Abstrak—Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan model inventory management pada konteks BTO dengan menggunakan periodic review system. Dalam BTO, perusahaan akan menyimpan barang setengah jadi yang berupa modul-modul dimana satu modul terdiri dari beberapa tipe dan produk akhir hanya akan dibuat ketika datang permintaan dari konsumen. Ketidakpastian product-mix pun akan timbul karena konsumen akan memesan produk dengan konfigurasi yang berbeda. Dengan mengasumsikan satu modul dengan berbagai tipe dapat dipesan pada supplier tunggal, maka pengembangan model akan menggabungkan sistem stochastic periodic review (T, s, S) dan joint replenishment dimana besar s dan S bersifat dinamis. Percobaan numerik akan dilakukan pada model yang dikembangkan dengan membandingkan terhadap beberapa skenario dan didapatkan hasil bahwa model yang dikembangkan dapat meminimalkan total biaya persediaan.
Kata Kunci—build-to-order supply chain (BOSC), periodic review, backorder, ketidakpastian product-mix, joint replenishment.
I. PENDAHULUAN
Menurut Gunasekaran dan Ngai (2005) definisi
build-to-order supply chain adalah sistem yang memproduksi barang
dan jasa berdasarkan permintaan individu pelangggan dalam waktu dan harga yang kompetitif dengan memanfaatkan global
outsourcing, aplikasi teknologi informasi dan standarisasi
komponen serta strategi penundaan diferensiasi produk. Penerapan BOSC dapat membantu perusahaan untuk memenuhi permintaan pelanggan yang sangat bervariasi dengan lead time yang pendek sehingga perusahaan dapat responsif terhadap pasar. Namun penerapan BOSC bukanlah hal yang mudah, karena terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi seperti kemampuan dalam menangkap pola seasonal pada pasar, mengetahui detail perubahan permintaan yang akan berpengaruh terhadap product-mix, serta dari mana keuntungan terbesar perusahaan akan didapat (Waller, 2004). BOSC membutuhkan koordinasi yang erat antara pelanggan, suplier dan penyedia jasa logistik di sepanjang supply chain.
Pada tahun 1990an mulai bermunculan penelitian yang membahas BOSC. Area permasalahan yang dibahas pun sangat beragam, mulai dari pemilihan desain produk, keputusan mengenai pengadaan dan pemilihan suplier, keputusan produksi, distribusi sistem informasi, hingga penelitian mengenai pengukuran kinerja dalam BOSC. Namun kebanyakan penelitian yang dilakukan merupakan penelitian secara makro yang mencakup supply chain secara keseluruhan.
Penelitian secara mikro pada bidang penelitian ini masih sedikit dilakukan,seperti pada inventory management. Penelitian yang mengangkat permasalahan inventory
management untuk BOSC dilakukan oleh Lee (1996). Dalam
penelitiannya, Lee (1996) mengembangkan model sederhana untuk menentukan level inventory pada BTO dimana inventory yang disimpan berupa intermediate inventory. Intermediate
inventory yang ada diatur dengan sistem periodic review
dengan level maksimum yang tetap. Namun model ini masih memiliki beberapa kekurangan, yaitu adanya asumsi permintaan yang tetap serta tidak adanya pinalti biaya apabila terjadi shortage pada intermediate inventory. Selain itu berdasarkan skema BTO yang dikemukakan Lee (1996) pada Gambar 1terlihat bahwa model BTO yang dikembangkan mengakomodasi nilai t yang sama untuk semua variasi produk yang dihasilkan. Padahal dalam praktik di lapangan nilai t dapat berbeda-beda tergantung dari lead time komponen umum dari pihak pemasok atau waktu produksi dari perusahaan sendiri.
