• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemasaran adalah proses pemberian kepuasan kepada konsumen untuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemasaran adalah proses pemberian kepuasan kepada konsumen untuk"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Uraian Teoritis

2.1.1. Pengertian Pemasaran

Pemasaran adalah proses pemberian kepuasan kepada konsumen untuk mendapatkan laba. (Kotler, 2003:5). Pemasaran adalah suatu konsep yang menyangkut suatu sikap mental, suatu cara berfikir yang membimbing seseorang melakukan sesuatu yang tidak selalu menjual benda tetapi juga menjual gagasan-gagasan, karier, tempat (pariwisata, rumah, lokasi industri), undang-undang, jasa (pengangkutan, penerbangan, pemotongan rambut, kesehatan), hiburan (pertunjukan, pertandingan-pertandingan) dan kegiatan-kegiatan nirlaba seperti yayasan-yayasan sosial dan keagamaan. (Morissan, 2007:2).

2.1.2. Konsep Customer Experience

Customer experience (pengalaman pelanggan) merupakan salah satu model yang mengikuti customer equity. Model ini dikembangkan oleh Bern Schmitt dalam bukunya

Customer Experience Management yang merupakan kelanjutan dari buku sebelumnya yang telah mendunia yaitu experiental Marketing. Pemahaman Konsep Experiential Marketing menurut (Kartajaya, 2002 : 12), Leading Service Mark Plus & Co, menyebutkan saat ini ada lima tingkatan pemasaran :

(2)

2. Good marketing 3. Service marketing 4. Experiential marketing 5. Transformation marketing

Menurut Hermawan, dalam kondisi sekarang produsen dituntut menjalankan tataran pemasaran tingkat keempat yaitu experiential marketing. Sebab jika hanya bersaing di

service tidak cukup untuk saat ini. Manfaat experiential marketing juga berguna untuk mendapatkan poin diferensiasi yang unik dan sulit ditiru oleh kompetitor, karena keunggulan yang dimiliki terletak pada asset tidak berwujud (intangible asset). Di samping itu, experiential marketing bermanfaat untuk mendapatkan loyalitas konsumen jangka panjang, selain kinerja merek secara umum dan ekuitasnya juga meningkat. Dimana ini akan bermuara pada membangun hubungan yang langgeng dengan pelanggan. Jadi pada gilirannya daur hidup nilai produk yang bersangkutan meningkat.

Menurut (Arnast, 2004:11) :

“Customer Experience Management (CEM) is the process of strategically managing a customer’s entire experience with a product or a company”.

Dalam pandangan mengenai experiential marketing mengatakan :

To define the purpose of marketing in terms of need satisfaction; problem solution or benefit delivery is too narrow. The ultimate goal of marketing is providing customer with valuable experiences”.

Tujuan dari pemasaran dalam kaitannya dengan kebutuhan akan kepuasan, bukanlah hanya sekedar memberikan solusi atas masalah konsumen atau memberikan

(3)

manfaat yang dibutuhkan. Tujuan yang paling utama adalah memberikan valuable experiences atau “pengalaman yang berharga” kepada konsumen.

Customer experience secara sederhana adalah suatu proses, strategi dan implementasi dari suatu perusahaan untuk mengelola pelanggan terhadap pengalamannya dengan sebuah produk atau layanan. Pada dasarnya, customer experience adalah penciptaan kepuasaan pelanggan melalui pengalaman. Jadi, titik bertumpu kepada produk akhir dari suatu produk atau pelayanan. Oleh karena itu, customer experience adalah soal memahami lifestyle konsumen dan melebarkan pandangan pemasar dari produk ke proses konsumsi.(Irawan, Marketing edisi Januari 2006).

