• Tidak ada hasil yang ditemukan

Disusun Oleh : B.D. Sri Marsita ; Rr. Yoeniarti Sasongko

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Disusun Oleh : B.D. Sri Marsita ; Rr. Yoeniarti Sasongko"

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)

Optimalisasi Penyelesaian Tunggakan

Uang Pengganti Yang Diputus Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Disusun Oleh :

B.D. Sri Marsita ;

Rr. Yoeniarti Sasongko

Amelya Gustina

J. A. Alwahdy

Imas Sholihah

Fransiska Vera

Fernando

Irfan Fachrurrozi

Ines Rachmawati P.

KEJAKSAAN AGUNG

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN JAKARTA 2016

Loqman, Loebby, Saksi Mahkota, Forum Keadilan, Nomor 11, 1995. Mulyadi, Lilik, Implikasi Yuridis tentang ‘’Saksi Mahkota’’,diakses

dari http://www.balipost.co.id tanggal 9 Maret 2012.

Nauli, Musri, Issu “Anggie” dari Sudut Hukum Pidana, diakses dari musri-nauli.blogspot.com, tanggal 9 Maret 2012.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:42/PUU-VIII/2010 Tanggal 24 September 2010.

Republik Indonesia, Dinas Sejarah Militer Angkatan Darat, Sejarah

TNI-AD, 1945-1973 : Perananan TNI-AD Menegakkan Negara Kesatuan RI, Volume 2, Jakarta : Dinas Sejarah Militer.

Setiyono,” Eksistensi Saksi Mahkota Sebagai Alat Bukti Dalam

Perkara Pidana”, Jurnal Hukum Lex Jurnalica, Vol 5, No. 1,

Pusat Pengelola Jurnal Ilmiah Universitas Indonesia, Esa Unggul, Jakarta, Desember 2007.

Varia Peradilan No 120, September 1995. ——————, Nomor 62, Nopember, 1990.

Widodo Eddyono, Supriyadi, Catatan Kritis Terhadap

Undang-Undang No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta: Elsam, September 2006, diaksesdarihttp://

perlindungansaksi.files.wordpress.com, tanggal 7 Juni 2012.

106

STATUS SAKSI MAHKOTA

STATUS SAKSI MAHKOTA

STATUS SAKSI MAHKOTA

STATUS SAKSI MAHKOTA

STATUS SAKSI MAHKOTA

DALAM PROSES

DALAM PROSES

DALAM PROSES

DALAM PROSES

DALAM PROSES

PERADILAN PIDANA

PERADILAN PIDANA

PERADILAN PIDANA

PERADILAN PIDANA

PERADILAN PIDANA

Oleh : Drs. Nandan Iskandar Siti Utari, SH.,MH. Estiyarso, SH. Hening Hadi Condro, SH. SatriyoWibowo, SH.,LLM.

Imas Sholihah, SH.

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

JAKARTA 2012

 

(2)

Optimalisasi Penyelesaian Tunggakan Uang Pengganti Yang Diputus Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

viii + 138 hlm. ; 21 cm ISBN : 978-602-6532-02-2

anggota IKAPI

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang memperbanyak buku ini sebagian atau seluruhnya dalam bentuk dan dengan cara apapun juga, baik secara mekanis maupun elektronis termasuk foto copy, rekaman dan lain-lain tanpa ijin tertulis dari penerbit.

(3)

Abstrak

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh data Keuangan Kejaksaan Audit BPK Tahun 2014, dari total piutang kejaksaan sebesar 70% berasal dari tunggakan uang pengganti yang diputus berdasarkan UU No 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Padahal sejak tahun 2001 kejaksaan telah melakukan upaya penyelesaian pembayaran uang pengganti tersebut. Terdapat dua permasalahan dalam penelitian ini, yaitu (1) Kendala yang dihadapi Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) Kejaksaan RI dalam penyelesaian tunggakan uang pengganti yang diputus berdasarkan UU No 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan (2) Bagaimana menanggulangi kendala yang ada sebagai upaya optimalisasi penyelesaian tunggakan uang pengganti yang diputus berdasarkan UU No 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penelitian ini bersifat diskriptif analisis dengan instrumen penelitian berupa pedoman wawancara. Responden sejumlah 212 responden, berasal dari internal kejaksaan dan dari ekternal kejaksaan. Data hasil penelitian menunjukkan pelaksanaan penyelesaian tunggakan uang pengganti dibagi menjadi 4 bagian yaitu: (1) Penyelesaian melalui gugatan perdata dan tidak bisa di eksekusi, (2) Penyelesaian melalui gugatan perdata dan dapat di eksekusi, (3) Penyelesaian melalui non litigasi dengan cara mencicil dan masih berjalan, serta (4) Perkara-perkara yang tidak bisa di eksekusi. Ditemukan pula kendala yuridis dan non yuridis. Upaya yang dilakukan untuk mengoptimalkan penyelesaian tunggakan uang pengganti adalah melalui optimalisasi legislasi/ peraturan internal kejaksaan, penguatan sumber daya manusia Jaksa Pengacara Negara (JPN), penguatan dari sisi anggaran, penyempurnaan data base, dan peningkatan koordinasi. Dalam rangka optimalisasi perlu segera dilakukan revisi terhadap Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: Per-020/A/JA/07/2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Uang Pengganti Yang Diputus Pengadilan Berdasarkan UU No 3 Tahun

(4)

1971, serta harmonisasi antar bidang terutama dalam penyusunan atau revisi peraturan internal kejaksaan yang berkaitan dengan penyelesaian tunggakan uang pengganti yang diputus berdasarkan UU No 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kata Kunci : optimalisasi, tunggakan uang pengganti, undang-undang nomor 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Abstract

This research is motivated by Indonesian Supreme Audit Institution In 2014, the prosecutor of the total receivables of 70% is derived from arrears compensation which is decided based on Law No. 3 of 1971 on Corruption Eradication. In fact, since 2001 the prosecutor’s office has made efforts to resolve the payment of the compensation. There are two problems in this study include detention and countermeasures field civil and state administration of Attorney in the optimization of a arrears compensation which is decided based on Law No. 3 of 1971. This study is a descriptive analysis of the research instruments such as interview, of 212 total respondents, comes from the internal prosecutor office and the external. Field data shows the implementation of a arrears compensation which is decided based on Law No. 3 of 1971 is divided into 4 sections and also found the juridical and non juridical constraints. Things that need to be done are: optimization legislation/internal regulations prosecutor, the strengthening of the Human Resources State Attorney, the strengthening of the budget, enhanced data base, and increased coordination. In order to optimize need immediate revision of the Attorney General Regulation No. Per-020/A/J /07/2014 as well as harmonization between fields. Keywords: optimize, arrears compensation, law number 3 of 1971 the eradication of corruption.

(5)

KATA PENGANTAR

P

uji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas karunia dan hidayah-Nya

maka buku penelitian dengan judul: “Optimalisasi Penyelesaian Tunggakan Uang Pengganti Yang Diputus Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” dapat disusun dan diterbitkan sesuai dengan jadwal telah ditentukan.

Buku penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang bagaimana mengoptimalkan pengelesaian tunggakan uang penganti yang diputus berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tunggakan uang pengganti yang dimaksud merupakan penyumbang 70% piutang Kejaksaan sebagaimana yang ada dalam laporan keuangan Kejaksaan yang telah di audit BPK Tahun 2015. Untuk menanggulangi hal tersebut, Kejaksaan sudah mengeluarkan berbagai peraturan untuk penyelesaiannya, walaupun masih ditemukan beberapa kendala dalam pelaksanaannya.

Pada kesempatan ini Pusat Litbang Kejaksaan Agung RI mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat, Kejaksaan Tinggi Bangka Belitung, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur, Kejaksaan Tinggi Nusatenggara Barat, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara, beserta jajaran Kejaksaan Negeri di wilayah hukum masing-masing Kejaksaan Tinggi yang menjadi lokasi pengambilan sampel penelitian dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta sebagai sampel penelitian pembanding.

2. Semua pihak yang telah mendukung kelancaran pelaksanaan penelitian dan penerbitan buku penelitian ini.

(6)

Akhir kata, semoga buku penelitian ini bermanfaat untuk memberikan tambahan pengetahuan dan wawasan serta strategi dalam upaya peningkatan kinerja Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) tentang penyelesaian tunggukan uang pengganti.

Jakarta, Desember 2016 TIM PENELITI

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI ... BAB I PENDAHULUAN ... A. Latar Belakang ... B. Permasalahan …... C. Ruang Lingkup Penelitian ... D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... E. Kerangka Pemikiran ... F. Metodologi Penelitian ... G. Tahap Penelitian ...

BAB II PENYAJIAN DATA ...

