ARTIKEL
Penerapan Model Pengembangan Teknologi Tepung Sukun
Untuk Meningkatkan Nilai Tambah Komersial
Application ofDevelopment Model ofBreadfruit Flour Technology to
Increase the Commercial Added Value
Ridwan Rachmat dan Sri Widowati
Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian Jl. Tentara Pelajar No. 12 Bogor
Telp. (0251)8321762 Email: rdwn2000@yahoo.com
Diterima : 23 Januari 2013 Revisi: 7 Pebruari 2013 Disetujui: 27 Maret 2013
ABSTRAK
Komoditas sumber karbohidrat non-serealia, seperti aneka umbi dan buah khususnya
sukun, dalam bentuk segar umumnya mudah rusak karena tingginya kadar air (60-80 persen). Upaya penggalian sumberdaya pangan lokal untuk meningkatkan ketersediaan dan ketahanan pangan dan mengubah citra inferior menjadi superior dapat dilakukan dengan proses pengolahan produk setengah jadi, diantaranya menjadi tepung. Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian telah berhasil mengembangkan teknologi proses produksi tepung sukun dengan palatabilitas tinggi. Inovasi teknologi tepung sukun tersebut telah diimplementasikan dalam suatu model kelembagaan melalui kerjasama dengan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap dan telah menunjukkan peningkatan nilai tambah khususnya dari segi ekonomi. Berdasarkan perhitungan B/C rasio, disimpulkan bahwa pada usaha skala 100 kg sukun segar dengan harga Rp 650/kg, maka harga jual tepung sukun Rp 12.000/kg. Sedangkan untuk skala usaha 1.000 kg sukun segar, dengan harga Rp 1.000/kg dan harga jual tepungnya Rp 10.000/kg. Harga tersebut dapat memberikan keuntungan pada petani. Nilai tambah ekonomi yang diperoleh dari usaha dengan model kelembagaan yang diintroduksikan lebih tinggi (Rp 1.811/kg), dibandingkan dengan model usaha skala petani yang ada yaitu sebesar Rp 1.233/kg.
kata kunci: sukun, tepung, produk olahan, mutu produk, nilai tambah ekonomi
ABSTRACT
In general, non-cereals-based carbohydrates such as tubers and fruits, especially
breadfruit as local food bio-resources, are perishable at high moisture content (60- 80 percent). The effort in exploring and processing the commodities to produce flouras intermediate products will support the food availability and food security, and also improve the commodities image from inferior to the superior ones. The Indonesian Center for Agricultural Postharvest Research andDevelopment (ICAPRD) has developed the production technology of high palatability breadfruit's
flour. This innovation has been implemented in a household level business model at farmer levelthrough a collaborative work program on product development with the agricultural and animal
husbandry extension service of Cilacap District, Central Java, and this resulted in lifting up the
economic added value. Based on B/C ratio analyses, it is concluded that the feasible businessat 100 kg of raw breadfruit with Rp 650/kg, the flour's price is Rp 12,000/kg. While at 1,000 kg,
the flour's prices is Rp 10,000/kg. The added value of breadfruit's flour business at an introduced
institutional model is higher (Rp 1,8117kg) than the existing farmer's business scale (Rp 1,233/
kg),
I. P E N D A H U L U A N
Komoditas pertanian sumber karbohidrat di Indonesia sangat beragam, namun pangan pokok lebih dari 90 persen penduduk masih bertumpu pada satu jenis bahan pangan, yaitu beras. Meskipun program diversifikasi pangan telah dicanangkan lebih dari tiga dasawarsa yang lalu, namun belum menunjukkan hasil yang nyata. Oleh karena itu perlu dicari sumber karbohidrat lokal yang potensial dan "ramah" dalam pemanfaatannya. Sukun merupakan tanaman sumber karbohidrat yang produktivitasnya tinggi, rata-rata 200 - 300 buah/musim/pohon, dua kali panen/tahun atau sebanyak 16-32 ton/ha (Muchtadi, dkk., 1992) Buah sukun (Artocarpus communis) mempunyai berbagai nama daerah, yaitu sakon (Aceh), suku (Nias), amu (Gorontalo), suu uek (Roti), sukun (Jawa, Sunda, Bali), sunne (Seram), kuu (Sulawesi Utara), kundo (Alor), karata (Bima), kalara (Sawu), Bakara (Sulawesi Selatan) (Mariska, dkk., 2004, Ditjen P2HP, 2003).
