• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang melibatkan berbagai perubahan dalam banyak aspek kehidupan manusia yang bertujuan dan memberi harapan kepada perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih merata agar berlangsung secara berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan yang diinginkan, upaya-upaya pembangunan harus diarahkan kepada efisiensi (efficiency), kemerataan (equity) dan keberlanjutan (sustainability) (Anwar, 2005)

Pembangunan di Indonesia telah dilaksanakan sejak awal kemerdekaan, hingga sekarang. Berbagai pencapaian pembangunan telah dapat diraih, demikian juga berbagai permasalahan muncul selama proses pembangunan berlangsung. Diantara masalah-masalah yang ada selama pelaksanaan pembangunan antara lain masih tingginya jumlah penduduk miskin. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2011 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 11,05 juta di perkotaan dan 18,97 juta di perdesaan.

Salah satu potensi potensial di perdesaan banyak negara berkembang umumnya dan Indonesia khususnya adalah usaha perikanan, baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Hal ini terlihat dari potensi perikanan yang besar dan terus berkembang. Pada tingkat dunia pada tahun 1980 produksi baru mencapai 71,9 juta ton, maka tahun 2009 produksi perikanan dunia mencapai 144,6 juta ton ikan, krustasea dan moluska. Indonesia sendiri merupakan salah satu dari negara yang menjadi produsen utama akuakultur dunia. Sampai tahun 2009, Indonesia menempati urutan ke empat terbesar sebagai produsen perikanan akuakultur di dunia.

Pengembangan akuakultur ini sangat strategis karena pengembangan produksi dari perikanan tangkap sudah mendekati titik jenuhnya. Menurut FAO (2011) produksi perikanan tangkap sejak tahun 2001 tidak mengalami peningkatan, stagnan sekitar 90 juta ton tiap tahunnya. Sebaliknya dengan perikanan yang berasal dari akuakultur. Menurut FAO (2011) produksi akuakultur terus memperlihatkan peningkatan yang kuat, peningkatan tiap tahunnya rata-rata mencapai 1,6 persen. Produksi akuakultur meningkat dari 32,4 ton pada tahun 2000 sampai 55,7 juta ton pada tahun 2009. Besarnya kondisi eksisting dan peluang pengembangan ke depan menjadikan akuakultur ini sebagai salah satu sektor yang dapat diharapkan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Perumusan Masalah

Pembangunan berbasis perdesaan merupakan alternatif untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat pembangunan yang cenderung

urban biased seperti disebutkan di atas. Oleh karenanya perubahan

paradigma terhadap pembangunan nasional juga harus diikuti dengan perubahan orientasi terhadap pembangunan ekonomi dan wilayah perdesaan.

(2)

Perubahan paradigma ini sebenarnya bukan monopoli negara berkembang semata. Bahkan konsep teori pembangunan ekonomi pun kini tidak lagi dimonopoli oleh konsep pembangunan yang dianut berdasar teori pertumbuhan (Growth Theory) semata (Fauzi, 2010a).

Salah satu sektor yang dapat diandalkan dalam mendorong perekonomian wilayah, baik berupa penyediaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan, yang bermuara pada pengentasan kemiskinan adalah perikanan budidaya sebagaimana uraian di atas. Secara nasional Indonesia sendiri terus menerus mengalami peningkatan produksi perikanan. Gambar 1 berikut menunjukkan tren produksi perikanan di Indonesia.

2005 2006 2007 2008 2009 Penangkapan 4.705.869 4.806.112 5.044.737 5.196.328 5.285.020 Budidaya 2.163.674 2.682.596 3.193.565 3.855.200 4.780.100 0 1.000.000 2.000.000 3.000.000 4.000.000 5.000.000 6.000.000 (t o n )

Volume produksi perikanan Indonesia

Gambar 1 Volume produksi perikanan tahun 2005-2009 (KKP, 2011) Sebagaimana fenomena perikanan dunia, maka di Indonesia juga perikanan tangkap cenderung mengalami stagnasi sementara perikanan budidaya/akuakultur terus mengalami kemajuan.

