esensial sebagai
15 Terry Davies & Sarah Cahill. 2000. Environmental Implication of the Tourism
Industry. Discussion Paper 00-14. Washington DC.
16 Neto F. 2003. A New Approach to Sustainable Tourism Development: Moving
pendukung pariwisata berkelanjutan. Berikut ini akan diuraikan kajian tentang konsep pembanguann pariwisata berbasis komunitas.
Konsep Pembangunan Pariwisata Berbasis Masyarakat
(CBT)
Konsep pembangunan pariwisata berbasis masyarakat (Community Based Tourism Development) telah dikenal sejak tahun 1990-an. Pearce (1990) menghadirkan konsep pembangunan pariwisata berbasis komunitas sebagai instrumen yang dapat digunakan untuk mencapai kesejahteraan komunitas di suatu wilayah melalui pemerataan ekonomi, dan pengambilan keputusan yang dapat mengendalikan pembangunan. Konsep pembangunan berbasis komunitas berawal dari konsep pengembangan atau pemberdayaan komunitas yang kemudian dikaitkan atau dikolaborasikan dengan pariwisata sehingga dianggap relevan dalam mencapai pembangunan berkelanjutan (Blackstock, 2005)17.
Secara konseptual, pariwisata berbasis masyarakat diartikan sebagai pendekatan alternatif (Pantin & Francis, 2005)18, yang
menekankan pada partisipasi atau keterlibatan masyarakat (Hausler, 2005)19 serta merupakan alat pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat
lokal. Pariwisata berbasis masyarakat juga berkaitan erat dengan pariwisata berkelanjutan yaitu sebagai salah satu syarat pengembangan pariwisata berkelanjutan (Murphy, 1985)20.
17 Blackstock. (2005). A Critical Look at Community Based Tourism. Community
Development Journal .
18 Pantin, D dan Francis, J. 2005. Community Based Sustainable Tourism. UK:
UWISEDU.
19 Hausler, N. 2005. “Definition of Community Based Tourism “ Tourism Forum
International at the Reisepavillon. Hanover 6 Pebruari 2005.
20 Murphy, P.E. 1985. Tourism A Community Approach. London and New York:
Pariwisata berbasis masyarakat menurut (UNEP21 & UNWTO,
2005)22 terdapat lima prinsip pariwisata berbasis masyarakat yakni:
pertama, prinsip sosial; pada prinsip ini akan mengikutsertakan anggota masyarakat dalam memulai setiap aspek, mengembangkan kebanggaan komunitas, mengembangkan kualitas hidup masyarakat. Kedua, prinsip ekonomi; mengakui, mendukung dan mengembangkan kepemilikan komunitas dalam industri pariwisata, mendistribusikan keuntungan secara adil kepada anggota komunitas. Ketiga,prinsip budaya; mempertahangkan keunikan karakter dan budaya lokal, membantu berkembangnya pembelajaran tentang pertukaran budaya pada masyarakat, menghargai perbedaan budaya dan martabat manusia.
Keempat, masalah lingkungan; menjamin keberlanjutan lingkungan.
Kelima, prinsip politik; yakni pendistribusian pendapatan secara merata.
Selanjutnya, pariwisata berbasis masyarakat oleh (Hatton, 1999)23 terdapat empat prinsip community Based Tourism (CBT) antara
lain: pertama, prinsip sosial; dimana ditekankan bahwa sebagian besar kegiatan pariwisata dibangun dan dioperasikan, didukung serta memperoleh ijin dari masyarakat lokal. kedua,prinsip ekonomi; pembagian keuntungan dapat dipertanggungjawabkan. Ketiga, Prinsip budaya; menghargai budaya lokal, heritage, dan tradisi masyarakat lokal. Keempat, prinsip politik; peranan pemerintah lokal dan regional. Sejalan dengan (UNEP & UNWTO, 2005) dan (Hatton, 1948), menurut (Suansri, 2003) membagikan prinsip-prinsip pariwisata berbasis masyarakat ke dalam lima tahap antara lain: pertama,
ekonomi; terciptanya lapangan pekerjaan di sektor pariwisata bagi masyarakat lokal, adanya pendapatan bagi masyarakat lokal, terdapatnya dana bagi komunitas. Kedua,sosial; terjadinya peningkatan
21
UNEP adalah United Nation Environment Programme atau Program lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa
22 UNEP and WTO. 2005. Making Tourism More Sustainable: a Guide for Policy
Makers, tidak diterbitkan.
