• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Konteks Masalah

Manusia sebagai mahluk sosial senantiasa berhubungan dengan manusia lainnya, lingkungan sekitarnya, bahkan apa yang terjadi dalam dirinya. Rasa ingin tahu yang tinggi memaksa manusia untuk perlu berkomunikasi. Everett mengemukakan bahwa komunikasi sudah merupakan bagian dari kehidupan manusia, sepanjang manusia ingin hidup maka ia perlu berkomunikasi (Cangara, 2006: 1). Sifat manusia untuk menyampaikan keinginannya dan untuk mengetahui hasrat orang lain merupakan awal manusia berkomunikasi. Tanpa melakukan komunikasi, maka seseorang akan mengalami kesulitan untuk melangsungkan hidupnya itu sebabnya, manusia dianggap sebagai mahluk yang paling unik dengan kemampuan yang dimilikinya dalam menyampaikan gagasan, ide, serta pendapat dalam proses komunikasi antar pribadi.

Komunikasi adalah sebuah proses interaksi untuk berhubungan dari satu pihak ke pihak lainnya, yang pada awalnya berlangsung sangat sederhana dimulai dengan sejumlah ide-ide yang abstrak atau pikiran dalam otak seseorang untuk mengolah data atau informasi yang kemudian dikemas atau dikonversi menjadi sebentuk pesan yang kemudian disampaikan secara langsung maupun tidak langsung menggunakan bahasa berbentuk visual, kode suara, atau kode tulisan. Komunikasi juga dibedakan menjadi dua, yaitu komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal yang dilakukan antara pengirim dan penerima untuk merubah tingkah laku melingkupi proses yang lebih luas.

Komunikasi verbal adalah komunikasi dengan menggunakan kata-kata, baik lisan maupun tulisan. Ada tiga ciri utama yang menandai wujud atau bentuk komunikasi verbal. Pertama, bahasa verbal adalah komunikasi yang kita pelajari setelah kita menggunakan komunikasi nonverbal. Kedua, komunikasi verbal dinilai kurang universal jika dibanding dengan komunikasi nonverbal, sebab bila kita keluar negeri misalnya dan kita tidak mengerti bahasa yang digunakan

(2)

masyarakat setempat maka kita bisa menggunakan bahasa isyarat nonverbal. Ketiga, komunikasi verbal merupakan aktivitas yang lebih intelektual dibanding dengan bahasa nonverbal. Melalui komunikasi verbal kita mengkomunikasikan gagasan dan konsep-konsep yang abstrak.

Komunikasi nonverbal adalah setiap informasi atau emosi dikomunikasikan tanpa menggunakan kata-kata atau nonlinguistik, komunikasi nonverbal penting sebab apa yang sering kita lakukan mempunyai makna yang lebih penting dari pada apa yang kita katakan. Ucapan atau ungkapan klise seperti “ sebuah gambar sama nilainya dengan seribu kata” menunjukkan bahwa alat-alat indera yang kita gunakan untuk menangkap isyarat-isyarat nonverbal sebetulnya berbeda dari kata-kata yang kita gunakan. Salah satu dari beberapa alasan yang dikemukakan oleh Richard L. weater II (1993) bahwa kata-kata pada umumnya memicu salah satu sekumpulan alat indera seperti pendengaran, sedangkan komunikasi nonverbal dapat memicu sejumlah alat indera seperti penglihatan, penciuman, dan perasaan.

Komunikasi dengan tatap muka adalah komunikasi yang banyak menyampaikan gagasan dan pikiran lewat pesan-pesan verbal. Pada gilirannya orang lain pun lebih banyak membaca pikiran-pikiran kita lewat petunjuk-petunjuk nonverbal. Kita dapat dikatakan melakukan komunikasi nonverbal melalui pakaian yang kita gunakan, mobil yang kita kendarai, atau kantor yang kita tempati. komunikasi nonverbal sangat penting dikarenakan komunikasi nonverbal dapat memperkuat dan memperjelas atau melengkapi komunikasi verbal. Komunikasi nonverbal juga merupakan penggambaran emosi yang tidak dapat diungkapkan dalam komunikasi verbal. Hal itu dikarenakan komunikasi tidak dapat dipisahkan (saling berkaitan) dengan komunikasi verbal. Komunikasi nonverbal dapat digunakan kapan saja dan oleh siapa saja termasuk orang-orang yang memiliki kelainan fisik serta saat seseorang itu sulit mengungkapkan perasaan melalui komunikasi verbal.