Pentingnya pengembangan perikanan ini juga terlihat dari makin banyaknya orang yang menggantungkan mata pencahariannya pada sektor ini. Bila pada tahun 2005 tercatat 5,4 juta orang jumlah tenaga kerja pada bidang perikanan, maka pada tahun 2009 telah meningkat menjadi 6,43 juta jiwa. Sisi lain pentingnya pengembangan perikanan ini adalah karena hasil produksi perikanan ini juga menjadi komoditas ekspor. Pada saat yang sama harus diwaspadai adanya impor produk perikanan juga terus mengalami peningkatan.

Jawa Barat termasuk salah satu provinsi yang cukup maju di Indonesia namun masih memiliki masalah kemiskinan. Angka kemiskinan di daerah perdesaan Jawa Barat masih menunjukkan angka yang cukup tinggi dan lebih tinggi dibanding dengan daerah perkotaan. Angka kemiskinan secara umum di Jawa Barat mencapai angka 4.782.720 orang, sedangkan untuk daerah perdesaan sendiri mencapai 2.432.190 orang atau mencapai 13,88% dari seluruh penduduk Jawa Barat (BPS 2011).

Salah satu sektor yang dapat diandalkan Jawa Barat dalam mendorong pembangunan terutama daerah perdesaan adalah sektor perikanan. Hal ini karena Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki kondisi eksisting dan

(3)

potensi perikanan yang besar dibandingkan provinsi lain di Pulau Jawa. Gambaran pangsa perikanan Jawa Barat terhadap perikanan Pulau Jawa dan Indonesia dapat dilihat dalam Gambar 2.

Pangsa Perikanan Jawa Barat Tahun 2009

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Produksi BD Pembudidaya Luas Kolam Luas Saw ah Luas KJA Luas BD Laut Variabel Pe rs e n ( % )

% Jabar Thdp Indonesia % Jabar Thdp Jawa

Gambar 2 Pangsa perikanan Jawa Barat tahun 2009

Di Jawa Barat sendiri budidaya perikanan air tawar telah dikenal sejak lama bahkan sebelum kemerdekaan. Areal budidaya perikanan air tawar yang eksisiting mencapai 28.176 hektar dari lahan potensial seluas 86.700 hektar. Lahan potensial yang sudah dikembangkan baru mencapai 32,5%, sehingga masih sekitar 67,5% lahan potensial yang masih bisa dikembangkan. Besarnya potensi budidaya perikanan air tawar yang umumnya berada di perdesaan ini merupakan peluang untuk mengembangkan wilayah dengan mengembangkan budidaya perikanan.

Sumbangan perikanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terus mengalami kenaikan. Demikian juga tenaga kerja yang dapat diserap dalam sektor perikanan ini menunjukkan bahwa masih banyak orang yang hidupnya tergantung pada usaha budidaya perikanan.

Meskipun angka sumbangan perikanan terhadap PDB tidak terlalu besar, namun sektor perikanan ini merupakan hal yang penting. Menurut Fauzi (2010b) kelemahan utama penggunaan PDB sebagai alat indikator adalah indikator ini mengabaikan semua keterkaitan antar industri, khususnya industri perikanan yang banyak terkait dengan komponen lainnya. PDB tidak membedakan apakah industri tersebut bersifat industri primer seperti perikanan atau sekunder seperti jasa. Padahal ekspansi dan kontraksi yang terjadi pada industri primer tersebut akan sangat berdampak pada industri turunannya.

Menurut Fauzi (2010b), alasan lain yang patut menjadi perhatian adalah dalam konteks perikanan di negara berkembang seperti di Indonesia, industri perikanan banyak dilakukan oleh perikanan skala kecil yang tersebar di berbagai wilayah pesisir. Peran perikanan skala kecil ini meski sangat vital

(4)

untuk ketahanan pangan rumah tangga maupun ekonomi rumah tangga wilayah pesisir, kontribusinya dalam perikanan nasional sering tidak tercatat karena berbagai alasan teknis pengukuran indikator. Oleh karenanya sebagian besar kontribusi perikanan di negara berkembang sering menjadi tidak terukur dan tidak tercatat karena berbagai kendala di atas.

