• Tidak ada hasil yang ditemukan

KETAATAN PERAWAT DALAM PENERAPAN MEDICATION SAFETY DI BANGSAL MARWAH DAN ARAFAH RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KETAATAN PERAWAT DALAM PENERAPAN MEDICATION SAFETY DI BANGSAL MARWAH DAN ARAFAH RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

KETAATAN PERAWAT DALAM PENERAPAN MEDICATION

SAFETY DI BANGSAL MARWAH DAN ARAFAH RUMAH

SAKIT PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

Naskah Publikasi

Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Derajat

Sarjana Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

RULLY HERMAWATI 20040320041

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

YOGYAKARTA 2008

(2)

PENDAHULUAN

Di era globalisasi ini perkembangan ilmu dan teknologi sangatlah pesat termasuk diantaranya adalah ilmu dan teknologi kedokteran. Keadaan tersebut berdampak terhadap pelayanan kesehatan, dimana di masa lalu pelayanan kesehatan sangatlah sederhana, sering kurang efektif namun lebih aman. Sekarang ini searah dengan perkembangan dunia kedokteran, pelayanan kesehatan sangatlah kompleks, lebih efektif, namun apabila pemberi pelayanan kurang hati-hati dapat berpotensi terjadinya kejadian tidak diharapkan atau

adverse event (Lumenta, 2008)

Menurut Lumenta (2008) dalam seminar Managemen Risiko Rumah Sakit di Hotel JW Marriot Jakarta adverse event dapat berupa kesalahan pemberian obat, kesalahan ketika operasi atau tindakan medis lain yang berujung pada penderitaan pasien atau bahkan pada kematian. Adverse events adalah suatu injury pada pasien yang lebih disebabkan oleh tindakan dan manajemen kesehatan dibandingkan oleh penyakit itu sendiri, yang mengakibatkan perpanjangan masa perawatan atau ketidakmampuan baik permanen maupun non-permanen pada pasien. Tindakan medis yang menyebabkan timbulnya

adverse events ini disebut medical error. Salah satu adverse events yang paling

banyak terjadi yaitu adverse drug events, yaitu injury pada pasien yang berkaitan dengan tindakan pemberian obat. Tindakan yang mengakibatkan adverse drug

events ini disebut dengan medication error. Hingga sekitar tahun 60 an, medication error tidak pernah disebut-sebut sebagai suatu masalah kesehatan.

Hal ini terbukti dari sangat sedikitnya hasil penelitian yang dipublikasikan di journal-journal biomedik di dunia hingga tahun tersebut. Istilah medication error mulai banyak ditemukan dalam sekitar tahun 1990 an, atau 10 tahun terakhir (Dean, 2002).

Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1027/ MENKES/ SK / IX/ 2004 disebutkan bahwa pengertian medication error adalah kejadian yang merugikan pasien, akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah. Kejadian medication error dibagi dalam 4 fase, yaitu fase prescribing, fase transcribing, fase dispensing dan fase

(3)

administration oleh pasien. Medication error pada fase prescribing adalah error

yang terjadi pada fase penulisan resep. Error fase transcribing, error terjadi pada saat pembacaan resep untuk proses dispensing, antara lain salah membaca resep karena tulisan yang tidak jelas, informasi tidak jelas atau penggunaan singkatan tidak tepat. Error pada fase dispensing terjadi pada saat penyiapan hingga penyerahan resep oleh petugas perawat. Error pada fase administration adalah

error yang terjadi pada proses penggunaan obat oleh pasien.

Faktor penyebab dari medication error dapat berupa: 1) Komunikasi yang buruk, baik secara tertulis (dalam resep) maupun secara lisan (antar pasien, dokter dan pasien). 2) Sistem distribusi obat yang kurang mendukung (sistem komputerisasi, sistem penyimpanan obat, dan lain sebagainya). 3) Sumber daya manusia (kurang pengetahuan, pekerjaan yang berlebihan). 4) Edukasi kepada pasien kurang. 5) Peran pasien dan keluarganya kurang (Cohen 1991).