Produksi sukun di Indonesia terus meningkat
dari tahun 2000 sebesar 35.435 ton dan melalui
pengembangan areal tanaman sukun oleh Ditjen Hortikultura seluas 380 ha pada tahun 2003, produksi mencapai 62.432 ton. Pada tahun 2005 menjadi 73.637 ton dengan luas panen 6.725 ha. Pada tahun 2009 pengembangan oleh Departemen Kehutanan diprediksi telah
menambah tumbuh 20.962.984 tanaman buah
sukun dengan estimasi hasil sampai tahun 2009
sebanyak 12.197.175 buah sukun (Anonymous,
2010). Sentra produksi sukun Indonesia adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, D.I. Yogyakarta, Kalimantan Timur, NTT, Sumatera Selatan, Lampung, Sulawesi Selatan dan Jambi (Ditjen Hortikultura, 2006).
Permasalahan pada buah sukun adalah
keharusan dipanen pada umur matang optimal, di satu sisi masa layak konsumsi buah yang telah dipetik sangat pendek, yaitu maksimum
satu minggu, setelah itu akan membusuk.
Pemanfaatan buah sukun hingga saat ini masih terbatas, yaitu digoreng, dikukus atau dibuat keripik. Ada juga masyarakat yang
mengkonsumsi sukun setelah direbus atau
difermentasi (dibuat sejenis tape), namun dalam jumlah yang sangat sedikit bila dibandingkan dengan potensi hasil panen (Suismono, 2003).
Saat panen yang serempak dengan masa panen yang pendek, mengakibatkan sangat banyak yang tidak termanfaatkan bila tidak dilakukan penanganan dan pengolahan yang tepat. Untuk mengantisipasi hal tersebut, teknologi tepung merupakan solusi tepat. Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian telah berhasil merakit inovasi teknologi proses produksi tepung sukun degan palatabilitas tinggi (Widowati, dkk., 2001).
Salah satu sentra produksi buah sukun yaitu Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah telah memiliki kelembagaan Kelompok Wanita Tani (KWT) sebagai pengrajin tepung sukun dan produk olahan berbasis tepung sukun Kendala yang dihadapi adalah rendahnya kualitas tepung yang dihasilkan dan belum adanya jejaring pasar dan jaminan bahan baku yang jelas, sehingga secara umum penerapan model kelembagaan KWT ini belum mampu secara optimal melakukan proses produksi tepung dan komersialisasi.
Untuk mempercepat adopsi teknologi tepung
sukun berkualitas dan peningkatan nilai tambah
produk dan hasil olahannya, maka KWT sangat
potensial dijadikan lokasi untuk penerapan model pengembangan teknologi tepung sukun yang dirakit oleh Balai Besar Litbang Pasca Panen, Badan Litbang Pertanian.
II. METODOLOGI
2.1. Konsep Dasar Kelembagaan
Introduksi teknologi pengolahan produk
pangan baru berbasis sukun diharapkan dapat diadopsi oleh masyarakat setempat yang
selanjutnya dapat dikembangkan sebagai model
produksi dengan sistem kelembagaan yang dapat dilihat pada Gambar 1. Pengembangan
didasarkan atas prinsip-prinsip dasar
sebagai berikut : (i) membangun kemandirian masyarakat pengguna teknologi untuk membiayai teknologi yang diadopsi; (ii) Adanya
dukungan kebijakan dari Pemerintah Daerah
Tabel 1. Kriteria Kooperator dan Keterlibatan Dalam Proses
Jenis yang terlibat
(Penyedia alat)
Satu Inti: difasilitas alat penyawut dan
penepung dari Distanak setempat)
5 Plasma hanya produsen sawut kering
Industri olahan (Pengrajin kue)
Konsumen/ pasar (Pemda setempat / Diperta dan Disindag bersama BPTP)
Kriteria
• Bersedia dilatih untuk memproduksi sawut dan tepung sukun
• Bersedia bekerja sama dalam pengembangan
model
Bersedia dilatih untuk memproduksi produk makanan berbasis tepung sukun
Bersedia membeli/menggunakan tepung sukun hasil Inti-Plasma dan mempromosikan lebih lanjut
Bersedia bekerja sama dalam pengembangan
Mendapat dukungan dari instansi terkait
Bersedia mengkonsumsi dan melakukan promosi (komentar/respon jika diperlukan)
Penanganan sukun
segar
Penanganan sawut sukun Penepungan, Pengolahan, Pengemasan & pemasaran
P L A S M A INTI
LEMBAGA PENDUKUNG: Dinas Teknis Pemda , BB-Pascapanen, BPTP Jawa Tengah, lembaga permodalan, LSM, Dharma Wanita, PKK (teknis dan kebijakan)
Gambar 1.