23 Hatton, M.J. 1999. Community Based Tourism in the Asia-Pacific, Canada: School of
kualitas hidup, peningkatan kebanggaan komunitas, pembagian peranan yang adil (menurut gender dan usia), mekanisme penguatan organisasi komunitas. Ketiga, budaya; mendorong masyarakat menghormati budaya lain, mendorong pertukaran budaya, menanamkan budaya pembangunan bagi masyarakat lokal. Keempat,
politik; peningkatan partisipasi penduduk lokal, peningkatan kekuasaan komunitas yang lebih luas, mekanisme yang menjamin hak masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam. Kelima,
lingkungan; pengembangan carrying capacity, sistim pembuangan sampah yang ramah lingkungan, kepedulian pada konservasi.
Selanjutnya WWF-Indonesia (2009) menerangkan bahwa terdapat beberapa aspek kunci dalam ekowisata berbasis masyarakat antara lain : pertama, masyarakat membentuk panitia atau lembaga untuk mengelola kegiatan ekowisata di daerahnya dengan dukungan dari pemerintah dan organisasi (menyangkut nilai partisipasi masyarakat dan edukasi). Kedua, prinsip local ownership, pengelolaan dan kepemilikan oleh masyarakat setempat diterapkan sedapat mungkin terhadap sarana dan prasaran ekowisata, kawasan ekowisata.
Ketiga, homestay menjadi pilihan utama untuk sarana akomodasi di lokasi wisata (prinsip ini menyangkut nilai ekonomi dan edukasi).
Keempat, pemandu wisata adalah orang setempat atau penduduk lokal.
Kelima,perintis, pengelolaan dan pemeliharaan obyek wisata menjadi tanggungjawab masyarakat setempat, termasuk penentuan biaya untuk wisatawan (nilai ekonomi dan wisata).
Selanjutnya konsep pengembangan pariwisata yang berpihak pada kaum miskin (pro poor tourism) pada dasarnya memiliki tujuan untuk mengurangi kemiskinan melalui kegiatan usaha pariwisata. Keberpihakan pariwisata pada kaum miskin, yang ditekankan adalah keterlibatan masyarakat lokal dalam kegiatan pariwisata agar masyarakat lokal lebih sejahtera. Dengan demikian maka, pengembangan pariwisata baik ekowisata maupun pariwisata berkelanjutan harus memberi tekanan pada pengurangan kemiskinan, dimana masyarakat lokal harus terlibat (Neto, 2003). Lebih lanjut,
Neto mengemukakan tiga alasan, yakni: pertama, industri pariwisata dapat menyerap banyak tenaga kerja. Kedua, industri pariwisata terkait dengan sektor formal lainnya yang mempunyai efek multiplier positif terhadap kelompok orang miskin. Ketiga, usaha pariwisata lebih banyak mengandalkan modal alamiah, seperti: tumbuh-tumbuhan dan fauna, pemandangan, warisan budaya yang banyak dimiliki penduduk miskin. Oleh karena program pariwisata yang berwawasan lingkungan berada di daerah pedesaan maka biaya awal membangun usaha lebih murah karena masyarakat tinggal di tempat tersebut. Dengan demikian maka, keterlibatan masyarakat lokal dalam kegiatan pariwisata di daerah terpencil sangat dimungkinkan.
Pengembangan pariwisata dalam upaya mengurangi kemiskinan di pedesaan (Ashley, 2000) lebih menyoroti hadirnya keterkaitan program pariwisata berwawasan lingkungan dengan cara pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari (livelihoods). Ashley menekankan bahwa tujuan pengembangan pariwisata berbeda antara ekonom, pengusaha, konservasionis serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Para ekonom lebih menekankan pada peran pariwisata bagi proses pertumbuhan ekonomi makro, terutama pariwisata dapat mendatangkan devisa bagi negara. Untuk pengusaha, pengembangan pariwisata dimaksudkan untuk mengerakkan kegiatan usaha komersial. Yang menjadi perhatian para pengusaha adalah pengembangan produk, persaingan serta hasil usaha yang diperoleh para pengusaha. Sedangkan bagi para konservasionis, pengembangan pariwisata dimaksudkan untuk menjaga keberlangsungan spesies dan kehidupan yang ada di alam. Bagi masyarakat pedesaan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di area pedesaan, pengembangan pariwisata dimaksudkan untuk pembangunan pedesaan. Selanjutnya, berbicara tentang keterkaitan pengembangan pariwisata dengan pembangunan masyarakat lokal di pedesaan (Ashley, 2000) mengusulkan agar dalam kaitan dengan pembangunan pedesaan yang perlu ditekankan adalah pemenuhan kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat lokal di pedesaan. Masyarakat pedesaan dimanapun terlibat dalam berbagai kegiatan
ekonomi adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah tangga, yang pada umumnya didominasi oleh tiga sektor, yakni: sektor pertanian, sektor peternakan dan perikanan. Ketiga sektor ini memainkan peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Masyarakat pedesaan setiap hari hidup dari hasil pertanian, peternakan dan hasil nelayan.
