2.1.1. Klasifikasi Tanaman Cabai
Berdasarkan sistematika (taksonomi) menurut Cronquist (1981) tanaman cabai merah diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Magnoliophyta Classis : Magnoliopsida Ordo : Solanales Familia : Solanaceae Genus : Capsicum
Species : Capsicum annuum L.
2.1.2. Anatomi Tanaman Cabai
Tanaman cabai tersebar di seluruh Indonesia mulai dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Nusa Tenggara. Tanaman dapat tumbuh di daerah rendah sampai daerah pegunungan dengan ketinggian berkisar ± 10 – 700 mdpl (Setiadi, 1993). Umumnya tanaman cabai dapat dibudidayakan di sekitar pekarangan rumah ataupun di perkebunan skala besar.
Gambar 2.1 Tanaman cabai merah Sumber : Puslitbanghorti (2016)
2.1.3. Manfaat dan Kandungan Gizi Cabai
Tabel 2.1. Kandungan Gizi Cabai Merah Per 100 Gram Bahan
Kandungan gizi Cabai merah segar Cabai merah kering Kadar air (%) bermanfaat untuk mengatur peredaran darah, memperkuat jantung, nadi, dan saraf (Prajnanta, 1999). Capsaicin juga dapat dimanfaatkan dalam pembuatan obat gosok antireumatik dalam bentuk krim maupun dalam bentuk koyo cabai. Selain capsicin cabai juga mengandung zat mucokinetik, yaitu zat yang mampu mengatur, mengurangi, atau mengeluarkan lendir dari paru-paru. Oleh karena itu, cabai sangat membantu bagi penderita bronkitis, mencegah influenza, sinuitis, demam, dan asma dalam proses pengeluaran lendir.
2.2. Senyawa Bioaktif
Menurut Kavanagh (2005), metabolit sekunder merupakan senyawa dari hasil metabolisme sekunder yang tidak diperlukan untuk pertumbuhan jamur tersebut. Secara umum metabolit sekunder pada fungi terjadi pada fase akhir pertumbuhan dan mulai memasuki fase stationer. Metabolisme sekunder pada fungi diartikan sebagai suatu proses diferensiasi dan sporulasi.
Metabolit sekunder yang dihasilkan dari metabolisme sekunder fungi adalah beragam, tergantung golongan senyawa yang dibentuk. Pembentukan senyawa-senyawa metabolit sekunder melalui tiga jalur prekursor utama. Tiga prekursor tersebut adalah asam shikimat, asam amino, dan asetil-CoA. Senyawa-senyawa aromatik seperti Senyawa-senyawa amino aromatik, asam sinamat, dan berbagai polifenol terbentuk melalui prekursor asam shikimat. Senyawa-senyawa alkaloid dan antibiotik misalnya penisilin dan sefalosporin terbentuk melalui prekursor asam amino. Sedangkan prekursor Asetil-CoA terlibat dalam pembentukan poloasetilen, prostaglandin, antibiotik makrosiklik, polifenol, serta isoprenoid (Listiandiani, 2011).
Berikut merupakan kelompok senyawa metabolit sekunder di antanya adalah flavonoid, saponin, dan alkaloid.
1. Flavonoid
Flavonoid merupakan kelompok senyawa yang banyak ditemukan pada tumbuhan. Kerangka flavon yang umumnya dimiliki C6-C3-C6 dengan tiga atom karbon yang menjadi penghubung antara gugus fenil yang biasanya terdapat atom oksigen (Gambar 2.2). Senyawa flavonoid merupakan kelompok senyawa fenol yang ditemukan di alam sebagai zat warna merah, ungu, biru, dan kuning yang ditemukan pada tumbuhan (Lenny, 2006).
Menurut Wiryowidagdo (2008), senyawa-senyawa flavonoid memiliki kemampuan sebagai antifungi. Selain itu, flavonoid juga berperan sebagai antivirus, antibakteri, antiradang, dan antialergi. Sebagai antifungi senyawa flavonoid mampu menyebabkan gangguan permeabilitas membran sel jamur karena gugus hidroksil yang dimiliki flavonoid mampu merubah komponen organik dan transport nutrisi yang menimbulkan efek toksik pada jamur.
