TAQDIR, SUNNATULLAH DAN NASIB
Kajian Prof.Dr. Ali Nurdin
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Kita mengenal rukun iman ada enam yaitu 1. Iman kepada Allah, 2. Iman kepada malaikat, 3. Iman kepada Rosulullah, 4. Iman kepada Kitabullah, 5. Iman kepada hari akhir dan 6. Iman kepada Taqdir. Hakekat keimanan adalah meyakini sesuatu yang keberadaannya ghaib, karena kalau sesuatu sudah jelas wujudnya dan tidak ghaib maka setiap orang yang bisa melihat pasti akan meyakini keberadaannya.
Diantara keenam rukun iman tersebut, maka rukun iman keenam yaitu iman kepada taqdir masih sulit dipahami oleh banyak orang karena di dalam pengertiannya seakan-akan disana ada ketidakadilan dari Allah melalui taqdirNya atas makhluknya terutama manusia. Mengapa seseorang ditaqdirkan miskin sedang yang lain ditaqdirkan kaya, mengapa dia ditaqdirkan sehat sementara yang lain ditaqdirkan sakit dan sebagainya.
Tulisan ini mencoba menjelaskan pengertian taqdir, langsung dari penjelasan ayat-ayat dalam al-Qur’an. Tulisan ini merupakan bagian pertama dari trilogi tulisan tentang “Taqdir, Sunnatullah dan Nasib” yang disarikan dari kajian Prof Dr Ali Nurdin di padepokan Jl. Hos Cokroaminoto no 105. Selamat menikmati.
TAQDIR
Dari sudut lughoh atau bahasa maka taqdir berarti ‘menetapkan’ atau ‘memberi ukuran’, dan secara istilah maka takdir berarti ‘segala sesuatu telah ditetapkan atau diberi ukuran’. Seperti dijelaskan dalam al-Qur’an surah al-Furqon(25) ayat 2 yang artinya sbb :
yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan (Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya
Makhluq atau ciptaan Allah meliputi benda mati dan benda hidup, dan taqdir untuk masing-masing makhluq telah ditetapkan. Untuk benda mati maka berlaku taqdir sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam surah Yasin(36) ayat 38-39 yang artinya sbb:
dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua.
Note : istilah tandan yang tua, adalah untuk memberikan gambaran bentuk bulan pada bulan baru seperti daun pohon yang melengkung, seperti diketahui bahwa bentuk bulan
pada awalnya kecil kemudian membesar bulat dan akan kembali mengecil seperti bentuk semuala pada awal bulan.
Taqdir yang berlaku untuk benda mati bersifat statis, tidak berubah atau tidak ada pilihan untuk berbeda. Maka bulan, matahari dan semua planet akan terus beredar pada porosnya hingga Allah swt menetapkan taqdir yang berbeda, demikian juga semua benda mati akan menjalani taqdirnya yang linier tanpa ada pilihan untuk mengambil alternatif. Hal ini juga ditegaskan dalam al-Qur’an surah Fushilat (41) ayat 11 yang artinya sbb :
Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa". Keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati".
