• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus (DM) 2.1.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes Melitus (DM) adalah kumpulan penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia akibat adanya gangguan sekresi insulin, kerja insulin, ataupun keduanya. Hiperglikemia tersebut berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, dan kegagalan berbagai organ terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah. DM tipe 2 ini membentuk 90 - 95% dari semua kasus diabetes, dahulu disebut DM non-dependen insulin atau diabetes onset dewasa. Diabetes ini meliputi individu yang memiliki resistensi insulin dan biasanya mengalami defisiensi insulin relatif atau kekurangan insulin pada awalnya dan sepanjang masa hidupnya, individu ini tidak membutuhkan pengobatan insulin untuk bertahan hidup. Ada banyak kemungkinan berbeda yang menyebabkan timbulnya diabetes ini. Walaupun etiologi spesifiknya tidak diketahui, tetapi pada diabetes tipe ini tidak terjadi destruksi sel beta. Kebanyakan pasien yang menderita DM tipe ini mengalami obesitas, dan obesitas dapat menyebabkan beberapa derajat resistensi insulin (ADA, 2013).

2.1.2 Klasifikasi dan Etiologi Diabetes Melitus

DM secara garis besar dikelompokkan menjadi empat, yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM tipe lain dan DM gestasional. DM tipe 1 terjadi oleh karena adanya destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin (ADA, 2012). DM tipe 1 merupakan 5-10% dari keseluruhan kasus DM (ADA, 2013). Manakala, DM tipe 2 terjadi sebagai hasil dari gangguan sekresi insulin yang progresif yang menjadi latar belakang terjadinya resistensi insulin. DM tipe lain memasukkan jenis DM dengan etiologi seperti gangguan genetik pada fungsi sel β, gangguan genetik pada kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas (cystic fibrosis), dan yang dipicu oleh obat atau bahan kimia (seperti dalam pengobatan

(2)

7

HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ). DM gestasional adalah DM yang berkembang saat kehamilan (ADA, 2012).

Berdasarkan American Diabetes Association (ADA, 2013), klasifikasi etiologis DM adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1. Klasifikasi Etiologis DM

I. Diabetes Melitus tipe 1 ( destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut)

a. Melalui proses imunologik b. Idiopatik

II. Diabetes Melitus tipe 2 ( bervariasi mulai dari predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin)

III. Diabetes Melitus tipe lain

A. Defek genetik fungsi sel beta

1. Kromosom 12, HNF-1α (MODY 3) 2. Kromosom 20, HNF-4α (MODY 1) 3. Kromosom 7, glukokinase (MODY 2)

4. Kromosom 13, Insulin Promotor Factor-1 (IPF-1; MODY4) 5. Diabetes Melitus neonatal sementara

6. Diabetes Melitus neonatal persisten 7. DNA mitokondria

8. lainnya

B. Defek genetik kerja insulin : resistensi insulin tipe A, leprechaunism, sindrom Rabson-Medenhall, diabetes lipoatrofik lainnya.

C. Penyakit eksokrin pankreas : pankreatitis, trauma/pankreatektomi, neoplasia, fibrosis kistik, hemokromositoma, pankreatopati fibrokalkulus, lainnya.

D. Endokrinopati : akromegali, sindrom Cushing, glukagonoma, feokromositoma, hipertiroidisme, somatostationoma, aldosteronoma, lainnya.

E. Induksi oleh obat atau zat kimia : vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, hormone tiroid, diazoxide, agonis β-adrenergik, tiazid, dilantin, interferon-γ, lainnya.

F. Infeksi : rubella kongenital, Cytomegalovirus, lainnya.

G. Imunologi (jarang terjadi) : sindrom Stiff-man, antibodi anti reseptor insulin, lainnya.

H. Sindrom genetik lain : sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindom turner, sindrom Wolfram, ataksia Friedreich, korea Huntington, sindrom Laurence-Moon-Biedl, distropi misotonik, porfiria, sindrom Prader-Willi, lainnya.

IV. Diabetes melitus gestasional

Catatan: MODY, maturity onset of diabetes of the young. Sumber : care.diabetesjournals.org

(3)

8

2.1.3 Faktor Resiko Diabetes Melitus

Faktor risiko diabetes terdiri dari faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi dan yang bisa dimodifikasi.

Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi : 1. Ras dan etnik.

2. Riwayat keluarga dengan diabetes (anak penyandang diabetes).

3. Umur. Risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Usia > 45 tahun harus dilakukan pemeriksaan DM. 4. Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram atau riwayat

pernah menderita DM gestasional.

5. Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang lahir dengan berat badan rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan berat badan normal.

Faktor risiko yang bisa dimodifikasi: 1. Berat badan lebih (IMT > 23 kg/m2). 2. Kurangnya aktivitas fisik.

3. Hipertensi (> 140/90 mmHg).

4. Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL).

5. Diet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan risiko menderita prediabetes dan DM tipe 2.

Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes :

1. Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin.

2. Penderita sindrom metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya. Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke, PJK, atau PAD (Peripheral Arterial Diseases) (PERKENI, 2011).

2.1.4 Patofisiologi Diabetes Melitus

DM tipe 2 ditandai dengan gangguan sekresi insulin, resistensi insulin, produksi glukosa hepatik yang berlebihan, dan abnormal metabolisme lemak.

(4)

9

Obesitas, khususnya visceral atau pusat (yang dibuktikan dengan rasio pinggul/pinggang), sangat umum di DM tipe 2. Pada tahap awal gangguan, toleransi glukosa tetap mendekati normal, meskipun resistensi insulin, karena sel-sel β pankreas mengkompensasi dengan meningkatkan produksi insulin. Resistensi insulin dan kompensasi hiperinsulinemia, pankreas pada individu tertentu tidak dapat mempertahankan keadaan hiperinsulinemia. Toleransi glukosa terganggu (TGT), ditandai dengan peningkatan glukosa postprandial, kemudian berkembang. Lebih lanjut, penurunan sekresi insulin dan peningkatan produksi glukosa hepatik menyebabkan diabetes dengan hiperglikemia puasa. Akhirnya, kegagalan sel β mungkin terjadi (Powers, 2008).

2.1.5 Manifestasi Klinis Diabetes Melitus

Gejala hiperglikemia ditandai dengan poliuria, polidipsia, penurunan berat badan, kadang-kadang dengan polifagia, dan penglihatan kabur. Penurunan pertumbuhan dan kerentanan terhadap infeksi tertentu juga dapat menyertai hiperglikemia kronik. Konsekuensi dari diabetes yang tidak terkontrol yang mampu mengancam jiwa adalah hiperglikemia dengan ketoasidosis atau sindrom hiperosmolar non ketotik.

Komplikasi jangka panjang dari diabetes termasuk retinopati dengan potensi kehilangan penglihatan; nefropati menyebabkan gagal ginjal; neuropati perifer dengan risiko ulkus kaki, amputasi, dan sendi Charcot; dan neuropati otonom menyebabkan gejala gastrointestinal, urogenital, dan jantung dan disfungsi seksual . Pasien dengan diabetes memiliki peningkatan kejadian kardiovaskular aterosklerotik, arteri perifer, dan serebrovaskular penyakit. Hipertensi dan kelainan metabolisme lipoprotein sering ditemukan pada penderita diabetes (ADA, 2013).

2.1.6 Diagnosis Diabetes Melitus

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan

(5)

10

sebabnya. Keluhan lain dapat berupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

Diagnosis DM berdasarkan PERKENI (2011) dapat ditegakkan melalui tiga cara:

1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. 2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan

klasik.

3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

1. TGT

Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).

2. GDPT

Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6 – 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL.

Cara pemeriksaan TTGO (Test Toleransi Glukosa Oral) sesuai dengan PERKENI (2011).

1. Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.

(6)

11

2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.

3. Diperiksa kadar glukosa darah puasa.

4. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit. 5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2

jam setelah minum larutan glukosa selesai.

6. Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa.

7. Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok (PERKENI, 2011).

2.1.7 Penatalaksanaan Diabetes Melitus

Tujuan penatalaksanaan secara umum menurut PERKENI (2011) adalah meningkatkannya kualitas hidup penderita DM. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku. Penatalaksanaan dikenal dengan empat pilar utama pengelolaan DM, yang meliputi edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis. Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan (PERKENI, 2011).