Pengembangan sektor perikanan ini masih terbuka lebar, karena disamping potensi lahan yang masih luas juga didorong oleh permintaan produk perikanan untuk konsumsi yang besar. Besarnya potensi permintaan produksi perikanan dapat dilihat dari angka konsumsi ikan per kapita Indonesia yang masih rendah sehingga masih terbuka peningkatannya.

Pengembangan akuakultur ini dapat menjadi salah satu upaya dalam mengentaskan kemiskinan. Tacon (2001) menjelaskan bahwa pengembangan akuakultur penting karena akuakultur menyediakan protein hewani kualitas tinggi dan berbagai nutrien esensial lainnya dengan harga terjangkau. Akuakultur juga penting karena menyediakan kesempatan kerja, pendapatan tunai dan merupakan komoditas ekspor berharga. Edward (1999) menguatkan bahwa akuakultur di perdesaan berkontribusi terhadap pengentasan kemiskinan secara langsung melalui budidaya perikanan skala kecil untuk konsumsi dan pendapatan. Kontribusi secara tidak langsung melalui penyediaan lapangan kerja bagi orang-orang miskin dalam usaha budidaya komersial.

Pengembangan akuakultur juga berperan dalam memperluas lapangan kerja, dan mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah. World Bank (2007) menjelaskan bahwa di China lebih dari tiga juta penduduknya mendapatkan pekerjaan dalam bidang akuakultur sejak tahun 1974. Bene (2006) menjelaskan bahwa perikanan air tawar dan ekspor komoditas terkait serta perdagangan regional, dapat memainkan peran penting dalam perekonomian wilayah dan negara. Sektor ini memberikan kontribusi 7% terhadap PDB di kamboja, dan 4% di Bangladesh. Di Afrika, perikanan air tawar dapat menyediakan lapangan kerja dan pendapatan bagi beberapa juta orang. Worl Bank (2007) dalam studinya mendapatkan bahwa pembudidaya ikan skala kecil di Central Luzon, rata-rata pendapatannya 48-49% lebih tinggi dibanding petani padi. Di Vietnam, para pekerja dalam pembudidayaan

catfish mendapatkan pendapatan yang stabil, dan mampu mengirim sebagian

pendapatannya pada keluarga. Di Bangladesh, budidaya mina padi telah meningkatkan pendapatan sampai 20% dan meningkatkan produksi padi sampai 8 % dengan mereduksi pestisida dan penggunaan pupuk.

Oleh karena itu pengembangan perikanan baik skala besar maupun skala kecil penting terus dilakukan. Pengembangan budidaya perikanan ini secara umum menghadapi kendala-kendala. Diantaranya kendala karena sarana prasarana seperti saluran air irigasi yang terbatas, dan infrastruktur di wilayah budidaya perikanan yang masih terbatas. Hal ini karena umumnya wilayah budidaya perikanan berada di perdesaan. Kendala berikutnya adalah degradasi lingkungan perairan. Kendala lain adalah lemahnya saling keterkaitan diantara komponen-komponen yang menunjang industri perikanan. Misalnya antara komponen lembaga litbang perikanan, pembenihan, pembuatan pakan, pembesaran dan pengolahan yang seringkali berjalan sendiri-sendiri. Sumberdaya manusia yang memiliki kapasitas

(5)

terbatas dalam penyerapan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dalam budidaya perikanan. Permasalahan lain yang cukup dominan adalah adanya degradasi kualitas lingkungan perairan. Degradasi lingkungan perairan menjadikan budidaya ikan-ikan yang lebih tahan seperti dari kelomopk

cichlidae dan pangasiidae lebih berkembang di tengah masyarakat.