Sedangkan taqdir yang telah ditetapkan untuk manusia dijelaskan dalam surah al-A’la (87) ayat 1-3 yang artinya sbb:
Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi, yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk,
Para ulama mengelompokkan ayat ini dalam pengertian taqdir bagi manusia karena setelah Allah menciptakan kemudian Allah memberinya petunjuk (hudan) kepada ciptaannya tersebut, sedangkan makhluk yang diberi petunjuk hanyalah manusia. Perbedaan antara manusia dengan makhluk yang lain dari sudut taqdir dijelaskan dalam surah al-Ahzab(33) ayat 72 yang artinya sbb:
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dhalim dan amat bodoh,
Mengapa dalam ujung ayat ini Allah menutup dengan mengatakan sesungguhnya manusia itu dhalim dan bodoh? Adalah karena pengertian dhalim adalah menganiaya diri sendiri, dan dalam ayat tersebut ketika manusia diberikan dua pilihan yang ringan dan berat dia mau mengambil yang berat yaitu memikul amanah. Ayat tersebut menggunakan gaya bahasa (majas) metafora, seolah-olah amanah ditawarkan kepada makhluk lain untuk menggambarkan betapa besarnya beban amanah yang akan dipikul manusia sebagai satu-satunya makhluk yang dilengkapi dengan perangkat untuk mengemban amanah tersebut. Karena itu, amanah disini dipahami para ulama sebagai kebebasan untuk memilih (iradah), suatu fasilitas yang tidak dimiliki oleh makhluk selain manusia. Karena memiliki kebebasan memilih, maka ada konsekuensi yang muncul dari setiap pilihan yang diambil, bisa jadi pilihannya benar atau bisa jadi pilihannya salah. Maka dalam ayat selanjutnya dijelaskan konsekuensi dari pilihan yang diambil, Allah berfirman yang artinya :
Sehingga Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allah menerima tobat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS 33:73)
Ketika pilihan yang daimbilnya salah maka dia masuk dalam kategori orang yang bodoh, mereka adalah orang musyrik dan munafik dan ketika pilihan yang diambilnya benar, maka mereka adalah orang-orang yang diampuni yaitu golongan orang-orang mukmin.
Kebebasan untuk memilih lebih ditegaskan lagi dalam surah al Kahfi (18) ayat 29 yang artinya
Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang lalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.
Juga surah al-Insan (76) ayat 3
Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur
Jadi kebenaran atau petunjuk(huda) sudah diberikan oleh Allah kepada seluruh manusia melalui kitab suci yang dibawa para rasulNya, dan manusia diberi kebebasan untuk memilih apakah akan beriman ataukah akan kufur dengan segala konsekuensi yang sudah dikabarkanNya. Ketika manusia mengambil pilihan untuk kufur atau berpaling, maka Allah pun akan memalingkannya sesuai pilihan hambanya, seperti ditegaskan dalam surah as-shaf (61) ayat 5 yang artinya sbb:
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, mengapa kamu menyakitiku, sedangkan kamu mengetahui bahwa sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu?" Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka; dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang fasik
Petunjuk atau hidayah memiliki beberapa pengertian yaitu :
1. Insting (ghorisi), 2. Panca indra (Hissi) 3. Aqli atau akal 4. Agama
Hidayah dalam pengertian nomor 1 dan 2 dimiliki oleh makhluk hidup, hidayah nomer 3 hanya diberikan kepada manusia dan hidayah nomor 4 hanya untuk manusia. Hidayah nomor satu dan nomor dua kadang menipu, seperti pandangan mata yang terbatas sehingga misalnya gunung tampak biru, rel kereta tampak menyempit dsb, maka hidayah nomor 3 meluruskan kesalahan hidayah nomor 1 dan 2.
Apakah manusia bisa memberikan hidayah??
Dalam surah as_syura (42) ayat 52 Allah berfirman yang artinya ;
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Qur'an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Qur'an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Qur'an itu cahaya, yang Kami
tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.
Memberi petunjuk disini dalam pengertian hanya menyampaikan tetapi manusia tidak mampu memberi hidayah seperti dijelaskan dalam surah al Qosos (28) ayat 56 yang artinya sbb:
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.
Kembali Allah menutup ayat ini dengan menegaskan bahwa Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk, yang artinya pada dasarnya semua manusia sudah diberikan hidayah tetapi ada yang menerima dan ada yang menolak. Dan ketika manusia menolak, maka seorang Rosul pun tidak akan mampu memberikan hidayah tersebut.
