• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ragam Pembelajaran dari Masa ke Masa dan Sistem Pendukungnya. Didi Suherdi Universitas Pendidikan Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ragam Pembelajaran dari Masa ke Masa dan Sistem Pendukungnya. Didi Suherdi Universitas Pendidikan Indonesia"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

1 Ragam Pembelajaran dari Masa ke Masa dan Sistem Pendukungnya

Didi Suherdi

Universitas Pendidikan Indonesia

Abstrak

Artikel ini membahas pembelajaran dalam lima perspektif kajian: landasan filosofis dan teoretis, paradigma, eksplisitas, keberpusatan, dan faktor pendorong kelahirannya. Kelebihan dan kelemahan masing-masing padangan dibahas dan diakhiri dengan keberpihakan yang disarankan. Berdasarkan kajian ini kemudian digagas pembelajaran abad ke-21, bertitik tolak pada tuntutan dan tantangan yang muncul, alternatif respon dan jawaban, serta contoh alternatif yang sudah dikembangkan. Sistem pendukung pembelajaran dibahas secara komprehensif padat bagi masing-masing alternatif pembelajan yang dikembangkan. Kesimpulan dan rekomendasi menutup artikel ini.

Kata Kunci: Pembelajaran abad ke-21, Industri 4.0, Keluwesan Kognitif, Pembelajaran Sinergetik multilapis

Pendauluan

Upaya manusia memahami hakikat pembelajaran telah mengalami perjalanan yang sangat panjang. Boleh jadi secara informal lebih panjang dari usia sistem persekolahan. Bahkan dalam Al Qur-an dapat kita pahami bahwa Nabi Adam As mengenal dan mengalami pembelajaran pada awal penciptannya. Memahami hakikat pembelajaran telah menjadi kegiatan penting dalam kehidupan manusia. Sejarah Pendidikan telah diwarnai oleh upaya-upaya pencarian atas definisi konsep ini. Upaya ini sangat penting dalam dunia pendidikan, terutama karena, bersama dengan definisi belajar, definisi pembelajaran akan menentukan hakikat unsur-unsur lainnya seperti strategi, pemilihan bahan ajar, dsb. (Etmer and Newby, 2013). Dengan kata lain, memahami hakikat pembelajaran merupakan langkah sentral dalam mengelola pendidikan yang dalam banyak konteks merupakan kunci bagi keberhasilan pembangunan sebuah bangsa.

Sejalan dengan perubahan radikal yang dipicu oleh perkembangan teknologi digital dan inudstri 4.0, keharusan memahami hakikat pembelajaran dalam konteks abad ke-21 menjadi tuntutan yang memerlukan respon yang mendesak dalam duani pendidikan secara global. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika catatan mengenai upaya-upaya baru ini bisa kita jumpai pada banyak sumber (Misalnya, Beetham and Sharpe, 2013; Dunwill, 2016; Gleason, 2018,

(2)

2 Suherdi, 2019b). Artikel ini dimaksudkan untuk menyajikan hasil dari upaya memahami hakikat pembelajaran dan sistem pendukungnya dalam perspektif pendidikan sepanjang sejarah dan Pendidikan abad ke-21, terutama dalam upaya menyongsong Indonesia emas.

Pembahasan fokus bahsan dalam artikel ini akan dilakukan beralandaskan perkembangan kajian pembelajaran dalam lima perspektif yang akan dibahas pada bagian akhir pendahuluan ini. Seperti yang kita ketahui, perjalanan pengembangan teori-teori yang melandasi pemahaman atas pembelajaran diwarnai oleh perdebatan-perdebatan sengit (Overskeid, 2008; Weegar and Pacis, 2012; Etmer dan Newby, 2013); disamping pencapaian-pencapaian gemilang (Chiesa, 1994; Fosnot, 1996; Eysenck, 2001). Perdebatan-perdebatan tersebut selain seringkali menyebabkan kebingungan, kadang-kadang juga memberi manfaat bagi kita. Pemahaman kita semakin terasah sejalan dengan semakin sengitnya perdebatan. Artikel ini diharapkan dapat memberikan pencerahan bagi para pembaca sehingga isi artikel ini dapat dijadikan landasan kokoh bagi upaya peningkatan kualitas pendidikan kita, khususnya dalam rangka menyambut Indonesia emas.

Untuk mewujudkan tujuan yang saya paparkan pada paragraf-paragraf sebelumnya, artikel ini akan disusun menjadi tiga sub bagian: Pembelajaran dalam berbagai Perspektif, Pembelajaran dalam Abad ke-21, dan Sistem Pendukungnya. Bagian pertama akan dibagi ke dalam lima subbagian, yakni landasan filosofis dan/atau landasan teori, paradigma, eksplisitas, keterpusatan peran, dan dorongan kelahiran. Bagian kedua akan dibagi ke dalam tiga bagian yang meliputi tuntutan capaian pembelajaran abad ke-21 dan con model pembelajaran serta bukti-bukti awal keselarasannya; dan sistem pendukung pembelajaran sesuai dengan pembelajaran yang dipilih.

Pembelajaran dalam Berbagai Perspektif Landasan Filosofis dan Teoretis

Peraspektif pertama yang akan kita bahasa adalah landasan filosofis dan/atau landasan teori yang digunakan para ahli dalam memaham pembelaran. Dalam perspektif ini, kita akan membahas upaya yang telah dilakukan para ahli, terutama ahli psikologi pendidikan, dalam memahami hakikat pembelajaran. Dalam kaitan dengan para ahli yang dimaksud, kita mengenal nama-nama seperti Ivan Pavlov, B. F. Skinner, dan J. B. Watson (McLeod, 2017) dalam kaitan dengan pemikiran-pemikiran behavioristik; Miller, Neisser, Newell, and Simon dalam kaitan dengan pemikiran-pemikiran kognitivistik, Piaget, Vygotsky, and Bruner (McLeod, 2015) dalam kaitan

(3)

3 dengan pemikiran-pemikiran konstruktivistik (McLeod, 2019). Kaum behavioristik memandang pembelajaran sebagai upaya membangun lingkungan agar siswa melakukan perubahan perilaku, baik dalam bentuk maupun frekuensi penampilan yang dapat diamati. Menurut mereka, belajar dianggap tuntas jika respon terhadap sebuah stimulus dapat didemonstrasikan dengan tepat (Etmer dan Newby, 2013). Sementara itu, kaum kognitivis memandang pembelajaran sebagai upaya pengembangan kemampuan melakukan proses mental seperti berfikir, memori, mengetahui, dan pemecahan masalah. Jika, kaum behavioris memandang bahwa belajar adalah perubahan perilaku, kaum kognitivis memandang belajar sebagai perubahan skemata (Cooper, 1993). Terakhir, kaum konstruksionis memandang pembelajaran sebagai upaya untuk membangung lingkungan agar para siswa dapat mengkonstruksi makna dan pengetahuan melalui aktivitas proses mental pengembangan (Piaget, 1977 dan Kelly, 1991), dan belajar dapat dipandang sebagai konstruksi makna dan pengetahuan.

Alih-alih dipandang sebagai salah berbenturan, perbedaan pandangan ketiga kelompok pemikir dan teori tersebut dapat dipandang sebagai sebuah kontinum pencarian akan hakikat pembelajaran. Dalam kaitan ini, saya ingin mengikuti penulis lain mengutip pernyataan P. B. Drucker yang dikutip oleh Snelbecker (1983: 203) yang berbunyi:

“We need the behaviorist’s triad of practice/reinforcement/feedback to enlarge learning and memory. We need purpose, decision, values, understanding—the cognitive categories—lest learning be mere behavioral activities rather than action [and give rooms for students to construct their meaning and knowledge to build their learning---a constructivist’s view]1.”