Muara dari berbagai permasalahan tersebut adalah rendahnya produktivitas budidaya perikanan di Indonesia. Produktivitas ini dapat diukur secara langsung berupa hasil produksi per luas lahan budidaya, rasio antara biaya dengan keuntungan (BC ratio), rate of return terhadap biaya, serta biaya per kg produk yang dihasilkan. Dari berbagai indikator tersebut, budidaya perikanan air tawar di Indonesia memiliki nilai produktivitas yang lebih rendah dibanding negara-negara lainnya di Asia bahkan Asia Tenggara. Peningkatan produktivitas ini penting dilakukan. Sebagaimana menurut Hafsah (2006) salah satu tujuan praktis dari upaya pembangunan perdesaan adalah meningkatkan produktivitas ekonomi desa dan meningkatkan kesempatan kerja dan pedistribusian kesejahteraan yang merata. Sejalan dengan Hafsah, Sadjad (2006) berpendapat bahwa seharusnya desa dibangun sebagai industri pertanian. Perubahan sikap demikian akan membawa petani/pembudidaya kita memiliki orientasi yang berbasis kontinuitas produk, kualitas produk, volume produk, standarisasi produk, efisiensi usaha, rasionalisasi proses, dan akhirnya keprofesionalannya berproduksi.

Secara konseptual, pengukuran produktivitas suatu usaha ekonomi dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu produktivitas faktor produksi parsial dan produktivitas total faktor produksi (Total Factor Productivity). Produktivitas faktor produksi parsial adalah produksi rata-rata dari suatu faktor produksi yang diukur sebagai hasil bagi total produksi dan total penggunaan suatu faktor produksi. Apabila faktor produksi lebih dari satu, maka produktivitas parsial suatu faktor produksi akan dipengaruhi oleh tingkat penggunaan faktor produksi lainnya (Maulana, 2004).

Penelitian produktivitas secara parsial telah banyak dilakukan. Penelitian dengan pendekatan penghitungan Total Factor Productivity ini masih belum banyak digunakan, terutama dalam bidang perikanan air tawar. Oleh karena itu penting sekali untuk meneliti produktivitas dalam budidaya perikanan ini. Hal ini karena dengan penelitian tersebut dapat membandingkan produktivitas antar berbagai wilayah budidaya atau berbagai jenis komoditas. Selain itu penelitian Total Factor Productivity dalam perikanan budidaya ini juga dapat menjadi data pembanding yang dapat digunakan peneliti-peneliti berikutnya di kemudian hari.

Selama ini pemerintah telah melakukan berbagai program dalam upaya mengembangkan perikanan budidaya ini. Diantaranya tahun 2002 dilaksanakan program intensifikasi pembudidayaan ikan (Inbudkan). Berikutnya diluncurkan program peningkatan produksi perikanan untuk ekspor (Propekan) pada tahun 2005. Program terbaru yang dilaksanakan mulai tahun 2010 adalah program pengembangan wilayah berbasis perikanan Minapolitan. Pengukuran yang berkesinambungan terhadap dampak berbagai program pengembangan perikanan budidaya ini penting dilakukan.

Melihat data produksi selama ini nampak bahwa berbagai program tersebut belum mencapai hasil optimal. Khususnya untuk Jawa Barat,

(6)

Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan proyeksi produksi perikanan budidaya di Jawa Barat sebesar 653.878 ton pada tahun 2010. Produksi perikanan budidaya di Jawa barat pada tahun 2010 baru mencapai 614.412,16 ton. Hal ini sejalan dengan tren pangsa perikanan Jawa Barat dalam lima tahun terakhir mengalami stagnasi, bahkan dalam beberapa parameter mengalami penurunan. Tren pangsa perikanan budidaya air tawar Jawa Barat terhadap Indonesia dapat dilihat dalam Gambar 3.

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun (% ) Jumlah Pembudidaya Produksi Total Produksi Ikan Mas Produksi Ikan Nila Produksi Ikan Lele

Produksi Ikan Gurame Produksi Ikan Patin

Gambar 3 Pangsa perikanan budidaya air tawar Jawa Barat terhadap Indonesia Mengingat besarnya pangsa perikanan air tawar Jawa Barat terhadap perikanan nasional, maka tren penurunan ini harus diantisipasi untuk menghindari gangguan terhadap produksi ikan nasional.

