• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pembagian Hartawarisan Dalam Perkawinan Poligami Menurut Perspektif Hukum Waris Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 224 K Ag 2011)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pembagian Hartawarisan Dalam Perkawinan Poligami Menurut Perspektif Hukum Waris Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 224 K Ag 2011)"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam diyakini sebagai agama yang menebar rahmatan lil-alamiin (rahmat bagi semesta alam), dan salah satu bentuk rahmat yang dibawanya adalah ajaran tentang perkawinan. Perkawinan merupakan salah satu sunatullah bagi mahluk ciptaan Allah SWT. Ia mencakup pada semua jenis makhluk seperti hewan dan demikian juga alam manusia. Firman Allah didalam surat Adz-Dzaariyah (51) ayat 49, yang artinya: “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya mengingat akan kebesaran Allah.”Dari ayat diatas jelas bahwa kehendak Allah SWT terhadap ciptaan-Nya didunia ini juga berlaku pada umat manusia yang dikenal dengan perkawinan.

Didalam Al-Qur’an dijumpai tidak kurang dari 80 ayat yang berbicara soal perkawinan, baik yang memakai katanikah(berhimpun) maupun menggunakan kata

(2)

suami istri, serta pengaturan hak-hak dan kewajiban-kewajiban keduanya dalam rumah tangga.1

Dalam pandangan Islam perkawinan adalah salah satu cara yang berguna untuk menjaga kebahagiaan umat dari kerusakan dan kemerosotan akhlak. Selain itu perkawinan juga dapat menjaga keselamatan individu dari pengaruh kerusakan masyarakat karena kecenderungan nafsu kepada jenis kelamin yang berbeda dapat dipenuhi melalui perkawinan yang sah dan hubungan yang halal. Justru oleh karena itu Islam memberikan perhatian khusus kepada kaum muda mengenai masalah perkawinan, untuk menyelamatkan jiwa mereka dari perbuatan dan kerusakan akhlak seperti zinah dan seumpamanya.2

Tujuan perkawinan dalam hukum Islam dapat dipahami dari pernyataan Al-Qur’an yang menegaskan bahwa di antara tanda-tanda kekuasaan Allah SWT ialah bahwa ia menciptakan isteri-isteri bagi para lelaki dari jenis mereka sendiri, agar mereka merasa tenteram (sakinah). Kemudian Allah SWT menjadikan atau menumbuhkan perasaan cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah) di antara mereka. Yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (pelajaran) bagi mereka yang mau berfikir3. Dalam ayat lain mengisyaratkan bahwa para isteri adalah pakaian

1 Musdah Mulia,Pandangan Islam tentang Poligami, Lembaga Kajian Agama dan

Jender-Solidaritas Perempuan, Jakarta,1999, hal.1-2

2 Iman Jauhari, Perlindungan Hukum terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami, Pustaka

Bangsa, Jakarta, 2003, hal.1

(3)

(libas) bagi para suami, demikian pula sebaliknya, para suami adalah pakaian bagi para isteri4.

Poligami bukanlah merupakan masalah baru, telah ada sejak dulu kala diantara berbagai kelompok masyarakat diberbagai kawasan dunia. Orang-orang Arab telah berpoligami jauh sebelum kedatangan Islam, demikian pula masyarakat lain disebagian besar kawasan dunia pada masa itu. Bahkan dimasa sebelum datangnya Islam, telah dipraktekkan poligami yang tanpa batas.5

Dalam catatan sejarah, utamanya dalam masyarakat jahiliyah telah terdapat beberapa bentuk perkawinan dimana seorang istri mempunyai beberapa orang suami dan seorang laki mempunyai beberapa orang istri, atau sebaliknya seorang laki-laki hanya mempunyai seorang istri atau sebaliknya seorang istri hanya mempunyai seorang suami.6

Banyak orang salah paham tentang poligami. Mereka mengira poligami itu baru dikenal setelah Islam. Mereka menganggap Islamlah yang membawa ajaran tentang poligami. Praktek poligami telah ada jauh sebelum Islam dan menjadi kebiasaan yang diperbolehkan. Pada masa itu, poligami biasanya banyak dilakukan para raja yangnotabenemerupakan lambang ketuhanan, sehingga perbuatan tersebut

