• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Pemberian Iwadh Dalam Gugatan Cerai Menurut Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.248 K AG 2011)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis Pemberian Iwadh Dalam Gugatan Cerai Menurut Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.248 K AG 2011)"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

DASAR HUKUM PEMBERIANIWADHDALAM PERCERAIANKHULU

DALAM HUKUM ISLAM A. Dasar Hukum Menurut Al Qur’an dan Hadist

Al Qur’an mengajarkan apabila dalam hidup perkawinan tidak ada kesesuaian

antara suami isteri setelah kedua belah pihak menyabarkan diri, tetapi akhirnya tidak

sanggup untuk melanjutkan hidup pernikahan, maka apabila yang menginginkan

bercerai adalah pihak isteri, perceraian dapat dilakukan dengan jalan talak tebus

(khulu’) yaitu isteri meminta kepada suaminya untuk mentalaknya dengan

memberikan kepada suami harta yang pernah diterimanya sebagai mahar.

Mahar atau maskawin adalah suatu pemberian wajib bagi suami kepada isteri

dalam kaitannya dengan pernikahan.56 Islam tidak membatasi jumlah mahar. Islam hanya memberikan prinspi pokok yaitu secarama’ruf, artinya dalam batas-batas yang

wajar sesuai dengan kemampuan dan kedudukan suami yang dapat diperkirakan

isteri.57Tidak ada dosa bagi isteri untuk mengeluarkan tebusan itu kepada suaminya dan tidak ada dosa pula bagi suaminya atas tebusan yang diterimanya.

Bila seorang wanita tidak menyukai suaminya, mungkin karena akhlaknya

bentuk tubuh, agama, ketuaan, kelemahannya atau karena khawatir tidak bisa

56Rahmat Hakim,Hukum Perkawinan Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hal.71.

(2)

menjalankan perintah Allah berupa ketaatan kepada suami, maka ia boleh meminta

cerai kepada suaminya dengan memberi penggantian sebagai penebus dirinya.58 Sebelumnya telah diuraikan bahwa Khulu’ merupakan salah satu bentuk dari

putusnya perkawinan, namun berbeda dengan bentuk lain dari putusnya perkawinan

itu, didalamkhulu’terdapat uang tebusan atau ganti rugi atauiwadh.

Khulu’ialah penyerahan harta yang dilakukan oleh isteri untuk menebus dirinya

dari (ikatan) suaminya.59

Selain dari kata khulu’ para ulama menggunakan beberapa kata yaitu fidyah, shulh dan mubaraah. Meskipun dalam makna yang sama, namun dibedakan dari segi jumlah ganti rugi atau iwadh yang digunakan. Apabila ganti rugi untuk putusnya hubungan perkawinan itu adalah seluruh mahar yang diberikan pada waktu nikah disebutkhulu’. Apabila ganti rugi adalah separuh dari mahar maka disebut shulhdan apabila ganti rugi adalah lebih banyak dari mahar yang diterima pada waktu nikah disebut fidyah. Sedangkan bila isteri bebas dari ganti rugi disebutmubaarah.60

Isteri diperbolehkan memberikan uang tebusan kepada suami untuk

menceraikannya dalam keadaan yang membahayakan dirinya. Tebusan itu sebaiknya

tidak melebihi mahar yang diterimanya dari suami. Suami tidak boleh meminta

tebusan lebih tinggi daripada mahar yang diberikannya kecuali jika permintaan cerai

itu diajukan oleh isteri yang membangkang.61

Khulu’ boleh dilakukan karena manusia membutuhkannya akibat adanya

pertikaian dan persengketaan diantara suami isteri dan tidak ada lagi keharmonisan

diantara suami isteri tersebut.

58Ensiklopedi Ijmak, Pustaka Firdaus, hal.318.

59Muhammad Jawad Mughniyah,Op.cit, hal.456.

60Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hal.231.

(3)

Seorang wanita yang membenci suaminya karena keburukan akhlak, fisik,

ketaatannya terhadap agama, karena kesombongan atau karena hal yang lain. Si isteri

merasa takut jika dia tidak melaksanakan hak Allah untuk mentaati suaminya, oleh

karena itu Islam menetapkan jalan untuknya dalam upaya mengimbangi hak talak

yang dimiliki oleh laki-laki untuk membuatnya terbebas dari ikatan perkawinan, dan

untuk menghilangkan keburukan darinya, maka diperbolehkan baginya untuk

meng-khulu’dengan cara memberikan ganti rugi berupa tebusan untuk menebus dirinya dari

suaminya.

Secara harfiah khulu’ yang berarti “lepas” itu didefinisikan oleh para ulama

adalah perceraian dengan tebusan (dari pihak isteri kepada pihak suami) dengan

menggunakan lafaz talak ataukhulu’62

Khulu’sebagai salah satu jalan keluar dari kemelut rumah tangga yang diajukan

oleh pihak isteri didasarkan atas firman Allah SWT yang terdapat dalam Surah Al

Baqarah ayat 229 yang artinya:63

“….Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat

menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang

bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.”

Al Qur’an menjelaskan bahwa seorang isteri berhak menuntut cerai dari

suaminya (khulu’) jika ia khawatir kekejamannya.