Pariwisata mungkin merupakan salah satu kegiatan baru bagi masyarakat lokal dan sering dianggap bahwa kegiatan pariwisata akan beresiko bagi masyarakat lokal. Hal ini berguna untuk mengeksplorasi bagaimana kegiatan pariwisata dijadikan sebagai salah satu pendapatan atau mata pencaharian (livelihoods) bagi keberlanjutan kehidupan masyarakat lokal (Tao & Wall, 2008)24. Selanjutnya Tao dan Wall
(2008) menjelaskan jika suatu komunitas memutuskan untuk menerima kegiatan pariwisata sebagai salah satu strategi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (livelihoods) mereka untuk mencapai kehidupan yang berkelanjutan, pariwisata akan menjadi salah satu bentuk diversifikasi mata pencaharian masyarakat lokal. Selanjutnya Tao & Wall (2008) mendefinisikan diversifikasi matapencaharian sebagai “proses dimana keluarga pedesaan membangun beragam kegiatan portofolio dan kemampuan dukungan sosial dalam memperjuangkan untuk bertahan hidup dan meningkatkan standar hidup mereka”. Selain itu Tao dan Wall (2008) mengatakan bahwa diversifikasi dapat memiliki banyak keuntungan serta pariwisata dapat menjadi: pertama, cara untuk mengaktifkan akumulasi pendapatan dalam konsumsi dan investasi. Kedua, sebuah cara untuk membantu dalam mengambil resiko. Ketiga, salah satu penyesuaian untuk menanggapi penurunan pendapatan jangka panjang, karena perubahan ekonomi dan perubahan lingkungan di luar kontrol. Keempat, meningkatkan pendapatan rumah tangga. Keterlibatan masyarakat lokal dalam pariwisata yang sering
24 Theresa C.H Tao & Geoffrey Wall. 2008. Tourism for Marginal Groups: Tourism as a
Livelihood Strategy in an Indigenous Community in Taiwan. BEST Education Network.
diingingkan oleh masyarakat setempat akan membawa perubahan dalam pengunaan sumber daya dan kegiatan mereka.
Penelitian (Ashley, 2000) di Namibia mengatakan bahwa pengembangan pariwisata banyak membantu penduduk pedesaan untuk memperoleh pendapatan tambahan bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat sehari-hari. Masyarakat bisa berperan sebagai tenaga pengangkut barang, pemandu wisata, membuka warung di tempat-tempat istirahat dan membuat souvenir yang dibuat sendiri oleh masyarakat. Selanjutnya (Ijeomah, 2012)25 pada penelitian di Nigeria
bahwa dampak positif dari kegiatan pariwisata adalah bahwa dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan memberikan matapencaharian sampingan bagi masyarakat lokal yang tinggal di sekitar lokasi pariwisat. Lebih lanjut Henry Ijeomah mengatakan bahwa masyarakat lokal yang tinggal di sekitar lokasi pariwisata memperoleh sarana aliran listrik dan sarana air bersih secara gratis. Masyarakat lokal juga memperoleh pekerjaan tambahan di sektor pariwisata.
Sejalan dengan Ashley (2000) dan Henry (2012), Tao & Wall (2008) pada temuannya dalam penelitiannya di Taiwan mengatakan bahwa pariwisata merupakan kegiatan yang relatif baru dalam sejarah panjang masyarakat terpencil di Taiwan. Kegiatan usaha pariwisata dimasukkan sebagai salah satu kegiatan ekonomi yang ada, dengan demikian usaha pariwisata tidak boleh dilihat secara terpisah dari kegiatan ekonomi lainnya. Kegiatan usaha pariwisata adalah kegiatan beresiko dan sejauh ini tidak mengantikan mata pencaharian masyarakat lokal untuk memperoleh pendapatan, terutama pada masyarakat marjinal yang hidup di lokasi relatif terpencil. Dengan demikian penting bahwa kegiatan usaha pariwisata hanya melengkapi pemenuhan kebutuhan ekonomi sehari-hari (livelihoods) masyarakat, bukan untuk mengantikan sumber-sumber matapencaharian yang
25 Henry Mm Aduabuchi Ijeomah. 2012. Impact of Tourism on Livelihood of
Communities Adjoining Ecodestinations in Plateau State, Nigeria. Revista de Cultura Turismo.