Pola Pengembangan L Kelembagaan Penerapan Teknologi Pengolahan Sukun
Mendorong Industri Pangan di Wilayah Target
Sumber: Thahir, dkk., 2007 dan Santosa, dkk., 2009 yang dimodifikasi.
produksi, subsistem pemasaran dan subsistem
pendukung
2.2. Pembentukan Model Penerapan
Produksi Tepung Sukun
Penumbuhan kelembagaan akan diawali
dengan
percobaan
pembentukan
model
produksi. Secara lengkap model produksi yang
akan dikembangkan terdiri dari kelembagaan:(i) Pengrajin sukun; (ii) Pembeli siaga; dan
(iii) Konsumen.
Setiap unsur kelembagaan
tersebut dikelola oleh kooperator yang dipilih berdasarkan kriteria yang ditetapkan bersamaPA SA R UTAMA
Pengusaha besar
PASAR ALTERNATIF
Pengrajin produk olahan
K O N S U M E N
Gambar 2.
Model Penerapan Teknologi Produksi Tepung Sukun
kelembagaan penerapan teknologi produksi
tepung sukun seperti pada Gambar 2.
Pengembangan model kelembagaan penerapan teknologi produksi tepung sukun adalah sistem Inti-Plasma. Plasma dapat
merupakan pemilik pohon sukun, atau
pedagang pengumpul maupun masyarakat umum. Sedangkan Inti, adalah kelompok tani/ Swasta. Dalam konsep ini Inti diberikan fasilitas alat produksi tepung sukun, sedangkan Plasma hanya memproduksi sawut sukun kering. Dalam
konsep 5 Plasma memproses sukun hingga
menjadi sawut kering masing-masing sebanyak
50-100 kg, kemudian sawut disetor dijual ke satu Inti. Inti selain berperan menampung sawut kering dari Plasma, juga memproduksi sawut sendiri, kemudian seluruh sawut diprosesmenjadi tepung—format.
2.3.Pemilihan Lokasi, Pengrajin dan
Pengolahan Sukun
Pemilihan pengrajin kooperator dan lokasi model penerapan teknologi dilakukan bersama antara BB Pascapanen dengan Dinas Pertanian
dan
Peternakan
Kabupaten
Cilacap.
Pada
kelembagaan pengolahan sukun, akan dipilih
beberapa pengrajin produk olahan berbasis tepung sukun. Prasarana dan sarana pembuatananeka produk dari sukun akan disediakan oleh
Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten
Cilacap, sedangkan supervisi teknologi akan
dilakukan oleh Tim BB-Pascapanen bersama BPTP setempat. Pengenalan teknologi dilakukan melalui sosialisasi teknologi pembuatan dan
pengolahan tepung sukun. Metoda sosialisasi
adalah presentasi dan peragaan teknologi sebagai upaya memberikan edukasi kepada peserta calon kooperator tentang manfaat sukun sebagai bahan pangan sumber karbohidrat
lokal yang mempunyai kesetaraan gizi, dengan
citarasa yang tidak kalah dengan terigu ataupun beras.2.4. Uji Produksi dan Promosi Produk
Uji
produksi
bersama
kooperator
(Inti-Plasma) untuk optimalisasi teknologi skala produksi komersial. Dalam tahap promosi, uji produksi dilakukan dibawah supervisi Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap, BPTP Jawa Tengah, dan BB-Pascapanen.Promosi produk tepung dan kue olahannya
dilakukan di lokasi dan diluar wilayah pengrajin.
Responden konsumen pasarterdiri dari lembaga
sosial masyarakat (PKK,
LSM),
Organisasi
Wanita, Lembaga Pemerintahan dan pengrajin
makanan dengan pengamatan meliputi aspek
ekonomis, gizi dan manfaat/dayaguna.
Analisis parameter dilakukan pada
faktor-faktor : (i) teknis : tingkat kemudahan adopsi
dan
adaptabilitas
implementasi
teknologi,
keanekaragaman produk dan mutunya; (ii)
rasa, aroma, tekstur dari produk; dan (iii) Ekonomis : biaya dan kelayakan produksi.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.ldentifikasi Kebijakan Kabupaten Cilacap
Kabupaten Cilacap merupakan kabupaten terluas di Jawa Tengah dengan luas wilayah 225.360,84 ha dengan variasi ketinggian wilayah dari 0 sampai 1.146 meter dpi. Kabupaten Cilacap merupakan salah satu daerah penghasil buah sukun di Indonesia. Sukun asal Cilacap menjadi penciri jenis sukun. Di Indonesia dikenal dua jenis sukun, yaitu sukun gundul asal Cilacap dan sukun berduri asal Bone, Sulawesi Selatan. Tanaman sukun di Kabupaten Cilacap sampai saat ini merupakan tanaman yang tumbuh dipekarangan rumah penduduk. Data dari Dinas Pertanian menunjukkan bahwa produksi buah sukun dari tahun 2002 hingga tahun 2005
menurun secara merata. Namun secara umum
Cilacap masih merupakan andalan penghasil buah sukun di Jawa tengah (13.063 ton) setelah Jawa Barat (14.252 ton).