Menurut data dari Quality and Safety in Health Care (2006) dari 1010

medication error 298 (30%) merupakan prescribing error, 245 (24%) merupakan dispensing errors, 410 (41%) merupakan administration errors, 57 (6%)

melibatkan medication administration records (MAR). Studi yang dilakukan oleh Bagian Farmakologi FK UGM antara tahun 2001 sampai 2003 menunjukkan bahwa medication error terjadi pada 97% pasien ICU, antara lain dalam bentuk dosis berlebihan atau kurang, frekuensi pemberian keliru, dan cara pemberian yang tidak tepat. Error yang umumnya sering terjadi antara lain adalah pemberian obat yang tidak sesuai indikasi, dosis tidak tepat atau frekuensi pemberian yang keliru, cara pemberian yang kurang benar, tidak mengenali adanya kemungkinan interaksi obat, hingga tidak jelasnya komunikasi antara dokter, perawat, farmasis dan pasien.

Menurut Ginting (2007) dalam Seminar nasional keperawatan menyampaikan dari survey keperawatan di Rumah Sakit Sanglah Denpasar dari 236 tenaga keperawatan di rawat inap, sekitar 57 orang atau 24 persen mengalami kesalahan pemberian obat pada pasien. Kesalahan terjadi dalam hal salah waktu, obat sisa pasien yang pulang tidak dikembalikan ke farmasi, atau

(4)

kesulitan membaca tulisan dokter. Salah satu hal yang menyebabkan munculnya kesalahan adalah minimnya budaya pelaporan dan budaya menulis.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang bersifat eksploratif dengan pendekatan survey yang bertujuan mendiskripsikan atau memaparkan peristiwa-peristiwa urgen yang terjadi pada masa kini yang dilakukan secara sistematik dan lebih menekankan pada data faktual dari pada penyimpulan (Nursalam, 2003). Penelitian ini untuk mendiskripsikan tentang pelaksanaan

medication safety pada perawat di bangsal marwah dan arafah RS PKU

Muhammadiyah Yogyakarta. Populasi yang dipakai dalam penelitian ini adalah perawat pelaksana di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta pada bulan Oktober 2008. sampel dalam penelitian ini adalah 30 orang perawat pelaksana (Dempsey, 2002). Sampel yang dijadikan subyek penelitian ini adalah perawat pelaksana di Bangsal Marwah dan Arafah RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

Variabel dalam penelitian ini adalah variable tunggal yaitu ketaatan perawat dalam menerapkan medication safety dalam tidakan pemberian obat kepada pasien. Pengumpulan data dilakukan dengan cara memberikan kuesioner. Pertanyaan dengan jumlah 25 dalam kuisioner tersebut dinilai dalam tiga kategori sesuai dengan standar Depkes yaitu dikatakan baik apabila diperoleh nilai lebih besar dari 75%, dikatakan cukup apabila diperoleh nilai antara 50-75 %, dan dikatakan kurang apabila diperoleh nilai kurang dari 50 %.

(5)

HASIL

1. Gambaran Karakteristik Responden

Tabel 1 Distribusi Umur, Lama Bekerja dan Tingkat Pendidikan Responden di Bangsal Marwah dan Arafah RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Bulan Oktober 2008

No Karakteristik Responden Jumlah (f) Prosentase 1 Umur 25-35 20 66,7 36-45 9 30,0 46-55 1 3,3 2 Pendidikan SPK 3 10,0 DIII 21 70,0 S1 6 20,0 3 Lama Bekerja 1-10 16 53,3 11-20 13 43,3 21-30 1 3,3

Tabel di atas dapat dilihat bahwa perawat yang memiliki rentang umur paling banyak adalah umur 25 sampai 35 tahun sebanyak 66,7% (20 orang), tingkat pendidikan yang paling banyak adalah DIII sebanyak 70% (21 orang), dan lama bekerja yang paling banyak adalah 1-10 tahun sebanyak 53,3% (16 orang).

2. Ketataan Perawat dalam Pelaksanan Fase Transcribing

Tabel 2 Ketaatan Perawat dalam Fase Transcribing di Bangsal Marwah dan Arafah RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Bulan Oktober 2008

Kategori Jumlah (f) %

Kurang 3 10,0

Cukup 7 23,3

(6)

Berdasarkan tabel diatas dapat terlihat bahwa prosentase terbesar dari 30 responden pada fase transcribing sebanyak 66,7% (20 orang) pada kategori baik dan prosentase terkecil pada fase transcribing dengan kategori kurang sebanyak 10% (3 orang).