Sebagaimana dalam Surah An Nisa ayat 128 yang artinya:64

62Amir Syarifuddin,Garis-Garis Besar Fiqh, hal.131.

(4)

“Dan jika seorang wanita khawatir akan nuzyus (kekejaman) atau sikap acuh tak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan bila kamu menggauli isterimu dengan baik dan memelihara dirimu, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Kemudian pula apabila seorang isteri merasa khawatir apabila suaminya tidak

dapat menunaikan kewajibannya dalam masa perkawinan sebagaimana yang

ditetapkan oleh syari’ah, maka dia dapat melepaskan diri dari ikatan pernikahan itu

dengan mengembalikan sebahagian ataupun seluruh yang telah diterimanya kepada

suaminya.

Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadist yang artinya:65

“Seorang wanita menghadap Nabi Muhammad SAW dan berkata:” Aku benci pada suamiku dan ingin berpisah darinya”. Nabi Muhammad SAW bertanya: “sudikah engkau mengembalikan kebun yang telah ia berikan sebagai mahar kepadamu?” Dia menjawab: “ya, bahkan lebih dari itu (kalau perlu).” Maka nabi Muhammad SAW bersabda: “Adapun selebihnya tidak usah.”

Tetapi tidak ada alasan apapun bagi seorang isteri untuk meminta cerai

kemudian ia meminta tebusan bagi suaminya.

Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda yang artinya:66

“Wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang

dibenarkan, maka diharamkan baginya bau surga.”

Penggantikhulu’adalah tebusan yang diberikan isteri kepada suaminya sebagai

penukar talak terhadapnya dan kebebasannya. Hukum pengganti ini berbeda-beda

64

Departemen Agama Republik Indonesia,Al Qur’an Dan Terjemahannya, hal 129. 65

Abdul Rahman I.Doi, Perkawinan Dalam Syariah Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal 114.

(5)

sesuai dengan perbedaan yang dialami oleh pasangan suami isteri dan khulu’ yang

ditimbulkannya.

Adapun kondisi tebusan tersebut tidak terlepas dari salah satu dari tiga kondisi berikut antara lain:

1. Isteri yang tidak suka untuk tetap tinggal bersama suaminya, tanpa ada tindakan menyakitkan dan kemudharatan dari suami terhadapnya. Dalam kondisi demikian, suami boleh mengambil harta dari pihak isteri sebagai pengganti dari talak dan kebebasan yang diberikan kepadanya. Dalam hal ini, suami tidak berdosa bila yang diambilnya dari pihak isteri tidak melebihi apa yang diberikannya kepada isteri. Mayoritas ulama membolehkan apabila yang diambilnya itu lebih banyak dari apa yang diberikan kepadanya.67

Sebagaimana dalam Al Quran Surah al Baqarah ayat 229 yang artinya: “ Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak data menjalankan hukum-hukum Allah maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untik menebus dirinya.”68

2. Ketidaksenangan dan keberpalingan pihak suami saja. Suami ingin melepaskan diri dari isterinya agar bisa menikah lagi dengan perempuan lain. Dalam situasi ini, suami tidak boleh mengambil apapun dari isterinya sebagai tebusan talak terhadapnya baik banyak maupun sedikit, sebesar apapun mahar yang telah diberikan kepadanya.69

Sebagaimana dalam Al Qur’an Surah An-Nisa ayat 20 yang artinya:

“ Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang

kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang

banyak maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang

67

Abdul Majid Mahmud Mathlub,Op.cit,hal.410. 68

Al Qur’an Dan Terjemahannya, Op.cit,hal.45 69

(6)

sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan

tuduhan yang dusta dan (menanggung) dosa yang nyata?”70

Suami yang membenci isterinya lalu mempersulitnya dalam berinteraksi agar isteri terdesak nuntik cerai dan bebas darinya dengan memberikan harta tebusan kepadanya maka dalam hal ini suami tidak halal mengambil apapun dari isterinya secara agama.71

Sebagaimana dalam Al Quran Surah Al-Baqarah ayat 231 yang artinya:

“ Janganlah kamu rujuki mereka umtuk memberi kemudharatan, karena

dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian

maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya.”72

Selain juga firman Allah SWT dalam Al Qur’an An Nisa ayat 19 yang

artinya:

“ Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil

sebahagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya.”73

3. Kebencian itu terdapat pada kedua belah pihak dimana rasa kasih sayang di antara suami isteri menjadi tidak sepurna, sementara keduanya pun takut bertindak ceroboh dalam melaksanakan hak-hak suami isteri. Dalam situasi seperti ini, isteri boleh melepaskan diri dari kehidupan rumah tangga dengan memberikan harta kepada suami, sementara suami boleh mengambil harta tersebut sebagai pengganti dari kebebasan yang diberikan kepadanya. Dalam situasi ini, lebih diutamakan suami tidak mengambil harta lebih banyak dari mahar yang diberikan kepadanya karenanusyuztersebut berasal dari keduanya.74

70

Al Qur’an Dan Terjemahannya,Op.cit, hal.45 71

Abdul Majid Mahmud Mathlub,Op.cit,hal.410. 72

Ibid, hal.46 73

Ibid,hal.104. 74

(7)

Iwadhatau tebusan yang dibayarkan isteri kepada suami dalamkhulu’ini dapat

berupa apapun yang memenuhi syarat untuk menjadi mahar, tetapi biasanya berupa

sejumlah harta. Dalam hal sejumlah harta dapat berupa pengembalian mahar yang

pernah diterima oleh isteri dari suami, baik seluruhnya maupun sebahagian. Wujud

iwadhitu bergantung kepada persetujuan bersama antara suami dan isteri.