Pemerintah daerah Cilacap memandang bahwa agribisnis sukun di masa mendatang
sangat menjanjikan karena tanaman sukun
tidak memerlukan pemeliharaan secara khusus.
Pengembangan industri dan diversifikasi produk sukun khususnya selama ini belum sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini
disebabkan antara lain terbatasnya kemampuan
pelaku usaha dan sumberdaya manusia dalam pengetahuan teknologi pengolahan,
permodalan, dan pemasaran hasilnya.
Pada tahun 2010 Pemerintah Daerah Cilacap melalui Dinas Pertanian dan Peternakan
Kabupaten Cilacap mengusulkan kegiatan
pengembangan agroindustri pengolahan sukun menjadi tepung sukun yang dikoordinasikan melalui kegiatan di Gabungan Kelompok Petani (Gapoktan) sebagai lokasi pengolahan sukun skala kecil/rumah tangga di Kabupaten Cilacap. Rencana kegiatan initelah diusulkan ke Direktorat
P2HP Kementerian Pertanian, Jakarta. Kegiatan
tersebut bertujuan melaksanakan kegiatan (i) Membangun agroindustri perdesaan berbasis bahan baku spesifik lokasi (sukun);
(ii) Meningkatkan diversifikasi pangan olahan
non beras; (iii) Meningkatkan nilai tambah danpendapatan masyarakat. Harapan keluaran dari
usulan tersebut adalah (i) Terbangunnya UPH (Unit Pengolah Hasil) tepung sukun di Kabupaten Cilacap; (ii)Terlaksananya satu paket penguatan modal kelompok; dan (iii) Semakin kuatnya kelembagaan petani pengolahan sukun.
Keterbatasan produksi sukun saat ini dikarenakan lahan yang digunakan untuk tanaman sukun hanya sebatas sebagai tanaman pekarangan yang rata-rata tiap rumah memiliki satu sampai tiga pohon dan diantaranya ada yang sudah ditebang karena lahan digunakan untuk usaha lain atau akarnya merusak bangunan disekitar pohon. Mulai tahun 2010 Pemda Cilacap melalui Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap telah merencanakan akan melakukan ekspansi pertanaman sukun di daerah pulau Nusakambangan.
3.2. Status Produksi dan Rantai Pasok
(Supply chain) Buah Sukun
Secara agroekosistem dan budaya lokal,
tanaman sukun sudah ditanam, tumbuh dan
berkembang sebagai tanaman pekarangan penduduk di Kabupaten Cilacap. Secara faktual saat ini tejadi penurunan produksi buah sukun karena menurunnya populasi pohon sukun yang merupakan pohon pekarangan. Hal ini
disebabkan adanya perkembangan jumlah
penduduk, pembangunan dan pemekaran
rumah baru penduduk serta akar pohon sukun
yang cenderung mengganggu kestabilan
bangunan rumah.
Tata niaga sukun yang sudah ada dan berjalan hingga kini di Kabupaten Cilacap telah
membentuk kelembagaan informal dengan
rantai pasok dari petani/pemilik pohon-pemetik-pengumpul-pengepul-pasar (dalam dan luar kota). Saat ini siklus panen buah sukun di kabupaten Cilacap berlangsung dua hari sekali dengan panen besar/raya terjadi dua kali dalam setahun yaitu, panen pertama sekitar Juli/ Agustus-September/Oktober dan panen kedua
bulan Desember/Januari. Produksi sukun dapat
orang pengepul besar (harga beli Rp2.000, -Rp2.500,-/butir) yang ada di kabupaten Cilacap. Selama ini hampir 75 persen produksi buah sukun kabupaten Cilacap dipasarkan ke luar Cilacap dan terbanyak dikirim tujuan pasar Jakarta. Pengepul sangat berperan dalam mengelola stok buah sukun sehingga sangat menentukan perkembangan harga sampai di tingkat eceran. Berdasarkan mutunya, sukun yang dipasarkan keluar Cilacap adalah sukun yang masih hijau dan tidak memar, sedangkan sisanya dipasarkan di daerah Cilacap.
Pelaku usaha pengolah buah sukun dari berbagai skala usaha yang ada di Kabupaten Cilacap saat ini belum teridentifikasi dengan baik oleh Dinas Pertanian dan Peternakan, namun berdasarkan informasi lapang, jenis usaha yang menonjol adalah pembuat keripik sukun, snack bentuk stick, dan kubus dengan label yang sudah dikenal baik, seperti : Griya snack,
dan terbanyak adalah pelaku usaha/pengrajin
makanan snack dari sukun skala industri rumah
tangga yang memasok bahan siap kemas ke perusahaan skala menengah dan besar.