Peningkatan produksi dapat dilakukan dengan jalan ekstensifikasi dan intensifikasi. Mengingat keterbatasan sumberdaya, terutama lahan dan air, maka upaya ekstensifikasi akan sulit dilakukan. Pilihan yang tepat dalam meningkatkan produksi perikanan di Jawa Barat adalah intensifikasi. Peningkatan intensifikasi berarti harus meningkatkan produktivitas perikanan.

Dari uraian di atas dapatlah diidentifikasi pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimanakah dinamika produktivitas perikanan budidaya air tawar di Jawa Barat.

b. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi produktivitas budidaya perikanan air tawar tersebut.

c. Bagaimanakah implikasi dinamika produktivitas terhadap perekonomian wilayah Jawa Barat.

(7)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

a. Mendapat gambaran mengenai dinamika produktivitas perikanan budidaya air tawar di Jawa Barat.

b. Mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi produktivitas budidaya perikanan air tawar tersebut.

c. Mengetahui implikasi dinamika produktivitas terhadap perekonomian wilayah Jawa Barat.

Hasil penelitian ini secara keseluruhan diharapkan dapat menjadi salah satu masukan dalam menyusun kebijakan pengambangan perikanan yang mendorong produktivitas dan perekonomian wilayah.

Ruang Lingkup Penelitian

Ada berbagai jenis perikanan budidaya, baik perikanan budidaya yang berbasis air tawar, air payau dan air laut. Dalam penelitian ini, ruang lingkupnya dibatasi pada perikanan budidaya yang berbasis air tawar. Pembatasan pada perikanan air tawar karena di Jawa Barat perikanan budidaya air tawar adalah perikanan budidaya yang dominan. Bila dilihat dari aspek produksi, maka budidaya perikanan air tawar berkontribusi sebesar 66,3 persen. Jauh dibandingkan dibanding kontribusi budidaya payau yang sebesar 27,8 dan budidaya laut yang sebesar 1,3 persen.

Dalam akuakultur air tawar dikenal beberapa jenis sistem budidaya, ada berupa kolam, sawah, karamba, kolam air deras, dan jaring apung. Dalam penelitian ini difokuskan pada sistem budidaya kolam, sawah dan keramba jaring apung (KJA) di waduk. Hal ini karena budidaya ikan air tawar di kolam dan sawah merupakan jenis budidaya yang dominan dilakukan di Jawa Barat. Data menunjukkan bahwa persentase jumlah kolam dan sawah sebagai tempat budidaya mencapai 77,9 % dari total tempat budidaya lainnya. Disamping itu kolam dan sawah merupakan jenis budidaya yang ada di mayoritas kabupaten, hal ini berbeda dengan kolam air deras yang hanya terdapat di beberapa kabupaten saja. Budidaya dengan sistem budidaya kolam dan sawah dimiliki oleh mayoritas pembudidaya perikanan air tawar. Alasan lain karena kolam dan sawah umumnya dimiliki oleh masyarakat lokal. Sementara itu pilihan KJA karena sistem budidaya ini merupakan sistem budidaya intensif yang mendominasi produksi perikanan air tawar Jawa Barat (35,9% produksi budidaya air tawar).

Adapun komoditas yang diteliti dalam penelitian ini dibatasi pada ikan mas, nila dan lele untuk penelitian yang berbasis data primer. Penelitian yang berbasis data sekunder memakai data produksi data ikan air tawar secara keseluruhan. Ikan mas sebagai ikan yang menjadi komoditas utama budidaya perikanan di Jawa Barat. Selain ikan mas juga ikan nila dan lele sebagai ikan yang juga mulai banyak dibudidayakan di Jawa Barat. Pemilihan ikan nila dan lele juga karena ikan nila dan lele memiliki beberapa perbedaan dengan ikan mas, terutama dalam daya tahan terhadap perubahan lingkungan.

(8)

Faktor-faktor yang digunakan dalam analisis produktivitas dalam penelitian ini dibatasi sesuai dengan penelitian Corderro et al. (1999) yaitu berupa benih, pakan, dan jumlah tenaga, biaya input dan jumlah penerimaan. Tingkat pendidikan dan umur tenaga kerja sebagai salah satu ukuran produktivitas tenaga kerja tidak dimasukan dalam analisis produktivitas. Hal ini karena sesuai penelitian Latifah et al. (2013) dan Sugiharti et al. (2013) yang menunjukkan bahwa tingkat pendidikan dan umur tenaga kerja dalam perikanan budidaya tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas.

