• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyusunan Perjanjian Kerja Sama Dalam dan Luar Negeri Berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 65 Tahun 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penyusunan Perjanjian Kerja Sama Dalam dan Luar Negeri Berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 65 Tahun 2016"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

E.

PUBLIKASI NASKAH KERJA SAMA DALAM NEGERI

Publikasi naskah kerja sama dalam negeri merupakan tahapan untuk memublikasikan kerja sama yang telah dilakukan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan Kementerian/Lembaga lain pada web Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.go.id di laman Jendela Kerja Sama Dalam Negeri. Hal ini bertujuan agar masyarakat umum dapat melihat serta mengawasi kerja sama yang dilakukan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan Kementerian/Lembaga lain.

Dalam melakukan publikasi naskah kerja sama, Biro Humas, Hukum dan Kerja Sama dalam hal ini Bagian Kerja Sama Dalam Negeri melakukan pendataan naskah kerja sama terlebih dahulu dalam bentuk matriks kerja sama antar Unit Utama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal ini dilakukan agar dapat memonitor seluruh kerja sama yang telah dilakukan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan Kementerian/ Lembaga lain.

Publikasi naskah kerja sama sebagaimana dilakukan oleh Biro Humas, Hukum dan Kerja Sama dalam hal ini Bagian Kerja Sama Dalam Negeri mencantumkan dokumentasi penandatanganan dan naskah kerja sama untuk dapat dipublikasikan kepada masyarakat umum. Berikut merupakan hasil publikasi naskah kerja sama dalam negeri yang telah dimasukan ke dalam laman Jendela Kerja Sama Dalam Negeri, antara lain:

(3)

F.

DEFINISI, RUJUKAN DIPLOMASI DAN NEGOISASI

Pengertian Diplomasi

Diplomasi berasal dari kata Yunani “diploun” yang berarti “melipat”. Menurut The Chamber’s Twenthieth Century Dictionary, diplomasi adalah “The Art of Negotiation, Especially of Treaties Between States; Political Skill.” (seni berunding, khususnya tentang perjanjian di antara negara-negara; keahlian politik). Di sini, yang pertama menekankan kegiatannya sedangkan yang kedua meletakkan penekanan seni berundingnya. Ivo D. Duchachek bependapat, “Diplomasi biasanya didefinisikan sebagai praktek pelaksanaan politik luar negeri suatu negara dengan cara negosiasi dengan negara lain. Tetapi diplomasi kadang-kadang dihubungkan dengan perang. Oleh karena itulah Clausewitz, seorang filolsof Jerman, dalam pernyataannya yang terkenal mengatakan bahwa perang merupakan kelanjutan diplomasi melalui sarana lain.

Konsep Diplomasi, Lobi, dan Negosiasi adalah merupakan suatu keharusan. Karena dengan pergaulan sosial kemasyarakatan baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional memerlukan diplomat, pelobi-pelobi dan negosiator yang ulung tentunya, untuk dapat mencegah terjadinya dan

(4)

berkembangnya suatu konflik yang berkepanjangan yang pada gilirannya menjadi suatu bentrokan fisik, bahkan peperangan. Dalam hal ini hubungan antara lobi, diplomasi dan negosiasi erat kaitannya dengan ilmu komunikasi, yang salah satunya yaitu public relations (PR), banyak definisi yang menjelaskannya, diantaranya adalah seperti yang diungkapkan oleh Institute of PR (Zaenal Abidin) menyebutkan, praktek PR sebagai disiplin ilmu dan serangkaian usaha untuk menjaga reputasi dengan tujuan memperolah pengertian atau pemahaman dan dukungan serta mempengaruhi opini dan perilaku.

Kegiatan lobby sebenarnya adalah kegiatan sehari-hari yang tidak dapat terlepas dari kehidupan manusia. Selama manusia itu melakukan proses komunikasi dengan orang lain maka disitulah kegiatan lobby itu terjadi dan kadang kala kita juga melakukannya tanpa kita sadari. Seperti halnya dalam komunikasi, maka dalam lobby juga terdapat unsur-unsur utama yaitu sumber (source), pesan (message), saluran(channel), penerima (receiver) dan efek (effect) serta umpan balik (feed back).

Diplomasi sebagai kajian keilmuan dari Hubungan Internasional digunakan sebagai salah satu inisiatif mempromosikan negara, meningkatkan eksistensi, atau menyebarkan pengaruh ke negara lain untuk meraih kepentingan nasional bagi masing-masing negara.11 Diplomasi adalah salah

satu alat utama yang digunakan negara dalam pelaksanaan politik luar negeri dan pencapaian kepentingan nasional yang kemudian bisa menjadi nilai tawar atau state branding sebuah negara sehingga juga dapat membangun citra atau image dari sebuah negara.12 Diplomasi termasuk ke dalam soft power yang memiliki beragam bentuk seperti diplomasi publik, diplomasi

11 KM Panikkar, “The Principle and Practice Diplomacy” dalam, “Diplomasi” diterjemahkan oleh Harwanto dan Misrawati (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hal 3.

12 Tonny Dian Effendy, “E-Diplomacy Sebagai Sarana Promosi Potensi Daerah Kepada Dunia Internasional”. diakses melalui journal.unair.ac.id/filerPDF/4 e-Diplomacy Pemda Indonesia,

(5)

asap, diplomasi beras, diplomasi gertakan dan diplomasi kebudayaan.13

Diplomasi merupakan suatu cara komunikasi yang dilakukan antara berbagai pihak termasuk negoisasi antara wakil-wakil yang sudah diakui. Praktik-praktik negara semacam itu sudah melembaga sejak dahulu dan kemudian menjelma sebagai aturan-aturan hukum internasional. Dengan demikian, diplomasi juga merupakan cara-cara yang dilakukan oleh pemerintah suatu negara untuk mencapai tujuannya dan memperoleh dukungan mengenai prinsip-prinsip yang diambilnya. Itu juga merupakan suatu proses politik untuk membina kebijakan luar negeri yang dianut dan ditujukan untuk mempengaruhi kebijakan dan sikap pemerintah negara lain. Di samping itu, diplomasi juga dianggap sebagai pengetahuan, mutu dan kepandaian untuk membendung dan mengurangi adanya konflik internasional yang terjadi.