Customer experience merupakan upaya menjawab kebutuhan dengan melihat bisnis dari perspektif pelanggan, bukan dari perspektif perusahaan. Pemahaman dan pengelolaan pengalaman pelanggan pada setiap titik kontak (touch points) merupakan bagian penting dalam memelihara dan meningkatkan kepuasaan pelanggan sehingga terjadi loyalitas terhadap merek tersebut. Customer experience menggambarkan upaya untuk mendefenisikan pengalaman pada setiap titik kontak dengan konsumen dari berbagai jenis tipe interaksi, bahwa titik persentuhan pelanggan atau konsumen dengan merek adalah bagian dari strategi implementasi yang penting bagi perusahaan yang ingin menciptakan loyalitas merek.

2.1.3. Merek (Brand)

Berikut ini adalah definisi-definisi merek (brand) menurut beberapa tokoh, antara lain :

(4)

brand sebagai berikut:

a name, term, sign, symbol, or design, or a combination of them; intended to identity the goods and services of one seller or group of sellers and to differentiate them from those of competitors”.

b. Definisi merek menurut (Aaker, 1991:9) :

“Merek adalah nama dan atau simbol yang bersifat membedakan (seperti, sebuah cap, logo, atau kemasan) dengan maksud mengidentifikasi barang atau jasa dari seorang penjual atau sebuah kelompok penjual tertentu. Dengan demikian suatu merek membedakannya dari barang dan jasa yang dihasilkan kompetitor”.

c. Definisi merek menurut (Rangkuti, 2002 : 36) :

“Merek adalah nama, istilah, simbol atau desain khusus atau beberapa kombinasi unsur-unsur ini yang dirancang untuk mengidentifikasikan barang atau jasa yang ditawarkan penjual”.

Merek (brand) mengandung janji perusahaan untuk secara konsisten memberikan ciri, manfaat, dan jasa tertentu kepada pembeli. Merek lebih dari sekedar jaminan kualitas karena di dalamnya terdapat enam tingkat pengertian merek, yaitu (Rangkuti, 2002 : 36) : 1. Atribut yaitu, merek mengingatkan pada atribut-atribut tertentu

2. Manfaat, yaitu suatu merek lebih daripada serangkaian atribut-atribut Pelanggan tidak membeli atribut, tetapi mereka mereka membeli manfaat (benefit) fungsional, dan atau emosional.

3. Nilai, yaitu merek juga menyatakan sesuatu tentang nilai produsen. 4. Budaya, yaitu merek juga mewakili budaya tertentu.

(5)

6. Pemakai, yaitu merek menunjukkan jenis konsumen yang membeli atau menggunakan produk tersebut.

2.1.4. Ekuitas Merek (Brand Equity)

Menurut (Aaker, 1991 : 22), brand equity adalah :

A set of brand assets and liabilities linked to abrand, its name and symbol, that add to or subtract from the value provided by a product or service to a firm and or to that firm’s customers”.

Ekuitas merek adalah seperangkat aset dan liabilitas yang terkait dengan suatu merek, yang mampu memberikan nilai tambah baik pada perusahaan maupun pada konsumen. Aset dan liabilitas yang menjadi dasar dari brand equity akan berbeda-beda tergantung dari konteksnya. Elemen brand equity dapat digolongkan kedalam lima kategori, yaitu :

1. loyalitas merek (Brand Loyalty)

Brand loyalty seorang konsumen sering kali menjadi inti dari brand equity. Jika konsumen mengabaikan (indifferent) terhadap suatu merek dan membeli produk tersebut karena fitur, harga, kenyamanan, dan tidak terlalu memperhatikan merek, maka ini berarti ekuitas merek produk tersebut adalah kecil. Brand loyalty secara kualitatif berbeda dari dimensi brand equity lainnya, karena lebih terikat dengan pengalaman penggunaan (user experience).Brand loyalty hanya dapat terbentuk setelah didahului oleh pembelian dan pengalaman penggunaan.

2. Name Awareness

(6)

potensial untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu merek ialah anggota dari kategori produk tertentu. Di dalamnya terlihat hubungan antara kelas produk dan merek. Pengenalan merek (brand recognition) adalah tingkat terendah dari brand awareness.