Artikel ini akan menggunakan informasi mengenai ketiga aliran pemikiran ini dengan pandangan ini. Alih-alih mempertentangkan, saya akan menggunakannya secara proporsional. Paradigma Pemikiran

Perspektif lainnya yang penting untuk kita bahas dalam memahami pembelajarn secara memadai adalah paradigma yang digunakan para ahli. Pembahasan perspektif ini dalam konteks pembahasan kita sangat penting mengingat beberapa hal. Pertama, perubahan paradigma dari paradigma waktu ke paradigma kompetensi tengah terjadi dalam banyak konteks Pendidikan (Spady, 1994; Mbarushimana and Kuboja, 2016; Park, Hodges, and Tekian, 2016). Kedua,

(4)

4 paradigma ini memberikan ruang yang lebih luas untuk dapat mewadahi kebutuhan pengembangan pembelajaran pada abad ini (Carraccio et al., 2002). Ketiga, paradigma ini memberikan keadilan yang lebih besar kepada semua siswa untuk sukses (Spady, 1994)

Paradigma waktu telah sangat dominan dalam dunia pendidikan sekurang-kurangnya hingga paruh pertama abad ke-20. Dengan paradigma ini, pembelajaran dikelola berdasarkan ukuran waktu yang tetap (jam pelajaran, triwulan, caturwulan, semester). Dalam prakteknya, keberhasilan siswa lebih banyak ditentukan oleh waktu dari pada kompetensi. Tidak jarang kita temukan kasus guru melanjutkan pelajaran sebelum semua siswa mencapai kompetensi unggul. Angka keberhasilan nyata para siswa dalam sebuah kelas sesungguhnya sangat rendah, akan tetapi karena jam pelajaran sudah berakhir, atau triwulan telah usai, maka mereka diberi jalan keluar lain sehingga semuanya lulus, bahkan sebelum mereka benar-benar memiliki kompetensi yang disyaratkan. Kondisi seperti ini juga ditegaskan oleh Park, Hodges, and Tekian (2016). Mereka menyatakan bahwa “In time-based models, time is so central to completion that learners may graduate without having properly demonstrated mastery in required competencies.” (Hal. 414). Dalam skala besar, kondisi ini sangat merugikan dunia pendidikan dan menghambat pembangunan sebuah bangsa, termasuk pembangunan bangsa Indonesia.

Pada sisi lain, paradigma kompetensi menawarkan kesempatan kepada semua siswa untuk mencapai kompetensi unggul dengan memberikan kesempatan lebih (Spady, 1994) agar mereka bisa menuntaskan belajar secara unggul. Selain itu, model pembelajaran dengan paradigma ini juga memungkinkan terwujudnya pembelajaran individual dan berbasis capaian pembelajaran (Park, Hodges, and Tekian, 2016). Seperti yang kita ketahui, pendidikan berbasis capaian pembelajaran (Outcome-based Education) memiliki empat prinsip unggul (Spady, 1994), yakni kejelasan (clarity), ekspektasi tinggi (high expectation), kesempatan luas (expected opportunities), dan perancangan berlandaskan pencapaian pembelajaran (Design down).

Explisitas Penjelasan

Perspektif selanjutnya yang penting untuk kita bahas adalah perbedaan antara pembelajaran eksplisit dengan pembelajaran impisit. Perbedaan ini didasarkan pada keyakinan yang berbeda (Morgan-Short, et al., 2010, Ling, 2015). Para pendukung pembelajaran ekplisit berkeyakinan bahwa pembelajaran aturan secara eksplisit akan memudahkan para siswa menguasai bahan ajar berlandaskan pola-pola yang teratur dan menjadi cetak biru penyelesaian masalah atau

(5)

5 pembuatan sebuah karya. Sementara itu, para pendukung pembelajaran implisit meyakini bahwa melalui pembelajaran impilisit siswa akan merasa santai dan termotivasi untuk belajar sehingga akan mudah melihat keteraturan dan keterpolaan fenomena di sekitarnya. Dalam kaitan ini, Ling (2015: 556) menyatakan bahwa:

“Explicit learning” refers to learning the vocabulary and grammar in language materials by dominant means, such as memory, grammar analysis, and so on, which is a process conscious and controlled. In this process, the learners know the composition of the learning process and can fully express the knowledge that has learned. By contrast, “implicit learning” is a kind of unconscious behavior, namely the learners do not know the content they are learning in the process of learning, also do not know who is learning, which cannot be built and verified.”

Singkatnya, “Explicit learning has the characteristics of purpose, consciously, controllability and learning. While implicit learning is automatic, abstract, stable, and anti- interference.’ (Ling, 2015: 556; Bandingkan juga dengan Krashen, 1982).

Dalam pembelajaran matematika, perbedaan ini tergambar dari pembelajaran langsung dan pembelajaran strategi (Ellis, 1993, dan Swanson, 2001). Dalam pembelajaran langsung, soal-soal diajarkan pemecahan secara langsung oleh guru, sedangkan dalam pembelajaran strategi, para siswa belajar strategi-strategi pemecahan yang kemudian dapat digunakan untuk pemecahan berbagai soal yang relevan.

Sementara itu, dalam pembelajaran bahasa, perbedaannya dapat dilihat dari pembelajran dengan Metode Tatabahasa dan Terjemahan (Grammar Translation Method, aatau GTM), Kode Kognitif (Cognitive Code, atau CC), dan Pendekatan Berbasis Genre (Genre-based Approach, atau GBA); sedangkan pembelajaran implisit dari pembelajaran dengan Metode Langsung (Direct Method), Metode Audiolingual (Audiolingual Method, atau ALM), Pendekatan Alamiah (Natural Approach), dsb. (Lihat Larsen-Freeman and Anderson, 2011; Howatt and Smith, 2014; Suherdi, 2016).

Dalam pembelajaran eksplisit, penjelasan aturan kebahasaan harus diajarkan secara eksplisit, kemudian diikuti oleh Latihan penyusunan kalimat, paragraph dan teks. Kemudian para siswa diminta untuk membuat kalimat secara mandiri. Pembelajaran seperti ini sangat akrab dengan pengalaman belajar Bahasa Inggris para siswa di Indonesia, khususnya di masa lalu, dan

(6)

6 dalam beberapa konteks pembelajaran Bahasa Inggris masa kini di sejumlah sekolah. Di lain pihak, dalam pembelajaran implisit siswa dipajankan pada penggunaan bahasa secara alamiah, otomatis, dan tatabahasa sangat jarang diajarkan (Kreshen, 1982, 1985). Para pendukung pembelajaran implisit membandingkan suasana pembelajaran dengan saat kita memperoleh bahasa ibu kita, otomatis, alamiah, tanpa penjelasan tatabahasa. Meskipun demikian, rata-rata kita dapat berbahasa ibu dengan tatabahasa yang benar. Bahkan kita dapat membetulkan kalimat-kalimat yang digunakan secara kurang tepat. Misalnya Ketika orang asing menggunakan Bahasa ibu kita.

Lalu apakah kita perlu belajar secara eksplisit atau implisit? Apakah guru-guru harus melakukan pembelajaran eksplisit atau implisit? Pertanyaan ini pernah diungkapkan Burgess and Etherington (2002) dan Başöz (2014). Studi mereka menghasilkan simpulan yang berbeda, penelitian Burgess and Etherington (2002) menunjukkan bahwa para responden lebih menyukai pembelajaran eksplisit, sedangkan penelitian Başöz (2014) menunjukkan bahwa para responden lebih memilih pembeljaran implisit. Dalam kaitan ini, sangat bijak sana bila kita menyimak pernyataan Ling (2015: 558):

“… both implicit grammar teaching and explicit grammar teaching have advantages and disadvantages, but the two are not contradictory. Teachers should combine the implicit grammar teaching with the explicit grammar teaching explicitly in teaching practice in the light of the actual situation of students and the teaching reality of environment and conditions.”

