• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. Indonesia mengalami kondisi darurat kekerasan seksual anak atau KSA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. Indonesia mengalami kondisi darurat kekerasan seksual anak atau KSA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

Indonesia mengalami kondisi darurat kekerasan seksual anak atau KSA (Sulistyawati, 2015). Anak di bawah usia 18 tahun disalahgunakan sebagai stimulus seksual oleh orang dewasa atau anak seusia (International Rescue Committee Unicef [IRCU], 2012). Aktivitas seksual pada anak termasuk sebagai kekerasan seksual sebab lack of consent, exploitation, ambivalence, dan force (Kinnear, 2007). Berdasar riset kesehatan dasar tahun 2010, sekitar 1% anak laki-laki dan 4% anak perempuan di Indonesia telah melakukan hubungan seksual sebelum usia 13 tahun (Suwarni, 2014). Erlinda (2014), sekertaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia, memproyeksikan KSA mencapai 1.340 kasus pada tahun 2014. Kasus terlapor ini belum merupakan angka sesungguhnya.

Guna mengetahui KSA di Daerah Istimewa Yogyakarta, survey dilakukan terhadap 502 anak usia 10-18 tahun dan pernah mengalami kekerasan seksual. Hasil survey diantaranya: (1) dibanding anak perempuan, anak laki-laki lebih sering mengalami KSA dalam bentuk diperlihatkan gambar porno, dilecehkan dengan kata porno, dan dipaksa melakukan aktivitas seks; (2) hanya anak perempuan yang disentuh, dipeluk, dan dicium dengan paksa; (3) pelaku pada korban laki-laki meliputi teman yang lebih tua dan teman sebaya; sedangkan pada korban perempuan meliputi teman sebaya, teman yang lebih tua, ayah, dan pacar; (4) hampir 90% anak tidak lapor dan berusaha menghindari pelaku; (5) tidak dilaporkan karena selesai secara damai, dianggap biasa, takut, dan tidak tahu lapor kemana (Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta [BPPM DIY], 2014).

(2)

Hasil survey BPPM DIY sejalan dengan temuan terdahulu. Anak terpapar materi pornografi. Pornografi digunakan pelaku untuk meyakinkan anak bahwa hubungan seks antara orang dewasa dengan anak adalah normal (Miller, 2013). KSA masih pada tataran pelecehan seksual (Paramastri, Supriyati, & Priyanto, 2006). Pelaku merupakan orang yang dekat secara fisik dan emosional dengan anak (IRCU, 2012). Termasuk sebagai kejahatan yang tidak dilaporkan (Strong, Devault, Sayad, & Yarber, 2014). Survey dari self report anak, kemungkinan ada kecenderungan menutupi KSA karena dianggap aib bagi anak dan keluarga.

Parameter darurat KSA tidak cukup dari data statistik, sebab KSA ancaman yang berbahaya. Pelaku memiliki psikosis, gangguan mental, generalized hypersexuality, sindrom otak, atau balas dendam pada pasangan (Miller, 2013). KSA terjadi hanya jika pelaku memiliki motivasi, mampu mengatasi hambatan internal dan eksternal, serta meyakini sasarannya rentan (Kinnear, 2007). Agar terlibat secara kooperatif, pelaku memanipulasi dan memanfaatkan kebutuhan anak akan sentuhan kasih sayang, persetujuan orang dewasa, kesenangan akan permainan, dan ketertarikan pada hadiah (IRCU, 2012; Tower, 1989). KSA sulit dibuktikan, dan mudah disangkal (Tower, 1989). Jarang disertai luka luar karena pelaku tidak berniat melukai anak (Csorba, Tsikouras, Lampé, & Póka, 2012). Jika disertai penetrasi, penyintas mengalami kesakitan pada organ kelamin (Paramastri, Prawitasari, Prabandari, & Ekowarni, 2011). Dapat dikenali jika ditemukan bekas gigitan, semen pelaku, atau penyakit seksual menular pada bagian privasi korban (Byard & Donald, 2008). Jika menunda lapor, maka peluang identifikasi semakin menyempit (Csorba dkk, 2012) dan KSA menjadi berulang (Walsh, Zwi, Woolfenden, & Shlonsky, 2015; Weatherley dkk, 2012).

