• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. keputusan, sosiologi, organisasi. Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. keputusan, sosiologi, organisasi. Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan di"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

11 BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Keagenan

Menurut Halim dan Abdullah (2006) Teori Keagenan yakni teori yang mengaitkan hubungan prinsipal dengan agen yang berasal dari teori ekonomi, keputusan, sosiologi, organisasi. Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan di dalam teori keagenan terdapat hubungan yang diibaratkan sebagai sebuah kontrak yang mana satu atau lebih prinsipal menyewa orang lain, dalam hal ini disebut agen, untuk melakukan beberapa jasa demi kepentingan mereka dengan mendelegasikan beberapa wewenang pembuatan keputusan kepada agen untuk membuat keputusan yang terbaik bagi prinsipal. Permasalahan hubungan keagenan mengakibatkan dua permasalahan yaitu:

1) Terjadinya informasi asimetris (information asymmetry), dimana agen secara umum memiliki lebih banyak informasi mengenai posisi keuangan yang sebenarnya dari prinsipal. Menurut Ahmad et al. (2012) menyatakan bahwa asimetri informasi berkaitan dengan efektivitas arus informasi dan interaksi antara prinsipal dan agen dalam melakukan tugas tertentu.

2) Terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest) akibat ketidak samaan tujuan, dimana agen tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan pemilik.

(2)

12

Scott (2000) menjelaskan bahwa teori keagenan merupakan cabang dari game theory yang mempelajari suatu model kontraktual yang mendorong agen untuk bertindak bagi prinsipal saat kepentingan agen bisa saja bertentangan dengan kepentingan prinsipal. Prinsipal pendelegasikan pertanggungjawaban atas pengambilan keputusan kepada agen, dimana wewenang dan tanggung jawab agen maupun prinsipal diatur dalam kontrak kerja atas persetujuan bersama. Moe dalam Halim dan Abdullah (2006) menyatakan bahwa dalam hubungan keagenan di pemerintahan antara eksekutif dan legislatif, eksekutif atau pemerintah adalah agen dan legislatif yang diproksikan oleh DPR adalah principal. Antara principal dan agen sering terjadi masalah keagenan karena konflik kepentingan yang dimiliki oleh principal dan agen, oleh karena itu, persoalan yang sering timbul di antara eksekutif dan legislatif juga merupakan persoalan keagenan.

Teori keagenan telah dipraktikkan di organisasi publik khususnya di pemerintahan daerah. Dalam Adiwiyana (2011), Pemerintah daerah baik provinsi, kabupaten/kota sering mempraktikkan agency theory dalam penyusunan rancangan APBD. Dalam sektor publik, yang berperan sebagai prinsipal adalah masyarakat yang diproksikan oleh DPRD dan agennya adalah pemerintah daerah. Seharusnya pemerintah daerah (agen) bertindak sesuai dengan kehendak dari principal (masyarakat), akan tetapi dalam kenyataannya pemerintah daerah (agen) bertindak opportunis dalam pengambilan keputusan. Mursalim (2005) menyatakan bahwa informasi yang lebih banyak dimiliki oleh agen dapat memicu untuk melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan keinginan dan kepentingan untuk memaksimalkan utylitynya. Sedangkan bagi prinsipal akan sulit untuk

(3)

13

mengontrol secara efektif tindakan yang dilakukan oleh manajemen karena hanya memiliki sedikit informasi yang ada.

Kaitan teori keagenan dalam penelitian ini terlihat pada hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan juga hubungan antara masyarakat (principal) dengan pemerintah daerah (agen). Tamtomo (2010) menyatakan pemerintah pusat melakukan pelimpahan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengatur secara mandiri segala urusan pemerintahan di daerahnya, sehingga sebagai konsekuensi dari pelimpahan wewenang tersebut, pemerintah pusat menurunkan dana perimbangan yang tujuannya adalah membantu pemerintah daerah baik dalam mendanai kebutuhan pemerintahan sehari-hari maupun memberi pelayanan publik yang lebih baik kepada masyarakat. Teori keagenan juga tersirat dalam hubungan pemerintah daerah dengan masyarakat. Masyarakat sebagai prinsipal telah memberikan sumber daya kepada daerah berupa pembayaran pajak, retribusi dan sebagainya untuk dapat meningkatkan pendapatan asli daerah.