A. Responden Kejaksaan ... B. Responden Hakim ... C. Responden Akademisi ... D. Responden BPK ...

BAB III ANALISA DATA ...

A. Penyelesaian Tunggakan Uang Pengganti Yang Diputus Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ... B. Kendala-Kendala yang Dihadapi Kejaksaan dan

Penyelesaian Tunggakan Uang Pengganti Yang Diputus Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

iii v vii 1 1 8 8 8 9 20 24 25 25 65 78 88 97 97

(8)

Korupsi ... C. Optimalisasi Penyelesaian Tunggakan Uang

Pengganti yang Diputus Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ...

BAB IV PENUTUP ... A. Kesimpulan ... B. Saran ... C. Rekomendasi ... DAFTAR PUSTAKA ... 107 119 133 133 134 135 137

(9)

BAB I

P E N D A H U L U A N

A. Latar Belakang

Pembayaran uang pengganti sebagai pidana tambahan yang diputuskan kepada pelaku tindak pidana korupsi pada hakekatnya adalah sebagai upaya untuk mengembalikan kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh tindak korupsi. Mengutip pendapat Andi Hamzah bahwa uang pengganti adalah merupakan sejumlah uang yang dibebankan kepada pelaku tindak pidana korupsi dengan jumlah uang yang pernah ia korupsikan yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi tersebut1, maka pidana tambahan pembayaran uang pengganti perlu dituntut dan diputuskan pada setiap kasus tindak pidana korupsi sebagai salah satu upaya dari aparat penegak hukum untuk mengembalikan kerugian keuangan negara.

Upaya penegak hukum ini sejalan dengan strategi pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia yang meliputi tindakan pencegahan, penindakan serta pengembalian keuangan negara. Ketiga langkah/ tahapan tersebut menurut Marwan Effendi, merupakan “condition sine

qua non” bagi keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi secara

menyeluruh; yang tidak semata-mata hanya bertumpu pada banyaknya pelaku tindak pidana korupsi yang dipidana tetapi terfokus kepada upaya mengembalikan kerugian keuangan negara melalui penjatuhan pidana

tambahan berupa pembayaran uang pengganti.2 Pengembalian kerugian

keuangan negara dari tindak pidana korupsi melalui uang pengganti merupakan salah satu upaya penting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Pengembalian tersebut tidaklah mudah karena tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary crimes yang pelakunya berasal dari kalangan intelektual dan mempunyai kedudukan penting.

1 Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya, Jakarta: Gramedia, 2000,

hal 49.

2 Marwan Effendi, Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, Jakarta:

(10)

Mengenai proses penyelesaian uang pengganti pada peraturan perundang-undangan tindak pidana korupsi juga memiliki perbedaaan. Pada ketentuan undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah diatur 3 (tiga) upaya yang perlu dilakukan dalam penyelesaian uang pengganti, yaitu pertama: penyitaan dan pelelangan harta benda milik terpidana dan ahli warisnya setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht), kedua: melalui putusan subsider pidana penjara, dan ketiga: melalui gugatan perdata dan administrasi keuangan. Sedangkan pada Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, uang pengganti harus dibayar oleh terpidana dan apabila tidak dapat dibayar maka harus diproses lebih lanjut melalui gugatan perdata kepada ahli warisnya.3 Artinya, berdasarkan undang Nomor 3 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimungkinkan terpidana untuk mengganti dengan hukuman badan dan pilihan ini banyak dimanfaatkan/dipilih oleh para terpidana karena masa hukumannya/subsidernya yang relatif singkat (berdasarkan data hukuman subsider yang ada paling rendah adalah 1 tahun dan paling

lama 6 tahun penjara).4 Lain halnya dengan Undang-undang Nomor 3

Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang tidak mengenal adanya subsider pidana penjara/pidana penjara pengganti, yang berdampak kepada tidak terselesaikannya pembayaran uang pengganti atas terpidana korupsi yang diputus berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 secara tuntas.

Permasalahan tunggakan uang pengganti perkara tindak pidana korupsi kembali mengemuka/menjadi sorotan publik pada akhir tahun 2014 setelah anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho menuding Kejaksaan sebagai eksekutor lamban dan tidak transparan dalam menagih semua tunggakan uang pengganti dari para koruptor yang telah divonis pengadilan. Jumlah uang yang seharusnya

3 Biro Keuangan Kejaksaan Agung RI, Pedoman Penyelesaian Dan Kebijakan Akuntansi Atas

Piutang Negara Uang Pengganti Perkara Tindak Pidana Korupsi, Lampiran, Jakarta: Kejaksaan

Agung , hal 2.

(11)

dibayar dengan kewajiban sesuai putusan, besarnya tidak sama. Data ICW dari hasil audit BPK tahun 2013 menunjukkan bahwa jumlah uang pengganti yang harus dieksekusi Rp.8,5 triliun dan US$ 189,5 juta; yang berhasil dieksekusi Rp 2,6 triliun; jadi Rp.5,8 triliun belum tertagih. Disinyalir menurut ICW, Kejaksaan tidak menagih tunggakan uang pengganti hasil korupsi tersebut. Padahal dengan berpedoman pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 1988 tanggal 7 Juli 1988 tentang Eksekusi Uang Pengganti, Kejaksan bisa tegas terhadap koruptor, karena SEMA ini mengatur apabila dalam pelaksanaan eksekusi uang pengganti jumlah barang yang dimiliki terpidana tidak mencukupi lagi, harus diajukan melalui gugatan perdata di pengadilan5. Tudingan ICW tersebut langsung disikapi oleh Plt Jaksa Agung RI saat itu (Andhi Nirwanto) yang menyatakan bahwa Kejaksaan Agung berupaya untuk menggugat perdata pelaku korupsi termasuk ahli warisnya dalam rangka melunasi tunggakan uang pengganti dari koruptor. Pelaksanaannya akan dilakukan oleh Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara.6

Sebelum mengemukanya permasalahan penyelesaian uang pengganti yang diputus berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut, secara internal Kejaksaan sudah melakukan upaya-upaya penyelesaian tunggakan uang pengganti dimaksud dengan mengeluarkan kebijakan berupa Surat Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Nomor: B-119/G/Gpk.3/7/2001 tanggal 31 Juli 2001 mengenai tindak lanjut pembayaran uang pengganti dalam perkara korupsi, dinyatakan bahwa

dalam hal bagian tindak pidana khusus mengalami kesulitan dalam penyelesaian pembayaran uang pengganti yang diputus berdasarkan UU No 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka penyelesaian penagihannya dapat diserahkan ke satuan kerja Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun). Langkah Jamdatun tersebut

ditindaklanjuti oleh Jampidsus melalui Surat Jaksa Agung Muda Tindak

5

www,gresnews.com/berita/hukum/1401611-menagih-janji-kejagung-eksekusi-tunggakan-uang-pengganti-korupsi, terakhir di akses tanggal 24 Februari 2016

(12)

Pidana Khusus (Jampidsus) Nomor: B-252/F/Fu.1/04/2004 tanggal 19 April 2004 bahwa apabila terhadap eksekusi uang pengganti yang diputus berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 terpidananya tidak bersedia membayar secara sukarela, maka dengan mengingat Pasal 34 sub c Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971, perlu ditempuh upaya-upaya sebagai berikut:

………… 1.

... 2.

Sebaliknya apabila ternyata masih terdapat kekurangan, maka tetap 3.

menjadi beban kewajiban yang harus dibayar oleh terpidana yang membuka peluang dilakukan gugatan perdata (tugas dan fungsi datun);

Apabila ternyata langkah pelacakan/pencarian aset telah dilakukan 4.

secara optimal dan tidak ditemukan aset milik terpidana dan/atau keluarganya, maka penyelesaian selanjutnya agar dilimpahkan kepada Datun.