4

QS. Al-Baqarah;187

5

M. Hasballah Thaib & Marahalim Harahap, Hukum Keluarga dalam Syariat Islam, Universitas Al Azhar, Medan, 2010, hal.89

6M. Ahnan & Ummu Khoiroh, Poligami di Mata Islam, Putra Pelajar, Surabaya, 2001,

(4)

dianggap suci. Hal seperti ini terjadi dikalangan orang Hindu, Media, Babilonia, Persia dan Israil.7

Bangsa Mesir purba misalnya, menjalankan poligami seperti ketika zaman Deodor Sesle.8 Ajaran Zarathrusta Persia menggalakkan poligami untuk memacu kelahiran generasi laki-laki, yang angka kematiannya sangat tinggi akibat budaya perang. Mereka menganggap siapa yang beristri banyak akan mendapatkan pahala yang banyak pula diakhirat.9

Orang-orang di Roma, seperti di zaman kekuasaan Raja Seila, biasa mengawini lima perempuan sekaligus. Raja Pompey dan Caesar, diriwayatkan masing-masing mempunyai empat orang istri, Demikian pula telah berpoligami Raja Constantin dan anak-anaknya. Bahkan Raja Valentinianus mengeluarkan satu undang-undang khusus tentang poligami. Undang-undang yang memperkenankan rakyatnya mengawini beberapa orang wanita jika mereka mau. Ini terjadi pada pertengahan kurun keempat Masehi.10

Kitab Taurat mewajibkan poligami dan tidak membatasi hanya empat istri. Adapun Talmud membatasi jumlah istri untuk dipoligami, sesuai kemampuan suami dalam membiayai dan memelihara istri-istrinya kelak.11

7Anik Farida, Menimbang Dalil Poligami antara Teks, Konteks dan Praktek , Balai

Penelitian dan Pengembangan Agama, Jakarta, 2008, hal.16

8Nurbowo A.J. Mulyono, Indahnya Poligami, Pengalaman Keluarga Sakinah Puspo

Wardoyo, Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2003, hal. 2

(5)

Selanjutnya, dikalangan nabi pun dikatakan bahwa Nabi Sulaiman mempunyai seratus orang istri. Rabbaiyun (pengikut-pengikut Nabi Isa yang dekat dengannya) berpoligami sebanyak empat orang istri berdalilkan kepada Nabi Yakub yang telah mengumpulkan empat orang istri saja.12

Dengan demikian, Islam bukan agama yang pertama kali membolehkan poligami. Dalam perkembangannya, Islam justru memberikan pembatasan gerak terhadap kebolehan perkawinan poligami. Inilah yang membedakan poligami dalam Islam dan agama lain dimana dalam Islam hanya memperbolehkan maksimal empat orang istri.

Adanya poligami yang berakar dari kehidupan umat manusia adalah sangat terkait erat dengan keberadaan infrastruktur suatu masyarakat. Perubahan yang terjadi, banyak dipengaruhi oleh perubahan infrastruktur masyarakat. Sebagaimana yang diketahui pada awalnya poligami adalah suatu kebiasaan yang dilakukan oleh setiap masyarakat dengan adanya contoh yang diberikan oleh para pemimpinnya. Namun dalam perkembangannya poligami semakin berkurang dengan mulai menyingsingnya fajar modernisasi. Masyarakat tradisional dibandingkan masyarakat modern tentu berbeda karena adanya akses yang berbeda dalam masalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal inilah yang menjadikan perempuan dapat lebih berperan dalam kehidupan rumah tangga tanpa meninggalkan perannya sebagai ibu untuk mendidik anaknya.13

12

Ibid,

(6)

Poligami bertujuan untuk memelihara hak-hak wanita dan memelihara kemuliaannya. Kebolehan poligami terdapat pesan-pesan strategis yang dapat diaktualisasikan untuk kebahagiaan manusia. Poligami memiliki nilai sosial ekonomis untuk mengangkat harkat dan martabat wanita. Poligami hanya dibolehkan jika memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan. Persyaratan dan pembatasan itu adalah14