2.1.2 Teori Fiscal Federalism

Bodman et al. (2009) menyatakan secara teoritis desentralisasi fiskal adalah devolusi tanggung jawab fiskal dan kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang dapat meningkatkan atau mengurangi pertumbuhan ekonomi. Atau dengan kata lain pertumbuhan ekonomi suatu daerah diperoleh dengan pelaksanaan desentralisasi fiscal melalui otonomi daerah. Fungsi utama dari desentralisasi fiskal adalah untuk meningkatkan efisiensi sektor publik dan menyebabkan pertumbuhan ekonomi jangka panjang (Faridi, 2011). Maggi dan Ladurner (2009) menyatakan bahwa New Perspective Theory of Fiscal

(4)

14

Federalism lebih menekankan untuk melihat ke dalam setiap keputusan politik yang diambil oleh pemerintah, bagaimana pemerintah (eksekutif dan legislatif) berperilaku, berperan dan berpikir beserta lembaga-lembaga mereka.

Teori Fiscal Federalism terdiri dari dua perspektif, yaitu perspektif tradisional dan perspektif baru. Teori tradisional dikemukakan oleh Hayek (1945), dimana dia menekankan keuntungan alokatif dari desentralisasi. Dari sudut pandang ini terdapat dua pendapat yang menekankan keuntungan alokatif dari desentralisasi, yaitu Pertama, tentang penggunaan knowledge in society yang menyiratkan proses pengambilan keputusan yang terdesentralisasi akan dipermudah dengan penggunaan informasi yang efisien karena pemerintah daerah lebih dekat dengan masyarakatnya. Kedua, Tiebout (1956) memperkenalkan dimensi persaingan dalam pemerintah dan kompetisi antar daerah tentang alokasi pengeluaran publik memungkinkan masyarakat memilih berbagai barang dan jasa publik yang sesuai dengan selera dan keinginan mereka. Teori yang kedua dikenal dengan teori perspektif baru, yang dikemukakan oleh Musgrave (1959) dan Oates (1972). Teori ini lebih menekankan pada bagaimana desentralisasi fiskal memengaruhi perilaku pemerintah daerah.

Desentralisasi fiskal menuntut tiap-tiap daerah mempunyai kemandirian keuangan yang tinggi dengan mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dari pemerintah pusat (Mardiasmo, 2009). Desentralisasi fiskal memberikan struktur insentif yang lebih besar bagi pemerintah untuk menjadi lebih efisien dalam mengalokasikan sumber daya fiskal, namun itu tidak selalu mengarah pada pertumbuhan yang kuat

(5)

15

karena meningkatnya kesenjangan antar daerah terutama di tingkat kapasitas pembangunan dan sumber daya (Tirtosuharto, 2010).

2.1.3 Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi dapat didefinisikan sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah (Sukirno, 2010:9). Hasan (2012) mengatakan bahwa, pertumbuhan ekonomi merupakan parameter dari suatu kegiatan pembangunan, hal ini dikarenakan pertumbuhan ekonomi dapat mengukur tingkat perkembangan aktivitas pada sektor-sektor ekonomi dalam suatu perekonomian. Pertumbuhan perekonomian suatu daerah dapat dilihat dari peningkatan produk domestic regional bruto (PDRB) suatu daerah.

PDRB merupakan jumlah nilai output bersih perekonmian yang ditimbulkan dari seluruh kegiatan ekonomi di daerah tertentu, biasanya dihitung dalam satu tahun. PDRB biasanya digunakan untuk mengukur total nilai barang dan jasa yang dihasilkan pada suatu daerah atau lokal. Untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah dihitung dengan PDRB harga konstan. Menurut Rahardja dan Manurung (2008:131) penghitungan pertumbuhan ekonomi bertujuan untuk melihat apakah kondisi perekonomian suatu daerah makin membaik.

2.1.4 Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang No.33 Tahun 2004 menyebutkan bahwa tujuan pendapatan asli

(6)

16

daerah adalah memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengatakan bahwa sumber PAD, yaitu:

1) Pajak Daerah

UU Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menjelaskan bahwa pajak daerah yang selanjutnya disebut pajak adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak Daerah terdiri dari pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota.