Bahwa koordinasi penyelesaian uang pengganti antara Jampidsus dengan Jamdatun tersebut terakomodir dalam ketentuan Pasal 30 ayat (2) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang menentukan bahwa di bidang perdata dan tata usaha negara Kejaksaan dapat mewakili negara atau pemerintah RI, baik di pengadilan (litigasi) maupun di luar pengadilan (non litigasi); termasuk antara lain upaya untuk menyelamatkan/mengembalikan kerugian keuangan negara melalui pengajuan gugatan perdata oleh Jaksa Pengacara Negara (JPN). Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 3 Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-040/A/JA/12/2010 tentang Pelaksanaan Tugas, Fungsi dan Wewenang Perdata dan Tata Usaha Negara, yang secara tegas menyebutkan salah satu tugas dan wewenang Jaksa Pengacara Negara (JPN) adalah Penegakan Hukum, yaitu tugas JPN untuk mengajukan gugatan atau permohonan kepada Pengadilan di bidang perdata sebagaimana ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka memelihara ketertiban umum, kepastian hukum dan melindungi

(13)

kepentingan negara dan pemerintah serta hak-hak keperdataan masyarakat, antara lain gugatan perdata. Namun, fakta menunjukkan bahwa data tunggakan uang pengganti tahun 2013 tersebut bukannya semakin berkurang jumlahnya, tetapi justru semakin bertambah, karena mengacu pada data keuangan kejaksaan tahun 2014 yang sudah di audit BPK menyebutkan bahwa dari total Rp.14.565.312.028.774.952 piutang kejaksaan, sebanyak Rp. 9.666.836.276.102.68 adalah merupakan tunggakan dari pembayaran uang pengganti yang diputus berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Artinya sebesar + 70 % penyumbang piutang kejaksaan adalah berasal dari tunggakan uang pengganti yang diputus berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971.7

Sebenarnya permasalahan tunggakan uang pengganti yang diputus berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi faktanya pernah menjadi kontroversi menyusul pernyataan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution pada rapat dengar pendapat di DPR tahun 2005 yang mengungkapkan ada Rp. 6,67 trilyun uang pengganti kerugian negara yang belum ditagih ke Jaksa Agung RI. Sehingga pada tahun 2006 ada indikasi khusus terhadap terpidana tindak pidana korupsi yang diputus berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 yang sudah tidak mampu membayar uang pengganti karena tidak lagi mempunyai harta/jatuh miskin, dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 32 ayat (2) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara jo Pasal 57 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Kejaksaan diminta untuk menghapus bukuan supaya tidak menjadi temuan BPK sebagai piutang.8 Dan permintaan menghapus bukuan terhadap tunggakan uang pengganti dari BPK tersebut baru ditindak lanjuti oleh Kejaksaan melalui Surat Jaksa Agung RI Nomor B-012/A/Cu.2/01/2013 tanggal 18 Januari 2013 yang ditujukan kepada Para Kepala Kejaksaan Tinggi di seluruh Indonesia tentang Pedoman Penyelesaian Kebijakan Akutansi

7 Biro KeuanganKejaksaan Agung RI, Laporan Keuangan Kejaksaan Republik Indonesia

Tahun 2014 (Audited), 2014, Jakarta: Kejaksaan Agung.

8 Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, Jakarta: Solusi

(14)

atas Piutang Negara Uang Pengganti Perkara Tindak Pidana Korupsi; bahwa:

Uang pengganti dapat dihapuskan secara mutlak dari neraca atau tidak diakui lagi sebagai piutang apabila:

Untuk uang ... a.

Untuk uang pengganti dari perkara TPK yang

b. inkracht berdasarkan

UU Nomor 3 Tahun 1971.

Jika telah dilakukan upaya-upaya penyelesaian uang pengganti -

secara maksimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang telah dilengkapi dengan bukti-bukti yang dapat dipertanggung jawabkan, namun tidak berhasil maka selanjutnya diterbitkan Surat Ketetapan Penghapusan Piutang oleh Jaksa Agung RI.

Sebagai tindak lanjut dari surat Jaksa Agung RI tersebut di atas, Jaksa Agung RI mengeluarkan Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-020/A/ JA/07/2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Uang Pengganti Yang Diputus Pengadilan Berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam peraturan ini disebutkan bahwa dalam penyelesaian uang pengganti yang diputus berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu secara Litigasi dan Non Litigasi. Penyelesaian secara non

litigasi adalah alternative penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Jaksa

Pengacara Negara dengan cara melakukan negosiasi dan musyawarah dengan terpidana/Eks terpidana atau ahli warisnya yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan bersama sebagai suatu upaya penyelesaian uang pengganti yang belum dibayar tanpa melalui proses pengadilan. Sedangkan penyelesaian secara litigasi adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh Jaksa Pengacara Negara dengan cara melakukan gugatan secara perdata ke Pengadilan Negeri terhadap Terpidana/eks Terpidana atau ahli warisnya yang belum membayar uang pengganti dengan tujuan untuk memperoleh kembali hak keuangan negara dan mendapat putusan

(15)

Pengadilan. Di dalam Peraturan Jaksa Agung RI tersebut juga disebutkan mengenai penghapusan uang pengganti yaitu penghapusan secara mutlak dari neraca sebagai piutang/tagihan negara yang didahului dengan upaya penyelesaian melalui gugatan secara perdata dengan bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan. Selanjutnya bila telah dilakukan upaya-upaya penyelesaian uang pengganti secara maksimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang telah dilengkapi dengan bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan, namun tidak berhasil, maka selanjutnya diterbitkan Surat Ketetapan Penghapusan Piutang oleh Jaksa Agung RI.

Namun demikian, berdasarkan laporan keuangan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara per Desember 2015 mengenai tunggakan uang pengganti untuk perkara yang diputus berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dapat diketahui bahwa sebesar Rp. 7.308.064.558.737,57 + $ 189.481.614,00 + S$34.951,68 masih merupakan tunggakan dan hanya sebesar Rp. 1.228.220.631,46 yang berhasil di setor ke kas negara selama kurun waktu 1 (satu) tahun terakhir. Artinya, setelah berlakunya Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: Per-020/A/JA/07/2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyesaian Uang Pengganti Yang Diputus Pengadilan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, belum ada perubahan yang signifikan mengenai penyelesaian tunggakan uang pengganti yang diputus berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971. Dengan belum terealisasinya penyelesaian tunggakan uang pengganti secara menyeluruh, dikhawatirkan berdampak kepada posisi administrasi perkara yang menggantung dan apabila ada pemeriksaan dari BPK akan jadi temuan BPK. Berdasarkan fakta-fakta di atas, perlu dilakukan penelitian mengenai “Optimalisasi Penyelesaian Tunggakan Uang

Pengganti Yang Diputus Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.

(16)

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas, pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah:

Apa kendala yang dihadapi Bidang Datun Kejaksaan RI dalam 1.

penyelesaian tunggakan uang pengganti yang diputus berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?

Bagaimana menanggulangi kendala yang ada sebagai upaya 2.

optimalisasi penyelesaian tunggakan uang pengganti yang diputus berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?

C. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini dititikberatkan kepada permasalahan/ kendala yang dihadapi Bidang Datun Kejaksaan RI dalam penyelesaian tunggakan uang pengganti yang diputus berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dan upaya-upaya yang dilakukan untuk menanggulangi kendala yang dihadapi Bidang Datun sebagai upaya untuk mengoptimalkan penyelesaian tunggakan uang pengganti yang diputus berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan 1.

Untuk mengetahui permasalahan/kendala yang dihadapi Bidang a.

Datun Kejaksaan RI dalam penyelesaian tunggakan uang pengganti yang diputus berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Untuk mengetahui upaya yang harus dilakukan guna a.

(17)

diputus berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Manfaat dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat menjadi bahan 2.

masukan Pimpinan untuk menyusun atau merumuskan kembali kebijakan dalam penyelesaian tunggakan uang pengganti yang diputus berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

E. Kerangka Pemikiran

Kerangka Teori 1.

Peran Kejaksaan/JPN Dalam Pengembalian Kerugian a.

Keuangan Negara

Fungsi keperdataan sebenarnya telah dimiliki Kejaksaan sebelum diundangkannya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, yaitu berdasarkan Konninklijk Besluit yang dimuat dalam S.1912/522 tentang Vertegenwoordiging

van den landen in rechten (wakil negara dalam hukum) dan

berbagai peraturan perundang-undangan yang tersebar dalam BW, ordonansi catatan sipil dan ordonansi kepailitan. Pasal 2

Konninklijk Besluit/ KB antara lain memuat ketentuan bahwa

sengketa-sengketa yang diadili menurut acara sipil (perdata) bertindak untuk Pemerintah Indonesia sebagai wakil negara dalam tingkat pertama opsir yustisi atau Jaksa atau pegawai yang menjalankan tugas Jaksa.9

Bahwa peran Kejaksaan dalam bidang perdata khususnya peran Jaksa Pengacara Negara/JPN dalam menyelamatkan/ mengembalikan kerugian keuangan negarat sangatlah penting dan strategis, karena penyelesaian tunggakan uang pengganti adalah menjadi tanggung jawab Kejaksaan untuk menagihnya dengan cara menggugat perdata kepada terpidana atau ahli

9 Jamdatun, Himpunan Informasi dan Petunjuk Jamdatun Tahun 1997, Buku X Jamdatun,Jakarta,

(18)

warisnya sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut:10

Bila penyidik menangani kasus yang secara nyata telah ada 1.

kerugian keuangan negara tetapi tidak terdapat cukup bukti untuk membuktikan unsur-unsur pidana korupsi, maka penyidik menghentikan penyidikan yang dilakukan, dan menyerahkan berkas perkara hasil penyidikannya kepada JPN atau kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata kepada tersangka yang telah merugikan keuangan negara tersebut (Pasal 32 ayat (1) UU No 31 Tahun 1999).

