• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh : Iin Suhartini NIM : Pembimbing : Haris Retno Susmiyati, S.H., M.H. La SYarifuddin, S.H., M.H. ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Oleh : Iin Suhartini NIM : Pembimbing : Haris Retno Susmiyati, S.H., M.H. La SYarifuddin, S.H., M.H. ABSTRAK"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN TEORITIS KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENETAPAN WILAYAH PERTAMBANGAN (STUDI TERHADAP PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR : 10/PUU-X/2012)

Oleh : Iin Suhartini NIM : 0908015189

Pembimbing :

Haris Retno Susmiyati, S.H., M.H. La SYarifuddin, S.H., M.H.

ABSTRAK

Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 10/PUU-X/2012 keluar, terjadi Perubahan alur dalam Penetapan Wilayah Pertambangan. Melalui keputusan ini, muncul anggapan bahwa kewenangan penetapan wilayah pertambangan berada ditangan pemerintah daerah. Padahal, penetapan wilayah pertambangan tetap dilakukan oleh pemerintah pusat, namun pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk menentukan wilayah pertambangan terlebih dahulu. Kewenangan menentukan ini dianggap lebih besar dari kewenangan sebelumnya. Wilayah Pertambangan merupakan landasan dalam kegiatan pertambangan. Sehingga dalam penetapannya perlu dilakukan pengaturan yang meminimalisir resiko yang ada. Tulisan ini akan membahas tentang Perubahan Penetapan Wilayah Pertambangan setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 10/PUU-X/2012.

Kata Kunci : Penetapan, Wilayah Pertambangan, Putusan Mahkamah Konstitusi

PENDAHULUAN

Didalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat”. Hingga saat ini belum pernah ada penjelasan maupun kejelasan secara resmi tentang makna “dikuasai oleh Negara”. Namun dapat dipastikan, dikuasai oleh Negara tidak sama dengan dimiliki oleh Negara.

(2)

Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi.1 Secara esensisal sebenarnya

dalam penyelenggaraan desentralisasi terdapat dua elemen penting yang saling berkaitan, yaitu pembentukan daerah otonom dan penyerahan kekuasaan secara hukum dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah untuk mengatur dan urusan pemerintahan tertentu yang diserahkan.

Pertambangan sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara merupakan sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.

Dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara dinyatakan bahwa “WP sebagai bagian dari tata ruang nasional merupakan landasan bagi penetapan kegiatan pertambangan”. Selanjutnya, dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara dinyatakan bahwa “WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan Pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyar Republik Indonesia”.

Pada tanggal 9 Januari 2012, H. Isran Noor, M.Si mengajukan pengujian konstitusional Pasal 1 Angka 29 sepanjang frasa “dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan”, Pasal 6 ayat (1) huruf e, Pasal 9 ayat (2), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 17, dan Pasal 171 ayat (1) sepanjang frasa “untuk mendapatkan persetujuan pemerintah”

1 Hari sabarno, 2007, Untaian Pemikiran Ekonomi Daerah : Memandu Otonomi Daerah menjaga Kesatuan

(3)

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara terhadap Pasal 18 ayat (1), ayat (2) dan ayat (5), Pasal 18A ayat (2) dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.

Pada tanggal 20 November 2012 keluarlah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 10/PUU-X/2012. Putusan ini mengabulkan sebagian Permohonan Pemohon. Ketentuan Pasal yang dikabulkan sebagian antara lain Ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf e, Pasal 9 ayat (2), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 17. Ketentuan Pasal ini berkaitan dengan Penetapan Wilayah Pertambangan, Wilayah Usaha Pertambangan, serta Luas dan Batas Wilayah Ijin Usaha Pertambangan.

Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 10/PUU-X/2012 dikeluarkan, muncul suatu anggapan bahwa melalui putusan ini kewenangan penetapan wilayah pertambangan ada ditangan pemerintah daerah. Hal ini didasarkan pada pemberian kewenangan bagi Pemerintah Daerah untuk menentukan Wilayah Pertambangan untuk selanjutnya ditetapkan sebagai Wilayah Pertambangan.2

Berdasarkan uraian dan penjelasan tersebut diatas, permasalahan yang akan dibahas adalah Perubahan Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Penetapan Wilayah Pertambangan setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 10/PUU-X/2012.