Tebusan khulu’ atau iwadh tidak diisyaratkan berupa uang yang dipergunakan

oleh banyak orang saja, melainkan juga dibolehkan berupa setiap harta yang bernilai

atau bermanfaat yang dapat ditukar dengan harta, seperti ditimbang, ditakar atau

berupa rumah.75Demikian pula dengan rumah untuk ditempati, garapan tanah dalam waktu yang telah ditentukan dan tebusan dengan menyusui anak dari sang suami,

mengasuhnya, menafkahinya juga termasuk dalamiwadh.

B. Dasar Hukum Menurut Kompilasi Hukum Islam

Perkawinan pada prinsipnya untuk selama-lamanya dan dilakukan dalam

rangka terciptanya keluarga bahagia, sesuai dengan Hadist Riwayat Ibnu Majah,

“Sesuatu yang halal dan yang sangat dibenci adalah perceraian.”76

Kehidupan pernikahan hanya bisa tegak di atas ketenangan dan kasih sayang,

perlakuan baik dan masing-masing suami isteri saling melaksanakan kewajibannya.

Namun terkadang jika suami membenci isteri dan sebaliknya. Ketika kebencian

berasal dari pihak suami, maka ia memiliki kuasa untuk menjatuhkan talak,

75Abdul Majid Mahmud Mathlub,Op.cit, hal.413.

76E. Hasan Saleh,Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, Rajawali Press, Jakarta, 2008,

(8)

sedangkan apabila kebencian muncul dari pihak isteri, Islam membolehkan yang

bersangkutan untuk melepaskan diri dari ikatan perkawinan dengan carakhulu’.

Khulu’ adalah salah satu perceraian yang dibolehkan dalam syariat. Khulu’

merupakan salah satu bentuk putusnya perkawinan. Menurut Kompilasi Hukum Islam

Pasal 1 huruf i yang dimaksud dengan khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas

permintaan isteri dengan memberikan tebus atau iwadh kepada suami dan atas

persetujuan suami.

Masalah khulu’ diatur dalam pasal pasal 148 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam

tahun 1991 yang berbunyi “Seorang istri yang mengajukan gugatan perceraian

dengan jalankhulu’, menyampaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama yang

mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau alasan-alasannya.”

Selanjutnya dalam pasal 124 Kompilasi Hukum Islam berbunyi “ Khulu’ harus

berdasarkan atas alasan perceraian sesuai ketentuan pasal 116.”

Adapun Kompilasi Hukum Islam pasal 116 disebutkan bahwa yang menjadi

alasan perceraian tersebut antara lain :

a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan

lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut

tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar

kemampuannya;

c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman

(9)

d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak lain;

e. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;

f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran

dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;

g. Suami melanggar taklik talak;

k. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan

dalam rumah tangga.

Sehingga bila dilihat dalam uraian pasal 116 Kompilasi Hukum Islam tersebut

bahwa salah satu alasan terjadinya khulu’ karena adanya perselisihan dan

pertengkaran antara suami isteri dan tidak ada harapan untuk rukun kembali dalam

kehidupan rumah tangga.

Tujuan diperbolehkannya khulu’ adalah untuk menghindarkan isteri dari

kesulitan dan kemudharatan yang dirasakannya apabila perkawinan dilanjutkan dan

tanpa merugikan pihak suami karena ia telah mendapat iwadh dari isterinya atas

permintaan cerai dari isterinya.

Baik dalamfiqih maupun dalam Kompilasi Hukum Islam menempatkan khulu’

sebagai salah satu jalan yang ditempuh untuk melakukan perceraian dari pihak isteri.

Khulu’ bukan alasan bagi isteri untuk menanggalkan ikatan perkawinan, tetapi

khulu’ sebagai suatu jalan keluar yang ditetapkan syari’at bagi isteri sebagaimana

(10)

C. Pandangan Para Ulama Fiqih Tentang HukumKhulu’danIwadh

Kata Khulu’ yang terdiri dari lafaz kha-la-a’ yang berasal dari bahasa Arab

secara etimologi berarti menanggalkan atau membuka pakaian.77Dalam suatu ikatan perkawinan diibaratkan bahwa suami itu sebagai pakaian dari isterinya dan isteri

merupakan pakaian bagi suaminya.

Menurut mazhab Hanafi bahwa khulu’ memiliki lima lafal yaitu: khulu’,

al-mubaara’ah(pembebasan), talak,al-mufaaraqah(perpisahan) dansyiraa’(membeli).

Mazhab Hanafi kemudian berpendapat bahwa Khulu’ adalah penghilangan

kepemilikan ikatan pernikahan yang bergantung kepada penerimaan si isteri dengan

lafal khulu’ dan kalimat lain yang memiliki makna yang sama. 78 Kalimat “kepemilikan ikatan pernikahan” membuat keluar khulu’ yang terjadi akibat

pernikahan yang fasid dan khulu’ yang terjadi setelah talak ba’in dan kemurtadan

karenakhulu’pada kondisi yang seperti ini tidak ada artinya.