Hakim dapat menjatuhkan putusan bebas dalam perkara 2.

korupsi meskipun secara nyata telah ada kerugian negara karena unsur-unsur pidana korupsi tidak terpenuhi. Dalam hal ini JPU dapat menyerahkan putusan hakim tersebut kepada JPN atau kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata kepada tersangka yang telah merugikan keuangan negara tersebut (Pasal 32 ayat (2) UU No 31 Tahun 1999).

Dalam penyidikan perkara korupsi ada kemungkinan 3.

tersangka meninggal dunia, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara. Penyidikan terpaksa dihentikan dan penyidik menyerahkan berkas perkara hasil penyidikannya kepada JPN atau kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli waris tersangka (Pasal 33 UU No 3 Tahun 1999).

Bila terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan 4.

pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka JPU akan menyerahkan salinan berkas berita acara sidang kepada

10 Tim Pengkajian,Langkah Hukum Yang Harus Ditempuh Dalam Upaya Penyelesaian

(19)

JPN atau kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli waris terdakwa (Pasal 34 UU No 31 Tahun 1999).

Ada kemungkinan setelah putusan pengadilan memperoleh 5.

kekuatan hukum tetap, diketahui terdapat harta benda milik terpidana yang belum dikenakan perampasan (dipersidangan terdakwa tidak dapat membuktikan harta tersebut diperoleh bukan karena korupsi), maka negara melalui JPN dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya (Pasal 38 C UU No 20 Tahun 2001). Dalam kasus ini instansi yang dirugikan dapat memberi kuasa kepada JPN untuk mewakilinya.

Fungsi Jaksa Pengacara Negara/JPN dalam kaitannya dengan perkara tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adalah sejalan dengan fungsi JPN yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 30 ayat (2) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yaitu: “Di bidang perdata

dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah”. Fungsi JPN dalam

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI adalah berkaitan dengan harta kekayaan terpidana dalam perkara tindak pidana korupsi.

Mengacu pada lingkup tugas dan wewenang kejaksaan dalam bidang perdata dan tata usaha negara (datun) yang dilaksanakan oleh JAMDATUN sesuai ketentuan Pasal 293 Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-009/A/JA/01/2011 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI, dengan lingkup tugas meliputi penegakan hukum, bantuan hukum, pertimbangan hukum, pelayanan hukum dan tindakan hukum lain di bidang perdata dan tata usaha negara dalam

(20)

upaya untuk menyelamatkan kekayaan negara dan menegakkan kewibawaan pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung RI; adalah merupakan penjabaran dari tugas pokok sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 30 ayat (2) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2014 tentang Kejaksaan RI; dan teraktualisasi dalam bentuk melakukan gugatan terhadap subyek hukum dalam rangka mempertahankan/menegakkan kewibawaan negara/pemerintah dan peyelesaian pembayaran uang pengganti (PUP).

Berkaitan dengan penyelesaian tunggakan uang pengganti yang diputus berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada awalnya JPN mengacu/berpedoman pada Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 4 Tahun 1988 tanggal 7 Juli 1988 yang menentukan bahwa dalam penagihan pelunasan pembayaran pidana uang pengganti yang diputus berdasarkan Pasal 34C Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971, ditegaskan bahwa:11

Terhadap penjatuhan pidana pembayaran uang pengganti 1.

tidak dapat ditetapkan hukuman kurungan sebagai ganti apabila uang pengganti tersebut tidak dibayar terpidana; Eksekusi atas pidana pembayaran uang pengganti apabila 2.

akan dilaksanakan oleh Jaksa tidak memerlukan campur tangan pihak pengadilan, misalnya dalam bentuk ijin penyitaan yang dituangkan dalam penetapan dan lain-lain. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa penyitaan terhadap barang-barang terpidana adalah merupakan pelaksanaan dari apa yang sudah diputuskan oleh hakim;

Dan apabila dalam pelaksanaan kali ini jumlah barang-3.

barang yang dimiliki oleh terpidana sudah tidak mencukupi lagi, sisanya apabila masih akan ditagih oleh Kejaksaan

11 Tim Peneliti Puslitbang Kejaksaan Agung RI, Percepatan Pengembalian Kerugian Keuangan

(21)

pada lain kesempatan, harus diajukan melalui gugatan perdata di pengadilan.

Instrumen perdata dalam rangka menyelamatkan keuangan negara ini dapat dilakukan dengan dua cara, baik secara Aktif maupun secara Pasif. Aktif adalah dalam hal kejaksaan menyelamatkan keuangan negara karena jabatan sehingga tidak memerlukan surat kuasa khusus, seperti misalnya kejaksaan melakukan gugatan uang pengganti atas pengadilan dalam perkara korupsi. Sedangkan Pasif adalah sebagaimana diisyaratkan pada pasal 30 ayat (2) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, yaitu kejaksaan baru bisa bertindak dalam bidang perdata bila mendapat surat kuasa khusus (SKK); dalam hal ini surat kuasa khusus merujuk pada penyelesaian pada jalur litigasi maupun jalur non litigasi.

b. Manajemen Penghapusan Uang Pengganti.

Penyelesaian tunggakan uang pengganti merujuk pada Fatwa Ketua Mahkamah Agung (MA) Nomor 040/KMA/ III/2010 tanggal 29 Maret 2010 tentang Permohonan Fatwa Hukum mengenai penyelesain uang pengganti tersebut oleh Menteri Keuangan RI yang pada point ke 5 dari fatwa tersebut menyatakan bahwa:

“Pengertian pembayaran “Uang pengganti” sebagai pidana tambahan sekalipun tujuannya untuk memperkecil “kerugian keuangan Negara”, namun tidak identic/ atau sama dengan pengertian “kerugian Negara” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 16 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 dan Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 yang jumlahnya harus pasti dan ditetapkan oleh auditor Negara dari BPK; Oleh karena itu Pasal 65,66, 67 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tidak tepat untuk diterapkan karena “uang pengganti” sebagai pidana tambahan bukanlah “piutang Negara” yang harus ditagih oleh PUPN, karena

(22)

berada dalam lingkup hukum pidana yang untuk pelaksanaan amar putusannya dilakukan oleh Jaksa/Penuntut Umum;”

Dari point 5 Fatwa Ketua MA tersebut dapat dipahami bahwa uang pengganti bukanlah termasuk piutang Negara yang bisa diselesaikan melalui mekanisme yang di atur dalam UU nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Lebih lanjut Komite Standar Akutansi Pemerintah melalui suratnya Nomor S-73/K.1/KSAP/X/2010 tanggal 6 Oktober 2010 tentang Pendapat KSAP terhadap Uang Pengganti menyatakan pada bagian akhir (point 5) menyatakan:

“Terkait penghapusan uang pengganti, mekanisme penyelesaian mengikuti UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan bukan PP Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata cara Penghapusan Piutang Negara/ Daerah, sebagaimana Surat Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Nomor S-3583/KN/2010 tanggal 24 Mei 2010 tentang Penghapusan terhadap Piutang Uang Pengganti dan Suarat Ketua Mahkamah Agung Nomor 040/KMA/III/2010 tanggal 29 Maret 2010 tentang Permohonan Fatwa Hukum. Sesuai dengan UU Nomor 31 Tahun 1999, Piutang Uang Pengganti atas nama terpidana akan dihapuskan secara mutlak dari Neraca apabila:

Uang Pengganti telah dibayar lunas oleh terpidana (Pasal a.

18 ayat (1) huruf b)

Harta benda terpidana disita untuk kemudian dilelang b.

(Pasal 18 ayat (2))

Terpidana telah menjalani tambahan pidana penjara c.

sebagai substitusi dari kewajiban membayar uang pengganti ((subsider) Pasal 18 ayat (3))

Dalam surat tersebut tidak secara ekspilisit dan tegas

(23)

mutlak dalam neraca keuangan bila diputus melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena itu, kejaksaan melalui

surat Nomor B-319/C.5/Cu.2/10/2012 tanggal 15 Oktober 2012 tentang Permohonan Pendapat Terhadap Penghapusan dan Penggolongan Kualitas Piutang Uang Pengganti dan Denda Tilang Verstek kepada Direktur Piutang Negara dan Kekayaan Negara Lain-Lain pada Kementerian Keuangan. Dalam surat tersebut Kejaksaan melalui Kepala Biro Keuangan mempertanyakan mengenai penghapusan piutang uang pengganti yang terjadi berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi. Apakah sama

perlakuannya mengikuti ketentuan hukumnya yaitu UU Nomor 3 Tahun 1971 dan bukan PP Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengahapusan Piutang Negara/Daerah (Point 1 Surat Kepala Biro Keuangan).