mengarah ke diversifikasi strategi penghidupan. Oleh karena itu kegiatan usaha pariwisata bagi pendukung pembangunan berkelanjutan dan berkontribusi terhadap pencapaian hasil penghidupan berkelanjutan.
Selanjutnya (Wowor, 2011) dalam penelitiannya di Sulawesi Utara mengatakan bahwa kehadiran pariwisata mempunyai dampak langsung terhadap pemenuhan kebutuhan ekonomi sehari-hari (livelihoods) masyarakat. Sebagian besar masyarakat yang ada di tiga lokasi penelitian pada awalnya hanya mengandalkan pendapatan mereka dari kegiatan bertani dan nelayan, namun kehadiran pariwisata telah memberi kesempatan mendapatkan sumber pendapatan alternatif bagi rumah tangga mereka. Masyarakat lokal mempunyai kesadaran baru dengan mengubah rumah tempat tinggal menjadi homestay. Ada juga yang membangung penginapan sederhana atau membuka usaha menjual kebutuhan sehari-hari, hasil penangkapan laut, kerajinan tangan, pulsa, internet, sablon T-shirt, kartu pos dan bekerja di resort. Peranan LSM sangat besar memberdayakan masyarakat dalam memanfaatkan peluang ekonomi tersebut. Harus diakui pengembangan wisata telah mengubah perilaku sosial ekonomi masyarakat lokal yang sebelumnya pasif menjadi lebih aktif yaitu adanya gairah untuk berusaha.
Sektor pariwisata tidak selamanya membawa dampak positif bagi masyarakat lokal, akan tetapi terkadang menimbulkan banyak dampak negatif dan terjadi ketidak puasan bagi masyarakat lokal. Beberapa penelitian telah mengungkapkan dampak negatif dari pengembangan pariwisata bagi masyarakat lokal secara sosial, kultural dan lingkungan (Rowe, et. al., 2002)26. Ijeomah (2012) dalam
penelitiannya di Nigeria menemukan bahwa masyarakat yang hidup di area konservasi adalah sebagian besar masyarakat petani dan nelayan sehingga tanah dan sumber mata air menjadi cukup penting dan sangat dihormati. Oleh karena taman diakuisisi atau dikuasai oleh pemerintah
26 Rowe A. Et All. 2002. Carrier Award Travel and Tourism Standard Level. Cambridge
sebagai area konservasi maka masyarakat lokal dipaksa untuk menghentikan budidaya terhadap jenis tanaman tertentu. Saat ini masyarakat lokal yang hidup di sekitar area konservasi tidak boleh melakukan budidaya ubi, kentang, sinkong, jagung atau beternak kecuali membuka lahan baru yang letaknya jauh dari area konservasi dan jauh dari rumah penduduk lokal. Akhirnya masyarakat cukup sulit untuk melakukan kegiatan pertanian sebagai matapencaharian bagi kehidupan sehari-hari. Masyarakat lokal juga sulit membuka lahan pertanian baru yang letaknya jauh dari tempat tinggal mereka karena tidak nyaman dan terdapat berbagai jenis binatang liar yang akan merusak tanaman masyarakat. Selanjutnya Ijeomah menambahkan bahwa mayoritas penduduk lokal adalah petani sehingga untuk memenuhi kebutuhan memasak maka mereka menggunakan kayu bakar. Akan tetapi dengan adanya area konservasi yang lebih luas maka menjadi sulit bagi penduduk lokal untuk mengakses kayu bakar. Sedangkan masyarakat lokal yang hidup di daerah terpencil tidak mampu untuk memperoleh alternatif lain yang digunakan untuk memasak, misalnya: tidak mampu membeli bahan bakar minyak tanah, kompor gas dan listrik. Akhirnya sebagian masyarakat yang putus asa memilih untuk melakukan kegiatan ilegal yakni tetap memburu binatang-binatang yang telah dilindungi, merusak sumberdaya alam di dalam taman konservasi.
