• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat. Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Disusun oleh: Muhamad Roihan ( )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat. Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Disusun oleh: Muhamad Roihan ( )"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

PEMAHAMAN KEADILAN PADA PRAKTIK PEMBAGIAN HARTA WARISAN TERHADAP PEREMPUAN STUDI KASUS PADA MASYARAKAT KAMPUNG WARUNG BANDREK KELURAHAN

BONDONGAN BOGOR SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Disusun oleh: Muhamad Roihan

(1113044000110)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2020 M/ 1441 H

(2)

i

PEMAHAMAN KEADILAN PADA PRAKTIK PEMBAGIAN HARTA WARISAN TERHADAP PEREMPUAN DI MASYARAKAT KAMPUNG

WARUNG BANDREK KELURAHAN BONDONGAN BOGOR

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

MUHAMAD ROIHAN NIM.1113044000110

Pembimbing:

HOTNIDAH NASUTION M.A NIP. 197101311997032010

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2020 M/ 1441 H

(3)

ii

KELURAHAN BONDONGAN BOGOR” telah diajukan dalam sidang

munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Keluarga Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 13 Mei 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Hukum Keluarga.

Jakarta, 13 Mei 2020 Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr.H.Ahmad Tholabie Kharlie, M.A.

NIP. 19760807 2003 12 1 001

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1. KETUA :Dr. Hj. Mesraini. S.H., M.Ag. ( ) NIP. 19760213 2003 12 2 001

2. SEKRETARIS : Achmad Chairul Hadi, M.A. ( ) NIP. 19720531 2007 10 1 002

3. PEMBIMBING : Hotnidah Nasution, M.A. ( ) NIP. 197101311997032010

4. PENGUJI I : Sri Hidayati, M.Ag. ( ) NIP.19710215 199703 2 002

5. PENGUJI II : Hj. Rosdiana, M.A. ( )

(4)
(5)

iv

Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/ 2020 M. ix 71 Halaman+ 27 Halaman lampiran

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui praktik pemahaman keadilan pembagian harta warisan terhadap terhadap perempuan pada masyarakat kampung Warung Bandrek, kelurahan Bondongan serta untuk mengetahui pembagian hukum waris menurut hukum islam dan hukum adat yang diterapkan di Kampung Warung Bandrek, kelurahan Bondongan Bogor

Adapun penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, berdasarkan objeknya dimana data diperoleh dari wawancara, observasi, studi pustaka, dan dokumentasi sehingga diketahui pembagian waris terhadap perempuan di Kampung Warung Bandrek, setelah data terkumpul kemudian di analisis secara deskriptif, analisis ini peneliti gunakan untuk menganalisis pada pemahaman keadilan praktik pembagian harta warisan terhadap perempuan dan kemudian dikaitkan kepada hukum waris islam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat kampung warung bandrek kebanyakan menerapkan pembagian warisan terhadap perempuan secara sama rata bahkan sebagian masyarakat kampung warung bandrek ada yang menerapkan pembagianya lebih banyak perempuan daripada laki-laki. Pada pemaknaan keadilan waris terhadap perempuan dikarenakan perempuan lebih bertanggung jawab dan berperan dalam keluarga dibandingkan dengan laki-laki, untuk itu pemaknaan keadilan bagi perempuan harus memperhatikan dalam membagikan harta waris terhadap perempuan yaitu dibagikan secara sama rata. Tradisi pembagian waris terhadap perempuan di warung bandrek menurut hukum islam ini adalah tradisi yang bertentangan menurut hukum islam, namun imam mazhab mempunyai pendapat yang berbeda-beda, sehingga terjadi semacam kesepakatan, bahwa hukum waris islam ini masuk kedalam kategori yang berkaitan dengan mu‟amalah. Oleh karena itu masih sangat dimungkinkan adanya penemuan formulasi yang baru untuk aturan bagian tersebut sesuai dengan kondisi masa kini.

Kata kunci : Kewarisan Perempuan, Keadilan, Hukum Islam Pembimbing : Hotnidah Nasution, M.A.

(6)

v

Nya kepada manusia di muka bumi ini, wabil khusus kepada penulis. Shalawat beriringan dengan salam kepada Nabi Besar Muhammad Saw, serta keluarga, para sahabatnya, dan para tabiin-nya yang merupakan sosok suri tauladan bagi seluruh manusia.

Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis menerima banyak bantuan dari berbagai pihak, sehingga dapat terselesaikan atas izin-Nya. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, baik itu bantuan secara moril maupun materil, khususnya kepada:

1. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri ( UIN ) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Wakil Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum.

2. Dr. Hj. Mesraini, S.H., M.Ag., Ketua Program Studi Hukum Keluarga beserta Achmad chairil Hadi M.A., Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga, yang selalu mendukung dan memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan penulisan skripsi ini.

3. Hj. Hotnidah Nasution, M.A., Dosen Fakultas Syariah dan Hukum sekaligus sebagai dosen pembimbing skripsi penulis, yang selalu sabar dan selalu memberikan arahannya untuk membimbing penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.

4. Fitria S.H., MR., dan Mustolih., Dosen Fakultas Syariah dan Hukum sekaligus sebagai Dosen Pembimbing Akademik penulis, yang telah sabar mendampingi hingga semester akhir.

5. Sri Hidayati, M.Ag., dan Hj. Rosdiana, M.A., yang telah bersedia menjadi penguji dalam siding munaqosyah dan memberikan masukan serta arahannya demi kesempurnaan skripsi ini.

6. Seluruh civitas akademik serta dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah berkontribusi mengajarkan penulis berbagai macam keilmuan mulai dari teori dan praktik. Semoga Allah membalas kebaikan bapak dan ibu. Aamiin.

7. Seluruh staf Fakultas Syariah dan Hukum dan staf Jurusan Hukum Keluarga yang telah memberikan kemudahan dalam pembuatan surat-surat dan sertifikat.

(7)

vi

Khodijah, Muhammad Fadli, Nur Fadilah, dan yang terakhir si bungsu Nikmatul Wardiah.

9. Sahabat-sahabat seperjuanganku, Ali Ahmadi, Rista Aslin Nuha, Reza Amri Wildan, Rio Rusdiansyah, Gus Baha, Muhammad Faqih, Agung Nugraha, Abdul Malik, Kang Mamat Fahdoli, Kang Ainut, Kang Lili, Kang Aqib, Kang Iqbal Fahmi, Herman yang selalu setia menemani penulis ke perpustakaan, memotivasi penulis ketika merasa lelah, memberi dukungan kepada penulis agar tetap semangat dan bisa menggapai kesuksesan.

10. Teman-teman KKN Maju Jaya, Faisal, Asfar, Hefsi, Fikri, Inaya, Anisa, Lia, Lea, Novi, Diana sebulan kita pernah bersama-sama mengabdi di desa sukatani menjalani kewajiban sebagai mahasiswa, semoga persaudaraan kita tetap terjaga.

11. Sahabat-sahabat Indekos Nirmala Ali Ahmadi, Rista Aslin Nuha, Kang Ainut, Kang Mamat, Reza, Rio semoga kita semua sukses dan bisa menjalin silaturahmi

12. Keluarga besar IKAMUS, keluarga besar Himpunan mahasiswa Madina ciputat, Himpunan Mahasiswa Bogor, Keluarga besar Peradilan Agama

Tiada kata seindah lantunan Do‟a, demikian seuntai kata penuh makna yang tertuang sebagai pengantar dari goresan karya sederhana. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Masih terdapat kekurangan dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini yang sisebabkan oleh keterbatasan penulis. Oleh karena itu penulis mengarapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kebaikan di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khusunya, dan pembaca yang budiman umumnya, serta dicatat sebagai amal baik disisi Allah. Aamiiin.