(3)

KSA berdampak serius dan berkepanjangan. KSA mengancam hubungan kelekatan anak sebab figur yang dekat merupakan pelakunya (Josephs, 2015). Penyintas merasa ketakutan, sangat marah, sedih, dan bersalah (IRCU, 2012). Penyintas dihindari, disalahkan, diasingkan keluarga bahkan masyarakat (IRCU, 2012). Masyarakat menganggap bahwa penyintas dapat berubah menjadi gay, begitu juga dengan sebaliknya, penyintas mengalami ketakutan akan menjadi gay (Maniglio, 2009). Belum terbukti penyintas laki-laki akan tumbuh sebagai homoseksual (Wilson & Widom, 2010). Pada jangka panjang, penyintas mengalami depresi, psikosomatis, masalah seksual, konsep diri yang negatif, kesulitan hubungan interpersonal, dan kecenderungan merusak diri (Strong dkk, 2014). Dampak kekerasan seksual terhadap penyintas dikelompokkan menjadi traumatic sexualization, stigmatization, betrayal, dan powerlessness (Strong dkk, 2014).

Ada pemahaman keliru bahwa anak tidak akan mengalami dampak negatif selama tidak disertai luka fisik (Fox & Nkosi, 2003; IRCU, 2012). Korban yang tidak menunjukkan gejala, kemungkinan hanya penundaan onset (Hanson, Smith, & Elhai, 2004). Penyintas dewasa mengalami kerusakan permanen sistem syaraf pusat yang berfungsi mengontrol defense mechanisms, perilaku sosial, dan impulse control (Tower, 1989). Temuan terbaru menunjukkan bahwa penyintas dewasa yang bahkan sehat secara mental berdasar DSM-IV-TR, secara persisten mengalami hiperresponsive amigdala dan berkurangnya volume gray matter bagian hipokampus (Dannlowski dkk, 2012). Luka pada bagian limbik menjadi mediator berkembangnya emotional disorder, sedangkan berkurangnya volume gray matter di bagian hipokampus berasosiasi dengan berkembangnya post-traumatic stress disorder (Dannlowski dkk, 2012).

(4)

Anak semua usia berhak untuk memiliki pengetahuan tentang apa yang dapat dilakukan, kepada siapa mereka dapat menceritakan, dan memprediksi hal yang dapat dilakukan jika KSA terjadi (Csorba dkk, 2012). Pada penelitian terdahulu, pengetahuan ini dikenal sebagai pengetahuan prevensi KSA. Pengetahuan prevensi KSA adalah informasi tentang menyebutkan bagian tubuh yang harus dijaga, bentuk KSA, cara melindungi diri, serta minta bantuan pada orang dewasa yang dapat dipercaya (Hurtado, Katz, Ciro, Guttfreund, & Nosike, 2014). Penelitian lain mendefiniskannya sebagai informasi tentang tipe KSA, mengenali dan merespon sentuhan tidak aman, cara menceritakan KSA yang terjadi, aman dari predator KSA di internet (Baker, Gleason, Naai, Mitchell, & Trecker, 2012). Ada yang lebih sederhana mendefinisikannya sebagai informasi memberikan respon tepat dalam situasi tidak aman (Weatherley dkk, 2012).

Guna mengetahui gambaran pengetahuan prevensi KSA pada anak, tes pengetahuan pergaulan anak sekolah dasar dilakukan terhadap 238 anak yang berusia 8 dan 9 tahun di kecamatan Nanggulan. Tes berbentuk pilihan ganda, dengan satu kunci jawaban dan dua pengecoh. Diperoleh hasil bahwa anak dengan pengetahuan prevensi KSA kategori rendah ada 10 anak (4,20%); kategori sedang ada 154 anak (64,7%); dan kategori tinggi ada 74 anak (31%). Diantara 238 anak, hanya 18 anak (7,56%) yang memiliki lebih dari 80% pengetahuan prevensi KSA. Pengetahuan prevensi KSA dengan kategori sedang ditandai dengan masih terbatas dalam mengenali bagian tubuh yang menggunakan istilah medis, mengenali permainan tidak pantas, mengenali hal yang tidak boleh dilakukan saat tidak aman, mengenali perbuatan yang boleh dilakukan jika ragu melapor, dan memilih tidak bercerita jika pelaku adalah kerabat. Pengetahuan prevensi KSA perlu ditingkatkan.