Menurut Webster Diplomacy adalah the art and practice of conducting negotiations between nations atau seni dan praktik melaksanakan negosiasi antar negara. Diplomasi merupakan tentang praktek dan penyelenggaraannya. Dalam melaksanakan Diplomasi, suatu pihak harus memiliki sandaran tujuan dan kepentingan nasional. Brownlie dalam padangannya, diplomasi merupakan setiap cara yang diambil untuk mengadakan dan membina hubungan dan berkomunikasi satu sama lain, atau melaksanakan transaksi politik maupun hukum yang dalam setiap hal dilakukan melalui wakil-wakilnya yang mendapat otorisasi. Diplomasi pada hakikatnya juga merupakan negoisasi dan hubungan antarnegara yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah, untuk itu diperlukan suatu seni dan kemampuan serta kepandaian untuk mempengaruhi seseorang sehingga dapat tercapai tujuannya. Kemampuan untuk berunding itu harus dilakukan secara maksimal agar dapat dicapai hasil yang maksimal pula dalam suatu sistem politik dimana suatu perang mungkin bisa terjadi.

13 Milton C. Cummings, “Cultural diplomacy and the united states goverment: a survey for arts and culture” (2003), Hal 1

(6)

Diplomasi pada hakikatnya merupakan kebiasaan untuk melakukan hubungan antarnegara melalui wakil resminya dan dapat melibatkan seluruh proses hubungan luar negeri, perumusan kebijakan termasuk pelaksanaannya. Dalam arti yang luas, diplomasi dan politik luar negeri adalah sama. Namun, dalam arti yang sempit, atau lebih tradisional, diplomasi itu melibatkan cara-cara dan mekanisme, sedangkan dalam politik luar negeri ada dasar atau tujuannya. Dalam arti yang lebih terbatas, diplomasi meliputi teknik operasional dimana negara mencari kepentingan di luar yuridiksinya.

Tugas dan Fungsi Diplomasi

Ketika membicarakan tugas diplomasi sebenarnya tidaklah terlepas dari tugas dari para pelakunya maupun institusinya, utamanya seperti para diplomat dengan perwakilan diplomatiknya yang berada di suatu negara sebagaimana tersebut dalam “Konvensi Wina 1961 Mengenai Hubungan Diplomatik”. Para diplomat dianggap sebagai corong dari pemerintahannya dan saluran resmi komunikasi antara negara pengirim dan negara penerima. Ada keyakinan bahwa berhasilnya diplomasi dari suatu negara itu akan tergantung sekali dari bagaimana memilih para diplomatnya, termasuk kemampuan serta kewenangannya dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini memang terbukti dalam sejarah. Tugas utama dari diplomat adalah menyangkut keterwakilannya (representation) dari suatu negara di negara lain. Ada yang menganggap bahwa para duta besar itu merupakan mata dan telinga dari negaranya. Tugas mereka meliputi keterwakilan diplomatik, mengadakan pertukaran nota mengenai masalah-masalah yang menyangkut kepentingan bersama, melakukan perundingan mengenai yang bersifat strategis dan politis, melindungi kepentingan warga negaranya di negara penerima, dan singkatnya memberikan perlindungan serta memajukan kepentingan negara pengirim di negara penerima.

Dalam menyelesaikan pertikaian atau permasalahan, duta besar tidak memiliki kapal perang dan tidak pula mempunyai infanteri yang besar

(7)

ataupun banteng, senjata utamanya semata-mata hanyalah kata-kata dan kesempatan. Dalam transaksi-transaksi yang penting, kesempatan berlalu sangat cepat. Sekali hilang maka hal itu sukar dapat ditemukan lagi. Adalah merupakan pelanggaran yang besar untuk menghilangkan demokrasi dari suatu kesempatan, karena kesempatan itu dapat menghilangkan oligarki dan otokarsi. Menurut sistem itu, tindakan dapat diambil dengan cepat dan hanya meminta dengan kata. Aspek lain dalam Konvensi Wina 1961 yang menyangkut diplomasi adalah perundingan (negotiation) yang dilakukan dengan pemerintah negara penerima. Perundingan dapat timbul karena adanya sesuatu masalah yang berkaitan dengan perdagangan, komunikasi atau mengenai masalah militer. Demikian juga perundingan itu bisa dilakukan karena adanya tuntutan negaranya tehadap negara penerima atau sebaliknya.

Menurut Hans J. Morgenthau tugas diplomasi dapat dibagi dalam empat pokok:

1. Diplomasi harus membentuk tujuan dalam rangka kekuatan yang sebenarnya untuk mencapai tujuan tersebut. Suatu negara yang ingin menciptakan tujuan-tujuannya yang belum dicapai haruslah berhadapan dengan suatu risiko untuk perang. Karena itu diperlukan suksesnya diplomasi untuk mencoba mendapatkan tujuannya tersebut sesuai dengan kekuatannya;

2. Di samping melakukan penilaian tentang tujuan-tujuannya dan kekuatannya sendiri, diplomasi juga harus mengadakan penilaian tujuan dan kekuatan dari negara-negara lainnya. Didalam hal ini, sesuatu negara haruslah menghadapi resiko akan terjadinya peperangan, apabila diplomasi yang dilakukannya itu salah dalam menilai mengenai tujuan dan kekuatan negara-negara lainnya;

3. Diplomasi haruslah menentukan dalam hal apa perbedaan dalam tujuan-tujuan itu dapat cocok satu sama lain. Diplomasi harus dilihat

(8)

apakah kepentingan negaranya sendiri dengan negara lain cocok. Jika jawabannya “tidak”, maka harus dicari jalan keluar untuk merujukkan kepentingan-kepentingan tersebut;

4. Diplomasi harus menggunakan cara-cara yang pantas dan sesuai seperti kompromi, bujukan dan bahkan kadang-kadang ancaman kekerasan untuk mencapai tujuan-tujuannya.

Model Diplomasi

Diplomasi merupakan seni berunding, seni berembuk, cara menyampaikan suatu pesan atau tujuan melalui pembicaraan atau perundingan. Diplomasi dapat dilakukan secara resmi (formal) maupun tidak resmi (non formal). Seni berdiplomasi tegantung kepada kemampuan individual seorang diplomat, intinya adalah negosiasi itu sendiri. Diplomasi dilakukan jika terdapat konflik atau perbedaan dalam kepentingan suatu negara atau kelompok. Adapun model atau jenis diplomasi menurut S.L Roy antara lain:

1. Diplomasi komersial (perdagangan);

2. Diplomasi demokratik;

3. Diplomasi totaliter;

4. Diplomasi (melalui) konferensi;

5. Diplomasi diam-diam;

6. Diplomasi Preventif;

7. Diplomasi sumber daya.

Adapun dalam wikipedia menyebutkan jenis atau model diplomasi antara lain:

1. Diplomasi koboi;

(9)