Kerangka Pemikiran

Sebagian besar penduduk Indonesia saat ini masih bertempat tinggal di kawasan perdesaan. Menurut data BPS cakupan kawasan perdesaan pada tahun 2009 mencakup hampir sekitar 82 persen wilayah Indonesia, yang didalamnya sekitar 131,8 juta jiwa atau lebih dari 56,86 persen penduduk di Indonesia bertempat tinggal dan menggantungkan hidupnya di perdesaan. Disisi lain jumlah penduduk miskin di kawasan perdesaan juga lebih banyak dibanding kawasan perkotaan. Menurut data Statistik Indonesia dari BPS, jumlah penduduk miskin di kawasan perdesaan Indonesia mencapai angka 18,97 juta atau sekitar 15,72 % dari keseluruhan jumlah penduduk. Untuk provinsi Jawa Barat sendiri penduduk miskin di kawasan perdesaan mencapai 2,4 juta jiwa.

Melihat luasnya wilayah serta banyaknya masyarakat yang tercakup dalam wilayah perdesaan, maka pembangunan perdesaan memiliki posisi startegis dalam pembangunan nasional. Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2010-2014 mengamanatkan bahwa arah kebijakan pembangunan perdesaan adalah memperkuat kemandirian desa dalam pemerintahan desa, pembangunan dan kemasyarakatan, meningkatkan ketahanan desa sebagai wilayah produksi, serta meningkatkan daya tarik perdesaan melalui peningkatan kesempatan kerja, kesempatan berusaha dan pendapatan seiring dengan upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan lingkungan.

Salah satu sumberdaya yang dapat dioptimalkan untuk menggerakan perekonomian perdesaan di Jawa Barat adalah perikanan budidaya air tawar. Jawa Barat sendiri merupakan salah satu provinsi yang memiliki areal budidaya perikanan air tawar terluas di Indonesia. Budidaya perikanan merupakan usaha yang telah lama dikenal di Jawa Barat. Baik budidaya yang sifatnya subsisten maupun yang bersifat komersial. Salah satu permasalahan yang perlu diperhatikan dalam pengembangan perikanan di Jawa Barat adalah adanya tren penurunan kualitas lingkungan perairan, serta tingkat adopsi teknologi pembudidaya yang belum optimal. Permasalahan tersebut dapat menjadikan stagnasi dalam peningkatan produktivitas perikanan budidaya perikanan air tawar. Sebagaimana penelitian Latifah (2013) yang menunjukkan adanya stagnasi produksi per unit KJA di Waduk Cirata. Oleh karena itu perlu dilakukan berbagai upaya pengembangan dalam perikanan budidaya air tawar di Jawa Barat.

Pengembangan perikanan budidaya pada saat ini sangat strategis jika pengembangannya ke arah peningkatan produktivitas. Produktivitas merupakan sebuah ukuran efisiensi, yakni konsep teknis yang mengacu pada

(9)

perbandingan output terhadap input (Supriyanto, 2005). Hal ini karena berbagai keterbatasan yang ada terutama lahan dan air sehingga pengembangan yang bersifat ekstensif sulit dilakukan. Intensifikasi dapat dilakukan melalui dua pendekatan. Pertama dengan meningkatkan tangible

input dalam unit luas yang sama. Kedua dengan meningkatkan intangible

input yang digunakan dalam perikanan budidaya air tawar.

Input perikanan budidaya air tawar yang bersifat tangible adalah jumlah benih, pakan, dan tenaga kerja. Faktor-faktor intangible yang mempengaruhi produktivitas perikanan budidaya diantaranya adalah kualitas air, kualitas pakan, kualitas benih dan kualitas sumberdaya manusia. Kualitas lingkungan perairan sangat dipengaruhi oleh sumber air yang digunakan untuk budidaya ikan. Kualitas benih dicerminkan dalam tingginya angka kelangsungan hidup benih ikan sampai dapat dipanen sebagai ikan konsumsi, dan tingginya tingkat pertumbuhan ikan itu sendiri. Secara praktis kualitas benih merupakan rasio dari produksi yang dihasilkan terhadap jumlah benih yang ditanam. Kualitas pakan tercermin dari rasio jumlah daging ikan yang dihasilkan terhadap pakan yang diberikan.