Direktur Piutang Negara dan Kekayaan Negara Lain-Lain pada Kementerian Keuangan menjawab surat tersebut dengan menyatakan bahwa penyelesaian piutang Kejaksaan berupa uang Pengganti, Denda dan biaya perkara tilang dan denda

verstek mengikuti ketentuan pada Fatwa Ketua Mahkamah

Agung (MA) Nomor 040/KMA/III/2010 tanggal 29 Maret 2010 tentang Permohonan Fatwa Hukum mengenai penyelesaian uang pengganti serta Surat Komite Standar Akutansi Pemerintah Nomor S-73/K.1/KSAP/X/2010 tanggal 6 Oktober 2010 tentang Pendapat KSAP terhadap Uang Pengganti. Mengenai teknis pelaksanaannya diperlukan peraturan Kejaksaan Agung mengenai tata cara penyelesaian dan penghapusan piutang dimaksud. Surat Direktur Piutang Negara dan Kekayaan Negara Lain-Lain pada Kementerian Keuangan tersebut tidak memberikan rincian yang tegas mengenai penyelesaian uang pengganti yang diputus berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 1971 berbeda dengan uang pengganti yang diputus UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 yang dalam

(24)

penyelesaiannya bisa dilakukan subsider pidana badan yang tidak ada di UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindap Pidana Korupsi.

Untuk itu Kejaksaan mengeluarkan kebijakan berupa Lampiran Surat Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor B-012/A/Cu.2/01/2013 tanggal 18 Januari 2013 tentang Pedoman Penyelesaian dan Kebijakan Akuntansi atas Piutang Negara Uang Pengganti Perkara Tindak Pidana Korupsi disebutkan mengenai Prosedur (Tata Cara) Pencatatan/Pembukuan Uang

Pengganti Berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 1971 yaitu:12

Dalam rangka melaksanakan Putusan Hakim yang telah 1.

berkekuatan hukum tetap (inkracht), jika pembayaran uang pengganti belum dilaksanakan dan/atau mencukupi, maka Jaksa selaku eksekutor Putusan Pengadilan melakukan pencarian harta benda milik terpidana.

Jika ditemukan harta benda milik terpidana segera dilakukan 2.

sita eksekusi dan selanjutnya dilakukan lelang kemudian hasilnya disetorkan ke kas Negara. Apabila hasil lelang tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti maka segera dilimpahkan ke Bidang Datun untuk ditindaklanjuti dengan melakukan upaya perdata (non litigasi/litigasi) dengan membuat Surat Pelimpahan Penagihan Uang Pengganti dari Bidang Pidsus ke Bidang Datun.

Dalam hal terpidana meninggal dunia, maka Jaksa 3.

melakukan penyitaan (sita eksekusi) terhadap harta benda yang ditinggalkan terpidana kepada ahli warisnya yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan jumlah uang pengganti yang tertera dalam amar putusan pengadilan. Apabila barang-barang hasil korupsi diketahui berada dalam 4.

penguasaan pihak ketiga baik sebagian atau seluruhnya, maka untuk memenuhi pembayaran uang pengganti

12 Biro Keuangan Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Himpunan Peraturan Pengelolaan

(25)

berdasarkan putusan hakim yang memperoleh kekuatan hukum tetap, Jaksa mengusahakan pengembalian barang-barang tersebut. Jika upaya-upaya tersebut tidak membawa hasil, maka Jaksa mengajukan gugatan perdata terhadap pihak ketiga yang beritikat tidak baik dan dengan sengaja tidak bersedia menyerahkan atau memindahtangankan barang-barang tersebut.

Upaya hukum gugatan perdata yang berkaitan dengan usaha 5.

pengembalian/pembayaran uang pengganti atau karena perbuatan yang merugikan keuangan negara, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Sepanjang gugatan perdata belum diajukan ke pengadilan, 6.

jika ditemukan harta benda milik terpidana maka Jaksa melakukan penyitaan (sita eksekusi) terhadap harta benda tersebut dan melelang untuk uang pengganti.

Jika sudah dilakukan upaya-upaya tersebut di atas, ternyata 7.

terpidana, ahli waris atau pihak ketiga karena alasan-alasan yang dapat dibenarkan menurut hukum sudah tidak mampu lagi untuk membayar uang pengganti atau menyerahkan barang-barang, maka Kejaksaan meminta petunjuk kepada Jaksa Agung yang dilakukan secara berjenjang disertai bukti-bukti pendukung yang cukup untuk diusulkan penghapusan piutang negara uang pengganti.

Sebagai tindak lanjut dari Surat Jaksa Agung tersebut, maka dikeluarkanlah Peraturan Jaksa Republik Indonesia Nomor PER-020/A/JA/07/2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Uang Pengganti Yang Diputus Pengadilan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam ketentuan Pengertian Umum dalam peraturan tersebut menyebutkan bahwa penyelesaian uang pengganti dapat dilakukan secara Non Litigasi dan Secara

Litigasi. Kemudian disebutkan juga dalam pengertian umum

(26)

uang pengganti adalah penghapusan secara mutlak dari neraca sebagai piutang/tagihan negara yang didahului dengan upaya penyelesaian melalui gugatan secara perdata dilengkapi dengan bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan.

c. Teori Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan Hukum.

Dalam era reformasi di bidang hukum, salah satu agenda yang harus dilaksanakan adalah menegakkan supremasi hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di kalangan masyarakat konotasi dari supremasi hukum seringkali dipahami dengan sebutan atau pengertian umum bahwa hukum sebagai panglima, yang intinya adalah sesuatu permasalahan (hukum) harus diselesaikan melalui prosedur hukum yang berlaku dalam pelaksanaan penegakan hukum. Tegasnya orientasi penegakan hukum diarahkan untuk mencapai tujuan hukum (kepastian dan keadilan) serta tujuan sosial (manfaat hukum terhadap masyarakat) melalui institusi penegak hukum yang berwenang, berkewajiban dan bertanggungjawab atas pelaksanaan hukum secara tegas, konsekuen dan konsisten menerapkan hukum dalam penanganan perkara pidana.

Gustav Radbruch mengatakan bahwa hukum yang baik adalah ketika hukum tersebut memuat nilai keadilan, kepastian hukum dan kegunaan. Sekalipun ketiganya merupakan nilai dasar hukum namun masing-masing nilai mempunyai tuntutan yang berbeda satu dengan yang lainnya, sehingga ketiganya mempunyai potensi untuk saling bertentangan dan menyebabkan adanya ketegangan antara ketiga nilai tersebut

(spannungverhaltnis)13. Hukum sebagai pengemban nilai

keadilan menurut Gustav Radbruch menjadi ukuran bagi adil tidaknya tatanan hukum. Tidak hanya itu, nilai keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai hukum. Dengan demikian keadilan memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif bagi

13 Tanya Bernard, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,

(27)

hukum. Keadilan menjadi landasan moral hukum dan sekaligus tolok ukur sistem hukum positif. Kepada keadilanlah hukum positif berpangkal. Sedangkan konstitutif, karena keadilan harus menjadi unsur mutlak bagi hukum sebagai hukum. Tanpa keadilan, sebuah aturan tidak pantas menjadi hukum.14

Apabila dalam penegakan hukum cenderung pada nilai kepastian hukum atau dari sudut peraturannya, maka sebagai nilai ia telah menggeser nilai keadilan dan kemanfaatan. Hal ini dikarenakan di dalam kepastian hukum yang terpenting adalah peraturan itu sendiri sesuai dengan apa yang dirumuskan. Begitu juga ketika nilai kegunaan/kemanfaatan lebih diutamakan, maka nilai kemanfaatan akan menggeser nilai kepastian hukum maupun nilai keadilan karena yang terpenting bagi nilai kemanfaatan adalah kenyataan apakah hukum tersebut berguna bagi masyarakat. Juga ketika yang diperhatikan hanya nilai keadilan, maka akan menggeser nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan, sehingga dalam penegakan hukum harus ada keseimbangan antara ke tiga nilai tersebut.15

Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum sebagai tiang penyanggah penegakan hukum dan ketiga-tiganya diperlukan untuk sampai pada pengertian dan implementasi hukum yang memadai. Penegakan hukum yang berkeadilan seharusnya sarat dengan etis dan moral.16 Penegakan hukum seharusnya dapat memberi manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat. Namun disamping itu masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan hukum untuk mencapai keadilan. Kendatipun demikian terkadang apa yang dianggap berguna/bermanfaat belum tentu adil, begitu juga sebaliknya, apa yang dirasakan adil, belum tentu berguna/ bermanfaat bagi masyarakat. Tetapi yang pasti apakah itu adil menurut masyarakat atau bermanfaat untuk masyarakat, harus

14 Ibid. 15 Ibid 16 Ibid

(28)

ada kepastian hukum di dalamnya.