Demikian juga kaitannya dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Dalam menjalani hubungan backstreet, setiap pasangan juga menggunakan komunikasi verbal dan nonverbal yang digunakan untuk menjaga

(3)

hubungan backstreet agar tidak diketahui oleh orang tua. Komunikasi verbal dan nonverbal yang digunakan juga rentan menimbulkan masalah-masalah atau konflik kecil yang mengganggu, seperti salah memahami pesan yang dibaca, atau salah memahami percakapan yang sedang dibicarakan. Terlalu seringnya menggunakan komunikasi verbal menyampingkan pentingnya komunikasi nonverbal. Padahal, komunikasi non verbal mengandung lebih banyak muatan emosional dari pada komunikasi verbal. Sementara kata-kata umumnya digunakan untuk menyampaikan fakta, pengetahuan dan keadaan, pesan nonverbal lebih potensial untuk menyatakan perasaan seseorang, yang terdalam sekalipun, seperti rasa sayang atau rasa sedih (Mulyana, 2007:349).

Backstreet kalau diartikan secara harfiah adalah jalan belakang. Dengan kata lain, backstreet adalah hubungan percintaan yang dilakukan diam-diam atau sembunyi (Kenya 2005;1). Backstreet juga dapat terjadi jika sebelumnya anak sudah berasumsi bahwa orang tuanya tidak akan mengizinkan dia berpacaran. Remaja memiliki banyak cara untuk menyembunyikan hubungannya seperti diam-diam berkomunikasi dengan pasangannya melalui via telepon, sms, dan bahkan untuk bertemu dengan pasangannya ia akan berbohong kepada orang tuanya sendiri. Jika anak sampai menjalin hubungan pacaran diam-diam seperti ini, akan lebih sulit bagi orang tua untuk memantau perilaku berpacaran anak mereka dan membimbing mereka menjalani hubungan pacaran yang sehat. Secara tidak langsung sikap ataupun perilaku bahasa verbal dan nonverbal akan ditunjukkan seorang remaja terhadap orangtuanya untuk menutup-nutupin hubungan pacarannya agar tidak ketahuan.

Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa kanak- kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis dan psikososial (Hurlock, 1978: 207). Remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, berlangsung antara usia 12 sampai 21 tahun. Menurut Blos Terdapat tiga tahap perkembangan remaja, yaitu remaja awal (early adolescence), remaja pertengahan (middle adolescence), dan remaja akhir (late adolescence) (Sarwono, 2001: 204). Menurut Monk dkk(2002: 262) tahap perkembangan masa remaja dibagi menjadi tiga tahap yaitu

(4)

a. Masa remaja awal (12-15 tahun), dengan ciri khas antara lain: lebih dekat dengan teman sebaya, ingin bebas, lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya dan mulai berpikir abstrak.

b. Masa remaja tengah (15-18 tahun), dengan ciri khas antara lain: mencari identitas diri, timbulnya keinginan untuk kencan, mempunyai rasa cinta yang mendalam, mengembangkan kemampuan berpikir abstrak, berkhayal tentang aktifitas seks.

c. Masa remaja akhir (18-21 tahun), dengan ciri khas antara lain: pengungkapan identitas diri, lebih selektif dalam mencari teman sebaya, mempunyai citra jasmani dirinya, dapat mewujudkan rasa cinta, mampu berpikir abstrak .

Menurut Monks (2001: 262) Masa remaja akhir adalah masa transisi perkembangan antara masa remaja menuju dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 17-22 tahun. Pada masa ini terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan orang tua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan. Mahasiswa masuk ke dalam kategori remaja akhir (18-21tahun), namun sebagian pula terkategori sebagai dewasa awal pada periode pertama (22-28 tahun).

Pada masa remaja, sudah mulai timbul minat dan emosi heteroseksual yaitu ketertarikan dengan lawan jenis yang merupakan salah satu bagian dari perkembangan remaja seiring dengan berjalannya masa pubertas. Pubertas adalah periode pada masa remaja awal yang dicirikan dengan perkembangan kematangan fisik dan seksual sepenuhnya (Seifert & Hoffnung, 1987). Masa puber menimbulkan rasa keingintahuan tentang lawan jenisnya. Remaja laki-laki dan perempuan mulai saling memperhatikan satu dengan yang lainnya. Remaja juga memiliki minat untuk terlibat dalam aktivitas-aktivitas sosio-seksual seperti berpacaran.