Mazhab Maliki berpendapat bahwa khulu’ mempunyai empat lafal yaitu:

khulu’, al-mubaara’ah, ash-shulhu (perdamaian), al-fidyah atau al-mufaadaah

(tebusan). Semuanya ditafsirkan dengan satu makna, yaitu isteri memberikan iwadh

untuk penalakannya.79Menurut mazhab Maliki bahwa khulu’ mencakup perpisahan yang terjadi denganiwadhatau dengan tanpaiwadh’.

77Amir Syarifuddin,Op.cit, hal.231

78

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Penterjemah Abdul Hayyie al-Kattani, Gema Insani, Jakarta, 2007, hal.418.

79

(11)

Menurut mazhab Syafi’i dan Hambali menyebutkan bahwa khulu’ sah dengan

lafal talak yang bersifat sindiran, terang-terangan, sindiran dengan diiringi niat dan

dengan bahasa selain bahasa Arab.

Mazhab Syafi’i menyebutkan definisi khulu’ adalah perpisahan antara suami

isteri dengan iwadh dengan lafal talak atau khulu’.80 Seperti ucapan seorang suami kepada isterinya, “Aku talak kamu atau aku khulu’ kamu berdasarkan ini.” Maka si

isteri menerima.

Menurut mazhab Hambali yang dimaksud dengan khulu’ adalah perpisahan

suami dengan isterinya dengan iwadh yang dia ambil dari si isteri, atau dari orang

yang selain isteri dengan lafal khusus.81

Khulu’ menghilangkan kuasa pernikahan dengan kompensasi sejumlah harta.

Tanpa kompensasi maka tidak adakhulu’. Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa tidak

ada bedanya antara kebolehan khulu’ dengan kompensasi mahar, sebahagian dari

mahar, atau dengan harta lain, baik nilainya lebih rendah atau lebih tinggi dari

mahar.82 Sehingga apapun yang boleh dijadikan mahar maka boleh dijadikan kompensasi dalamkhulu’.

Secara terminologi, mahar adalah pemberian yang wajib dari calon suami

kepada calon isteri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta

kasih bagi seorang isteri kepada calon suaminya.83

80

Wahbah Az-Zuhaili,Op.cit, hal.419. 81

Ibid,hal.421.

82Sulaiman al Faifi,Ringkasan Fikih Sunnah, Beirut Publishing, Jakarta, 2014, hal.561.

(12)

Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa boleh hukumnya suami mendapatkan

kompensasi lebih dari yang dia berikan kepada isterinya.

Sebagaimana berdasarkan Firman Allah yang artinya:

“Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh

isteri untuk menebus dirinya.”( QS Al- Baqarah ayat 229).84

Sebahagian ulama berpendapat bahwa iwadh itu tidak boleh melebihi ukuran

mahar yang diberikan suami sewaktu akad nikah. Suami tidak boleh mengambil

sesuatu melebihi apa yang pernah ia diberikan kepada istrinya.85 Ini berdasarkan riwayat Daruquthni dengan sanad shahih bahwa Abu Zubair memberi mahar isterinya

berupa kebun. Nabi bertanya kepada isteri Abu Zubair, “Maukah kamu

mengembalikan kebun yang Abu Zubair berikan kepadamu?” Dia menjawab, “ Ya

dan lebih.” Nabi bersabda, “Adapun lebih dari itu maka tidak boleh, bahkan hanya

kebunnya saja.” Dia berkata, ‘Baik”.86

Suami haram untuk menyakiti isteri dengan tidak memberikan sebahagian hak

isteri agar isterinya marah dan menghkulu’dirinya. Hal tersebut dilarang agar wanita

tidak menanggung dua kerugian sekaligus yaitu berpisah dengan suaminya dan

tanggungan harta yang harus dibayarkan kepada suaminya.

84

Al Qur’an Dan Terjemahannya, hal.45. 85

Amir Syarifuddin,Op.cit, hal.236 86

(13)

1. Rukun dan Syarat Khulu’

Di dalamkhulu’ terdapat beberapa unsur yang merupakan rukun yang menjadi

karakteristik dari khulu’itu. Adapun dalam khulu’ terdapat beberapa rukun yang

harus dipenuhi:

a. suami.

Syarat suami yang menceraikan isterinya dalam bentuk khulu’ sebagaimana

yang berlaku dalam talak adalah seseorang yang ucapannya telah dapat

diperhitungkan secara syara’ yaitu akil, baligh dan bertindak atas kehendaknya

sendiri dan dengan kesengajaan. Berdasarkan atas syarat ini suami yang belum

dewasa atau suami dalam keadaan gila, maka yang akan menceraikan dengan nama

khulu’ adalah walinya. Demikian pula keadaan seseorang yang berada di bawah

pengampuan yang menerima permintaankhulu’isterinya adalah walinya.

b. Isteri yang dikhulu’

Isteri yang akan mengajukan khulu’ kepada suaminya harus memenuhi

persyaratan sebagai berikut:87

1. Ia adalah seseorang yang berada dalam wilayah si suami dalam arti isterinya atau yang telah diceraikan, namun masih berada dalam talakraj’i.