3.3. Perancangan Model Pengembangan
Agroindustri Tepung Sukun di Kabupaten Cilacap
Berdasarkan pertimbangan kebijakan
pemda Kabupaten Cilacap yang ada saat ini, peta ketersediaan dan sebaran bahan baku buah
sukun, kelembagaan pengrajin, serta peluang
pemasaran yang ada saat ini di Kabupaten
Cilacap, maka model pengembangan yang
dapat dilakukan adalah dengan pendekatan
pola Inti-Plasma. Pemilik pohon atau pengrajin kecil yang sudah ada tersebar di beberapa lokasi yang saling berdekatan berupa spot-spot dirancang masing-masing menjadi PLASMA
sebagai pemasok bahan baku/produk antara
(buah sukun atauchipkering) kepada pengusaha tepung sebagai INTI yang memiliki kemampuan
sebagai
unit usaha
produk akhir (tepung)
pengemasan dan atau penjamin pemasaran
produk tepung atau pemasok tepung kepada pengusaha/pengrajin produk olahan (kue kering/ basah). Peralatan yang sudah ada pada Inti disubsidi oleh pemda berupa mesin penyawut/ chip dan penepung.
3.4. Sosialisasi Teknologi dan Model Kelembagaan Agroindustri Tepung Sukun di Kabupaten Cilacap
Pengenalan teknologi pengolahan buah sukun segar menjadi tepung dan produk olahan lanjutan kepada para kooperator di Kabupaten Cilacap merupakan kunci dari keberlanjutan pemanfaatan sukun menjadi komoditas yang mampu memberi nilai tambah. Hasil penjajagan lapang di Kabupaten Cilacap bersama Distanak, Pemda Cilacap, dan aparat terkait telah dicapai kesepakatan bahwa untuk mengadakan sosialisasi dan peragaan teknologi kepada anggota Kelompok Wanita Tani (KWT), pengumpul sukun, pengepul, pengrajin pengolah buah/tepung sukun, anggota PKK dan penyuluh
spesialis/lapang. Model penerapan teknologi
tepung sukun dan hasil olahannya, meliputi :
(i) pengenalan teknologi produksi tepung sukun; (ii) strategi pemasaran tepung sukun dan produk olahannya; (iii) pengembangan aneka produk olahan sukun; dan (iv) penetapan model
agroindustri tepung sukun di Cilacap. Jenis
produk olahan berbasis tepung sukun meliputi: roti kering (rusk), kerupuk sukun, energy bar, flakes, brownishserta aneka cake dan cookies.
Kelurahan LoManis dan KWT (Kelompok Wanita Tani) dipilih sebagai daerah lokasi produksi tepung sukun di Kabupaten Cilacap dan telah mendapat bantuan peralatan berupa mesin penepung dan penyawut kapasitas 100 kg/jam. Penerapan model agroindustri tepung sukun telah diinisiasi melalui pembentukan kelembagaan sistem klaster dengan model
inti-plasma. Kooperator Kelembagaan model ini dimulai di lokasi penduduk sekitar kelurahan
Lomanis yang menjadi tempat pelaksanaan sosialisasi teknologi tepung sukun dan produk olahannya. Kesepakatan dengan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap, yang berkoordinasi dengan kelurahan Lo Manis, untuk pelaksanaan kegiatan dalam model inti plasma dipahami bahwa definisi inti dan plasma dengan batasan kegiatan yang disepakati oleh
Inti dan Plasma mendukung agroindustri tepung
sukun.atau pemasok tepung kepada pengusaha/ pengrajin produk olahan (kue kering/basah).
Di Cilacap yang telah ditetapkan sebagai INTI
adalah sekretariat Kelompok Wanita Tani (KWT) Lomanis. Peralatan yang sudah ada di INTI adalah bantuan fasilitas dari pemda/Distanak yaitu berupa satu unit mesin penyawut/c/?/p dan satu unit mesin penepung.
PLASMA dalam hal ini adalah anggota Kelompok Wanita Tani Lomanis sebagai pemasok bahan baku/produk berupa c/?/p/sawut sukun kering yang disalurkan ke INTI. Saat ini telah terbentuk 5 (lima) plasma yang siap produksi dengan lokasi usaha masing-masing plasma yang beranggotakan empat orang.
3.5.Perhitungan Ekonomi
Inti-Plasma telah melakukan kegiatan produksi secara bertahap dan intensif. Produksi sawut dan tepung sukun disesuaikan dengan siklus panen/ketersediaan buah sukun serta pasar. Uji coba kesiapan Inti-Plasma melaksanakan produksi dan menentukan dasar harga jual sawut dan tepung dengan komposisi
harga buah sukun perbutir Rp 3.000,- (berat 2
- 2,5 kg) dan biaya operasional (upah tenaga
kerja, bahan bakar), maka: (i) harga jual eceran tepung sukun Rp 14.900,-/kg; (ii) harga jual curah tepung sukun minimal 25 kg Rp 13.500,-/ kg; dan (iii) harga sawut kering Rp 9.000,-/kg.