Dalam kaitan penggunaan pengetahuan aturan kebahasaan, Krashen (1981, 1982) mengkatagorikan para pengguna bahasa ke dalam tiga katagori: pengguna aturan yang sangat ketat (monitor over-user), pengguna aturan yang longgar (monitor underuser), dan pengguna aturan yang optimal (optimum user). Para pengguna aturan yang sangat ketat seringkali berbahasa asing secara terbata-bata karena harus menimbang setiap ungkapan yang akan diungkapkannya dengan aturan yang benar, sedangkan para pengguna aturan yang longgar umumnya tidak terlalu peduli dengan aturan kebahasaan. Mereka sering beranggapan ‘yang penting bisa dimngerti’. Sementara itu, para pengguna aturan yang optimal berbicara secara lancer dengan tatabahasa yang benar.

(7)

7 Para pengguna dalam katagori pertama umumnya dihasilkan dari pembelajaran eksplisit, sedangkan pengguna dalam katagori kedua umumnya merpakan hasil dari pembelajaran implisit. Para pengguna katagori ketiga, yang optimal, sangat boleh jadi merupakan hasil dari pembelajaran eklektik yang memadukan kedua moda pembelajaran ini secara bijaksana. Para pengembang dan Pendekatan Berbasis Genre (Misalnya, Christie, 2012; Martin, 2015: Emilia and Hamied, 2015) mengisyaratkan pemaduan keduanya secara produktif. Pembelajaran eksplisit untuk memastikan ketepatan dan keseuaian (adequacy and appropriacy) teks sesuai aturan, dan pembelajaran implisit untuk memberi keleluasaan kepada para siswa untuk menikmati kebebasan berekspresi sesuai dengan pilihan dan minat mereka. Penelitian terhadap penggunaan pendekatan ini telah banyak dilakukan (Misalnya, Cheng, 2011, Rohman, 2011; Li-Ming, 2012; Nueva, 2013; dan Pujianto, Emilia, and Ihrom, 2014).

Keterpusatan Peran

Perspektif selanjutnya adalah keterpusatan peran dalam kegiatan belajar-mengajatr: apakah pada guru atau pada siswa. Para pendukung pembelajaran berpusat pada siswa (learner-centered teaching) beranggapan bahwa belajar hanya akan terjadi jika siswa aktif dan berinisiatif memilih topik, bahan ajar, dan cara serta pentahapan bealajarnya. Sementara itu, para pendukung pembelajaran berpusat pada guru (teacher-centered teaching) berkeyakinan bahwa gurulah yang harus memilih, mengorganisasikan dan mengatur bahan ajar dan pengalaman belajar (Mascolo, 2009). Secara ringkas, perbedaan-perbedaan yang terdapat diantara kedua pandangan ini dapat ditemukenali pada Tabel 1.

Tabel 1 Perbedaan antara Pembelajaran Berpusat pada Guru dan pada Siswa

Teacher-Centered Learner-Centered

Focus is on instructor Focus is on both students and instructor Focus is on language forms and structures

(what the instructor knows about the language)

Focus is on language use in typical situations (how students will use the language)

Instructor talks; students listen Instructor models; students interact with instructor and one another

(8)

8 depending on the purpose of the activity

Instructor monitors and corrects every student utterance

Students talk without constant instructor monitoring; instructor provides

feedback/correction when questions arise Instructor answers students’ questions

about language

Students answer each other’s questions, using instructor as an information resource Instructor chooses topics Students have some choice of topics

Instructor evaluates student learning Students evaluate their own learning; instructor also evaluates

Classroom is quiet Classroom is often noisy and busy Source: The National Capitol Language Resource Center (a project of the George Washington University)

Perbedaan antara kedua jenis pembelajaran ini (kita akan sebuat TC untuk pembelajaran yang berpusat pada guru, dan SC untuk yang berpusat pada siswa) sangat mencolok. Dari segi fokus, TC jelas berfokus pada guru, sedangkan SC pada keduanya. Fokus dalam bahan ajar, TC pada bentuk dan struktur, jelasnya pada apa yang guru tahu tentang bahasa yang diajarkan; sedangkan SC pada penggunaan bahasa dalam situasi tertentu. Dalam hal ini, mengenai bagaimana siswa akan menggunakan bahasa itu. Dalam kaitan dengan kegiatan, dalam TC, guru berbicara dan siswa menyimak; sedangkan dalam SC, guru memberi model, dan siswa berinteraksi dengan guru dan sesamanya. Selanjutnya, dalam TC, siswa bekerja sendirian; sedangkan dalam SC, siswa bekerja berduaan, berkelompok, atau sendirian tergantung kepada konteksnya.

Dalam kaitan dengan pemantauan belajar, dalam TC, guru memantau dan mengoreksi setiap ujaran yang salah; dalam SC, siswa berbicara tanpa pantauan yng konstan, guru hanya memberi umpan balik saat diminta. Kemudian, dalam TC, guru menjawab setiap pertanyaan siswa tentang bahasa, dan dalam SC, siswa saling menjawab pertanyaan, serta menempatakan guru sebagai narasumber. Dalam TC, guru menetapkan topik, dan dalam SC siswa memiliki kesempatan memilih topik. Dalam TC, guru mengevaluasi siswa; dalam SC, siswa saling mengevaluasi, guru pun juga mengevalusi siswa. Terakhir, dalam TC, kelas senyap, dan dalam SC, kelas bising dan ramai. Dalam tahun-tahun terakhir, kita melihat antusiasme para peneliti, penulis dan pendidik untuk mengusung SC (Misalnya, Estes, 2004; Rutkauksiene, et al., 2010;

(9)

9 Schreurs, 2011). Meskipun demikian, sejumlah ahli menganggap bahwa SC tidak akan pernah tegak tanpa peran aktif seorang guru. Dengan kata lain, kebebasan siswa dalam SC tidak berarti bahwa siswa bebas memilih target belajar, topik belajar, dan jadwal pembelajaran tanpa pengaturan guru. Dalam kitan dengan pengetahuan kelimuan, Mascolo (2009: 10) menyatakan “Students cannot simply construct disciplinary knowledge through their own action without being informed by more expert others. This is because disciplinary knowledge is mediated knowledge.” Selain itu, dia berargumen bahwa Bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan pengetahuan keilmuan adalah “the living and evolving repository of cultural, social and scientific meaning; it is the vehicle through which shared knowledge is created, communicated and transformed.” (p. 10). Sementara itu, Love and Suherdi (1996) menemukan bahwa dalam sejumlah konteks, peran (aktif) guru dan siswa berubah bergantian sejalan dengan tuntutan pedagogic pembalajaran. Singkatnya, ada saatnya prinsip-prinsip SC sangat dominan, tetapi ada saatnya prinsip-prinsip TC sangat penting. Akhirnya ‘it’s the singer, not the song’ (gurulah yang berperan sentral dan bukan model atau metode pembelajaran. Seorang guru yang profesional mampu memainkan semua peran dengan sangat efisien dan efektif, sehingga dapat mendorong siswa aktif tanpa meninggalkan amanah untuk menuntun para siswanya menuju prestasi unggul dengan arif dan bijaksana.