Jakarta, 25 Maret 2020 1 Sya‟ban 1441 H

(8)

vii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 6

D. Tujuan dan Manfaat penelitian... 6

E. Review Studi Terdahulu ... 7

F. Metode Penelitian... 8

G. Sistematika Penulisan ... 11

BAB IISISTEM KEWARISAN MENURUT HUKUM ISLAM A. Pengertian Dasar Hukum Kewarisan Islam ... 12

B. Sebab-sebab,Rukun-rukun,Syarat-syaratdan PenghalangKewarisan.. ... 18

C. Asas-asas Kewarisan Islam ... 26

D. Kewajiban Ahli Waris Sebelum Mendapatkan Kewarisan ... 32

E. Ahli Waris dan Bagian-bagiannya ... 34

F. Proses Pewarisan ... 41

G. Teori tentang Keadilan dalam Waris... 42

BABIII GAMBARAN MASYARAKAT KAMPUNG WARUNG BANDREK KELURAHAN BONDONGAN BOGOR A. Kondisi Geografis Kampung Warung Bandrek Kelurahan Bondongan ... 46

B. Kondisi Sosial, Budaya, Agama, di Kampung Warung Bandrek ... ... 48

(9)

viii

... 50 B. Pemaknaan Keadilan Waris Terhadap Perempuan di Masyarakat

Kampung Warung Bandrek... 53 C. Analisis Hukum Islam Pada Pemaknaan keadilan Waris Terhadap

Perempuan ... 56 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 59 B. Saran ... 61 DAFTAR PUSTAKA ... 62 LAMPIRAN

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Masyarakat dan hukum adalah dua hal yang tidak dapat di pisahkan. Salah satu fungsi hukum adalah menjaga dan melindungi masyarakat dari kesewenang-wenangan.Setiap manusia pasti mengalami peristiwa kelahiran dan akan mengalami kematian, peristiwa kelahiran seseorang tentu akan menimbulkan akibat-akibat hukum. Seperti timbulnya hubungan hukum dengan masyarakat sekitar dan timbulnya hak dan kewajiban pada dirinya. Peristiwa kematian pun akan menimbulkan akibat hukum kepada orang lain, terutama kepada pihak keluarga dan pihak-pihak tertentu yang ada hubungan dengan si mayat semasa hidupnya1.

Masyarakat tanpa hukum akan jauh dari ketertiban dan keadilan. Sedangkan hukum tanpa masyarakat maka hukum akan mati. Dalam konteks Indonesia, dikenal pluralisme hukum yang belum mengarah pada unifikasi, disebabkan bangsa Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi pluralisme, baik dari segi bahasa, ras dan agama. Hal ini melahirkan perbedaan makna mengenai keadilan ditengah-tengah masyarakat khususnya dalam hal kewarisan.

Saat ini pengaturan hukum waris yang merupakan bagian dari hukum perdata di Indonesia masih bersifat pluralisme. Hal ini tidak terlepas dari historikal berlakunya hukum perdata di indonesia. Sebelum Indonesia merdeka, sebagai akibat penjajahan kolonial Belanda, politik hukum pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu terjadi penggolongan hukum dan penggolongan penduduk.

Berkenaan dengan penyelesaian masalah kewarisan, di Indonesia terdapat beragam sistem kewarisan yang berlaku yakni: sistem hukum kewarisan perdata (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) disingkat

1Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, November 2002). h. 13

(11)

KUHPer, sistem hukum kewarisan adat yang beraneka ragam pula sistemnya yang dipengaruhi oleh bentuk etnis di berbagai daerah lingkungan hukum adat, dan sistem hukum kewarisan islam yang terdiri dari pluralisme ajaran bersifat religi.2

Keanekaragaman hukum bukanlah sesuatu yang perlu di hindari, sepanjang tidak dimaksudkan untuk memberi hak istimewa atau sebaliknya. Untuk merendahkan suatu kelompokkeragaman hukum justru dapat bermanfaat dalam membangun kesatuan dan harmonisasi hubungan antar kelompok karena masing-masing merasa dihargai dan diberi tempat yang wajar dan masuk akal dalam tata kehidupan bersama, disamping itu juga dalam rangka mengakomodir pandangan masyarakat Indonesia yang sangat pluralistik. Dalam praktek pembagian waris berkaitan erat dengan beragamnya tafsir tentang keadilan maka hukum waris pun menjadi beragam, ada yang mengacu pada hukum islam, hukum adat istiadat dari masing-masing etnis dan mengacu pada hukum perdata barat.

Di Indonesia sistem kewarisan adat sangat dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan.Setiap sistem keturunan yang terdapat dalam masyarakat Indonesia memiliki kekhususan dalam hukum warisnya yang satu sama lain berbeda-beda, yaitu :3

1. Sistem Patrilineal 2. Sistem Matrilineal.

3. Sistem Parental atau Bilateral.

Adapun sistem hukum waris adat di Indonesia dipengaruhi oleh prinsip garis kekerabatan atau keturunan. Menurut Hazairin4 hanya ada tiga prinsip pokok garis kekerabatan atau keturunan, yaitu:

2

M. Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan Islam, Studi Kasus Perbandingan Ajaran Syafi‟i

(patrilinial) dan Hazairin (bilateral) praktek di PA dan KUHPer (BW), (Jakarta: Indonesia, Hill,

1938) h. 1

3Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, (Bandung: PT Refika Aditama, 2007),h. 41

4

(12)

Sistem Patrilineal, yang menimbulkan kesatuan-kesatuan kekeluargaan yang besar, seperti marga, dimana setiap orang itu selalu menghubungkan dirinya hanya kepada ayahnya. Oleh karena itu sistem patrilineal ini dimana setiap orang itu menghubungkan dirinya kepada ayahnya.

Sistem Matrilineal, yaitu sistem yang menimbulkan kesatuan-kesatuan kekeluargaan yang besar, seperti klan, atau suku. Dimana setiap orang itu selalu menghubungkan dirinya hanya kepada ibunya.

Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem yang mungkin menimbulkan kesatuan kekeluargaan yang besar, seperti rumpun. Dimana setiap orang itu menghubungkan dirinya dalam hal keturunan baik kepada ibunya maupun ayahnya

Pada dasarnya ketiga hukum waris tersebut sama yaitu sama-sama mengatur peralihan hak atas harta benda pewaris kepada ahli waris dari si pewaris. Walaupun dalam prakteknya berbeda karena hukum waris islam dan hukum waris barat (BW) menentukan syarat adanya kematian, sedangkan hukum waris adat berdasarkan sistem keturunan. Dalam hukum waris islam dan hukum waris barat (BW) pembagian warisan dapat dilakukan setelah pewaris meninggal dunia, sedangkan hukum waris adat pembagian warisan dapat dilakukan selagi pewaris masih hidup.