3.6. Uji Preferensi Produk
Perusahaan kue kering dan donat "ISTANA
DONAT" yang terletak disekitar kelurahan Lo
Manis dan memiliki jaringan dengan sesama
produsen kue sejenis. Dari 8 - 10 kg tepung sukun yang dihibahkan kepada pengelola toko
kue tersebut untuk diproduksi enam jenis kue yaitu: kue kering nastar, lidah kucing, brownish
kukus, cake (bolu bulat), bolu gulung dan bolu
kukus bunga. Kue tersebut disajikan untuk uji
preferensi kepada seluruh anggota plasma serta masyarakat sekitar Inti.
Hasil uji preferensi kue tersebut menunjukkan bahwa panelis yang memberikan respon penilaian suka adalah pada kue brownish kukus dan cake (bolu bulat). Secara umum pemilik usaha kue Istana Donat menyatakan bahwa kehalusan dan tingkat keputihannya/ whiteness dari tepung sukun perlu diperhatikan dan ditingkatkan, dan sebagai respon telah
dilakukan perbaikan melalui proses blanching
anti browning, sedangkan kehalusan tepung dapat ditingkatkan dengan meningkatkan RPM alat penepung.
3.7. Permasalahan Peralatan dan Peluang Kerjasama
Keterbatasan peralatan terutama alat penyawut dan penepung serta pengepres merupakan kendala yang menghambat inti-plasma untuk dapat berproduksi secara optimal. Sedangkan sarana pengeringan masih dapat dilakukan dengan penjemuran di halaman jemur masing-masing plasma dengan kapasitas 50 - 75 butir sukun per hari. Dukungan fasilitasi peralatan yang memadai untuk menghasilkan tepung sukun yang berkualitas sangat diharapkan.
3.8. Produksi Tepung Sukun di Tingkat Inti dan Plasma
Kendala dalam produksi tepung sukun antara lain sulitnya mendapatkan bahan baku sukun karena kurang perencanaan yang baik
antara lain : (i) terbatasnya produksi bahan
baku sukun di Kabupaten Cilacap; (ii) pedagang pengumpul telah mengijon kepada yang punya buah sukun; dan (iii) mahalnya harga sukun
di tingkat pengumpul. Harga sukun di tingkat pengumpul/pengepul cukup mahal (antara
Rp2.500-Rp3.000/buah) menyebabkan biaya
proses dan harga tepung sukun menjadi mahal (Rp12.500-Rp15.000/kg) sehingga kurang bersaing dengan tepung Iainnya, seperti terigu (Rp7.500/kg) yang disajikan pada tabel 2.
3.8.1 Analisis kelayakan finansial
Salah satu cara untuk mengukur kelayakan usaha dapat dilihat dari efisiensi yang dapat diberikan oleh usaha tersebut, yang diketahui melalui perhitungan variable penerimaan dan
biaya. Penerimaan merupakan nilai produksi yang dihasilkan, yang dinyatakan dalam bentuk uang. Pengeluaran usahatani merupakan nilai
dari semua masukan dalam sistem produksi,
baik langsung maupun tidak langsung. Untuk mengetahui tingkat efisiensi usahatani digunakan indikator imbangan penerimaan dan biaya atau analisis B/C ratio (Kadariah, 1988).
Tabel 2. Sebaran Produksi dan Mutu Tepung Sukun Tingkat Plasma pada \<WT Desa Lo Manis
No Status
kelompok
Kapasitas Produksi Tepung(kg)
Hasil Uji Coba (butir Sukun)
Mutu
tepung
HargaTepung (Rp/kg)
1. Inti 1000 150 Mutu I
15.000,-2. Plasma 1 100-200 100 Mutu II
12.500,-3. Plasma 2 200-1000 100 Mutu I
15.000,-4 Plasma 3 100 75 Mutu II
12.500,-5. Plasma 4 100-500 100 Mutu II
12.500,-6. Plasma 5 200 100 Mutu I
7.000,-Lomanis merupakan usaha rumah tangga. Selain produksinya masih sedikit juga tidak rutin dilakukan. Produksi berlangsung jika ada permintaan dari pedagang makanan kue. Jika dilihat dari analisis finansialnya maka usaha
yang dilakukan belum layak, dimana B/C yang
diperoleh kurang dari satu. Namun demikian usaha ini tetap dikerjakan karena petani tidak
menghitung biaya tenaga kerja keluarga.