1. Jumlah wanita yang boleh dikawini tidak boleh lebih dari empat orang (Q.S. 4:2 dan hadist nabi riwayat An-Nasai). Hadist ini menceritakan bahwa Nabi menyuruh Gailan bin Salamah al Tasqafi, seorang musyrik Mekkah yang baru masuk Islam dan beristri sepuluh orang, agar menceraikan istri-istrinya yang lebih dari empat orang dan hanya boleh meneruskan hubungan perkawinannya dengan empat orang saja.

2. Sanggup berlaku adil terhadap semua istri-istrinya. Barangsiapa belum sanggup berlaku adil, dia tidak boleh mengawini lebih dari satu orang (Q.S.4:129). Keadilan yang diisyaratkan dalam ayat ini mencakup keadilan dalam tempat kediaman, nafkah lahir batin serta kasih sayang.

3. Wanita yang akan dikawini seyogyanya adalah wanita yang mempunyai anak yatim, agar anak yatim itu berada dibawah pengawasan laki-laki yang akan berpoligami tersebut, supaya ia dapat berlaku adil terhadap anak yatim dan harta anak yatim tersebut (Q.S.4:3 jo Q.S.4:129). Jadi perempuan yang tertentu yang boleh dikawini lagi disamping istri yang telah ada adalah perempuan yang ada hubungannya dengan pemeliharaan anak yatim.

4. Tidak boleh dengan wanita yang mempunyai hubungan saudara atau dengan wanita yang mempunyai hubungan sepersusuan dengan istri(Q.S.4:23).

5. Tidak bermaksud hendak mempermainkan atau menganiaya wanita yang akan dikawini itu (Q.S.4:24).

Poligami juga mengandung beberapa manfaat dalam mengatasi masalah antara lain15:

14Neng Zubaidah, Sulaikin Lubis, Farida Prihartini,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,

Hecca Mitra Publising dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, Jakarta, 2005, hal. 98-99

(7)

1. Mengatasi problem sosial

a. Bertambahnya jumlah wanita melebihi jumlah pria

b. Berkurangnya kaum pria akibat perang sebab politik maupun agama. 2. Mengatasi problem pribadi

Istri dalam keadaan mandul, sementara suami sangat berharap untuk memiliki keturunan.

3. Mengatasi kerusakan akhlak

4. Merealisasikan prinsip bahu membahu

Banyak wanita yang ditinggal wafat suami, hidup sendirian tidak menentu kemana harus melangkah untuk memperbaiki kehidupannya atau memelihara diri dan anak-anaknya dari berbagai bahaya yang mengancam.

5. Membina keluarga agar berinteraksi dengan masyarakat luas.

Pandangan Islam terhadap poligami, disebutkan dalam firman Allah SWT dalam Q.S. An Nisaa’ ayat 3 , yang artinya :

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Dari ketentuan ayat tersebut maka Islam memperbolehkan seseorang untuk melakukan poligami tetapi harus memenuhi syarat, yaitu adil. Keadilan yang dimaksudkan dari ayat diatas adalah keadilan yang mampu diwujudkan manusia dalam kehidupan sehari-harinya, yaitu persamaan dalam urusan sandang, pangan, tempat tinggal dan perlakuan yang layak terhadap mereka.16

Dalam hal ini perlu ditelusuri sebab musabab turunnya ayat itu. Ayat itu diturunkan di Madinah setelah Perang Uhud. Sebagai dimaklumi, karena kecerobohan dan ketidakdisiplinan kaum Muslim dalam perang itu mengakibatkan mereka kalah

(8)

telak. Banyak prajurit Muslim yang gugur di Medan perang. Dampak selanjutnya, jumlah janda dan anak-anak yatim dalam komunitas Muslim meningkat drastis. Tanggung jawab pemeliharaan anak-anak yatim itu tentu saja dilimpahkan kepada walinya. Tidak semua anak yatim berada dalam kondisi papa dan miskin, banyak diantara mereka yang mewarisi banyak harta peninggalan mendiang orangtua mereka.17