T t Generic Production
Process Differentiation stepsProduct
Different Product Versions for Customer
Intermediate Inventory Stockpile (Generic Product)
Gambar 1. Model Build-to-Order (Lee, 1996)
Berbeda dengan model yang dikembangkan oleh Lee (1996), penelitian tugas akhir ini mengakomodasi sistem persediaan untuk BTO yang di dalamnya terdapat modul umum (common module) yang lebih banyak. Produk akhir yang dirakit akan terdiri dari beberapa modul dengan konfigurasi yang sama. Namun, masing-masing modul memiliki banyak variasi dan konsumen bebas memilih modul dengan variasi apa yang dikehendaki untuk dijadikan produk akhir. Dengan mengasumsikan bahwa dalam sistem hanya terdapat satu tahap proses produksi, maka sistem persediaan yang dikembangkan dapat dilihat pada Gambar 2.
Periodic Review Inventory Model untuk Build-to-Order
Supply Chain di Bawah Ketidakpastian Product-Mix
Sobiroh Ulin Nuha, I Nyoman Pujawan
Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111
Customized end product Module 1 Type 1 Type 2 ... Type m Module 2 Type 1 Type 2 ... Type m Module n Type 1 Type 2 ... Type m ….. Intermediate inventory
Gambar 2.Inventory dalam BTO Supply Chain
Berdasarkan Gambar di atas, maka dibutuhkan m modul untuk membuat satu produk akhir, sedangkan setiap modul memiliki n tipe sehingga jumlah n untuk modul ke-i
tidak selalu sama ( . Banyaknya jumlah
dan tipe modul mengakibatkan ketidakpsatian permintaan konfigurasi produk akhir semakin meningkat. Struktur BOSC pada model yang dikembangkan terdapat pada Gambar 3. Berdasarkan gambar tersebut maka model akan mengakomodasi permasalahan multi-supplier dimana modul sejenis akan disuplai dari supplier tunggal. Karena itu dalam pengadaan material akan digunakan kebijakan joint
replenishment untuk dapat menekan biaya pengadaan.
Manufaktur
1 3
2 n
1' 3'
13
Komponen Persediaan Produksi/ Assembly Supplier 13 Extended corporate KustomerAkhir 2' n'
Gambar 3.Struktur BTO Supply Chain dalam Model Model yang dikembangkan akan menggunakan sistem
periodic review, dimana jumlah persediaan akan direview
dalam rentang periode tertentu. Penelitian mengenai periodic
review dengan joint replenishment sudah dilakukan oleh
beberapa peneliti, seperti Eynan dan Kropp (2007) dan Lee dan Chew (2005). Eynan dan Kropp (2007) membahas mengenai periodic review inventory system dan joint
replenishment dengan variabel keputusan berupa Panjang periode review T dan jumlah pemesanan statis q selama satu time horizon dengan pendekatan Ekspansi Taylor. Penelitian
Lee dan Chew (2005) mengangkat permasalahan yang sama, namun variabel keputusan T dan S bersifat dinamis. Pada setiap review point, selain pengecekan terhadap persediaan dilakukan pula perhitungan untuk menentukan Panjang
periode review dan up-to-order level selanjutnya
menggunakan data historis dimana permintaan antar jenis produk bersifat autokorelasi.
Dengan menggasumsikan pola permintaan berdistribusi normal, penelitian akan menggabungkan kedua konsep penelitian sebelumnya dengan variabel keputusan berupa panjang periode reviewl T statis serta up-to-order level
S dan reorder point s dinamis selama satu time horizon. Pada
awal time horizon (disebut juga dengan predetermined level)
akan ditentukan besar T untuk tiap modul i berdasarkan data historis. Kemudian pada setiap review point akan dilakukan perhitungan nilai s dan S pada setiap modul i dengan tipe j. Apabila jumlah persediaan kurang dari nilai s, maka akan dilakukan pemesanan modul sejumlah S dikurangi besar persediaan saat itu. Namun apabila jumlah persediaan masih lebih besar dari s maka tidak dilakukan pemesanan material hingga review point selanjutnya.
