• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Gubernur Jenderal Raffles (Soekmono, 1976). tahun 800 AD tersebut dibangun dengan semangat tinggi tanpa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Gubernur Jenderal Raffles (Soekmono, 1976). tahun 800 AD tersebut dibangun dengan semangat tinggi tanpa"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Pariwisata di Indonesia menjadi terkenal di dunia internasional, karena memiliki kekayaan budaya yang luar biasa baik jumlah maupun ragamnya, salah satu di antaranya adalah bangunan Candi Budha yang merupakan warisan dunia. Candi tersebut merupakan salah satu candi yang dibangun sekitar abad ke-8 oleh Wangsa Syailendra, yang diberi nama Borobudur. Candi tersebut terletak di Desa Bumisegoro, ditemukan pada tahun 1814, saat Pulau Jawa di bawah kekuasaan Gubernur Jenderal Raffles (Soekmono, 1976).

Borobudur bukan hanya hasil karya masyarakat Jawa kuno tetapi juga merupakan gambaran sejarah masyarakat Jawa. Bangunan ini disusun oleh lebih dari satu juta blok batuan yang diambil dari sungai yang kemudian dipotong dan dipahat dengan sangat artistik. Hasil karya dari masyarakat Jawa pada sekitar tahun 800 AD tersebut dibangun dengan semangat tinggi tanpa mempertimbangkan keuntungan ekonomi (Miksic, 1991). Sementara Casparis 1950, menjelaskan bahwa Borobudur merupakan bangunan suci yang dibangun sebagai tempat peribadatan, karena itu dalam pembangunannya tidak dilakukan di sembarang tempat tetapi tetap memperhatikan kondisi lingkungannya.

Keistimewaan Candi Borobudur tidak hanya keindahan bentuknya, tetapi juga berbagai relief yang dipahat di dinding candi dan dinding langkan pada

(2)

25

lorong-lorong, yang menurut Soekmono (1976) luasnya mencapai 2500 meter persegi. Oleh karena itu, relief yang terdapat pada bangunan Candi Borobudur merupakan data yang perlu dikaji, misalnya yang terkait dengan kondisi lingkungan candi dan aktivitas manusia pada masa lalu (Atmodusiro, dkk 2008). Pendapat itu memperkuat asumsi Bernet Kampers (1973) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang erat antara ungkapan dalam relief dengan gambaran kehidupan yang ada pada waktu sekarang.

Bangunan Candi Borobudur terletak di sebuah bukit yang dikelilingi oleh dataran rendah. Dataran rendah tersebut dibatasi oleh pegunungan di sisi selatan, memanjang arah timur-barat sekitar 20 Km dengan deretan puncak-puncaknya yang menyerupai bentuk menara yang disebut Pegunungan Menoreh. Gunungapi yang terdapat di sekitar kawasan Borobudur mengakibatkan bangunan candi dan alam sekitarnya mempunyai nilai seni arsitektur yang sangat tinggi, karena candi ini dibangun di daerah yang mempunyai keindahan panorama alamnya. Hal ini menunjukkan bahwa nenek moyang masyarakat Pulau Jawa saat itu sudah mempunyai wawasan, perencanaan, dan karya seni yang tinggi.

Di dataran Borobudur terdapat tiga buah bangunan candi Budha, yaitu Candi Mendut, Candi Pawon, dan Candi Borobudur dibangun pada satu garis lurus dengan arah barat-timur dengan jarak masing-masing sekitar 1,5 km dengan Candi Pawon terletak di tengahnya. Menurut cerita rakyat pada zaman dahulu ketiga candi tersebut dihubungkan satu sama lain melalui satu jalan lurus yang dipakai untuk upacara keagamaan. Jalan tersebut diperkeras dengan batu-batu dan diapit dengan pagar langkan yang dihiasi dengan ukiran-ukiran. Namun, dari

(3)

26

penelitian yang pernah dilakukan, baik di darat maupun dari udara tidak berhasil mendapatkan bukti-bukti yang meyakinkan mengenai keberadaan jalan lurus penghubung saat prosesi upacara keagamaan (Joesoef, 2004).

Berdasarkan hipotesis seorang seniman Belanda Nieuwenkamp (1933) yang menyatakan bahwa Candi Borobudur dibangun di atas sebuah pulau yang dikelilingi oleh telaga, diibaratkan menyerupai ceplok bunga teratai dengan daun dan bunganya mengelilingi bakal buah yang terletak di tengah kolam. Hipotesis tersebut diperkuat dengan beberapa nama desa atau dusun di sekitar Candi Borobudur yang erat hubungannya dengan lingkungan air meskipun beberapa nama ada penafsiran berdasarkan skenario Budha. Nama-nama yang dapat ditafsirkan berdasarkan lingkungan air antara lain : Dusun Sabrangrowo (sabrang = seberang, rowo = rawa artinya untuk mencapai daerah tersebut harus menyeberangi rawa), Desa Bumisegoro (bumi = daratan, segoro = laut artinya daratan yang dikelilingi perairan), Dusun Gopalan (Go = singkatan dari nganggo = memakai, palan = kapal artinya keluar atau masuk desa tersebut memakai kapal/sampan), Desa Tanjung (tanjung = daratan yang menjorok ke lingkungan danau) dan Dusun Teluk (teluk = perairan yang masuk ke daratan).