(5)

Pada penelitian lain, rendahnya pengetahuan prevensi KSA ditandai dengan pemahaman keliru pada konsep KSA. Anak sekolah dasar (SD) kelas empat di Yogyakarta berpendapat dalam diskusi kelompok terarah (DKT) bahwa kekerasan seksual dianggap sama dengan kekerasan secara umum; pelaku KSA adalah orang yang tidak dikenal oleh penyintas; jika pelaku ialah orang terdekat penyintas, maka itu dianggap sebagai kasus yang tidak normal (Paramastri dkk, 2006). Anak prasekolah di China belum memahami bahwa tidak hanya orang asing yang bisa menjadi pelaku; belum paham jika harus melaporkan sentuhan tidak aman; belum sadar pentingnya respon verbal dan menyingkir dari pelaku jika menghadapi sentuhan tidak pantas (Zhang dkk, 2013). Anak belum menyebutkan bagian privasi tubuh dengan tepat (Hurtado dkk, 2014). Anak menganggap bahwa KSA terjadi karena kesalahan anak (BPPM DIY, 2014; Hurtado dkk, 2014). Kurangnya kesadaran untuk lapor (BPPM DIY, 2014; Hurtado dkk, 2014).

Pengetahuan prevensi KSA pada anak prasekolah di China dipengaruhi orangtua melalui tingkat pendidikan dan cara mengkomunikasikan KSA (Zhang dkk, 2013). Orangtua ada baiknya jika mulai meningkatkan informasi KSA yang dimiliki dan mulai mengkomunikasikan pengetahuan prevensi KSA kepada anak. Beda halnya dengan temuan DKT pada orangtua yang memiliki anak kelas empat SD di Yogyakarta. Orangtua menegaskan bahwa semestinya pendidikan mengenai seksual ini disampaikan oleh sekolah (Paramastri dkk, 2006). Sebagian besar orangtua merasa belum memahami bagaimana cara yang baik untuk melakukan pendidikan seksual kepada anak. Orangtua merasa gamang untuk melakukannya.

(6)

Peningkatan pengetahuan tentang KSA dan apa yang dilakukan jika kekerasan seksual dialami anak, dapat dilakukan melalui prevensi (Kinnear, 2007). Prevensi primer tepat untuk digunakan. Prevensi primer yakni intervensi yang dilakukan sebelum KSA terjadi (Tower, 1989). Anak yang belum pernah mengalami KSA dilibatkan sebagai audience (Centers for Disease Control and Prevention [CDCP], 2004). Prevensi primer menguntungkan sebab menjangkau lebih banyak anak, rendah biaya, dan mudah diterapkan (Vézina, Daigneault, & Hébert, 2013). Keberhasilan prevensi primer melibatkan empat sesi atau lebih, pemateri berwawasan, partisipasi orangtua, diskusi, modelling, evaluasi (Topping & Barron, 2009); dapat dicapai melalui penggunaan konsep konkrit, kesempatan praktek, pengulangan konsep penting (Vézina dkk, 2013). Ada tujuh tema konten berdasar review prevensi primer, meliputi cara mengenali KSA; tipe sentuhan; tipe rahasia; cara menolak; cara menceritakan kepada orang dewasa; cara melapor; dan isu siapa yang dipersalahkan (Topping & Barron, 2009).