Berpacaran merupakan suatu kegiatan yang positif yang dilakukan laki-laki dan perempuan sebelum melangsungkan pernikahan, namun dengan syarat harus dilakukan dalam koridor yang benar, artinya tidak melanggar norma-norma, susila, etika, moral, dan kepatutan sosial, dimana kegiatan berpacaran merupakan

(5)

langkah awal laki-laki dan perempuan mengadakan hubungan emosional secara khusus dengan lawan jenisnya (Surbakti, 2008: 1).

Berpacaran tidak dilakukan hanya semata-mata karena ketertarikan seseorang terhadap lawan jenisnya, akan tetapi berpacaran juga merupakan sesuatu yang diharapkan atau dituntut dari remaja lain karena berpacaran merupakan bentuk suatu hubungan yang popular di masa remaja. Biasanya tuntutan itu berasal dari teman-temannya yang pada masa remaja ini sangat mempengaruhi tingkah laku remaja tersebut. Akibat adanya tuntutuan dari teman-temannya, semakin banyak remaja yang ingin menjalin hubungan pacaran dengan lawan jenisnya. Akhirnya, remaja dan berpacaran menjadi dua hal yang selalu terkait dan semakin sulit dipisahkan.

Perkembangan dalam pembentukan hubungan-hubungan baru dengan lawan jenis ditandai dengan saling mengenal antar individu, baik dari segi kekurangan ataupun kelebihan masing-masing individu yang kemudian dilanjutkan ke dalam fase berpacaran. Kegiatan berpacaran sering menimbulkan hal-hal negatif bagi banyak remaja, akibatnya banyak sekali orang tua yang melarang anaknya untuk berpacaran. Tindakan orang tua yang melarang anaknya untuk berpacaran membuat banyak anak memilih untuk menjalani hubungan backstreet, padahal backstreet bisa dianalogikan sebagai tindakan membohongi orang tua. Pada beberapa contoh kasus, ada juga orang tua yang menyetujui anaknya untuk berpacaran pada masa remaja.

Kondisi mengenai pelarangan anak untuk berpacaran terutama dialami oleh seorang remaja perempuan, dikarenakan orang tua yang merasa khawatir terhadap anaknya yang sudah remaja dan sudah mulai tertarik dengan lawan jenisnya tersebut sehingga orang tua tidak mengizinkan anaknya untuk berpacaran karena ingin melindungi dan menjaga anaknya.

Remaja yang menjalani pacaran secara diam-diam atau backstreet sangat mungkin untuk berbohong kepada orang tuanya dikarena mereka tidak mau jika hubungan mereka diketahui oleh orang tua. Kondisi ini memungkinkan mereka menjadi cemas, karena khawatir diketahui dan harus selalu menyembunyikan hubungan mereka dari orang tua dan lingkungan sekitar. Keadaaan ini lah yang

(6)

membuat mereka menggunakan strategi komunikasi verbal dan non verbal untuk menjaga hubungan pacaran backstreet mereka tidak diketahui. Hubungan yang dijalani secara diam-diam atau backstreet rasanya memang sangat tidak nyaman, selain itu suatu hubungan atau pacaran yang backstreet memang menimbulkan perasaan was-was atau cemas sehingga perasaan tersebut terkadang membuat hubungan komunikasi anak dengan orang tua tidak baik.

Anak yang takut akan ketahuan oleh orang tuanya telah pacaran akan sering berbohong kepada orang tuanya. Saat ini, bukanlah hal yang aneh lagi jika seorang remaja mengatakan bahwa ia telah menjalin hubungan pacaran baik secara terang-terangan maupun sembunyi atau secara diam-diam (backstreet). Ketika seseorang sudah menjalin sebuah hubungan pacaran, tentunya remaja tersebut telah memiliki suatu konsep tentang pacaran. Konsep merupakan ide umum tentang sesuatu yang digunakan untuk berbagai fungsi kognitif. Konsep remaja tentang pacaran ini menjadi suatu hal yang penting untuk diketahui karena ketidaktahuan banyak pihak, khususnya orang tua, mengenai konsep pacaran remaja yang cenderung membuat orang tua langsung menilai negatif terhadap remaja yang sudah berpacaran.

Selain konsep pacaran, hal yang paling penting untuk diketahui adalah perilaku pacaran pada remaja. Dengan masuknya budaya Barat yang mengangungkan kebebasan individu yaitu gaya pacaran yang lebih terbuka sampai perilaku seperti seks pra nikah sudah sering terdengar. Beberapa penelitian telah membuktikan hal tersebut, misalnya dari survei yang dilakukan oleh Youth Center Pilar PKBI Jawa Tengah (dalam Husni, 2005; Sugiyati, 2007) ditemukan bahwa 25 % remaja sudah saling meraba (payudara dan kelamin), dan 7,6 % sudah melakukan hubungan seks (http://www.freelists.org).