Pada situasi dan kondisi yang disebutkan terakhir, muncul niat jahat di hati sebagian wali yang memelihara anak yatim. Dengan berbagai cara mereka berbuat curang dan culas terhadap harta anak yatim tersebut. Terhadap anak yatim perempuan yang kebetulan memiliki wajah yang cantik, para wali itu mengawini mereka, dan jika tidak cantik mereka menghalanginya agar tidak menikah meskipun ada laki-laki yang melamarnya. Tujuan para wali menikahi anak yatim yang berada dalam kekuasaan mereka semata-mata agar harta anak yatim itu tidak beralih kepada orang lain, melainkan jatuh ke dalam genggaman mereka sendiri. Dan tujuan mereka menghalangi anak yatim perempuan untuk menikah dengan laki-laki lain juga sama, yaitu agar harta mereka tidak jatuh kepada orang lain. Kedua bentuk perbuatan itu sangat tidak adil.

Karena tujuan utama para wali adalah menguasai harta anak yatim, akibatnya tujuan luhur perkawinan tidak terwujud. Tidak sedikit anak yatim yang telah dinikahi oleh para wali mereka sendiri mengalami kesengsaraan akibat perlakuan yang tidak adil. Anak-anak yatim itu dikawini, tapi hak-hak mereka sebagai istri, seperti mahar

(9)

dan nakah tidak diberikan. Bahkan harta mereka dirampas oleh suami mereka sendiri untuk menafkahi istri-istrinya yang lain yang jumlahnya lebih dari batas kewajaran.18

Menurut Abduh, disinggungnya persoalan poligami dalam konteks pembicaraan anak yatim bukan tanpa alasan. Hal itu memberikan pengertian bahwa persoalan poligami identik dengan persoalan anak yatim,19 karena dalam dua persoalan tersebut terkandung persoalan yang mendasar yaitu persoalan ketidakadilan. Anak yatim seringkali menjadi korban ketidakadilan karena hak-hak mereka tidak terlindungi. Sementara dalam poligami yang menjadi korban ketidakadilan adalah kaum perempuan.20

Kendatipun Islam tidak menghapus praktek poligami, namun Islam membatasi kebolehan poligami hanya sampai empat orang istri dengan syarat-syarat yang ketat pula seperti keharusan adil di antara istri.

Ketentuan poligami diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan :

(1)Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana yang disebut pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

(2)Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila :

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.

(10)

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 5 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan : (1)Untuk mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud

dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang ini, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Adanya persetujuan istri/istri-istri

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anak mereka.

(2)Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami, apabila istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian hakim pengadilan.

(11)

masyarakat tentang hukum dan kaedah-kaedah yang berlaku dalam pembagian harta warisan pada perkawinan poligami.

Berdasarkan penelusuran perkara-perkara yang masuk di Pengadilan Agama Medan diketahui bahwa terdapat salah satu kasus pembagian harta warisan poligami menurut hukum Islam yaitu Putusan No. 636/Pdt.G/2008/PA-Mdn. Putusan ini telah dibatalkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Agama No. 22/Pdt.G/2010/PTA.Mdn dan juga telah dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 224/K/AG/2011.

Kasus ini dimulai dari meninggalnya MS, sebagai kepala rumah tangga atau sebagai pewaris yang semasa hidupnya telah melakukan perkawinan poligami dengan istri pertama yang bernama SH (menikah tahun 1951) dan istri kedua yang bernama RP (menikah tahun 1983). Dari perkawinan yang pertama, MS tidak memiliki anak. Dari perkawinannya dengan RP, MS memiliki 3 orang anak kandung yakni IS (perempuan), RF (laki-laki) dan AF (laki-laki).

Kedudukan SH dalam kasus ini adalah sebagai Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi/Tergugat I Intervensi. Adapun kedudukan RP, IS, RF dan AF adalah sebagai Para Tergugat Konvensi/Para Penggugat Rekonvensi/ Para Tergugat II Intervensi. Adapun kedudukan LS dan TS adalah sebagai Penggugat Intervensi.