Dorongan Pengembangan

Perspektif terakhir yang ingin saya gunakan untuk melihat pembelajaran adalah perspektif ‘dorongan’ atau ‘tuntutan’ yang medorong lahirnya filsafat, paradigma, teori, pendekatan, metode, strategi, teknik, atau perangkat prinsip pembelajaran. Saya ingin melihatnya dari jenis dorongan: perkembangan ilmu pengetahuan, tuntutan social atau masyarakat dan kemajuan teknologi. Sebagian metodologi pembelajaran lahir terilhami oleh penemuan baru dalam bidang ilmu pegetahuan. Sebagai contoh, lahirnya behaviorisme merupakan tindak lanjut dari hasil penelitian Ivan Pavlov (1849–1936), J. B. Watson (1878–1958), B. F. Skinner (1904–1990), dll., yang menemukan bahwa belajar dapat dikembangkan melalui pengulangan stimulus dan respon serta penguatannya. Contoh lain, lahirnya konstruksionisme yang didasarkan pada pemikiran Jean Paiget (1959, 1977), Lev Vygotskty (1978), Jerome Bruner (1957, 1973, 1978), dll., yang menggunakan teori sosial atas perkembangan kognitif dan menganggap bahwa siswa dapat beajar optimal jika diberi skafolding oleh orang yang lebih mampu dalam hal yang dipelajarinya.

(10)

10 Kemampuan lebih yang dapat dicapai siswa disbanding dengan kalua belajar sendiri disebut Zona Perkembangan Proksimal (Zone of Proximal Development, atau ZPD).

Dalam bidang tahasa, contoh yang dapat digunakan antara lain Tatabahasa Generatif Transformasional (Transformational Generative Grammar, atau TGG) dan Pendekatan Alamiah (The Natural Approach, atau NA). TGG berlandaskan teori tentang Language Acquisition Device, yang digagas Noam Chomsky (1957, 1965, 1968) yang menyatakan bahwa manusia dapat menghasilkan kalimat dalam jumlah yang tidak terbatas berdasarkan pola dasar kalimat yang jumlahnya terbatas. Sementara itu, NA didasarkan pada hipotesis-hipotesis Krashen (1981, 1982), terutama Hipotesis Input Terpahami (Comprhensible Input, atau CI), yang beranggapan bahwa siswa akan belajar efektif jika mereka dipajankan pada lingkungan yang memiliki banyak CI. Contoh-contoh di atas adalah contoh yang paling mudah dikenal dari sekian banyak contoh serupa.

Jenis dorongan untuk lahirnya sebuah teori adalah tuntutan sosial dan masyarakat. Lebih tepatnya, karena terjadinya perubahan sosial atau kelompok social tertentu yang menyebabkan tuntutan baru. Contoh yang paling dekat dengan kita adalah lahirnya ALM, Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning, atau CTL), dan GBA. Disamping didasarkan pada behaviorisme, ALM juga lahir sebagai respon atas kebutuhan akan para tantara yang mampu berbahasa asing dengan cepat. Melalui tubian (drilling), para peserta didik dilatih untuk menggunakan ungkapan-ungkapan bahasa yang dipelajari yang sudah disusun dalam bentuk tanya jawab. Dengan cara ini kemampuan yang dimiliki bebas dari salah (error-free), karena para peserta didik hanya mengulang-ulang ungkapan yang diperdengarkan yang sudah dirangkai secara gramatik dan sesuai dengan konteks.

Hal yang sama juga terjadi pada CTL. Disamping didasarkan pada konstruktivisme dan teori belajar aktif (Crawford, 2001; Hudson and Whisler, 2007), CTL lahir antara lain didorong oleh kebutuhan masyarakat akan lulusan yang dapat menerapkan ilmu mereka dalam konteks kehidupan nyata. Seperti dikemukakan Berns and Erickson (2001: 2) mengenai definisi awal CTL, yang berbunyi:

“Contextual teaching and learning is a conception of teaching and learning that helps teachers relate subject matter content to real world situations; and motivates students to make connections between knowledge and its applications to

(11)

11 their lives as family members, citizens, and workers; and engage in the hard work

that learning requires.”

CTL menghubungkan antara yang siswa pelajari dengan konteks kehidupan yang bisa memerlukan bahan ajar yang mereka pelajari dalam pembelajaran yang mereka ikuti.

Terakhir, GBA disamping didasarkan pada linguistik sistemik fungsional atau Systemic Functional Linguistics (Halliday, 2000; Halliday and Matthiessen, 2004; Eggins, 2004), GBA dikembangkan untuk membantu kaum Aborigin untuk meningkatkan peluang memasukki masyarakat arus utama dengan jalan menguasai literasi kaum terpelajar (Lihat Martin, 1989). Meskipun demikian, GBA kemudian berkembang dalam pembelajaran bahasa Inggris pada beragam konteks (Christie, 2012; Martin, 1992; Emilia, 2011).

Pembelajaran Abad ke-21

Kini kita sampai kepada pembicaraan mengenai pembelajaran pada abad ini. Pembicaaar ini sangat penting mengingat akan sangat berpengaruh kepada pilihan kita dan kepada nasib kita saat ini dan di masa depan. Tidak sulit memahamami mengapa harus kita transformasikan pembelajaran yang berjalan saat ini menuju pembelajaran yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman. Revolusi Industri keempat (RI 4.0) dan disrupsi teknologi merupakan faktor yang sangat berpengaruh kepada kondisi masyarakat dan tuntutan masyarakat atas pendidikan dan pembelajaran.

Cepatnya kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan serta disrupsi teknologi telah mendorong manusia mencari cara baru untuk merespon tuntutan-tuntutan baru yang muncul sejalan dengan perkembangan tersebut. Dengan kata lain, diperlukan kemampuan untuk beradaptasi dan luwes dalam menghadapi perubahan yang berjalan secara konstan dan cepat. Gleason (2018) menyebutkan bahwa kemampuan yang kita perlukan adalah keluwesan kognitif (cognitive flexibility). Selain itu, kondisi ini juga mengisyaratkan bahwa literasi digital, karakter yang kokoh serta kemadirian yang produktif adalah keniscayaan. Serangkaian upaya dalam rangka mewujudkan manusia unggul yang dapat hidup berdampingan dan merealisasikan keunggulan masing-masing dalam perspektif global yang damai dan sejahtera. Misalnya upaya Apple dan kelompoknya dengan Challenge-based learning projects-nya (Apple Inc., 2009, 2010; Blevis, 2012; Cheng, 2016).

(12)

12 Challenge-based learning (CBL) menawarkan sebuah cara belajar yang sangat berbeda dari cara belajar konvensional yang kita miliki saat ini. Dalam salah satu variannya (Baloian, 2006), CBL menggunakan masalah-masalah yang realistik dan terbuka, yang didasarkan pada prinsip belajar eksperiensial (experiential learning) dan berbasis projek (project-based learning). Dalam prakteknya, CBL menggunakan DExTs (Digital Experiment Tool Kits) yang rinciannya akan dibahas pada bagian berikutnya. CBL ditujukan untuk mengubah praktek pembelajaran saat ini, Apple Inc. (2010) mencatat bahwa “Today’s students are presented with content-centric assignments that meet standards but lack a real-world context and opportunities for active participation.” Mereka beranggapan bahwa “assignments often fail to engage students, they can lead to uninspired work and a gradual process of disengagement.” (Lihat juga Suherdi, 2012, 2018).

CBL dikembangkan untuk meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan di Amerika Serikat. Data dan latar belakang yang digunakan adalah data dan latar belakang Amerika Serikat. Lalau bagaimana dengan di negeri kita? Angin segar inovasi pendidikan yang digaungkan oleh Mas Menteri Nadiem Makarim mengisyaratkan arah serupa dalam memajukan Pendidikan Nasional kita (Lihat Permendikbud No. 3 Tahun 2020). Sejumlah upaya guru dan pendidik di negeri ini juga telah dimulai (Misalnya, Krisnadi, 2009; Suryani, 2015; Yudhanegara, 2015; Husna, et al., 2019).