Ketentuan Pasal yang ditolak oleh Mahkamah Konsitusi

Ketentuan Pasal yang ditolak oleh Mahkamah Konstitusi antara lain : a. Ketentuan Pasal 1 angka 29

Dalam Pasal 1 Angka 29 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dinyatakan bahwa “Wilayah Pertambangan, yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara

2http://nasional.kompas.com/read/2012/11/22/22392679/Kewenangan.Daerah.Semakin.Besar yang diakses pada tanggal 23 November 20112, pada pukul 09.45 WITA

(4)

dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional”.

Ketentuan Pasal ini tidak dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Mahkamah berpendapat penetapan Wilayah Pertambangan dan Wilayah Usaha Pertambangan di samping harus memperhatikan tata ruang nasional yang tentunya tidak selalu dapat dibatasi oleh batasan administratif pemerintahan daerah otonom, juga harus memperhatikan kelestarian lingkungan hidup, menghindari tumpang tindih kawasan atau wilayah pertambangan serta menghindari konflik antar wilayah.

Agussalim Andi Gadjong didalam bukunya menyatakan bahwa prinsip dalam menjalankan otonomi daerah adalah dapat menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah atas dasar keutuhan negara kesatuan.3

Didalam Pasal 2 ayat (7) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa “Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antarsusunan pemerintah”

Dalam hal pemanfaatan sumber daya alam yang merupakan kekayaan alam yang tidak terbarukan dan tersebar secara tidak merata, wilayah pemanfaatan Sumber Daya Alam ini memang tidak bisa terikat dengan batasan administrasi pemerintahan. Karena menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan, sebagai konsekuensi dibentuk dan disusunnya daerah otonom yang diselenggarakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3Agussalim Andi Gadjong, 2007, Pemerintahan Daerah : Kajian Politik dan Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, Halaman 110

(5)

b. Ketentuan Pasal 171 ayat (1)

Dalam Pasal 171 ayat (1) Dalam Pasal 171 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dinyatakan bahwa

“Pemegang kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang telah melakukan tahapan kegiatan eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, atau operasi produksi paling lambat 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini harus menyampaikan rencana kegiatan pada seluruh wilayah kontrak/perjanjian sampai dengan jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian untuk mendapatkan persetujuan pemerintah”.

Ketentuan Pasal ini ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Mahkamah berpendapat Pengaturan mengenai KK dan PKP2B tersebut sudah seharusnya mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat. Hal ini bertujuan agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi tumpah tindih yang menimbulkan adanya ketidakpastian hukum bagi perusahaan pertambangan maupun masyarakat. Aturan peralihan tersebut menjadi sangat penting dalam rangka penyesuaian dan untuk menjamin kepastian hukum.

Didalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tidak lagi dikenal istilah kontrak ataupun perjanjian, namun yang dijadikan landasan dalam kegiatan pertambangan adalaha ijin dari pemerintah ataupun pemerintah daerah sesuai dengan wilayah kewenangannya. Karenanya, kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang masih berlaku, perlu diatur penyesuaiannya didalam ketentuan peralihan.

Ketentuan Peralihan berfungsi untuk menjaga jangan sampai terdapat pihak-pihak yang dirugikan dengan adanya perubahan ketentuan dalam suatu Peraturan Perundang-undangan.4 Karenanya Persetujuan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan

Pasal 171 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral

4 http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/69-ketentuan-peralihan-dalam-peraturan-perundang-undangan.html diakses tanggal 23 Maret 2013, pukul 20.07 wita.

(6)

dan Batubara sudahlah tepat. Karena merupakan bentuk pengawasan pemerintah pusat dalam menjamin kesesuaian serta kepastian hukum atas perubahan ketentuan dalam kegiatan pertambangan sebagai akibat berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Ketentuan Pasal yang dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi

Ketentuan Pasal yang dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi antara lain berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut :

a. Penetapan Wilayah Pertambangan

Pasal yang berkaitan dengan Penetapan Wilayah Pertambangan adalah ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf e dan Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Dalam 6 ayat (1) huruf e Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tertulis “penetapan WP yang dilakukan setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”. Selanjutnya didalam Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dinyatakan bahwa “WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”.