Untuk dapat mengetahui tingkat produksi
dan harga minimal berapa usaha pengolahan
tepung sukun baru menguntungkan petani, dapat dianalisis dengan melakukan analisis Titik Impas Harga (TIH) dan Titik Impas Produksi (TIP).
Dari hasil analisis menunjukkan bahwa usaha pengolahan tepung sukun di Kabupaten Cilacap memberikan TIP terendah, yaitu 20,67 kg. Dibawah tingkat ini maka petani
akan mengalami kerugian apabila terus memproduksinya. Sedangkan analisis TIH menunjukkan titik terendah Rp6.263,-. Ini berarti jika petani menjual dibawah titik ini maka petani akan mengalami kerugian.
Apabila model kelembagaan produksi
tepung sukun yang diterapkan dapat diadopsi oleh petani maka produksi tepung sukun dapat dilakukan dengan skala yang lebih besar dengan bahan baku 1000 kg. Hasil analisis finansialnya menunjukkan bahwa dengan skala produksi yang lebih besar maka akan lebih menguntungkan terlihat dari nilai B/C yang lebih dari satu. Sedangkan harga minimal lebih rendah yaitu Rp 4.512,-/kg dengan produksi minimal 149 kg. Hasil uji kelayakan usaha produksi tepung sukun di Kabupaten Cilacap disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Analisis Finansial Produksi Tepung Sukun
Uraian Jumlah Biaya (Bahan 100 kg) (Rp)
Jumlah Biaya
(Bahan 1000 kg) (Rp)
1. Biaya bahan (sukun)
2. Bahan bantu
100.000,-
28.500,-
1.000.000,-
258.800,-3. Biaya Tenaga Kerja 75.000,-
150.000,-4. Penyusutan alat 3.500'-
80.435,-5. Total biaya 206.700,-
1.489.235,-6. OUTPUT : 330.000.-
4.950.000,-7. KEUNTUNGAN : 123.300,-
1.810.765,-8. B/Crasio 0,6 1.2
9. Titik Impas Harga
10.Titik Impas Produksi
6.263,-20,67
4.512,-149
3.8.2 Analisis Nilai Tambah Ekonomi
Dasar perhitungan nilai tambah dari segi ekonomi suatu bahan baku yang diolah menjadi produk yang berbentuk lain adalah sebagai berikut : bila kebutuhan bahan baku setiap kali produksi di simbolkan dengan huruf a, dengan
harga per kg adalah b, output tiap kali produksi
adalah c, maka faktor konversi yang berlaku adalahh=c/a. Harga output per kg diberi symbol
d, harga input selain bahan baku yang digunakan per kilogram bahan yang diolah adalah e, maka
nilai produk adalah f = hxd. Dari ketentuan tersebut diatas maka diperoleh nilai tambah
yang dihitung dari Rp (f-e-b) per kg bahan baku.
Setelah dilakukan analisis nilai tambah, maka
nilai tambah yang diperoleh oleh usaha model
kg menghasilkan B/C lebih kecil dari satu, sedangkan untuk skala 1.000 kg, B/C lebih dari
satu. Nilai B/C lebih dari 1 pada skala 100 kg
hanya terdapat pada kisaran harga bahan baku Rp 650,-/kg dan harga tepung Rp 12.000,-/kg. Bila harga bahan sukun naik menjadi Rp 1.000,-/ kg sementara harga tepung hanya Rp 8.000,-/ kg maka B/C usaha skala 1.000 kg pun kurang
dari 1. Sehingga dengan melihat perhitungan B/C, maka kombinasi yang cocok untuk usaha
skala 100 kg adalah harga bahan sukun Rp 650/kg dengan harga jual tepung Rp 12.000,-/ kg. Sedangkan untuk usaha 1.000 kg maka kombinasi harga bahan baku sukun Rp 1.000,-/ kg dengan harga jual tepung Rp 10.000,-/kg sudah dapat memberikan keuntungan pada
petani.
Tabel 4.Analisis Kepekaan Dengan Perubahan Harga Bahan Baku dan Harga Tepung
No Harga Harga Prod jksi 100 KcI Produksi 1000 Kg
Sukun/ Tepung B/C TIH TIP B/C TIH TIP
Kg (Rp) (Rp)
1 650 8.000 0,5 5.203 21,5 1,3 3.452 142
10.000 0,92 5.203 17,2 1,9 3.452 113,9
12.000 1,3 5.203 14,3 2,4 3.452 94,9
2 1.000 8.000 0,28 6.263 25,84 0,7 4.512 179,9
10.000 0,6 6.263 20,67 1,2 4.512 148,9
12.000 0,92 6.263 17,22 1.6 4.512 124
3 1.300 8.000 0,12 7.172 29,6 0,4 5.421 223,6
10.000 0,39 7.172 23,67 0,84 5.421 178,9
12.000 0,67 7.172 19,73 1,2 5.421 149
kelembagaan yang diintroduksikan lebih tinggi yaitu Rp1.811,-/kg bahan baku dibandingkan dengan skala usaha petani yaitu hanya sebesar Rp 1.233,-/kg bahan baku.