Upaya-upaya di atas telah menghasilkan pemikiran-pemikiran dan ujicoba penggunaan sejumlah platform atau system pengelolaan pembelajaran (learning management system), upaya untuk mengembangkan sistem pembelajaran yang lebih komprehensif, responsif dan memberikan harapan tentang lulusan yang memiliki keterampilan abad ke-21. Sebagai upaya untuk mengundang diskusi diantara para guru, pendidik, dan para ahli Pendidikan, pada bagian ini akan disajikan model Pendidikan dan model pembelajaran yang telah digagas dan diujicobakan serta didesiminasikan secara publik, yakni SMEMFLF I 4.0 DE (Suherdi, 2019a), singkatan dari Synergetic Multi-layered Educational Model for Learning Excellence in Industry 4.0 and Disruptive Era dan SMELT I 4.0 DE (Suherdi, 2019b), singkatan dari Synergetic Multi-layered English Language Teaching in Industry 4.0 and Disruptive Era. SMEMFLE I 4.0 DE merupakan dasar bagi pengembangan model-model pembelajaran dalam mata pelajaran, seperti SMELT I 4.0 DE dalam mata pelajaran Bahasa Inggris, SMMT I 4.0 DE dalam mata pelajaran

(13)

13 matematika, SMBT untuk mata pelajaran biologi, dst. Pembahasan SMEMFLE I 4.0 DE dan SMELT I 4.0 DE akan dilengkapi dengan tamabahan pemikiran dan data baru. Dengan kata lain, lebih lengkap dari aslinya.

Dalam SMEMFLE I 4.0 DE, sekurang-kurangnya ada empat lapis unsur yang harus terintegrasi secara sinergetik dalam pembelajaran abad ke-21, yakni: Mata Pelajaran (Curriculum Subject Matter Superiority, atau CSMS), Kultivasi Teknologi Informasi dan Komunikasi (Information and Communication Technology Cultivation, atau ICTC), Inkulkasi Belajar Swa-kelola (Self-regulated Learning Inculcation, atau SRLI), dan Pengembangan Kompetensi Transversal (Transversal Competence Development, atau TVCD). Sifat multilapis model ini dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan kompleksitas kehidupan pada abad ini yang memerlukan sumber daya insani yang memiliki kompetensi yang kompleks. Literasi teknologi digital, terutama ICT bukan hanya berfungsi sebagai media, tetapi juga sebagai muatan belajar. Oleh karena itu, kata kultivasi yang dipilih dalam konteks ini, dan bukan integrasi.

Sifat sinergetik dimaksudkan untuk memastikan bahwa lapis-lapis yang dipilih bukan hanya rangkaian gerbong kereta, melainkan melainkan sebagai kapal pesiar yang luasnya boleh sama dengan luas semua gerbong, tetapi dalam kelindan yang sinergetik antara tempat duduk, tempat tidur, tempat rekreasi, kolam renang, dst. Dengan kata lain, keempat lapis yang dirancang dalam SMEMFLE memiliki interkoneksi yang saling menguatkan. ICTC menjadi landasan bagi praktek pembelajaran secara sistemik dan terintegrasi. SRLI menjadi mesin penggerak laju pembelajaran dengan tuntutan kompleks ini. TVCD memberikan landasan mental dan akhlak yang menjadi alas dan dinding perekat konstruksi keilmuan dan kompetensi lulusan. Terakhir, dan yang paling penting, CSMS menjadi isi bangunan yang membangun mekanisme, memberi makna, dan menghangatkan suasana sehingga orang-orang yang bersamanya mendapat manfaat yang diharapkan. Tentu banyak alternative lain yang menjadi metafora bagi SMEMFLE, tetapi untuk sementara inilah yang bisa saya kemukakan.

Secara teoritis, SMEMFLE I 4.0 DE memadukan keunggulan-keunggulan semua jenis pembelajaran yang dibahas pada bagian-bagian sebelumnya. Dari perspektif filosofis teoritis. SMEMFLE I 4.0 DE memadukan unsur-unsur unggul behaviorisme, kognitivisme, dan konstruktivisme, dengan konstruktivisme sebagai fokusnya (Lihat lagi pernyataan Snelbecker, 1983: 203 yang disajikan pada halaman 3). Kegiatan-kegiatan penguatan memori yang dilakukan

(14)

14 siswa sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing, seperti para siswa yang memiliki kesulitan melafalkan kata atau ungkapan-ungkapan sulit, dapat menggunakan tubian kata-kata atau ungkapan-ungkapan tersebut dalam laboratorium Bahasa, atau melaui gawai pintar (smartphone) mereka. Sementara itu, Latihan-latihan mengingat ungkapan, memahami teks dll. Menghendaki latihan kognitif yang tepat. Semua itu akan menjadi bagian integral dari kegiatan mengkonstruksi pengalaman dan makna belajar yang mereka sedang bangun.

Karakteristik SMEMFLE yang menempatkan ICT sebagai landasan praktek memungkinkan terkembangnya karakter-karakter unggul secara implisit, yang menumbuhkan ketangguhan dan kesabaran dalam menghadapi kesulitan, dan menggunakan ICT untuk memanfaatkan expanded opportunity, sehingga dapat mencapai kompetensi unggul. Data awal implementasi SMELT I 4.0 DE di sekolah laboratorium menengah atas Universitas Pendidikan Indonesia menunjukkan hal-hal tersebut (Suherdi, 2019b). Langkah-langkah eksplisit dapat diamati saat guru menjawab pertanyaan atau merespon permintaan penjelasan yang diperlukan oleh para siswa. Yang paling signifikan, lapis ini juga memungkinkan expanded opportunity yang sangat luas, sehingga keberhasilan siswa yang tidak tergolong fast learner tidak terhambat oleh berakhirnya jam tatap muka di sekolah. Dengan kata lain, high expectancy dapat diwujudkan (Bandingkan dengan Spady, 1994).

Catatan lain mengenai SMELT I 4.0 DE adalah keteguhan dan kesabaran yang tumbuh sejalan dengan keberhasilan Langkah-langkah SRLI yang secara melekat menjadi bagian keberhasilan ICTC. SMELT I 4.0 menuntut para siswa untuk merencanakan, melakukan, mengevaluasi, dan menindaklanjuti kegiatan belajar yang mereka lakukan. Untuk itu, selain menerapkan PBLJ, SMELT I 4.0 DE juga menggunakan flipped classroom sehingga para siswa mempunyai kesempatan untuk berlatih membangun learning autonomy dan learning independence. Data menunjukkan mereka melakukan kegiatan-kegiatan yang dalam pembelajaran konvensional tidak pernah mereka lakukan, antara lain secara sukarela menyunting teks sebelum diunggah, memiliki keyakinan dapat melakukan penampilan, bertanya tanpa diminta, dan swamotivasi (Suherdi, 2019b: 70).

Hal lain yang patut dicatat adalah bahwa SMELT I 4.0 DE dengan indah membangun kelindan SC dengan TC secara wajar. Dalam fase belajar di rumah, para siswa memaksimalkan cara belajar dengan SC; sedangkan di sekolah warna TC lebih kental. Kelindan keduanya disebut

(15)

15 dengan indah karena kegiatan di rumah 1 (belajar) menjadi basis bagi kegiatan di sekolah 1 (diskusi dan latihan) dan kegiatan di sekolah menjadi landasan kegiatan di rumah 2 (produksi teks), dan kegiatan di rumah 2 menjadi landasan bagi kegiatan di sekolah 2 (publikasi di web atau ruang kelas daring atau majalah dinding).