3. Ketataan Perawat dalam Pelaksanan Fase Dispensing

Tabel 3 Ketaatan Perawat dalam Fase Dispensing di Bangsal Marwah dan Arafah RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Bulan Oktober 2008

Kategori Jumlah (f) %

Kurang 3 10,0

Cukup 22 73,3

Baik 5 16,7

Berdasarkan tabel diatas dapat terlihat bahwa dari 30 responden pada fase dispensing prosentase terbesar sebanyak 73,3% (22 orang) pada kategori cukup dan prosentase terkecil pada fase dispensing dengan kategori kurang 10% ( 3 orang).

4. Gambaran Ketataan Perawat dalam Pelaksanan Fase Administration Tabel 4 Ketaatan Perawat dalam Fase Administration di Bangsal

Marwah dan Arafah RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Bulan Oktober 2008

Kategori Jumlah (f) %

Cukup 14 46,7

Baik 16 53,3

Berdasarkan tabel diatas dapat terlihat bahwa prosentase terbesar dari 30 responden pada fase administration prosentase terbesar sebanyak 53,3% (16 orang) pada kategori baik dan 46,7% ( 14 orang) pada kategori cukup.

(7)

5. Ketaatan Perawat dalam Penerapan Medication Safety

Tabel 5 Ketaatan Perawat dalam Penerapan Medication Safety di Bangsal Marwah dan Arafah pada Perawat RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Bulan Oktober 2008

Materi Jumlah (f) Prosentase (%)

Cukup 14 46,7

Baik 16 53,3

Berdasarkan tabel di atas dapat terlihat prosentase terbesar dalam pelaksanaan medication safety adalah 53,3% (16 orang) pada kategori baik dan prosentase terkecil adalah 46,7% (14 orang) dengan kategori kurang.

PEMBAHASAN

1. Ketaatan perawat berdasarkan pelaksanaan fase transcribing

Secara keseluruhan hasil penelitian pada fase transcribing ini menyatakan perawat melaksanakan transcribing dengan tingkat ketaatan baik sebanyak 66,7%, cukup taat 23,3% dan kurang taat 10%. Hal tersebut dapat diartikan bahwa dalam melaksanaan fase transcribing perawat mempunyai ketaatan yang baik. Berdasarkan data dalam fase transcribing dapat terlihat 23,3% perawat pernah kesulitan dalam membaca nama atau kemasan obat yang hampir sama, 40% perawat pernah mengalami KNC (Kejadian Nyaris Cedera) karena kesalahan membaca nama obat yang hampir sama, 16,7% perawat pernah mengalami KNC karena kesalahan membaca kemasan obat yang hampir sama, 6,7% perawat pernah mengalami KTD (Kejadian Tidak Diharapkan) karena salah membaca nama obat yang hampir sama, 6,7% perawat pernah mengalami KTD karena salah membaca kemasan obat yang hampir sama, 50% perawat pernah mengalami kesulitan membaca instruksi atau program terapi dari dokter.

(8)

Berdasarkan data dari RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta dari Tahun 2007 terjadi dua kali medication error. Minimnya budaya melapor oleh petugas yang melakukan kesalahan menyebabkan medication error tidak terdokumentasi dengan baik. Pendokumentasian tentang kejadian medication error dapat dijadikan sebagai acuan untuk memperbaiki sistem yang sudah ada sehingga berbagai kejadian yang merugikan pasien tidak terulang lagi.