2. Saponin
Menurut Harborne (1987), saponin merupakan senyawa bioaktif yang tersusun dari glikosida triterpenoida maupun glikosida steroida yang merupakan senyawa aktif permukaan bersifat seperti sabun (Gambar 2.3). Keberadaan saponin dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya dalam membentuk busa dan haemolisis sel darah. Saponin berguna dalam pengobatan karena saponin bersifat mempengaruhi absorpsi zat aktif secara farmakologi. Menurut Masroh (2010), beberapa jenis saponin mampu bekerja sebagai antimikroba.
Saponin pada bakteri mampu meningkatkan permeabilitas membran sel bakteri sehingga struktur dan fungsi membran bakteri berubah, menyebabkan denaturasi protein membran sehingga membran sel akan rusak dan lisis (Siswandono & Soekarjo, 2000). Menurut Dwidjoseputro (1994), molekul-molekul yang dimiliki saponin dapat bersifat menarik air atau hidrofilik dan dapat melarutkan lemak atau lipofilik sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan sel kuman yang akhirnya menyebabkan kehancuran kuman .
3. Alkaloid
Senyawa alkaloid merupakan senyawa kimia hasil metabolit sekunder dari golongan senyawa basa nitrogen heterosiklik yang banyak terdapat pada tumbuhan (Gambar 2.4). Menurut Harborne (1987), senyawa alkaloid merupakan senyawa metabolit sekunder yang bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen yang biasanya dalam cincin heterosiklik. Sebagian besar alkaloid tidak larut di air, tetapi larut dalam pelarut organik seperti kloform, eter, dan benzena.
Alkaloid bersifat optis aktif, kebanyakan alkaloid berbentuk kristal dan hanya sedikit yang dijumpai dalam bentuk cair. Hampir semua alkaloid bersifat racun tetapi ada pula alkaloid yang berguna dalam pengobatan. Alkaloid tergolong zat aktif yang berfungsi sebagai obat dan aktivator kuat bagi sel imun yang mampu menghancurkan sel bakteri, virus, jamur, dan sel kanker (Olivia et al., 2007). Mekanisme kerja alkaloid sebagai antifungi dilakukan dengan merusak membran sel jamur. Alkaloid akan berikatan dengan ergosterol membentuk lubang yang menyebabkan kebocoran membran sel. Hal ini mengakibatkan kerusakan sel dan kematian sel jamur.
2.3. Deskripsi Fusarium Fusarium Oxysporum f.sp. capsici
2.3.1. Klasifikasi Fusarium Oxysporum f.sp. capsici
Klasifikasi kapang fusarium capsici menurut Alexopoulus & Mims (1996): Kingdom : Fungi
Divisi : Eumycota Classis : Deuteromycetes Ordo : Moniliales Familia : Teberculariaceae Genus : Fusarium
Species : Fusarium oxysporum f.sp. capsici
Kapang F. oxysporum f.sp. capsici merupakan patogen tular tanah yang menyebabkan penyakit layu pada tanaman cabai merah. F. oxysporum f.sp. capsici termasuk kelompok kapang yang mampu menghasilkan mikotoksin yang dijumpai pada makanan maupun pada bahan makanan. Menurut Saragih & Silalahi (2006), kapang F. oxysporum bersifat saprofit dan parasit serta mempunyai kisaran inang yang luas.
2.3.2. Morfologi F. oxysporum f.sp. capsici
Kapang F. oxysporum f.sp. capsici merupakan kapang dengan miselium berseptat (bersekat). Permukaan koloni kapang berwarna putih keunguan, tepi bergerigi dan permukaannya kasar berserabut juga bergelombang. Pada miselium yang sudah tua terbentuk klamidiospora. Konidiofor bercabang dan makrokonidumnya berbentuk kumparan, bertangkai kecil dan sering kali berpasangan (Lucas et al., 1985). F. oxysporum merupakan kapang aseksual yang menghasilkan 3 spora yaitu :
1. Makrokonidia
Makrokonidia memiliki bentuk yang panjang melengkung seperti kumparan, tidak berwarna, dan pada kedua ujungnya sempit menyerupai bulan sabit (Gambar 2.5.A) yang terdiri dari 3-5 sekat dengan ukuran 25-33 × 3,5-5,5 µm (Semangun,1996).