3. Perceived Quality

Perceived quality dapat didefinisikan sebagai persepsi pelanggan terhadap kualitas keseluruhan atau superioritas suatu produk, relatif terhadap alternatif produk tersebut.

Perceived quality dipengaruhi oleh kualitas produk dan kualitas pelayanan yang diberikan. Kualitas produk dapat dilihat dari kinerja produk, ciri khas produk, dapat dipercaya, daya tahan produk, kemampuan dalam memberikan layanan, dan apakah produk tampak berkualitas. Service quality dapat dilihat dari pelayanan yang diberikan kepada konsumen dalam bentuk nyata, yaitu penampilan dan kemampuan sarana serta pra sarana fisik harus dapat diandalkan, juga dapat dilihat dari pelayanan yang dapat pelanggan dan empati serta kemampuan untuk memberikan jasa yang diandalkan, respon terhadap dijanjikan secara akurat dan terpercaya.

4. Brand Associations

Brandassociations adalah apapun di benak konsumen yang mengingatkannya dengan suatu merek. Sekumpulan brand associations akan membentuk brand image.

5. Other Proprietary Brand Assets-Patents, Trademarks, Channel, Relationships, etc

Aset suatu merek akan sangat beharga jika aset tersebut dapat mencegah berpindahnya konsumen ke produk kompetitor lain.

Brand loyalty merupakan inti dari brand equity, suatu produk bisa saja mempunyai

(7)

kuat, tetapi belum tentu memiliki brand loyalty. Sebaliknya, produk yang mempunyai

brand loyalty, dapat di pastikan memiliki name awareness yang cukup tinggi, perceived quality yang baik, brand associations yang cukup dikenal.

2.1.5. Loyalitas Merek (Brand Loyalty)

Menurut (Mowen, 1995:435) brand loyalty adalah suatu derajat dimana konsumen memiliki sikap yang positif terhadap suatu merek, memiliki komitmen dengan merek tersebut, dan secara intens melakukan pembelian ulang terhadap merek tersebut di masa yang akan datang.

Loyalitas merek menurut Aaker (1991:57) merupakan suatu ukuran keterkaitan seorang konsumen atas sebuah produk. Loyalitas merek mencerminkan besarnya kemungkinan seorang konsumen akan berpindah ke merek lain, terutama ketika merek tersebut berubah dalam hal fitur maupun harga. Dengan meningkatnya loyalitas merek, maka kemungkinan konsumen berpindah ke produk lain akan semakin berkurang. David Aaker mendefinisikan beberapa tingkatan dari loyalitas, seperti gambar berikut ini.

Committed Buyer Likes the brand- Consider it a friend

Satisfied Buyer with Switching Costs Satisfied/Habitual Buyer

No Reason to Change Switchers/Price Sensitive Indifferrent-No Brand Loyalty

(8)

Sumber : Aaker (1991)

Setiap tingkatan mewakili tantangan pemasaran yang berbeda dan juga beragam aset yang berbeda untuk dikelola dan dimanfaatkan, antara lain :

1. Tingkat loyalitas terendah – adalah non loyal buyer yang bersikap sama sekali tidak peduli (indifferent) terhadap merek. Keputusan pembelian sangat dipengaruhi oleh faktor harga, tanpa mempertimbangkan brand name. Apapun dengan harga lebih baik atau lebih nyaman akan lebih nyaman akan lebih disukai. Konsumen semacam ini disebut sebagai switcher atau price buyer.

2. Tingkat kedua – ditempati oleh para pembeli atau konsumen yang puas dengan produk atau setidaknya tidak merasa tidak puas. Segmen ini disebut habitual buyer, karena mereka menggunakan suatu produk berdasarkan kebiasaan dan tidak memiliki alasan bagi mereka untuk secara aktif mencari alternatif produk lain. Segmen ini cukup rentan terhadap pemasaran dari kompetitor yang dapat memberikan sebuah keuntungan nyata untuk berpindah ke produknya. Namun mereka cukup sulit untuk diraih karena tidak ada alasan bagi mereka untuk secara aktif mencari alternatif produk lain.