Variabel yang digunakan untuk mengukur dampak terhadap keluaran (output) total yang tidak disebabkan oleh tangible inputs (capital input dan

labor input) yang terpakai dalam proses produksi disebut Total Factor

Productivity (Lakitan, 2010) Dengan kata lain Total Factor Productivity

menaksir dampak dari intangible input.

Penggunaan teknologi secara optimal dan perubahan teknologi memegang peran penting dalam meningkatkan produktivitas. Menurut Latruffe (2010) sebuah perusahaan dapat meningkatkan produktivitasnya dibandingkan perusahaan lain dengan meningkatkan tiga faktor. Pertama, efisiensi penggunaan teknologi yang sudah tersedia. Kedua, peningkatan skala optimal operasi. Ketiga, kemajuan teknologi sehingga mampu menghasilkan lebih banyak output dengan menggunakan tingkat input yang sama. Menurut Lipsey et al. (1995) ada tiga jenis perubahan teknologi yang cenderung mendominasi produksi dan biaya dalam jangka panjang. Pertama, penemuan teknik-teknik baru dalam berproduksi. Kedua, penemuan barang dan jasa baru yang memudahkan proses produksi. Ketiga, perbaikan input seperti peningkatan kesehatan dan pendidikan yang meningkatkan mutu tenaga kerja atau perbaikan kualitas bahan baku.

Berbagai penelitian di beberapa negara menunjukkan bahwa peran teknologi ini sangat dominan terhadap tingkat Total Factor Productivity

usaha pertanian. Penelitian Ludena et al. (2010) di Amerika Latin dan Karibia menunjukkan bahwa peningkatan efisiensi dan pengenalan teknologi baru dalam pertanian menjadi pendorong pertumbuhan TFP. Demikian juga penelitian Jin et al. (2001) tentang TFP di China untuk padi, gandum dan jagung periode 1980-1995 menunjukkan bahwa nilai TFP tumbuh sangat pesat seiring peningkatan adopsi teknologi baru. Teknologi baru menjadi faktor pendorong utama tumbuhnya produktivits. Demikian juga dalam perikanan budidaya air tawar yang memiliki kesamaan dengan pertanian pada umumnya, peran perubahan teknologi menjadi faktor penting dan dominan.

(10)
(11)

Faktor dominan berikutnya adalah faktor intangible input berupa kualitas lingkungan media perairan tempat berlangsungnya perikanan budidaya. Efektivitas teknologi yang digunakan dalam perikanan budidaya akan sangat tergantung kualitas lingkungan perairan. Sebagai contoh, tingkat metabolisme ikan sangat dipengaruhi oleh suhu dan derajat keasaman air. Kualitas lingkungan perairan menjadi faktor pembatas dalam perikanan budidaya. Artinya penambahan jumlah input akan tidak berpengaruh terhadap peningkatan produksi ketika kualitas lingkungan perairannya telah melewati daya dukungnya. Oleh karena itu kualitas lingkungan perairan merupakan faktor penting dan dominan selain teknologi yang berpengaruh terhadap tingkat Total Factor Productivity perikanan budidaya air tawar.

Menurut Cordero et al. (1999) produksi suatu usaha perikanan budidaya yang memiliki nilai indeks TFP lebih tinggi akan lebih banyak dibanding lainnya. Oleh karena itu, dinamika dalam Total Factor Productivity akan berpengaruh terhadap potensi naik atau turunnya produksi ikan yang dihasilkan. Naik atau turunnya produksi akan berpengaruh langsung terhadap nilai produksi perikanan, penyerapan produk pertanian seperti jagung untuk pakan, dan berpengaruh terhadap industri yang berbahan dasar ikan. Dinamika dalam produksi dan nilai produksi itu akan berpengaruh terhadap dinamika kontribusi perikanan budidaya air tawar terhadap beberapa aspek perekonomian wilayah seperti kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor perikanan budidaya air tawar, serta penyerapan tenaga kerja sektor perikanan. Bagan alir kerangka pemikiran dapat dilihat dalam Gambar 4.