2. Ia adalah seorang yang telah dapat bertindak atas harta, karena untuk keperluan mengajukan khulu’ ini ia harus menyerahkan harta. Untuk syarat ini ia harus seorang yang telah baligh, berakal dan tidak berada di bawah pengampuan serta cerdas bertindak atas harta. Apabila tidak memenuhi persyaratan ini maka yang melakukan khulu’ adalah walinya, sedangkan uang iwadh dibebankan kepada hartanya sendiri kecuali keinginan datang dari pihak wali.

87

(14)

Khulu’ boleh terjadi dari pihak ketiga, seperti walinya dengan persetujuan isteri. Khulu’ seperti ini disebut khulu’ ajnabi. Pembayaran iwadh dalam khulu’seperti ini ditanggung oleh pihakajnabitersebut.

c. Adanya uang tebusan atau ganti rugi atauiwadh

Terdapat perbedaan tentang iwadh pada para ulama. Mayoritas ulama menempatkaniwadhsebagai rukun yang tidak boleh ditinggalkan untuk sahnya khulu’. Menurut Ahmad dan Imam Malik mengatakan bahwa boleh terjadi khulu’tanpaiwadh. Alasannya karenakhulu’merupakan salah satu bentuk dari putusnya perkawinan, oleh karenanya boleh tanpa iwadh sebagaimana dalam talak.88

d. Shighat atau ucapan cerai yang disampaikan suami yang dalam ungkapan tersebut

dinyatakan “ganti uang” atau“iwadh”.Tanpa menyebutkan ganti ini ia menjadi talak

biasa. “ Saya ceraikan kamu dengan tebusan sebuah sepeda motor.”

Tentang pelaksanaan khulu’ yang harus menggunakan ucapanshighat tertentu,

para ulama memiliki pendapat yang berbeda. Mayoritas ulama berpendapat bahwa

sighat merupakan suatu rukun yang tidak boleh ditinggalkan. Dalam arti apabila

tertinggal makakhulu’itu batal sehingga terjadi talak biasa.

Menurut ulama ucapankhulu’terbagi dua macam:89 1. Menggunakan lafaz yang jelas dan terang atausharih.

Yang termasuk dalam lafaz yang sharih untuk khulu’ itu yaitu: pertama,

lafaz khulu’ seperti ucapan suami : “ Saya khulu’ kamu dengan iwadh

sebuah sepeda motor.” Kedua, lafaz “tebusan” seperti ucapan suami: “Saya

88

Ibid,hal.235-236. 89

(15)

bercerai denganmu dengan tebusan sekian.” Ketiga, lafaz fasakh, seperti

ucapan suami: “ Sayafasakhkamu denganiwadhsebuah kitab Al-Qur’an.

2. Menggunakan lafaz kinayah yaitu lafaz lain yang tidak langsung berarti

perceraian tapi dapat digunakan untuk itu. Terjadinya khulu’ dengan lafaz

kinayahini diisyaratkan harus disertai dengan niat.

Misal ucapan suami: “Pergilah pulang ke rumah orang tuamu dan kamu

membayariwadhsebanyak sejuta rupiah.”

Beberapa ulama ada salah satunya Ahmad yang tidak menempatkan shighat

sebagai rukun dalam arti khulu’ telah berlangsung dengan semata suami

telah menerimaiwadh dari isterinya. Adapun alasan yang digunakan adalah

peristiwa yang terjadi tentang Tsabit bin Qeis dalam pisahnya dengan

isterinya setelah menerima tebusan dari isterinya tanpa mengucapkan

apapun.

e. Alasan untuk terjadinyakhulu’

Adanya alasan terjadinyakhulu’yang terdapat dalam Al Qur’an dan hadist

yaitu kekhawatiran isteri yang tidak akan melaksanakan kewajibannya sebagai isteri

yang menyebabkan dia tidak dapat menegakkan hukum Allah SWT.

Terdapat dua pendapat dikalangan ulama:90

1. Menurut jumhur ulama terjadinya khulu’ tidak harus setelah terjadinya kekhawatiran tidak akan menegakkan hukum Allah dengan arti sah khulu’ walaupun tidak terjadi alasan demikian. Khulu’ ini hukumnya makruh. Bahkan Imam Ahmad mengatakan bahwa hukumnya adalah haram.

90

(16)

Alasannya bahwa yang terdapat dalam Al Qur’an maupun hadist Nabi tentang terjadinyakhulu’itu bukan merupakan syarat.

2. Sebahagian ulama di antaranya Zhahiriy dan Ibnu al –Munzir berpendapat bahwa khulu’ adalah sah apabila didahului dengan alasan tidak dapat menegakkan hukum Allah, sedangkan tanpa alasan tidak dapat dilakukan khulu’. Adapun alasan yang digunakan oleh ulama ini adalah zhahir ayat yang menyatakan adanya kekhawatiran tidak menegakkan hukum Allah. Kalau tidak demikian keadaannya tidak boleh suami mengambil kembali apa yang telah diberikannya kepada isterinya dalam bentuk mahar.