Taqdir terdiri dari dua macam yaitu :
1. Yang tidak bisa diubah oleh manusia (muharram) 2. Yang bisa diubah oleh manusia (muallaq)
Untuk taqdir yang tidak bisa diubah, maka manusia tidak bisa memilih dan karenanya Allah juga tidak akan meminta pertanggungjawaban kepada manusia. Termasuk dalam kategori taqdir ini seperti antara lain: kapan manusia dilahirkan dan dari orang tua yang mana, perjalanan waktu, hasil akhir dari usaha manusia dll.
Untuk taqdir yang bisa diubah manusia, maka manusia memiliki ruang untuk memilih atas apa yang akan dilakukannya dan karenanya ada konsekuensi yang akan dipertanggungjawabkannya kepada Allah SWT. Termasuk dalam kategori taqdir ini seperti misalnya, upaya manusia dalam menjemput rizki. Manusia memiliki banyak alternatif pilihan dalam menentukan jenis pekerjaan, bahkan pilihan hukum yang mendasarinya, apakah akan mengambil rizki dari kelompok halal, haram, makruh, atau subhat. Setiap pilihan memiliki konsekuensi masing-masing, maka ketika seorang manusia melakukan korupsi atau mencuri misalnya, maka itu adala pilihan bebas yang diambil karena dia bisa memilih untuk tidak korupsi. Maka dia tidak bisa mengatakan aku jadi koruptor karena sudah ditaqdirkan jadi koruptor.
Dalam sebuah kisah, ketika Umar bin Khatab RA akan menghukum pencuri dengan memotong tangannya, si pencuri berdalih dengan mengatakan ‘aku mencuri karena menjalani taqdirku’, maka Umar menjawab dengan jawaban yang sama ‘aku menghukummu juga karena menjalani taqdirku”.
Maka jelaslah disini tergambar kalau disana ada kebebasan untuk memilih. Contoh lain, pilihan juga terbuka ketika seseorang melakukan usaha dalam mencari jodohnya, apakah dia akan mengambil jalan yang dibolehkan secara syar’i atau sebaliknya. Juga tipe orang yang ingin dijadikan pilihan jodohnya merupakan pilihan bebas. Dalam hal ini manusia diberikan modal berupa insting kecenderungan dalam memilih calon jodohnya seperti dijelaskan dalam al-Qur’an surah an-Nuur(24) ayat 26 yang artinya sbb:
Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik pula...
Ayat tersebut dapat kita pahami dengan kesesuaian yang kita dapati secara empiris, bahwa seorang lelaki baik akan mencari wanita yang baik dan sebaliknya wanita yang baik hanya akan menerima seorang lelaki yang baik. Demikian juga seorang lelaki yang berwatak buruk akan cenderung mencari kesesuain dengan wanita berperangai buruk. Hasil dari usaha manusia dalam menemukan jodohnya (juga dalam usaha papaun) adalah merupakan keputusan Allah SWT dan ini merupakan taqdir. Boleh jadi dalam perjalanan waktu, sepasang suami istri menemukan banyak masalah yang mengganggu perkawinannya. Hal ini tidak kemudian dipahami bahwa taqdir jodohnya buruk, tetapi harus disadari bahwa Allah SWT dengan hikmahNya akan selalu memberikan ujian dan cobaan kepada hambanya dalam semua segi kehidupan. Dalam tahap ini, manusia kembali diberikan kebebasan untuk memilih taqdir yang akan diambilnya, apakah dia akan bersabar dengan ujian tersebut dan berusaha memperbaiki keadaan atau mengambil keputusan cerai adalah pilihan yang diijinkan oleh Allah SWT. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah an-Nisa (4) ayat 19 yang artinya sbb:
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak
Dihalalkan bercerai jika telah dipenuhi syarat untuk itu dan sebaliknya diharamkan jika persyaratan syar’i tidak terpenuhi seperti dijelaskan dalam ayat tersebut. Tetapi Allah menyediakan ruang amal yang lebih baik yaitu bersabar seperti dijelaskan pada penutup ayat diatas.
Wallohu a’lam
Padepokan HOS Cokroaminoto 105
22022012