II. METODEPENELITIAN
A. Tahap Pendefinisian Permasalahan
Pada tahap ini dilakukan studi literatur penelitian di bidang BOSC. Dari studi literatur tersebut didapatkan gap penelitian yang ada dan memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut yaitu berupa kurangnya penelitian yang mengangkat permasalahan inventory dalam konteks BOSC.
B. Tahap Penetapan Batasan dan Asumsi Permasalahan
Batasan dan asumsi digunakan dalam pemodelan untuk menyederhanakan permasalahan sehingga dapat diselesaikan dengan pendekatan ilmiah.
C. Tahap Pengembangan dan Formulasi Model
Pada tahap ini dilakukan pengembangan model untuk permasalahn inventory pada BTO yang mempertimbangkan
shortage dan ketidakpastian product-mix. Pengembangan
model dilakukan berdasarkan model acuan yaitu model
dynamic periodic review Lee dan Chew (2005) untuk
menetapkan nilai s yang bersifat dinamis serta model Eynan dan Krop (2007) menjadi model acuan untuk penetapan
Panjang periode review. D. Tahap Percobaan Numerik
Percobaan numerik dilakukan untuk melihat perbandingan ekspektasi biaya total dari strategi BTO dan BTS serta perbedaan total biaya yang dihasilkan apabila pada permintaan yang sama digunakan sistem periodic review yang lain (periodic review dengan nilai T yang tidak optimum,
periodic review dengan nilai S dan s statis serta periodic review tanpa adanya joint replenishment).
Cek level inventory
Order sebanyak S-x ditambah jumlah
shortage
Tidak melakukan order hingga review period
selanjutnya Inventory di
bawah s?
Terjadi shortage?
Order sejumlah material hingga mencapai
up-to-level S Tidak Tidak Ya Ya Permintaan datang Cek persediaan material
Material tersedia?
Lakukan produksi, update jumlah inventory
on hand
Terjadi shortage, update jumlah shortage
Hitung biaya simpan per
periode Hitung biaya shortage per periode Hitung biaya pemesanan Total biaya inventory
Tidak Ya Perhitungan pada tiap periode Perhitungan pada review period
Perhitungan biaya pada satu planning horizon
Update nilai S berdasar data historis Update nilai s berdasar
III. PENGEMBANGANMODEL
A. Notasi Model
Berikut ini merupakan notasi yang digunakan dalam model.
Biaya total untuk sistem persediaan material Panjang periode review untuk modul i tipe j Panjang periode review untuk modul i secara keseluruhan apabila seluruh tipe dipesan dalam
jangka waktu yang sama
Panjang periode review apabila didekati dengan permintaan deterministik
Lead time untuk modul i tipe j
Rata-rata permintaan selama satu unit waktu terhadap modul i dengan tipe j Rata-rata permintaan kondisional selama satu unit waktu terhadap modul i tipe j Permintaan aktual yang terjadi untuk modul i dengan tipe j Standar deviasi untuk modul i pada periode t Biaya simpan per unit per unit waktu untuk modul i tipe j Major ordering cost untuk tiap pengadaan modul tipe i apapun kombinasi dan jumlah yang
dipesan
Minor ordering cost untuk setiap pengadaan modul i dengan tipe j
Pinalty cost untuk setiap terjadi shortage pada modul i dengan tipe j
Reorder point untuk modul i dengan tipe j pada periode review ke-r
Up-to-order level untuk modul i dengan tipe j pada periode review ke k Faktor pengali untuk periode pengadaan tipe j pada modul i Pengali faktor safety stock
Service level untuk modul i tipe j
Jumlah persediaan modul i tipe j pada periode review ke-r
Jumlah pemesanan modul i dengan tipe j pada periode review ke-r
B. Model Matematis
Perhitungan dimulai sebelum time horizon untuk menentukan nilai T kemudian selama time horizon akan dihitung nilai s dan S.