3. Tingkat ketiga – dihuni oleh konsumen yang puas akan kinerja suatu produk dan sebagai tambahan memiliki switching cost yang dapat berupa biaya financial, waktu, atau resiko kinerja yang berkaitan dengan perpindahan merek. Segmen ini sangat rentan terhadap perpindahan merek kerena kompetitor dapat menawarkan insentif untuk berpindah berupa kompensasi atas switching cost. Kelompok ini disebut

(9)

4. Tingkat keempat – ditempati oleh konsumen yang benar-benar menyukai merek tersebut. Preferensi mereka dapat berdasarkan pada asosiasi akan hal-hal seperti simbol, pengalaman penggunaan (user experience), atau perceived quality yang tinggi. Kelompok ini diberi istilah “friends of the brand”, karena memiliki ikatan atau perasaan / emosi dengan merek tersebut.

5. Tingkat teratas – diisi oleh committed buyers. Mereka memiliki rasa bangga karena menjadi pengguna suatu merek tertentu. Mereka mengganggap merek ini penting secara fungsional, maupun sebagai ekspresi dari siapa diri mereka. Mereka juga merasa yakin akan superioritas dari merek itu, sehingga merekomendasikannya pada orang lain. Nilai terpenting dari committed buyers adalah pengaruhnya pada orang lain dan juga pada produk itu sendiri.

Sementara itu, menurut Griffin (2005 : 22), mengemukakan bahwa ada empat jenis loyalitas yang berbeda muncul bila keterikatan rendah dan tinggi diklasifikasi-silang dengan pola pembelian ulang yang rendah dan tinggi (lihat Tabel 2.1).

Tabel 2.1. Empat Jenis Loyalitas Pembelian Berulang

Tinggi Rendah

Tinggi Loyalitas premium Loyalitas tersembunyi Rendah Loyalitas yang lemah Tanpa loyalitas

Sumber : Griffin (2005)

a. Tanpa loyalitas; jenis ini menggambarkan seorang konsumen yang tingkat ketertarikan dan pembelian sebuah barang rendah.

Keterikatan Relatif

(10)

b. Loyalitas lemah; jenis ini menggambarkan keadaan konsumen yang memiliki keterikatan yang rendah tetapi tingkat pembelian berulang yang tinggi. Konsumen ini membeli karena kebiasaan, sehingga faktor nonsikap dan faktor situasi merupakan alasan utama membeli.

c. Loyalitas tersembunyi; adalah loyalitas yang memiliki ketertarikan sebuah produk yang tinggi, namun konsumen tersebut rendah dalam melakukan pembelian berulang. Dengan kata lain, pengaruh situasi dan bukan pengaruh sikap yang menentukan pembelian berulang.

d. Loyalitas premium; jenis ini adalah tingkat tertinggi dari sebuah loyalitas karena konsumen memiliki tingkat yang tinggi baik dalam melakukan pembelian berulang atau ketertarikan terhadap sebuah produk. Ini merupakan jenis loyalitas yang lebih disukai untuk semua pelanggan di setiap perusahaan. Pada tingkat preferensi paling tinggi tersebut, orang bangga karena menemukan dan menggunakan produk tertentu serta senang membagi pengetahuan mereka dengan rekan dan keluarga.

Brand loyalty konsumen dapat diamati melalui ukuran-ukuran sebagai berikut:

1. Pengukuran perilaku (behavior Measures)

Sebuah cara langsung untuk mengukur loyalitas, terutama perilkau kebiasaan

(habitual behavior) adalah dengan cara mempertimbangkan pola pembelian nyata

(11)

pembelian kembali atau yang berulang dilakukan oleh konsumen terhadap suatu produk.

2. Komitmen (commitment)

merek-merek dengan ekuitas yang tinggi akan memiliki banyak committed buyers. Konsumen ini akan melakukan banyak interaksi dan komunikasi yang berkaitan dengan produk. Di antaranya adalah apakah konsumen senang membicarakan produk tersebut, merekomendasikannya, dan dapat memberikan alasan kepada orang lain untuk membeli produk itu (word of moth).