3. Diplomasi informal; 4. Diplomasi publik; 5. Diplomasi preventif; 6. Diplomasi ping-pong; 7. Paradiplomasi.

Pengertian Negosiasi

Negosiasi (Negotiation) dalam arti harfiah adalah negosiasi atau perundingan. Negosiasi adalah komunikasi timbal balik yang dirancang untuk mencapai tujuan bersama. Menurut Webster Negotiation memiliki arti to treat or bargain with others in order to reach an agreement. Menurut KBBI negosiasi merupakan proses tawar-menawar dengan jalan berunding guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak (kelompok atau organisasi) yang lain; penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak yang bersengketa. Negosiasi merupakan tentang cara dan metode yang dilakukan serta berkenaan dengan proses take and give dalam mencapai kompromi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Negosiasi memiliki dua arti, yaitu:

1. Proses tawar menawar dengan jalan berunding untuk memberi atau menerima guna mencapai kesepakatan antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak (kelompok atau organisasi) yang lain;

2. Penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Menurut Stephen Robbins dalam bukunya “Organizational Behavior” (2001), negosiasi adalah proses pertukaran barang atau jasa antara 2 pihak atau lebih, dan masing-masing pihak berupaya untuk menyepakati tingkat harga yang sesuai untuk proses pertukaran tersebut. Sedang dalam komunikasi bisnis, negosiasi adalah suatu proses dimana dua pihak atau

(10)

lebih yang mempunyai kepentingan yang sama atau bertentangan, bertemu dan berbicara untuk mencapai suatu kesepakatan. Kapan sebenarnya diperlukan upaya negosiasi? Upaya negosiasi diperlukan manakala:

1. Tidak mempunyai kekuasaan untuk memaksakan suatu hasil yang diinginkan;

2. Terjadi konflik antar para pihak, yang masing-masing pihak tidak mempunyai cukup kekuatan atau mempunyai kekuasaan yang terbatas untuk menyelesaikannya secara sepihak;

3. Keberhasilan kita dipengaruhi oleh kekuasaan atau otoritas dari pihak lain;

4. Tidak mempunyai pilihan yang lebih baik untuk menyelesaikan masalah yang kita hadapi atau mendapatkan sesuatu yang kita inginkan.

Menurut Marjorie Corman Aaron dalam tulisannya tentang negosiasi di Harvard Review, dalam melakukan negosiasi, seorang perunding yang baik harus membangun kerangka dasar yang penting tentang negosiasi yang akan dilakukannya agar dapat berhasil menjalankan tugasnya tersebut. Kerangka dasar yang dimaksud antara lain: Apakah alternatif terbaik untuk menerima atau menolak kesepakatan dalam negosiasi? Berapa besar nilai atau penawaran minimum yang akan dapat diterima sebagai sebuah kesepakatan? Seberapa lentur proses negosiasi akan dilakukan dan seberapa akurat pertukaran yang ingin dilakukan?

Untuk membangun kerangka dasar tersebut di atas, ada 3 konsep penting yang harus dipahami oleh seorang negosiator, yaitu:

1. BATNA ( Best Alternative to a Negotiated Agreement), yaitu langkah-langkah atau alternatif-alternatif yang akan dilakukan oleh seorang negosiator bila negosiasi tidak mencapai kesepakatan.

2. Reservation Price, yaitu nilai atau tawaran terendah yang dapat diterima sebagai sebuah kesepakatan dalam negosiasi.

(11)

3. ZOPA (Zone of Possible Agreement), yaitu suatu zona atau area yang memungkinkan terjadinya kesepakatan dalam proses negosiasi.

Dengan pemahaman yang baik terhadap 3 konsep dasar tersebut di atas, maka para perunding diharapkan dapat menentukan hal-hal yang ingin dicapainya dalam negosiasi, menentukan besarnya konsesi yang ingin didapat dan dapat diberikan, menentukan perlu tidaknya melanjutkan negosiasi, dan melakukan langkah lain yang lebih menguntungkan. Secara ringkas dapat dirumuskan, bahwa negosiasi adalah suatu proses perundingan antara para pihak yang berselisih atau berbeda pendapat tentang sesuatu permasalahan. Negosiasi adalah merupakan salah satu fungsi utama dari para Diplomat. Oleh karena itu, dalam pergaulan internasional hampir setiap negara menempatkan diplomat-diplomatnya di negara-negara sahabat. Meskipun istilah dan praktik negosiasi berawal dari dunia diplomasi, namun dewasa ini sudah menjadi sarana pada berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, baik dalam dimensi eksternal maupun dimensi domestik.

Landasan dan Kerangka Kerja Diplomasi

Dalam melaksanakan kerja sama, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia berlandaskan pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 45 alinea ke-4 “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Selain Undang-Undang Dasar 45, UU No. 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri juga menjadi dasar landasan serta kerangka kerja diplomasi Indonesia.

Politik Luar Negeri Indonesia menganut prinsip bebas aktif yang diabadikan demi kepentingan nasional (pasal 3). Dalam halnya pelaksanaan hubungan luar negeri di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, sesuai Pasal 6 Presiden dapat melimpahkan kewenangan penyelenggaraan

(12)

Hubungan Luar Negeri dan pelaksanaan Politik Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Menteri Luar Negeri.

Model Negosiasi

Negosiasi juga terdapat dua model, yaitu:

1. Negosiasi distributif (kompetitif), negosiasi ini lebih menekankan pada prinsip kalah dan menang bagi kedua belah pihak yang terlibat pada kegiatan negosiasi. Tidak peduli terhadap kepentingan atau kepuasan orang lain; mengorbankan orang lain, dan berorientasi pada hubungan jangka pendek. Ciri-ciri negosiator distributif antara lain:

a. Tawaran awal tidak masuk akal (ekstrem);

b. Kewenangan terbatas;

c. Mempermainkan emosi lawan;

d. Pantang memperlihatkan kelemahan;

e. Hampir tidak memberikan kelonggaran;

f. Mengabaikan batas waktu.

2. Negosiasi integratif (kooperatif), negosiasi ini lebih mengedepankan prinsip menang dan menang antara kedua belah pihak yang terlibat pada kegiatan negosiasi. Kegiatan ini lebih memperhatikan kepentingan dan kepuasan orang lain dan berorientasi pada hubungan jangka panjang. Adapun ciri-ciri negosiator integratif antara lain:

a. Menyesuaikan diri dengan kebutuhan orang lain;

b. Mencari titik temu dari setiap perbedaa;

c. Menyelaraskan setiap perbedaan.