2. Kerangka Konsepsional

Konsepsi dalam penelitian ini adalah pembatasan dan pengertian untuk memudahkan dalam memahami topik penelitian sekaligus sebagai pedoman operasional dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan konstruksi data. Adapun beberapa istilah yang perlu dijelaskan adalah:

Pengertian

a. Optimalisasi dalam penelitian ini menurut Kamus

Besar Bahasa Indonesia adalah suatu proses, cara dan perbuatan untuk mengoptimalkan menjadikan paling baik, paling tinggi dan sebagainya.

Pengertian

b. Tunggakan dalam penelitian ini adalah utang/

kewajiban lain yang telah jatuh tempo menurut perjanjian tapi tidak / belum dibayar sepenuhnya. 17

Pengertian

c. Uang Pengganti dalam penelitian ini adalah salah

satu hukuman pidana tambahan dalam perkara tindak pidana korupsi yang diputus berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang harus dibayar oleh terpidana kepada negara yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Uang pengganti terjadi akibat adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht) yang dijatuhkan kepada terpidana untuk dibayar/ dikembalikan kepada negara melalui Kas Negara.18

17 www.arti-difinisi.com, diakses terakhir tanggal 13 Februari 2016.

18 Kejaksaan Agung RI, Pedoman Penyelesaian dan Kebijakan Akuntansi Atas Piutang Negara

Uang Pengganti Perkara Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Biro Keuangan Kejaksaan Agung RI,

(29)

F. Metodologi Penelitian

Sifat dan Tipe Penelitian 1.

Penelitian “Optimalisasi Penyelesaian Tunggakan Uang Pengganti Yang Diputus Berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”, bersifat deskriptif dengan tipe penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris. Yuridis normatif berarti penelitian dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang permasalahan-permasalahan yang diteliti. Yuridis empiris berarti bagaimana ketentuan itu dilaksanakan di lapangan.

Jenis Data, Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data 2.

Jenis Data a.

Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu data primer dan data sekunder.

Sumber Data. b.

Data primer diperoleh dari penelitian lapangan (field research), dan data sekunder diperoleh dari penelitian kepustakaan (library

research) berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku

dan literatur lainnya yang berkaitan dengan penyelesaian tunggakan uang pengganti yang diputus berdasarkan Undang Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

Teknik Pengumpulan Data c.

Data primer dikumpulkan melalui teknik wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide). Sementara data sekunder dikumpulkan melalui penelusuran terhadap peraturan perundang-undangan serta dokumen lainnya yang berkaitan dengan topik/masalah yang diteliti.

(30)

Tata Cara Pengambilan sampel 3.

Pengambilan sampel penelitian menggunakan teknik non

probability sampling jenis purposive sampling, yaitu sampel

dipilih berdasarkan pertimbangan dan penilaian subyektif peneliti, kemudian peneliti sendiri yang menentukan responden mana yang dianggap dapat mewakili populasi.

Analisa Data 4.

Data primer dan data sekunder yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian kepustakaan dan hasil penelitian lapangan akan dianalisa secara kualitatif.

5. Lokasi dan Responden Penelitian Lokasi Penelitian

a.

Lokasi yang dijadikan sampel penelitian meliputi 6 (enam) wilayah hukum Kejaksaan Tinggi yaitu :

1) Kejati Sumatera Barat. - Kejaksaan Tinggi

- Kejaksaan Negeri Padang - Kejaksaan Negeri Solok - Kejaksaan Negeri Pariaman - Kejaksaan Negeri Lubuk Basung 2) Kejati Bangka Belitung

- Kejaksaan Negeri Pangkal Pinang - Kejaksaan Negeri Sungai Liat - Kejaksaan Negeri Koba

- Cabang Kejari Sungai Liat di Blinyu 3) Kejati Jawa Timur

- Kejaksaan Tinggi

- Kejaksaan Negeri Surabaya - Kejaksaan Negeri Gresik

(31)

- Kejaksaan Negeri Pasuruan - Kejaksaan Negeri Jombang - Kejaksaan Negei Mojokerto 4) Kejati Kalimantan Timur - Kejaksaan Tinggi

- Kejaksaan Negeri Samarinda - Kejaksaan Negeri Balikpapan - Kejaksaan Negeri Tenggarong 5) Kejati Nusa Tenggara Barat - Kejaksaan Tinggi

- Kejaksaan Negeri Mataram - Kejaksaan Negeri Praya - Kejaksaan Negeri Selong 6) Kejati Sulawesi Utara. - Kejaksaan Tinggi

- Kejaksaan Negeri Manado - Kejaksaan Negeri Bitung - Kejaksaan Negeri Tondano

7) Sebagai data pembanding, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta

Responden Penelitian b.

Responden berjumlah 212 responden, terdiri dari : Dari unsur Kejaksaan Tinggi :

1)

Kajati/Wakajati, Asdatun, Aspidsus, Koordinator Datun, Kasi Perdata dan Jaksa Pengacara Negara.

Dari unsur Kejaksaan Negeri : 2)

Kajari, Kasi Datun, Kasi Pidsus dan Jaksa Pengacara Negara.

Dari unsur Cabang Kejaksaan Negeri : 3)

(32)

G. Tahap Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam waktu 9 (sembilan) bulan, terhitung mulai bulan April 2016 sampai dengan bulan Desember 2016 dengan melalui tahapan sebagai berikut :

1) Pembuatan research design 2 minggu

2) Pembuatan Instrumen Penelitian dan Pre-Test 1 minggu

3) Penjajagan 2 minggu

4) Pengurusan ijin penelitian 1 minggu

5) Pengumpulan data pustaka 2 minggu

6) Pengumpulan data lapangan 12 minggu

7) Pengolahan data 3 minggu

8) Penulisan laporan sementara 2 minggu

9) Diskusi laporan sementara hasil penelitian 2 minggu

10) Perbaikan laporan sementara 2 minggu

11) Penulisan laporan akhir dan abstraksi 4 minggu

12) Penggandaan dan pendistribusian hasil penelitian 3 minggu

(33)

BAB II

PENYAJIAN DATA

Bab II ini menyajikan data dan fakta yang diperoleh di lapangan tentang pentingnya mengoptimalkan penyelesaian tunggakan uang pengganti yang diputus berdasarkan Undang Undang No 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pengumpulan data penelitian dilaksanakan selama periode bulan April sampai dengan bulan September 2016 di 6 (enam) wilayah hukum Kejaksaan Tinggi yang menjadi lokasi penelitian meliputi Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat, Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur, Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Kejaksaan Tinggi Bangka Belitung, dan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara, dengan melakukan wawancara kepada 212 (dua ratus dua belas) responden yang terdiri dari 156 (seratus

lima puluh enam)responden Kejaksaan, 36 (tigapuluh enam) responden

Hakim PN, 10 (sepuluh) responden BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan 10 (sepuluh) responden Akademisi. Adapun hasil data yang diperoleh diolah sebagai berikut :

Responden Kejaksaan RI

A.

Responden Kejaksaan berjumlah 156 (seratus lima puluh enam) terdiri dari :

1. Di lingkungan Kejaksaan Tinggi meliputi Kajati/Wakajati, Asdatun, Aspidsus, Koordinator Datun, Kasi Perdata/PPH, Jaksa Pengacara Negara/Jaksa Fungsional.

2. Di lingkungan Kejaksaan Negeri meliputi Kajari, Kasi Datun, Kasi Pidsus, Jaksa Fungsional / Jaksa Pengacara Negara.

1. Wilayah Hukum Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat

Lokasi pengumpulan data penelitian di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Barat meliputi Kejati Sumatera Barat, Kejari

(34)

Padang, Kejari Batu Sangkar, Kejari Solok, Kejari Pariaman dan Kejari Lubuk Basung. Responden keseluruhan berjumlah 27 (dua puluh tujuh) responden. Di wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat, tunggakan uang pengganti per saldo awal Januari 2014 berjumlah kurang lebih Rp. 1.537.578.183,- (Satu Milyar lima ratus tiga puluh tujuh juta lima ratus tujuh puluh delapan ribu seratus delapan puluh tiga rupiah). Pada saldo akhir per Maret 2016, terjadi pembayaran tunggakan uang pengganti sebesar Rp.721.067.344,- (Tujuh ratus dua puluh satu juta enam puluh tujuh ribu tiga ratus empat puluh empat rupiah), sehingga sisa tunggakan menjadi Rp. 816.510.739,- (Delapan ratus enam belas juta lima ratus sepuluh ribu tujuh ratus tiga puluh sembilan rupiah). Selengkapnya dapat dilihat pada tabel tunggakan uang pengganti yang diputus berdasarkan UU No 3 Tahun 1971 di wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat (saldo per-akhir Maret 2016) :