Sistem Pendukung Pembelajaran

Keberhasilan sebuah pembelajaran sangat bergantung pada memadainya sistem pendukungnya. Sistem ini mencakup segala hal yang dapat mengotimalkan pelaksanaan pembelajaran, seperti buku teks, buku refernsi, baik fisik maupun daring, media dan alat bantu pembelajaran, mulai dari yang paling sederhana hingga yang paling canggih, laboratorium dan hal-hal lain yang mendukung optimalisasi pembelajaran (UNESCO, 2006). Karena terbatasnya ruang yang tersedia, pembahasan akan bersifat komprehensi padat agar ringkas tetapi tidak meninggalkan karakteristik utama yakni jelas bagi para pembaca.

Perpustakaan, laboratorium, bengkel, stadion, gendung olah raga, gimnasium, dan teatre serta ruang-ruang tempat terjadinya belajar dan pembelajaran berpengaruh pada sangat tingkat optimalisasi belajar siswa. Selain itu, sistem pengelolaan belajar (Learning Management System, atau LMS) yang tersedia bersama teknologinya juga sangat menentukan keberhasilan siswa. Yang tidak boleh dilupakan atau diabaikan adalah buku pedoman implementasi pembelajatran yang lengkap bagi para guru. Kedudukan sistem pendukung bagi pembelajaran bagaikan menara dan bangunan penyangga bagi jejaring signal jaringan telekomunikasi, atau seperti roket bagi satelit yang akan diorbitkan. Luas tidaknya jangkauan jaringan singal komunikasi ditentukan oleh tinggi rendah dan jumlah menara yang mendukungnya. Tinggi rendahnya satelit mengorbit sangat dipengaruhi roket pembawanya. Mengabaikan sistem pendukung sangat beresiko bagi kualitas pembelajaran dan belajar siswa.

Kompleksitas pembelajaran yang dituntut pada abad ini menuntut sistem pendukung yang sangat kompleks. Meskipun demikian, kemajuan teknologi telah menyebabkan kompleksitas tersebut menjadi mungkin untuk dikelola. Pada zaman dahulu, pendukung pembelajaran sangat sederhana, bisa berbentuk karton berisi daftar kata, atau kartu kata, atau teks yang ditulis di atas karton. Dalam konteks tertentu, media bisa dalam bentuk model atau realia. Kemudian datanglah masa penggunaan plastic tranparan dengan alat tayang overhead projector (OHP). Diawali

(16)

16 dengan alat tulis putih hitam hingga alat tulis berwarna. Jarang sekali gambar disertakan, kecuali gambar konseptual (Lihat antara lain Kinder, 1965).

Sejalan dengan mulai digunakannya computer, mulailah penggunaan power point dan LCD projector. Pada masa ini, warna, gambar dan penanda kompleks pun bisa ditayangkan. Pada masa selanjutnya, bukan hanya warna dan gambar, bahkan proses bergerak dan video mulai bisa dimanfaatkan (Bandingkan dengan Ngozi, Samuel, dan Ameh, 2012). Kini, dengan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence, atau AI), data besar (big data, atau BD), realitas virtual (virtual reality), realitas teraugmentasi (augmented reality), 3D printing, Internet of Things (IoT), robotics, drone, 5G, dst. dapat merepresentasikan gagasan-gagasan yang ingin disajikan atau dioperasikan dalam pembelajaran, baik dalam dalam fase di rumah maupun di sekolah atau pun di mana saja.

Teknologi yang paling relevan untuk dibahas pada masa ini sekaitan dengan pendidikan adalah sistem pengelolaan belajar (learning management system, atau LMS) dan platform belajar. Kita mengenal blackboard, canvas, thinkific, teachable, learnworlds, ruang guru, ruang belajar, dst. Umumnya, sistem-sistem seperti itu berbayar, meskipun Sebagian juga ada yang menawarkan ruang, misalnya Google classroom, Moodle, Schoology, Edmodo, ruang belajar, dll. (Lihat Forouzesh and Darvish, 2012; Insani, Suherdi, Gustine, 2018).

Keragaman sistem pendukung yang diperlukan dalam pembelajaran dapat dilihat dalam paparan berikut. Pembelajaran berbasis audiolingualisme sangat bergantung kepada tersedianyha laboratotium bahasa, CTL dalam mata pelajaran fisika, kimia, seni, olah raga, dan teknik mengandalkan laboratorium fisika, kimia, seni, sarana olah raga, dan bengkel; CBL berlandasan DExTs (Digital Experiment Tool Kits), SMELT I 4.0 DE menggunakan Google classroom, dst. Secara singkat, pembelajaran adalah proses yang sangat kompleks yang melibatkan perencaan yang dilandasi pengetahuan luas mengenai landasan filosofis dan teoretis, pertimbangan eksplisit/implisit, peran guru/siswa, tatap muka/daring. Pembelajaran hanya dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki niat menjadi pendidik, ilmu dan kompetensi yang memadai serta istikomah dalam mengemban amanah.

Simpulan

Artikel ini telah membahas bagaimana pembelajaran berubah sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tuntutan masyarakat; definisinya juga beragam sesuai dengan

(17)

17 sudut pandang pembuat definisi. Tidak ada definisi yang sesuai untuk semua orang. Meskipun demikian, definisi pembelajaran selalu menyangkut ‘memberi peluang kepada para peserta belajar berkembang menuju target yang lebih tinggi dan lebih baik.” Dalam abad ke-21 ini, pembelajaran niscaya multilapis dan sinergetik. Jika tidak, para peserta belajar tidak akan mampu hidup berkeunggulan.

References

Apple Inc. (2009). Challenge based learning: Take action and make a difference.

http://cbl.digitalpromise.org/wpcontent/uploads/sites/7/2016/08/CBL_Paper_2008.pdf

tanggal 15/04/2020

Apple Inc. (2010). Challenge based learning: A classroom guide. Diunduh dari

https://www.apple.com/br/education/docs/CBL_Classroom_Guide_Jan_2011.pdf tanggal 15/04/2020

Bandura, A. (1977). Social learning theory. Engelwood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall.

Bandura, A. (1986). Social foundations of thought and action: A social cognitive theory. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall.

Başöz, T. (2014). Through the eyes of prospective teachers of English: Explicit or Implicit grammar instruction? Procedia—Social and Behavioral Sciences, 12(103).

Beetham, H., & Sharpe, R. (Eds.) (2013). Rethinking pedagogy for a digital age: Designing for 21st Century learning. New York: Routledge.

Berns, R. G., and Erickson, P. M. (2001). Contextual Teaching and Learning: Preparing Students for the New Economy. The Highlight Zone: Research @ Work No. 5, 2001.

Blevis, E. (2012). The one room school house and design challenge based learning for design-oriented HCI education: Initial results, reflective hypotheses, and collaborative issues’, 2012 International Conference on Collaboration Technologies and Systems (CTS), IEEE, Denver, CO, pp. 359-366, diunggah dari http://ieeexplore.ieee.org/ stamp/stamp.jsp?arnumber=6261075

Baloian, N., Hoeksema, K., Hoppe, U., & Milrad, M. (2006). ‘Technologies and educational activities for supporting and implementing challenge-based learning’, in D Kumar & J Turner (eds), Education for the 21st century: Impact of ICT and digital resources, Springer, New York, pp. 7-16.

Bruner, J. S. (1957). Going beyond the information given. New York: Norton. Bruner, J. S. (1973). The relevance of education. New York: Norton.

Bruner, J. S. (1978). The role of dialogue in language acquisition. In A. Sinclair, R., J. Jarvelle, and W. J.M. Levelt (eds.) The Child's Concept of Language. New York: Springer-Verlag. Burgess, J., & Etherington, S. (2002). Focus on grammatical form: Explicit or implicit? System,

30(4), 433-458.