Ketika masyarakat lokal tidak menerima manfaat dari kegiatan pariwisata karena mereka tidak berpartisipasi, maka masyarakat lokal tersebut rentan untuk mengembangkan sikap negatif terhadap pengembangan ekowisata. Hal ini mungkin terjadi misalnya ketika masyarakat terpencil yang bertahan hidup sanggat tergantung pada eksploitasi sumberdaya alam melihat bahwa pariwisata sebagai ancaman yang menghalangi mereka dari pemenuhan matapencaharian agar bersaing dengan orang lain atas tanah dan sumberdaya (Ross & Wall, 1999)27. Dalam kasus tersebut, ekowisata berbasis masyarakat
27 Ross S. 1999. Evaluating Ecotourism: The Case of North Sulawesi Indonesia. Tourism
sangat mungkin untuk gagal sepenuhnya atau tidak berhasil dan jauh dari pembangunan berkelanjutan yang diharapkan (McCools & Moisey, 2001).
Selanjutnya Wowor (2011) merujuk karya Edinton (2006) menemukan ada protes dari masyarakat Makulekes di Africa Selatan karena hak-hak ekonomi mereka atas hutan tidak diakui oleh pemerintah. Komunitas yang tinggal di sekitar taman nasional di pangkas haknya untuk berburu. Dengan alasan konservasi alam, hak perburuan hanya diberikan kepada mereka yang mempunyai ijin. Pemerintah takut perburuan liar oleh penduduk lokal sekitar tidak terkontrol sehingga bisa membahayakan kelangsungan spesies di taman tersebut. Bagi sebagian penduduk taman dahulunya adalah tempat mereka memenuhi kebutuhan seperti, mencari kayu bakar dan berburu, namun faktor kehadiran negara dengan lisensi membuat mereka tidak mempunyai akses lagi terhadap sumber alam tersebut. Hal ini memicu konflik dengan penduduk. Konflik bisa berlangsung dalam bentuk sabotase terhadap kegiatan pariwisata di sana, seperti merusak pagar tanaman, memberi racun pada satwa atau melakukan tindakan kriminal terhadap para wisatawan.
Selanjutnya (Tao, 2006)28 dalam tesisnya, ia mengkategorikan
dampak negatif dari pembangunan pariwisata ke dalam 5 kategori yang dikutip dari beberapa ahli yakni: pertama, perubahan biofisik (biophysical); pengunaan lahan baru merusak adat istiadat, hukum, keyakinan, menciptakan bentuk-bentuk baru dalam pengelolaan tanah dan sumberdaya atau menurungkan pelestarian lingkungan, hilangnya hak akses ke tanah dan sumberdaya lahan yang penting bagi kehidupan, mengeksploitasi sumberdaya untuk memperoleh keuntungan secara ekonomi, terjadinya peningkatan kompetisi terhadap akses ke sumber daya langka untuk kebutuhan konsumsi.
Kedua, perubahan ekonomi; persyaratan yang dipakai untuk bekerja mungkin tidak cocok dengan ketrampilan penduduk setempat, adanya
28 Teresa Chang-Hung Tao. 2006. Tourism as a Livelihood Strategy in Indigenous
perubahan dari ekonomi tradisional atau subsisten ke ekonomi pasar, ketidakmerataan distribusi biaya dan manfaat dari pengembangan pariwisata, memerlukan teknologi dan barang impor serta infrastruktur yang membuat masyarakat lokal tidak mampu atau tidak bisa bersaing, dapat meningkatkan permintaan lokal terhahap barang import, dapat meningkatkan biaya hidup masyarakat lokal, adanya kompetisi industri sehingga investasi pariwisata membuat investor memperoleh keuntungan maksimum sedangkan masyarakat lokal tidak memperoleh keuntungan sehingga kesejahteraan masyarakat tidak terpenuhi.