Berdasarkan tinjauan geologi dan geomorfologi Bukit Borobudur yang dikelilingi bentuklahan dataran, merupakan bagian dari Kubah Kulonprogo “Menoreh” yang terpatahkan, kemudian mengalami proses penenggelaman pada akhir zaman Tersier (Bemmelen, 1949). Pada zaman Kuarter di sekitar bagian yang terpatahkan, tumbuh beberapa gunungapi muda, di antaranya Gunungapi Sumbing, Gunungapi Sindoro di sisi barat laut, Gunungapi Tidar di sisi utara,

(4)

27

Gunungapi Andong, Gunungapi Telomoyo, Gunungapi Merbabu dan Gunungapi Merapi di sisi timur-timur laut. Bagian yang terpatahkan, kemudian dikelilingi Pegunungan Menoreh dan gunungapi, membentuk sebuah cekungan antargunung “intermountainous basin” berumur Kuarter yang disebut dengan Danau Purba Borobudur (Murwanto, 1996). Candi Borobudur dibangun di atas Perbukitan Gunung Gandul-Sipodang, merupakan bagian puncak dari batuan vulkanik Tersier Kubah Kulonprogo yang terpatahkan (Nossin dan Voute, 1986).

Pergerakan lempeng tektonik berperan terhadap terbentuknya cekungan sedimentasi kuarter yang nantinya akan membentuk lingkungan danau. Lempeng Samudra Hindia-Australia bergerak ke arah utara dengan kecepatan + 7,8 cm/tahun (Minster dan Jordan, 1978 dalam Ghose dan Oike, 1988 dalam Prasetyadi, 2007), kemudian menyusup di bawah kerak benua Asia bagian tenggara “Sunda Land”. Proses tumbukan lempeng mengakibatkan terbentuknya busur gunungapi, busur palung sebagai tempat menyusupnya lempeng samudra, busur cekungan sedimentasi yang terbentuk baik di busur depan maupun belakang dari busur gunungapi.

Produk awal tumbukan lempeng di Pulau Jawa, menghasilkan busur gunungapi tua yang berumur Tersier atau kala Oligo-Miosen (18-27 juta tahun), dikenal dengan nama Formasi Andesit Tua “Old Andesite Formation” (Bemmelen, 1949). Cekungan sedimentasi yang terbentuk pada saat itu, adalah cekungan-cekungan sedimentasi yang ada di busur belakang dari busur gunungapi yang meliputi; busur Cekungan Kendeng atau Cekungan Serayu Utara di Jawa bagian tengah. Kala Miosen ketika kompleks gunungapi mulai tidak aktif, pada

(5)

28

tubuh gunungapi yang terdapat di laut dangkal di atasnya ditumbuhi terumbu karang. Gunungapi yang terdapat di laut lepas, di atasnya terendapkan batu gamping klastik berukuran pasir lempungan berselang-seling dengan napal, membentuk Formasi Jonggrangan (Miosen Awal) dan Formasi Sentolo berumur lebih muda, yaitu pada kala Miosen Awal-Pliosen (Kadar, 1975).

Proses tumbukan lempeng tektonik yang terus berlangsung mengakibatkan peningkatan gaya kompresi, akibatnya kompleks Gunungapi Kulonprogo beserta sedimen-sedimen marin yang terendapkan di atasnya, yakni Formasi Jonggrangan dan Formasi Sentolo mengalami proses perlipatan, pengangkatan, dan persesaran yang diikuti oleh aktivitas magmatik menghasilkan Formasi Peniron, membentuk perbukitan lava di sekitar Kaliangkrik dan Salaman, Perbukitan Gendol dan Sari di tenggara Muntilan. Aktivitas magmatik tersebut mengintrusi batuan-batuan yang lebih tua seperti Formasi Andesit Tua, Formasi Jonggrangan, dan Formasi Sentolo.

Setelah puncak gaya kompresi akibat proses tektonik lempeng terlampaui, maka pada kala Plistosen struktur sesar geser, sesar naik, kekar gerus maupun kekar tarikan yang terbentuk pada saat gaya kompresi berlangsung, akan mengalami proses peregangan “release”. Akibatnya, gaya gravitasi menjadi lebih berperan mengakibatkan terbentuknya struktur terban “graben” dan struktur sesar normal bertingkat. Di Jawa bagian tengah peristiwa tersebut terjadi di ujung bagian utara Kubah Kulonprogo, yaitu blok di bagian utara kubah mengalami proses penenggelaman terhadap blok di bagian selatannya, membentuk dinding terjal memanjang timur-barat sekitar 20 km. Blok bagian utara yang tenggelam

(6)

29

sebagian terletak di bawah muka air laut, sedangkan bagian puncak dari blok yang tenggelam muncul di atas permukaan laut membentuk pulau-pulau terisolasi. Pulau terisolasi tersebut seperti Perbukitan Gendol, Sari, Pring, dan Semenanjung Borobudur. Proses penenggelaman bagian utara dari struktur Kubah Kulonprogo dan Pegunungan Menoreh pada kala Plistosen Akhir atau awal Kuarter merupakan peristiwa awal terbentuknya Cekungan Borobudur.