Ketentuan Pasal yang berkaitan dengan kewenangnan penetapan wilayah pertambangan dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi. Sehingga Ketentuan Pasal Pasal 6 ayat (1) huruf e Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menjadi “penetapan WP yang dilakukan setelah ditentukan oleh pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan perwakilan Rakyat Republik Indonesia”

(7)

Dan Ketentuan Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menjadi “WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah setelah ditentukan oleh Pemerintah Daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia”.

Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 10/PUU-X/2012, terjadi perubahan kewenangan dalam penetapan wilayah pertambangan. Sebelumnya sebagaiamana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, untuk menetapkan wilayah pertambangan, Pemerintah Pusat berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah dan kemudian berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dan selanjutnya menetapkan Wilayah Pertambangan.

Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 10/PUU-X/2012, Pemerintah menetapkan Wilayah Pertambangan setelah ditentukan oleh Pemerintah Daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

b. Penetapan Wilayah Usaha Pertambangan

Ketentuan lain yang juga dimohonkan oleh Pemohon adalah berkaitan dengan penetapan Wilayah Usaha Pertambangan. Yakni ketentuan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2). Didalam Pasal 14 ayat (1) dinyatakan bahwa “Penetapan WUP dilakukan oleh pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan disampaikan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”.

Sedangkan didalam ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dinyatakan bahwa “Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pemerintah daerah yang bersangkutan berdasarkan data dan informasi yang dimiliki Pemerintah dan pemerintah daerah”

(8)

Ketentuan Pasal ini dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi. Sehingga ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menjadi “Penetapan WUP dilakukan Pemerintah setelah ditentukan oleh pemerintah daerah dan disampaikan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”.

Dan Ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menjadi “Penentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan berdasarkan data dan informasi yang dimiliki Pemerintah dan pemerintah daerah”.

Hal ini memberikan perubahan terhadap kewenangan Pemerintah Daerah dalam Penetapan Wilayah Pertambangan. Sebelumnya, Pemerintah Pusat menetapkan Wilayah Usaha Pertambangan setelah berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah dan disampaikan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Koordinasi yang dimaksud adalah koordinasi yang dilakukan dengan pemerintah daerah yang bersangkutan berdasarkan data dan informasi yang dimiliki pemerintah dan pemerintah daerah.

Setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 10/PUU-X/2012, Pemerintah Pusat menetapkan Wilayah Usaha Pertambangan setelah ditentukan oleh Pemerintah daerah dan disampaikan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Penentuan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah didasarkan pada data dan informasi yang dimiliki oleh pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

c. Penetapan Luas dan Batas Wilayah Ijin Usaha Pertambangan

Didalam Pasal 17 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dinyatakan bahwa “Luas dan batas WIUP mineral logam dan batubara ditetapkan oleh Pemerintah berkoordinasi dengan pemerintah daerah berdasarkan kriteria

(9)

yang dimiliki oleh Pemerintah”. Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon sebagian. Sehingga ketentuan Pasal 17 “Luas dan batas WIUP mineral dan logam dan batubara ditetapkan oleh Pemerintah setelah ditentukan oleh pemerintah daerah berdasarkan kriteria yang dimiliki pemerintah”.

Hal ini membawa perubahan dalam Penetapan Luas dan Batas Wilayah Ijin Usaha Pertambangan. Sebelumnya, Luas dan Batas Wilayah Ijin Usaha Pertambanga ditetapkan oleh Pemerintah Pusat berkoordinasi dengn pemerintah Daerah berdasarkan kriteria yang dimiliki oleh pemerintah Pusat. Setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah konstitusi Nomor : 10/PUU-X/2012, Luas dan Batas Wilayah Ijin Usaha Pertambangan dilakukan oleh Pemerintah Pusat setelah ditentukan oleh Pemerintah daerah berdasarkan kriteria yang dimiliki oleh Pemerintah.

Pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam mengabulkan permohonan pemohon yang berkaitan dengan Penetapan Wilayah Pertambangan, Wilayah Usaha Pertambangan, serta Luas dan Batas Wilayah Ijin Usaha Pertambangan adalah sebagai berikut :

a. Mahmakah menilai bahwa urusan pemerintahan dalam menetapkan wilayah pertambangan, wilayah usaha pertambangan dan batas serta luas wilayah ijin usaha pertambangan, bukanlah termasuk urusan pemerintahan yang mutlak menjadi urusan pemerintah pusat. tetapi merupakan urusan pemerintahan yang bersifat fakultatif yang sangat tergantung pada situasi, kondisi dan kebutuhan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan.

b. Mahkamah juga berpendapat pengelolaan dan eksploitasi sumber daya alam Minerba berdampak langsung terhadap daerah yang menjadi wilayah usaha pertambangan, baik dampak lingkungan yang berpengaruh pada kualitas sumber daya alam yang mempengaruhi kehidupan masyarakat daerah yang bersangkutan, maupun dampak ekonomi dalam rangka kesejahteraan masyarakat di daerah. Oleh karena itu, adalah tidak

(10)

bijak dan bertentangan dengan semangat konstitusi, apabila daerah tidak memiliki kewenangan sama sekali dalam menentukan wilayah pertambangan, wilayah usaha pertambangan serta batas dan luas wilayah ijin usaha pertambangan.

c. Selain itu, mahkamah juga dalam pertimbangannya menjelaskan untuk menjamin fungsi Pemerintah dalam rangka koordinasi, standardisasi, kriteria dan pengawasan, maka Pemerintah harus menetapkan prosedur dan kriteria yang menjadi landasan bagi Pemerintah maupun pemerintah daerah dalam menentukan Wilayah Pertambangan, Wilayah Usaha Pertambangan serta batas dan luas Wilayah Ijin Usaha Pertambangan.

Analisis terhadap frasa “menentukan” dalam perubahan Penetapan Wilayah Pertambangan, Wilayah Usaha Pertambangan, serta Luas dan Batas Wilayah Ijin Usaha Pertambangan

Dari penjabaran sebelumnya, terdapat kesamaan dalam Perubahan Penetapan Wilayah Pertambangan, Wilayah Usaha Pertambangan, serta Luas dan Batas Wilayah Ijin Usaha Pertambangan. Yakni, pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk menentukan baik itu untuk Wilayah Pertambangan, Wilayah Usaha Pertambangan, maupun Luas dan Batas Wilayah Ijin Usaha Pertambangan. Sebelumnya Pemerintah daerah hanya memiliki wewenang untuk berkoordinasi dengan Pemerintah Pusat.

Koordinasi dalam pemerintahan pada hakikatnya merupakan upaya untuk memadukan (mengintegrasikan), menyerasikan dan menyelaraskan berbagai kepentingan dan kegiatan yang saling berkaitan beserta segenap gerak, langkah, dan waktunya dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran bersama.5

5 Lembaga Administrasi Negara, 1997, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia, PT Toko Gunung Agung, Jakarta, Halaman 53

(11)

Dari pengertian koordinasi diatas dapat disimpulkan bahwa koordinasi yang dilakukan merupakan suatu upaya penyelerasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penetapan wilayah pertambangan.

Hal ini dimaksudkan agar wilayah pertambangan tidak saling tumpang tindih dan sesuai dengan peraturan maupun kriteria teknis yang ada. Kewenangan yang diberikan kepada Pemerintah Daerah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 10/PUU-X/2012 adalah menentukan Wilayah Pertambangan untuk selanjutnya ditetapkan oleh Pemerintah Pusat setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia.

Dari berbagai referensi yang penulis baca, tidak ditemukan pengertian frasa “menentukan” dari bidang ilmu hukum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian menentukan dan menetapkan tidak jauh berbeda.