Dengan semakin majunya perkembangan dan semakin modern, sama halnya seperti hak pembagian waris terhadap perempuan seolah-olah bisa berubah dengan arti dalam hal pembagian hak waris tidak baku, dalam hal ini menunjukkan bahwa perempuan besikap mendua, disatu sisi mereka berpijak erat pada ajaran yang dipandangnya sebagai ajaran agama, yang pada intinya dimaknai sebagai dogma dan dikemas dengan berbagai argumentasi untuk taat tanpa tawaran, namun disisi lain realita pengalaman perempuan yang berkontribusi sangat besar terhadap fungsi-fungsi produksi dan reproduksi dalam keluarga. Pertemuan antara dogma dan realitas yang akan membuahkan pertanyaan, mengapa tidak sama dalam pembagian waris antara laki-laki dan perempuan. Karena

(13)

perempuan juga tidak lebih kecil dari laki-laki dalam melangsungkan kehidupan keluarga, sehingga dalam membesarkan anak bahkan merawat orangtua (si pewaris) dengan segala kasih sayang yang diberikan.

Berkenaan dengan penyelesaian warisan tersebut, masyarakat kampung Warung Bandrek, dalam penyelesaian pembagian harta warisan, mereka tidak menyelesaikannya di Pengadilan Agama, namun lebih kepada sistem musyawarah kekeluargaan dengan mengudang Rukun Tetangga/ Rukun Warga yang ada di desa setempat.

Hukum kewarisan yang ada dikampung Warung Bandrek contohnya, coraknya dalam pembagian harta waris lebih sama dengan sistem parental atau bilateral yakni pembagian warisan yang ditarik menurut garis orang tua (bapak ibu) dimana kedudukan pria dan wanita tidak ada perbedaan dalam pewarisan. Dalam pembagiannya tidak ada pemilahan secara beda, sistem ini lebih menitik beratkan atas asas kekeluargaan (musyawarah) di mana antara laki-laki dan perempuan mendapat sama rata.

Dalam masyarakat kampung Warung Bandek tidak ada perbedaan pembagian dalam penerimaan warisan antara anak laki-laki dan perempuan, berbeda dengan hukum waris islam yaitu (2:1), di masyarakat kampung Warung Bandrek harta warisan dibagikan sama rata antara anak laki-laki dengan anak perempuan, karena menganggap semua manusia mempunyai hak dan kewajiban yang sama.

Menurut adat masyarakat kampung Warung Bandrek yang coraknya lebih sama dengan sistem bilateral yakni pembagian warisan yang ditarik menurut garis kedua orangtua, yang mana baik anak laki-laki ataupun perempuan mempunyai hak yang sama atas harta peninggalan orangtuanya dalam pembagiannya tidak ada perbedaan, keduanya mempunyai kedudukan yang sama, yaitu sama-sama anak orangtua (ibu bapak).

(14)

Hukum kewarisan yang ada di kampung Warung Bandrek terdapat hal yang berbeda antara waris dalam kajian islam dengan waris menurut adat di kampung Warung Bandrek, soal kapan waktu pembagian waris. Dalam berbagai literatur islam, harta waris adalah harta peninggalan yang dibagikan setelah pemilik harta meninggal dunia, namun pada masyarakat kampung Warung Bandrek, kebanyakan penerapan pembagian harta waris justru dilakukan sebelum sang pemilik (pewaris) meninggal dunia.5 menurut konsep kewarisan islam jika harta dibagikan oleh pewaris saat masih hidup maka hal ini masuk ke dalam hukum hibah bukan lagi kewarisan.

Untuk mengetahui apakah sistem hukum kewarisan terhadap perempuan sesuai dengan pembagian kewarisan dan hukum waris adat yang dalam penerapannya menerapkan sistem parental bilateral pada masyarakat kampung Warung Bandrek dan perlu diadakan penelitian dengan cermat sistem kewarisan, praktek pembagian waris, obyek waris, serta waktu harta waris itu akan dibagi-bagikan dan proses pembagian harta waris itu dilakukan.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, maka dapat diidentifikasikan dari berbagai masalah diseputar praktik pembagian warisan terhadap perempuan pada masyarakat kampung Warung Bandrek, kelurahan Bondongan, Bogor yaitu:

a. Kenapa di masyarakat kampung Warung Bandrek pemahaman tentang praktik pembagian waris harus sama rata antara laki-laki dengan perempuan?

b. Apakah dengan pembagian sama rata dalam pembagian waris antara laki-laki dengan perempuan dianggap adil?

5

Sulistyowati Irianto, Pluralisme Hukum Waris Dan Keadilan Perempuan, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016),h.216

(15)

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih fokus dan tersusun secara sistematik, untuk itu penulis mengkerucutkan permasalahan dengan adanya pembatasan masalah, peneliti akan membatasi permasalahan ini padaPemahaman Keadilan

Pada Praktik Pembagian Harta Warisan Terhadap Perempuan Studi Kasus Pada Masyarakat Kampung Warung Bandrek, Kelurahan Bondongan, Bogor.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah di uraikan dan pembatasan masalah di atas,agar lebih terperinci maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimana proses pembagian warisan di masyarakat kampung Warung Bandrek?

b. Bagaimana sistem waris yang dianutmasyarakat kampung Warung Bandrek terhadap perempuan?

c. Bagaimana analisis hukum islam terkaitwaris terhadap perempuan di masyarakat kampung Warung Bandrek?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Seiring dengan pembatasan dan perumusan masalah di atas, maka yang akan menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui bagaimana proses pembagian warisan di masyarakat kampung Warung Bandrek

b. Untuk mengetahui sistem waris yang dipahami masyarakat kampung Warung Bandrek terhadap perempuan.

c. Untuk mengetahui bagaimana analisis hukum islam tentang waris terhadap perempuan di masyarakat kampung Warung Bandrek?

(16)

2. Manfaat Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini sebagai berikut:

a. Bagi ilmu pengetahuan supaya bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun pembangunan masyarakat luas, dengan kata lain, bisa menambah bahan-bahan informasi kepustakaan atau bahan refrensi sekaligus sebagai bahan wacana bagi semua pihak yang berkepentingan dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan secara umum dan pengembangan hukum khususnya terkait bidang kewarisan.

b. Hasil peneliti ini juga diharapkan dapat memberikan informasi dan wawasan khazanah ilmu pengetahuan bagi aparat pemerintahan dan masyarakat dalam rangka memahami sistem kekerabatan dan pembagian warisan pada masyarakat kampung Warung Bandrek, Bogor

E. Review Studi Terdahulu

Ada beberapa penelitian yang penulis temukan yang membahas tentang kajian terkait dengan penelitian ini ialah:

1. Skripsi Meika Eliza yang berjudul Pembagian Warisan Di Kelurahan

Purbayan Keamatan Kota Gede Yogyakarta ditinjau dari hukum

islam, yang membahas tentang asas-asas yang tetap dipegang oleh masyarakat setempat yaitu pembagian asas Segendong Sepikul yang mengacu pada pembagian 2:1 dalam Kewarisan Islam.

2. Skripsi Rukayah yang berjudul Studi Pemikiran Ahmad Azhar Basri

Tentang Beberapa Masalah Dalam Hukum Waris Islam. Skripsi

tersebut menjelaskan masalah pokok yang di gunakan Azhar Basyir dalam menyelesaikan polemic bagian warisan antara anak laki-laki dan perempuan.