Ketika orang tua mengkahwatirkan terjadinya perilaku seksual sebelum menikah yang dinilai terlalu jauh dan berbahaya ini, para orang tua tersebut seringkali mengkonsumsikannya dengan sang anak. Adanya hal yang tabu untuk membicarakan masalah seksual yang menyebabkan orang tua tidak mengatakan dengan jujur dan lengkap alasan kekahwatiran mereka (Sarwono, 2006:205). Pada akhirnya mereka mungkin hanya melarang dengan alasan bahwa sang anak masih

(7)

terlalu kecil. Hal ini justru dapat membuat remaja yang sudah tidak ingin dianggap sebagai anak kecil menjadi kesal dan dapat menimbulkan konflik antara anak dan orang tua karena si anak ingin . Pertentangan terjadi karena orang tua ingin melindungi si anak dari akibat buruknya berpacaran yang terlalu jauh. Browann (1978) mengatakan bahwa remaja yang tidak menjalin hubungan pacaran sementara temannya berpacaran dapat ditolak oleh teman-temannya. Tentu saja hal tersebut tidak akan mau terjadi, sehingga remaja tersebut sangat ingin memiliki pacar. Jika orang tua langsung menentang ataupun melarang, ada kemungkinan terjadi konflik diantara mereka. Remaja mungkin saja tetap berpacaran tanpa memberitahu orang tuanya (Backstreet).

Backstreet merupakan bentuk perlawanan remaja pada sikap orangtua yang melarangnya. Pacaran dengan model seperti ini tidak jarang menimbulkan dampak yang tidak sehat. Wiwit Puspitasari M.Psi, psikolog rumah sakit Awal Bros Batam mengatakan, bahwa pacaran dengan model backstreet biasanya dilakukan dengan rahasia. Tidak lagi terbuka dan memilih sembunyi-sembunyi, karena takut diketahui orang lain (http://www.psikologizone.com).

Berikut ini adalah contoh kasus seorang remaja yang telah berstatus mahasiswa yang memilih hubungan jalur belakang ataupun backstreet : tidak seperti biasanya, pada hari Sabtu, hati Nisa (nama disamarkan) cewek asli Magelang ini lebih girang dari biasanya. Pasalnya, itu hari pertemuan cewek murah senyum tersebut dengan kekasih hatinya. Setelah sepekan menjalani kesibukan masing-masing, pacaran pada akhir pekan selalu menjadi momentum manis yang tidak tergantikan.

Begitulah Nisa (nama disamarkan) yang menjalani hubungan asmaranya selama empat tahun. Tapi siapa sangka, meski sudah lama berpacaran, jalinan cinta mereka belum diketahui oleh ayah dan ibu keduanya. Nisa dan pacarnya lebih memilih berhubungan secara backstreet. Perbedaan keyakinan yang membuat keduanya merasa lebih baik menjalani kemanisan cinta dengan cara begitu.''Sering banget aku bercerita tentang kebaikan dia di depan ortangtua. Berharap mereka bakal suka dengan pacarku. Tapi untuk mengaku kami telah pacaran, kok rasanya berat banget, ya,'' kata cewek yang gemar menyanyi itu.

(8)

Hasilnya, ketika menjelang waktu pertemuan untuk pacaran, Nisa harus sembunyi-sembunyi agar ayah dan ibunya tidak curiga. (http://www.suaramerdeka.com/)

Para pengikut backstreet memang selalu merasa serba salah. Mereka ingin menjalani pacaran yang normal agar hidup dia dan pacar ''damai dan tentram''. Tapi apa daya, keberanian untuk menyatakan dan menerima risiko paling buruk dari orang tua ataupun lingkungan seperti mengaharuskan mereka untuk putus terdengar jauh lebih mengerikan. Walaupun banyak tantangan dan ketakutan yang timbul pada saat menjalaninya, backstreet tetap saja membuat yang menjalaninya merasa senang dan menikmatinya.