2. Mikrokonidia
Mikrokonidia merupakan spora bersel satu atau dua yang tidak berwarna, berbentuk lonjong atau bulat telur (Gambar 2.5.B) dengan ukuran 6-15 ×2,5-4 µm (Semangun, 1996).
3. Klamidiospora
Gambar 2.5 (A) Makrokonidia, (B) Mikrokonidia Sumber : Ellis (2015a)
2.3.3. Gejala Serangan
Gejala awal penyakit layu fusarium adalah tulang-tulang daun menjadi pucat, terutama pada daun yang terletak di sebelah atas, yang selanjutnya diikuti dengan merunduknya tangkai, dan akhirnya tanaman yang terinfeksi menjadi layu secara keseluruhan (Gambar 2.6) (Semangun, 1996). Terkadang kelayuan yang terjadi didahului dengan menguningnya daun, terutama daun-daun sebelah bawah. Akibat infeksi F. oxysporum f.sp. capsici menyebabkan tanaman cabai menjadi kerdil dan tumbuhnya merana. Jika pada tanaman yang sakit, batangnya dikelupas atau dipotong maka akan terlihat cincin berwarna cokelat pada berkas pembuluh tanaman.
Serangan F. oxysporum f.sp. capsici pada tanaman yang masih muda menyebabkan matinya tanaman secara mendadak, dikerenakan pangkal batang tanaman tersebut terjadi kerusakan atau kanker yang menggelang, sedangkan infeksi F. oxysporum f.sp. capsici pada tanaman dewasa biasanya mampu bertahan sampai berbuah tetapi hasil yang diperoleh sangat sedikit dan kecil-kecil (Semangun, 1996).
Gambar 2.6 Tanaman cabai yang terinfeksi
layu fusarium (sumber : Anonim, 2015)
2.3.4. Daur Hidup Kapang F. oxysporum f.sp. capsici
F. oxysporum f.sp. capsici dapat bertahan lama didalam tanah dalam bentuk klamidiospora. Semangun (1996), mengatakan kapang F. oxysporum mampu bertahan hingga 10 tahun di dalam tanah tanpa adanya inang. Tanah yang sudah terinfeksi sukar dibebaskan kembali dari kapang tersebut. Infeksi dapat terjadi pada akar yang mengalami luka atau melalui luka pada akar yang diakibatkan munculnya akar lateral.
2.3.5. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kehidupan Fusarium oxysporum f.sp. capsici
Kapang F. oxysporum f.sp. capsici. dapat bertahan hidup pada kisaran suhu tanah antara 210C - 330C, dengan suhu optimumnya 28˚C. Kematian dapat terjadi jika kapang tersebut berada di dalam tanah pada kisaran suhu 57,50C - 600C selama 30 menit (Semangun, 1996). Kapang Fusarium oxysporum f.sp. capsici mampu bertahan hidup pada kisaran pH tanah yang luas yaitu 3,8-8,4 dan pH optimum untuk pertumbuhan berada pada pH 7,7. Sumber karbon (C) sangat diperlukan kapang F. oxysporum f.sp. capsici dalam pembentukan spora. Pembentukan spora terjadi pada kisaran suhu antara 20-250C (Soesanto, 2008). Fusarium oxysporum f.sp. capsici akan berkembang sangat cepat bila tanah mengandung banyak nitrogen tapi miskin kalium.
2.4. Deskripsi Kapang Gliocladium sp.
2.4.1. Klasifikasi Kapang Gliocladium sp.
Menurut Alexopoulos & Mims (1996), Gliocladium sp. diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Fungi
Menurut Djatnika et al. (2003), Gliocladium sp. merupakan kapang agen hayati yang diketahui dapat mengendalikan pneyakit tular tanah. Sebagai agens hayati, Gliocladium sp. mampu bertahan hidup meskipun ketika tidak ada tanaman inangya, sehingga keberadaannya di alam relatif lama.