Pada pertengahan zaman Kuarter, hubungan ke utara Cekungan Borobudur dengan Laut Jawa tertutup secara total, akibat Cekungan Kendeng mengalami proses perlipatan, pengangkatan, pensesaran diikuti aktivitas magmatik. Proses tersebut masih berlangsung sampai sekarang, sehingga membentuk jalur Pegunungan Kendeng dan Pegunungan Kendeng Utara. Aktivitas magmatik diawali dengan terbentuknya Bukit Tidar di Kota Magelang, Bukit Puser di sebelah utara Secang, Gunungapi Condong di daerah Windusari, Gunungapi Bibi di daerah Boyolali, baru kemudian diikuti oleh munculnya Gunungapi Andong, Gunungapi Gilipetung, dan Gunungapi Telomoyo. Di akhir zaman Kuarter (Plistosen Akhir – Resen) baru muncul gunungapi muda dengan ukuran besar dan tinggi, bertipe stratovulkan, seperti: Gunungapi Merbabu, Gunungapi Sindoro, Gunungapi Sumbing, dan terakhir Gunungapi Merapi (lihat Gambar 1.1). Seiring dengan laju pertumbuhan dan aktivitas gunungapi muda yang semakin tinggi, besar dan luas, maka mengakibatkan terbendungnya alur-alur sungai yang mengalir menuju Samudra Hindia. Terbendungnya alur-alur sungai oleh material gunungapi tersebut membentuk genangan yang luas pada Cekungan Borobudur yang selanjutnya disebut dengan “Danau Borobudur”.

(7)

30

Bukti aktivitas Gunungapi Merapi purba adalah adanya Bukit Plawangan dan Bukit Turgo yang terbentuk pada 40.000-20.000 tahun yang lalu (Berthommier, 1990) (lihat Tabel 1.1). Produk letusannya sebagian besar terendapkan di lereng selatan dan barat daya, kemudian akan terbawa oleh aliran sungai sebagai endapan baik fluviovulkanik maupun endapan lahar hujan, selanjutnya terendapkan di wilayah Muntilan atau bagian tenggara dari Danau Purba Borobudur dan juga terendapkan sangat tebal menutup Terban Bantul (Bantul Graben).

Gambar 1.1. Persebaran Gunungapi di Sekitar Dataran Borobudur (Sumber: DEM Citra ASTER, 2011)

Peristiwa letusan Gunungapi Merapi purba pada periode 40-20 ribu tahun lalu mengakibatkan hubungan Danau Borobudur dengan Samudra Hindia menjadi

Gunungapi Merapi Gunungapi Merbabu Gunungapi Sindoro Gunungapi Sumbing Bukit Tidar Bukit Condong Dataran Borobudur Gunungapi Telomoyo Pegunungan Menoreh

(8)

31

terputus atau tertutup, akibatnya terjadi perubahan lingkungan di Danau Borobudur, dari lingkungan laguna berubah menjadi lingkungan danau di penghujung kala Plistosen ±22.000 tahun lalu (Murwanto, dkk, 2001).

Tabel 1.1. Data geokronologi letusan Gunungapi Merapi

Umur Material Lokasi Metode Laboratorium

440 + 300 Arang Kinahrejo 14C Bondy No. 518

570 + 340 Arang Kinahrejo 14C Bondy No. 298

580 + 140 Arang Plawangan 14C Gif sur Yvette

No. 6405 1470 + 140 Arang Jurangjero 14C Gif sur Yvette

No. 7626 2220 + 160 Arang Jurangjero 14C Gif sur Yvette

No. 7624 Maks 6.700,

Perkiraan < 5.000

Andesit Banjarejo 230Th/238U Clerdmont-Ferrand 14.000 + 6.000 Endapan

Awan Panas

Wringin 230Th/238U Clerdmont-Ferrand 16.000 + 5000 Breksi Sungai

Senowo

230Th/238U Clerdmont-Ferrand 40.000 + 18.000 –

15.000

Basaltik Plawangan 230Th/238U Clerdmont-Ferrand 670.000 + 250.000 Andesit Basaltik Gunung Bibi K/Ar Clerdmont-Ferrand Sumber : Berthommier, 1990

Lingkungan danau yang terbentuk sejak 22 ribu tahun lalu, meninggalkan jejak berupa endapan batulempung berwarna hitam kecoklatan mengandung karbon organik tinggi (lihat Gambar 1.2). Batulempung hitam tersebut di dalamnya terkandung serbuk sari dari tanaman air seperti rumput rawa, bakung, teratai, dan bunga terompet.

Suasana tenang dan keindahan alam di sekitar Candi Borobudur dapat dinikmati antara 1 sampai 2 abad setelah selesai dibangun, karena pada waktu itu

(9)

32

Danau Borobudur dilanda bencana gempabumi tektonik dan erupsi gunungapi. Bencana gempabumi tektonik yang sangat kuat, memicu terjadinya erupsi beruntun Gunungapi Sumbing, Gunungapi Merapi, dan Gunungapi Sindoro di Jawa Bagian Tengah. Sebagian besar material hasil letusannya, baik yang primer berupa hujan abu-lapili ’tepra’, maupun yang bersifat sekunder berupa banjir lahar hujan, terendapkan di Danau Purba Borobudur (Murwanto, 1996).