Pengertian khulu’ menurut mazhab Maliki adalah talak dengan iwadh, baik

talak ini berasal dari isteri maupun dari orang lain yang selain isteri yang terdiri dari

wali ataupun orang lain, atau talak yang diucapkan dengan lafalkhulu’.91 Dari pengertian diatas menunjukkan bahwa ada dua macamkhulu’yaitu :

1. khulu’yang terjadi adalah yang berdasarkaniwadhharta.

2. Talak yang terjadi dengan lafal khulu’ meskipun tidak berdasarkan ‘iwadh

apa-apa.

Misal: suami berkata kepada isteri “Aku khulu’ kamu atau “Kamu

ter-khulu’.”

Dengan perkataan lain si isteri ataupun orang lain memberikan harta kepada

si suami agar mentalak si isteri, atau membuat jatuh hak si isteri yang harus

dipenuhi oleh si suami, maka dengankhulu’ini jatuh talakba’in.

Syarat-Syaratkhulu

Persyaratan khulu’ harus diperhatikan dengan baik. Sebab khulu’ tidak boleh

terjadi apabila alasan yang diajukan tidak sesuai dengan tuntunan agama.

Beberapa persyaratankhulu’tersebut antara lain:92

91

(17)

a. Di dalam rumah tangga ada bahaya yang mengancam bagi sang isteri, serta rasa takut akan keduanya karena tidak dapat melaksanakan perintah-perintah Allah SWT dengan baik.

b. Berlangsung hingga selesai tanpa adanya sikap yang menyakiti (penganiayaan) dari suami kepada isterinya. Apabila terjadi maka suami tidak berhak ataupun mengambil sesuatu apa pun dari isterinya.

c. Khulu’berasal dari isteri dan bukan dari suami. Suami yang tidak menyukai isterinya ataupun tidak hidup senang bersama isterinya, maka ia tidak berhak mengambil apapun harta isterinya.

d. Kedudukan khulu’ sama dengan talak ba’in, dimana seorang suami tidak bisa mengajak isterinya, kecuali seorang isteri telah menikah dengan laki-laki lain secara sah dan melalui sebuah akad pernikahan yang baru.

Mazhab Maliki berpendapat bahwa khulu’ tidak boleh dilakukan kecuali

dengan syarat-syarat berikut ini:

1. Apa yang dibayarkan kepada si suami adalah sesuatu yang sah untuk dimiliki dan dijual, yang berarti diluar minuman keras, babi dan barang-barang sejenisnya.

2. Jangan sampai menyeret kepada sesuatu yang tidak boleh seperti khulu’ berdasarkan pinjaman ataupun berdasarkan pengakhiran yang berupa hutang atau kondisi mempercepat dan yang sejenisnya itu yang merupakan jenis riba.

3. Khulu’ yang dilakukan oleh isteri berdasarkan kehendak si isteri atau berdasarkan keinginan untuk berpisah dengan suaminya dengan tanpa unsure paksaan dan tindakan buruk kepada suami. Apabila salah satu dari kedua syarat ini dilanggar maka jatuh talak dan tidak jatuhkhulu’.93

Adapun syaratkhulu’menurut mazhab Hambali sebagai berikut: 1. Membayariwadh.

2. Dari orang yang sah untuk memberikan sumbangan dan dari suami yang sah untuk menjatuhkan talak.

3. Keduanya tidak bergurau.

4. Tidak mengahalanginya jika si isteri membayariwadh.

5. Jatuhkhulu’dengan lafal yang bersifat terang-terangan ataupun sindiran. Pertama, “Aku lakukan khulu’” dan “Aku batalkan” dan “Aku tebus”. Kedua, “Aku bebaskan kamu” dan “Aku membebaskanmu” dan “Aku buat kamu tertalakba’in.

92

Honey Miftahulljannah, A-Z Ta’aruf, Khitbah, Nikah dan Talak Bagi Muslimah, PT Grasindo, Jakarta, 2014, hal.161.

93

(18)

6. Tidak memancangkan niat untuk menjatuhkan talak. 7. Bersifat langsung.

8. Dapat terjadi pada semua isteri. 9. Tidak ada tipu daya.

Khulu’ mengharamkan terjadinya tipu daya untuk menjatuhkan sumpah talak atauta’liq-nya dan tidak sahkhulu’dengan tipu daya ini.94

Khulu’dianggap sumpah dari pihak suami, sebab suami menggantungkan talak isterinya kepada penerimaan harta, sementara menggantungkan kepada sesuatu (ta’liq) dianggap sumpah menurut fuqaha.Khulu’ juga dianggap mu’awadhah (tukar menukar) dari pihak isteri, sebab ia wajib memberikan sejumlah harta sebagai pengganti kebebasannya dari suaminya. Namun mu’awadhah tersebut bukanlahmu’awadhah mahdhah (pengganti murni), tetapi ada unsur kesamaan dari sumbangan.95

Jumhur ulama berpendapat bahwa khulu’ adalah talak ba’in seperti yang

disebutkan dalam hadist Rasullah SAW : “ Ambillah kebun itu dan talaklah dia.” 96 Menurut jumhur ulama tidak tepat memasukkan khulu’ ke dalam fasakh, karena

dalamkhulu’terdapat unsur ikhtiar ( kesadaran untuk melakukan), sedangkan dalam

fasakh unsur ikhtiar tersebut tidak ada.97Namun sebahagian ulama diantaranya Abu Dawud, Ibnu Abbas, Utsman bin Affan dan Ibnu Umar berpendapat bahwa khulu’

adalahfasakh.98

Konsekwensi perbedaan pendapat ini tampak pada penghitungan jumlah talak.