Strategi Dalam Bernegosiasi

Dalam melakukan negosiasi, kita perlu memilih strategi yang tepat, sehingga mendapatkan hasil yang kita inginkan. Strategi negosiasi ini harus

(13)

ditentukan sebelum proses negosiasi dilakukan. Ada beberapa macam strategi negosiasi yang dapat kita Pilih, sebagai berkut:

1. Win-win. Strategi ini dipilih bila pihak-pihak yang berselisih menginginkan penyelesaian masalah yang diambil pada akhirnya menguntungkan kedua belah pihak. Strategi ini juga dikenal sebagai Integrative negotiation;

2. Win-lose. Strategi ini dipilih karena pihak-pihak yang berselisih ingin mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya dari penyelesaian masalah yang diambil. Dengan strategi ini pihak-pihak yang berselisih saling berkompetisi untuk mendapatkan hasil yang mereka inginkan;

3. Lose-lose. Strategi ini dipilih biasanya sebagai dampak kegagalan dari pemilihan strategi yang tepat dalam bernegosiasi. Akibatnya pihak-pihak yang berselisih, pada akhirnya tidak mendapatkan sama sekali hasil yang diharapkan;

4. Lose-win. Strategi ini dipilih bila salah satu pihak sengaja mengalah untuk mendapatkan manfaat dengan kekalahan mereka.

Taktik Dalam Negosiasi

Dalam proses negosiasi, pihak-pihak yang berselisih seringkali menggunakan berbagai taktik agar dapat memperoleh hasil negosiasi yang diinginkan. Ada beberapa taktik yang umum dilakukan oleh para negosiator:

1. Membuat agenda. Taktik ini harus digunakan karena dapat memberikan waktu kepada pihak-pihak yang berselisih setiap masalah yang ada secara berurutan dan mendorong mereka untuk mencapi kesepakatan atas keseluruhan paket perundingan;

2. Bluffing. Taktik klasik yang sering digunakan oleh para negosiator

yang bertujuan untuk mengelabui lawan berundingnya dengan cara membuat distorsi kenyataan yang ada dan membangun suatu gambaran yang tidak benar;

(14)

3. Membuat tenggat waktu (deadline). Taktik ini digunakan bila salah pihak yang berunding ingin mempercepat penyelesaian proses perundingan dengan cara memberikan tenggat waktu kepada lawannya untuk segera mengambil keputusan;

4. Good Guy Bad Guy .Taktik ini digunakan dengan cara menciptakan tokoh “jahat” dan “baik” pada salah satu pihak yang berunding. Tokoh “jahat” ini berfungsi untuk menekan pihak lawan sehingga pandangan-pandangannya selalu ditentang oleh pihak lawannya, sedangkan tokoh “baik” ini yang akan menjadi pihak yang dihormati oleh pihak lawannya karena kebaikannya. Sehingga pendapat-pendapat yang dikemukakannya untuk menetralisir pendapat Tokoh “jahat”, sehingga dapat diterima oleh lawan berundingnya;

5. The art of Concesión .Taktik ini diterapkan dengan cara selalu meminta konsesi dari lawan berunding atas setiap permintaan pihak lawan berunding yang akan dipenuhi;

6. Intimidasi. Taktik ini digunakan bila salah satu pihak membuat ancaman kepada lawan berundingnya agar menerima penawaran yang ada, dan menekankan konsekuensi yang akan diterima bila tawaran ditolak.

Perangkap Dalam Negosiasi

Menurut Leight L. Thompson dalam bukunya “The Mind and the Heart of Negotiation”, para perunding sering terperangkap pada 4 (empat) perangkap utama, yaitu:

1. Leaving money on table (dikenal juga sebagai “lose-lose” negotiation, yang terjadi saat para perunding gagal mengenali dan memanfaatkan potensi yang ada untuk menghasilkan “win-win” solution;

2. Setting for too little ( atau dikenal sebagai “kutukan bagi si pemenang”), yang terjadi saat para perunding memberikan konsesi yang terlalu

(15)

besar, kepada lawan berundingnya dibandingkan dengan yang mereka peroleh;

3. Meninggalkan meja perundingan, yang terjadi saat para perunding menolak tawaran dari pihak lain yang sebenarnya lebih baik dari semua pilihan yang tersedia bagi mereka. Biasanya hal ini terjadi karena terlalu mempertahankan harga diri atau salah perhitungan;

4. Setting for terms that worse than the alternative terjadi saat para perunding merasa berkewajiban untuk mencapai kesepakatan, padahal hasil kesepakatan yang dibuat tidak sebaik alternatif yang lain.

Dimensi Negosiasi

Dimensi negosiasi menghasilkan produk dokumen yang legally binding dan non-legally binding. Dokumen-dokumen yang merupakan

dokumen legally binding merupakan dokumen yang memerlukan ratifikasi. Menurut KBBI ratifikasi memiliki arti pengesahan suatu dokumen negara oleh parlemen, khususnya pengesahan undang-undang, perjanjian antar negara, dan persetujuan hukum internasional. Di Indonesia, proses ratifikasi terkait kerja sama yang dilakukan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dilaksanakan oleh Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Beberapa contoh dari dokumen legally binding adalah charter (multilateral), convention/konvensi (multilateral), traktat, dan agreement/persetujuan.

Berbeda dengan dokumen, dokumen non-legally binding tidak memerlukan persetujuan oleh parlemen atau Komisi III DPR, namun hanya persetujuan dari Para Pihak. Beberapa contoh dokumen non-legally binding adalah implementing arrangement, Memorandum of Understanding (MoU) atau Memorandum Saling Pengertian (MSP), Record of Discussion (RoD), Plan of Action (PoA), Declaration, Statement, Chair’s Statement, Joint Statement/Joint Communique, dan Resolution (kecuali Resolusi Dewan Keamanan PBB).

(16)

Seperti yang telah dijelaskan pada BAB III, kerja sama antarpemerintah dapat dilaksanakan antar-Kementerian/Lembaga (K/L) maupun organisasi atau program di bawah K/L negara lain. Dalam melaksanakan kerja sama antarpemerintah, untuk menjelaskan atau memperkuat MSP yang telah disepakati maka dibuat dokumen legally binding yang dihasilkan yaitu PoA. Kerja sama yang dilakukan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia meliputi kerja sama antarpemerintah maupun Organisasi Asing Non Pemerintah atau International Non-Government Organization (INGO). Dalam halnya pelaksanaan kerja sama dilaksanakan dengan INGO maka dokumen yang dihasilkan adalah MSP, Arahan Program (AP), dan Rancangan Induk Kegiatan (RIK).

Tahapan Kerja Sama Luar Negeri Antar-Pemerintah

Dalam melaksanakan kerja sama luar negeri antarpemerintah, berikut adalah beberapa tahapan yang dilakukan di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia:

1. Membuat rencana kerja sama, sesuai Permenkumham No. 65 Tahun 2016 Pasal 9 ayat (1). Kerja Sama Luar Negeri dapat dilakukan dengan:

a. Lembaga Pemerintah Negara Asing; dan

b. Organisasi Internasional.