Gambar 1.2. (A) Endapan lempung hitam pada tebing Sungai Sileng, (B) Endapan lempung hitam pada alur Sungai Sileng di Desa Candirejo

(Sumber: Peneliti, 2012)

Akibat dari erupsi gunungapi tersebut, lingkungan danau yang terbentuk lambat laun menjadi kering karena tertimbun oleh material hasil erupsi gunungapi muda yang tebalnya mencapai 8-12 meter. Erupsi beberapa gunungapi muda di abad ke 11 sampai abad ke 13 tersebut telah mengubah Danau Borobudur menjadi dataran aluvial yang disebut dengan Dataran Borobudur. Dataran Borobudur sekarang telah berkembang menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Magelang dan pusat perekonomian Kecamatan Borobudur dengan berbagai sarana dan prasarana pendukungnya.

Peristiwa terjadinya gempabumi tektonik yang sangat kuat didukung oleh prasasti Pucangan (Calcuta) pada masa kerajaan Dharmawangsa dalam prasasti itu

(10)

33

disebutkan terjadinya pralaya. “ri kālaning pralāya ring yawadwipa i rikāng sakakāla 938 ri prahara haji wurawari masö mijil sangke lwaram, ekarnawa rūpanikāng sayawadwipa rikāng kāla” diterbitkan oleh H. Kern yang artinya kurang lebih ketika terjadinya pralaya di Pulau Jawa pada tahun 938 Saka dari prahara Haji Wurawari ketika ia keluar dari Lwaram, seperti sebuah lautan keadaan seluruh Pulau Jawa pada saat itu. Keterangan ini memberi kesan bahwa Kerajaan Dharmawangsa ini dimusnahkan oleh Raja Wurawari (Kartodirjo, dkk., 1977). Dari sudut pandang ilmu kebumian, maka dapat ditafsirkan bahwa pralaya tersebut adalah bencana alam tsunami yang erat hubungannya dengan gempabumi tektonik yang sangat kuat. Pralaya 938 Saka atau 1016 Masehi mengakibatkan raja beserta rakyat dan para pembesar negara tewas, saat pesta perkawinan putrinya dengan Erlangga, sedangkan Erlangga lari menyelamatkan diri ke hutan dan gunung bersama Narotama dan para pertapa (Kartodirjo, dkk., 1977).

Peristiwa gempabumi tektonik kuat yang merusak situs-situs candi Hindu dan candi Budha kemudian disusul letusan Gunungapi Sumbing, Gunungapi Sindoro, dan Gunungapi Merapi mengkibatkan tertimbunnya beberapa situs dan berubahnya lingkungan danau menjadi bentuklahan dataran sebagai contoh sebagian besar bangunan candi di wilayah Jawa Tengah pertama kali ditemukan dalam keadaan rusak atau runtuh berserakan akibat goncangan gempa tektonik, bangunan – bangunan candi tersebut kemudian sebagian tertimbun oleh material hasilusan gunung berapi yang berupa aliran piroklastik dan banjir lahar hujan. Situs-situs yang tertimbun material letusan gunungapi diantaranya Candi Karangnongko, Candi Kedolan, Candi Sambisari, Candi Kimpulan, Candi Losari,

(11)

34

Candi Kajangkoso ditemukan tertimbun material hasil letusan Gunungapi Merapi dan komplek Candi Liyangan yang tertimbun hasil letusan Gunungapi Sindoro. Peristiwa ini menurut penulis mangakibatkan terjadinya eksodus besar-besaran masyarakat Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke wilayah Jawa bagian timur.

Jejak Danau Borobudur sangat menarik untuk diteliti, dan dibuktikan secara ilmiah tentang proses pembentukan danau dan proses perubahan menjadi dataran. Dalam mengungkap jejak Danau Borobudur ini dilakukan dengan penelitian dalam bidang geografi khususnya geografi fisik dengan pendekatan geologi dan geomorfologi. Kajian geomorfologi dapat membantu mengungkap keberadaan Danau Borobudur karena setiap proses geomorfik akan meninggalkan bekas yang nyata pada bentuklahannya sesuai dengan karakteristik bentuklahan tersebut. Bekas yang ditinggalkan oleh danau meliputi; (1) sedimen, (2) teras danau, (3) pola aliran, (4) garis pantai danau, dan (5) fosil tumbuhan.

Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak danau, yang sebagian besar mengalami permasalahan berupa pendangkalan danau. Perubahan bentuklahan tubuh perairan berupa danau menjadi bentuklahan dataran dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti aktivitas tektonik, aktivitas vulkanik, gerakan tanah atau perubahan iklim. Pada awalnya dataran Borobudur yang berupa danau dapat terbentuk menjadi dataran, dengan adanya perubahan bentuklahan yaitu proses pendangkalan danau. Pendangkalan danau secara umum disebabkan oleh berbagai faktor baik oleh alam maupun aktivitas manusia. Di antara faktor alam itu adalah gerakan tanah pada suatu kawasan mampu

(12)

35

mendangkalkan danau, dan letusan gunungapi yang juga mampu mengubah lingkungan danau menjadi bentuklahan dataran.