Komunikasi antar perawat yang tidak jelas seringkali menyebabkan medication error. Menurut penelitian Muhajir (2007) ditemukan 7 kasus medication error karena komunikasi yang buruk antar perawat di RSUD dr. H.M. Rabain Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan. Sudartana (2007) menyebutkan data dari RS Sanglah pada bulan April 2007 didapati 11 kasus medication error yang penyebabnya mulai dari salah pemberian obat sampai kesalahan dalam hal pengambilan tindakan. Kasus tersebut meliputi 4 kasus KTD dan 7 kasus KNC. Prahasto (2002) menyebutkan data dari 23 Puskesmas di lima provinsi didapatkan hasil medication error sebesar 85% hal ini dikarenakan obat tidak sesuai indikasi dan tidak sesuai dosis. Prahasto juga menyebutkan dari risetnya didapatkan data dari 12 Rumah Sakit di Jawa Tengah dan Yogyakarta medication error mencapai 88%.

Organisasi kesehatan dunia (WHO) juga telah menegaskan pentingnya keselamatan dalam pelayanan kepada pasien sehubungan dengan data KTD di Rumah Sakit di berbagai negara menunjukan angka 3 - 16% yang tidak kecil (Donaldson, 2007). Sekitar 44.000 hingga 98.000 pasien meninggal per tahunnya di Amerika disebabkan kejadian tak diharapkan di Rumah Sakit (Kohn, 1999). Indonesia tidak mempunyai data yang akurat tentang kejadian tidak diharapkan maupun kejadian nyaris cedera. Banyak dari Rumah Sakit di Indonesia mempunyai sistem pendokumentasian yang buruk karena tidak melakukan pencatatan dengan alasan bahwa data tersebut akan memperburuk image atau mutu pelayanan Rumah Sakit (Risdiana, 2008) .

(9)

2. Ketaatan perawat bardasarkan pelaksanaan fase dispensing

Hasil penelitian pada fase dispensing ini menyatakan perawat melaksanakan dispensing dengan tingkat ketaatan baik sebanyak 16,7%, cukup taat 73,2% dan kurang taat 10%. Hal tersebut dapat diartikan bahwa dalam melaksanaan fase dispensing perawat mempunyai ketaatan yang cukup. Hal ini dapat dilihat dari perawat yang memberikan obat emergency tanpa konfirmasi terlebih dahulu dengan dokter sebesar 63,3% . Menurut observasi yang dilakukan oleh peneliti obat-obatan di bangsal marwah dan arafah terletak didalam ruang perawat akan tetapi obat yang bersifat look

alike dan sound alike tidak diletakkan terpisah, sistem penempatan obat emergency diletakkan begitu saja dan hanya sesekali dilakukan pengecekan,

tidak ada kemasan obat yang rusak maupun obat yang kadaluarsa, sistem distribusi obat di ruangan belum menggunakan sistem unit dose, namun sudah ada prosedur khusus untuk penggunaan obat high risk seperti insulin dan heparin.

Daud (2007) menyebutkan bahwa untuk mengurangi risiko terjadinya

error dalam fase dispensing adalah dengan menigkatkan kewaspadaan

terhadap obat look alike dan sound alike, memisahkan obat yang bersifat look

alike dan sound alike, kemasan ulang produk dengan kemasan obat look

alike, mengemas ulang kemasan produk dengan kemasan luar yang berbeda, mengecek ulang ketepatan dosis saat dispensing.

3. Ketaatan perawat bardasarkan pelaksanaan fase administration

Hasil penelitian pada fase administration ini menyatakan perawat melaksanakan administration dengan tingkat ketaatan baik sebanyak 53,3% dan cukup taat 46,7%. Hal tersebut dapat diartikan bahwa dalam melaksanaan fase administration perawat mempunyai ketaatan yang baik. Hal ini dapat dilihat dari perawat yang tidak pernah mengalami salah pasien sebesar 96,7% dan 3,3% yang mengalami salah pasien. Dalam cara atau rute pemberian obat perawat yang mengalami kesalahan sebanyak 3,3% dan 96,7% tidak pernah mengalaminya.

(10)

Untuk mengantisipasi kesalahan pemberian obat pada fase

administration, Daud (2007) menambahkan prinsip foodon yang meliputi :

a) Follow instruksi manufaktur, b) Observe pasien dengan obat oral untuk memastikan obat pasti ditelan, c) Observse pasien agar dapat mengetahui seberapa baik medikasi dan prosedur ditolerir, d) Document medikasi, dosis, waktu, cara pemberian, dan respon segera, e) Notify segera praktisi kesehatan jika ada kejadian yang tidak diharapkan, termasuk error. Untuk menghindari kesalahan baik salah pasien, salah obat, salah dosis, salah cara pemberian, maupun salah waktu pemberian perawat harus selalu mencocokkan selalu nama pasien dengan catatan rekam mediknya.