2.1.7.1 Edukasi

DM umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi

(7)

12

pasien menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus (PERKENI, 2011).

2.1.7.2 Terapi medis gizi

Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.

Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal kabohidrat, protein, lemak, natrium, serat, dan pemanis alternatif sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut:

1. Karbohidrat : 45-65% 2. Protein : 10-20% 3. Lemak : 20 – 25 %

4. Natrium : 3000 mg atau sama dengan 6-7 g 5. Serat : ±25 g/hari

6. Pemanis alternative : Accepted Daily Intake (ADI)

Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi

(8)

13

bergantung pada beberapa faktor seperti jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan dan lain-lain (PERKENI, 2011).

2.1.7.3 Latihan Jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan (PERKENI, 2011).

2.1.7.4 Terapi farmakologis Diabetes Melitus

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.

1. Obat hipoglikemik oral

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:

a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonylurea dan glinid. b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion, c. Penghambat glukoneogenesis (metformin).

d. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa. e. DPP-IV inhibitor (PERKENI, 2011).

(9)

14

a. Pemicu Sekresi Insulin 1) Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang. Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang (PERKENI, 2011).

2) Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivate fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial (PERKENI, 2011).

b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin Tiazolidindion

Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala (PERKENI, 2011).

(10)

15

c. Penghambat glukoneogenesis Metformin

Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan (PERKENI, 2011). d. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbosetidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens (PERKENI, 2011).

e. DPP-IV inhibitor

Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormone peptida yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit 1-(9,36)-amide yang tidak aktif. Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberikan hormon asli atau analognya (analog incretin=GLP-1 agonis). Berbagai obat yang masuk golongan

(11)

16

DPP-4 inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan glukagon (PERKENI, 2011).

2. Suntikan

Suntikan yang diberikan pada pasien diabetes ada dua jenis, yaitu: a. Insulin

b. Agonis GLP-1/ incretin mimetic

a. Insulin

1) Insulin diperlukan pada keadaan: a) Penurunan berat badan yang cepat. b) Hiperglikemia berat yang disertai ketosis. c) Ketoasidosis diabetic.

d) Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik. e) Hiperglikemia dengan asidosis laktat.

f) Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal.

g) Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke). h) Kehamilan dengan DM / DM gestasional yang tidak terkendali

dengan perencanaan makan.

i) Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat.

j) Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO (PERKENI, 2011).

2) Jenis dan lama kerja insulin.

Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni: a) Insulin kerja cepat (rapid acting insulin).

b) Insulin kerja pendek (short acting insulin).

c) Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin). d) Insulin kerja panjang (long acting insulin).

e) Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin (PERKENI, 2011).

(12)

17

3) GLP-1/ incretin mimetic Efek samping terapi insulin

a) Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia. Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam bab komplikasi akut DM.

b) Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin (PERKENI, 2011).

b. Agonis GLP-1

Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat penglepasan glukagon yang diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah (PERKENI, 2011).

3. Terapi kombinasi

Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combination dalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan

(13)

18

klinis di mana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO dapat menjadi pilihan (PERKENI, 2011).

Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin (PERKENI, 2011).

2.1.8 Komplikasi Diabetes Melitus

Komplikasi diabetes terbagi menjadi 2 yaitu komplikasi akut dan kronik: 1. Komplikasi akut

Ketoasidosis Diabetik (KAD) dan Hyperglycemic Hyperosmolar State (HHS) adalah komplikasi akut diabetes (Powers, 2010). Pada Ketoasidosis Diabetik (KAD), kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan kadar hormon kontra regulator terutama epinefrin, mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan lemak. Akibatnya lipolisis meningkat, sehingga terjadi peningkatan produksi badan keton dan asam lemak secara berlebihan. Akumulasi produksi badan keton oleh sel hati dapat menyebabkan asidosis metabolik. Badan keton utama adalah asam asetoasetat (AcAc) dan 3-beta-hidroksibutirat (3HB) (Soewondo, 2009). (KAD) ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolarites plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion gap (PERKENI, 2011). Pada Hyperglycemic Hyperosmolar State (HHS), hilangnya air lebih banyak dibanding natrium menyebabkan keadaan hiperosmolar (Soewondo, 2009). Pada keadaan ini

(14)

19

terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL), plasma keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat (PERKENI, 2011).