1) Model pada Predetermined Level
Fungsi ekspektasi biaya total untuk setiap periode dari sistem persediaan dengan periodic review adalah sebagai berikut:
(1)
Berdasarkan prosedur heuristik yang sudah dikembangkan sebelumnya oleh Eynan dan Kropp (2007), maka dapat ditentukan nilai dan untuk seluruh sebagai berikut:
1. Hitung
2. Urutkan item dari dari terkecil hingga terbesar 3. Gunakan s sebagai nilai l terkecil dengan fungsi
4. (integer) s.t. 5. Dengan (2) Dan (3) Sedangkan merupakan nilai T deterministik yang dapat
dihitung dengan persamaan .
2) Model dan pada Selama Time horizon
Pada setiap periode review r akan dilakukan perhitungan nilai s dan S untuk setiap modul yang tersedia. Berdasarkan Blanc (2011), s merupakan reorder point dalam continuous review dan base stock untuk periodic
review (T,S) model. Dalam continuous review, S dapat
didekati dengan menjumlahkan reorder point s dengan kuantitas pemesanan ekonomis Q* (EOQ). Reorder point pada periodic review harus dapat mengakomodasi kebutuhan permintaan selama lead time material dan panjang periode review serta fluktuasi permintaan pada jangka waktu tersebut. Sehingga penentuan reorder point s dan order-up-to level S pada setiap periode review r dapat dinotasikan sebagai berikut.
Penentuan reorder point s pada perode review ke-r
(4) Penentuan order up-to-level S pada periode review ke-r
(5) merupakan rata-rata permintaan kondisional per unit waktu untuk modul i tipe j untuk periode ke depan. Penentuan jumlah permintaan kondisional ini dilakukan dengan menggunakan peramalan
moving average dengan persamaan berikut:
(6) Dimana nilai n merupakan parameter yang ditentukan diluar model. Dengan menggunakan nilai n yang sama, besar standar deviasi kondisional dapat dihitung dengan menggunakan formula standar deviasi biasa.
Pemesanan modul akan dilakukan apabila jumlah persediaan pada saat periode review lebih kecil dari pada reorder poin . Namun pada konteks joint replenishment, akan terdapat peristiwa dimana besar lead time lebih besar dari pada panjang periode review. Hal
ini akan menyebabkan material sejumlah q yang dipesan pada periode review sebelumnya ( belum diterima pada saat periode review . Sehingga terdapat dua aturan dalam pengambilan keputusan untuk pemesanan material, yaitu:
1. Apabila
Aturan pengambilan keputusan dalam kondisi ini akan sama dengan aturan pada umumnya, yaitu pemesanan material dilakukan apabila posisi persediaan lebih kecil dari reorder point. Sehingga pemesanan dilakukan bila memenuhi syarat:
2. Apabila
Pada kondisi ini, pemesanan material akan dilakukan apabila jumlah persediaan material memenuhi pertidaksamaan”
Dimana a merupakan nilai integer terkecil pada persamaan
IV. PERCOBAANNUMERIK
Percobaan numerik dilakukan dengan empat skenario, yaitu dengan inventory model yang dikembangkan, skenario nilai T yang ditentukan di awal, inventory model dengan S dan
s yang bersifat statis serta percobaan numerik tanpa joint replenishment dimana seluruh percobaan numerik akan
menggunakan parameter yang sama.