3. Skripsi Jalalul Hilmi dalam skripsinya yang berjudul Reaktualisasi

Hukum Islam di Indonesia ( Tinjauan Hermeneutik Terhadap Pembagian Waris 1:1 Menurut Prof Dr. H. Munawir sjadzali ) yang

(17)

berisi tentang gagasan reaktualisasi warisan yang di tawarkan Munawir. Dalam skripsi tersebut ia menoba mengkritisi pendekatan yang digunakan Munawir yang mengacu pada pendapat Umar Bin Khatab yang dikenal menyimpang dari nas, Jalal menolak anggapan tersebut, apabila akan melakukan reaktualisasi pendekatan yang menurutnya adalah pendekatan bermeneutik.

Berbeda dengan apa yang pernah diteliti sebagaimana karya diatas, tidak sedikitpun menyinggung tentang konsep keadilan dalam sistem pembagian harta warisan terhadap perempuan, sedangkan peneliti lebih memotret sistem keadilan pembagian harta warisan terhadap perempuan dengan konsep keadilan. Untuk itu peneliti lebih mengkerucutkan Pemahaman Keadilan Pada Praktik Pembagian

HartaWarisan Terhadap Perempuan di MasyarakatKampung Warung Bandrek,Kelurahan Bondongan, Bogor

F. Metode Penelitian

Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan terencana dilakukan dengan metode ilmiah yang bertujuan untuk mendapatkan data baru guna membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran dari suatu gejala atau hipotesa yang ada, yaitu:

1. JenisPenelitian

a. Penelitian ini merupakan penelitian langsung ke lapangan (

field research) yaitu data berasal dari observasi dan interview

dengan Muhammad Sayuthi selaku Tokoh Agama, Mahpud selaku ketua Rw, mengenai fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat dan terkait dengan praktik pembagian waris terhadap perempuan di kampung Warung Bandrek, Kelurahan Bondongan, Bogor.6

(18)

2. Sumber Data

Sumber data merupakan bagian penting dalam penelitian kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.

a. Sumber data primer adalah data otentik, data langsung dari informan-informanyaitu dengan ibu Aisyah, Ibu Desi, Ibu Lia, Ibu Enah tentang masalah yang diungkapkan.Secara sederhana data tersebut disebut data asli.Sumber data primer ini menjadi acuan pokok dari hasil wawancara dengan Informan-informan yang berada di kampung Warung Bandrek, dengan subjek sebagai sumber yang di cari yaitu berupa informasi-informasi mengenai kewarisan di kampung Warung Bandrek, yang mengetahui bagaimana pembagian waris terhadap perempuan di kampung Warung Bandrek.7

b. Sumber Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dengan cara membandingkan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan, buku-buku tentang Waris, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan,8 selain itu data sekunder juga dapat berupa Al-Qur‟an, Hadist, buku-buku ilmiah, Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta peraturan-peraturan lain yang erat kaitannya dengan masalah yang diajukan. Sumber data sekunder yang di butuhkan oleh peneliti meliputi beberapa hal yaitu, informasi secara lengkap mengenai keadaan geografis wilayah penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

7

Anselm Streauss Juliet Corbin, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, (Surabaya : Offset, 1997), h. 128

8

(19)

Dalam penelitian ini ada beberapa cara dalam mengumpulkan data, yaitu:

a. Wawancara yang digunakan adalah metode pengumpulan data dengan Tanya jawab yang dikerjakan secara sistematik dan berdasarkan pada tujuan penelitian9. Dalam proses interview ada dua pihak yang menempati kedudukan yang berbeda. satu pihak berfungsi sebagai penggali informasi sedangkan pihak lain berfungsi sebagai pemberi informasi atau informan (Responden).10 Wawancara dilakukan dengan pemuka agama yaitu bapak Muhammad Sayuthi, ibu Nyai Aisyah, tokoh masyarakat yaitu bapak Andi Wijaya, dan subjek lainnya agar mendapatkan informasi-informasi untuk diminta keterangan menurut mereka yang dipandang sudah mengetahui masalah waris yang peneliti bahas dalam penelitian ini.

b. Observasi

Peneliti melakukan pengamatan secara langsung di kampung Warung Bandrek, kelurahan Bondongan untuk mendapatkan data yang fakta sebagai sumber laporan penelitian.

c. Dokumentasi

Peneliti menelaah bahan-bahan yang tertulis berupa dokumen resmi peraturan perundang-undangan, buku-buku yang berkaitan dengan

masalah yang dibahas dalam penelitian.

9 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Offset, 1992), Jilid II, h. 19 10 Soemitro Romy H, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri (Jakarta:Ghalia Indonesia, 1990), h. 71.

(20)

G. Sistematika penulisan

Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Untuk mempermudah penyusunan dan pemahaman dalam penelitian maka penulis membuat sistematika sebagai berikut:

Bab pertama. Pendahuluan yang memuat : latar belakang masalah, , pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, studi riview, metode penelitian, teknik pengumpulan data, teknik penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab Kedua system kewarisan islam di Indonesia,sebab-sebab, rukun-rukun, syarat kewarisan menurut islam, penghalang kewarisan, asas-asas kewarisan islam, kewajiban ahli waris sebelum mendapat kewarisan, ahli waris dan bagian-bagiannya, proses pewarisan, teori tentang keadilan dalam waris

Bab ketiga. Yaitu tentang gambaran kampung Warung Bandrek,kondisi geografis kampung Warung Bandrek, kelurahan Bondongan, kondisi sosial, budaya, agama, di kampung Warung Bandrek.

Bab Keempat yaitu tentang praktik dan proses pembagian warisan di masyarakat kampung Warung Bandek, pemaknaan keadilan waris terhadap perempuan di masyarakat kampung Warung Bandrek, analisis hukum islam pada pemaknaan keadilan waris islam terhadap perempuan.

(21)

12 BAB II

Sistem Kewarisan Menurut Hukum Islam

A. Pengertian dan Dasar Hukum Kewarisan Islam

Waris atau kewarisan dalam bahasa arab berasal ةثزأ- اثزٔ - ثسٌ –ثزٔ1yang berarti pindahnya harta si fulan kepada si fulan, secara bahasa kata waratsa memiliki beberapa arti, “mewarisi” sebagaimana firman Allah dalam al-Qur‟an Surah An-Naml ayat 16:

...ََثِزَََُٕٔاًٍََْهُسَدُٔٔاَد

Artinya: Dan Sulaiman telah Mewarisi Daud2

Di dalam ayat lain mengartikan “memberi” Firman Allah Surah Az-Zumar ayat 74:

... اََُثَز َْٔإََٔض ْزَ ْلْاُإََّٔبَتََُُِيِةََُّجْناثٍَْحُءاَشََ

Artinya:”dan telah (memberi) kepada kami tempat ini sedang kami(diperkenankan) menempati tempat dalam surga di mana saja yang kami kehendak”.3

Dengan beberapa ayat di atas bahwa kata irts mempunyai banyak makna, bisa saja mempunyai arti perpindahan sesuatu dari seseorang kepada seseorang, baik berupa harta, ilmu dan kemuliaan.4

Sedangkan pengertian secara istilah, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan

1

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta : PT Hidakartya Agung, 1989), h.496. 2Soenarjo, dkk, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, ( Jakarta :Departemen Agama RI, 1999), h.321

3

Soenarjo, dkk, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h.456

4Muhammad Ali Al-Shabuni, Al-Mawarist fi Syari‟ah al-Islamiyah, diterjemahkan oleh A.M Basalamah dengan judul Pembagian Waris Menurut Islam, (Gema Insani Press, Jakarta, 2001, h.33.