Ketiga, perubahan sosial; peningkatan komunikasi dengan nilai dan gaya hidup eksternal dapat menyebabkan nilai-nilai sosial dan tujuan yang baru. Terjadinya peningkatan jumlah penduduk permanen atau sementara, mengubah kohesi sosial dan dominasi oleh orang luar. Terjadinya perubahan peran gender dan tanggung jawab kerja. Migrasi untuk mencari pekerjaan baru. Memperburuk kesenjangan sosial yang mengakibatkan pencurian dan permusuhan. Terjadinya pemalsuan dalam iklan yang mengambarkan gaya hidup lokal. wisatawan tidak dapat berbaur dengan masyarakat setempat akan tetapi melakukan komfrontasi dengan masyarakat setempat. Pembangunan sering diluar kendali penduduk setempat. Keempat,perubahan budaya; peningkatan frekuensi kontak dengan norma-norma budaya yang berbeda dapat menyebabkan percepatan merongrong budaya tradisional dan keyakinan, pergantian tradisi dengan cita-cita yang moderen dan prioritas. Dapat menantang atau bahkan menghapuskan keragaman budaya dan bahasa. Perubahan budaya mungkin memupuk pada nilai dan ideologis perpecahan antara generasi tua dan generasi muda. Budaya asli masyarakat setempat dapat kehilangan keasliannya. Hilangnya identitas masyarakat. Kelima, perubahan psikologis; terjadi ketidakpastian, ketakutan, disempowerment pesimisme menuju masa depan jika terjadi perubahan cepat, partisipasi dalam mengambil keputusan yang rendah, penduduk setempat yang tidak dapat mengasimilasi atau perubahan kontrol. Mungkin terjadi perdagangan sosial kualitas hidup untuk peningkatan mutu bahan. Terjadinya peningkatak tingkat tres, kekerasan dan kejahatan. Peningkatan
populasi dan lalulintas populasi yang berarti menurunkan rasa aman. Permusuhan terhadap perubahan dalam kehidupan yang dipaksakan oleh pembangunan.
Konsep pembangunan pariwisata berbasis masyarakat membutuhkan kerjasama lintas sektor, salah satu sektor yang berperan penting dalam menentukan keberhasilan mencapai pariwisata berbasis masyarakat ialah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). LSM dipandang sebagai penggerak sosial masyarakat yang beraktivitas dan berinteraksi secara langsung dengan masyarakat dalam proses pengawasan program pembangunan pariwisata. Oleh sebab itu, LSM memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan pariwisata sebagai salah satu indikator keberhasilan mencapai pariwisata berkelanjutan dan berbasis masyarakat. Dengan demikian, kajian tentang keterlibatan LSM dalam pembangunan pariwisata akan diuraikan sebagai berikut.
Peranan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam Proses
Pengembangan Pariwisata berbasis masyarakat (
Community
Based Tourism)
Pada bagian ini saya mencoba untuk membahas beberapa karya mengenai keterlibatan LSM dalam pengembangan pariwisata. Berawal dari KTT Rio (Agenda 21 : 1992) bahwa tiga pilar keberlanjutan adalah lingkungan, sosial dan ekonomi. Hal ini mengacu pada penguatan peran organisasi non pemerintahan (LSM) sebagai mitra untuk pembangunan berkelanjutan. “A non governmental organization (NGO) by the United Nations as any formal association that is neither a government nor hopes to replace a government or its officials, is funded from voluntary and is not involved in for-profit activity, and does not engage in or advocate violence. The NGO must support the goals of United Nations or other government agency that recognizes them. A number of such organization, due to their scope, have direct involvement in tourism” (Lew, 2000:414-415).
Lembaga Swadaya Masyarakat memiliki kemampuan dan beragam pengalaman, keahlian dan kapasitas dalam bidangnya yang akan menjadi penting dalam pelaksanaan dan peninjauan lingkungan, bertanggung jawab secara sosial dan ekonomi dalam pembangunan berkelanjutan (UN/Agenda 21 : 1992). Di samping itu, kontribusi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terhadap pembangunan pariwisata berkelanjutan (UNCSD29 NGO : 1999) dapat mengambil
bentuk lobi atau membantu suplai untuk lembaga industri pariwisata sehingga dapat mengembangkan rencana pengelolaan pariwisata yang mempertimbangkan serangkaian faktor. Lembaga Swadaya Masyarakat juga berkontribusi terhadap perumusan pedoman mengenai kesadaran publik akan adanya tujuan pengembangan dan pelatihan untuk tur operator dan lembaga lokal sehingga dampak pariwisata terhadap masyarakat lokal dapat diukur. Tujuan Lembaga Swadaya Masyarakat adalah untuk mendukung dan memperkuat masyarakat lokal melalui penciptaan lapangan kerja, pendidikan dan pelatihan (Mylanopoulos & Moira, 2010)30.