Berbagai penyebab perubahan lingkungan danau menjadi bentuklahan dataran ini perlu dikaji lebih lanjut dinamika perubahannya. Aktivitas tektonik, gunungapi dan degradasi lahan secara bersama-sama dimungkinkan dapat mengubah keberadaan danau Borobudur menjadi bentuklahan dataran. Perubahan bentuklahan tersebut berpengaruh terhadap aktivitas manusia. Berbagai fenomena masa sekarang dipengaruhi dari fenomena masa lampau, maka perlu kajian lebih lanjut tentang rekonstruksi keberadaan lingkungan danau masa lampau hingga menjadi bentuklahan dataran seperti sekarang perlu dilakukan. Rekonstruksi lingkungan danau tersebut dilakukan dengan mengkaji kondisi geomorfologi masa lalu atau paleogeomorfologi. Rekonstruksi ini penting dilakukan untuk membantu mengembangkan keilmuan di bidang geomorfologi terutama geomorfologi masa lampau atau paleogeomorfologi.

Paleogeomorfologi adalah bagian dari ilmu geomorfologi yang mempelajari tentang kondisi bentuklahan di masa lampau yang saat ini kondisinya telah tertimbun atau tertutup, seperti yang terjadi di dataran Borobudur. Adapun batasan paleogeomorfologi dari penelitian ini adalah hanya pada keberadaan Danau Purba Borobudur, proses pendangkalannya, hingga sekarang. Sedangkan untuk geomorfologi sebelum terbentuknya danau tidak dibahas dalam penelitian ini. Pembuktian mengenai pendangkalan danau ini dapat dilakukan dengan mengidentifikasi batuan dan fosil sehingga diketahui proses dan waktu perkembangannya. Data tersebut dapat digunakan untuk merekonstruksi

(13)

36

perkembangan bentuklahan. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka pendekatan paleogeomorfologi dapat membantu dan dipilih sebagai alat untuk membedah dan menyelesaikan permasalahan dalam penelitian ini.

1.2. Permasalahan

Bertitiktolak dari hipotesis Nieuwenkamp (1933), yang menggambarkan Candi Borobudur diibaratkan sebagai ceplok bunga teratai yang terletak di tengah-tengah kolam. Kolam itu tampaknya dimaksudkan sebagai gambaran lingkungan air, yakni lingkungan danau. Oleh karena itu fakta alam, danau tersebut sekarang sudah berupa bentuklahan dataran yang terletak di sekeliling Candi Borobudur. Hipotesis tersebut kedengarannya sangat fantastis, sehingga mendapatkan baik tentangan maupun dukungan dari para ahli. Salah satu penentangnya adalah van Erp pemugar Candi Borobudur pada tahun 1907 hingga 1911.

Hipotesis tentang danau dianggap tidak mempunyai bukti-bukti pendukung yang kuat, karena tidak ada prasasti-prasasti yang menyebutkan lingkungan danau di sekitar Candi Borobudur (Soekmono, 1976). Van Bemmelen (1952) menjelaskan bahwa hipotesis Nieuwenkamp (1933) masuk akal, karena daerah Kedu bagian selatan dahulu pernah terbentuk lingkungan danau yang luas. Lingkungan danau terbentuk akibat letusan kuat Gunungapi Merapi di tahun 1006 Masehi. Letusan kuat tersebut mengakibatkan bagian puncaknya longsor ke arah baratdaya, material longsorannya tertahan oleh Pegunungan Menoreh dan membendung Sungai Progo, serta membentuk bukit-bukit lipatan “Perbukitan Gendol” yang terletak + 5 km di sebelah tenggara Kota Muntilan. Tanggapan

(14)

37

terhadap hipotesis Nieuwenkamp tersebut menjadi masalah yang menarik di dalam penelitian ini.

Berdasarkan cerita rakyat pada zaman dahulu Candi Mendut, Candi Pawon, dan Candi Borobudur dihubungkan oleh satu jalan lurus yang digunakan untuk upacara keagamaan masa lalu, bilamana lingkungan danau di sekitar candi Borobudur masih berlangsung maka muncul pertanyaan penelitian sebagai berikut.

1. Mengapa ekosistem Danau Borobudur berubah menjadi bentuklahan dataran lakustrin.

2. Bagaimana perubahan spasiotemporal ekosistem danau.

3. Bagaimana dinamika sungai-sungai setelah ekosistem danau berubah menjadi bentuklahan dataran lakustrin.

4. Bagaimana hubungan antara ekosistem danau dengan “jalan lurus” yang menghubungkan Candi Mendut, Candi Pawon, dan Candi Borobudur. 5. Bagaimana pengaruh ekosistem Danau Borobudur setelah berubah

menjadi dataran lakustrin terhadap aktivitas manusia di masa kini.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan penelitian tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk;

1. mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan perubahan ekosistem danau menjadi bentuklahan dataran lakustrin berdasarkan pendekatan paleogeomorfologi;

(15)

38

2. mengkaji perubahan spasiotemporal ekosistem Danau Borobudur;

3. mengkaji dinamika sungai yang bermuara di Danau Borobudur, serta pola aliran dan tingkat perkembangan sungai setelah ekosistem danau menjadi dataran;

4. mengkaji keberadaan jalan lurus di masa lalu sebagai penghubung antara Candi Borobudur, Candi Pawon dan Candi Mendut;

5. menganalisis pengaruh ekosistem Danau Borobudur terhadap aktivitas manusia masa kini.