2. Komplikasi kronik

Jika dibiarkan dan tidak dikelola dengan baik, DM akan menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati (Waspadji, 2009). Komplikasi kronik DM bisa berefek pada banyak sistem organ. Komplikasi kronik bisa dibagi menjadi dua bagian, yaitu komplikasi vaskular dan non-vaskular. Komplikasi vaskular terbagi lagi menjadi mikrovaskular (retinopati, neuropati, dan nefropati) dan makrovaskular (penyakit arteri koroner, penyakit arteri perifer, penyakit serebrovaskular). Sedangkan komplikasi non-vaskular dari DM yaitu gastroparesis, infeksi, dan perubahan kulit (Powers, 2010).

2.1.9 Pencegahan Diabetes Melitus

Menurut PERKENI (2011), pencegahan DM tipe 2 terdiri dari pencegahan primer, sekunder, dan tersier.

2.1.9.1 Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki faktor risiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi berpotensi untuk mendapat DM dan kelompok intoleransi glukosa. Materi penyuluhan meliputi antara lain sebagai berikut:

1. Program penurunan berat badan.

Pada seseorang yang mempunyai risiko diabetes dan mempunyai berat badan lebih, penurunan berat badan merupakan cara utama untuk menurunkan risiko terkena DM tipe 2 atau intoleransi glukosa. Beberapa penelitian menunjukkan penurunan berat badan 5-10% dapat mencegah atau memperlambat munculnya DM tipe 2.

(15)

20

2. Diet sehat.

a. Dianjurkan diberikan pada setiap orang yang mempunyai risiko. b. Jumlah asupan kalori ditujukan untuk mencapai berat badan ideal. c. Karbohidrat kompleks merupakan pilihan dan diberikan secara terbagi

dan seimbang sehingga tidak menimbulkan puncak (peak) glukosa darah yang tinggi setelah makan.

d. Mengandung sedikit lemak jenuh, dan tinggi serat larut. 3. Latihan jasmani.

a. Latihan jasmani teratur dapat memperbaiki kendali glukosa darah, mempertahankan atau menurunkan berat badan, serta dapat meningkatkan kadar kolesterol HDL.

b. Latihan jasmani yang dianjurkan dikerjakan sedikitnya selama 150 menit/minggu dengan latihan aerobik sedang (mencapai 50-70% denyut jantung maksimal), atau 90 menit/minggu dengan latihan aerobic berat (mencapai denyut jantung > 70% maksimal). Latihan jasmani dibagi menjadi 3-4 x aktivitas/minggu.

4. Menghentikan merokok.

Merokok merupakan salah satu risiko timbulnya gangguan kardiovaskular. Meskipun merokok tidak berkaitan secara langsung dengan timbulnya intoleransi glukosa, tetapi merokok dapat memperberat komplikasi kardiovaskular dari intoleransi glukosa dan DM tipe 2 (PERKENI, 2011).

2.1.9.2 Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Dilakukan dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. Dalam upaya pencegahan sekunder program penyuluhan memegang peran penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani program pengobatan dan dalam menuju perilaku sehat. Untuk pencegahan sekunder ditujukan terutama pada pasien baru.

(16)

21

Salah satu penyulit DM yang sering terjadi adalah penyakit kardiovaskular, yang merupakan penyebab utama kematian pada penyandang diabetes. Selain pengobatan terhadap tingginya kadar glukosa darah, pengendalian berat badan, tekanan darah, profil lipid dalam darah serta pemberian antiplatelet dapat menurunkan risiko timbulnya kelainan kardiovaskular pada penyandang diabetes (PERKENI, 2011).

2.1.9.3 Pencegahan tersier

Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan menetap. Sebagai contoh aspirin dosis rendah (80-325 mg/hari) dapat diberikan secara rutin bagi penyandang diabetes yang sudah mempunyai penyulit makroangiopati. Pada upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada pasien dan keluarga. Materi penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal.

Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan holistic dan terintegrasi antar disiplin yang terkait, terutama di rumah sakit rujukan. Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai disiplin seperti jantung dan ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi, podiatris dan lain-lain sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan pencegahan tersier (PERKENI, 2011).

2.2 Kualitas Hidup

2.2.1 Definisi Kualitas Hidup

Kualitas hidup (Quality of life / QOL) adalah persepsi individu terhadap posisi mereka dalam kehidupan dalam kontek budaya dan nilai dimana mereka hidup dan dalam hubungannya dengan tujuan hidup, harapan, standar dan perhatian. Hal ini merupkan konsep yang luas yang mempengaruhi kesehatan fisik seseorang, keadaan psikologis, tingkat tergantungan, hubungan sosial, keyakinan

(17)

22

personal dan hubungan dengan keinginan di masa yang akan datang terhadap lingkungan mereka (WHO dalam Issa dan Baiyewu, 2006).

2.2.2 Aspek-aspek Kualitas Hidup

Menurut World Health Organization Quality Of Life (WHOQOL) kualitas hidup memiliki enam aspek yaitu kesehatan fisik, kesejahteraan psikologis, tingkat kemandirian, hubungan sosial, hubungan dengan lingkungan, dan keadaan spiritual (WHO, 2004).

Konsep kualitas hidup meliputi beberapa aspek yaitu: 1. Kesehatan fisik

Yang menyangkut kemampuan: a. Energi dan kelelahan

b. Rasa nyeri dan ketidaknyamanan c. Pola tidur dan istirahat

2. Psikologis

Yang menyangkut faktor :

a. Penampilan dan gambaran diri (body image) b. Perasaan negatif

c. Perasaan positif d. Konsep diri

e. Proses pikir belajar, daya ingat dan konsentrasi 3. Tingkat kemandirian

Yang menyangkut: a. Mobilitas

b. Kegiatan hidup sehari-hari

c. Ketergantungan pada substansi obat dan bantuan medis d. Kemampuan kerja

4. Hubungan Sosial

Yang menyangkut faktor : a. Hubungan personal b. Dukungan sosial

(18)

23

c. Aktifitas seksual 5. Aspek lingkungan

Yang menyangkut masalah: a. Kemampuan finansial

b. Kebebasan, rasa aman dan keselamatan secara psikis c. Ketersediaan dan kualitas pelayanan kesehatan dan sosial d. Lingkungan rumah

e. Kesempatan mendapat informasi baru dan ketrampilan f. Peran serta dalam aktifitas rekreasional

g. Lingkungan fisik (polusi, aturan hukum, iklim, dan kebisingan) h. Transportasi

6. Spiritual / Agama / Personal keyakinan Yang menyangkut faktor:

a. Spiritual, agama dan personal keyakinan (WHO, 2004).

WHOQOL ini kemudian dibuat lagi menjadi instrument World Health

Organization Quality of Life Bref (WHOQoL–BREF) dimana enam aspek

tersebut dipersempit menjadi empat aspek yaitu kesehatan fisik, kesejahteraan psikologis, hubungan sosial dan hubungan dengan lingkungan (WHO, 2004).

2.2.3 Pengukuran Kualitas Hidup

Instrumen yang digunakan untuk mengukur kualitas hidup pasien DM adalah (World Health Organization Quality of Life) WHOQOL-BREF dari (World Health Organization) WHO, yang meliputi 4 aspek kualitas hidup, yaitu kesehatan fisik, kesehatan mental, hubungan sosial, dan lingkungan. Kualitas hidup diukur dengan mengacu kuesioner (WHOQOL-BREF) yang terdiri dari 26 pertanyaan. WHOQOL-BREF telah terbukti untuk menampilkan validitas diskriminan, validitas isi dan reliabilitas test-retest yang baik (WHO, 2004). Pada saat ini di Indonesia sudah dilakukan penyesuaian WHOQOL-BREF dalam versi Indonesia (WHO, 2004).