Bagi ulama yang menilaikhulu’sebagai talak maka itu terhitung sebagai talakba’in.

dan bagi yang menilainya sebagai fasakh maka tidak terhitung sebagai talak. Suami

yang menjatuhkan talak dua kepada isterinya setelah itu dikhulu’, kemudian dia ingin

94

Wahbah Az-Zuhaili,Op.cit, hal.432. 95Abdul Majid Matlub,Op.cit, hal, 418.

96

Sulaiman Al-Faifi,Op.cit, hal.564. 97

(19)

menikahinya maka dia bisa melakukan hal tersebut selama isterinya belum menikah

dengan laki-laki lain. Karena dia hanya memiliki dua talak saja, sedangkan khulu

nya nilainya sia-sia. Adapun bagi ulama yang menilai khulu’ sebagai talak, mereka

mengatakan bahwa suami tidak boleh merujuk kembali isterinya hingga ia menikah

dengan laki-laki lain, sebab dengan khulu’ itu talaknya sudah lengkap menjadi talak

tiga.

Menurut jumhur ulama ada beberapa akibat hukum yang ditimbulkan oleh

Khulu’ yaitu sebagai berikut:99

1. Terjadinya talak ba’in apabila ganti ruginya terpenuhi. Apabila ganti rugi tidak ada maka perceraian tersebut menjadi talak biasa.

2. Isteri harus membayar ganti rugi.

3. Seluruh hak dan kewajiban antara suami isteri menurut Imam Abu Hanifah menjadi gugur. Sedangkan utang piutang dengan orang lain tidak gugur. Tetapi menurut jumhur ulama termasuk Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (sahabat Imam Abu Hanifah) menyatakan bahwa seluruh hak dan kewajiban tidak gugur, kecuali ada kesepakatan antara keduanya sebelumnya.

4. Menurut jumhur ulama suami yang mengkhulu’isterinya tidak berhak untuk rujuk kepada isterinya dalam masa iddahnya. Tetapi jumhur ulama mengatakan bahwa mantan suami tersebut boleh menikahinya kembali pada masaiddahnya.

Khulu’ merupakan perceraian dengan kehendak isteri. Ibnu Sirin dan Abi

Qalabah mengatakan bahwa tidak boleh khulu’ kecuali bila jelas di perut isteri itu

telah terdapat janin dalam arti dia sudah membuat suatu perbuatan keji.100 Sebagaimana dalam QS An Nisa ayat 19 yang artinya :

99Ensiklopedi Hukum Islam, hal.934.

(20)

“Janganlah kamu enggan terhadapnya suaya kamu mendapat kembali apa

yang telah kamu berikan, kecuali ia telah jelas memperbuat suatu perbuatan

keji.”101

2.HukumKhulu’

Hidup dalam hubungan perkawinan itu merupakan sunnah Allah dan sunnah

Rasul. Melepaskan diri dari kehidupan perkawinan adalah menyalahi sunnah Allah

dan sunnah Rasul dan menyalahi kehendak Allah untuk menciptakan rumah tangga

yang sakinah mawwadahdanwarahmah.

Hubungan suami isteri yang tidak dapat lagi untuk diperbaiki dan terjadi

konflik terus menerus dan keduanya sudah tidak mampu untuk bersabar, maka

keduanya diperbolehkan untuk bercerai. Islam memberi hak kepada suami untuk

mengakhiri kehidupan suami isteri dengan talak, dan memberikan kepada isteri

dengan jalankhulu’.

Terdapat beberapa alasan dimana isteri dapat menuntut cerai dengan wewenang

Qodhi. Apabila isteri memiliki haktafriq, maka suami tidak akan memperoleh ganti

rugi.

Adapun perceraian yang diberikan olehQodhikarena:102 1. Perlakuan menyakitkan yang biasa diterima oleh isteri.

2. Tidak dipenuhi kewajiban-kewajiban dalam ikatan perkawinan. 3. Sakit ingatan.

4. Ketidakmampuan yang tidak dapat disembuhkan. 5. Suami pindah tempat tinggal tanpa memberitahu isteri.

101

(21)

6. Sebab-sebab lain yang serupa yang menurut pendapat qodhi dapat dibenarkan untuk bercerai.

Khulu’ hanya dibolehkan ketika ada sebab yang mengharuskan, misalnya

suami memiliki cacat pada fisik, tidak menunaikan hak isteri atau isteri khawatir tidak

dapat menegakkan hukum-hukum Allah yang wajib baginya untuk berlaku dengan

baik. Namun apabila tidak ada sebab, khulu’ tidak boleh dilakukan.

Sebagaimana halnya dengan talak, maka khulu’ hukumnya ada kalanya wajib,

haram, makruh, sunat maupun mubah.103 1. Wajib.