(12)

Rekonvensi yang isinya menuntut pembagian harta bersama dan harta warisan Almarhum MS yang masih dikuasai dan diusahai oleh Penggugat/Tergugat Rekonvensi.

Berdasarkan uraian sebagaimana yang disebutkan diatas, maka dilakukan penelahaan lebih lanjut tentang akibat hukum pembagian harta warisan dalam perkawinan poligami menurut hukum Islam dari kasus tersebut. Penelitian ini kemudian dituangkan dalam tesis dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan Dalam Perkawinan Poligami Menurut Perspektif Hukum Waris Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 224/K/AG/2011)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang masalah diatas, maka dirumuskan beberapa masalah yang perlu dibahas dalam penelitian adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan pembagian harta warisan dalam hal terjadinya poligami menurut perspektif Hukum Waris Islam?

2. Bagaimana pelaksanaan pembagian harta warisan dalam perkawinan poligami berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 224/K/AG/2011?

(13)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian diatas adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui pengaturan pembagian harta warisan dalam hal terjadinya poligami menurut perspektif Hukum Waris Islam.

2. Mengetahui pelaksanaan pembagian harta warisan dalam perkawinan poligami berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 224/K/AG/2011

3. Mengetahui hal-hal yang menjadi pertimbangan Hakim dalam memutus perkara No. 224/K/AG/2011

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat bagi semua pihak baik bagi peneliti, para pihak yang nantinya dihadapkan dalam tuntutan pembagian harta warisan dalam perkawinan poligami menurut hukum Islam.

1.. Manfaat Teoritis

(14)

2.. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi kalangan praktisi dalam menangani suatu perkara termasuk perkara perkawinan poligami yang saat ini diketahui banyak terjadi di masyarakat. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan masukan bagi praktisi hukum, penasehat perkawinan, advokat, mahasiswa dan masyarakat umum.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan sementara di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya dilingkungan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan beberapa judul tesis yang berhubungan dengan judul topik dalam tesis ini antara lain:

1. Penelitian dengan judul “Pengaturan Harta Bersama Dalam Perkawinan

Poligami (Studi di Kecamatan Medan Maimun) oleh Fitria Agustina Nim.

017011021/MKn. Rumusan masalah yang dibahas adalah

(a) Bagaimanakah pengaturan tentang harta bersama dalam perkawinan poligami?

(b) Bagaimanakah pembagian harta bersama dalam hal terjadinya perceraian? (c) Bagaimanakah pelaksanaan pembagian harta bersama dalam perkawinan

(15)

2. Penelitian dengan judul “Perkawinan Poligami Pegawai Negeri Sipil” oleh Ridho Surya Chandra Nim 017011048/MKn. Rumusan masalah yang dibahas adalah

(a) Faktor-faktor apakah yang menyebabkan seorang suami yang statusnya sebagai Pegawai Negeri Sipil melakukan perkawinan poligami?

(b) Apakah akibat hukum dari perkawinan poligami yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil?

(c) Bagaimana pelaksananaan sanksi hukum bagi Pegawai Negeri Sipil yang melalukan poligami?

3. Penelitian dengan judul “Akibat Hukum Perkawinan Poligami Yang Dilangsungkan Tanpa Izin Pengadilan (Studi Kasus Putusan Pengadilan

Agama Padang) oleh Nani Ilka Nim 047011048/MKn. Rumusan masalah yang

dibahas adalah

(a) Faktor-faktor apakah yang menyebabkan suami melakukan perkawinan poligami tanpa izin Pengadilan?

(b) Mengapa tercatatnya perkawinan poligami yang belum mendapatkan izin pengadilan?

(c)nBagaimanakah akibat hukum terhadap perkawinan poligami yang dilangsungkan tanpa izin dari pengadilan?

(16)

Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan Dalam Perkawinan Poligami Menurut

Perspektif Hukum Waris Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik

Indonesia No. 224/K/AG/2011)” ini belum ada yang membahasnya, sehingga penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, atau teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.21

Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses itu terjadi22, dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.23

Oleh sebab itu, teori atau kerangka teori mempunyai kegunaan paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut :

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.

b. Teori sangat berguna didalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan defenisi-defenisi.