Tabel 1. Parameter Modul dalam Percobaan Numerik
Modul Lead Time Ordering Cost Holding Cost Backorder Cost Mayor Minor Non Joint
Prosessor M11 7 3000 1675 3000 0.6 16 M12 5 1875 3000 0.5 17 M13 8 800 3000 0.8 19 Memori M21 3 2500 1500 2500 0.4 14 M22 7 700 2500 0.4 15 M23 5 1050 2500 0.6 16 M24 8 400 2500 0.6 18 Hard Disk M31 3 7000 675 7000 0.5 6 M32 4 775 7000 0.4 7 M33 6 400 7000 0.5 8
Tabel 2. Data Permintaan Modul Selama Satu Time horizon
Tipe Modul 1 Modul 2 Modul 3
Rata-rata Stdev Rata-rata Stdev Rata-rata Stdev
Tipe 1 245.3 51.4 153.4 28.7 244.0 46.9
Tipe 2 207.2 43.8 183.9 36.3 211.6 40.6
Tipe 3 251.2 49.0 191.8 37.0 239.8 46.0
Tipe 4 165.3 36.3
A. Percobaan Numerik untuk Model yang Diusulkan
Tabel 3. Data Perhitungan T Optimum
Modul Lead Time T* T'is Kij Ti F[z(kijTi)]
M13 8 3.01 6.43 1 6 0.7777 M11 7 4.99 5.86 1 0.8256 M12 5 6.15 5.93 2 0.5008 M23 5 3.02 7.93 1 6 0.8272 M24 8 4.31 6.20 1 0.8387 M22 7 4.46 5.80 1 0.7732 M21 3 7.10 6.05 2 0.5968 M33 6 2.74 11.53 1 7 0.3605 M32 4 3.49 8.54 1 0.5615 M31 3 4.43 7.67 1 0.8435
B. Percobaan Numerik dengan T ≠ T*
C. Percobaan Numerik dengan (T, s, S) Statis
D. Percobaan Numerik tanpa Joint Replenishment
Tabel 4. Data Perhitungan T Optimum untuk non-JR
Modul Lead Time Pesan Biaya T* F[z(Tij)]
M13 8 3000 6 0.76 M11 7 3000 7 0.78 M12 5 3000 5 0.77 M23 5 2500 8 0.74 M24 8 2500 7 0.78 M22 7 2500 6 0.76 M21 3 2500 6 0.76 M33 6 7000 5 0.11 M32 4 7000 8 0.27 M31 3 7000 6 0.33
Berdasarkan beberapa percobaan numerik yang telah dilakukan tampak bahwa model yang dikembangkan menghasilkan biaya yang lebih kecil dibandingkan dengan model lain dalam percobaan numerik ini.
E. Perbandingan Biaya BTO dan BTS
Tabel 5. Data Permintaan Produk Akhir
Produk Rata-rata Sigma Rata-rata Sigma Rata-rata Sigma
111 28 21 211 13 11 311 112 15 8 212 7 4 312 113 19 13 213 18 12 313 121 20 13 221 28 22 321 122 14 10 222 25 12 322 123 25 16 223 16 10 323 131 30 18 231 6 4 331 132 11 6 232 21 13 332 133 34 18 233 27 19 333 141 19 14 241 18 16 341 142 16 12 242 14 12 342 143 14 8 243 15 10 343
Percobaan numerik dilakukan dengan
membandingkan biaya penyimpanan per unit waktu yang terjadi. Dengan biaya simpan, pengadaan, waktu tunggu, dan servis level berturut-turut 10, 60, 15 dan 80% maka didapatkan bahwa dengan servis level metode BTO menghasilkan total biaya yang lebih sedikit dibandingkan dengan metode BTS. Adapun perhitungan biaya total untuk perbandingan antara BTO dan BTS adalah sebagai berikut:
Dimana D merupakan permintaan untuk produk akhir p
pada waktu u sedangkan W merupakan waiting cost dari konsumen. persamaan terakhir menunjukkan biaya yang harus dikeluarkan apabila konsumen harus menunggu penyelesaian permintaannya lebih lama sebanyak P periode dibandingkan dengan BTS
BTS
Semakin besar variasi prduk akhir dan juga holding cost untuk produk akhir tersebut maka menyebabkan biaya strategi BTS semakin besar. Sedangkan apabila semakin besar biaya tunggu (waiting cost) yag terjadi akibat mundurnya decoupling point maka menyebabkan semakin besar biaya dari strategi BTO yang dikeluarkan
V. KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian tugas akhir ini adalah sebagai berikut:
1. Pada penelitian yang dilakukan telah dikembangkan
periodic review inventory model berupa (R,s,S) policy
dalam build-to-order suply chain
2. Penentuan panjang periode review dapat mempengaruhi besar biaya persediaan yang dikeluarkan
3. Model yang dikembangkan akan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan static periodic review selama pola permintaan semakin fluktuatif
4. Model yang dikembangkan akan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan non joint replenishment selama biaya pengadaan mayor semakin tinggi
5. BTO akan lebih baik digunakan daripada BTS ketika ketidakpastian permintaan dan variasi produk yang dimiliki semakin tinggi, begitu pula dengan biaya penyimpanan produk akhir.
UCAPANTERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing atas bantuannya selama ini dalam pengerjaan tugas akhir serta berbagai pihak yang telah mendukung penulis selama ini.
DAFTARPUSTAKA
Blanc, Hans. (2011). Advanced inventory management:
models and algorithms. Handbooks of Advanced
Qualitative Logistics, Tilburg University: Netherlands Chopra, M., Meindl, P. (2004). Supply chain management:
strategy, planning and operation, second edition.
Pearson Prentice Hall: New Jersey
Eynan, A., Kropp, D. H. (2007). Effective and simple
EOQ-like solutions for stochastic demand periodic review systems. European Journal of Operation Research,
vol. 180, hal. 1135-1143
Gunasekaran, A., Ngai, EWT. (2005). Build-to-order supply
chain management: a literature review and framework for development. Operation Management,
vol. 23, no. 5, hal. 423-451
Gunasekaran, A., Ngai, EWT. (2009). Modeling and analysis
of build-to-order supply chains. European Journal of
Operational Research, vol. 195, no. 2, hal. 319-334 Hariga, Moncer. (1994). Two new heuristic procedures for the
joint replenishment problem. Operational Research
Society, vol. 45, no. 4, hal. 463-471
Hsu, H.-M., Wang, W.-P. (2004). Dynamic programming for
delayed product differentiation. European Journal of
Operational Research, vol. 156, hal. 183-193
Jensen, P. A., Bard, J. F. (2003). Operation research models
and methods. John Wiley and Sons: New Jersey
Lagodimos, A.G., Chistou, I.T., Skouri, K. (2012). Computing
globally (s, S, T) inventory policies. Omega, vol. 40,
hal. 660-671
Lee, H. L., Tang, C. S. (1997), Modeling the cost and benefit
to renew competitive advantage. Organizational
Dynamics, vol. 31, no. 1, hal. 40-53
Lee, L. H., Chew, E. P. (2005). A dynamic joint replenishment
policy with auto-correlated demand. European
Journal of Operation Research, vol. 165, hal. 729-747 Lin, C-C., Wang, T-H. (2011). Build-to-order supply chain
network design under supply and demand uncertainties. Transportation Research Part B, vol.
45, hal. 1162-1176
Nilsson, A., Segerstedt, A., Sluis, E. (2007). A new iterative
heuristic to solve the joint replenishment problem using a spreadsheet technique. Production
Economics, vol. 108, hal. 399-405
Pujawan, I. N., ER, Mahendrawathi. (2010). Supply chain
management edisi kedua. Penerbit Guna Widya:
Surabaya
Tersine, R. J. (1994). Principles of inventory and materials
management, fourth edition. Prentice Hall: New
Jersey
Viale, J. D. (1996). Basic of inventory management: from
warehouse to distribution center. Axzo Press: New
York
Wagner, T., Guralnik, V., Phelps, J. (2003). TAEMS agents:
enabling dynamic distributed supply chain management. Electronic Commerce Research and
Application, vol. 2, hal. 114-132
Waller, B. (2004). Market responsive manufacturing for the
automotive supply chain. Manufacturing Technology