Selanjutnya, Lembaga Swadaya Masyarakat dianggap menjadi faktor penting yang mempengaruhi daya saing bisnis pariwisata yang berkelanjutan karena dapat menjamin kepercayaan masyarakat luas dalam kaitannya dengan penggunaan rasional sumber daya lingkungan. Peran yang lebih spesifik diadopsi oleh masing masing Lembaga Swadaya Masyarakat tergantung pada kondisi dimana dia beroperasi dilihat dari misi, tujuan dan konteks pariwisata. Dalam banyak kasus, Lembaga Swadaya Masyarakat bertindak sebagai pendidik, pemasok pengetahuan teknis dan keahlian (Mylonopoulos & Moira 2010).
Proses pengembangan pariwisata berbasis masyarakat tidak selalu dapat dilakukan tanpa proses pemberdayaan. Wilayah-wilayah yang berkembang sebagai daerah tujuan wisata pada umumnya adalah
29 UNCSD adalah The United Nation Conference on Sustainable Development atau
konferensi PBB tentang pembangunan berkelanjutan.
30 D, Mylanopoulos & P, Moira. 2010. The NGO’s Contribution to Sustainable Tourism
Development, the Case of Greece. International Society of Travel and Tourism Educators.
wilayah-wilayah terpencil karena di wilayah-wilayah inilah banyak terdapat daya tarik alam, budaya dan flora fauna lokal (Ashley, Boyd & Goodwin, 2000)31. Masyarakat yang tinggal di wilayah ini cenderung
tidak cukup memiliki pengetahuan maupun kemampuan untuk mengambil keputusan mengenai pengembangan wilayahnya serta berpartisipasi dalam pengembangan pariwisata (Tosun, 2000)32. Oleh
karena itu, program-program pemberdayaan agar masyarakat memperoleh keuntungan maksimal dari kehadiran pariwisata sangat dibutuhkan. Pengalaman dengan berbagai daerah tujuan wisata baru menunjukkan bahwa kehadiran LSM berpotensi mendukung proses-proses tersebut (Ricardson, 2010)33. Oleh karena itu, pada bagian
selanjutnya, saya akan memaparkan lebih mendetil mengenai peran dari LSM dalam proses pengembangan pariwisata berbasis komunitas.
Dari penjelasan diatas, (Mohamad et. al., 2013)34 menjelaskan
pentingnya kemitraan dalam memungkinkan peningkatan kapasitas di lingkungan pedesaan berdasarkan konteks, proses dan hasil kemitraan. Berdasarkan konteks, LSM WWF35 Norwegia melaui mitra LSM WWF
yang berbasis di Kinabatangan menyediakan beberapa dana untuk memulai inisiatif dalam CBT dan menunjuk Mr. M sebagai fasilitator. Prosesnya adalah memberikan koordinasi dan dana untuk membangun kapasitas masyarakat dalam jangka waktu tiga tahun. MESCOT36 adalah
sebuah organisasi yang mewakili para pemuda setempat dengan tujuan untuk menciptakan kegiatan ekowisata berbasis masyarakat yang dapat memberi sumber penghasilan alternatif dan kesempatan kerja untuk mengurangi kemiskinan lokal. Pendekatan kepemimpinan dan kualitas pribadi dari inisiator external sangat penting dalam tahap awal
31 Caroline Ashley, Carlotte Boyd & Harod Goodwin. 2000. Pro Poor Tourism: Putting
Poverty at the Heart of the Tourism Agenda. ODI
32 Cevat Tosun. Limmits to Community Participation in the Tourism Development
Process in Developing Countries. PERGAMON
33 Robert B. Richardson. 2010. The Contribution of Tourism to Economic Growth and
Food Security. USAID-Mali
34 Nor Haniza Mohamad at all. 2013. Capacity Building: Enabling Learning in Rural
Community Through Partnership. Procesia-Social & Behavioral.
35 WWF kepanjangan dari World Wide Fund
pengembangan kapasitas untuk menciptakan rasa memiliki dan rasa kepemilikan serta unsur – unsur yang mengikat dalam pengembangan kapasitas. Hasil daripada keterlibatan LSM WWF Norwegia di Kinabatangan ini adalah bahwa agen pemerintahan setempat melibatkan anggota MESCOT dalam pemantauan hutan, meningkatkan kesadaran konservasi, kegiatan penanaman pohon dan pengobatan budidaya hutan pada tahun 1999. Selain itu pada waktu Sabah Forestry Department (SFD) menghadapi kendala dalam tenaga kerja, ahli, logistik dan komunikasi untuk melakukan kegiatan konservasi maka anggota MESCOT dapat melengkapi keterbatasan ini karena anggota mereka sudah terlatih dan bisa dimanfaatkan.