2.4.2. Morfologi Kapang Gliocladium sp.
Pertumbuhan koloni kapang Gliocladium sp. sangat cepat dan dapat mencapai 4-6 cm dalam waktu 3-4 hari inkubasi pada media PDA cawan. Tekstur koloni Gliocladium sp. berbulu halus, koloni mula-mula berwarna putih dan pucat hingga hijau tua dengan sporulasi. Konidium berbentuk bulat telur pendek, berdinding halus, agak besar dan pada umumnya konidium kapang Gliocladium sp. berukuran 4,5-6×3,5-4 µm (Soesanto, 2008).
Kapang Gliocladium sp. menghasilkan hifa, konidiofor, fialid, dan konidia (Gambar 2.7). Hifa yang dimiliki berupa hifa bersepta dan hialin (jelas). Pada cabang terakhir akan muncul fialid yang bentuknya menyerupai botol. Konidia bersel satu berbentuk oval atau silinder. Kapang Gliocladium sp. memiliki konidiofor berbentuk penicilliate, konidia bersel satu, hialin (jelas), dan berdinding halus (Domsch et al., 1980).
2.4.3. Manfaat Gliocladium sp.
Kapang Gliocladium sp. menghasilkan senyawa metabolit sekunder berupa senyawa gliotoksin, glioviridin, dan viridin yang bersifat fungistatik. Senyawa gliotoksin mampu menghambat pertumpuhan kapang dan bekteri, sedangkan senyawa viridin mampu menghambat pertumbuhan cendawan (Lee & Landis, 2000).
Hifa Gliocladium sp. yang sudah berinteraksi dengan tanah akan tersebar di sekitar perakaran tanaman, dengan laju pertumbuhan yang cepat dan dalam waktu yang singkat yaitu sekitar 7 hari. Kapang Gliocladium sp. bersifat mikoparasit terhadap kapang patogen dan mampu menekan populasi kapang patogen yang sebelumnya mendominasi sekitar perakaran tanaman. Kapang Gliocladium sp. akan tumbuh dengan baik pada perakaran tanaman yang sehat, sehingga terjadi simbiosis mutualisme antara Gliocladium sp. dengan tanaman yang dilindunginnya.
2.5. Pengujian Aktifitas Anti Jamur
Pengujian aktivitas anti jamur secara invitro dapat dilakuakan melalui dua cara yaitu sebagai berikut.
1. Metode Dilusi
tertentu, kemudian seri tabung tersebut diinkkubasi pada suhu 370C selama 16-20 jam. Mengamati terjadinya kekeruhan konsentrasi terendah bahan antimikroba pada tabung dengan adanya hasil biakan yang mulai tanpak jernih (tidak ada pertumbuhan jamur merupakan zona hambat). Biakan dari semua tabung yang jernih selanjutnya ditumbuhkan pada medium PDA miring dan diinkubasi selama 16-20 jam. Mengamati ada tidaknya koloni jamur yang tumbuh. Konsentrasi terendah obat pada biakan pada medium padat yaitu dengan tidak adanya pertumbuhan jamur adalah merupakan konsentrasi bunuh minimum bahan antimikroba terhadap jamur uji (Tortora et al., 2001)
2. Metode Difusi Cakram (Uji Kirby-Bauer)
Perinsip dalam metode difusi cakram (uji Kirby Baurer) yaitu dengan menempatkan kertas cakram yang mengandung antimikroba tertentu pada media PDA cawan yang telah ditambahkan dengan jamur yang akan diuji. Medium tersebut diinkubasi pada suhu 370C selama 16-20 jam. Mengamati zona hambat jernih yang terdapat disekitar kertas cakram. Zona jernih tersebut menunjukkan tidak adanya pertumbuhan mikroba. Jamur yang sensitif terhadap suatu bahan antimikroba akan ditandai dengan adanya daerah hambatan disekitar kertas cakram, sedangkan jamur yang resisten terhadap antimikroba ditandai dengan adanya pertumbuhan jamur di tepi kertas cakram (Tortora et al., 2001)
2.6. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
analisis dan dapat digunakan untuk melakukan analisis kuantitatif, kualitatif atau preparatif dalam bidang farmasi, lingkungan, industri, dan sebagainya. Kromatografi dilakukan untuk memisahkan dan mengkuantitatifkan komponen-komponen dari suatu senyawanya (Gandjar & Rohman, 2007)