21M.Solly Lubis,Filsafat dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal.80 22

M.Hisyam,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, FE UI, Jakarta, 1996, hal.203

23

(17)

c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti.

d. Teori memberikan kemungkinan pada suatu prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan lagi timbul dimasa mendatang.

e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti.24

Penelitian ini membahas tentang pembagian harta warisan dalam perkawinan poligami menurut perspektif Hukum Waris Islam. Dalam kasus ini Penggugat (istri pertama) mengajukan gugatan menuntut pembagian harta bersama dan pembagian harta warisan yang belum pernah dibagi dan masih dikuasai oleh para Tergugat (istri kedua dan anak-anaknya).

Terhadap masalah harta bersama maupun harta peninggalan Almarhum, Penggugat telah berupaya dan coba menyelesaikan secara musyawarah kekeluargaan akan tetapi sampai gugatan ini diajukan kepada Pengadilan Agama Medan, para Tergugat tidak menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan secara kekeluargaan.

Pada putusan No. 224/K/AG/2011 yang akan dianalisa dalam tesis ini adalah bagaimana hukum waris Islam mengatur tentang pembagian harta warisan dalam perkawinan poligami dan bagaimana pula seharusnya hakim menetapkan putusan yang memenuhi rasa keadilan para pihak yang bersengketa dengan tetap memperhatikan kemaslahatan bagi para pihak.

24

(18)

Apabila dikaitkan dengan identifikasi masalah yang diteliti dalam tesis ini maka penelitian ini menggunakan dasar teori keadilan sebagaigrand theorydan teori kemaslahatan sebagai teori pendukung.

Kemaslahatan secara etimologi dapat diartikan sebagai sesuatu yang mendatangkan kebaikan, keselamatan, faedah, atau kegunaan dan manfaat.25 Kemaslahatan menurut Al Ghazali dan Al Syatibi dalam Kitabal Muwafaqat fi ushul al Syariah, adalah mewujudkan tujuan-tujuan agama, yaitu menjaga lima hal : agama, jiwa, akal keturunan dan harta benda (hifdz ad-din, an-nafs, al-‘aql, an-nasl, al-mal). Setiap hal yang mengandung terhadap lima hal ini adalah kemaslahatan, dan setiap yang mengabaikan kemaslahatan adalah kerusakan. Maka menolak kerusakan adalah kemaslahatan.26

Kata adil dalam bahasa Arab “al ‘adl” yang artinya sesuatu yang baik, sikap yang memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan. Untuk menggambarkan keadilan juga digunakan kata-kata lain (sinonim) sepertiqisth, hukm, dan sebagainya. Sedangkan akar kata‘adl dalam berbagai bentuk konjugatifnya bisa saja kehilangan kaitannya yang langsung dari sisi keadilan itu (misalnya “ta’dilu” dalam arti mempersekutukan Tuhan dan‘adldalam arti tebusan).

Ada sebagian ulama mendefinisikan Adil dengan menempatkan sesuatu pada tempat yang semestinya, memberikan sesuatu yang berhak menerimanya,

25

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2007, hal. 634

26

(19)

menyerahkan suatu jabatan kepada yang profesional.27 Beragam objek keadilan dibicarakan dalam kasus kasus yang terdapat dalam Al-Qur’an, menunjukkan pengertian adil pada satu kasus berbeda dengan arti adil pada kasus orang lain. Keadilan hakiki tidak mampu dilakukan manusia. Hal ini terjadi pada berlaku adil terhadap para istri yang dipoligami oleh suami.28

Firman Allah dalam Surat An Nisa’ ayat 129 yang artinya:

“Dan kamu pasti tidak akan dapat berlaku adil diantara wanita-wanita (istri-istri dalam cinta). Walaupun kamu berusaha sekuat tenaga ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) dan membiarkan yang lain terkatung-katung.”