Sejalan dengan Nor Haniza dkk (2013), Konsep LSM dalam partnerships for Tourism development oleh (Stronza, 2000)37 dalam
partnerships for tourism development, tiga hal yang didiskusikan bersama yakni : pertama adalah pengembangan kapasitas. Tujuan penting dari kemitraan ini adalah untuk menggunakan ekowisata sebagai sarana untuk membangun kepedulian terhadap lingkungan dan memberdayakan warga setempat dengan ketrampilan dan sumberdaya untuk mencapai tujuan pembangunan mereka sendiri. Ini adalah proses bertahap yang diperlukan untuk meningkatkan kemampuan, ketrampilan dan pengetahuan masyarakat. Kedua adalah proses yang dilakukan dalam pengembangan kapasit komunitas lokal. Peningkatan kapasitas bagi masyarakat lokal dan keterlibatan mereka dalam pekerjaan serta bisnis pariwisata juga harus di tentukan secara eksplisit dalam perjanjian kemitraan. Masyarakat direkomendasikan mulai dengan posisi staf yang relatif kurang terampil kemudian dilanjutkan dengan posisi semakin trampil, seperti dalam membimbing, mengelola keuangan, pemasaran atau manajemen. Ketiga adalah kesempatan dan kesulitan yang dihadapi yang mana tidak dijelaskan oleh Mohammad, et.al. (2013). Kesulitannya adalah konflik antara orang orang dalam komunitas yang mendukung pergeseran ke pariwisata dan mereka yang
37 Amanda Stronza. 2000. Partnership for Tourism Development. Department of
memilih untuk terus bekerja dalam kegiatan lain, seperti pertanian atau berburu, ini adalah kegiatan yang dapat bertentangan dengan ekowisata. Ada juga perbedaan sosial yang semakin ditandai beberapa orang menjadi semakin terlibat dalam manajemen pariwisata dan yang lain tidak terlibat. Tantangan lain di bidang pariwisata adalah konflik dari distribusi manfaat ekonomi yang diperoleh dan otoritas pengambil keputusan.
Dari berbagai pandangan mengenai peranan Lembaga Swadaya Masyarakat sebagaimana telah diungkapkan diatas, dapat ditemukan bahwa Lembaga Swadaya Masyarakat berperan dalam peningkatan kapasitas masyarakat.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil literatur yang telah dibahas diatas mengungkapkan tiga konsep besar yakni: konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan, konsep pariwisata berbasis masyarakat dan konsep keterlibatan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam pengembangan pariwisata berbasis masyarakat. Dari konsep-konsep tersebut terdapat keterkaitan antara satu konsep dengan konsep lainnya yang dapat dijadikan sebagai suatu acuan untuk menjelaskan peranan lembaga swadaya masyarakat (LSM) bagi masyarakat lokal pada pengembangan pariwisata dalam konteks pariwisata berkelanjutan. Tujuan utama pembangunan pariwisata berkelanjutan harus berpijak pada empat prinsip yakni: pertama; secara ekologi berkelanjutan yakni pembangunan pariwisata tidak menimbulkan efek negatif terhadap ekosistim setempat. Kedua; secara sosial dapat diterima, yakni mengacu pada kemampuan penduduk lokal untuk menyerap usaha pariwisata tanpa menimbulkan konflik sosial. Ketiga; secara budaya dapat diterima, yakni masyarakat lokal mampu beradaptasi dengan budaya wisatawan yang cukup berbeda. Keempat; secara ekonomi menguntungkan, yakni keuntungan yang didapat dari kegiatan pariwisata dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Untuk mencapai tujuan pembangunan pariwisata dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal maka dibutuhkan kerjasama dari stakeholders dalam pencapaiannya. Peran serta masyarakat dalam pengembangan pariwisata menjadi sesuatu yang penting untuk dilaksanakan dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan. Hal ini disebabkan oleh, masyarakat di sekitar lokasi pariwisata yang lebih mengetahui kondisi lingkungan dimana mereka tempati dibandingkan orang lain yang berasal dari luar komunitasnya. Oleh karena itu, menjadi penting untuk dikembangkan konsep pariwisata berkelanjutan yang berbasis masyarakat dengan pendekatan komunitas lokal didalamnya.