1.4. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan tersebut, maka hasil penelitian diharapkan dapat : a) menemukenali keberadaan danau di masa lalu,

b) memberikan gambaran paleogeomorfologi tentang dinamika ekosistem danau di sekitar Candi Borobudur yang sampai sekarang masih menjadi perdebatan para ahli dari berbagai disiplin ilmu,

c) menemukenali jejak lingkungan danau di sekitar Candi Borobudur yang dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata pendukung Candi Borobudur, diharapkan wisatawan dapat memperoleh gambaran dan memahami hubungan antara Candi Borobudur dengan alam sekitarnya di masa lalu secara utuh,

d) menumbuhkan rasa bangga terhadap generasi mendatang akan peninggalan sejarah kebudayaan di masa lalu, dapat menumbuhkan rasa

(16)

39

cinta terhadap warisan budaya bangsa sekaligus meningkatkan jiwa nasionalisme,

e) mengembangkan ilmu geografi kaitannya dengan studi geomorfologi, f) membantu pemerintah dalam melaksanakan pembangunan nasional. g) memberikan informasi geodiversitas untuk mendukung/menambah

atraksi obyek wisata Borobudur. 1.5. Batasan Penelitian

Penelitian ini mengkaji tentang keberadaan lingkungan Danau Borobudur dengan pendekatan paleogeomorfologi. Secara administrasi daerah penelitian terletak di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Kawasan Borobudur dulunya merupakan lingkungan danau, sekarang telah mengalami perubahan menjadi bentuklahan dataran lakustrin. Perubahan bentuklahan ini akan diteliti mulai dari penyebab hingga proses pendangkalannya. Dalam melaksanakan penelitian dilakukan dengan pendekatan geomorfologi masa lalu (paleogeomorfologi). Penelitian paleogeomorfologi merupakan bagian dari ilmu geomorfologi yang terdiri atas berbagai unsur, meliputi morfologi, morfogenesis, morfokronologi, dan morfoaransemen. Untuk memenuhi berbagai unsur tersebut maka perlu didukung data yang terkait seperti data iklim, geologi, hidrologi, arkeologi, dan biologi.

Penelitian ini juga mengkaji ekosistem danau dan dinamika keruangannya dari waktu ke waktu. Kajian mengenai tingkat perkembangan sungai terbatas pada sungai yang terindikasi bermuara di Danau Borobudur. Hasil kajian data geomorfologi ini selanjutnya dikaitkan dengan aktivitas manusia masa kini dan

(17)

40

mengkaitkan dengan aktivitas manusia masa lampau berdasarkan toponimi dan jejak relief yang terlukis pada dinding Candi Borobudur.

1.6. Ruang Lingkup Penelitian

Keberadaan danau purba dapat diketahui dengan penelitian perkembangan geomorfologi masa lampau hingga masa sekarang. Adapun lingkup kajian paleogeomorfologi ini meliputi hal-hal seperti berikut ini.

1. Pemetaan geologi yang terdiri dari berbagai data tentang vulkanologi, stratigrafi, mineralogi, dan struktur geologi. Data vulkanologi meliputi data pertumbuhan dan keberadaan gunungapi, mengetahui sejarah letusan gunungapi dan sebaran material yang mengarah ke daerah penelitian. Kondisi stratigrafi di daerah penelitian untuk mengetahui perlapisan batuan kaitannya dengan lingkungan danau dan material gunungapi. Penelitian mineralogi ini dilakukan untuk mengetahui asal-usul batuan, sedangkan penelitian tentang struktur geologi digunakan untuk mengetahui keberadaan struktur geologi, dan untuk mengetahui proses tektonik yang berkembang di daerah penelitian.

2. Pemetaan bentuklahan di permukaan atau bentuklahan saat ini di daerah penelitian dengan sebaran bentuklahannya dilakukan untuk mengetahui proses geomorfik yang berlangsung saat ini dan yang berlangsung pada masa lalu. Hasil penelitian ini dapat membantu merekonstruksi kondisi geomorfologi masa lalu.

(18)

41

3. Pemetaan hidrologi tentang data kondisi airtanah dan air permukaan termasuk identifikasi mataair yang ada di daerah penelitian. Data airtanah digunakan untuk mengetahui kondisi airtanah termasuk sebaran air asin, sedangkan untuk air permukaan terkait dengan keberadaan sungai-sungai yang mengalir dan yang pernah bermuara di Danau Borobudur. Penelitian ini juga mengkaji degradasi lahan yang mampu mendangkalkan danau, dan pada gilirannya mengubah kondisi bentuklahan dari danau menjadi dataran lakustrin.

4. Pemetaan sebaran data arkeologi yang terkait dengan penelitian ini adalah data sejarah masa lalu tentang keberadaan Candi Borobudur dan lingkungan sekitar candi. Relief candi menggambarkan tentang aktivitas masyarakat dan kondisi lingkungan candi. Kajian terkait relief sangat membantu dalam penelitian ini, terutama dalam aspek lingkungan hubungannya dengan kehidupan masyarakat di masa lalu. Mitos yang ada pada masyarakat setempat. Selain itu mitos, toponim di daerah penelitian dapat mendukung tentang kondisi desa dan hubungannya dengan lingkungan masa lampau, hal ini dikarenakan nama suatu desa biasanya disesuaikan dengan unsur-unsur geografi berupa tanda-tanda alam yang ada di lokasi tersebut.