Tabel 1

Tunggakan uang pengganti yang diputus berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 1971 Wilayah Hukum Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat

MUTASI (Rp) 180.000.000 14.400.500 97.495.200 16.224.555 SATKER Kejari Padang 1. (guruh PramoNo-mor, SH) Kejari Bukittinggi 2. (Hotman) Kejari Sijunjung 3. (Moersyid Malik, BA) Kejari Batusangkar 4. Kejari Solok (-) (Rp) 33.300.000 32.054.800 16.224.555

SALDO AWAL PER 31 Des 2014 JUMLAH UANG PENGGANTI (Rp) 180.000.000 43.250.500 125.000.000 16.224.555 KET Gugatan perdata putusan Nomor. 30/ Pdt.G/2015/PN PDG tgl. 02 Februari 2015 Masih Mencicil setiap bulan Rp.300.000,-Masih Mencicil Setiap Bulan

Ahli waris yang bersang-kutan telah melakukan pelunasan dengan SSBP Nomor. 15/3/2015 tgl. HUKU-MAN JML PRKARA 1

SALDO AKHIR PER Maret 2016 (-) (Rp) No

(35)

-865.000 150.000.000 150.000.000 214.402.344 25.000.000 108.901.500 5. Kejari Solok 1. Rusmianto, SPd 2. Amir Syarifud-din 3. Willian Lambing 6. Kejari pariaman 1. Ir. Nasrul

Syah-run, N

2. Masri Kasim, SE

3. Amran Rajo Intan 7. Kejari Padang

Pan-jang (Syaukani ST)

8. Kejari Painan (as-rial Najar, BA)

9. Kejari Lubuk Basung (Kasiran) 21.832.250 108.901.500 -45.619.470 452.207.564 5.140.000 150.000.000 150.000.000 214.402.344 25.000.000 21.832.250 108.901.500 10 Maret 2015 atas putusan PN Btusangkar Tgl. 18 Januari 2014 Nomor. 22/Pdt.G/2014/ PN Bsk

Putusan Kasasi Nomor. 1088.K/Pid/2004 tgl. 05 Juni 2008 (terdakwa bebas)

Masih Kasasi 19 Maret 2008 Tidak Ba-yar lagi dan Grasi (belum diserahkan ke datun)

Gugatan Perdata Nomor. 26/Pdt.G/2013/PN.Prm (sudah inkracht) Gugatan Perdata Nomor. 26/Pdt.G/2013/PN.Prm (sudah inkracht) Belum melakukan gugatan (tidak berada di alamat semula) Gugatan Perdata di PN Padang Panjang Nomor. 07/Pdt.G/2015/PN.Pp tgl 21 Oktober 2015 SSBP Nomor. 60 dan 63/00664/5/2013 tgl. 15 Mei 2013 (lunas) Putusan Nomor. 27/ Pdt.G/XI/2013-PN.LBBS jo 119/Pdt/2014 telah melakukan pelunasan tanggal 15 Desember 2015 dengan SSBP Nomor. 208 3 3 1 1 1

(36)

Berdasarkan data sisa tunggakan uang pengganti di wilayah hukum Kejati Sumbar per saldo akhir Maret 2016 seperti tersebut pada tabel di atas, memberikan gambaran bahwa selama ini Kejati Sumbar telah berhasil mengembalikan tunggakan uang pengganti, walaupun belum berhasil mencapai tingkat capaian 100%. Hal ini lebih disebabkan masih ditemukan permasalahan-permasalahan yang menjadi kendala dalam pelaksanaannya, baik kendala yang bersifat teknis yuridis maupun non teknis lainnya, yaitu :

Keterbatasan anggaran Bidang Datun dalam DIPA sehingga untuk a.

beaya pengajuan gugatan perdata uang pengganti tidak tersedia. Kalaupun tetap melakukan gugatan perdata, harus dengan melakukan perubahan peruntukkan DIPA, dan dikhawatirkan akan ada temuan BPK.

Masih terdapat ketidak sinkronan data antara data Kejaksaan b.

Tinggi dengan data yang ada di Kejaksaan Negeri terkait dengan jumlah tunggakan uang pengganti yang diputus berdasarkan UU No 3 Tahun 1971. (tertib administrasi).

Pada umumnya gugatan perdata yang sudah

c. inkracht tidak dapat

dieksekusi/ditindaklanjuti karena domisili atau tempat tinggal/ alamat terpidana atau ahli waris tidak diketahui/sulit dilacak, dan terpidana atau ahli warisnya juga sudah tidak mempunyai harta benda untuk membayar uang pengganti, dengan kata lain sudah jatuh miskin. Sehingga ada ungkapan di kalangan JPN terhadap gugatan perdata yang sudah inkracht yaitu “menang di atas kertas”.

Kendala yang dihadapi satuan kerja Kejari tersebut di atas tetap harus diatasi supaya pembayaran tunggakan uang pengganti dapat berjalan dengan lancar melalui langkah-langkah strategis, yaitu :

Menindaklanjuti Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: Per-020/A/ a.

JA/07/2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Uang Pengganti Yang Diputus Pengadilan berdasarkan UU No 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

(37)

dengan melakukan 2 (dua) cara penyelesaian, yaitu melalui jalur

non litigasi yaitu melakukan negosiasi kepada terpidanadan/

ahli waris terhadap kewajiban membayar uang pengganti sesuai kemampuannya/dengan cara mencicil; atau melalui jalur litigasi yaitu dengan mengajukan gugatan perdata;

Melakukan inventarisasi perkara yang terkait dengan uang b.

pengganti yang diputus berdasarkan UU No 3 Tahun 1971; Melakukan rekonsiliasi dengan bidang pembinaan dalam c.

rangka meng-update setiap perkembangan penanganan uang pengganti;

Melakukan pemanggilan terhadap terpidana bekerja sama d.

dengan petugas lingkungan sekitar tempat tinggal terpidana jika Surat pemanggilan tidak di respon oleh terpidana atau ahli warisnya;

Melakukan pelacakan aset terhadap harta terpidana yang diduga e.

hasil dari kejahatan tindak pidana korupsi bekerjasama dengan bidang intelijen (asset tracing);

Menindak lanjuti Surat Jaksa Agung RI Nomor: B-012/A/ f.

Cu.2/01/2013 tentang Pedoman Penyelesaian Kebijakan Akuntansi atas Piutang Negara Uang Pengganti.

Sebagai pengendali kebijakan, Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat terus mendorong kepada seluruh satker/Kejari-kejari yang ada di wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat untuk lebih mengoptimalkan kinerjanya dalam menyelesaikan tunggakan uang pengganti yang diputus berdasarkan UU No 3 Tahun 1971 melalui:

Mengoptimalkan ketersediaan sarana dan prasarana dengan a.

lebih mengefektifkan SDM pada masing-masing satuan kerja/ Kejaksaan Negeri khususnya bidang Perdata dan Tata Usaha Negara; dan ketersediaan anggaran dalam DIPA, khususnya anggaran untuk penyelesaian tunggakan uang pengganti;

Mempedomani peraturan perundang-undangan maupun b.

(38)

peraturan Jaksa Agung yang terkait dengan tata cara penyelesaian tunggakan uang pengganti yang diputus berdasarkan UU No 3 Tahun 1971.

Terkait dengan kendala yang dihadapi JPN di lapangan dalam penyelesaian tunggakan uang pengganti yang diputus berdasarkan UU No 3 Tahun 1971, secara umum responden memberikan saran / langkah-langkah penyelesaian sebagai berikut :

Dibentuk satuan tugas khusus (satgas) penyelesaian tunggakan a.

uang pengganti yang diputus berdasarkan UU No 3 Tahun 1971;

Walaupun ketersedian SDM (JPN) khususnya di Kejaksaan b.

Tinggi Sumatera Barat maupun di 4 (empat) Kejaksaan Negeri yang menjadi sampel penelitian cukup memadai sesuai kebutuhan dan cukup profesional, namun untuk lebih meningkatkan kemampuannya perlu dilakukan diklat teknis khusus tentang kemampuan JPN terutama dalam kemampuan sebagai negosiator handal;

Dibentuk

c. database melalui teknologi tentang data uang pengganti

yang sudah diselesaikan, data uang pengganti yang masih dalam proses dan data uang pengganti yang tertunggak berikut kendala yang dihadapi.