2. Menyampaikan rencana kerja sama kepada Sekretaris Jenderal melaui Bagian Kerja Sama Luar Negeri, Biro Humas, Hukum dan Kerja Sama. Unit Utama pelaksana kerja sama luar negeri menyampaikan rencana kerja sama kepada Biro Humas, Hukum dan Kerja Sama, Bagian Kerja Sama Luar Negeri sesuai Permenkumham No. 65 Tahun 2016.

3. Bagian Kerja Sama Luar Negeri melakukan pengkajian dan analisa dengan memperhatikan rencana strategis Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sesuai Pasal 10, Berdasarkan rencana kerja sama yang disampaikan kepada Menteri sebagaimana dimaksud

(17)

dalam Pasal 9, Sekretaris Jenderal menugaskan Kepala Biro Humas, Hukum, dan Kerja Sama melakukan pengkajian dan analisa dengan memperhatikan rencana strategis Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

4. Bagian Kerja Sama Luar Negeri menyampaikan kepada Pimpinan Unit Utama, Kepala Kantor Wilayah, atau Unit Pelaksana Teknis tentang hasil analisa dalam rapat dengan Unit terkait bersama Lembaga Pemerintah Negara Asing atau Organisasi Internasional Pihak Pertama dan Pihak Kedua menyiapkan Memorandum Saling Pengertian (MSP) yang akan berlaku antara Para Pihak.

5. Bagian Kerja Sama Luar Negeri membahas konsep naskah kerja sama dengan mengikutsertakan instansi/lembaga terkait sesuai kewenangannya dalam hal ini Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional (HPI) untuk kerja sama yang dilakukan dengan Pemerintah Asing.

6. Bagian Kerja Sama Luar Negeri menyampaikan kepada Kementerian/ Lembaga terkait rencana kerja sama. Lembaga yang terlibat umumnya Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Dalam Negeri, dan Tim Keamanan.

7. MSP yang telah dibahas dan disepakati kemudian ditandatangani. Sesuai Pasal 14 ayat (1) Naskah kerja sama ditandatangani oleh:

a. Menteri;

b. Pimpinan Unit Utama;

c. Kepala Kantor Wilayah; dan

d. Kepala Unit Pelaksana Teknis.

8. Apabila kerja sama yang akan dilaksanakan hanya dilaksanakan pada 1 (satu) Unit maka MSP dapat ditandatangani oleh Pejabat Unit Utama.

(18)

Apabila dilaksanakan oleh 2 (dua) Unit atau lebih ditandatangani oleh Menteri atau Sekretaris Jenderal. Pejabat penandatangan MSP dapat disesuaikan dengan Pihak Kedua pelaksana kerja sama.

Tahapan pembuatan kerja sama luar negeri dapat dilihat pada: https:// Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.go.id/berita/ri-rusia-resmi-kerja-sama-bantuan-hukum-timbal-balik

Tahapan Kerja Sama Luar Negeri dengan INGO

Dalam melaksanakan kerja sama luar negeri dengan INGO, berikut adalah beberapa tahapan yang dilakukan di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia:

1. Membuat rencana kerja sama, sesuai Pasal 9 ayat (1) Permenkumham Nomor 65 Tahun 2016. Menurut Pasal 7 Permenkumham tersebut, kerja sama luar negeri dapat dilakukan dengan Organisasi Internasional Nonpemerintah.

2. Untuk kerja sama yang dilakukan dengan Organisasi Asing Non Pemerintah atau International Non Government Organization (INGO), INGO tersebut diwajibkan untuk memiliki izin prinsip dan izin operasional yang dikeluarkan oleh Tim Perizinan Ormas Asing (TPOA) dan Direktorat Hukum dan Perjanjian Sosial Budaya sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 59 tahun 2016. Kemudian, pihak TPOA dan Direktorat Hukum dan Perjanjian Sosial Budaya akan menunjuk Kementerian/Lembaga sebagai mitra dari INGO tersebut.

3. Menyampaikan rencana kerja sama kepada Sekretaris Jenderal melaui Bagian Kerja Sama Luar Negeri, Biro Humas, Hukum dan Kerja Sama. Unit Utama pelaksana kerja sama luar negeri menyampaikan rencana kerja sama kepada Biro Humas, Hukum dan Kerja Sama, Bagian Kerja Sama Luar Negeri sesuai Permenkumham No. 65 Tahun 2016.

(19)

4. Bagian Kerja Sama Luar Negeri melakukan pengkajian dan analisa dengan memperhatikan rencana strategis Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sesuai Pasal 10, Berdasarkan rencana kerja sama yang disampaikan kepada Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Sekretaris Jenderal menugaskan Kepala Biro Humas, Hukum, dan Kerja Sama melakukan pengkajian dan analisa dengan memperhatikan rencana strategis Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

5. Bagian Kerja Sama Luar Negeri menyampaikan kepada Pimpinan Unit Utama, Kepala Kantor Wilayah, atau Unit Pelaksana Teknis terkait. Bagian Kerja Sama Luar Negeri menyampaikan hasil analisa dalam rapat dengan Unit Terkait bersama Organisasi Internasional Nonpemerintah. Pihak Pertama dan Pihak Kedua menyiapkan Memorandum Saling Pengertian (MSP) yang akan berlaku antara Para Pihak, Arahan Program (AP), dan Rencana Induk Kegiatan (RIK).

6. Bagian Kerja Sama Luar Negeri mengundang Tim Perizinan Organisasi Masyarakat Asing (TPOA) untuk membahas rencana kerja sama yang dilakukan dengan Organisasi Asing Non Pemerintah. Bagian Kerja Sama Luar Negeri menyampaikan hasil analisa perencanaan kerja sama kepada TPOA. Pembahasan terkait MSP antara Para Pihak yang akan melaksanakan kerja sama.

7. Bagian Kerja Sama Luar Negeri menyampaikan hasil Pembahasan MSP kerja sama dengan INGO kepada Direktorat Hukum dan Perjanjian Sosial Budaya, Kementerian Luar Negeri.

8. Bagian Kerja Sama Luar Negeri menyampaikan hasil Pembahasan MSP kerja sama dengan INGO kepada Kementerian Sekretariat Negara. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan tanggapan terkait rancangan MSP dan proses penandatanganannya.