(19)

24

2.2.4 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kualitas Hidup Pada Diabetes Melitus Tipe 2

Penatalaksanaan DM secara umumnya dapat meningkatkan kualitas hidup penyandang DM (PERKENI, 2011). Tetapi terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas hidup. Faktor-faktor tersebut perlu diberi perhatian oleh pengasuh dan dokter mengelola pasien DM (Isa dan Baiyuwe, 2006). Berikut ini adalah beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien DM :

1. Usia

Umur ternyata merupakan salah satu faktor yang bersifat mandiri dalam pengaruhnya terhadap perubahan toleransi tubuh terhadap glukosa. Umumnya diabetes orang dewasa hampir 90% masuk DM tipe 2 (Rochmah, 2009). Menurut Undang-Undang No 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia menetapkan, bahwa batas umur lansia di Indonesia adalah 60 tahun ke atas (Kemenkes RI, 2013). Manakala, World Health Organization (WHO) menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu usia pertengahan (middle age) 45 -59 tahun, lanjut usia (elderly) 60 -74 tahun, lanjut usia tua (old) 75 – 90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun (WHO, 2015).

2. Jenis kelamin

Proporsi penderita DM lebih tinggi pada wanita jika dibandingkan dari laki-laki (Riskesdas, 2011). Dalam penelitian Isa dan Baiyewu (2007), memperlihatkan sosiodemografi (salah satunya jenis kelamin) mempengaruhi kualitas hidup pasien. Proporsi penderita DM lebih tinggi pada wanita jika dibandingkan dari laki-laki (Riskesdas, 2011).

3. Tingkat pendidikan

Menurut tingkat pendidikan proporsi penderita DM cenderung tinggi pada kelompok dengan pendidikan yang rendah (Riskesdas, 2011).

4. Pekerjaan

Menurut jenis pekerjaan proporsi penderita DM terendah adalah pada pegawai diikuti petani, nelayan, wiraswasta dan tidak bekerja. Proporsi tertinggi pada pekerjaan lainnya (Riskesdas, 2011).

(20)

25

5. Status sosialekonomi

Menurut Isa dan Baiyewu (2006), pendapatan yang rendah, tingkat pendidikan yang kurang berhubungan secara bermakna dengan kualitas hidup penderita DM.

6. Status pernikahan

Menurut penelitian Cornelis et al.(2012), prevalensi DM adalah lebih tinggi pada orang yang sudah menikah atau bercerai. Peningkatan risiko pada mereka mungkin disebabkan oleh perubahan gaya hidup, diet dan adipositas.

7. Lama menderita Diabetes Melitus tipe 2

Resiko terjadinya komplikasi pada penderita DM dikaitkan dengan lamanya menderita DM. Faktor utama pencetus komplikasi pada pasien DM adalah lama dan tingkat keparahan DM (PERKENI, 2011). Menurut penelitian Spasic et al.(2014), responden dikelompokkan dalam tiga kelompok berdasarkan lama menderita DM yaitu ≤ 10 tahun, diantara 11 hingga 15 tahun dan ≥ 15 tahun. Jadi dari hasil penelitian tersebut, didapati pasien DM yang lama menderita kurang dari 10 tahun mempunyai kualitas hidup yang baik.

Referensi

Dokumen terkait

Another contribution is the observation of bottom up processes to rewrite manuals execute reform while the dynamic capability literature tended to conclude the importance of top

pintoi sebagai biomulsa memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan pertumbuhan (tinggi tanaman dan jumlah ruas) dan hasil produksi cabai merah keriting

Faktor dari luar diri murid yang mempengaruhi hasil belajar dia antaranya adalah lingkungan fisik dan non fisik (termasuk suasana kelas dalam belajar, seperti riang

Selanjutnya, penelitian oleh Supriadin (2016) dengan judul Identifikasi Penggunaan Kosakata Baku dalam Wacana Bahasa Indonesia pada Siswa Kelas VII di SMP Negeri

rumah sakit Islam, upaya tersebut dapat diasumsikan bahwa kegiatan spiritual itulah yang dapat mempengaruhi total quality service, sehingga pasien dapat merasakan

variabel time budget pressuremempunyai pengaruh terhadap perilaku disfungsional auditor.Dalam penelitian ini mengenai time budget pressure dapat dikatakan bahwa

Umayyah melanjutkan: Demi Allah, Muhammad tidak pernah berbohong apabila berbicara; maka diapun kembali pulang kepada istrinya, lalu berkata kepadanya: Apakah engkau