(22)

siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.5

Adapun pengertian hukum waris menurut kompilasi hukum islam pada pasal 171 huruf (a) adalah “hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan beberapa bagiannya masing-masing”. Jadi hukum waris islam adalah seperangkat aturan tentang proses pembagian harta peninggalan orang yang telah meninggal dunia dan menentukan ahli waris yang mana saja yang berhak untuk mendapatkan harta warisan tersebut6.

Didalam kitab fiqh warisan itu lebih dikenal dengan fara‟id ضئاسف, kata jama‟ dari kalimatةضٌسفyang artinya ketentuan, pengertian ini didasarkan pada hadist yang diriwayatkan Imam Ahmad:

Artinya : “Dari Ibnu Mas‟ud Dia berkata, Rasulullah SAW bersabda “Pelajari Al-Qur-an dan ajarkanlah kepada orang-orang dan pelajari juga Fara‟id dan ajarkanlah kepada orang-orang”. (HR.Ahmad)

Sinonim dari mawaris (waris) adalah fara‟id, keduanya mempunyai spesifikasi masing-masing. Adapun defenisi al-fara‟id menurut asy-syarbini:

ةفسعئَثزلاابَقهعًناَّقفنا َ

كنذَةفسعيَىناَمصًٕناَباسحنا

َ قحَيذَمكنَةكَستناٍَيَبٕجٕنازدقَةفسعئ

Artinya :“Ilmu fiqh yang berkaitan dengan harta peninggalan dan pengetahuan berhitung (matematika) yang dapat menyeselaikan pembayarannya,dan pengetahuan tentang ketentuan yang semestinya mengenai harta peninggalan itu untuk masing-masing siapa yang berhak”7

5Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2005, h.108.

6Aulia Muthiah, Hukum Waris islam, Yogyakarta: Medpress Digital, 2015, h.10

7Muh. Syarbini alKhattib, Mugni al-Muhtaj, juz ke-3, (Kairo : Mustofa al-Babyal-Halaby, 1958),h.3

(23)

Adapun T.M. Hasby Ash-Shidiqy memberikan defenisi mawarist yaitu: عٌشٕتناَةٍفٍكَٔثزأَمكَزدقئَثسٌَلاٍَئَثسٌٍَيَّبَفسعٌَىهع

Artinya : “Ilmu yang dengannya dapat diketahui tentang yang berhak dan yang tidak berhak untuk mendapatkan warisan, serta ketentuan yang berlaku bagi tiap-tiap ahli waris dan penyelesaian pembagiannya”.8

Dari beberapa defenisi tentang waris diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian kewarisan islam adalah seperangkat aturan-aturan pemindahan hukum tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan pewaris, mengatur kedudukan ahli waris yang berhak dan bagian masing-masing secara adil dan sempurna sesuai dengan ketentuan islam.9

1. Dasar Hukum Kewarisan Islam

a. Dasar hukum dari Al-Qur‟an. 1) . surat An-Nisa Ayat 7







َ

Artinya : “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”. Q.S An-Nisa Ayat 710

Keterangan ayat tersebut menjelaskan bahwa seorang laki-laki dan juga perempuan sama-sama mendapatkan bagian harta warisan, baik sedikit atau

8

T.M Hasby Ash-Shidiqy , Fiqh Mawaris, (Bulan Bintang, Jakarta , 1973), h.18 9Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan islam (Jakarta : Pustaka Jaya, 1995, h.4.

10

(24)

banyak, bagian tersebut sudah ada ketentuannya didalam Al-Qur‟an. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pewaris itu adalah orangtua dan kerabat yang telah meninggal dunia. Secara jelas dapat dilihat pada ayat yang mengatur bagian-bagiannya.

2) surat An-Nisa ayat 11-12

        

َ

Artinya :“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[272]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[273], Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

(25)

Apabila ayat 11 tersebut dicermati dengan interpretasi logis, maka dapat diketahui bahwa kewarisan anak laki-laki dan perempuan, bersama-sama atau secara terpisah baik seorang maupun beberapa orang. Hal ini berarti bahwa pewaris disini adalah ibu dan ayah.

Pengertian anak dan bapak serta ibu dalam ayat 11 ini oleh ulama diperluas kepada kakek, cucu, dan nenek. Jadi pewaris itu adalah bapak, ibu, nenek, kakek, anak, cucu adapun untuk kerabat dijelaskan pada ayat 12 dan 176 surah An-Nisa adalah istri menjadi pewaris bagi suaminya dan suaminya menjadi pewaris bagi istrinya juga disebutkan saudara laki-laki dan perempuan menjadi pewaris bagi saudara-saudaranya

13. dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.11

3) .surat An-Nisa Ayat 176

11

(26)

   َ

Artinya : “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. Q.S. An-Nisa Ayat 176

b. Dasar hukum dari As-Sunnah

1). Kitab Hadist Shahih Al-Bukhari

اٍَع فًَقبَاًفَآهْابَضءَاسفناَإقحنا:َىهسٍَّٔهعَاللهَىهصَاللهَلٕسزَلاقَ:َلاقَسابعٍَب ٓ لْٕ َٔ )ٍَّهعَقفتيَ(َسكذَمجزَىن . 12

Artinya : “Dari Ibnu Abbas berkata, Nabi SAW bersabda : “Berikanlah Bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak. Dan sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama”. ( Muttafaqun Alaih ).

2). Kitab Hadist Shahih Bukhari

َ:َلاقَدٌشٍَبٓياساٍَع َاللهَلٕسزَلاق ىهسٍَّٔهعَاللهَىهص َ لأَسفَاكناَىهسًناَثسٌَلاَ: َ َسفَاكنا )ٍَّهعَقفتي(َىهسًنا 13

Artinya :”Dari Usamah Ibnu Zaid berkata: Nabi SAW bersabda: “Tidaklah lah seorang muslim menerima harta pusaka dari orang kafir, dan tidak

12Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Juz IV, (Beirut, Ibnu As-Shaashah),h.181 13

(27)

juga seorang kafir menerima harta pusaka dari orang muslim”. (Muttafaqun Alaih )

3). Dasar Hukum dari Ijma’

Ijma‟ menurut istilah para ushul fiqh adalah: kesepakatan seluruh mujtahid di kalangan ummat islam pada suatu masa setelah Rasulullah Saw wafat atas hukum syara‟ mengenai suatu kejadian.14

Sebagai contoh adalah kesepakatan jumhur „ulama tentang perbedaan agama menjadi sebab tidak mendapatkan hak waris, yakni seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim apapun agamanya.

B. Sebab-sebab, Rukun-rukun, Syarat-syarat, dan Penghalang Kewarisan.

1. Sebab-sebab terjadinya kewarisan.

Dalam hukum islam sebab-sebab untuk menerima warisan yaitu: a. Hubungan kekerabatan ( al-qarabah )

Hukum waris adat di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh susunan masyarakat kekerabatannya yang berbeda. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Hazairin15 bahwa hukum waris adat mempunyai corak sendiri dari alam pikiran tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem kekerabatannya patrilineal, matrilineal dan parental atau bilateral, meskipun pada bentuk kekerabatannya sama tapi belum tentu sistem pewarisannya sama. Dasar hukumnya sebagai ketentuan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai hak waris seperti yang tertera didalam surah An-Nisa ayat 7.