(1) Pajak provinsi terdiri dari: a) Pajak Kendaraan Bermotor

b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor d) Pajak Air Permukaan

e) Pajak Rokok

(2) Sedangkan untuk pajak kabupaten/kota terdiri dari: a) Pajak Hotel

b) Pajak Restoran c) Pajak Hiburan d) Pajak Reklame

(7)

17 e) Pajak Penerangan Jalan

f)Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan g) Pajak Parkir

h) Pajak Air Tanah

i)Pajak Sarang Burung Walet

j)Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan k) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan 2) Retribusi Daerah

Menurut UU Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menjelaskan bahwa retribusi daerah yang selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Jasa yang dimaksud dalam UU tersebut yaitu kegiatan pemerintah daerah berupa usaha dan pelayanan yang menghasilkan barang, fasilitas atau manfaat lainnya yang dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Menurut UU No. 34 Tahun 2004 yang dimaksudkan dengan obejk dan retribusi daerah yaitu:

(1) Retribusi Jasa Umum (2) Retribusi Jasa Usaha

(3) Retribusi Perijinan Tertentu

3) Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.

(8)

18

Selain dari pendapatan atas pajak dan retribusi daerah, pemerintah juga mendapatkan pendapatan dari laba BUMD yang dimilki. Yovita (2011) mengatakan bahwa tujuan didirikannya BUMD adalah dalam rangka menciptakan lapangan kerja atau mendorong pembangunan ekonomi daerah. Selain itu, BUMD merupakan cara yang lebih efisien dalam melayani masyarakat, dan merupakan salah satu sumber pendapatan daerah.

4) Lain-lain PAD yang sah.

Pendapatan ini bersumber dari pendapatan daerah selain Pajak Daerah, Restribusi Daerah, dan BUMD. Bati (2009) mengatakan bahwa sumber-sumber dari Lain-lain PAD yang sah yaitu:

(1) Hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan (2) Jasa giro

(3) Pendapatan bunga

(4) Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah

(5) Penerimaan konsumsi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan pengadaan barang, dan jasa oleh daerah

(6) Penerimaan keuangan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing

(7) Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan (8) Pendapatan denda pajak

(9) Pendapatan denda retribusi (10)Pendapatan eksekusi atas jaminan (11)Pendapatan dari pengembalian

(9)

19 (12)Fasilitas sosial dan umum

(13)Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan (14)Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan

Sesuai dengan UU No. 33 Tahun 2004, dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), daerah dilarang untuk menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah, dan kegiatan impor/ekspor. Dengan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah ini diharapakan dapat mempelancar jalannya pembangunan dan secara tidak langsung dengan lancaranya pembangunan makan akan menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat luas.

2.1.5 Dana Alokasi Umum (DAU)

UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang “Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah” menyebutkan bahwa Dana Alokasi Umum merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemeratan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, munurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bahwa penggunaan Dana Perimbangan Khususnya Dana Alokasi Umum agar diprioritaskan penggunaannya untuk mendanai gaji dan tunjangan, kesejahteraan pegawai, kegiatan operasi, dan pemeliharaan serta pembangunan fisik sarana dan prasarana dalam rangka peningkatan pelayanan dasar dan pelayanan umum yang dibutuhkan masyarakat.

(10)

20

Menurut Wertianti (2013), jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN. Wertianti (2013), juga mengatakan bahwa DAU untuk suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar, dimana celah fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal Daerah. Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah. DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah provinsi dihitung berdasarkan perkalian bobot daerah provinsi yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh daerah provinsi. Bobot daerah merupakan perbandingan antara celah fiskal daerah provinsi yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh daerah provinsi. Sedangkan menurut Deva (2013), adapun cara menghitung DAU menurut ketentuan adalah sebagai berikut:

1) Dana Alokasi umum (DAU) ditetapkan sekurang-kurangnya 25% dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN.

2) Dana Alokasi umum (DAU) untuk daerah propinsi dan untuk daerah kabupaten/kota ditetapkan masing-masing 10% dan 90% dari dana alokasi umum sebagaimana ditetapkan diatas.

3) Dana Alokasi umum (DAU) untuk suatu daerah kabupaten/kota tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah dana alokasi umum untuk daerah/kabupaten yang ditetapkan APBN dengan porsi daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.

4) Porsi daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud di atas merupakan proporsi bobot daerah kabupaten/kota di seluruh Indonesia (Prakosa, 2004).