4. Pelaksanaan Medication Safety Berdasarkan Pendokumentasian Pemberian Obat

Berdasarkan hasil pengecekan pada status catatan perawatan klien didapatkan data bahwa sudah ada format khusus untuk mendokumentasikan tindakan pemberian obat. Pendokumentasian itu sendiri terdiri dari jenis obat, dosis obat, waktu pemberian, cara pemberian, respon pasien, efek dan kontraindikasi yang telah ditimbulkan setelah diberi pengobatan. Daud (2007) menngemukakan bahwa dokumentasi yang detail dibutuhkan bila perawat tidak memberikan obat pada waktu seperti biasanya, atau perawat tidak memberikan obat dengan cara semestinya, misalnya ada cara pemberian dari intramuskular ke per oral, sehingga pasien tidak perlu diinjeksi. Perawat harus bertanggung jawab melakukan dokumentasi efek terapi dan non terapi dari pengobatan yang diberikan

Pendokumentasian merupakan hal yang sangat penting dalam pelaksanaan medication safety karena merupakan suatu bentuk dokumentasi tertulis yang bukan hanya berfungsi sebagai pertanggungjawaban dan pertanggunggugatan dari petugas kesehatan, tetapi juga sebagai suatu alat komunikasi antar tim anggota kesehatan. Informasi tertulis menjadi suatu prinsip kebijakan rumah sakit (NHS, 1996).

(11)

5. Gambaran Ketaatan Perawat dalam Penerapan Medication Safety

Hasil penelitian pada ketaatan perawat dalam penerapan medication

safety ini menyatakan perawat melaksanakan medication safety dengan

tingkat ketaatan baik sebanyak 53,3% cukup taat 46,7% . Secara keseluruhan jika dikaitkan dengan Ketetapan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Departemen Kesehatan dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan ketaatan penerapan medication safety oleh perawat di bangsal marwah dan arafah RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta masuk dalam kategori baik. Hal ini dapat dilihat dari perawat yang melakukan ketaatan dengan kategori baik dalam fase transcribing sebanyak 66,7% , ketaatan dengan kategori cukup dalam fase dispensing sebanyak 73,3% , ketaatan dengan kategori baik dalam fase admininistration sebanyak 53,3%. Hal tersebut dikarenakan RS PKU Muhammadiyah Yogyakkarta merupakan salah satu unit pelayanan kesehatan yang ada di Yogyakarta yang telah mempunyai program patient safety sejak tahun 2006 sehingga tenaga perawat di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah sudah memahami tentang medication error dan pentingnya medication safety.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Ketaatan perawat dalam penerapan medication safety berada dalam kategori baik menurut standar Departemen Kesehatan yaitu sebanyak 53,3%.

2. Ketaatan perawat bardasarkan pelaksanaan fase transcribing berada dalam kategori baik menurut standar Departemen Kesehatan sebanyak 66,7%.

3. Ketaatan perawat bardasarkan pelaksanaan fase dispensing berada dalam kategori cukup menurut standar Departemen Kesehatan yaitu sebanyak 73,3%.

4. Ketaatan perawat bardasarkan pelaksanaan fase administration berada dalam kategori baik menurut standar Departemen Kesehatan yaitu sebanyak 53,3%.

(12)

5. Perawat sudah mendokumentasikan setiap pemberian obat pada pada pasien dengan baik.

Saran

Bagi hasil yang telah dilakukan, maka peneliti memberikan saran saebagai berikut:

1. Bagi Direktur Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta

Sebagai pengambil kebijakan dapat kiranya memberikan reinforcement positif kepada perawat pelaksana yang sudah menerapkan medication safety dengan baik supaya perilaku dapat dipertahankan dan ditingkatkan di masa mendatang.

2. Bagi profesi keperawatan

Senantiasa mempertahankan dan meningkatkan ketaatan penerapan

medication safety untuk tercapainya praktik penerapan medication safety

yang professional.