14

Khallaf Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, ( Toha Putra Group, Semarang-Indonesia),1994, h.56

15Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, ( Bandung, Mandar Maju, 2003), h. 211

(28)



 َ

Artinya : “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”. (Q.S An-Nisa ayat 7)

Islam tidak membedakan status hukum seseorang dalam pewarisan dari segi kekuatan fisiknya, tapi semata-mata karna pertalian darah atau kekerabatan, maka meskipun ahli waris masig berada dalam kandungan, jika dapat dinyatakan sebagai ahli waris, ia berhak menerima bagian.16

b. Hubungan pernikahan (al- musoharoh)

Hubungan pernikahan di sini adalah hubungan kewarisan yang disebabkan akad nikah yang sah.Dengan sebab terjadinya pernikahan secara legal antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sekalipun belum berhubungan intim (bersenggama) keduanya. Adapun pernikahan yang bathil tidak bisa sebab untuk mendapatkan hak waris17. Sementara itu,firman Allah dalam surah an-Nisa ayat 12

  

16Rafiq Ahmad, Fiqih Mawaris, (Jakarta: Raja Grafindo), h.44

17Muhammad Ali Ash-shabuni, Al-Mawarist Fisy Syariatil Islaamiyyah „Alaa

(29)

 

Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun”.18

c. Al-Wala” ( hamba/budak )

Hubungan wala yang juga disebut wala al-„itqi atau wala an-ni‟mah yaitu hubungan kekerabatan (kerabat hukmi) yang disebabkan karena memerdekakan hambanya sehingga ia mempunyai hubungan kekerabatan dengan hamba tersebut. Dengan sebab itu, si tuan berhak mewarisi hartanya karena ia telah berjasa memerdekakannya dan mengembalikan nilai kemanusiaannya. Hukum islam memberikan hak waris kepada tuan yang

18

(30)

memerdekakannya, bila budak itu tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, baik berdasarkan hubungan kekerabatan ataupun hubungan pernikahan.19 Sebaliknya, jika seseorang tuan tidak meninggalkan ahli waris dan tidak meninggalkan ulul-arhaam, tetapi meninggalkan seorang hamba yang ia merdekakan maka hartanya itu diberikan kepada hambanya sesuai sabda Nabi Saw20.:

Artinya: “Dari ibnu abbas : Bahwasanya seorang laki-laki mati di zaman Rsulullah Saw., dengan tidak meninggalkan ahli waris, kecuali seorang hamba yang ia telah merdekakan, maka Rasulullah berikan padanya peninggalan itu ( H.R. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).

2. Rukun-rukun waris.

Rukun-rukun kewarisan ada 3 yaitu:

a. Al-Muwarris (pewaris) yakni orang yang meninggal dunia dan ahli warisnya berhak untuk mewarisi harta peninggalannya.

b. Al-Warist (penerima warisan) yakni mereka yang berhak menerima harta peninggalan muwarris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan. Diartikan juga bahwa ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris beragama islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.21

c. Al-Maurust (harta warisan) yakni segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan si muwarris baik berupa uang, emas, tanah, rumah dan sebagainya.22

3. Syarat Kewarisan

19Muhammad Ali Ash-Shabuni, , Al-Mawarist Fisy Syariatil Islaamiyyah „Alaa

dhau‟al-kitaab wa sunnah,h.39

20

A. Hassan, Al-Faraid ilmu pembagian Waris, (Surabaya: Pustaka Progressif,2003),h.15 21M.Athoillah, Fikih Waris,(Bandung : Yhama Widya, 2018 ), h.20

22Muhammad Ali Ash-Shabuni, Al Mawarist Fi Syari‟ah al-islamiyah, (Gema Insani, Jakarta, 1995). h.39

(31)

Syarat-syarat kewarisan ada tiga, yaitu:

a. Wafatnya pewaris baik secara hakiki atau hukumi, yakni bahwa seseorang telah meninggal dan diketahui oleh ahli warisnya atau ditetapkan oleh hakim terhadap seseorang yang tidak diketahui lagi keberadaannya, dianggap sudah meninggal.23

b. Adanya orang yang mewarisi atau ahli waris, yaitu orang yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.24Maksudnya, pemindahan hak kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yang secara syariat benar-benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak untuk mewarisi.

c. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk dalam jumlah dan bagian masing-masing, maksudnya dalam hal ini posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti. Misalnya suami, istri, kerabat dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima. Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Karena mereka masing-masing mempunyai hukum bagian.25

2. Penghalang Kewarisan.

Penghalang hak waris seseorang maksudnya adalah yang menyebabkan hak waris seseorang menjadi gugur, dalam hal ini ada tiga, yaitu:

23

M.Athoillah, Fikih Waris,h.20

24A. Fatih Syuhud, Hukum Waris Islam, ( Pustaka Al-Khoirot, 2018 ), h.11

25Muhammad Ali Ash-shabuni, Al Mawarist Fii Syari‟ah Al-Islamiyah ( Gema Insani, Jakarta, 1995 )h.40

(32)

1. Budak

Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempuyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab, segala sesuatu yang dimikili budak, secara langsung menjadi milik tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal), atau mukatab (budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya dengan persyaratan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Selain itu, mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak dipandang sebagai orang yang tidak cukup melakukan perbuatan hukum.26

Rasulullah Saw bersabda:

Artinya :”Barang siapa menjual seorang hamba sahaya, maka harta hamba sahaya tersebut menjadi milik si penjual kecuali si pembeli mensyaratkannya”.27(H.R. Al-Bukhari dan Muslim)

2. Pembunuh

Apabila seorang ahli waris membunuh ahli waris (misalnya seorang anak membunuh ayahnya) maka ia tidak berhak mendapatkan warisan.

Rasulullah SAW, bersabda:

لاٍتقَمتقٍَيَىهسٍَّٔهعَاللهَىهصَاللهَلٕسزَلَاقَسابعٍَبَاٍَع َ ٍَكٌَىنٌَأََّثسٌَلاََّاف َّن ىقٍٓبناَِأز(َِسٍغَثزأ )

Dari Ibnu Abbas R.A Rasulullah SAW bersabda: “siapa seseorang membunuh maka ia tidak mewarisi orang itu sekalipun tidak punya ahli waris selainnya “ ( H.R. Baihaqi ).28

26Muhammad Ali Ash-Shabuni, Al-Mawarist Fii Syari‟ah al-Islamiyah, h.41-43 27H.R. Al-Bukhari, kitab Al-Musaqaah, ( no. 2379)

28

(33)

Sebagai contoh dalam kasus dalam kasus Ibnu Qudamah, khalifah Umar memutuskan perkara kewarisan tinggalan Ibnu Qudamah, dimana ayahnya tidak diberikan sama sekali, karena terbukti membunuh Ibnu Qudamah. Hak kewarisan terhadap peninggalan almarhum diberikan kepada saudaranya, meski dia mempunyai ayah yang semestinya adalah ahli waris yang paling dekat dengan menghijab saudaranya. Ayah tersebut tidak diberi hak karena membunuh Ibnu Qudamah.29

)َأطًٕناًَفَكنايَِأزَ(َثاسٍيَمتاقهنَسٍن

Artinya : “ Bagi seorang pembunuh tidak ada hak waris ( Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab Muwatha”)30

Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang jenis pembunuh yang menjadi penghalang menerima waris, yakni sebagai berikut.31

a. Menurut Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pembunuhan yang dapat menghalangi seseorang mendapatkan harta warisan adalah pembunuhan yang diharamkan, yaitu pembunuhan yang mewajibkan qishash atau kafarat. Pembunuhan yang diharamkan ini meliputi pembunuhan yang disengaja („amdan), pembunuhan yang menyerupai disengaja (syibhul „amdan) dan pembunuhan karena salah sasaran (khatha‟). Mereka berpegangan pada kaidah, “Setiap pembunuhan yang mewajibkan kafarat menggugurkan hak kewarisan. Jika tidak mewajibkan kafarat, maka tidak menggugurkan hak kewarisannya.”

b. Menurut Imam Malikiyah berpendapat bahwa pembunuhan yang menggugurkan hak kewarisan adalah pembunuhan yang disengaja saja, baik langsung ataupun tidak langsung, termasuk didalamnya orang yang memerintahkan, menyertai pembunuhan, orang yang

29

Fatchur Rohman, Ilmu Waris, ( Al-Ma‟arif, Bandung, 1975, ) h.81 30

Imam Al-Ashqollani, Kitab Ibanatul Ahkam, ( Dar El-Fikr Beirut-Libanon, Juzz 3). h.232

31

(34)

menaruh racun pada makanan dan minuman. Adapun pembunuhan karena salah sasaran (al-khata‟) tidak menggugurkan hak menerima waris.32

c. Menurut Imam Syafi‟I berpendapat bahwa semua jenis pembunuhan baik langsung ataupun tidak langsung menggugurkan hak menerima waris. Termasuk ada tujuan kemaslahatan atau tidak seperti seorang ayah memukul anaknya, seorang suami memukul istrinya, seorang guru memukul muridnya, terpaksa ataupun tidak, membunuh dengan hak ataupun tidak, baik yang dilakukan oleh mukallaf atau bukan. Semua pembunuhan pewaris tersebut menghalangi menerima waris.

d. Menurut Imam Hanabilah33 berpendapat bahwa pembunuhan yang menggugurkan hak waris adalah pembunuhan terhadap pewaris yang tidak ada hak (bi ghairi haqq), yakni setiap pembunuhan yang menyebabkan hukuman qishash, diat, atau kafarat, atau dengan kata lain jenis pembunuhan sengaja, menyerupai sengaja dan salah sasaran (khata‟), termasuk pembunuhan yang dilakukan oleh anak kecil, orang gila, dan orang tidur.34

3 Perbedaan Agama.

Seseorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apapun agamanya. Hal ini telah ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam sabdanya:

يَ(َىهسًناَسفاكناَثسٌَلأَسفاكناَىهسًناَثسٌَلا )ٍَّهعَقفت

Artinya: “Orang muslim tidak mewarisi orang kafir, demikian juga orang kafir tidak mewarisi orang muslim”. ( Muttafaqun „alaih )

32

Muhammad Ali Ash-Shabuni, Al Mawarist Fii Syari‟ah Al-Islamiyah, 42 33M.Athoillah, Fikih Waris, h. 29

34Abu Zahrah, Muhammad, Ahkam Al-Tirkat WMawarist, ( Mesir : Dar Fikri al-Arabiy, 1963, )h.107

(35)

Adapun jumhur lama berpendapat demikian, yakni termasuk keempat imam mujtahid sepakat bahwa perbedaan agama antara pewaris dengan ahli waris menjadi penghalang menerima waris, baik dengan sebab hubungan darah maupun suami istri.35

Diriwayatkan dari Ibnu „Amr r.a., bahwasanya Nabi Saw. bersabda:

ىتشٍٍَتهيَمَْاَثزإتٌَلا

Artinya: “Tidak saling mewarisi antara orang-orang yang berbeda agama”.

C. Asas-asas Kewarisan Islam

Asas-asas kewarisan hukum islam dapat ditemui dari keseluruhan ayat-ayat hukum dalam Al-Qur‟an dan penjelasan yang diajarkan oleh Rasulullah Saw dalam sunnahnya. Ada beberapa asas yang berkaitan dengan sifat peralihan harta kepada ahli waris. Cara pemilikan harta yang diterima dan waktu terjadinya peralihan tersebut yaitu:

1. Asas Ijbari

Kata ijbari mengandung arti paksaan, yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri. Dalam hukum islam peralihan harta dari orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup berlaku sendirinya menurut kehendak Allah Swt tanpa usaha dari yang akan meninggal atau kehendak ahli waris atau pewaris cara seperti ini disebut ijbari.36

Adanya asas ijbari dalam hukum islam dapat dilihat dari segi peralihan harta (bahwa harta orang yang mati itu beralih dengan sendirinya, bukan dialihkan siapa-siapa kecuali oleh Allah Swt). Segi

35Muhammad Ali Ash-Shabuni, Al Mawarist Fii Syari‟ah Al-Islamiyah, h.43 36

(36)

jumlah pembagian bahwa bagian atau hak ahli waris dalam harta warisan sudah jelas ditentukan oleh Allah, sehingga ahli waris maupun pewaris tidak mempunyai hak untuk menambah atau mengurangi apa yang telah ditentukan itu dan segi kepada siapa harta warisan itu beralih bahwa mereka yang berhak atas harta peninggalan itu sudah ditentukan secara pasti. Sehingga tidak ada suatu kekuasaan manusia yang dapat mengubahnya dengan cara memasukkan orang lain atau mengeluarkan orang yang berhak.

2. Asas Bilateral

Asas ini membicarakan tentang kemana arah peralihan harta itu dikalanga ahli waris. Asas bilateral dalam hukum kewarisan islam mengandung arti bahwa harta warisan beralih kepada atau melalui dua arah, hal ini berarti bahwa setiap orang menerima hak waris dari kedua belah pihak garis keturunan yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan.37 3. Asas Individual

Asas individual artinya bahwa dalam system hukum kewarisan islam, harta peninggalan yang ditinggal oleh orang yang meninggal dunia dibagi secara individual langsung kepada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan.38Pembagian secara individual ini didasarkan kepada ketentuan bahwa setiap insan sebagai pribadi mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan menjalankan kewajiban, yang didalam ushul fiqh disebut Ahliyat al-Wujub.39

Pembagian secara individual ini adalah ketentuan mengikat dan wajib dijalankan oleh setiap muslim dengan sanksi yang sangat berat di

37

M. Athoillah, Fikih Waris.h.146

38Idris Ramulyo, Asas-asas Hukum Waris Islam, (Jakarta, Sinar Grafika, 1995 ), h.93 39Abdul Wahab Khalaf, Ushul al Fiqh, ( Jakarta: Dewan Da‟wah Islami Indonesia, 1974 ), h.136

(37)

akhirat bagi yang melanggarnya sebagaimana yang dinyatakan Allah dalam surat an-Nisa ayat 13 dan 14.

4. Asas Keadilan Berimbang

Asas keadilan berimbang dalam hukum kewarisan, secara sadar dapat dikatakan bahwa laki-laki maupun perempuan sama-sama berhak tampil sebagai ahli waris yang mewarisi harta peninggalan. Perbandingan bagian laki-laki dengan bagian perempuan 2:1, kecuali ahli waris sepakat untuk melakukan perdamaian. Misalnya, antara laki-laki dan perempuan dibagi sama rata sebagaimana disebutkan dalam KHI pasal 183, “Para ahli waris dapat bersepakat melakukan

perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya”.40

Jika ditinjau dari segi jumlah bagian yang diperoleh saat menerima hak, memang terdapat ketidaksamaan, akan tetapi hal tersebut bukan berarti tidak adil karena keadilan dalam pandangan islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan dengan kegunaan dan kebutuhan.