3. First in mind

Sejalan dengan choice reduction behavior, Caruana (2004:139) mengemukakan bahwa konsumen yang sangat loyal idealnya hanya akan memiliki satu pilihan, yang juga merupakan pilihan pertama dalam benaknya. Dengan begitu, semakin tinggi loyalitas maka akan menyebabkan konsumen untuk mempertimbangkan pilihannya sebagai first in mind.

4. Pengukuran kepuasaan (measuring satisfactions)

Untuk menganalisa tiap tingkatan dari brand loyalty, perlu dilakukan pengukuran terhadap kepuasan dan ketidakpuasan konsumen, dimana yang menjadi ukuran dari kepuasan harus bersifat mewakili (representative) dan sensitive atas suatu produk.

5. Preference

Preferensi konsumen adalah ukuran umum untuk mengukur dimensi sikap dari loyalitas, karena menurut Dick & Basu (1994:99), loyalitas yang sesungguhnya hanya dapat diraih ketika konsumen mengekspresikan preferensi positif yang kuat

(12)

dan juga pembelian berulang yang tinggi. Loyalitas dapat dimanifestasikan dengan mengekspresikan preferansi diatas pilihan lain.

6. Price tolerance

tidak diragukan lagi, konsumen yang loyal akan bersedia untuk membayar harga premium. Hal trersebut disebabkan adanya resiko yang dirasakan sangat tinggi, sehingga konsumen rela membayar harga yang lebih untuk menghindari resiko adanya pergantian merek. Secara umum, konsumen yang loyal menjadi tolerant terhadap perubahan harga karena loyalitas mencegah konsumen untuk membanding-bandingkan harga dengan pesaing alternatif

2.2. Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai analisis loyalitas pelanggan dengan metode experiential marketing telah dilakukan oleh Sembiring (2009), melakukan penelitian yang berjudul analisis pengaruh experiential marketing terhadap loyalitas pelanggan pada Waroeng Spesial Sambal Cab. Sompok Semarang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis faktor – faktor yang menjadi pertimbangan konsumen dalam memilih Waroeng Spesial Sambal Cab. Sompok Semarang dan mengetahui dan menganalisis strategi experiential marketing pada Waroeng Spesial Sambal Cab. Sompok Semarang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Variabel Sense (panca indera), Feel

(perasaan), Think (cara berpikir), Act (kebiasaan), dan Relate (pertalian) mempengaruhi secara positif dan signifikan terhadap loyalitas pelanggan, hal ini dapat dilihat pada nilai koefesien regresi yang positif dan angka signifikansi yang lebih besar dari angka signifikasi tabel, kemudian nilai Adjusted R Square sebesar 0,617, artinya proporsi

(13)

keragaman total variabel loyalitas pelanggan (Y) yang dapat dijelaskan oleh Sense (X1),

Feel (X2), Think (X3), Act (X4) dan Relate (X5) adalah sebesar 61,7% sedangkan 38,3% dipengaruhi variabel lain diluar variabel penelitian.

Penelitian mengenai analsis customer experience Timezone Thamrin Plaza Medan dilakukan oleh Gea (2007). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh customer experience terhadap kepuasan konsumen pada Timezone Thamrin Plaza Medan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Variabel Sense, Feel, Think, Act, dan Relate

tidak mempengaruhi secara positif dan signifikan terhadap kepuasan pelanggan, kemudian nilai Adjusted R Square sebesar 0,109, artinya proporsi keragaman total variabel loyalitas pelanggan (Y) yang dapat dijelaskan oleh Sense (X1), Feel (X2), Think

(X3), Act (X4) dan Relate (X5) adalah sebesar 10,9% sedangkan 89,1% dipengaruhi variabel lain diluar variabel penelitian.

2.3. Kerangka Konseptual

Untuk menjelaskan Variabel-variabel yang sudah diidentifikasi, maka diperlukan definisi operasional dari masing-masing variabel sebagai upaya pemahaman dalam penelitian.