Burgos, J. E. (2007). The Theory Debate in Psychology. Behavior and Philosophy, 35, 149-183 Carraccio, C., Wolfsthal, S. D., Englander, R., Ferentz, K., and Christine Martin, C. (2002).

Shifting Paradigms: From Flexner to Competencies. Academic Medicine, Vol . 77, No. 5/May 2 0 0 2.

Cheng, W. L. S. (2016). Application of challenge-based learning in nursing education’, Nurse Education Today, vol. 44, pp. 130-132.

(18)

18 Cheng, A. (2011). Language features as the pathways to genre: Students’ attention to

non-prototypical features and its implications. Journal of Second Language Writing, 20, 69-82. Chiesa, M. (1994). Radical behaviorism: The philosophy and the science. Boston: Authors

Cooperative.

Christie, F. (2012). Language education throughout the school years: A functional perspective. Malden USA and West Sussex UK: WileyBlackwell.

Christie, F., & Derewianka, B. (2008). School discourse. London: Continuum.

Cooper, P. A. (1993). Paradigm Shifts in Designed Instruction: From Behaviorism to Cognitivism to Constructivism. Educational technology, 33(5), 12-19.

Crawford, M. L. (2001). Teaching Contextually. Research, Rationale, and Techniques for Improving Students Motivation and Achievement in Mathematics and Achievement. Waco, Texas: CCI Publishing, Inc.

Dunwill, E. (2016). 4 changes that will shape the classroom of the future: Making education fully technological. Diunduh dari https://elearningindustry.com/4-changes-will-shape-classroom-of-thefuture-making-education-fullytechnological, tanggal 15/04/2020.

Eggins, S. (2004). An introduction to systemic functional linguistics (2 nd ed.). London: Continuum International Publishing Group

Ellis, E. S. (1993). Integrative strategy instruction: A potential model for teaching content area subjects to adolescents with learning disabilities. Journal of Learning Disabilities, 26, 358–383.

Emilia, E. (2011). Pendekatan genre-based: Petunjuk untuk guru. Bandung: Rizqy Press.

Emilia, E. Hamied, F. A. (2015). Systemic functional linguistic genre pedagogy (SFL GP) in a tertiary EFL writing context in Indonesia. TEFLIN Journal 26 (2), 155-182.

Ertmer, P. A., & Newby, T. J. (2013). Behaviorism, cognitivism, constructivism: Comparing critical features from an instructional design perspective. Performance Improvement Quarterly, 26(2), 43-71.

Estes, C. (2004). Promoting student-centered learning in experiential education. Journal of Experiential Education, 27, 141-160.

Eysenck, M. W. (2001). Principles of cognitive psychology (2nd Edition). Philadelphia: Taylor & Francis.

Forouzesh, M., and Darvish, M. (2012) Characteristics of Learning Management System (LMS) and Its Role in Education of Electronics. Conference proceedings of "eLearning and Software for Education"(eLSE). No. 01. 2012.

Fosnot, C.T. (1996). Constructivism: Theory, perspectives, and practice. New York: Teachers College Press.

Halliday, M. A. K. (2000). Introduction to functional grammar (2nd ed.). Beijing: Foreign Language Teaching and Research Press.

Halliday, M. A. K., & Matthiessen, C. M. I. M. (2004). An introduction to functional grammar (3 rd ed.). London: Oxford University Press.

Howatt, A. P., & Smith, R. (2014). The history of teaching English as a foreign language, from a British and European perspective. Language & History, 57(1), 75-95

Hudson, C. C., and Whisler, V. R. (2007). Contextual Teaching and Learning for Practitioners. SYSTEMICS, CYBERNETICS AND INFORMATICS VOLUME 6 - NUMBER 4 ISSN: 1690-4524.

(19)

19 Husna, A. N., Purnawarman, P., Suherdi, D., and Lubis, A. H. (2019). YouTube® for the

21st-century English language E-learning: What Works and What Doesn't? Proceedings - 2019 2nd International Conference of Computer and Informatics Engineering: Artificial Intelligence Roles in Industrial Revolution 4.0, IC2IE 2019.

Insani, H. N., Suherdi, D., Gustine, G. G. (2018). Undergraduate Students’ Perspectives in Using Edmodo as an Educational Social Network. English Review Journal of English Education Vol 6, No 2 (2018). DOI: https://doi.org/10.25134/erjee.v6i2.

Kelly, G.A. (1991). The psychology of personal constructs: Volume one - A theory of personality. London: Routledge.

Kinder, J. (1965), Using Audio-Visual Materials in Education, New York, Van Nostrand Reinhold Co, 199 p.

Krisnadi, E. (2009). Rancangan Materi Pembelajaran Berbasis ICT. disajikan dalam Workshop Pengembangan Materi Pembelajaran Berbasis ICT di FMIPA UNY pada tanggal 6 Agustus 2009.

Larsen-Freeman, D., & Anderson, M. (2011). Techniques and Principles in Language Teaching. Oxford: Oxford University Press.

Li-Ming, Z. (2012). Summary of four areas in genre studies. US-China Foreign Language, 10 (5), 1154-1158.

Love, K. & Suherdi, D. (1996). The Negotiation of Knowledge in an Adult English as a second Language Classroom. Linguistics and Education, 8 (3).

Maisa, Lengkanwati, N. S., and Suherdi, D. (2019). Scrutinizing the effect of e-learning to the students’ attitude: Affective, cognitive and behaviour in the classroom at EFL context: A case study of five students in University Level. The Asian EFL Journal 25 (5.2), 245-257 Martin, J. R. (1989). Language Education: Factual Writing: Exploring and Challenging Social

Reality. Oxford: Oxford University Press, Incorporated

Martin, J. R. (1992). English Text: system and structure. Amsterdam: Benjamins.

Mascolo, M. F. (2009). Beyond student-centered and teacher-centered pedagogy: Teaching and learning as guided participation. Pedagogy and the Human Sciences, 1, No. 1, 2009, pp. 3-27.

McLeod, S. (2015). Cognitive Psychology. Diunduh dari simplypsychology.org/cognitive.html tanggal 18/04/2020.

McLeod, S. (2017). Behaviorist Approach. Diunduh dari simplypsychology.org/ behaviorism.html. tanggal 10/04/2020

McLeod, S. (2019). Constructivism as a Theory of Teaching and Learning. Diunduh dari simplypsychology.org/constructivism.html, tanggal 10/04/2020

Morgan-Short, K., Sanz, C., Steinhauer, K., & Ullman, M. T. (2010). Second Language Acquisition of Gender Agreement in Explicit and Implicit Training Conditions: An Event-Related Potential Study. Language learning, 60(1), 154-193.

Ngozi, B.O., Samuel A.O., Ameh O.I. (2012). Motivating use of Audio-Visual in a Nigeria Technological University Library. Journal of Edcation and Social Research Vol. 2(1) Jan. Chomsky, N. (1957). Syntactic structures, The Hague: Mouton.

Chomsky, N. (1965). Aspects of the Theory of Syntax. MIT Press, p. 4. Chomsky, N. (1968). Language and Mind. Harcourt Brace.

Nueva, J. C. (2013). Genre-based instruction: Its effect on students’ news article. Paper Presented at FLLT 2013 Conference, Thammasat University, Bangkok, Thailand.

(20)

20 Overskeid, G. (2008). They should have thought about the consequences: The crisis of cognitivism and a second chance for behavior analysis. The Psychological Record, 58(1), 131-152.

Piaget, J. (1959). The language and thought of the child (Vol. 5). Psychology Press.

Piaget, J. (1977). The development of thought: Equilibration of cognitive structures. (A. Rosin, Trans). New York: The Viking Press.

Pujianto, D., Emilia, E., Ihrom, S. M. (2014). A process-genre approach to teaching writing report text to senior high school students. Indonesian Journal of Applied Linguistics 4 (1), 99-110

Rogers, CR (1983) Freedom to Learn for the 80s. Columbus, OH: Charles Merrill.