5. Asas Semata Akibat Kematian.

Bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dengan nama waris selama yang mempunyai harta masih hidup. Ini juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seorang yang masih hidup secara langsung maupun terlaksana setelah dia mati, tidak termasuk kedalam istilah kewarisan menurut hukum islam.41

Asas kewarisan akibat kematian ini mempunyai kaitan erat dengan asas ijbari. Pada hakekatnya, seseorang yang telah memenuhi syarat sebagai subjek hukum dapat menggunakan hartanya secara penuh

40Athoillah, Fikih Waris, h.147 41Athoillah, Fikih Waris, h.147

(38)

untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan sepanjang hayatnya. Namun setelah meninggal dunia, ia tidak lagi memiliki kebebasan tersebut. 6. Asas Perdamaian,

Sesuai dengan isi pasal 183 Kompilasi Hukum Islam:Para ahli Waris bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah masing-masing ahli waris menyadari bagiannya.42

Bentuk perdamaian ada 2 yaitu:

a. Memberikan bagian waris sesuai dengan kedudukan dan kebutuhan, meskipun ukurannya beda dengan haknya.

b. Membagi berdasarkan persetujuan bersama kemungkinan pembagiannya berbeda dengan formulasi 2:1

Apabila para ahli waris mengadakan perdamaian dengan jalan mengeluarkan sebagian ahli waris dari haknya atas bagian warisan dengan imbalan menerima sejumlah harta tertentu dari harta warisan atau harta lain disebut takharuj.43

7. Asas waris karena kematian, maksudnya terjadinya peralihan hak materiel dan immaterial dari pewaris setelah ia meninggal dunia. 8. Asas ahli waris pengganti, maksudnya anak angkat dan ayah angkat

secara timbal balik dapat melakukan wasiat tentang harta masing-masing. Bila tidak ada wasiat dari anak angkat kepada ayah angkat atau sebaliknya, maka ayah angkat atau anak angkat dapat diberi wasiat wajibah oleh pengadilan agama/ mahkamah syar‟iyah secara ex officio maksimal 1/3 bagian dari harta warisan, sesuai dengan kompilasi hukum islam dengan pasal 185 :

42Tim Redaksi citra Umbara, Kompilasi Hukum Islam, ( Bandung : citra Umbara, 2012 ), h.379

43

(39)

a. Ahli waris meninggal terlebih dahulu daripada pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya kecuali mereka yang disebutkan dalam pasal 173 ( halangan menerima waris ) b. Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh lebih dari bagian

ahli waris yang sederajat yang diganti.44

9. Asas egaliter, maksudnya kerabat karena hubungann darah yang memeluk agama selain islam mendapatkan wasiat wajibah maksimal 1/3 bagian dan tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengannya (yurisprudensi).

10. Asas retroaktif terbatas, KHI tidak berlaku surut dalam arti jika harta warisan telah dibagi secara riil (bukan hanya pembagian di atas kertas) sebelum KHI diberlakukan, maka keluarga yang mempunyai hubungan darah karena ahli waris pengganti tidak dapat mengajukam gugatan waris. Jika harta waris belum dibagi secara riil, maka terhadap kasus waris yang pewarisnya meninggal dunia sebelum KHI lahir dengan sendirinya KHI dapat berlaku surut.

Adapun asas-asas hukum waris adat menurut Zainudin Ali ada 5 macam yaitu45:

1. Asas ketuhanan dan pengendalian diri, yaitu adanya kesadaran bagi para ahli waris, bahwa rezeki berupa harta kekayaan manusia yang dapat dikuasai dan dimiliki merupakan karunia dan keridhaan Tuhan atas keberadaan harta kekayaan. Oleh karena itu, untuk mewujudkan ridha Tuhan, apabila seseorang meninggal dunia dan meninggalkan harta waris, maka ahli waris itu menyadari dan menggunakan hukumnya untuk membagi harta waris mereka, sehingga tidak berselisih dan saling berebut harta waris karena perselisihan di antara

44Tim Redaksi citra Umabara, Kompilasi Hukum Islam, h.379 45

Zainudin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, ( T.Tp: Sinar Grafika, 20008 ), h.8-9

(40)

para ahli waris akan memberatkan perjalanan arwah pewaris untuk menghadap kepada Tuhan. Oleh karena, itu terbagi atau tidak terbaginya harta warisan bukan tujuan melainkan yang penting adalah menjaga kerukunan hidup di antara ahli waris dan semua keturunannya.46

2. Asas kesamaan dan kebersamaan hak, yaitu setiap ahli waris mempunyai kedudukan yang sama sebagai orang yang berhak untuk mewaris harta peninggalan pewarisnya seimbang antara hak dan kewajiban tanggung jawab bagi setiap ahli waris untuk memperoleh harta warisannya.47

3. Asas kerukunan dan kekeluargaan, yaitu para ahli waris mempertahankan untuk memelihara hubungan kekerabatan yang tentram dan damai, baik dalam menikmati dan memanfaatkan harta warisan tidak terbagi-bagi maupun dalam menyelesaikan pembagian harta warisan terbagi.48

4. Asas musyawarah dan mufakat, yaitu para ahli waris membagikan harta warisnya melalui musyawarah mufakat yang dipimpin oleh ahli waris yang dianggap dituakan dan bila terjadi kesepakatan dalam pembagian harta warisan, kesepakatan itu bersifat tulus ikhlas yang dikemukakan dengan perkataan yang baik yang keluar dari hati nurani pada setiap ahli waris.49

5. Asas keadilan, yaitu mengandung maksud di dalam keluarga dapat ditekankan pada sistem keadilan, hal ini akan mendorong terciptanya kerukunan dari keluarga tersebut yang mana akan memperkecil

46

Zainudin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, h.9 47Zainudin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia , h.9 48

Zainudin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, h.9 49

Referensi

Dokumen terkait

Hal yang menarik untuk diteliti adalah bagaimana pandangan Michael Cook terhadap fenomena Common Link serta bagaimana Cook mengaplikasikan teori The Spread of Isna>d

Sebagai seorang religius sejati Ibn Miskawaih meyakini bahwa manusia itu pada dasarnya diciptakan Tuhan dalam dua unsur yaitu unsur jasad dan jiwa jasad manusia akan hancur

yang digunakan dalam menyusun satua sangat baik Kosa kata yang digunakan dalam menyusun satua sudah baik Kosa kata yang digunakan dalam menyusun satua cukup baik

Berdasarkan hasil analisis pada model penelitian diperoleh kesimpulan berikut ini, pertama, kualitas tidak berpengaruh signifikan terhadap pengambilan keputusan

Perubahan anatomi yang penting terjadi menjelang persalinan adalah pada jalan lahir dan jaringan lunak rongga panggul.. Dibawah pengaruh estrogen jaringan otot dan ligamen

Hadis ini menjadi dalil bahwa jika seorang yang berpuasa lalu berada dalam keadaan junub karena berhubungan badan ataupun karena mimpi basah sementara fajar telah terbit (sudah

Jakarta - Dalam rapat dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), salah seorang anggota Komisi XI DPR RI mengusulkan untuk dibentuk panitia kerja (panja) untuk