(11)

21 2.1.6 Kinerja Keuangan Daerah

Kinerja keuangan pemerintah daerah adalah gambaran tingkat pencapaian dari suatu hasil kerja di bidang keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan belanja daerah dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu periode anggaran (Bastian, 2006 dalam Julitawati, 2012). Bentuk keuangan tersebut berupa rasio keuangan yang terbentuk dari unsur Laporan Pertanggung jawaban Kepala Daerah berupa perhitungan APBD. Terkait dengan pentingnya kinerja, maka yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah pengukuran kinerja. Pengukuran kinerja berfungsi untuk menilai sukses atau tidaknya suatu organisasi, program, atau kegiatan. Pengukuran kinerja diperlukan untuk menilai tingkat besarnya penyimpangan antara kinerja aktual dengan kinerja yang diharapkan.

Kinerja keuangan adalah suatu ukuran kinerja yang menggunakan indikator keuangan (Sularso dan Restianto, 2011). Analisis kinerja keuangan pada dasarnya dilakukan untuk menilai kinerja di masa lalu dengan melakukan berbagai analisis sehingga diperoleh posisi keuangan yang mewakili realitas entitas dan potensi-potensi kinerja yang akan berlanjut. Karena menggunakan indikator keuangan, maka alat analisis yang tepat untuk mengukur kinerja keuangan adalah analisis keuangan. Penggunaan analisis rasio sebagai alat analisis keuangan secara luas telah diterapkan pada lembaga perusahaan yang bersifat komersial, namun pada lembaga publik, khususnya pemerintah daerah, masih sangat terbatas. Hal tersebut dikarenakan adanya keterbatasan penyajian laporan keuangan pada pemerintah daerah yang sifat dan cakupannya berbeda dengan penyajian laporan keuangan oleh perusahaan yang bersifat komersil. Di samping itu, penilaian

(12)

22

keberhasilan APBD sebagai penilaian pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah lebih ditekankan pada pencapaian target, sehingga kurang memperhatikan bagaimana perubahan yang terjadi pada komposisi ataupun struktur APBD (Halim, 2007).

Menurut Mardiasmo (2009), kinerja manajer publik akan dinilai berdasarkan pencapaian target anggaran yaitu dengan menganalisis simpangan kinerja aktual dengan yang dianggarkan. Penyerapan anggaran, khususnya belanja barang dan jasa memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Untuk itu setiap instansi pemerintah harus mengatur pengeluarannya agar berjalan lancar dan dapat mendukung keberhasilan pencapaian sasaran pembangunan nasional. Namun demikian penyerapan anggaran tidak diharuskan mencapai 100%, tetapi penyerapan anggaran diharapkan mampu memenuhi setidak-tidaknya lebih dari 80% anggaran yang telah ditetapkan. Tinggi rendahnya penyerapan anggaran dalam suatu SKPD menjadi tolak ukur kinerja dari SKPD tersebut (Putri, 2014).

Kemandirian fiskal daerah merupakan salah satu aspek yang sangat penting dari otonomi daerah secara keseluruhan. Menurut Mardiasmo (2009) disebutkan bahwa manfaat adanya kemandirian fiskal adalah: 1) Mendorong peningkatan partisipasi prakarsa dan kreativitas masyarakat dalam pembangunan serta akan mendorong pemerataan hasil–hasil pembangunan (keadilan) di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya serta potensi yang tersedia di daerah, 2) Memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintah yang lebih rendah yang memiliki informasi yang lebih lengkap. Kemandirian fiskal daerah menggambarkan

(13)

23

kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) seperti pajak daerah, retribusi dan lain-lain. Karena itu otonomi daerah dan pembangunan daerah bisa diwujudkan hanya apabila disertai kemandirian fiskal yang efektif. Ini berarti bahwa pemerintah daerah secara finansial harus bersifat independen terhadap pemerintah pusat dengan jalan sebanyak mungkin menggali sumber-sumber PAD seperti pajak, retribusi dan sebagainya.