Namun, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi ini menentukan dan menetapkan adalah dua hal yang berbeda. Tindakan Pemerintahan terbagi dua, yakni berupa Tindakan Nyata (feitelijkhandelingen) dan tindakan Hukum (rechtshandelingen). 6 Tindakan Nyata adalah

tindakan-tindakan yang tidak ada relevansinya dengan hukum dan oleh karenanya tidak menimbulkan akibat hukum. Sedangkan tindakan hukum adalah tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum tertentu.

Namun, untuk disebut sebagai tindakan hukum tidaklah harus menimbulkan akibat hukum secara langsung. Karena, didalam Hukum Administrasi negara dikenal suatu tindakan pemerintah yang tidak memiliki akibat hukum langusng, namun memilliki relevansi hukum, yakni Perencanaan.7

Berdasarkan penjabaran diatas, penulis berpendapat bahwa frasa “menentukan” dan “menetapkan” merupakan suatu tindakan hukum. Penentuan merupakan tindakan hukum yang

6 Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, Halaman 113 7Ibid., Halaman 196

(12)

memiliki relevansi dengan hukum namun belum memiliki akibat hukum. Sedangkan penetapan adalah tindakan hukum yang memiliki relevansi sekaligus menimbulkan akibat hukum.

Karenanya, Penentuan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah bukanlah merupakan garis akhir dari penetapan wilayah pertambangan. Sekalipun Pemerintah Daerah menentukan Wilayah Pertambangan, Wilayah Usaha Pertambangan, maupun Luas dan Batas Wilayah Ijin Usaha Pertambangan, namun penentuan ini tidaklah memiliki akibat hukum sampai ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Karena kewenangan penetapan wilayah pertambangan masih dilmiliki oleh pemerintah pusat.

Nasroen berpendapat bahwa otonomi daerah yang seluas-luasnya bukan tanpa batas sehingga meretakkan negara kesatuan8. Otonomi daerah berarti berotonomi dalam negara.

Otonomi seluas-luasnya tentunya tidak boleh bertentangan dengan dasar kesatuan dan dasar kesatuan sebaliknya, tentulah tidak boleh melenyapkan wujud dari otonomi seluas-luasnya. Tentulah yang akan dicari dan ditetapkan ialah suatu perseimbangan antara dasar kesatuan dan dasar otonomi seluas-luasnya di daerah.

Pada dasarnya, prinsip otonomi daerah harus mencerminkan 3 (tiga) hal, yaitu harus serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa, dapat menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah atas dasar keutuhan negara kesatuan, serta harus dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah.9 Lord Agton mengeluarkan suatu adagium

yang menyatakan bahwa “manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi kekuasaan yang tidak terbatas (absolute) pasti akan disalahgunakan”.10

8 M. Nasroen, 1951, Masalah-masalah Sekitar Otonomi Daerah, Wolters, Jakarta, Halaman 28 9 Agussalim Andi Gadjong, Op.Cit., Halaman 110

(13)

Karenanya, Penulis berpendapat bahwa Kewenangan yang diberikan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 10/PUU-X/2012 kepada Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat dalam Penetapan Wilayah Pertambangan sudahlah tepat.

Hal ini didasarkan pada, Kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat dalam Penetapan Wilayah Pertambangan saling membatasi kekuasaan satu sama lain. Hal ini bertujuan menjaga kesinergisan hubungan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi urusan bersama, dalam hal ini pemanfaatan sumber daya alam mineral dan batubara.

Namun, seperti banyak yang terjadi terhadap peraturan hukum yang ada di Indonesia, sering terjadi ketidaksesuaian antara peraturan dan pelaksanaannya. Karenanya, perlu ada jaminan bagi Pemerintah Daerah, bahwa penetapan yang akan dilakukan oleh Pemerintah Pusat tidak akan menyalahi dari apa yang Pemerintah Daerah tentukan sebelumnya. Walaupun Pemerintah Daerah sudah tidak memiliki kewenangan berkoordinasi, namun dalam penetapan wilayah pertambangan menurut penulis pemerintah pusat tetap perlu berkoordinasi dengan pemerintah daerah dalam penetapan hasil akhir. Karena tujuan dari diberikannya kewenangan menentukan wilayah pertambangan adalah agar Pemerintah Daerah dapat mengatur wilayahnya namun tetap berada dibawah pengawasan Pemerintah Pusat.