Kerangka konseptual adalah pondasi utama dari proyek penelitian, hal ini merupakan jaringan hubungan antar variabel yang secara logis diterangkan, dikembangkan, dan dielaborasi dari perumusan masalah yang telah diidentifikasi melalui proses wawancara, observasi dan survey literature (Kuncoro, 2003:4).

(14)

Experiential marketing adalah suatu konsep pemasaran yang bertujuan untuk membentuk pelanggan – pelanggan yang loyal dengan menyentuh emosi mereka dan memberikan suatu feeling yang positif terhadap produk dan service. Strategic Experiential Modules (SEMs) merupakan modul yang dapat digunakan untuk menciptakan berbagai jenis pengalaman bagi konsumen. Strategic Experiential Modules (SEMs) meliputi : Sense, Feel, Think, Act, Relate (Schimitt, 2004 : 89).

Loyalitas merek (brand Loyalty) menurut aaker (1991:57) merupakan suatu ukuran keterikatan seorang konsumen atas sebuah produk. Loyalitas merek mencerminkan besarnya kemungkinan seorang konsumen akan berpindah ke merek lain, terutama ketika merek tersebut berubah dalam hal fitur maupun harga.

Pada kerangka penelitian ini dikemukakan variabel yang akan diteliti, yaitu Sense (X1), Feel (X2), Think (X3), Act (X4), Relate (X5) dan Loyalitas Merek (Y).

Berdasarkan teori tersebut, dapatlah dibuat skema kerangka konseptual penelitian, yaitu:

Gambar 2.2 : Kerangka Konseptual Sumber: Schmitt (1999) diolah

Sense (X1)

Feel (X2)

Think (X3)

Act (X4)

Relate (X5)

(15)

2.4. Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, oleh karena itu rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data Sugiyono (2004 : 51).

Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka konseptual yang telah diuraikan sebelumnya, maka hipotesis penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut : ”Customer experience yang terdiri dari sense, feel, think, act, dan relate berpengaruh terhadap loyalitas merek pada konsumen BreadTalk Cambridge City Square Medan.

Gambar

Tabel 2.1. Empat Jenis Loyalitas  Pembelian Berulang
Gambar 2.2 : Kerangka Konseptual  Sumber: Schmitt (1999) diolah

Referensi

Dokumen terkait

Lebih lanjut, Donosepoetro (dalam Trianto, 2013:137) menyatakan: IPA dibangun atas dasar produk ilmiah, proses ilmiah, dan sikap ilmiah. IPA dipandang pula sebagai proses,

Pengendalian dan evaluasi perencanaan pembangunan sanitasi dilakukan oleh Tim Anggaran, Kepala SKPD kegiatan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya serta

Sehingga dapat dirumuskan dari pernyataan di atas bahwa layanan konseling kelompok berhubungan dengan kedisiplinan.Berdasarkan uraian tersebut, layanan konseling kelompok

sistim Pengaturan/pengendalian lalu lintas pada persimpangan mempunyai cakupan luas antara lain masalah perhitungan besarnya kapasitas persimpangan yang ada, volume lalu lintas,

·         Material yang merupakan kebutuhan utama akan disediakan oleh Teaching Industry, sedangkan untuk material kebutuhan tambahan mahasiswa akan membelinya sendiri,

Hasil penjajakan dengan metode wawancara pada 10 ibu yang tidak menyusui bayinya secara eksklusif menunjukkan bahwa sebanyak 4 orang mengatakan bahwa bayi akan

Dengan demikian variabel kualitas produk dan harga terbukti mempunyai pengaruh paling dominan terhadap loyalitas pelanggan kartu prabayar Telkomsel bila dibandingkan

Kajian ini telah dijalankan seeara kualitatif denggan menggunakan duakaedah iaitu pengamatan (obesravation) dan analisi isi (content analaysis). Dapatan kaj ian telah menyatakan