Rohman, M. M. (2011). Genre-based writing instruction: Implications in ESP classroom. English for Specific Purposes World, 33, 1-9.

Rutkauksiene, D., Schreurs, J., Huet, I., Gudoniene, D. (2010). Train the teachers in student centred learning and teaching. In: Auer, Michael & Schreurs, Jeanne (Ed.) Academic and corporate e-learning in a global context. p. 865-874.

Schreurs, J., Al-Hunedi, A. (2011). Development of a learnercentred learning process for a course. case: The course Business Information Systems. In: Proceedings of Interactive Collaborative Learning (ICL). p. 256-263.

Skinner, BF (1974) About Behaviorism. San Francisco, CA: Knopf.

Snelbecker, G.E. (1983). Learning theory, instructional theory, and psychoeducational design. New York: McGraw-Hill.

Spady, W. (1994). Outcome-Based Education: Critical Issues and Answers. Arlington Virginia: American Association of School Administrators. ISBN 0876521839.

Suherdi, D. (2012). The Use of Quality Pedagogic Language in The Teaching of English in Indonesian Setting. Educare International Journal of Educational Sciences, 4(2), pp.

111-124.

Suherdi, D. (2016). Pendidikan Bahasa bagi Keunggulan Bangsa Keniscayaan Rekonstruksi Pendidikan Bahasa dalam Pembelajaran Abad Ke-21. Bandung: UPI Press.

Suherdi, D. (2018). SMSLEFA: An alternative synergistic multilayered analysis of students’ learning engagement in EFL contexts. Indonesian Journal of Applied Linguistics, 8(1), Vol. 8 No. 1, May 2018, pp. 11-20 DOI: http://dx.doi. org/10.17509/ijal.v8i1

Suherdi, D. (2019a). SMEMFLE I 4.0 DE: A synergetic multi-layered educational model for learning excellence in industry 4.0 and disruption era. Proceedings of the 3rd Asian Education Symposium (AES 2018). Series:Advances in Social Science, Education and Humanities Research. Atlantis Press.

Suherdi, D. (2019b). Teaching English in the industry 4.0 and disruption era: Early lessons from the implementation of SMELT I 4.0 DE in a senior high lab school class. Indonesian Journal of Applied Linguistics 9 (1), 67-75.

Suryani, N. (2015). Pengembangan Media Pembelajaran Berbasis IT. 1 Disampaikan pada Seminar Nasional Pengembangan ICT Dalam Pembelajaran ,28 November 2015

Swanson, H. L. (2001). Searching for the best model for instructing students with learning disabilities. Focus on Exceptional Children, 34(2), 1–15.

UNESCO (2006) ICT development at school level," in Information and communication technology in education: a curriculum for schools and programme of teacher development, France, DIvision of Higher Education, UNESCO, 2006, pp. 26-34.

(21)

21 Vygotsky, LS (1978) Mind and Society: The Development of Higher Mental Processes.

Cambridge, MA: Harvard University Press.

Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Weegar, M. A., Pacis, D. A (2012). Comparison of Two Theories of Learning -- Behaviorism and Constructivism as applied to Face-to-Face and Online Learning. E-Leader Manila 2012

Yudhanegara, S. (2015). Peranan guru TIK dalam implementasi kurikulum 2013 di SMA negeri 4 tegal, Universitas Negeri Semarang, Semarang.

BIODATA

Didi Suherdi adalah Guru Besar dan saat ini menjadi Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris terintegrasi S1, S2, dan S3 Universitas Pendidikan Indonesia. Beliau juga Asesor BAN-PT (2008-2015), dan Asesor AUN-QA (2019-sekarang), Anggota Tim Pengembang Instrumen Penilaian Buku Teks Bahasa Inggris (2007-sekarang), SEAMEO MTB MLE Fellow (2009-2010), serta Anggota Tim PAK KEMDIKBUD RI (2019-sekarang). Minat utama penelitian dan karya ilmiahnya meliputi model-model pembelajaran Bahasa Inggris, bahasa dan pendidikan, penggunaan TIK dalam pembelajaran Bahasa Inggris, pendidikan guru, dan penjaminan mutu dalam pendidikan. SINTA ID 5978101, ORCID ID 0000-0002-2339-6744, dan Scopus ID 6504018680.

GLOSARIUM

Inkulkasi Belajar Swakelola Penggunaan prinsip-prinsip pembelejaran swakelola untuk membiasakan

para siswa mengelola kegiatan mereka masing-masing.

Kultivasi TIK/ICT Penggunaan TIK sebagai bagian melekat pada model pembelajaran dan model

pendidikan untuk mendarahdagingkan TIK dalam kegiatan belajar para siswa

Kompetensi Transversal karakter yang dituntut oleh prestasi unggul yang dapat melekat pada semua

mata pelajaran seperti disiplin, integritas, kolaborasi, komunikasi, berfikir kritis, pergaulan global, dsb.

Paradigma (berbasis) Waktu cara pandang (pengelolaan) pendidikan yang menekankan tertibnya kurun

waktu seperti jam pelajaran, triwulan, kuartal, semester, tahun ajaran, dst.

Paradigma (berbasis) Kompetensi cara pandang (pengelolaan) pendidikan yang menekankan

ketuntasan pencapaian kompetensi secara unggul tanpa dibatasi oleh sekat waktu.

Sinergetik Multilapis Sifat alternatif model-model pembelajaran dan model-model pendidikan yang

memadukan secara sinergetik kompetensi-kompetensi utama dalam Pendidikan abad ke-21.

Superioritas dalam Mata Pelajaran optimalisasi pencapaian belajar dalam menyelesaikan tugas-tugas

(22)

22 Index artificial intelligence augmented reality big data Challenge-based learning

Contextual Teaching and Learning Digital Experiment Tool Kits eksplisitas ICTC Internet of Thing keberpusatan landasan filosofis landasan teoretis

Learning Management System pandangan behavioristik pandangan kognivistik pandangan konstruktivistik paradigma kompetensi paradigma waktu pembelajaran eksplisit pembelajaran implisit robotics SMELT I 4.0 DE SMEMFLE I 4.0 DE SRLI SCSM teknologi digital TVCD Virtual reality

Gambar

Tabel 1 Perbedaan antara Pembelajaran Berpusat pada Guru dan pada Siswa

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat dan limpahan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul : Meningkatkan Kinerja

Berdasarkan hasil analisa tingkat pencemaran sungai Kota Palembang tahun 2017 menunjukkan pada periode bulan Maret 2017, 94.59 % dalam kondisi tercemar sedang, 2.7% dalam

Dari proses pembelajaran dan hasil evaluasi yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran aktif tipe Learning Contracts dengan bantuan Work Sheet dapat

Berdasarkan perhitungan perpindahan arus lalu lintas ke Semarang Outer Ring Road (SORR) dimana pada tahun 2020 jalan itu beroperasi didapatkan besarnya arus lalu lintas

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor2 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus, Pasal 44.. jenis perizinan, fasilitas dan kemudahan tersebut harus

a. Lembar penilaian Pelaksanaan Pembelajaran. Lembar penilaian sikap siswa KI-1 dan KI-2. Instrument-instrumen di atas merupakan alat untuk memperoleh data pada penelitian

Pada gambar 4.26 Desain Input Form Transaksi Registrasi, digunakan untuk menginputkan data diri calon siswa baru yang kemudian akan di simpan sebagai bukti data diri.. Gambar

Hal ini diakibatkan oleh penganggaran penyandang disabilitas masih menjadi tugas dan fungsi dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) tertentu seperti Dinas Sosial padahal