Melalui kewenangan menentukan Wilayah Pertambangan, Pemerintah Daerah membatasi kekuasaan pemerintahan dalam menetapkan wilayah pertambangan. Sedangkan, dengan kewenangan penetapan yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat, membatasi kekuasaan pemerintah daerah dalam menentukan wilayah pertambangan agar tetap sesuai dengan kebijakan nasional pengelolaan Pertambangan Mineral dan batubara.

(14)

Penutup

Terhadap Pembahasan dapat disimpulkan bahwa penetapan wilayah pertambangan tidak terletak pada Pemerintah Daerah. Namun, kewenangan Pemerintah Daerah dalam Penetapan Wilayah Pertambangan memang lebih besar. Sebelumnya, Pemerintah Daerah hanya memiliki kewenangan untuk berkoordinasi dengan pemerintah pusat dalam penetapan Wilayah Pertambangan, Wilayah Usaha Pertambangan, serta Luas dan Batas Wilayah Ijin Usaha Pertambangan. Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 10/PUU-X/2012, Pemerintah Daerah diberikan Kewenangan untuk menentukan Wilayah Pertambangan, Wilayah Usaha Pertambangan, serta Luas dan Batas Wilayah Ijin Usaha Pertambangan untuk selanjutnya ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Namun, penentuan ini bukanlah garis akhir. Penentuan yang dilakukan pemerintah daerah belum dapat menimbulkan akibat hukum sampai ditetapkan oleh pemerintah pusat.

Kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat dalam Penetapan Wilayah Pertambangan saling membatasi kekuasaan satu sama lain. Melalui kewenangan menentukan Wilayah Pertambangan, Pemerintah Daerah membatasi kekuasaan pemerintahan dalam menetapkan wilayah pertambangan. Sedangkan, dengan kewenangan penetapan yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat, membatasi kekuasaan pemerintah daerah dalam menentukan wilayah pertambangan agar tetap sesuai dengan kebijakan nasional pengelolaan Pertambangan Mineral dan batubara.

Namun, seperti banyak yang terjadi terhadap peraturan hukum yang ada di Indonesia, sering terjadi ketidaksesuaian antara peraturan dan pelaksanaannya. Karenanya, perlu ada jaminan bagi Pemerintah Daerah, bahwa penetapan yang akan dilakukan oleh Pemerintah Pusat tidak akan menyalahi dari apa yang Pemerintah Daerah tentukan sebelumnya. Walaupun Pemerintah Daerah sudah tidak memiliki kewenangan berkoordinasi, namun dalam penetapan

(15)

wilayah pertambangan menurut penulis pemerintah pusat tetap perlu berkoordinasi dengan pemerintah daerah dalam penetapan hasil akhir. Karena tujuan dari diberikannya kewenangan menentukan wilayah pertambangan adalah agar Pemerintah Daerah dapat mengatur wilayahnya namun tetap berada dibawah pengawasan Pemerintah Pusat.

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Alim Alim, Achmad, 1996, Menguak Tabir Hukum :Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Chandra Pratama, Jakarta

Bahasa, Pusat, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gadjong, Agussalim Andi, 2007, Pemerintahan Daerah : Kajian Politik dan Hukum, Ghalia

Indonesia, Bogor

Gie, The Liang, 1970, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia,

Liberty, Yogyakarta

Hadjon, Phillipus M, dkk, 1994, PengantarBhukum Administrasi Negara Republik Indonesia,

Gajah Mada University Press, Yogyakarta

HR, Ridwan, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT Rajagrafindo, Jakarta

HS, Salim, 2005, Hukum Pertambangan di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Kelsen, Hans, 2006, Teori tentang Hukum dan Negara, Nusamedia, Bandung

Manan, Bagir, 2002, Meyongsong Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakulats Hukum Islam Indonesia, Yogyakarta

Manan, Abdul, 2006, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta Marzuki, Peter Mahmud, 2010, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta

Masriani, Yulies Tiesna, 2004, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta

Muhammad, Abdul Kadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung Mustamin, Mustamin Dg Matutu, Abdul Latief, Hikmawati, 2004, Mandat, Delegasi, Atribusi,