Mayoritas prevensi primer melibatkan anak sekolah dasar (Walsh dkk, 2015). Anak menghabiskan banyak waktu dalam sistem pendidikan, maka sekolah menjadi tempat potensial untuk memperkenalkan program (Calhoun, 2009). Program melibatkan orangtua dan guru. Orangtua dilibatkan dalam pemberian consent. Sebaiknya, consent berisi informasi tentang sumber dan metode (Chen, Dunne, & Han, 2007); pernyataan memperbolehkan anak terlibat (Strong dkk, 2014); dan konten (Walsh & Brandon, 2012). Guru dilibatkan sebagai pengajar program karena dekat dan sering kontak sehari-hari, familiar dengan lingkungan belajar, dan telah menjalin rasa percaya (Calhoun, 2009). Kekurangan pada guru dapat diatasi dengan memperbanyak literatur KSA serta mengembangkan kurikulum dan pendekatan pedagogis (Walsh & Farrell, 2008).

(7)

Upaya prevensi menunjukkan peningkatan positif saat ditujukan bagi anak usia sekolah dasar (Kinnear, 2007). Dapat dilihat bahwa pengetahuan prevensi KSA efektif diajarkan bagi anak usia 6-9 tahun (Kenny, 2010). Diperkuat temuan bahwa anak usia 6-9 tahun mengalami peningkatan pengetahuan yang paling signifikan dibanding kelompok usia 10-14 tahun (Hurtado dkk, 2014). Peningkatan pengetahuan Prevensi KSA melalui prevensi penting untuk dialami anak. Anak meningkatkan informasi tentang aturan aman, lebih sadar dengan apa yang harus dilakukan dan kepada siapa harus bercerita jika mengalami kekerasan seksual (Kinnear, 2007). Usia optimal berpartisipasi pada rentang usia 6-9 tahun, masih perlu diselidiki (Pulido dkk, 2015). Peneliti tertarik melibatkan anak usia 8-9 tahun dengan mempertimbangkan stage of sexual play.

Media yang pernah digunakan untuk mengajar pengetahuan prevensi KSA meliputi buku cerita bergambar (Aryani, 2009), boneka (Boyle & Lutzker, 2005; Fuqua, 2008; Pulido dkk, 2015; Wright, Rosett, Lukoscheck, Moadel, & Soroudi, 2007), pameran museum (Hurtado dkk, 2014), game on-line (Müller, Röder, & Fingerle, 2014), dan buklet (Paramastri dkk, 2011). Penelitian ini menggunakan media boneka. Boneka merupakan intervensi edukasi yang dapat diterima dengan baik, relatif terjangkau, dan mudah diterapkan (Wright dkk, 2007). Boneka dapat memberi kesempatan praktek konsep keamanan (Pulido dkk, 2015); memulai diskusi tentang isu seksualitas, model anatomi dan ilustrasi fungsi alat kelamin, menunjuk secara non verbal, screen untuk mengungkap KSA (Kinnear, 2007). Boneka menjadi media untuk mengajarkan konsep prevensi KSA secara konkret bagi anak usia 8 hingga 9 tahun. Boneka menjembatani anak untuk mengalami observasional learning.

(8)

Fokus permasalahan dalam penelitian ini adalah upaya meningkatkan pengetahuan prevensi KSA pada anak usia 8 hingga 9 tahun yang diajarkan dalam Program Pergaulan Aman Anak Sekolah Dasar. Pengetahuan prevensi KSA sebatas tentang menyebutkan bagian tubuh yang harus dijaga, mengenali bentuk KSA, cara melindungi diri, serta minta bantuan pada orang dewasa yang dapat dipercaya. Anak sekolah dasar belajar memahami bahwa setiap manusia memiliki bagian tubuh yang pribadi. Bagian pribadi tubuh milik dirinya dan milik orang lain, harus dihormati. Ketika orang menyentuh bagian tubuh yang pribadi, maka perbuatan itu tidak pantas. Menyentuh atau melihat anak pada bagian tubuh yang pribadi, termasuk sebagai kekerasan seksual dan tidak aman bagi anak. Ketika anak mengetahui bahwa dirinya tidak aman, anak sebaiknya melaporkan pelaku dan segera minta tolong pada orang dewasa yang dipercaya. Melalui program ini, anak diajari membangun pergaulan aman dengan saling menghormati ruang pribadi. Setelah mengikuti program, bukan berarti anak bertanggung jawab penuh terhadap keamanan dirinya. Aman atau tidaknya anak dari predator KSA, menjadi tanggung jawab orang dewasa di sekeliling anak.