5. Menganalisis kondisi biologi kaitannya dengan keberadaan tanaman, fosil yang terdapat di daerah penelitian. Melakukan uji umur dengan metode

14

(19)

42

lingkungannya untuk membantu mengetahui paleogeomorfologi Danau Borobudur.

Hasil kegiatan kemudian dianalisis dengan pendekatan paleogeomorfologi, yang terdiri atas morfologi, morfogenesa dan morfokronologi masa lalu. Kondisi paleogeomorfologi tersebut kemudian dikaitkan dengan aktivitas manusia baik dari segi sosial, budaya, dan ekonomi.

1.7. Keaslian Penelitian

Daerah Borobudur dan sekitarnya telah berulang-ulang dilakukan sebagai objek penelitian oleh para ahli, khususnya penelitian dalam bidang ilmu sejarah dan kebudayaan, arkeologi, teknik sipil, teknik arsitektur, biologi, dan hidrologi, terutama difokuskan pada bangunan Candi Borobudur. Penelitian yang berkaitan dengan keberadaan danau di masa lalu, belum menunjukkan hasil yang konkrit dan memuaskan, karena penelitian tentang lingkungan danau baru berdasarkan hasil interpretasi foto udara dan peta topografi dengan sedikit tinjauan lapangan, tanpa didukung analisis laboratorium yang memadai. Seperti yang dilakukan oleh Dinas Topografi Batavia dan Pertambangan Bandung (1937), dengan mempelajari topografi batas tinggi rendah permukaan tanah dan memetakan batas-batas ketinggian teras, hasilnya menguatkan keberadaan lingkungan danau di sekitar Candi Borobudur pada daerah yang ketinggiannya kurang dari 235 mdpal.

Nossin dan Voute (1986), melakukan analisis geomorfologi berdasarkan interpretasi foto udara dan didukung dengan observasi lapangan. Hasil penelitian tersebut dapat mengungkap bahwa daerah Borobudur pada paruh kedua zaman Kuarter, terbentuk lingkungan danau. Kemudian Thanikaimoni, (1983) melakukan

(20)

43

penelitian dengan pendekatan palinologi dengan 20 sampel yang diambil di sekitar bangunan Candi Borobudur, Sungai Sileng pada kedalaman 20-120 cm. Hasil penelitian tersebut membuktikan tidak ditemukan serbuk sari yang berasal dari komunitas tanaman rawa/air, sedangkan polen cyperaceae ditemukan sangat sedikit bahkan pada beberapa sampel tidak ditemukan, hasil tersebut memberi gambaran bahwa endapan-endapan di kedalaman itu bukan berasal dari lingkungan danau.

Dari hasil penelitian ketiga ahli tersebut di atas, menjadi dasar untuk melakukan penelitian tentang keberadaan lingkungan danau di sekitar Candi Borobudur pada tahun 1996. Penelitian tersebut menggunakan metode interpretasi citra satelit dan peta topografi yang dilanjutkan dengan pengamatan, pengukuran, pemetaan di lapangan serta didukung analisis palinologi dan laboratorium Radiokarbon 14C. Hasilnya menunjukkan bahwa di sekitar Candi Borobudur pernah terbentuk lingkungan danau. Lingkungan danau tersebut dicirikan dengan adanya endapan rawa berupa batulempung pasiran berwarna kehitaman yang banyak mengandung bahan organik dan serbuk sari dari komunitas tanaman rawa.

Lingkungan danau telah terbentuk sejak kala Pleistosen Akhir atau 22.130 + 400 B.P. (Murwanto, dkk, 2001). Perubahan lingkungan danau terjadi akibat tertimbun oleh material erupsi gunungapi. Material hasil erupsi terangkut dan terendapkan, melalui sungai yang mengalir dan bermuara di lingkungan danau Borobudur. Akibatnya, danau menjadi semakin dangkal dan sempit, dan akhirnya menjadi kering pada akhir abad ke 13 atau pada tahun 1288 Masehi (Murwanto, 1996).

(21)

44

Perubahan lingkungan danau menjadi bentuklahan dataran, mengakibatkan terjadinya perubahan baik stadia maupun pola aliran sungai, adalah proses geologi yang sangat menarik, sehingga gambaran paleogeomorfologi baik berdasarkan jejak-jejak fisik maupun biologis dari lingkungan danau di masa lalu dapat diketahui. Pada gilirannya kajian tersebut sangat bermanfaat dalam penataan tata ruang wilayah atau pengembangan objek pariwisata sejarah kebudayaan dan kebumian (geowisata).