(16)

Sabarno, Hari, 2007, Untaian Pemikiran Ekonomi Daerah : Memandu Otonomi Daerah menjaga Kesatuan Bangsa, Sinar Grafika, Jakarta,

Santoso, Urip, 2005, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta

Siahaan, Maruarar, 2011, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia : Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta

Syafruddin, Ateng, 1985, Pasang Surut Otonomi Daerah, BinaCipta, Bandung

B. Peraturan PerUndang-undangan

Undang-undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan

Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota

Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan

C. Jurnal Ilmial dan Artikel Internet

Pardiato, Bambang, 2010, “Wilayah Pertambangan Dalam Tata Ruang Nasional”, Kelompok Program Penelitian Mineral, Pusat Sumberdaya Geologi, Badan Geologi

Puluhuwala, Fenty . U, 2011 “Pengawasan sebagai instrument Penegakan Hukum pada Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara”, Universitas Negeri Gorontalo

(17)

Sodjuangan Situmorang, 2002 “Model Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Provinsi, dan Kabupaten/Kota”, Universitas Indonesia

Artikel berjudul “Pengertian Pertambangan”,

http://ilmu-pertambangan.blogspot.com/2010/08/pengertian-pertambangan.html, diakses tanggal 8 November 2012

Artikel berjudul “Kewenangan Daerah Semakin Besar”,

http://nasional.kompas.com/read/2012/11/22/22392679/Kewenangan.Daerah.Sema kin.Besar, dikases tanggal 24 November 2012

Artikel berjudul “MK : penetapan wilayah pertambangan setelah ditentukan pemda”, http://www.antaranews.com/berita/344886/mk--penetapan-wilayah-pertambangan-setelah-ditentukan-pemda, diakses tanggal 25 November 2012

Artikel berjudul “Wewenang tambang di daerah, pelaku usaha was-was”, http://nasional.kontan.co.id/xml/wewenang-tambang-di-daerah-pelaku-usaha-was-was, diakses tanggal 25 Desember 2012

Artikel berjudul “Putusan MK Koreksi atas Penyimpangan Semangat Otda”, http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=316860, diakses tanggal 2 Januari 2013

Artikel Berjudul “Penetapan Wilayah Pertambangan masih Buntu”, http://cgclipping.wordpress.com/2013/01/02/penetapan-wilayah-pertambangan-masih-buntu/, diakses tanggal 21 Januari 2013

Referensi

Dokumen terkait

Serta yang menjadi syarat-syarat agar tertanggung dapat memperoleh ganti rugi terhadap kendaran bermotor yang diasuransikan yaitu sesuai dengan isi perjanjian,

Jika dilihat dari buka stomata, pada sawi hijau yang di diberi perlakuan mengalami pembukaan yang lebih lebar di banding dengan sawi hijau tanpa perlakuan.. Kata

Dari grafik juga dapat dilihat bahwa semakin besar nilai pembebanan, maka nilai pressure drop pada shell akan semakin meningkat, hal ini dipengaruhi oleh

Konektor ini mendukung S/PDIF keluar dan menyambungkan sebuah kabel audio digital S/PDIF (disedi- akan oleh kartu ekspansi) untuk keluaran audio digital dari motherboard untuk

Dari uraian tersebut jelaslah bahwa untuk menghasilkan lompat tinggi gaya straddle yang baik di perlukan daya ledak otot tungkai dan panjang tungkai yang maksimal dan juga

Ketiga jenis kuntul yang diamati pada daerah di sekitar Cagar Alam Pulau Dua memiliki lokasi mencari makan yang berupa daerah perairan dangkal dan terbuka seperti

Ketentuan Lampiran Peraturan Bupati Nomor 59 Tahun 2015 tentang Pemberian Honorarium dan Uang Saku kepada Pejabat/Pegawai yang bekerja pada kegiatan Satuan Kerja Perangkat

Meskipun dalam survei kali ini hak untuk terlibat dalam penyusunan standar pelayanan menjadi yang paling sedikit diketahui oleh responden, namun jika dibandingkan dengan survei di