Khulu’ wajib dilakukan ketika permintaan isteri karena suami tidak mau

memberi nafkah atau menggauli isterinya sehingga isteri menjadi tersiksa.

2. Haram.

Hal ini dapat terjadi dari dua pihak antara suami dan isteri. Pertama dari

pihak suami, Khulu’ itu hukumnya haram jika dimaksudkan untuk

menyengsarakan isteri dan anak-anaknya. Dimana suami menyusahkan

isterinya sehingga pada akhirnya isteri tidak tahan dan menggugat suami

melalui tebusan atau iwadh. Dan apabila suami menceraikan isteri maka

suami tidak berhak untuk mengambil iwadh tersebut. Kecuali isteri

melakukan perbuatan keji seperti berzina atau perbuatan maksiat maka

suami dapat membuat kondisi dimana membayar tebusan melalui jalan

khulu’.

103 Jamaluddin, Hukum Perkawinan Empat Mazhab, Lembaga Penelitian Dan Pengabdian

(22)

Sebagaimana dalam Surah An Nisa ayat 19 yang artinya:104

“Tidak diperbolehkan bagi suami untuk melakukan sesuatu yang membahayakan isterinya, dan tidak menggauli isterinya dengan baik, dengan tujuan agar dia meminta khulu’ darinya dan agar menembalikan harta yang diberikan kepadanya, baik keseluruhan atau sebahagiannya, selama isteri tidak melakukan perbuatan keji yang nyata. Dalam hal ini Allah berfirman, “Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebahagian kecil dari apa yang telah kamu berikan kepadanya.”

Kedua dari pihak isteri, dimana isteri yang meminta cerai padahal keadaan

rumah tangganya berjalan baik dan tidak ada alasan syar’i yang

membenarkan perceraiannya melalui jalankhulu’ .

Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda yang artinya:105

“Siapa yang meminta cerai kepada suaminya tanpa ada alasan apa-apa

(yang sah), maka bau surga diharamkan baginya.”

Sebahagian ulama diantaranya Abu Bakar bin Abdullah al Muzanniy

berpendapat tidak bolehnya khulu’ tersebut, bahkan bila dilakukan maka

yang berlangsung adalah talak bukanlah khulu’. Alasan yang dikemukakan

oleh ulama ini adalah bahwa khulu’ yang pada hakikatnya si suami

mengambil kembali mahar yang telah diberikannya kepada isterinya dalam

bentukiwadh.106

104Al Qur’an Dan Terjemahannya, hal.86.

105Syaikh Muhammad Al-Utsaimin,Shahih Fiqih Wanita, Akbarmedia, Jakarta,2009

,hal.341.

(23)

3. Makruh.

Khulu’ menjadi makruh hukumnya jika tidak ada keperluan untuk itu

kecuali ada kekhawatiran bahwa ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan

Allah tidak akan dapat ditunaikan kalau tidak dengan melepaskan diri

(bercerai).

Menurutmazhab Syafi’i bahwa hukum asal melakukankhulu’itu adalah

makruh dan ia hanya dapat menjadi sunat apabila isteri ternyata tidak baik

dalam bergaul dengan suaminya. 107 4. Sunat.

Khulu’ menjadi sunat hukumnya jika dimaksudkan untuk mendatangkan

maslahat yang lebih bagi kedua suami isteri.

5. Mubah.

Sedangkan menurut Al-Dasuqi bahwa khulu’ hukumnya mubah bukan

makruh.108

Khulu’ dilakukan atas keridhaan kedua belah pihak (suami dan isteri). Ketika

tidak ada keridhaan antara kedua belah pihak, hakim bisa mengharuskan suami untuk

memberlakukan khulu’. Berdasarkan riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi

Muhammad SAW mengharuskan Tsabit bin Qais menerima kebun dan menalak

isterinya setelah keduanya mengadukan permasalahannya kepada beliau.

107

Jamaluddin,Op.cit, hal.124.

Referensi

Dokumen terkait

Ciri-ciri umum dari orang dengan gangguan kepribadian antisosial , yaitu mencakup kegagalan untuk patuh pada norma sosial, tidak bertanggung jawab, tidak mau

Hasil penelitian ini untuk variabel disiplin kerja apabila semakin meningkatnya disiplin kerja maka akan meningkatkan kinerja pegawai di Kantor BP3AKB Kabupaten

[r]

Pada hasil review , panduan, dan juga pendapat ahli dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan efek antara penggunaan larutan NaCl 0.9%, antiseptik ( povidone

Selatan sampai saat ini. Hamam Santoso, April 2016), “Orang biasa mengenal kesenian tari Piring Gelas yang terdapat di Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan, karena

Tema yang didapatkan dari pengalaman hidup pasien kolostomi antara lain: keterbatasan dalam melakukan aktivitas sehari-hari, perubahan psikososial informan, perubahan

Kesimpulan dari Tesis ini adalah Legalitas Akta Jual Beli dan Pengalihan Hak yang lahir akibat wanprestasi hutang piutang tidak sah dan batal demi hukum

Kesimpulan dari Tesis ini adalah Legalitas Akta Jual Beli dan Pengalihan Hak yang lahir akibat wanprestasi hutang piutang tidak sah dan batal demi hukum