(20)

9. MSP yang telah dibahas dan disepakati kemudian ditandatangani. Sesuai dengan Permen Kumham No. 65 Tahun 2016, Pasal 14 ayat (1) Naskah kerja sama ditandatangani oleh:

a. Menteri;

b. Pimpinan Unit Utama;

c. Kepala Kantor Wilayah; dan

d. Kepala Unit Pelaksana Teknis.

10. Apabila kerja sama yang akan dilaksanakan hanya dilaksanakan pada 1 (satu) unit maka MSP dapat ditandatangani oleh Pejabat Unit Utama. Apabila dilaksanakan oleh 2 (dua) unit atau lebih ditandatangani oleh Menteri atau Sekretaris Jenderal. Pejabat penandatangan MSP dapat disesuaikan dengan Pihak Kedua pelaksana kerja sama.

Persiapan Negosiasi

Dalam menjalin kerja sama tahapan negosiasi perlu dipersiapkan dengan baik. Para Pihak yang akan menjalin kerja sama harus melalui tahapan negosiasi ini guna mendapatkan kesepakatan yang diinginkan oleh keduanya sebelum kesepakatan tersebut dituangkan dalam sebuah perjanjian kerja sama. Berikut ini proses yang terjadi dalam negosiasi:

a. Persiapan;

b. Memulai;

c. Langkah strategis;

d. Diskusi dan komunikasi;

e. Melakukan pengukuran : a) Diri b) Lawan c) Situasi d) Pengembangan strategi;

f. Penutup dan kesepakatan;

(21)

Sebelum sebuah kerja sama terbentuk, tawaran kerja sama dapat disampaikan dalam berbagai kesempatan. Di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, tawaran kerja sama dari berbagai negara sahabat disampaikan langsung kepada Menteri Hukum dan HAM. Pembahasan mengenai tawaran kerja sama tersebut dapat disampaikan oleh duta besar negara/menteri dari negara sahabat/perwakilan organisasi internasional melalui kunjungan kehormatan atau Courtesy Call. Kunjungan tersebut tidak hanya sebuah kunjungan ramah tamah biasa yang dilakukan oleh duta besar/menteri/perwakilan organisasi internasional namun juga merupakan salah satu pintu masuk dalam pembahasan kerja sama yang akan dijalin oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI dan juga pembahasan mengenai isu-isu lainnya.

Sebagai salah satu bentuk negosiasi, Courtesy Call yang dilakukan oleh Menkumham ataupun Pimpinan Tinggi di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia perlu dipersiapkan dengan baik oleh karena itu Bagian Kerja Sama Luar Negeri, Biro Humas, Hukum dan Kerja Sama memiliki peran dalam membantu mempersiapkan Courtesy Call tersebut.

Tahapan Persiapan Courtesy Call

1. Permintaan untuk Courtesy Call dikirimkan oleh perwakilan negara sahabat/perwakilan organisasi asing kepada Menteri Hukum dan HAM melalui sebuah sebuah resmi. Dalam surat resmi tersebut sudah disampaikan mengenai maksud dan tujuan dari kunjungan kepada Menkumham dan isu apa yang akan dibahas nantinya.

2. Surat yang masuk tersebut maka akan didisposisi oleh Menkumham/ Sekjen/Pimpinan Tinggi untuk ditindaklanjuti, apakah dari surat permohonan audiensi tersebut akan diterima atau pun tidak tergantung dari jadwal yang tersedia.

(22)

3. Dari disposisi yang telah diturunkan oleh Menteri/Sekjen/Pimti maka akan diterima oleh Kepala Bagian Kerja Sama Luar Negeri (KLN) untuk segera dipersiapkan bersama dengan jajarannya.

4. Persiapan dimulai dengan melakukan koordinasi baik internal maupun eksternal. Koordinasi internal dilakukan di lingkup Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Bagian KLN melakukan koordinasi kepada Sekretaris Pribadi Menteri mengenai ketersediaan jadwal dan arahan langsung Menteri, kemudian koordinasi dengan Penasehat Menteri mengenai persiapan bahan bagi Menkumham dan koordinasi dengan Unit Eselon I yang terkait. Sementara untuk koordinasi ke pihak di luar Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia atau eksternal dilakukan dengan pihak kedutaan negara, Kementerian Luar Negeri ataupun NGO.

5. Selain koordinasi dengan pihak internal dan eksternal, persiapan yang perlu dilakukan ialah materi pendukung bagi Menkumham dalam pertemuan tersebut. Sebelum pertemuan di laksanakan, Bagian KLN akan menyiapkan satu bundel file berisi materi yang dibutuhkan oleh Menkumham dalam pertemuan. File tersebut berisi susunan pertemuan yang mencantumkan informasi mengenai delegasi yang akan hadir serta isu yang akan dibahas nantinya hingga substansi atau bahan-bahan pendukung yang didapatkan dari Unit Eselon I yang terkait.

6. Setelah materi siap, maka selanjutnya ialah menyiapkan nota dinas kepada Bagian Humas untuk bantuan peliputan dan publikasi serta nota dinas kepada Bagian Protokol untuk bantuan keprotokolan.

7. Pelaksanaan Courtesy Call. Sebelum pelaksanaan pertemuan maka tim KLN perlu mengecek kembali ruangan, souvenir, kesiapan alat rekam dan susunan tempat duduk dalam pertemuan nantinya. Kemudian koordinasi kembali kepada beberapa pihak baik internal maupun eksternal. Saat pelaksanaan, perwakilan Bagian KLN

(23)

menyiapkan notulensi terkait isu-isu penting termasuk kemungkinan tawaran kerja sama yang dibahas selama pertemuan. Dari notulensi tersebut akan dijadikan bahan laporan kepada Sekretaris Jenderal.

8. Setelah pelaksanaan Courtesy Call, maka selanjutnya ialah Bagian KLN menyiapkan laporan pelaksanaan kepada Sekretaris Jenderal termasuk poin-poin yang dibahas selama pertemuan.

Dari tawaran kerja sama yang disampaikan secara tertulis dan secara verbal dalam pertemuan tersebut, maka dibuat tindak lanjut terkait penjajakan kerja sama yang akan dijalani oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dalam menindaklanjuti tawaran kerja sama, maka ada beberapa persiapan yang dilakukan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebelum menandatangani perjanjian kerja sama dengan negara/organisasi internasional tertentu.