3.8.3. Analisis Kepekaan
Menurut Kadariah (1988) analisis kepekaan
bertujuan untuk melihat hasil kegiatan ekonomi
bila ada kesalahan atau perubahan dalam
perhitungan biaya atau benefit. Disebut peka bila dengan adanya sedikit perubahan baik itu harga maupun produksi maka akan menyebabkan
usaha merugi. Analisis kepekaan dilihat dari
perubahan harga bahan baku dan perubahan
harga jual tepung.
Analisis kepekaan menunjukkan bahwa
usaha
produksi
tepung
sukun
skala
100
kg dengan harga bahan baku Rp 650,-/kg
dan harga tepung rendah dari Rp 12.000,-/
IV. KESIMPULAN
Teknologi proses produksi tepung sukun
palatabilitas
tinggi
telah
diimplementasikan
dalam suatu model pengembangan kelembagaan untuk meningkatkan nilai tambah KelompokWanita Tani (KWT) di kabupaten Cilacap.
Kegiatan penelitian dan pengembangan tersebut dilakukan bekerjasama dengan mitra yaitu
Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten
adalah harga bahan sukun Rp 650/kg dengan
harga jual tepung Rp 12.000,-/kg. Sedangkan untuk usaha 1.000 kg maka kombinasi harga bahan baku sukun Rp 1.000,-/kg dengan harga
jual tepung Rp 10.000,-/kg dapat memberikan
keuntungan pada petani. Nilai tambah yang diperoleh oleh usaha model kelembagaan yang diintroduksikan adalah Rp 1.811,-/kg bahan baku lebih tinggi dibandingkan dengan skala
usaha petani yaitu hanya sebesar Rp 1.233,-/ kg bahan baku.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2010. Tips Sukses Berbisnis Roti dari Olahan Buah Sukun. http://www. /index.php-1. htm. 14 Juni 2010
Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2003. Panduan Teknologi Pengolahan Sukun sebagai Bahan Pangan Alternatif. Direktorat Jendral Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. Departemen Pertanian.
Ditjen Hortikultura. 2006. Sukun Sumber Karbohidrat
Pengganti Beras. Direktorat Pengolahan
dan Pemasaran Hasil Hortikultura Jakarta.
Departemen Pertanian.
Kadariah. 1988. Evaluasi Proyek Analisa Ekonomi. LPEE Ul. Jakarta.
Mariska,l.,Y.Supriati. dan S.Hutami. 2004.
Mikropagasi Sukun (Artocarpus communis
Forst) Tanaman Sumber Karbohidrat Alternatif. Kumpulan makalah Hasil penelitian BB Biogen tahun 2004.Hal 180-187.
Muchtadi, D., N.S. Palupi dan M. Astawan. 1992.
Metoda Kimia, Biokimia dan Biologi dalam
Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB, Bogor.
Santosa, B.A.S., H. Setiyanto, Suyanti, W. Haliza, Sunarmani dan S.Widowati. 2008.Laporan Akhir Tahun: Pengembangan Teknologi Pengolahan Ubijalar dan Sagu Mendukung Diversifikasi Konsumsi Pangan di Papua. BB-Pascapanen. Badan Litbang Pertanian.
Suismono, S. Widowati, S. Nugraha, Suyanti, Rahmawati, KuntatiJ. Jafar, Suarni dan Suhardjo. 2003. Penelitian Teknologi Pengolahan Tepung
Sukun. Balai Penelitian Pascapanen Pertanian. Badan Litbang Pertanian.
Thahir, R., Yulianingsih, E.Y. Purwani, H. Setiyanto, A. Supriatna dan B.A.S. Santosa. 2007.Laporan Akhir Tahun: Penerapan Teknologi Pascapanen Mendukung Ketahanan Pangan di Papua. BB-Pascapanen. Badan Litbang Pertanian.
Widowati, S dan D.S.Damardjati. 2001. Menggali Sumberdaya Pangan Lokal dalam Rangka Ketahanan Pangan. Majalah PANGANno 36/X/ Jan/2001.BULOG
BIODATAPENULIS:
Ridwan Rachmat, menyelesaikan pendidikan terakhir program doktoral (Ph.D) pada Program Studi Bio Exploration and Utilization, Faculty of Bioresources, Mie University Jepang. Saat ini menjabat sebagai Kepala Bidang Kerjasama dan Pendayagunaan Hasil Penelitian (KSPHP) BB Pascapanen.