Pengetahuan prevensi KSA diajarkan dalam lima sesi. Pelaksanaan empat sesi atau lebih mempengaruhi keberhasilan program bagi anak sekolah dasar (Topping & Barron, 2009). Sesi pertama mengajarkan bagian tubuh yang tidak boleh dilihat dan disentuh oleh orang lain. Sesi kedua mengajarkan contoh perilaku tidak pantas yang sebaiknya dihindari. Sesi ketiga belajar untuk memilih perilaku aman; menolak ajakan pelaku; dan menjauhi pelaku. Sesi keempat belajar segera melaporkan pelaku dan memilih orang dewasa yang mampu menolong. Sesi kelima merangkum seluruh materi. Penguatan materi dapat meningkatkan pemahaman anak untuk melawan KSA (Weatherley dkk, 2012).

(9)

Rancangan eksperimen kuasi digunakan untuk mengukur pengetahuan prevensi KSA pada kelompok eksperimen yang mendapat program. Guna memastikan gain score dialami kelompok eksperimen semata-mata karena pengaruh program, maka gain score juga dibandingkan dengan kelompok kontrol. Peningkatan pengetahuan prevensi KSA tidak dapat diasumsikan sebagai adanya perubahan perilaku (Pulido dkk, 2015) atau pencegahan KSA (Skarbek, Hahn, & Parrish, 2009). Evaluasi pengetahuan prevensi KSA berperan penting dalam pengembangan program prevensi primer KSA (Pulido dkk, 2015).

B. Rumusan Permasalahan Rumusan permasalahan dikemukakan sebagai berikut:

Apakah ada perbedaan pengetahuan prevensi KSA antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol sebagai hasil dari program pergaulan aman anak sekolah dasar?

C. Tujuan dan Manfaat

Tujuan penelitian ini ialah menguji apakah ada perbedaan pengetahuan prevensi KSA antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol sebagai hasil dari program pergaulan aman anak sekolah dasar.

Pada masa mendatang, “Program Pergaulan Aman Anak Sekolah Dasar” diharapkan dapat digunakan oleh guru sekolah dasar sebagai upaya meningkatkan pengetahuan prevensi KSA. Program berpotensi untuk diajarkan oleh guru kepada siswa kelas tiga dalam lingkungan sekolah dengan menggunakan alokasi waktu 70 menit. Administrasi “Tes Pengetahuan Pergaulan Anak Sekolah Dasar” dapat dilakukan sendiri oleh guru untuk mengukur peningkatan pengetahuan prevensi kekerasan seksual anak.

(10)

D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya

Peneliti menguraikan penelitian terdahulu pada area kajian yang sejenis, sehingga posisi dan signifikansi penelitian ini menjadi jelas.

1. Aktivitas fisik, seni, mental, dan story telling, diajarkan guru bagi anak usia 5.5 hingga 6.5 tahun selama 20 hari di Egypt (Abdulahmeed, 2013). Konten berisi perbedaan jenis kelamin; kata dan konsep laki-laki, perempuan, kelahiran, kehamilan, dan permission; tahapan kehamilan hingga kelahiran; peran ayah dan ibu dalam keluarga.

2. My Body, My Boundaries diajarkan staf sekolah selama tiga minggu bagi siswa di Hawai’i (Baker dkk, 2012). Konten pengetahuan berisi tipe KSA; tipe sentuhan; cara lapor; aman dari predator KSA di internet.

3. Puppet’s role play dalam 10 sesi diajarkan peneliti bagi anak usia 5 dan 6 tahun di rumah (Boyle & Lutzker, 2005). Konten pengetahuan meliputi penggunaan terminologi alat genital dan diskriminasi sentuhan.