Penelitian-penelitian yang telah dilakukan pada Dataran Borobudur cukup beragam, baik yang berkaitan dengan proses pembentukan maupun pendangkalan danau (lihat Tabel 1.2). Meskipun demikian, penelitian yang mengkaji tentang danau di sekitar Candi Borobudur dengan pendekatan paleogeomorfologi belum pernah dilakukan. Pendekatan paleogeomorfologi ini dibatasi selama keberadaan Danau Purba Borobudur, proses pendangkalannya, hingga kondisi sekarang. Sedangkan kondisi bentuklahan sebelum terbentuk danau tidak diteliti. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian untuk mengkaji perkembangan danau secara spasiotemporal. Hasilnya diharapkan dapat digunakan untuk merekonstruksi keberadaan danau purba di sekitar Candi Borobudur dari masa lalu hingga sekarang. Rekonstruksi tersebut tidak terlepas dari peran lingkungan di sekitar danau yang mengakibatkan pendangkalan. Selanjutnya dilakukan kajian tentang aktivitas manusia yang berkaitan dengan keberadaan danau dan Candi Borobudur. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pemerintah dalam peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor pariwisata Candi Borobudur, sehingga secara tidak langsung akan membantu pembangunan nasional.

(22)

22

No Peneliti dan Tahun Penelitian Judul Penelitian Tujuan Penelitian

1. Nieuwencamp (1933) “Het Boroboedoermeer” Mengaplikasikan hasil kajian arsitektur Budha di seluruh dunia

2. Harloff dan Pannekoek (1940)

Dinas Topografi Batavia dan Pertambangan Bandung

De Omgeving Van Den Boroboedoer” Studi keberadaan Danau Borobudur

berdasarkan tinjauan geologi dan geomorfologi

3. Nosin dan Voute (1986), Notes on the Geomorphology of The Borobudur Plain (Central Java Indonesia) in an archeological historical context)

- Mengetahui proses tektonik dan vulkanik penyebab terbentuknya lingkungan danau

- Mengetahui penyebab berakhirnya lingkungan danau

4. Thanikaimoni, (1983) Palynological Investigation on The Borobudur Monument

Mengetahui lingkungan di sekitar candi Borobudur berdasarkan pendekatan palinologi

5. Purbohadwidjojo dan Sukardi (1966) Tentang ada atau tidaknya suatu danau lama dekat Borobudur

Mengetahui ada tidaknya lingkungan danau di sekitar candi Borobudur

6. Wartono Rahardjo, Sukandarrumidi, H.M.D. Rosidi. (1977)

Peta Geologi Lembar Yogyakarta Pemetaan geologi Lembar Magelang-Yogyakarta

7. Helmy Murwanto (1996) Pengaruh Aktivitas Gunungapi Kuarter terhadap Perubahan Lingkungan Danau di Daerah Borobudur dan Sekitarnya, Jawa Tengah

- Mengetahui agihan spasial dan temporal lingkungan danau

- Mengkaji penyebab terjadinya Tabel 1.2 Keaslian Penelitian

(23)

23

perubahan lingkungan danau menjadi bentuklahan dataran

8. Newhall, Sutikno Bronto, Alloway, Banks, Bahar, Del Marmol, (2000)

1000 Years of explosive eruptions of Merapi Volcano, Central Jawa : archaelogical and modern implications

Mengetahui keberadaan lingkungan danau hubungannya dengan aktivitas Merapi tua

9. Helmy Murwanto, Sutanto, Suharsono (2001) Kajian Pengaruh Aktivitas Gunungapi Kuarter Terhadap Perkembangan “Danau Borobudur” Dengan Bantuan Sistem Informasi Geografis

- Mengetahui ketebalan endapan danau - Mengetahui umur endapan danau dari

tua sampai muda

- Mengetahui stratigrafi lingkungan danau masa lalu

Gambar

Gambar 1.1. Persebaran Gunungapi di Sekitar Dataran Borobudur   (Sumber: DEM Citra ASTER, 2011)
Tabel 1.1. Data geokronologi letusan Gunungapi Merapi
Gambar 1.2. (A) Endapan lempung hitam pada tebing Sungai Sileng, (B) Endapan  lempung hitam pada alur Sungai Sileng di Desa Candirejo
Tabel 1.2 Keaslian Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Berdoalah agar Tuhan Yesus Kristus akan menjaga, memelihara, dan memotivasi semua orang percaya di Iran, terutama umat Kristen yang berada dalam penjara di... OpenDoors

Selanjutnya ia menyebutkan dengan konsep perdagangan bebas ini, suatu negara dapat memproduksi produk-produk yang lebih efisien dengan biaya produksi yang lebih rendah

Rujukan adalah suatu pelimpahan tanggung jawab timbal balik atas kasus Rujukan adalah suatu pelimpahan tanggung jawab timbal balik atas kasus atau masalah kesehatan yang timbul

Untuk jangka panjang 89% (turun 2 poin) masyarakat memperkirakan bahwa perekonomian Indonesia akan mengalami ‘masa yang baik’ selama lima tahun ke depan

Dalam melakukan penelitian ini, penulis menyebarkan kuisioner kepada responden perusahaan yang diteliti, yaitu karyawan PT Indoil Energy, yang meneliti bagaimana

PJB yang digunakan untuk menyuplai sebagian besar listrik di Jawa dan Bali.PLTU Paiton ini didirikan di tepi pantai Probolinggo yang memiliki sistem sirkulasi pendinginan

Dari diagram di atas dapat dilihat bahwa subsistem yang satu memiliki keterkaitan dengan subsistem lainnya, dan keseluruhan subsistem membutuhkan dukungan dari subsistem

Peraturan perundang-undangan terkait tersebut adalah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba), Undang-undang