2. Wilayah Hukum Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur

Lokasi pengumpulan data penelitian di Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur meliputi Kejati Kaltim, Kejari Samarinda, Kejari Balikpapan, Kejari Tanah Grogot, dan Kejari Tenggarong. Responden berjumlah 27 (dua puluh tujuh) responden. Tunggakan uang pengganti untuk wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur (saldo per Maret 2016) yang diputus berdasarkan UU No 3 Tahun 1971 berjumlah kurang lebih Rp. 2.023.173.518,66,- (Dua Milyar Dua Puluh Tiga Juta Seratus tujuh Puluh tiga Ribu Lima Ratus Delapan Belas Rupiah koma Enam Puluh Enam Sen), dan berhasil

(39)

dibayarkan/dikembalikan sebesar Rp. 50.000.000,- (Lima Puluh Juta rupiah). Terdapat sisa tunggakan sebesar Rp. 1.973.173.518,66,- (Satu Milyar Sembilan Ratus Tujuh Puluh Tiga Juta Seratus tujuh Puluh tiga Ribu Lima Ratus Delapan Belas Rupiah koma Enam Puluh Enam Sen). Selengkapnya dapat dilihat pada tabel tunggakan uang pengganti berdasarkan UU No 3 Tahun 1971 di wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur (saldo per-akhir Maret 2016) :

Tabel 2

Tunggakan Uang Pengganti Yang Diputus Berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 1971 Wilayah Hukum Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur

SALDO AWAL PER

31 Des 2014 JUMLAH UANG PENGGANTI (Rp) 1.670.332.943,66 60.249.250,00 50.000.000,00 50.000.000,00 MUTASI (Rp) 2.500.000,00 50.000.000,00 50.000.000,00 (-) (Rp) 1.642.182.943,66 57.749.250,00 KET Put Nomor.75/ Pid.B/K/2001 PT KT Smda, tgl 3/01/2012 blm dilakukan gugatan pdt ybs sdh tdk tingggal dialmt smula Put Nomor.03/ 1990/Pid.B/K/ PT KT Smda, tgl 21/07/2002blm dilakukan gugatan pdt ybs sdh tdk tingggal dialmt smula Put Nomor.1150 K/Pid/1991,tgl 31/08/1991blm dilakukan gugatan pdt ybs sdh tdk tingggal dialmt smula SATKER Kejari Samarinda 1. Drs. Wagiyo 2. Lego Nir-woNomor 3. Yohanes Sareh R. HUKU-MAN JML PRKARA 7

SALDO AKHIR PER Maret 2016

(-) (Rp)

No

(40)

17.000.000,00 75.477.766,66 10.000.000,00 1.429.455.927,00 40.000.000,00 30.000.000,00 17.000.000,00 40.050.000,00 1.700.000,00 5.750.000,00 30.000.000,00 1.423.705.927,00 40.000.000,00

Akn dilakukan gu-gatan pdt Ybs. Sdh meninggal dunia. Isteri terpidana selaku ahli waris menyatakan tidak mampu membayar sesuai Surat Pernyataan Tidak Mampu membayar tertanggal 16 Feb 2007 dan telah cerai sejak tahun 1993 sesuai Putu-san PA Nomor.07/ Pdt.G/1993/PA Smda Tgl 9 Maret 1993. Blm dilakukan gugatan per-data. Cicilan Ybs. Rp.15.050.000. Blm dilakukan gugatan perdata Ybs. Tlh dibuatkan panggilan tdkwa tdk brada dialamat semula Nomor.19/Pdt/G/ 2013/PNTG 26 feb 2014 (Inkracht) Ybs Tdk mampu mem-bayar berdasar Surat Keterangan Tidak Mampu dari Kpl Desa Gunung 4. Achmad Hidayat 5. Drs. M. Souleh Bin Gusti Nanang 6. M. Syahrir 7. Drs. Yacop Pasang Bin Hendrik Pasang Kejari Tanah Grogot 1. PurNo-mormo Bin Sutowiry-oNomor 2

(41)

10.000.000,00 290.990.575,00 290.990.575,00 18.442.225,00 UANG PENGGANTI 2.023.173.518,66 10.000.000,00 290.990.575,00 18.442.225,00 CICILAN 50.000.000,00 290.990.575,00 18.442.225,00 SISA UANG PENGGANTI 1.973.173.518,66 Makmur Tnh grogot Nomor.045/ Gro/SK-TM/ IX/2001 Tanggal 11/09/2001. Nomor.20/Pdt/ G/2013/PNTG 26 feb 2014 (inkracht) tapi Ybs sdh tdk tinggal dialamat semula Put. Kasasi MA Nomor:48K/ Pdt/2010 MeNom-orlak Kasasi dan menghukum dg membayar uang pengganti Rp. 290.990.575,00. JPN tlh bermohon ke PN Tj. Selor utk eksekusi Put MA dan tlh menyurati Pemprop Ksltara agar Ybs. Memba-yar uang pengganti kpd Kjari Tj. Selor melalui sekretaris-prop Kaltara dmna Ybs msh brstatus PNS di SKPD. Telah Melakukan Pelunasan Uang Pengganti Pada Tanggal 22 Juni 2015 2. Franklin BiraliNo-mor Bin Kamondjo BiraliNo-mor Kejari Tanjung Selor

Ir. Abd. Latif, Msi Bin Badarudin Kejari Redeb JUMLAH TOTAL PADA 4 (empat) KEJARI YANG DIJADIKAN SAMPLE PER FEBRUARI 2016 1 1 PERKA-RA 10 3 4

(42)

Dari 4 Kejaksaan Negeri yang dijadikan sampel penelitian(Kejari Balikpapan, Kejari Samarinda, Kejari Tanah Grogot, dan Kejari Tenggarong), hanya 2 Kejari yang pernah/sedang menangani gugatan perdata terhadap uang pengganti yaitu Kejari Samarinda dan Kejari Tanah Grogot, padahal di wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur, terdapat 3 Kejari yang sampai bulan Maret 2016 masih menangani permasalahan gugatan perdata uang pengganti yaitu Kejari Samarinda, Kejari Tanah Grogot dan Kejari Tanjung Selor. Berdasar data pada tabel di atas, memberikan petunjuk bahwa Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur belum maksimal menyelesaikan tunggakan uang pengganti yang diputus berdasarkan UU No 3 Tahun 1971. Hal ini disebabkan karena di lapangan masih banyak ditemukan permasalahan-permasalahan yang menjadi kendala dalam pelaksanaanya, baik kendala yang bersifat teknis yuridis maupun kendala non teknis, yaitu :

Masih terdapat adanya ketidak sinkronan data antara Kejaksaan a.

Tinggi dengan data yang ada di Kejaksaan Negeri terkait dengan jumlah tunggakan uang pengganti yang diputus berdasarkan UU No 3 Tahun 1971;

Tidak tersedianya anggaran dalam DIPA untuk pengajuan b.

gugatan perdata dalam upaya menyelesaikan tunggakan uang pengganti yang diputus berdasarkan UU No 3 Tahun 1971; Terhadap gugatan perdata yang sudah

c. inkracht sebagian besar

tidak dapat dilakukan eksekusi karena terpidana meninggal dunia, atau terpidana dan/atau ahli waris tidak mampu membayar uang pengganti, atau alamat terpidana dan/ahli waris tidak dapat ditemukan.

Kendala-kendala tersebut di atas menjadikan tertundanya penyelesaian tunggakan uang pengganti oleh satuan kerja Kejari setempat, dan harus segera diselesaikan supaya tidak menjadikan piutang yang berkepanjangan melalui langkah-langkah strategis. Langkah Kejati Kaltim dan Kejari Samarinda serta Kejari Tanah

(43)

Grogot untuk menyelesaikan tunggakan uang pengganti yang diputus berdasarkan UU No 3 Tahun 1971 adalah :

Melakukan inventarisasi perkara yang terkait dengan uang a.

pengganti yang diputus berdasarkan UU No 3 Tahun 1971 (melakukan update data perkembangan penyelesaian tunggakan uang pengganti).

Menindaklanjuti Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: Per-020/A/ b.

JA/07/2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Uang Pengganti Yang Diputus Pengadilan berdasarkan UU No 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan menerapkan langkah-langkah :

Non litigasi

1) :

Melakukan pemanggilan terhadap terpidana bekerja a)

sama dengan petugas lingkungan sekitar tempat tinggal terpidana jika surat pemanggilan tidak di respon oleh terpidana dan/ ahli waris (apabila alamat terlacak); Lebih proaktif bekerjasama dengan lingkungan RT/ b)

RW dimana terpidana dan/ahli waris bertempat tinggal (apabila alamat terlacak);

Melakukan penagihan terhadap terpidana dan/ahli c)

waris;

Melakukan negosiasi/kesepakatan dengan terpidana d)

dan/ahli waris terhadap kesanggupan membayar uang pengganti sesuai kemampuannya sebelum mengajukan gugatan perdata;

Melakukan pelacakan aset terhadap harta terpidana e)

yang diduga hasil dari kejahatan tindak pidana korupsi melalui kerjasama dengan bidang intelijen kejaksaan (asset tracing) dan instansi terkait.

2). Litigasi melalui pengajuan gugatan perdata.

Referensi

Dokumen terkait