4. The Safe @ Last program dilakukan bagi siswa tingkat 1-3 selama 20 sesi durasi 30 menit (Fuqua, 2008). Konten pengetahuan meliputi sentuhan tidak boleh dilakukan; bahaya orang asing; disclosure; dan di rumah sendirian. 5. Kunjungan pameran museum “my body belongs to me” di El Salvador diberikan

bagi anak usia 6-14 tahun yang didampingi orangtua (Hurtado dkk, 2014). Konten pengetahuan berisi kepemilikan tubuh, tipe sentuhan tidak aman, dan keterampilan lapor.

6. Kids Learning About Safety di Florida diberikan bagi orangtua dan anak usia 3-5 tahun (Kenny, 2010). Konten pengetahuan berisi aturan aman, keterampilan asertif, dan permintaan pertolongan.

(11)

7. Body Safety Training Program diajarkan tim peneliti bagi anak usia 3.9 tahun (Kenny & Wurtele, 2010). Konten berisi kepemilikan tubuh; bagian privasi tubuh; merespon permintaan pelaku; KSA bukanlah kesalahan anak.

8. “Cool and Safe” diberikan bagi anak usia 9 tahun di Jerman dan Perancis dalam bentuk belajar mandiri on-line (Müller dkk, 2014). Konten berisi pengenalan perasaan buruk dan baik, orang dewasa yang berbahaya, pelaku, penggunaan internet.

9. Safe Touches melalui workshop 50 menit mengaplikasikan role play boneka tangan bagi anak usia tujuh tahun di sekolah dasar, New York (Pulido dkk, 2015). Konten berisi bagian tubuh yang privasi, membedakan sentuhan; membedakan rahasia dan kejutan; lapor; tidak menyalahkan diri.

10. The Keeping Me Safe diajarkan enam sesi bagi anak usia 9 tahun di Malaysia (Weatherley dkk, 2012). Konten berisi membangun harga diri dan keterampilan asertif; bagian privasi tubuh; merespon situasi; dan rahasia.

Ditemukan banyak penelitian tentang program prevensi KSA dan penggunaan media boneka. Meski demikian, penelitian ini berbeda dari segi variabel, subyek, dan lokasi penelitian. Program dalam penelitian ini diberikan oleh guru kepada siswa yang berusia 8-9 tahun dalam lingkungan sekolah, dengan alokasi waktu setiap pertemuan adalah 60 menit. Pelaksanaan program didampingi seorang psikolog. Alasannya, agar anak mendapat layanan psikologis jika sewaktu-waktu membutuhkan. Program menggunakan media boneka untuk mempelajari bagian tubuh yang harus dijaga, bentuk KSA, cara melindungi diri dari kekerasan seksual, serta minta bantuan pada orang dewasa yang dapat dipercaya. Dapat dinyatakan bahwa penelitian ini belum pernah dilakukan sebelumnya dan dapat dipertanggung-jawabkan keasliannya.

Referensi

Dokumen terkait

Stasiun II Sungai Pakil dan Sungai Pembalu terletak pada bagian tengah sungai, dimana stasiun II Sungai Pakil hanya didapatkan 66 individu dari 9 jenis, sedangkan Stasiun

Berdasarkan Indikasi masuk paling banyak pada kasus Post optimal debulking dengan sepsis sebanyak 9 orang (19,15%). Distribusi menurut penggunaan ventilator didapatkan

Dalam hal ini maka yang menghubungkan antara pengawasan internal terhadap kinerja pemerintah daerah, Revrisond Baswir (2004:138) menyatakan bahwa Pelaksanaan

Dalam penelitian ini data yang diperoleh akan dikaji dan diketahui struktur tembang dan leksikonnya dalam satu kegiatan pada wacana mideur dan kemudian akan diungkap

PPB pernikahan adat yang menjadi fokus pada penelitian ini berlokasi di Kampung Setu Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Provinsi DKI Jakarta

Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka beberapa permasalahan yang dapat diajukan ialah apa makna simbolis yang terdapat pada tameng Suku Dayak koleksi

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas limpahan rahmat dan ridho-Nya, dan sholawat serta salam kepada

bersandar pada kebijaksanaan nasional yang lazimnya dituangkan keberbagai peraturan perundangan (ditingkat pusat) prinsip yang perlu diperhatikan adalah aturan hukum yang