Dari itu ulama fiqih (ahli hukum) sepakat mengutarakan bahwa adil yang dituntut bagi para suami yang berpoligami adalah adil pada lahir (nafkah) karena adil pada bathin tidak seorangpun yang mampu.29

Defenisi Adil tidak keluar dari 4 (empat) arti30: 1. Adil dalam arti sama.

Artinya tidak membedakan antara yang satu dengan yang lain, sebagai contoh Hakim di pengadilan harus sama menempatkan tempat yang sama antara penggugat dan tergugat. Maksudnya penggugat dan tergugat memiliki hak yang sama.

Allah berfirman dalam Surat An Nisaa’ ayat 58, yang artinya :

27 M. Hasballah Thaib & Zamakhsyari Hasballah, Tafsir Tematik Al Qur’an II, Pustaka

Bangsa, Medan, 2007, hal. 239

28Ibid, hal. 243 29

Ibid, hal. 244

(20)

“Apabila kamu memutuskan perkara diantara manusia, maka hendaklah kamu memutuskannya dengan adil.”

Ayat ini memberi petunjuk hakim untuk menempatkan pihak-pihak yang bersengketa dalam posisi yang sama.

2. Adil artinya seimbang dalam arti proporsional.

Arti keadilan kedua ini biasanya diperlukan dalam hukum waris Islam. Misalnya hak anak laki-laki dua kali bahagian anak perempuan karena tanggung jawab anak laki-laki lebih berat. Anak laki-laki bakal jadi ayah, bakal jadi suami, tentu saja kewajiban mengeluarkan harta lebih banyak dibanding anak perempuan yang bakal menjadi isteri atau ibu yang selalu mendapatkan haknya dari calon suami atau anak-anaknya.

3. Adil dalam arti hak-hak individu.

Artinya setiap orang memiliki haknya masing-masing. Arti ketiga ini biasa disebut dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya.

4. Keadilan yang keempat adalah Keadilan Allah yang tidak mampu akal manusia untuk memahaminya. Keadilan Allah pada hakikatnya merupakan rahmat dan kebaikannya.

(21)

segi. Tugas awal yang kemudian adalah upaya formulasi Al-Qur’an dan Hadist khusus yang berkaitan dengan hukum agar mampu tampil sebagai prinsip keadilan umum. Perpaduan dua segi ini diharapkan menjadi produk standar panduan mencari keadilan lewat jalur hukum. Pada akhirnya pedoman tersebut mampu tampil menjadi standar hukum universal yang mampu tampil di manapun dan kapanpun sesuai dengan fitrah diturunkanya Islam ke muka bumi.31

Maksud dari muara keadilan dari dua segi adalah tujuan akhir berupa keadilan yang harus dicapai oleh sebuah sistem hukum universal mesti berorientasi pada keadilan terhadap manusia dan keadilan kepada Allah. Keadilan bagi manusia mengarah kepada berbagai definisi keadilan yang bukan tidak mungkin antara satu masyarakat manusia dengan masyarakat dengan lainnya berbeda dalam mengartikan keadilan hukum. Artinya fleksibilitas produk keadilan mutlak diperlukan dalam heterogenitas manusia dan linngkungannya, sedangkan muara keadilan kepada Allah adalah produk hukum yang menempatkan keadilan sesuai dengan proporsinya.32

2. Konsepsional

Kerangka konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu

31Abdul Ghofur Anshari, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, UII Press, Yogyakarta 2005,

hal.153

(22)

proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis.33 Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.34

Oleh karena itu, dalam penelitian ini dirumuskan kerangka konsepsi sebagai berikut:

a. Harta warisan adalah harta bawaaan ditambah bagian harta bersama setelah dipergunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz) pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.35

b. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa36. Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat (mistaaqon gholidhan) untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah37.

c. Poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak atau (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) istri dalam waktu yang bersamaan.38

33Satjipto Rahardjo,Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal.397

34Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 7

35

Pasal 171 huruf eKompilasi Hukum Islam

36Pasal 1Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 37Pasal 2Kompilasi Hukum Islam

(23)

d. Pengadilan Agama adalah badan peradilan khusus orang yang beragama Islam, yang memeriksa dan memutuskan perkara perdata tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.39

e. Hukum Kewarisan Islam adalah Hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya.40

f. Perspektif adalah sudut pandang.41

g. Tinjauan Yuridis adalah pandangan menurut hukum; berdasarkan ketentuan hukum.