3. Bagi peneliti lain

Penelitian ini masih bersifat kuantitatif untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan penelitian kualitatif baik dengan observasi secara langsung, wawancara, ataupun dengan metode kualitatif yang lain. Hal tersebut untuk mengetahui kualitas pelaksanaan medication safety pada perawat secara lebih teliti.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih penulis ucapkan kepada:

1. Bapak dan Ibu tercinta yang yang dengan cinta kasihnya senantiasa mendoakan dan memberikan dukungan dalam segala hal.

2. dr. Arlina Dewi, Mkes sebagai pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan arahan, masukan, dan motivasi dalam penyusunan KTI.

(13)

3. Direktur Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk melakukan penelitian di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta

4. eman-teman seperjuangan PSIK 2004 terima kasih banyak, dukungan kalian sangat berarti bagiku.

RUJUKAN

Daud, Aryati W. (2007). Medication Safety. Persatuan Rumah Sakit Indonesia. Jakarta

Dean B. (2002) Learning from prescribing errors. Qual Safe Health Care 2002;11:258-260

Depkes RI. (2003). Pedoman Pelaksanaan Kewaspadaan Universal di Pelayanan

Kesehatan. Jakarta

Dempsey P.A. (2002). Nursing Research: text and work book . Jakarta: EGC

Donaldson, Liam. (2007). WHO Collaborating Centre for Patient Safety Releases

Nine Life-Saving Patient Safety Solutions. Jakarta

Lumenta, Nico. (2008, 10 April). Rumah Sakit diminta Bikin Sistem Pelaporan

Insiden Keselamatan Pasien. Jakarta.http://www.tempo

interaktif.com/20080410.id.html Last updated April 10th 2008. Retrieved : April 14th 2008

Muhajir. (2007). Komunikasi Antar Shift di Instalasi Rawat Inap RSUD dr. H.M.

Rabain Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan. Tesis FK UGM

National Health Service. (1996). Service standard for medication care. London: Heath Service Acreditation

Nursalam (2003). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan:

pedoman skripsi, tesis, dan instrument penelitian keperawatan. Jakarta:

Salema Medika

(14)

Risdiana. (2008). Implementasi Sistem Mutu ISO 9001:2000 di Rumah Sakit:

Akankah Jadi Seremoni Sertifikasi Belaka?. http/www. risdiana

blogspot.com

Sudartana, Ketut. (2007). Cegah salah pengobatan RS Sanglah bentuk Tim Patient

Safety. Bali.ww.balipost.com/BaliPostcetak/2007/5/27/b7.html. Last update:

Referensi

Dokumen terkait

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan faktor internal (jenis kelamin, pengetahuan, dan sikap) serta faktor eksternal terhadap kepatuhan perawat dalam

Menurut asumsi peneliti, perawat vokasional dan perawat profesional memiliki kategori terampil dalam pemasangan infus karena pada tahap implementasi mayoritas perawat sudah

Berdasarkan hasil observasi pada prosedur penggunaan antiseptik dan desinfektan pada perawat di Bangsal Rawat Inap RS PKU Muhamma- diyah Yogyakarta tergolong baik sebanyak

1) Persepsi pasien terhadap sikap caring perawat diruang rawat inap kelas III bangsal Marwah dan Arofah RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta tertinggi dengan kategori baik sebanyak 28

Penelitian yang dilakukan Mamesah, dkk (2016) didapatkan hasil bahwa perawat yang tidak stres mempunyai kinerja yang baik sebanyak 26 responden (42,7%) dan menyatakan

Kepatuhan perawat melaksanakan cuci tangan sesudah tindakan keperawatan dari 23 responden yang masing-masing melakukan 6 tindakan dan setelah direkapitulasi didapatkan 138

Salah satu faktor yang mempengaruhi perawat dalam tindakan keperawatan untuk mengambil keputusan yang logis dan akurat adalah pengetahuan perawat. Dasar pengetahuan

Kejadian medication error juga telah terjadi dalam praktek pemberian obat pada pasien yang dikuatkan dengan data hasil KDT (Kelompok Diskusi Terarah) dengan petugas farmasi