Penelitian ini dilakukan pada mahasiswa yang termasuk remaja akhir (18-21 tahun) karena banyaknya pasangan pada usia remaja akhir yang masih menjalani hubungan backstreet. Usia remaja akhir merupakan usia dimana seorang remaja akan memasuki tahap dewasa, tetapi masih memiliki ketakutan untuk mengakui hubungan dengan pasangan kepada orang tua. Penelitian ini difokuskan pada remaja akhir karena beberapa alasan. Alasan pertama adalah usia remaja akhir yang dapat dikatakan tahap awal menuju kedewasaan, tetapi diusia yang sudah menginjak masa dewasa mereka masih mendapat larangan berpacaran dari orang tua. Mereka belum memperoleh hak untuk menentukan pilihannya sendiri dalam artian belum diberikan kebebasan untuk mandiri. Alasan kedua adalah untuk mengetahui komunikasi verbal dan nonverbal yang digunakan remaja akhir yang melakukan backstreet dalam menyembunyikan hubungannya dari orang tua.

Pada saat menjalani hubungan backstreet, kemungkinan terjadi konflik sangat rentan. Konflik terjadi baik antara pasangan backstreet itu sendiri maupun dengan orang tua. Konflik sering timbul pada pasangan yang lelah menjalani hubungan backstreet dan takut ketahuan oleh orang tua mereka. Konflik dengan orang tua sering terjadi karena kelakukan sang anak yang sering berbohong untuk menutupi hubungan backstreet dengan pasangan. Hal ini lah yang menjadi alasan ketiga untuk melakukan penelitian ini yaiotu untuk mengetahui konflkik yang terjadi dan cara mengatasainya.

(9)

Melalui uraian di atas, maka peneliti melakukan penelitian terhadap remaja akhir yaitu mahasiswa untuk mengetahui hubungan backstreet yang mereka atau informan jalani. Penelitian ini akan didukung beberapa teori untuk memperkuat alasan-asalan dan kesimpulan yang bisa penulis simpulkan dari hasil pengamatan dan analisis terhadap pasangan yang menjalani hunungan backstreet.

1.2. Fokus Masalah

Berdasarkan konteks masalah yang telah diuraikan sebelumnya diatas, maka dapat dikemukakan bahwa fokus masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : “ Bagaimana Strategi Komunikasi Verbal dan Nonverbal Pasangan Backstreet Dengan Orang Tua?”

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui alasan pasangan menjalani pacaran Backstreet.

2. Mengetahui strategi komunikasi verbal dan nonverbal yang digunakan dalam pacaran backstreet.

3. Mengetahui konflik yang terjadi dalam berpacaran backstreet.

4. Mengetahui gambaran kecemasan dan cara mengatasi kecemasan dalam menjalini hubungan backstreet.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Secara akademis, penelitian ini dapat disumbangkan kepada Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, guna memperkaya bahan penelitian dan sumber bacaan.

2. Secara teoritis dan praktis, dari hasil penelitian ini ditujukan untuk memperkaya khasanah peneliti dan pembaca mengenai kajian studi kasus agar lebih mengetahui bagaimana strategi komunikasi verbal dan nonverbal antara anak dibelakang orang tua dalam menjalin hubungan backstreet.

Referensi

Dokumen terkait

9. Kepala Dinas yang bertanggung jawab di bidang Perindustrian di propinsi/Kabupaten/Kota;. Kepala Balai di lingkungan Departemen Perindustrian... BAB II : RUANG

Sementara pada sarana kesehatan yang berada di bagian dalam area studi memiliki aksesibilitas yang kurang baik dengan deviasi antara radius pelayanan dengan waktu

Elektron valensi logam tidak erat terikat (energi ionisasi rendah).Logam alkali hanya mempunyai satu elektron valensi, sedangkan logam transisi dapat menggunakan lebih

Namun, adakalanya bisa terjadi bahwa setelah erseroan disahkan (memperoleh status badan hukum), salah seorang atau beberapa pemegang saham mengalihkan sahamnya kepada pemegang

Pengertian prinsip ini adalah membuat suatu obyek yang dapat menservis dengan sendirinya dan melakukan fungsi-fungsi tambahan yang dapat membantu, contohnya: kotoran hewan

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan proses pembelajaran dan hasil belajar Bahasa Jawa materi wayang dengan menggunakan media kartu kata bergambar wayang

XXX terdapat 4 orang teller dalam sistem antrian yang bertugas melayani nasabah, namun kadang hanya ada 3 teller yang melayani nasabah, sehingga terjadi penumpukan

Sebagai  perguruan  tinggi  terkemuka  di  Indonesia,  seyogyanya  ITB  ikut  berperan  aktif  untuk  mencari  solusi  bagi  penyelesaian  persoalan  bangsa