Persiapan internal dan eksternal harus dilakukan guna melancarkan proses diplomasi yang akan dijalankan. Beberapa hal yang termasuk ke dalam persiapan internal yang pertama ialah koordinasi antar instansi mengenai isu yang akan diusulkan dalam proses negosiasi. Yang kedua, pembentukan Delegasi RI (Delri) juga perlu dilakukan karena delegasi ini yang diutus sebagai perwakilan Pemerintah Indonesia dalam proses perundingan dengan negara lain. Persiapan ketiga adalah mengumpulkan masukan dari stakeholder yang dapat diajukan dalam proses perundingan nantinya. Kemudian penyusunan posisi Delri dan persiapan lainnya seperti administratif dan logistik juga termasuk ke dalam persiapan internal. Selain persiapan internal, persiapan ke pihak luar atau eksternal juga perlu dilakukan. Beberapa hal yang perlu dipersiapkan seperti konsultasi dengan counterpart mengenai waktu, tempat, agenda dan modalities (bilateral). Selain itu rules of procedures; organizational session: consultation, informal, formal, karakteristik (multilateral). Tahapan Courtesy Call dapat dilihat pada:

(24)

https://Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.go.id/berita/dubes-selandia-baru-kunjungi-menkumham-bahas-imigran-hingga-korupsi

Dinamika Kerja Sama Global

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat mengagumkan selama abad ke-20 telah menyebabkan lahirnya bidang-bidang baru kerja sama antar negara, sehingga memperkaya Hukum Internasional dengan norma-norma baru yang tidak semua negara dapat menerima, karena baik Hukum Internasional secara umum maupun Piagam PBB secara khusus masih mengatur interaksi negara-negara atau subjek hukum lainnya dan bukan aktor-aktor non negara. Di samping itu dalam era globalisasi dan interpenetrasi ini kadang-kadang tidak mudah untuk menentukan apakah suatu isu itu murni nasional, regional atau bersifat global. Peranan Hukum Internasional dalam situasi seperti ini akan menjadi sulit dan rumit karena kurangnya kejelasan.

Beberapa hal yang muncul saat ini dalam dinamika kerja sama secara global sebagia berikut:

a. Semakin banyaknya aktor yang terlibat dalam hubungan internasional non-pemerintah saat ini;

b. Semakin tingginya tuntutan akuntabilitas dan efisiensi sehingga penyusunan dokumen kerja sama semakin rinci dan kompleks;

c. Munculnya negara-negara baru pusat pertumbuhan ekonomi dunia;

d. Kecenderungan unilateralisme;

e. Isu sensitif terkait separatisme;

f. Hubungan Internasional yang belum ada dengan Indonesia adalah Taiwan dan Israel.

(25)

Demikianlah, dewasa ini Hukum Internasional sedang menghadapi ujian dan tantangan berat dan karena itu hares mengambil langkah-langkah nyata untuk menyikapi realita dinamika politik global yang terus berkembang.

H. RANGKUMAN

Kerja sama di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dibagi menjadi 2 (dua) yaitu Kerja Sama Dalam Negeri dan Kerja Sama Luar Negeri. Kerja sama dimaksud dapat dilakukan pada tingkat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Unit Utama sampai dengan Satuan Kerja. Kerja sama mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan pelaksanaan fasilitasi, koordinasi, pemantauan, pengelolaan data, dan evaluasi kerja sama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Negosiasi dan diplomasi merupakan bagian dari konsep komunikasi secara umum yang bertujuan mempengaruhi, menarik perhatian, manarik simpati, menimbulkan empati, menyampaikan informasi dari dan atau ke seseorang, kelompok, organisasi, perusahaan, lembaga negara bahkan negara. Selain itu, dalam konteks komunikasi, hal itu juga tidak lepas dari realitas dimana setiap orang membutuhkan informasi. Keberhasilan lobi, negosiasi dan diplomasi tidak lepas dari proses komunikasi yang baik. Dalam konteks proses komunikasi, negosiator memiliki peran sebagai komunikator yang mengawali proses terjadinya komunikasi dalam negosiasi. Karena itu sebagai komunikator, baik negosiator, lobbyist dan diplomat harus dapat memahami kliennya yang di pihak lain berperan sebagai komunikan.

I. LATIHAN

1. Apa yang anda ketahui tentang diplomasi dan negoisasi, jelaskan! 2. Mengapa kita pelu menjalin kerja sama dengan Kementerian/Lembaga

lain?

3. Sebutkan siapa saja yang dapat melakukan tandatangan pada naskah kerja sama yang telah disepakati?

(26)

BAB V

PENUTUP

A. SIMPULAN

Coaching adalah pembimbingan peningkatan kinerja untuk mencapai tujuan melalui pembekalan kemampuan memecahkan permasalahan dengan mengoptimalkan potensi diri. Sebagai seorang Coach, atasan langsung bertanggung jawab untuk melakukan aktivitas coaching kepada bawahannya dengan menjadi mitra kerja bagi bawahannya (Coachee).

Kementerian Hukum dan HAM sebagaimana diuraikan dalam Permenkumham RI No. 29 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI memiliki 11 unit kerja setingkat eselon I sehingga dengan demikian Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI memiliki pula jumlah kompetensi teknis dan fungsional yang sangat banyak. Penataan organisasi diarahkan pada organisasi yang profesional, efisien, serta efektif dan diharapkan dapat mejalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan program yang telah dirumuskan pada RPJMN.

Kerja sama dalam negeri diartikan sebagai hubungan kerja sama yang dilakukan oleh dua pihak atau pun lebih untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, baik Lembaga Pemerintah atau Lembaga Non Pemerintah. Terjalinnya kerja sama dalam negeri yang dilakukan oleh suatu pihak guna memenuhi bagi kepentingan rakyat dan kepentingan lainnya. Setiap kerja sama dalam negeri yang dijalin oleh tiap Kementerian/Lembaga (K/L) tentu berpedoman pada aturan masing-masing.

Kerja sama internasional adalah bentuk hubungan yang dilakukan oleh suatu negara dengan negara lain yang bertujuan untuk memenuhi

(27)

kebutuhan rakyat untuk kepentingan negara-negara di dunia. Kerja sama internasional, yang meliputi kerja sama di bidang politik, sosial, pertahanan keamanan, kebudayaan, dan ekonomi, berpedoman pada politik luar negeri masing-masing. Hubungan kerjasama antar negara (internasional) di dunia diperlukan guna memenuhi kebutuhan hidup dan eksistensi keberadaan suatu negara dalam tata pergaulan internasional, di samping demi terciptanya perdamaian dan kesejahteraan hidup yang merupakan dambaan setiap manusia dan negara di dunia.

Kementerian Hukum dan HAM memiliki sejumlah kerja sama luar negeri dengan negara asing, badan-badan internasional maupun NGO (non-government organization) internasional, baik di tingkat eselon 1, eselon 2, maupun kantor wilayah. Kerja Sama luar negeri di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM memiliki koordinator sebagai gerbang utama hubungan dan kerja sama luar negeri di Kementerian Hukum dan HAM, yaitu Bagian Kerja Sama Luar Negeri.