2.2 Hipotesis Penelitian

2.2.1 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada Pertumbuhan Ekonomi di Bali

PAD merupakan salah satu sumber pendapatan yang diperoleh oleh suatu daerah yang bersumber dari pajak daerah yang dibayar oleh wajib pajak di daerah tersebut, retribusi daerah, BUMD, dan lain-lain pendapatan yang sah. PAD yang diperoleh daerah selanjutnya ditujukan untuk membiayai segala macam belanja daerah yang ditujukan untuk kepentingan publik, berupa pembangunan infrastruktur dan fasilitas publik lainnya. Sehingga dengan adanya peningkatan fasilitas publik diharapkan akan dapat mendongkrak perekonomian rakyat sehingga Pertumbuhan Ekonomi didaerah dapat meningkat dan mensejahterakan kehidupan rakyat. Menurut Simanjuntak (2006) PAD dapat meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi suatu daerah. Berdasarkan pemaparan di atas, maka hipotesis yang dapat dirumuskan yaitu:

(14)

24

2.2.2 Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) pada Pertumbuhan Ekonomi di Bali

Dana Alokasi Umum merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemeratan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Tujuan diberikannya DAU yaitu pemerataan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (Wertianti, 2013). Adanya bantuan sumber pendanaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah diharapkan dapat mengalokasikan dana tersebut dengan baik untuk belanja daerah. Menurut Gunantara (2014) DAU dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Bali. Dengan meningkatnya fasilitas publik maka akan mensejahterakan rakyat, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan perekonomian di daerah. Berdasarkan pemaparan di atas, maka hipotesis yang dapat dirumuskan yaitu:

H2: DAU berpengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi di Provinsi Bali.

2.2.3 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) pada Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Bali yang di Moderasi oleh Kinerja Keuangan Daerah

Pendapatan Asli Daerah merupakan pendanaan yang bersumber dari pajak, retribusi, hasil pengelolaan kekayaan daerah dan lain-lain PAD yang sah sedangkan Dana Alokasi Umum merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang di berikan pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pendapatan daerah yang berasal dari PAD dan DAU diharapkan mampu untuk mendanai seluruh pembiayaan yang dikeluarkan oleh pemerintah didalam menjalankan

(15)

25

pemerintahannya. Pengalokasian anggaran biaya ini, hendakanya digunakan untuk membiayai pembelanjaan daerah dengan kinerja keuangan daerah yang baik agar nantinya dapat digunakan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi daerah dengan menambah atau memperbaiki infrastruktur. Menurut Hamzah (2008) kinerja keuangan daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Semakin besar biaya dan semakin baik kinerja keuangan yang dilakukan maka akan semakin besar pembangunan infrastruktur publik yang dapat dikerjakan oleh Pemerintah Daerah dan hal tersebut secara langsung akan mengakibatkan kesejahteraan bagi masyarakat serta pertumbuhan ekonomi daerah akan meningkat. Dengan demikian maka suatu daerah yang kinerja keuangannya dinyatakan baik berarti daerah tersebut memiliki kemampuan keuangan untuk membiayai pelaksanaan otonomi daerah.

H3: Kinerja keuangan daerah memoderasi (meningkatkan) pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada pertumbuhan ekonomi di Provinsi Bali.

H4: Kinerja keuangan daerah memoderasi (meningkatkan) pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) pada pertumbuhan ekonomi di Provinsi Bali.

Referensi

Dokumen terkait

- Pemeriksaan fungsi motorik : mengerutkan dahi (dibagian yang lumpuh lipatannya tidak dalam), mimik, mengangkat alis, menutup mata (menutup mata dengan rapat dan coba

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada siswa SMA di SMAN 1 Simpang Maplam menunjukan bahwa pemanfaatan buku-buku perpustakaan khususnya buku ekonomi

SMP Negeri 2 Maos yang dimaksudkan penulis disini adalah tempat dimana penulis melakukan penelitian dengan batasan mengenai bagaimana penerapan

Keterbasahan diukur dari sudut kontak antara garis terluar perekat dengan permukaan bidang rekat menggunakan Metode Cosinus Sudut Kontak/CSK ( Cosine-Contact Angle =CCA) atau

Perencanaan awal jembatan yang menggunakan metode pratekan yang mempunyai 5 span dan 4 pilar.Maka jembatan direncanakan ulang dengan metode jembatan busur rangka baja dengan

(pemulihan) dan semua kegiatan sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat lalu mengenai tingkat kemajuan pembangunan kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Karangayu

Sehingga peneliti memiliki tujuan penelitian untuk menganalisis tingkat kelayakan investasi, penambahan alat konveksi pada usaha Ella Convection dari berbagai