Kebaruan Penelitian

Kebaruan (novelty) dari penelitian ini mencakup kebaruan dari segi pendekatan, topik kajian dan segi hasil penelitian. Kebaruan dari segi pendekatan, kebaruannya dapat dilihat dari penggunaan analisis produktivitas dengan pendekatan Total Factor Productivity yang dilakukan untuk penelitian tentang pengembangan budidaya perikanan air tawar. Berdasarkan aspek topik kajian, penelitian tentang keterkaitan pengembangan budidaya perikanan dengan perekonomianan wilayah masih belum banyak dilakukan. Kebaruan penelitian dari aspek hasil penelitian nantinya dapat dilihat dari adanya gambaran mengenai dinamika Total Factor Productivity dalam budidaya perikanan air tawar. Penghitungan Total Factor Productivity ini juga dapat menjadi base line penelitian-penelitian produktivitas dalam perikanan budidaya selanjutnya.

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian di atas dapatlah dirumuskan beberapa hipotesis dalam penelitian ini:

a. Penurunan kualitas lingkungan perairan, masih rendahnya kualitas teknologi budidaya yang diadopsi para pembudidaya dan penurunan

(12)

kualitas lingkungan perairan diduga menjadikan nilai TFP usaha perikanan budidaya di Jawa Barat khususnya masih tergolong rendah. b. TFP dalam perikanan budidaya air tawar diduga dipengaruhi oleh

faktor-faktor internal akuakultur seperti tingkat penggunaan teknologi dan faktor-faktor eksternal akuakultur seperti lingkungan dan keterpaduan diantara elemen-elemen sistem budidaya perikanan air tawar.

c. Dinamika yang terjadi dalam produktivitas perikanan air tawar di Jawa Barat akan berpengaruh terhadap kontribusi perikanan air tawar terhadap perekonomian Jawa Barat.

Gambar

Gambar 2  Pangsa perikanan Jawa Barat tahun 2009
Gambar 3  Pangsa perikanan budidaya air tawar Jawa Barat terhadap Indonesia  Mengingat besarnya pangsa perikanan air tawar Jawa Barat terhadap  perikanan nasional, maka tren penurunan ini harus diantisipasi untuk  menghindari gangguan terhadap produksi ika
Gambar 4  Kerangka pemikiran penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan terdapat 19 sasaran strategis yang ingin dicapai dengan prioritas sasaran adalah: meningkatkan penerimaan Fakultas (bobot 10%),

Konsentrasi terendah bahan pada tabung yang ditunjukkan dengan hasil biakan yang mulai tampak jernih (tidak ada pertumbuhan mikroba) adalah KHM dari bahan uji. Selanjutnya biakan

Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: (a) nilai rata-rata postes keterampilan komu- nikasi siswa pada kelas yang diterap- kan model pembelajaran berbasis

Ucing keur ngadahar beurit, jejer dina kalimah tadi nyaeta ….. Ari nu sok ngigeulkeun wayang golek

6.1 Peralatan untuk pengujian, ditunjukkan secara skematik pada gambar 1, terdiri dari generator kecepatan rambat gelombang, sepasang alat tranduser (pengirim dan penerima),

Dalam pelaksanaan Program Induksi, pembimbing ditunjuk oleh kepala sekolah/madrasah dengan kriteria memiliki kompetensi sebagai guru profesional; pengalaman mengajar

Proses pemesinan dilakukan dengan cara memotong bagian benda kerja yang tidak digunakan dengan menggunakan pahat (cutting tool), sehingga terbentuk permukaan benda kerja

Tabel item-total statistik menunjukan hasil perhitungan reabilitas untuk 10 pernyataan.Menentukan besarnya r tabel dengan ketentuan tingkat kepercayaan (degree of