Bagian Kerja Sama Luar Negeri berada di bawah Biro Humas dan Kerja Sama Luar Negeri, Sekretariat Jenderal Kementerian Hukum dan HAM. Sebagai koordinator Kerja Sama Luar Negeri se-Kementerian Hukum dan HAM, Bagian Kerja Sama Luar Negeri memberikan laporan segala kegiatan kerja sama luar negeri langsung kepada Menteri Hukum dan HAM setelah dilaporkan kepada Sekretaris Jenderal. Kerja Sama Luar Negeri mempunyai tugas melaksanakan penyiapan pembinaan pelaksanaan administrasi kerja sama luar negeri serta pengelolaan administrasi hibah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Bagian Kerja Sama Luar Negeri menyelenggarakan fungsi penyiapan pelaksanaan fasilitasi, koordinasi, pemantauan, pengelolaan data, dan evaluasi kerja sama bilateral, regional, multilateral dengan negara-negara dan organisasi/badan-badan internasional serta pengelolaan administrasi hibah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;

(28)

B.

SARAN DAN REKOMENDASI

1. Perlu adanya peningkatan kerja sama, sinergitas pada seluruh jajaran unit eselon 1 yang ada di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM, serta antar Kementeria dan Lembaga yang terkait;

2. Perjanjian kerja sama sebaiknya dibuat secara bijaksana, jangan sampai perjanjian yang telah disepakati menjadi perjanjian yang zombi (tidak ada tindak lanjutnya);

3. Pengembangan sumber daya manusia, muali dari pelatihan, kursus, short course, yang berkelanjutan.

(29)
(30)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Mieke Komar Kantaarmadja, et al. Suatu Catatan tentang Praktek Indonesia dalam hubungan dengan Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional. Banda Aceh, Simposium Pola Umum Perencanaan Hukum dan Perundang-undangan, 1976, hlm. 3 dalam Eman Suparman Perjanjian Internasional sebagai Model Hukum Bagi Pengaturan Masyarakat Global (Menuju Konvensi ASEAN Sebagai Upaya Harmonisasi Hukum), bandung, 2000 hlm. 20;

K.J Holsti, Politik Internasional, Kerangka Untuk Analisis, Jilid II, Terjemahan M. Tahrir Azhari. Jakarta: Erlangga, 1988, hlm 652-653;

Robert Jackson dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. hlm 63-64;

Koesnadi Kartasasmita, Administrasi Internasional, Lembaga Penerbitan Sekolah Tinggi llmu Administrasi Bandung,1977, hlm 19

K J Holsti, International Politics, A Framework for Analysis, New Jersey, Prentice-Hall, 1992, hlm.10;

Sjamsumar Dam dan Riswandi, Kerja sama ASEAN, Latar Belakang, Perkembangan, dan Masa Depan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995, hlm 15; http://naniwidiawati.blogspot.com/2009/04/hubungan-bilateral-multirateral.html.

Diakses 16 Juli 2020;.

http://id.shvoong.com/social-sciences/political-science/2232271-konsep-hubungan-bilateral/#ixzz25Y091CGr. Diakses 16 Juli 2020;

(31)

KM Panikkar, “The Principle and Practice Diplomacy” dalam, “Diplomasi” diterjemahkan oleh Harwanto dan Misrawati (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hal 3;

Tonny Dian Effendy, “E-Diplomacy Sebagai Sarana Promosi Potensi Daerah Kepada Dunia Internasional”. diakses melalui journal.unair.ac.id/filerPDF/4

e-Diplomacy Pemda Indonesia, final edit OK.pdf (diakses tanggal 10 mei 2014);

Milton C. Cummings, “Cultural diplomacy and the united states goverment: a survey for arts and culture” (2003), Hal 1

Baroroh Lestari dan Taher Alhabsji. Praktik Manajemen Pengetahuan dan Kinerja Inovasi dalam Industri Manufaktur (Malang: Universitas Brawijaya Press, 2013)

Bryan Bergeron. Essentials of Knowledge Management (New Jersey: John Wliey & Sons, 2003)

Dan Remenyi. 5th Knowledge Management and Intellectual Capital Excellence Awards 2019 at ECKM 19 (London: Academic Conferences and Publishing International-ACPIL, 2019)

Mona Ben Chouikha. Organizational Design for Knowledge Management (London: ISTE Ltd, 2016)

Peter Massingham. Knowledge Management; Teory in Practice (London: Sage, 2019).

PERATURAN

Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS

Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi

Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik

(32)

Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.HH-06.IN.04.02 Tahun 2010 tentang Kebijakan Pengembangan SDM Kementerian Hukum dan HAM

Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 14 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Manajemen Pengetahuan (Knowledge Management)

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 29 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 65 Tahun 2016 tentang Penataan Kerja Sama di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

WIBESITE

https://kemenkumham.go.id/berita/dpr-ri-sahkan-ruu-perjanjian-mla-indonesia-swiss https://kemenkumham.go.id/berita/menkumham-dubes-serbia-bahas-kerja-sama-bidang-mutual-legal-assistance-mla-dan-ekstradisi

https://Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.go.id/berita/menkumham-dan-21-negara-anggota-uni-eropa-bahas-isu-aktual

https://Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.go.id/berita/kerjasama-icrc-dengan-Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia-dan-pantap-hukum-humaniter

https://Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.go.id/berita/dubes-selandia-baru-kunjungi-menkumham-bahas-imigran-hingga-korupsi

(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)

Referensi

Dokumen terkait

Pada umumnya kartu jaringan ada yang sudah built-in dengan Motherboard dari komputer atau laptop, akan tetapi banyak komputer rakitan sendiri tidak memasukkan kartu jaringan

Pada saat pengendara tersebut memarkirkan mobilnya maka secara otomatis mobil tersebut pun akan terdeteksi oleh sebuah sensor yang berada di slot tersebut

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, disimpulkan bahwa kultur in vitro jaringan daun kopi robusta (Coffea canephora var. robusta Chev.) pada medium

Tanpa seka kultural apapun (termasuk sekat etnis, ras, agama. geografis, dan strata sosial) individu bebas melalukan aktivítas di ruang cyberpublik. la

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 29 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Soal bentuk pilihan ganda kompleks bertujuan untuk menguji pemahaman peserta didik terhadap suatu masalah secara komprehensif yang terkait antara pernyataan satu dengan yang

 Jika istri berbuat ‘Nusyuz’, maka dianjurkan melakukan tindakan berikut ini secara berurutan: (a) Memberi nasehat, (b) Pisah kamar, (c) Memukul dengan pukulan yang