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu penelitian yang akan memaparkan dan menganalisa permasalahan yang akan dikemukakan dalam penelitian ini. Metode penulisan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif, yang berawal dari premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru (suatu tesis) dan kebenaran-keberanan induk teoritis.

39Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,Op.Cit, hal. 8

(24)

Pendekatan yuridis normatif disebut demikian karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau dilakukan hanya pada peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti atau dengan perkataan lain melihat hukum dari aspek normatif yang kemudian dihubungkan dengan data dan kebiasaan yang hidup ditengah-tengah masyarakat.

2. Sumber Data

Sumber data berasal dari penelitian kepustakaan (library research) yang diperoleh dari :

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan yang terdiri dari : a. Al-Qur’an dan Hadist

b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. c. Kompilasi Hukum Islam

d. Putusan No.224/K/AG/2011

2. Bahan hukum sekunder, terdiri dari bahan-bahan yang berkaitan dengan bahan hukum primer, misalnya buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan, tulisan para ahli, makalah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

(25)

badan hukum sekunder, misalnya majalah, surat kabar, kamus hukum, kamus bahasa Indonesia.

Selain itu, juga dilakukan penelitian lapangan (filed research) dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder yang tidak diperoleh dalam penelitian kepustakaan dan data primer untuk mendukung analisis permasalahan yang dirumuskan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian tesis ini dipergunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

a. Penelitian Kepustakaan(library research)

Pengumpulan data dilakukan dengan cara menghimpun data yang berasal dari kepustakaaan, berupa buku-buku atau literatur, jurnal ilmiah, majalah-majalah, peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti serta tulisan-tulisan yang terkait dengan pembagian harta warisan perkawinan poligami menurut hukum Islam.

b. Penelitian Lapangan(field research)

(26)

4. Alat Pengumpulan Data

Berdasarkan metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, maka alat pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :

a. Studi dokumen dengan meneliti dokumen-dokumen yaitu tentang hukum Islam. Dokumen ini merupakan sumber informasi penting.

b. Wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide). Wawancara dilakukan terhadap informan dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya. Wawancara ini dilakukan dengan Hakim Pengadilan Agama Medan sebanyak 2 (dua) orang.

5. Analisis Data

Dalam analisis data dilakukan penyusunan data primer dan data sekunder secara sistematis. Selanjutnya data primer dan data sekunder yang telah disusun secara sistematis dianalisis dengan menggunakan metode deduktif yang dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan sumber yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam tesis ini sehingga diperoleh kesimpulan sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan.

Referensi

Dokumen terkait

Judul Skripsi : Aktivitas Antioksidan Ekstrak Metanol Dan Air Daun Bangun- Bangun (Coleus amboinicus Lour) Pada Berbagai Tingkat Petikan Daun Dengan Metode DPPH. Nama :

Pada hasil review , panduan, dan juga pendapat ahli dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan efek antara penggunaan larutan NaCl 0.9%, antiseptik ( povidone

Selatan sampai saat ini. Hamam Santoso, April 2016), “Orang biasa mengenal kesenian tari Piring Gelas yang terdapat di Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan, karena

Kesimpulan dari Tesis ini adalah Legalitas Akta Jual Beli dan Pengalihan Hak yang lahir akibat wanprestasi hutang piutang tidak sah dan batal demi hukum

Berdasarkan hasil penelitian kesenian Tongprek Dharma Putra Desa Kalipancur ,Kecamatan Bojong, Kabupaten Pekalongan memiliki kelebihan yang unik yaitu : music yang

[r]

Dari pengendalian mutu terhadap serat polyester 1.4 D Line # 62 yang didasarkan inspeksi dengan penerimaan produk yang memenuhi syarat dan penolakan yang tidak memenuhi syarat

[r]